KONTROVERSI HADIS YANG DIANGGAP MISSOGINIs[1]
Oleh:
E n i z a r [2]
A. Pendahuluan
Bagi umat Islam,
semenjak datangnya Islam, Rasulullah Saw. telah memberikan beberapa tuntunan
dalam relasi laki-laki dan
perempuan. Ketika menyampaikan aturan tersebut kadang
ada sebab, situasi dan kondisi yang menyebabkan munculnya hadis Rasul. Di
samping itu, Rasul punya metode sendiri dalam menyampaikan hadis dengan
menggunakan bahasa atau perumpamaan yang membuat paham para pendengarnya.
Meskipun sudah
dilakukan seleksi hadis yang sangat luar biasa oleh ulama hadis, namun ada
beberapa hadis Rasulullah Saw. dipahami oleh peneliti atau penulis sebagai
hadis missoginis (membenci perempuan).
Pemahaman tersebut tentu saja perlu dikaji ulang karena tidak didukung
oleh data sejarah dan ajaran dasar al-Qur’an.
Apabila ketentuan
Rasul tidak sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, maka pasti hadis tersebutlah yang
bermasalah dan perlu diragukan. Namun, apabila
hadis yang dianggap missoginis tersebut setelah melalui kritik ekternal
(sanad) dan kritik internal (matan) hadis tersebut dinilai sahih oleh para
ulama hadis, maka perlu pemahaman yang benar terhadap hadis.
B. Hadis Rasulullah yang Dianggap Missoginis
Ada beberapa hadis
yang missoginis yang akan diungkap dalam bahasan ini dan sebagian besar terkait
dengan relasi laki-laki dan perempuan.
1. Hadis Tentang Perempuan Dari Tulang Rusuk
عن ابى هريرة
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم استوصوا بالنساء فان المرئة خلقت من ضلع وان
اعوج شيئ فى الضلع اعلاه فان ذهبت تقيمه كسرته وان تركته لم يزل اعوج فاستوصوا بالنساء
[3]
Abu Hurairah berkata bahwa Rasul
bersabda:’ Nasihatilah perempuan dengan nasihat yang baik. karena
sesungguhnya ia diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok
adalah yang atas, yang jika engkau meluruskannya dengan paksa maka akan
mematahkannya tetapi jika dibiarkan akan tetap bengkok. Maka nasihatilah
perempuan itu dengan ansihat yang baik.”
Pemahaman tersebut
diperkuat dengan penafsiran terhadap QS. Al-Nisa’ ayat 1. Dalam ayat
tersebut terdapat frase من نفس واحد ditafsirkan dengan menyatakan bahwa Hawa tercipta dari
tulang rusuk Adam.[4] Penafsiran ini membawa persepsi bahwa Perempuan
adalah bagian dari pria.
Dalam hadis di atas,
terdapat pernyataan Rasul bahwa “perempuan diciptakan dari tulang rusuk, yang
paling bengkok adalah yang paling atas”, menurut hemat penulis maksud hadis
tersebut bukan menjelaskan asal kejadian perempuan,[5] karena konteks hadis ini bukan tentang
masalah kejadian perempuan. Akan tetapi, topik yang dibicarakan dalam hadis
tersebut adalah tentang cara mendidik perempuan. Dalam memberikan pendidikan
terhadap perempuan harus dengan cara yang lemah lembut, jangan dengan cara
kekerasan ataupun bentakan.
Menurut Quraish Shihab, maksud hadis itu adalah bahwa
perempuan mempunyai sifat, karakter dan kecendrungan yang tidak sama dengan
pria. Bila hal ini tidak disadari, akan
menjadikan pria bersikap tidak wajar.
Meskipun pria sudah berusaha, mereka tidak akan mampu mengubah karakter
dan sifat bawaan perempuan, seperti tidak berhasilnya meluruskan tulang yang
bengkok.[6]
Oleh sebab itu, memahami sebagian hadis itu saja,
membawa konsekwensi pemahaman yang rancu.
Topik pembahasan Nabi adalah memberi pelajaran atau pengarahan yang
khithabnya ditujukan kepada laki-laki. Pemahaman tekstual, dengan demikian,
tidak ada relevansinya dengan asal kejadian perempuan. Untuk lebih jelas dapat
dilihat hadis riwayat Muslim dari jalur lain berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ
لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا
وَبِهَا عِوَجٌ وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا [7]
Dari hadis yg digarisbawahi
“Jika engkau memaksa meluruskannya
engkau mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya”. jika hadis ini
dikaitkan dengan hadis pertama, maka konteksnya bukan pada asal kejadian tetapi
pada perintah kepada suami untuk menasihati isteri dengan cara yang tepat.
1.
PEREMPUAN TDK BISA
JADI PEMIMPIN
عن ابى بكرة ان رسول
الله قال
: لن
يفلح قوم ولو أمر هم امرأة [8]
Dari Abu Bakrah Rasulullah bersabda:
suatu kaum tidak akan sukses jika kepemim pinannya diserahkan kepada perempuan.
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis
diatas: perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.
Hal itu didasarkan kepada Q.S. al-Nisa’/4:34 Pada umumnya mufassirin
menyatakan, bahwa qawwam dalam ayat artinya pemimpin, pelindung,
penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain.[9]
Dilihat dari teks hadis yang ada, tanpa memperhatikan sebab wurudnya,
dipahami bahwa perempuan tidak dapat
menjadi pemimpin. Tetapi jika
diperhatikan sebab wurud hadis dan sosial masyarakat pada waktu itu, yaitu biasanya, yang diangkat sebagai pemimpin
laki-laki. Pada waktu itu diangkat perempuan,
karena saudara laki-lakinya telah meninggal akibat perebutan kekuasaan.[10]
Dilihat dari sosial masyarakat waktu itu, perempuan jauh di bawah laki-laki. Perempuan pada masa itu tidak dipercaya sama
sekali untuk mengurus kepentingan masyarakat apalagi pemerintahan dan mereka
tidak dihargai. Bagaimana akan sukses
kepemimpinannya di tengah-tengah suasana
seperti itu. Menjadikan QS. Al-Nisa’/4:34 sebagai dasar juga terbatas
pada wilayah keluarga terlihat dari dasar kenapa laki-laki jadi qawwam karena
ada kelebihan yang diberikan Allah kepada suami dan karena suami memberikan
nafkahnya kepada isteri.
Pada saat perempuan sudah berpendidikan sama seperti laki-laki, dan
mereka mendapatkan penghargaan, apa salahnya menduduki jabatan sebagai
pemimpin.
2. Perempuan Kurang Akal Dan Agama
Perempuan diberikan kesempatan yang
sama oleh Rasul dalam pelaksanaan pendidikan. Pada zaman Rasulullah Saw.
perempuan diberikan waktu untuk mendapatkan pendidikan dari Rasul. [11] Bahkan
Rasul memberikan kesempatan yang sama kepada isteri beliau terutama ‘Aisyah
untuk berkiprah dalam dunia pendidikan.
Dalam banyak hadis, Rasul
mendelegasikan kepada ‘Aisyah untuk memberikan penjelasan kepada para sahabat
yang mau belajar kepada Rasul.[12] Begitu
juga halnya dalam kegiatan keagamaan, seperti melaksanakan haji. Setelah
‘Aisyah diberi tahu oleh Rasulullah Saw. bahwa jihad perempuan adalah
mengupayakan ibadah hajji mabrur, sejak saat itu Aisyah tidak pernah
meninggalkan haji, dan tidak ditemani oleh Rasulullah Saw. dan Rasulullah Saw.
memberikan kesempatan kepada ‘Aisyah. [13]
Bahkan ketika perempuan minta untuk
diikutsertakan dalam berjihad pun Rasul memberikan izin kepada perempuan untuk
ikut serta di medan perang, bahkan ada seorang perempuan yang tidak hanya dapat
melawan musuh satu orang tetapi ia dapat mengalahkan sampai 13 orang musuh Islam.[14] sebagai
perawat korban yang terluka, menyediakan makanan dan minuman untuk para mujahid
dan membantu menjaga perlengkapan.[15] Meskipun Rasul agak sedikit menyarankan agar
tidak usah berangkat. Hal itu bukan
disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan tidak mampu, tetapi kekhawatiran Rasul
akan adanya persepsi pihak lawan memandang bahwa Rasul menjadikan perempuan
sebagai tameng dalam perang. .[16] Pada masa
itu ada anggapan bahwa suatu kelompok dikatakan tidak satria jika di dalamnya
terdapat perempuan.
Hadis berikut ini dipahami sebagai
pernyataan Rasul bahwa perempuan kurang akal atau kurang rasional :
يا معشر النساء تصدقن فانى اريتكن اكثر اهل النارفقلن
وبم يا رسول الله قال تكثرن اللعن و تكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل و دين اذهب
للب الرجل الحازم من احداكن قلن وما نقصان دينناوعقلنا يا رسول الله قال اليس شهادة
المرأة مثل نصف شهادة الرجل قلن بلى قال فذلك من نقصان عقلها اليس اذا حاضت لم تصل
ولم تصم قلن بلى قال فذلك من نقصان دينها [17]
Dalam
hadis panjang diatas berisi dialog
antara Rasul dengan sahabiah. Ketika
Rasul memerintahkan agar perempuan bersedekah.
Rasul menyatakan bahwa kebanyakan ahli neraka terdiri dari perempuan. Ketika ditanya penyebabnya, salah satu jawaban yang diberikan Rasul adalah karena perempuan
kurang akal dan agamanya. Kenapa kurang akal, Rasul menjawab karena kesaksian
dua perempuan sama dengan satu pria.
Kurang agama, karena perempuan haid atau menstruasi tidak melaksanakan salat dan puasa.
Ashgar Ali
Engineer mengemukakan dalam bukunya bahwa hadis diatas maudhu’.[18]
Padahal ulama hadis menyatakan hadis ini sahih. Karena alasan tersebut disampaikan oleh Nabi agar perempuan
mau bersedekah, sebagai pengganti dari kekurangannya itu. Dikaitkan dengan kesaksian, jika perempuan
telah memberikan sedekah berarti telah terjadi hubungan antar individu, ada
yang memberi dan ada yang menerima. Hal
itu menyebabkan perempuan mempunyai wawasan luas.
Memahami hadis
secara tekstual, bertentangan dengan fakta sejarah dan ketentuan agama. Pada
masa itu banyak perempuan yang menonjol pengetahuannya dan kuat agamanya. Seperti Khadijah, ‘Aisyah [19]
dan sahabiyat lainnya. Jika
meninggalkan ibadah karena alasan menstruasi dinyatakan sebagai dasar kurang
agama, maka perempuan haid tidak akan dilarang melakukan salat, puasa, dan
membaca al-Qur’an (bagi yang berpendapat bahwa perempuan haid tidak boleh
menyentuh mushaf) Perempuan tidak salat dan tidak puasa ketika haid karena
mengikuti aturan agama. Menurut hemat penulis, semua ini berhubungan dengan
metode Rasul memberikan perintah/anjuran sehingga perintahnya dilaksanakan
dengan ikhlas.
Oleh sebab
itu, pemahaman terhadap hadis dilakukan secara kontekstual, bukan
tekstual. Ini untuk menghindari diri
dari menganggap palsu hadis yang sahih.
3. Perempuan Lebih Baik Salat Di Kamar Tidurnya
وصلاتك
في بيتك خير من صلاتك في حجرتك وصلاتك في حجرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك
خير من صلاتك في مسجدي [20]
“Salatmu di ruang tidurmu lebih baik dari pada
salatmu di ruang rumah yang lain, salatmu di ruang rumah yang lain lebih baik
dari salatmu di serambi rumahmu, salatmu di serambi rumahmu lebih baik dari
salatmu di masjidku.”
Banyak hadis yang menyatakan bahwa
perempuan ikut shalat berjama’ah bersama Rasul di mesjid. Dalam menjalankan
ibadah, Rasul tidak melarang perempuan untuk ikut dalam jama’ah shalat.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائذنوا للنساء
بالليل الى المسجد [21]
Dalam hadis ini shalat Isya dan
Subuh, yang dilaksanakan pada malam hari pun Rasul memberikan tempat untuk
perempuan. Sangat banyak hadis yang menyatakan bahwa di antara jama’ah shalat
terdapat makmum perempuan di belakang laki-laki.[22] Memang ada larangan perempuan memakai parfum
ke mesjid. [23] Ada kekhawatiran ‘Umar tentang kebolehan
perempuan di mesjid yang diungkap dalam sebuah hadis, yang menyatakan bahwa
tingkah laku perempuan yang tidak benar ketika berangkat ke dan di mesjid dapat
berakibat dilarangnya perempuan datang ke mesjid. Berbeda dengan masa
sebelumnya, perempuan dilarang datang ke rumah ibadah.[24] Islam tidak melarang, tetapi Rasul hanya
memberikan persyaratan kepada perempuan yang datang ke mesjid pada waktu malam
untuk tidak menggunakan minyak wangi.
Bahkan beliau dengan tegas menyatakan bahwa perempuan yang terlanjur
memakainya agar pulang dan mandi seperti pelaksanaan mandi janabah.[25] Dengan
aturan yang diberikan itu terlihat bahwa perempuan ikut berpartisipasi dalam
pemakmuran mesjid dan pengembangan ilmu pengetahuan.
4. Perempuan sebagai penggoda
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى امْرَأَةً فَأَتَى امْرَأَتَهُ زَيْنَبَ وَهِيَ تَمْعَسُ
مَنِيئَةً لَهَا فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى أَصْحَابِهِ فَقَالَ إِنَّ الْمَرْأَةَ
تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ فَإِذَا أَبْصَرَ
أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ [26]
Rasululullah
melihat seorang perempuan lalu Beliau pulang
ke isterinya, dan melakukan keinginannya. Setelah itu, Beliau menyampaikan
kepada Sahabat Bahwa Perempuan depannya dalam bentuk syetan dan belakang dalam
bentuk syetan jika kamu melihat perempuan pulanglah ke isterimu, karena itu dapat
menghilangkan sesuatu yang ada pada dirimu
Berdasarkan hadis di atas Rasulullah
tidak menyamakan perempuan dengan syetan, tetapi seperti yang sudah diketahui
oleh masyarakat secara umum bahwa syetan akan melancarkan senjatanya untuk
menggoda manusia, maka Rasul menggunakan itu dalam menyampaikan maksudnya. Dalam hadis konteksnya ketika seorang yang
sudah menikah merasa tertarik dengan perempuan yang dilihatnya, Rasul
menganjurkan untuk menemui isterinya. Perempuan mempunyai daya tarik baik dari
depan atau dari belakang.
5. Isteri sujud kepada suaminya
فلا
تفعلوا لوكنت أمرا أحدأ أن يسجد لبشر لأمرت النساء أن تسجد ن لأزواجهن لما جعل الله
لهم عليهن من الحق [27]
“Jangan kamu lakukan itu.
Sekiranya aku boleh memerintahkan pada seseorang untuk sujud pada manusia maka
sungguh akan aku perintahkan kaum perempuan untuk sujud pada suami-suami mereka
karena (besarnya) hak mereka terhadap istrinya”.
Kaum
feminis menilai hadis di atas merendahkan martabat kaum perempuan, karena
diperintahkan isteri sujud pada suami. Pada hal kalau dilihat Hadis secara
keseluruhan, ada beberapa sebab munculnya(sabab al-wurud), adalah:
a. ketika
Qays ibn Sa’ad yang baru pulang dari Hiyarah menuju Madinah. Saat bertemu Nabi
SAW dia langsung sujud, karena di Hiyarah
ia melihat orang-orang sujud pada Rabi-Rabi mereka.
b. Ketika
Mu’az bin Jabal datang ke Syam melihat orang Nasrani sujud kepada pastor
c. Hadis
dari ‘Aisyah ketika Rasul melakukan perjalanan bersama Anshar dan Muhajirin,
mereka melihat binatang ternak yang dilewati oleh rombongan Rasul sujud kepada
Rasul.
Qays, Mu’az dan para sahabat yang
melihat realitas yang terjadi, Mereka menganggap bahwa Rasulullah lebih berhak untuk
disujudi,Rasul melarang sujud kepadanya. Lalu Nabi SAW langsung menyabdakan
hadis diatas. Berdasarkan
latar belakang hadis tersebut di atas dan realitas yang ada di zaman Rasul,
tidak ada perintah Rasul kepada isteri untuk sujud kepada suaminya. Dari hadis ini ada kalimat “seandainya boleh
manusia sujud kepada manusia lain, maka bukan sujud kepada Rasul tetapi kepada
suami”, ini menunjukkan Islam melarang manusia sujud kepada manusia.
6. Isteri Harus Melayani Biologis Suami
Ada hadis yang sering dipahami
sebagai pemaksaan terhadap isteri untuk melayani kebutuhan seksual suaminya.
Adanya ancaman dilaknat malaikat bagi isteri yang enggan melakukan hubungan
seksual dengan suaminya berikut ini:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَاتَتِ
الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
[28]
Menurut riwayat
di atas, isteri yang tidak mau diajak oleh suami untuk melayani kebutuhan
biologisnya akan mendapatkan laknat malaikat sampai shubuh. Hadis ini dalam konteksnya bukan
untuk memaksa, karena ada perintah yang ditujukan kepada suami untuk mempergauli
istri dengan cara yang baik/wajar. Agaknya aturan ini merupakan bentuk
kekonsistenan ajaran Islam yang menganjurkan untuk menikah agar terhindar dari
zina.[29] Di samping itu, sebelum Islam orang
mempunyai isteri tidak terbatas jumlahnya, tetapi setelah Islam datang Rasul
membatasi maksimal empat orang dengan persyaratan yang sangat ketat. Jika
dengan isteri yang sudah terbatas tersebut suami tidak dapat memenuhi kebutuhan
seksualitasnya maka dapat membuka peluang terbukanya pintu perzinaan.
7. Isteri Ibadah Harus Seizin Suami
Sama juga halnya dengan hadis
tentang larangan puasa sunat tanpa izin suami berikut ini:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا
تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ يَوْمًا مِنْ غَيْرِ شَهْرِ رَمَضَانَ
إِلا بِإِذْنِهِ [30]
Dalam
riwayat di atas, ketika suami berada di rumah si isteri tidak dapat melakukan
puasa sunat kecuali atas izin suaminya. Diketahui bahwa puasa merupakan ibadah
yang tidak membolehkan hubungan seksual suami isteri.
Hadis di atas tidak dapat dipahami
tekstual, dengan pemahaman bahwa jika suami melarang isteri melakukan ibadah si
isteri tidak boleh melakukannya. Teks hadis terkesan seakan-akan bahwa untuk
melakukan ibadah saja harus dengan izin suami. Pemahaman seperti ini
memperlihatkan bahwa suami menduduki posisi sangat tinggi dibandingkan isteri.
Di samping itu, perlu juga
diperhatikan kosa kata syahid dalam hadis menunjukkan bahwa konteks
hadis ini pada suami yang biasanya
sering tidak berada di rumah atau sering bepergian. Apalagi pada masa Rasul
kepergian suami ke luar daerah untuk mencari nafkah, dan berperang di tempat lain yang jauh dari
rumah, maka sangat tepat jika dalam kondisi seperti itu, perlu izin suami untuk
melakukan puasa sunnat. Karena ia hanya
punya waktu yang tidak banyak berada bersama keluarganya.
8. Isteri Tdk Boleh Minta Cerai
عَنْ
أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ
فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ [31]
Hadis ini sering digunakan untuk
melegitimasi perempuan agar merasa takut dengan ancaman tidak akan mendapatkan
surga, bahkan tidak mendapatkan baunya, sehingga perempuan akhirnya menerima
dengan terpaksa perlakuan apapun dari suaminya. Dalam hadis terdapat ancaman
bagi isteri yang meminta cerai dari suaminya tidak mendapatkan bau surga.
Namun, di akhir hadis itu
dinyatakan bahwa yang tidak mendapatkan
bau surga itu adalah permintaan cerai yang tanpa sebab yang dibolehkan. Hal itu
diatur pula dalam hadis tentang khulu’, jika tidak memungkinkan lagi untuk
bersama, Islam memberikan hak terhadap isteri untuk mengajukan permohonan cerai.
Hadis tentang kebolehan perempuan
mengajukan permohonan cerai
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ
مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي
الإِسْلامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
[32]
Ibn Abbas menceritakan bahwa isteri
Tsabit bin Qais mendatangi Rasulullah
dan mengungkapkan: ya Rasulullah
Tsabit bin Qais saya tidak merasa 'aib dengan perangai dan tidak pula
dengan keberagamaannya, tetapi saya akan terpaksa kafir dalam keislaman, maka
Rasulullah bersabda: apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya ?, saya
mengatakan ya, ya Rasulullah, lalu Rasulullah bersabda terimalah kebun dan
ceraikanlah ia.
Hadis
ini muncul karena ada sebab wurud, yaitu peristiwa yang dihadapi oleh seorang
isteri yang tidak mau dalam rumah tangganya akan mengarahkan ia kafir dalam
Islam. Malah ia tidak merasa keberatan terhadap akhlak dan
keberagamaan suaminya. Dalam riwayat lain, ada penyebabnya yaitu tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh suaminya terhadap diri perempuan, sampai
tangannya patah.[33]
Dari peristiwa yang dialami oleh si isteri, terlihat
bahwa masalah dalam keluarga yang telah mengarah pada kekerasan fisik atau
perempuan tidak sanggup lagi untuk melanjutkan dan suami tidak melepaskan, maka
si isteri diberi hak untuk mengajukan diri bebas dengan ganti rugi. Yang dalam Islam dikenal dengan
istilah khulu'. [34].
Peristiwa/masalah dalam keluarga yang dapat dijadikan
alasan untuk mengajukan khulu' dalam hadis adalah adanya kekhawatiran si isteri
kafir dalam Islam, yaitu dia tidak mungkin dapat melakukan kewajibannya sebagai
isteri dan tidak mungkin dapat hidup bersama. Dapat juga bermakna, perempuan diberi hak untuk
mengajukan khulu’, jika suaminya tidak memberikan haknya sebagai isteri.
9. Isteri Harus Ada Muhrim
Dalam
sebuah hadis, Rasul bersabda:
عَنْ ابنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا
وَخَرَجَتِ امْرَأَتِي حَاجَّةً قَالَ اذْهَبْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ [35]
Ibn Abbas mendengar Rasul bersabda:’
Janganlah berdua-duaan laki-laki dan perempuan, dan janganlah perempuan
melakukan perjalanan, kecuali bersamanya ada muhrimnya. Seorang berdiri dan berkata, ya Rasul saya
diwajibkan mengikuti peperangan itu dan itu, dan isteriku menunaikan ibadah
haji, Rasul menjawab: pulanglah dan berhajilah bersama isterimu.
Hadis di
atas memberikan keterangan bahwa perempuan harus selalu didampingi oleh
mahramnya. Ini bukan berarti bahwa perempuan tidak mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan. Akan tetapi, demi untuk
menjaga perempuan dari berbagai kemungkinan.
Perlu diingat bahwa pada masa itu, perjalanan jauh menggunakan unta
sebagai alat transportasi dan medan yang dilalui begitu sulit, serta ditempuh
dalam waktu yang cukup panjang. Sehingga
membutuhkan untuk tidur di tenda sepenjang perjalanan. Dapat dibayangkan
perjalanan seperti itu mempunyai resiko bagi perempuan, yang sendiri, tanpa
mahram. Untuk zaman sekarang pun banyak bukti betapa faktor eksternal yang akan
membahayakan perempuan.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Hadis yang
dianggap missoginis sebagian besar dinilai sahih oleh oleh muhaddisun. Dari
beberapa contoh hadis yang dianggap missoginis tersebut ternyata ada pemahaman
terhadap hadis yang bias gender, dengan menonjolkan relasi gender atau relasi antara
laki-laki dan perempuan yang tidak berimbang.
Pemahaman tersebut
disebabkan oleh dua hal :
1. Tidak tematis, hadis yang
membicarakan masalah yang sama tidak dijadikan dasar dalam memahami pesan.
2. Pemahaman tekstual dengan
mengabaikan asbab wurud hadis atau situasi dan kondisi yang mengitari ketika
hadis itu diwurudkan. Di samping itu, mengabaikan uslub dan metode Rasul dalam menyampaikan hadis. Bahkan
bukan itu saja, adanya pemenggalan pemahaman terhadap teks dalil.
3. Dampak dari pemahaman tersebut
adalah: pemahaman yang keluar dari konteksnya sehingga hadis sahih kemudian
dinilai maudhu’
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Daud, Sulaiman bin
al-Asy’as al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 2,3, Indonesia, Maktabat
Dahlan, t.t.,
Ahmad bin Hanbal, Musnad
al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut, Dar al-Fikr, t.t.,
Anonim, Perjanjian
Lama-Baru, Jakarta, Lembaga al-Kitab, 1979
Al-Asqalani, Syihab al-Din
Abi al-Fadl Ahmad ibn Ali ibn Hajr,
Al-Ishabah
fi Tamyiz al-Shahabah, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1409 H./ 1989 M.) juz 8,
____________, al-Maqashid
al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, (Beirut:
Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M), h. 200
____________, Tahazib
al-Tatahzib, (India: Dairah
al-Ma’arif Ni§amiyah, 1326 H).
Ashgar Ali
Engineer, The Right of Women in Islam, diterjemahkan oleh Farid
al-Wajidi dan Cici Fakhra Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam,
Jakarta, LSPPA, 1994
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Isma’il, Shahih al-Bukhari, juz 1,3, Indonesia, Maktabat
Dahlan, t.t,
Al-Darimi, Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman,
bin aal-Fadhl, bin Bahram al-, Sunan al-Darimi, juz II, Indonesia,
Maktabat Dahlan, t.t.
Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim, Singapura,Sulaiman Mar’i, 1985
Ibn Majah, Abu ‘Abdullah bn Yazid
al-Qazwini, Sunan Ibn Majah, juz I, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Jalal al-Din
‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadis aw al-Lam’ fi
Asbab al-Hadis, Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, 1404/1984
Malik bin Anas,
al-Muwaththa’ Beirut: Dar al-Fikr, 1970.
Al-Mazi, Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-, Tahzib
al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, juz III
, Beirut: Dar al-Fikr, 1414/ 1994.
Muslim, Abu al-Husain
bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t.,
Al-Nasa’I, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib al-, Sunan
al-Nasa’i, juz IV, Semarang, Thoha Putra, t.t
Al-Qari, ‘Ali bin Sulthan Muhammad
Al-, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, juz VI, Beirut: Dar
al-Fikr, 1412/1992, h. 403.
Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an, Fingsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung,
Mizan, 1992.
Al-Qurthubi, Jami’ li
al-Ahkam al-Qur’an, juz I, Kairo, dar al-Qalam, 1966
Ridha, Rasyid,
Tafsir al-Manar, jilid IV, Mesir, al-Haiah al-Mishriyyah li al-Kitab,
1973
Al-Saharanfuri, Khalil Ahmad al-, Bazl
al-Juhud fi Hall Abi Daud, juz X, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat,
t.t..
Taufiq ‘Ali Wabah, Al-Jihad fi
al-Islam Dirasat Muqarat bi Ahkam al-Qanun al-Duwali al-’Am, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1981
M./1401 H
Al-Thaba’thaba’i, Muhammad Husain al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, juz
V, Beirut: Muassasat al-A’lami li al-Mathbu’at, 1411/1991,
Al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Tsaurat al-Turmuzi, Sunan
al- Turmuzi (Jami’ al-Shahih), Indonesia, Dahlan, t.t.,
al-Zamakhsyari,
al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil
wa Uyun al-Aqawil, jilid I,
Beirut, Dar al-Fikr, 1977, h. 492
[1] Workshop Kajian Tafsir dan Hadis,
Bandar Lampung, 26 Nov.2012, Hasil penelitian 2001, pernah disampaikan pada
Seminar Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Rabu 21 Desember 2007 Pemerintahan Kota
Metro.
[2] Guru Besar Hadis/ilmu Hadis di STAIN
"Jurai Siwo" Metro
[3] al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, jilid III, juz
VII, h. 34. Muslim, Shahih Muslim, jilid I, h. 625, Al-Darimi , Kitab Nikah,
Bab ke 35; dan Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, jilid V hadis ke 8. Para ulama hadis menilainya shahih.
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsir min
al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H),
h. 200.
[4] Penafsiran seperti ini berkembang
di kalangan mufassir klasik seperti al-Qurthubi, Jami’ li al-Ahkam
al-Qur’an, juz I, Kairo, Dar al-Qalam, 1966, h. 301, Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim, Singapura,Sulaiman Mar’i, 1985, h. 448,
al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa
Uyun al-Aqawil, jilid I, Beirut, Dar al-Fikr, 1977, h. 492, dan
banyak lagi yang lain.
[5] Wanita dari tulang rusuk terdapat
dalam Perjanjian Lama kitab Kejadian II
ayat 21-22, yang isinys: Maka didatangkan Tuhan Allah atas Adam itu tidur yang
lelap, lalu tertidurlah ia. Maka diambil
Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya di tempat itu dengan
daging. Maka dari tulang yang telah
dikeluarkannya dari dalam itu diperbuat Tuhan seorang perempuan. Lalu dibawanya akan dia kepada Adam. Lihat Perjanjian
Lama-Baru, Jakarta, Lembaga al-Kitab, 1979, h. 9. Menurut Rasyid Ridha, ide
penciptaan wanita dari tulng rusuk tampaknya timbul dari Perjanjian Lama. Seandainya kisah itu tidak tercantum di sana,
niscaya pendapat itu (wanita dari tulang rusuk) tidak akan pernah terlintas
dalam benak seorang muslim yang selalu
membaca al-Qur’an. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jilid
IV, Mesir, al-Haiah al-Mishriyyah li al-Kitab, 1973, h. 330.
[6] Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat, Jakarta, Mizan, 1996, h. 300.
[7] Muslim, loc.cit
[8] Al-Bukhari,
juz IV, h. 228, al-Turmuzi, juz III, h. 360 dan Ahmad bin Hanbal, jilid
V, h. 38, dan 47.
[9] Ar-Razi, At-Tafsir
Al-Qur’an-Kabir, Juz X, h. 88, Az-Zamakh Syari, Al-Qur’an-Kasysyaf,
Juz I, h.523, Ath-Thabathaba’i, Tafsir Al-Qur’an-Mizan, Juz IV, h. 351
[10] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi
Bakar al-Suyuthi, Asbab Wurud al-Hadis aw al-Lam’ fi Asbab al-Hadis, Beirut,
Dar al-Kutub al-’Ilmiyyat, 1404/1984, h. 82-84.
[11] Ada seorang sahabiyah yang protes
karena setiap majelis ilm yang diadakan Rasul diikuti oleh laki-laki saja. Lalu
Rasul memberkan kesempatan kepada mereka untuk membuat jadwal sesuai dengan
waktu yang mereka sepakati bersama.
[12] ‘Aisyah merupakan guru dari sahabat
lain dan tabi’in . Ketika Rasulullah
masih hidup pun beliau memrintahkan agar sahabat menanyakan masalah tertentu
kepada ‘Aisyah. Dalam sebuah hadis,
Rasul mengemukakan kelebihan yang dimiliki oleh ‘Aisyah sebagai berikut : Ambillah setengah dari agamamu dari
Humaira’. Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah
mempunyai kelebihan bahkan dari sahabat laki-laki pun
[13] al- Bukhari, juz 1., h. 712.
[14] Taufiq ‘Ali
Wabah, Al-Jihad fi al-Islam Dirasat Muqarat bi Ahkam al- Qanun al-Duwali al-’am, (Riyad: Dar al-Liwa’, 1981 M./1401 H.), h.118-121.
[15] Ibid., h. 117-118.
[16] Ahmad bin Hajar
al-’Asqalani, Al-Işabah
fi Tamyiz al-Şaĥābaṯ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H./ 1989 M.) juz 8, h. 235.
[17] al-Bukhari,
Jilid I, h. 83 dan Muslim, jus 1, h. 48, Abu
Dawud, Sunan Abi Dawud, jilid 2, juz 4, h. 219-220, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 2, h. 1326-1327;
Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, jilid II, h. 67, 373, dan 374.
Mayoritas ulama menghukumi hadis ini shahih
[18] Ashgar Ali Engineer, The Right
of Women in Islam, diterjemahkan oleh Farid al-Wajidi dan Cici
Fakhra Assegaf, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Jakarta, LSPPA, 1994, h.
112.
[19]
‘Aisyah merupakan guru dari sahabat lain
dan tabi’in . Ketika Rasulullah masih
hidup pun beliau memrintahkan agar para sahabat menanyakan masalah yang tidak
diketahuinya kepada ‘Aisyah. Dalam
sebuah hadis, Rasul mengemukakan kelebiha yang dimiliki oleh ‘Aisyah sebagai
berikut :
[20] Abu Dawud, juz 1, h. 156 dan Ahmad bin Hanbal juz VI h. 371
[21]
al-
Bukhari, dalam kitab azan, Muslim, juz 1, h.327; al-Darimi, dalam kitab
shalat;, Abu Daud, dalam kitab shalat; al-Turmuzi, dalam kitab jum’at;
al-Nasa'i, dalam kitab mesjid; dan Ibnu Majah, dalam kitab muqaddimah.
[22] Hadis riwayat Muslim, juz 1, h. 326
[23] Wanita mana pun yang menyentuh wewangian, maka
tidak boleh mengikuti shalat Isya bersama kami". (Hadits Riwayat Muslim, h.
328 kitab salat no. 673 &
674, al-Nasa’I, zinah no. 5039-5044
[24] Hadis dari ‘Aisyah, ibid.
[25] Hadis secara lengkap dalam riwayat
Abu Daud, dalam kitab tarajjul dan al-Nasa'i, dalam kitab zinah
berbunyi:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
خَرَجَتِ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْتَغْتَسِلْ مِنَ الطِّيبِ كَمَا تَغْتَسِلُ
مِنَ الْجَنَابَةِ مُخْتَصَرٌ
[26] Muslim, juz 2, h. 1021, Abu Dawud, juz 2, h.
246, al-Turmuzi, juz 2, h. 313-314 dan Ahmad ibn Hanbal, juz 3, h. 320
[27] Abu Dawud, jilid
1 juz 2, h. 244, Ibn Majah, juz 1, h. 562, al-Turmuzi, juz 2, h. 314, Ahmad ibn
Hanbal, juz 4, h. 381 dan juz 6, h. 76
[28] Muslim, juz 2, h. 1059
[29] Dalam sebuah hadis secara tegas
diperintahkan oleh Rasul:
يا معشر
الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر و احصن للفرج ومن لم يستطع فعليه
بالصوم فانه له وجاء
Lihat, Al-Bukhari, juz
III, h. 2098-2099, Muslim, juz
II, h. 1018-1020, Abu Daud, juz II, h. 219, Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin
Syu’aib al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, juz IV, Semarang, Thoha Putra, t.t.,
h. 170-171 dan juz VI, h. 56-58, Abu ‘Abdullah bn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan
Ibn Majah, juz I, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., h. 592, Abu Muhammad
‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman, bin aal-Fadhl, bin Bahram al-Darimi, Sunan
al-Darimi, juz II, Indonesia, Maktabat Dahlan, t.t., h. 132, dan Ahmad bin
Hanbal, juz I, h. 58, 378, 424, 425, 432, dan 447.
[30] al- Bukhari, kitab nikah no. 4793
dan 4796; Muslim, kitab zakat no. 1704;
Abu Daud, kitab shaum no. 2102; Ibnu Majah, kitab shiyam no. 1751; al-Darimi,
kitab shiyam no. 1657
[32] Al-Bukhari, thalaq no. 4867,4868 dan 4869,
al-Nasa'i, thalaq no. 3409 dan Ibn Majah, thalaq no. 2046
[33] al-Syaukani, jilid 4, juz
9, h.
[34] Dinyatakan khulu', karena perempuan melepaskan dirinya
dari ikatan lembaga perkawianan yang telah mereka bentuk.
[35] Al-Bukhari,
juz 1, h. 712, juz 2, h.1174 dan juz 3, h. 2164, Muslim, juz 2, h. 978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar