Jumat, 16 Maret 2012

ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL; MENGUKUR KUALITAS PERAWI HADITS


ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL;
MENGUKUR KUALITAS PERAWI HADITS

Abdul Malik Ghozali*

Abstrak

Untuk mengukur ke-adalah-an dan ke-dhobit-an seorang perawi tidak mudah. Sehingga acapkali suatu hadits, berstatus shohih menurut satu kelompok, tapi juga berstatus dhoif menurut kelompok yang lain. Belum lagi, statement yang digunakan untuk mengukur ke-adalah-an dan ke-dhobit-an perawi berbeda-beda antara satu ahli hadits dengan ahli hadits yang lain.

Kata Kunci: al-Jarh wa al-Ta’dil



Pendahuluan
    Hadits Nabi SAW diyakini secara defacto dan konsesus umat Islam sebagai sumber kedua setelah kitab Suci Al-Qur’an. Kenyataan ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Hasyr ayat 7:”Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.Dalam Surat Al-Baqarah ayat 231 dijelaskan pula:”Dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah, Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu”.Dan banyak sekali ayat-ayat lain yang menyebutkan Al-Kitab disertai Al-Hikmah. Imam Syafi’I dan kebanyakan Ahli Tafsir menafsirkan Al-Hikmah dengan arti Sunnah Rasul[1].Ini artinya mengamalkan sunnah Rasul adalah wajib, karena setiap individu muslim harus mentaati perintah dan larangan Rasulullah saw.Mentaati Rasulullah saw berarti mentaati Allah swt. Maka dari itu seorang muslim tak boleh mengatakan:”Wajib hanya dari Kitabullah ‘kemudian’ sunnah Rasul-Nya”, sebab ‘kemudian’ di sini mempunyai arti pembedaan hukum antara Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.Padahal dalam segi hukum, sunnah Rasul juga memiliki otoritas hukum yang sama dengan Al-Kitab dalam hal-hal yang belum disentuhnya.
     Meskipun hadits mendapat kedudukan kedua dalam jajaran sumber hukum Islam, tapi dalam prakteknya banyak sekali fase-fase yang mesti dilaluinya untuk mencapai kedudukan itu.Artinya sebelum dijadikan sebagai landasan hukum, sebuah hadits harus diteliti dengan seksama. Hal ini dapat dimaklumi, karena hadits baru dikodifikasi secara umum pada masa khilafah Umar bin Abdul Aziz (99 H)[2].Hadits yang dikodifikasi saat itu pun masih sangat terbatas sekali dan belum diteliti dengan disiplin ilmu hadits (musthalah), karena musthalah baru diformulasikan  pada abad ke 4 Hijriah.Berbeda dengan Al-Qur’an yang sudah sepakat dikodifikasi sejak zaman khilafah Abu Bakar As-Siddiq (r.a), kemudian dilanjutkan dengan gerakan “penyatuan mushaf” oleh Khalifah III, Usman bin Affan. Hal ini menjadikan kedudukan Al-Qur’an semakin kuat, disamping ayat-ayatnya juga diriwayatkan secara “mutawattir” dan pekodifikasiannya terjadi pada masa sahabat.
    Untuk menjadikan hadits sebagai sumber hukum, perlu diadakan penelitian. Penelitian dilakukan pada sanad maupun matan hadits. Karena untuk menjadikan sebuah hadits diterima harus memenuhi beberapa syarat[3].Pertama, sanadnya harus tersambung. Maksudnya antara satu perawi dengan yang lainnya dalam sanad itu merupakan guru dan murid. Kedua, para perawi dalam sanad adalah perawi yang adil. Ketiga, para perawi dalam sanad merupakan orang yang dhobit. Keempat, matannya tidak syaadz. Kelima, matannya juga tidak dijumpai illat.
    Dari lima syarat hadits yang diterima adalah ke-adalah-an dan ke-dhobit-an seorang  perawi. Hal ini sering sekali terjadi masalah, mengingat untuk mengukur ke-adalah-an dan ke-dhobit-an seorang perawi tidak mudah. Sehingga acapkali suatu hadits, berstatus shohih menurut satu kelompok, tapi juga berstatus dhoif menurut kelompok yang lain. Belum lagi, statement yang digunakan untuk mengukur ke-adalah-an dan ke-dhobit-an perawi berbeda-beda antara satu ahli hadits dengan ahli hadits yang lain.
     Dalam konteks ini, muncul beberapa masalah yang terumus dalam beberapa pertanyaan: Bagaimana mengukur kemapanan sanad hadits terkait kualitas perawinya? Apa tolok ukur reputasi baik maupun reputasi buruk seorang perawi? Bila terjadi kontradiksi, status perawi hadits, di satu pihak memberikan reputasi baik sedangkan pihak lain meberikan reputasi buruk?
     Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penulis menyusun makalah ini dalam beberapa bagian. Pertama, Terminologi Ilmu Al-Jarh dan At-Ta’dil. Hal ini mengingat, ilmu inilah yang dijadikan ujung tombak oleh para ahli hadits dalam penilaian kualitas para perawi dalam sanad hadits. Kedua, Sejarah kemunculan ilmu al-jarh dan at-ta’dil. Perlu diungkap, sejarah awal kemunculan ilmu ini, serta situasi dan kondisi saat itu.Termasuk dalam bagian ini akan diketahui, esensi sanad dalam menentukan kemapanan suatu hadits. Dengan mengetahui sejarahnya diharapkan dapat mengetahui inti dari target ilmu ini.


Terminologi Al-Jarh dan At-Ta’dil
    Al-Jarh berasal dari kata jaraha (جرح) yang artinya melukai secara lahir maupun batin, seperti dikatakan:”Tangannya terluka terkena senjata tajam, atau, Dia melukai temannya dengan lisannya ”.Atau dikatakan:”Saya telah melukai seorang saksi”, maksudnya menyembutkan hal-hal yang ada padanya yang dapat menjadikan kesaksiannya ditolak.[4]Secara terminologi, Al-Jarh adalah menyebutkan hal-hal yang merusak ke-adalah-an atau ke-dhobit-an. Maka setiap hal yang merusak keadalahan perawi seperti kekufuran, kefasika dan bid’ah itu dikatakan Al-jarh. Termasuk hal-hal yang merusak kedhobitan perawi seperti, pelupa (pikun), buruk hafalan, kehilangan buka catatan hadits, itu adalah al-jarh juga.[5]
    Dari pemahaman di atas, al-jarh berarti menyebutkan keaiban seseorang yang dalam ajaran islam disebut ghibah. Di sini para ulama hadits terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, melakukan al-jarh perawi dilarang karena sama dengan ghibah, yang diharamkan dalam ajaran agama Islam. Kedua, memperbolehkan al-jarh, ini pendapat jumhur ulama hadits dengan dalih :
  1. Firman Allah SWT dalam surat Al-Hujurat: 6 
 Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang fasik membawa suatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini - dengan sebab kebodohan kamu (mengenainya) - sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan.

  1. Bahwa Nabi SAW pernah melakukan al-jarh kepada beberapa orang, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim; Ketika Fatimah binti Qais mendatangi Nabi SAW memberitahukan bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm telah meminangnya, dan meminta nasehat Nabi dalam masalah ini. Maka Nabi menjawab:”Adapun Abu Jahm seorang yang tidak melepaskan tongkatnya dari genggamannya[6], sedangkan Muawiyah adalah seorang fakir yang tidak memiliki harta”. Para ulama hadits mengatakan nabi melakukan demikian sebagai nasehat yang merupakan kewajiban setiap kaum muslimin.
           
    Sedangkan Adalah merupakan masdar (kata jadian) dari kata adula yang artinya ridho dan memuaskan dalam kesaksiannya, kebalikan dari kedzaliman.[7]Secara terminologi, adalah dapat diartikan dalam empat pemahaman[8] :
  1. Sifat yang harus ada dan dijaga agar diri terhindar dari hal-hal yang dapat merusak muru’ah (kedewasaan) secara adat pada zahirnya.
  2. Sifat istiqamah yang ada pada diri dari sisi agama dan akal yang senantiasa mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu.Maka barang siapa yang melakukan dosa besar (kabair) sekali saja telah menggugurkan adalah-nya, perkataannya (periwayatannya) tidak dapat dipercaya.
  3. Sifat adil yang merupakan kebalikan sifat dzalim yang berasal dari keteguhan agama, kelurusan mazhab, kemurnian diri dari hal kefasikan.
  4. Sifat (karakter) atau talenta yang dapat membawa diri  ke dalam ketakwaan dan muru’ah yang tinggi.

    Untuk mengetahui adalah seorang perawi hadits tidak mudah dan gampang. Tapi paling tidak, menurut Ahli Hadits Adalah perawi hadits dapat dibuktikan dengan beberapa hal :
a)      Kesaksian ke-adalah-an perawi oleh orang lain (ahli hadits). Hanya saja para ahli hadits berbeda pendapat tentang jumlah saksi. Sebagian mensyaratkan minimal dua orang saksi. Hal ini berdasarkan qiyas atas kesaksian dalam muamalah manusia, seperti tertera dalam surat Al-Baqarah: 282. Jumhur ulama melihat kesaksian adalah perawi cukup oleh satu orang yang adil. Dengan dalih bahwa periwayan orang adil diterima, maka kesaksiannya pun harus diterima. Dalil lain, adalah Umar bin Khattab menerima kesaksian (tazkiah) Sunain Abu Jamilah perkataan seorang bawahannya (arifnya). Terkait kesaksian ini para ulama juga berbeda pendapat tentang saksi harus laki-laki atau tidak. Pendapat yang kuat adalah kesaksaian adalah tidak dikhususkan bagi laki-laki tapi kesaksian dapat diambil dari siapa saja yang adil baik laki-laki, wanita, merdeka maupun budak sahaya. [9]
b)     Kemasyhuran adalah perawi di antara ahli hadits. Barang siapa yang terkenal adalah dan banyak yang memuji ke-tsiqah-annya dan amanahnya di antara ahli hadits maka tidak dibutuhkan bukti saksi lagi. Seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Imam Sufyan bin Uyaynah, Sufyan Tsauri, Abdullah bin Mubarak dan imam-imam lainnya.[10]
c)      Penuntut dan pelajar hadits. Maka setiap orang yang dikenal berkecimpung dalam periwayatan hadits, dapat dikategorikan adil. Imam Ibnu Abdul Barr mengatakan:”Setiap penuntut ilmu ini (hadits) dan dikenal sebagai peneliti dalam periwayatan dianggap perawi adil sampai ada jarh yang terbukti”. Pendapat ini di dasari hadits nabi :” Ilmu ini (hadits akan dibawa (dimandatkan) kepada orang-orang yang adil, selalu membela hadits dari penyimpangan kaum ekstrimis, tipu daya kaum bathil dan penafsiran orang-orang bodoh”.(H.R. Imam Baihaqi dalam As-Sunan Kubra)[11]
d)     Banyak perawi hadits yang meriwayatkan hadits darinya. Jumhur ulama hadits berpendapat bahwa adalah seorang perawi hadits dapat dilihat dari banyaknya perawi yang meriwayatkan hadits darinya.
            Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa ilmu al-jarh dan at-ta’dil adalah ilmu yang membahas kaedah-kaedah al-jarh (reputasi buruk) dan ta’dil (reputasi baik)  perawi hadits menggunakan kata-kata tertentu.[12]


Sejarah Ilmu Al-Jarh dan At-Ta’dil
    Ilmu Al-Jarh dan At-Ta’dil, pada awalnya, merupakan bagian dari ilmu sejarah perawi hadits yang juga pada awalnya bagian dari ilmu musthalah. Secara umum kemunculannya sudah terjadi pada masa sahabat. Hal ini terbukti dengan upaya kritik para sahabat waktu itu.Tokoh-tokoh kritikus hadits dari sahabat antara lain: Abdullah bin Abbas, Ubadah bin Shomit, Anas bin Malik, Sayidah Aisyah; istri Rasulullah saw dan lain-lainnya.[13]
    Sebab kemunculan kritikan hadits sejak zaman sahabat, adalah terjadinya fitnah kubra.Hal ini dikuatkan oleh riwayat Muhammad bin Sirin:”Mereka (sahabat) tak pernah menanyakan tentang sanad hadits, tapi setelah terjadi fitnah, mereka berkata:”Sebutkan siapa perawi-perawi (yang kamu ambil haditsnya) kepada kami, maka hadits ahli sunnah diterima dan hadits ahli bid’ah ditolak”.[14]Sejak saat itu dimulai periode kritikan hadits terutama dari segi sanadnya, sehingga Abdullah bin Mubarak berkata:”Sanad adalah bagian dari agama, bila tidak ada sanad niscaya setiap orang akan berkata sesukanya”.[15] Muhammad bin Sirin berkata:”Sesungguhnya ilmu ini (ilmu Dirayat) adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil (masalah) agama kalian”[16].Mereka melakukan kritikan ini berlandaskan firman Allah swt yang berbunyi:”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.[17] Kemudian dikuatkan oleh hadits Rasul yang berbunyi:”Barang siapa yang dengan sengaja berbohong kepadaku maka bersiap-siaplah menempatkan dirinya dalam api neraka”.[18]
   Dua hal inilah yang membuat para muhaditsin berupaya keras mensteril hadits-hadits Rasul  dari kuman-kuman kebohongan sepanjang masa.Dan methode mereka dalam mensteril hadits-hadits Rasul ini sangat dibanggakan, bukan hanya oleh ummat Islam saja tapi juga oleh tokoh-tokoh sejarah non muslim.Bahkan ilmu riwayat dan dirayat banyak dijadikan modul dalam mengkritik pendataan sejarah oleh ahli sejarah pada saat ini.Seperti yang diungkapkan oleh Dr. As’ad Rustum, seorang profesor sejarah di Universitas Amerika di Beirut yang beragama Masehi dalam bukunya “Mustalah Tarikh”, di sini ia mengakui bahwa musthalah hadits adalah methode ilmiah modern yang paling benar untuk meneliti berita-berita dan riwayat-riwayat (sejarah).[19] Dari usaha-usaha muhaditsin dalam hal ini, dapat dibedakan buku-buku apa saja yang mengandung hadits shahih dan buku-buku yang berisi hadits-hadits dhoif, bahkan hadits maudhu’.Klasifikasi ini pula dilakukan oleh Imam Suyuthi dalam menyusun bukunya “Al-Jami’ al Kabir”, untuk memudahkan mencari status hukum suatu hadits.[20]
     Kemudian upaya mengkritik sanad hadits semakin sempurna ketika para ahli hadits mengkodifikasi kaedah-kaedah penilaian kemapanan hadits. Usaha ini diawali oleh Qhadi abu Muhammad Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramhurmuzy (360 H).Ia menyusun rumusan dasar-dasar musthalah dalam bukunya: المحدث الفاصل بين الراوي والواعي Kemudia rumusan ini dikembangkan oleh Al-Hakim Abu Abdillah An-Nisabury (405 H) dalam bukunya; معرفة علوم الحديث , di sini ia memformulasikan rumusannya menjadi 50 macam. Selanjutnya formulasi rumusannya dikembangkan lagi oleh Abu Amr, Ibnu Sholah (643H) menjadi 65 macam dalam bukunya علوم الحديث yang lebih dikenal dengan مقدمة ابن صلاح  dan dikembangkan lagi oleh Jalaluddin As-Suyuthy menjadi 93 macam dalam bukunya تدريب الراوي
    Selain itu diantara syarat perawi yang dapat diterima periwayatannya adalah “ketepatan” (dhabt), ini bukan hanya berarti ketepatan hafalannya saja, baik hafal di luar kepala ataupun hafal dengan perantara catatan (buku), tapi lebih dari itu, berarti kecerdasan dan ketajaman akalnya dalam menangkap dan memahami hadits yang diriwayatkan.[21] Oleh karena itu perawi yang hanya hafal saja belum dapat menyandang gelar dhabit (tepat).
    Dalam perkembangannya, Ilmu Rijalul Hadits yang semula bagian dari Ilmu Mustalah, berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan dengan maraknya buku-buku yang ditulis membahas rijalul hadits (perawi hadits) semisal Al-Asma’ wal Kuna karya Ali bin Madini, Tarikh (Kabir, awsath dan shogir) karya Imam Bukhori, Tarikh Baghdad karya Imam Al-Khotib Al-Baghdady, Tahzibul Kamal karya Imam Al-Mizzy[22]. Kemudian hampir dalam waktu bersamaan, para ulama hadits pula membuat buku terkait reputasi perawi, semisal,  Al-Jarh wa Ta’dil karya Abu Hatim Ar-Rozy, Ad-Dhuafa karya Imam Bukhori, At-Tsiqaat, Ad-Duafa karya Imam Ibnu Hibban, Mizanul I’tidal karya Imam Zahabi.[23]


Ukuran Reputasi Baik  Perawi (At-Ta’dil)
     Telah dijelaskan sebelumnya, suatu hadits diterima bila perawinya “Adil”. Artinya terpercaya dalam urusan agamanya atau dengan kata lain sholeh dalam agamanya, tidak pernah melakukan dosa-dosa besar. Selain itu, perawinya “Dhobit” (kuat hafalan dan pemahamannya).Maksudnya, perawi itu dapat hafal hadits di luar kepala dan jarang lupa (Dhabtu Shadr) ataupun hafal dengan catatan-catatannya (Dhabtu Kitab) disertai pemahaman yang baik.[24]     
    Untuk mengukur reputasi baik seorang perawi hadits, baik dari sisi kualitas diri (kesolehan) maupun kedhobitan (kekuatan daya hafal), para ahli hadits sudah membuat rumusan. Rumusan yang diformulasikan dalam bentuk kata-kata tertentu dibuat berdasarkan ranking. Kata-kata yang digunakan sebagai indikator status seorang perawi. Ranking kata-kata yang diformulasikan sangat beragam, para ahli hadits sendiri belum mencapai kesepakatan. Hal ini disebabkan oleh orientasi yang berbeda antara satu ahli hadits dengan yang lainnya. Tapi untuk lebih memudahkan dalam memahami ranking, penulis mencoba mengambil ranking yang dirumuskan oleh Dr. Abdul Muhdi Abdul Qadir yang merupakan hasil analisa beliau dalam beberapa rumusan ahli hadits, sebagai berikut:
·         Peringkat pertama, kata-kata yang menunjukkan ta’dil tertinggi. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
أوثق الناس، أثبت الناس، أتقن من أدركت، إليه المنتهى في التثبت، لا أعرف له نظيرا في الدنيا
·         Peringkat kedua, Kata-kata yang menunjukan kemasyhuran adalah perawi. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
فلان لا يسأل عن مثله، مثلي يسأل عن فلان؟!، مثل فلان يسأل عنه؟!، فلان يسأل عن الناس
·         Peringkat ketiga, Pengulangan kata-kata tawtsiq atau ta’dil tertinggi. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
ثقة ثبت، ثقة متقن، ثبت حجة، ثقة حافظ، ثقة ثقة، ثبت ثبت
·         Peringkat keempat, Kata Ta’dil tertinggi tanpa diulang. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
ثقة، ثبت، متقن، حجة، حافظ، ضابط
·         Peringkat kelima, Kata ta’dil menengah. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
ليس به بأس، لا بأس به، صدوق، مأمون، خيار، خيار الخلق

·         Peringkat keenam, Kata ta’dil rendah, yang menunjukkan kedhobitan perawi rendah. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
محله الصدق، رووا عنه، روى الناس عنه، يروى عنه، إلى الصدق ما هو، شيخ وسط، وسط، شيخ، صالح الحديث، يعتبر به، يكتب حديثه، مقارب الحديث، جيد لحديث، حسن الحديث، مقارب الحديث، ما أقرب حديثه، صويلح، صدوق إن شاء الله، أرجو أنه لا بأس به، ما أعلم به بأسا.

     Status periwayatan perawi pada peringkat ta’dil pertama sampai dengan peringkat keempat adalah sahih, meskipun berjenjang kekuatan kesahihannya sesuai peringkat.Ilustrasinya, bila periwayatan perawi peringkat pertama bertentangan dengan periwayatan perawi tingkat kedua, maka periwayatan peringkat pertama yang didahulukan, begitu seterusnya. Peringkat kelima status periwayatannya adalah hasan. Sedangkan peringkat keenam, status periwayatannya tidak sahih maupun hasan, yaitu dhaif yang masih ringan, bila ditopang dengan sanad yang kualitasnya sama atau lebih baik maka akan menjadi hadits hasan lighoirihi. Atas dasar ini para ulama hadits telah menetapkan bahwa hadits sohih itu bertingkat-tingkat kualitasnya sesuai dengan kualitas perawinya pada sanad.
    Dalam memberikan peringkat ta’dil perawi, para ahli hadits membuat kriteria (syarat) seorang muaddil/Muzakki[25], agar tawtsiq yang diberikan berkualitas, dan dapat diterima. Bila kehilangan salah satu syarat ini maka tawtsiq-nya ditolak. Syarat-syarat itu adalah :
  1. Seorang muaddil adalah orang yang adil yaitu seorag muslim, sudah baligh, berakal, selamat dari hal-hal kefasikan dan yang merusak muruah.
  2. Seorang muaddil dikenal sebagai peneliti yang sering berkecimpung dalam penelitian status para perawi.
  3. Seorang muaddil harus mengetahui tentang hal-hal yang dapat menjadikan seorang perawi itu adil dan hal-hal yang dapat menjadikan perawi itu majruh. Ia tidak akan memberikan status kepada perawi kecuali setelah konfirmasi tentang hal-hal yang dapat menjadikannya adil.
  4. Seorang muaddil tidak dikenal sebagai seorang fanatik pada mazhab, daerah, golongan maupun lainnya, bagi orang yang dita’dilkannya atau sebaliknya. Jangan sampai tawtsiq terjadi lantaran kefanatikan, yang menyebabkannya tidak objektif.

    Selain dengan kata-kata, ta’dil pun dapat dilakukan dengan cara lain. Imam Al-Ghozali dan Imam Ibnu Qudamah berkata:” Ta’dil kepada perawi dapat dilakukan dengan empat cara”[26] :
Pertama, dengan perkataan. Kedua, dengan hukum melalui periwayatannya. Ketiga, mengamalkan periwayatannya. Keempat, mengambil riwayat dari nya.


Ukuran Reputasi Buruk Perawi (Al-Jarh)
    Untuk mengukur reputasi buruk seorang perawi hadits, baik dari sisi kualitas diri (kesolehan) maupun kedhobitan (kekuatan daya hafal), para ahli hadits sudah membuat rumusan. Rumusan yang diformulasikan dalam bentuk kata-kata tertentu dibuat berdasarkan ranking-sama dengan  rangking reputasi baik. Kata-kata yang digunakan sebagai indikator status seorang perawi. Ranking kata-kata yang diformulasikan sangat beragam, para ahli hadits sendiri belum mencapai kesepakatan. Hal ini disebabkan oleh orientasi yang berbeda antara satu ahli hadits dengan yang lainnya. Tapi untuk lebih memudahkan dalam memahami ranking, penulis mencoba mengambil ranking yang dirumuskan oleh Prof. Dr. Abdul muhdi Abdul Qadir yang merupakan hasil analisa beliau dalam beberapa rumusan ahli hadits, sebagaimana berikut:
·         Peringkat pertama, kata-kata yang menunjukkan al-jarh tertinggi. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
أكذب الناس، أشر الناس وصفا للحديث، إليه المنتهى في الوضع، وهو ركن الكذب.
·         Peringkat kedua, Kata yang menunjukan kedustaan atau kepalsuan. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
دجّال، وضّاع، كذاب، يضع، يكذب، وضع حديثا
·         Peringkat ketiga, Kata yang menunjukkan tertuduh berdusta atau sejenisnya. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
فلان يسرق الحديث، متهم بالوضع، متهم بالكذب، ساقط، هالك، ذاهب الحديث، متروك، متروك الحديث، تركوه، فيه نظر، سكتوا عنه، لا يعتبر به أو لا يعتبربحديثه فلان ليس بالثقة، غير ثقة، غير مأمون.
·         Peringkat keempat, kata yang menunjukkan haditsnya ditolak dan tidak ditulis atau sejenisnya. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
فلان ردّ حديثه، مردود الحديث، فلان ضعيف جدّا، واه بمرّة، تالف، طرحوا حديثه، ارم به، مطرح الحديث، لا يكتب حديثه، لا تحلّ كتابة حديثه، لا تحل الرواية عنه، ليس بشيء، لا شيء، فلان لا يساوي فلسا، لا يساوي شيئا
·         Peringkat kelima, Kata yang menunjukkan hadits tidak dapat dijadikan hujjah. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
ضعيف، ضعيف الحديث، منكر الحديث، حديثه منكر، له مناكير، له ما ينكر، مضطرب الحديث، واه، ضعفوه، لا يحتجّ به.
·         Peringkat keenam, Kata yang menunjukkan kelemahan atau talyiin. Kata-kata yang digunakan diantaranya :
فيه مقال، أدنى مقال، ضعف، فيه ضعف، في حديثه ضعف، تنكر وتعرف، ليس بذاك القويّ، ليس بالمتين، ليس بالقويّ، ليس بحجة، ليس بعمدة، ليس بمأمون، ليس من إبل القباب، ليس من جمال المحامل، ليس من جمازات المحامل، ليس بالمرضى، ليس بالحافظ، في حديثه شيء، فلان مجهول،  فيه جهالة، مطعون فيه، فلان سيء الحفظ، فلان ليّن الحديث، فيه لين.
           

  Status hadits perawi pada peringkat pertama hingga peringkat ke empat, dhoif ditolak tidak dapat dijadikan hujjah ataupun syahid[27] maupun dijadikan I’tibar[28]. Status kedhaifannya pun berjenjang sesuai dengan peringkat jarh-nya. Sebagai ilustrasinya, peringkat pertama paling buruk, peringkat kedua dibawahnya begitu seterusnya.  Sedangkan peringkat ke lima dan ke enam, haditsnya dhoif hanya saja lebih ringan dari peringkat sebelumnya. Haditsnya dapat diriwayatkan dan ditulis untuk dijadikan I’tibar.
    Dalam memberikan peringkat jarh, para ahli hadits telah membuat kriteria mujarrih yang dapat diterima tajrihnya. Hal ini mengingat memberikan kesaksian tajrih lebih berat dibandingkan memberikan ta’dil. Karena tajrih kepada seorang perawi berdampak pada penolakan periwayatanya ataupun kualitas buruk kepada perawi seumur hidupnya. Oleh karena syarat seorang mujarrih yang dapat diterima jarh-nya adalah[29] :
  1. Seorang mujarrih adalah orang yang adil yaitu seorag muslim, sudah baligh, berakal, selamat dari hal-hal kefasikan dan yang merusak muruah.Dengan demikian, kewaraan dan ketaqwaannya kepada Allah akan menghindari dirinya dari perbuatan tajrih yang tidak benar.
  2. Seorang mujarrih dikenal sebagai peneliti yang sering berkecimpung dalam penelitian status para perawi.
  3. Seorang muaddil harus mengetahui tentang hal-hal yang dapat menjadikan seorang perawi itu mujarrah dan hal-hal yang dapat menjadikan perawi itu majruh. Ia tidak akan memberikan status kepada perawi kecuali setelah konfirmasi tentang hal-hal yang dapat menjadikannya majruh.
  4. Seorang mujarrih tidak dikenal sebagai seorang fanatik pada mazhab, golongan, daerah maupun lainnya, bagi orang yang di-jarh-kannya atau sebaliknya. Jangan sampai tawtsiq terjadi lantaran kefanatikan, yang menyebabkannya tidak objektif.


Bila terjadi kontradiksi antara At-Ta’dil dan Al-Jarh
    Dan bila sanad suatu hadits terdapat perawi yang kontradiktif statusnya, sebagian muhaditsin menghukuminya tsiqah (ta’dil) dan sebagian yang lainnya menghukuminya dhaif (tajrih), dapat dilakukan beberapa hal:
·         Apakah Jarh-nya itu global, ataupun detail? Jika jarh-nya detail dan ta’dil-nya global, berarti perawi itu majruh (jelek reputasinya) dan riwayatnya ditolak.Sebab dalam kaidah Ilmu Jarh wa Ta’dil disebutkan bahwa jarh yang detail didahulukan atas ta’dil yang global.Karena orang yang menjarh-kannya memberitahukan hal batin yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dilkannya”.[30]
·         Tapi apabila al-jarh-nya global dan at-ta’dil-nya global dapat ditempuh jalan:Pertama, methode kuantitatif, artinya mengumpulkan data-data al-jarh dan at-ta’dilnya, lalu membandingkannya mana yang lebih banyak, orang yang menjarh-kannya ataukah yang men-ta’dilkannya.Dan di sini hukum diambil dari yang terbanyak.Kedua, methode kualitatif, maksudnya menimbang bobot keilmuan antara yang men-jarh-kannya dengan yang men-ta’dil-kannya. Ataupun melihat faktor kedekatan, semisal yang men-ta’dil-kannya adalah muridnya, berarti kita ambil kesaksian muridnya, karena murid lebih tahu tentang pribadi gurunya ketimbang yang lain.Ataupun melihat faktor klasifikasi, maksudnya bila yang men-jarh-kannya dari kelompok ekstrim dalam al-jarh dan yang men-ta’dilkan-nya dari kelompok moderat, maka diambil kesaksian kelompok moderat.[31]
·         Memahami istilah yang dipakai oleh tokoh-tokoh al-jarh dan at-ta’dil dengan seksama.Terkadang seorang Imam menggunakan istilah yang berbeda tapi maksudnya sama dengan yang lain.Sebagai contoh, Imam Bukhori tak pernah menyebut perawi pembohong dengan julukan “pendusta” (Kazzaab) tapi cukup dengan mengatakan “riwayatnya ditinggalkan” (tarakuuhu).Dan contoh lain, Imam Syafi’I bila mengatakan:”Si fulan itu tidak ada apa-apanya” (fulan laisa bi syai’in), ini berarti si fulan itu pembohong.
·         Imam Ibnu Hajar, Imam Suyuthi, dan para pengikutnya mengambil sikap moderat, dengan mengatakan perawi yang kontradiktif statusnya, haditsnya dihukumi dengan hasan.Karena menurut Imam Tahanawy tak ada dua orang pun dari ahli jarh dan ta’dil bersepakat menghukumi “tsiqah” terhadap perawi yang sudah jelas dhaif, begitu juga sebaliknya.[32]
·         Bila suatu hadits yang telah dihukumi dhaif karena dalam sanadnya terdapat perawi yang ‘majhul’, maka dapat merujuk buku-buku Sejarah Perawi (Tarikh Rijalil Hadits) untuk melacak perawi yang majhul itu.Ataupun yang lebih tepat adalah mengumpulkan sanad-sanad hadits tersebut, sebab terkadang perawi yang majhul itu tsiqah maka kita hukumi haditsnya dengan shahih.Karena menurut ahli hadits, hukum terhadap suatu hadits dengan shahih ataupun dhaif sebagai implementasi dari zhohir sanad semata, dan menafikan hukum shahih dari suatu hadits berarti hadits tersebut dhaif atau pun maudhu’.[33]


Penutup
   Dari uraian makalah di atas dapat disimpulkan beberapa konsederasi :
Pertama, kehadiran hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an sudah menjadi konsesus umat Islam. Dengan demikian kelompok yang mengingkari sunnah sebagai dasar hukum syariat, dianggap telah keluar dari ajaran Islam.
Kedua, meskipun hadits sebagai sumber kedua dalam ajaran Islam, namun pada realitanya harus melalui beberapa fase penelitian. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany, telah menetapkan lima kriteria suat hadits dapat diterima.[34] Krieria itu adalah; pertama, sanadnya harus tersambung. Maksudnya antara satu perawi dengan yang lainnya dalam sanad itu merupakan guru dan murid. Kedua, para perawi dalam sanad adalah perawi yang adil. Ketiga, para perawi dalam sanad merupakan orang yang dhobit. Keempat, matannya tidak syaadz. Kelima, matannya juga tidak dijumpai illat.
Ketiga, dari kriteria-kriteria itu kualitas perawi dari sisi kesolehan dan hafalan (adlun-dhobit) mendapat banyak perhatian ahli hadits sejak awal. Hal ini mengingat, kulaitas perawi merupakan ujung tombak mengukur kualitas sanad hadits. Seperti diketahui sanad merupakan bagian penting
Hadits sebelum menyimak matan (teks) hadits. Bila para perawi yang terangkai dalam sanad adalah orang-orang berkualitas, maka hadits itu dapat diterima. Tapi sebaliknya ada seorang perawi saja yang berkualitas buruk pada sanad akan mengakibatkan hadits tersebut ditolak.
Keempat, dalam penilaian kualitas perawi, para ahli hadits telah membuat formulasi kata-kata yang dapat dijadikan indikator reputasi baik maupun reputasi buruk dibakukan dalam satu disiplin ilmu al-jarh dan at-ta’dil. Di sinilah diperlukan ketelitian dan kecermatan seorang peneliti sanad hadits. Karena untuk memberikan kesimpulan akhir tentang kualitas perawi



DAFTAR PUSTAKA

Imam Khatib Baghdady, Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah, Daarul Kutub Ilmiyah, Beirut, 1988.
Imam Syafi’I,  Ar-Risalah, revisi Ahmad Syakir, Maktabah Ilmiyyah, Beirut.
Yusuf Qardlawi, Kaifa Nata’amal ma’a Sunnah Nabawiyyah,  IIIT, USA, cet. V, 1992.
Musthafa Siba’I, Sunnah wa Makaanatuha fii Tasyri’ el-Islaamy, Daarus Salam, Kairo, cet. 1998.
Mustasyar (Konselor) Salim Bahnasawi, Sunnah Muftara ‘alaiha, Daarul Wafa, cet. IV, 1993, Mansurah.
Alfayyumy, Al-Misbah el-Munir, Daarul Fikr.
Ar-Raazy, Mukhtarus Shahaah, Daarul Manaar.
Mana’ el Qaththan, Mabaahits fii ‘Ulumil Hadits, Maktabah Wahbah, Kairo, 1987.
Mahmud Thohaan, Taisiir Musthalahil Hadits, Daarul Turats el-Araby, 1981.
Al-Hakim Abu Abdillah, Ma’rifat ‘Ulumil Hadits, revisi Prof. Dr. Sayyid Mua’dzim Husain, Maktabah Mutanaby, Kairo.
Zainuddin Al-Iraqy,  At-Taqyiid wal Iidhoh Syarh Muqaddimah Ibnu Sholah, , Daarul Fikr.
Jalaluddin Suyuthi, Tadriib Raawi fi Syarhi Taqrib en-Nawawy, Maktabah Daarut Turats, Kairo, Cet. II, 1972.
Ash-Shon’any, Tawdiihul Afkaar, revisi Muh. Muhyiddin, Daarul Fikr.
Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, Ilmu Jarh wa Ta’diil, Diktat Kuliah Fak. Ushuluddin, Jurusan Hadits, Univ. Al-Azhar Kairo, hal.6, cet. Th. 1980.
Imam Nawawi, Syarh Shohih Muslim, , Daarul Hadits, Kairo, cet.I, 1994.
Asad Rustum, Musthalah Tarikh, Maktabah Ashriyyah, cet. II, Beirut.
Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, Turuqut Takhrij Hadits Rasulillah saw,  Daarul I’tishaam.
Abu Zakariya An-Nawawy, Irsyaad Thullab el-Haqaaiq, revisi Dr. Nuruddin Itr, Daarul Basyaair Islamiyyah, Beirut, cet. II, 1991.
Imam Muhammad Abdul Hayyi Al-Laknawy, Ar-Rof’u wa Takmil fil Jarhi wa Ta’dil, revisi Abdul Fattah Abu Ghoddah, Maktab Matbuu’aat Islaamiyyah, Halab, cet. III, 1997.
Muhammad Mahfudz bin Abdillah At-Termasi, Manhaj Zawi Nadzar fii Syarhi Manzuumati Ilmi Atsar Suyuthi, Maktabah Musthofa Al-Baabi el-Halaby, cet. IV, 1985.
Imam Tajuddin As-Subky, Qo’idah fil Jarh wa Ta’dil, revisi Abdul Fattah Abu Ghodah, Daarul Wa’yi, cet. II, 1978.
Imam Muhammad Abdul Hayyi el-Laknawy, Al-Ajwibah el-Faadhilah lil As’ilah el-Asyrah el-Kaamilah, revisi Abdul Fattah Abu Ghodah, Daarus Salam, Kairo, cet.III, 1993.
Imam Tahanawy, Qowaaid fii ‘Ulumil Hadits, revisi Abdul Fattah Abu Ghozah, Darus Salam, Kairo.
Muhammad bin Abu Syuhbah, At-Ta’riif bi Kutubil Hadits Sittah, Maktabatul Ilmi, Kairo.
Muhammad bin Ja’far Al-Kattany, Ar-Risalah al-Mustathrifah,  Dar Kutub Ilmiyyah, Beirut.



* Penulis adalah dosen Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung. S1 dan S2-nya diselesaikan di Universitas al-Azhar Cairo Mesir.
[1] Lihat  Ar-Risaalah Imam Syafi’I, hal. 77, revisi Ahmad Syakir, Maktabah Ilmiyyah, Beirut.
[2] Masalah ini dapat dilihat dalam buku-buku Musthalah hadits, dalam bab sejarah kodifikasi sunnah Rasul.
[3] Taysiir Mustalahul hadits, Dr. Mahmud Thohan, hal. 28, Daarut Turats Araby.
[4] Misbahul Munir, Al-Fayyumi, hal.95, Dar Fikr.
[5] Lihat, Ilmu Jarh wa Ta’diil, Prof. Dr. Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, Diktat Kuliah Fak. Ushuluddin, Jurusan Hadits, Univ. Al-Azhar Kairo, hal.41, cet. Th. 1980
[6] Ungkapan kiasan bahwa Abu Jahm ringan tangan dalam mendidik istri.(Al-Muntaqa syarhul Muwatho)
[7] Lihat, Kamus Mukhtar Shohah, Ar-Razy, hal. 200, Dar mannar; Misbahul Munir, Al-Fayyumi, hal.396, Dar Fikr.
[8] Dr. Abdul Muhdi, Opcit. hal. 17-18.
[9] Ibid. hal. 20.
[10] Lihat Al-Kifayah fi Ilmi Riwayah, Al-Khotib Al-Baghdady, hal. 86-88, Dar Kutub Ilmiyah, Beirut.
[11] Hadits ini lengkapnya:
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحيف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين
”Yuhmalu hadza ilmu min kulli kholfin uduluhu, yanfauna anhu tahriiful ghooliin, wantihaalul mubthiliin, wa ta’wiilul jaahiliin”.Lihat Tadriib Rawi, Jalaluddin As-Suyuthy, Jilid 1 hal. 302, Maktabah Dar Turats, Kairo.
[12] Abdul Muhdi, Opcit, hal.10
[13] Ibid. hal.6.
[14] Muqaddimah Shohih Muslim, Bab Bayaan annal Isnad minad Diin, hal.119, Jilid I, Daarul Hadits, Kairo, cet.I, 1994.
[15] Ibid. hal. 120.
[16] Ibid. hal. 119
[17] Surat Al-Hujuuraat, ayat 6.
[18] Hadits ini adalah mutawaatir lafdzi, diriwayatkan lebih dari 70 sahabat, lihat Tadrib Raawi, Bab Mutawaatir (Masyhur), hal.177-178/Jilid II.
[19] Musthalah Tarikh, Dr. Asad Rustum, hal. 67-83, Maktabah Ashriyyah, cet. II, Beirut.
[20] Lihat Turuqut Takhrij Hadits Rasulillah saw, karya Prof. Dr. Abdul Muhdi bin Abdul Qadir, hal.49-50, Daarul I’tishaam.
[21] Syarat ‘dhabt’ perawi ini akan sering dijumpai dalam buku-buku Musthalah Hadits pada umumnya dalam bab syarat-syarat hadits shahih, seprti Tadrrib Raawi, Tawdiihul Afkaar, dll.
[22] Ar-Risalah al-Mustathrifah, Al-Kattany, hal.104-105, Dar Kutub Ilmiyyah, Beirut.
[23] Ibid. hal. 114-115.
[24] Lihat Manhaj Zawi Nadzar fii Syarhi Manzuumati Ilmi Atsar Suyuthi, Muhammad Mahfudz bin Abdillah At-Termasi, hal. 11, Maktabah Musthofa Al-Baabi el-Halaby, cet. IV, 1985.
[25] Muaddil/Muzakki adalah orang yang memberikan kata-kata tawtsiq atau ta’dil kepada perawi hadits sesuai peringkatnya, sebagai indikator kualitasnya.
[26] Lihat Mustasyfa min ilmil ushul, Al-Ghozali, 1/163, Raudhotun Nadhir, Ibnu Qudamah, hal-59-60.
[27] Suatu hadits dikatakan syahid bagi hadits yang lain bila matannya sama atau pun bermakna sama diriwayatkan dari perawi sahabat yang lain.
[28] I’tibar adalah menelusuri jalur-jalur periwayatan suatu hadits dalam buku-buku hadits, apakah memiliki asal atau tidak.
[29] Ilmu al-jarh wat ta’dil, Dr. Abdul Muhdi Abdul Qadir, hal. 53.
[30] Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Qo’idah fil Jarh wa Ta’dil, Imam Tajuddin As-Subky, revisi Abdul Fattah Abu Ghodah, hal. 9-68, Daarul Wa’yi, cet. II, 1978 dan lihat pula Ilmu Jarh wa Ta’dil, Dr. Abdul Muhdi, hal. 64-68.
[31] Lihat Al-Ajwibah el-Faadhilah lil As’ilah el-Asyrah el-Kaamilah, Imam Muhammad Abdul Hayyi el-Laknawy, revisi Abdul Fattah Abu Ghodah, Jawaban pertanyaan IV, hal. 161-181, Daarus Salam, Kairo, cet.III, 1993.
[32] Lihat Qowaaid fii ‘Ulumil Hadits, Imam Tahanawy, revisi Abdul Fattah Abu Ghozah, hal. 74-78.
[33] Lihal Ar-Rof’u wa Takmiill, Abdul Hayy Laknawi, hal.189-198.
[34] Lihat, Syarh Nukhbatul Fikr, Ibnu Hajar Al-Asqalany, hal. 7, Mustafa Al-Baaby Halaby, Kairo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar