ASPEK BAHASA
(Sebuah Bukti Kemukjizatan al-Qur’an)
Yusuf Baihaqi *
Abstrak
Aspek bahasa
yang dimiliki oleh Al Qur’an merupakan topik awal dan sentral pembahasan para
peminat dan pengkaji Al Qur’an semenjak Al Qur’an itu pertama kali diturunkan
dan akan terus berkelanjutan sampai akhir zaman, hal ini tidaklah mengherankan
dikarenakan dengan pendekatan bahasa lah makna dan rahasia yang terkandung
dalam kalamullah dapat terkuak. Sebagaimana dalam topik kemu’jizatan Al
Qur’an, sesungguhnya aspek bahasa lah yang menjadi objek perhatian para begawan
dan sastrawan arab disaat mereka ditantang dan diminta untuk mendatangkan
semisal nya.
Kata Kunci: Bahasa, Mu’jizat,
al-Qur’an
Pendahuluan.
Terlepas dari perbedaan ulama dalam mengidentifikasi aspek-aspek kemu’jizatan
Al Qur’an, mereka semua sepakat untuk memasukkan aspek bahasa menjadi bagian
dari aspek kemu’jizatan yang terkandung dalam Al Qur’an.
Kesepakatan mereka dalam hal ini adalah bukti nyata bahwasannya aspek
bahasa merupakan aspek yang terkandung didalamnya tantangan untuk mendatangkan
semisal Al Qur’an, sebagaimana ia juga merupakan aspek terdepan, terjelas dan
terpenting dibandingkan dengan aspek-aspek lain –hukum, sejarah, ilmu
pengetahuan, dll ...- yang dimiliki oleh Al Qur’an, atau bahkan tidak berlebihan
kalau kami katakan bahwasannya aspek bahasa merupakan satu-satunya aspek
kemu’jizatan yang dimiliki oleh Al Qur’an itu sendiri.
Berdasarkan pentingnya pembahasan tersebut, penulis berupaya dalam tulisan
ini untuk membuktikan akan kandungan aspek kemu’jizatan Al Qur’an dari aspek
bahasa tersebut, dengan terlebih dahulu membahas tentang kemunculan ilmu bahasa
dengan segenap teori dan hukum yang dihasilkannya sebagai implikasi dari
diturunkannya Al Qur’an sebagai kitab suci kaum Muslimin dan seberapa
pengaruhnya terhadap penafsiran Al Qur’an, kemudian diterangkan juga
bukti-bukti kemu’jizatan Al Qur’an pada aspek bahasa disamping juga macam dan
ragam yang dimilikinya, sebagaimana pada akhir pembahasan diungkap beberapa
karya tafsir yang memiliki andil yang sangat signifikan dalam mengungkap banyak
rahasia Al Qur’an dalam aspek bahasa yang dimilikinya.
Demikian, semoga tulisan ini dapat memberikan gambaran dan bukti akan
kemu’jizatan bahasa Al Qur’an, sehingga kita lebih termotivasi untuk lebih
dekat dengan kitab suci kita dan mengkaji lebih dalam akan aspek bahasa yang
dimilikinya.
Kemunculan Ilmu Bahasa Dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran Al Qur’an.
At Tafsir Al Lughawi (tafsir bahasa)
merupakan sebuah metodologi tafsir Al Qur’an yang berorientasi untuk menguak
makna, rahasia dan hikmah yang terkandung dalam sebuah ayat dengan menggunakan
pendekatan ilmu bahasa, karena teks Al Qur’an dalam pandangan mereka yang
menggunakan pendekatan ini bukan saja sebatas teks agama, melainkan juga teks
sastra yang memiliki kandungan mu’jizat([1]).
Kaum muslimin sepanjang sejarahnya
tidaklah pernah bosan dalam berupaya memahami teks Al Qur’an sebagaimana mereka
juga selalu terbuka untuk mengexplore (menjelajahi) segenap makna yang
terkandung dalam teks tersebut, fenomena ini telah dimulai semenjak diutusnya
nabi Muhammad SAW dan masih terus berlangsung sampai saat ini.
Dan komunitas masyarakat yang paling
intense (gigih dan bersemangat) dalam berinteraksi dengan Al Qur’an,
baik secara bacaan, pemahaman dan amalan adalah komunitas sahabat rasulullah
SAW, dimana pertanyaan pertama yang mereka lontarkan terhadap baginda
rasulullah SAW dalam upaya untuk memahami teks Al Qur’an adalah seputar makna
kata yang terdapat di luar bahasa mereka, atau seputar makna kata yang selama
ini tidak dipakai dan dikenal dalam bahasa mereka, atau ketika makna kata yang
dikehendaki oleh Al Qur’an adalah makna yang tidak seperti apa yang mereka
pahami selama ini. Adapun dari sisi uslub (style/gaya) bahasa,
sesungguhnya mereka dapat memahaminya dengan baik dan cakap, dimana dari
pemahaman mereka inilah timbulnya mu’jizat Al Qur’an, dikarenakan mereka
semuanya tunduk tak berdaya dihadapan tingginya kandungan bahasa yang dimiliki
oleh Al Qur’an tersebut.
Sepeninggalnya rasulullah SAW, kaum muslimin
pun banyak yang bertanya kepada para sahabat seputar makna kata-kata yang
terdapat dalam Al Qur’an, dengan harapan mereka telah mengetahuinya langsung
dari rasulullah SAW, atau dikarenakan mereka mengetahui secara percis akan
kondisi apa yang melatar-belakangi sebuah teks Al Qur’an itu diturunkan,
sehingga dapat terkuak akan makna samar yang terkandung dalam teks tersebut.
Abdullah bin Abbas RA merupakan
sosok sahabat yang paling banyak ditanya. Dimana ketika beliau ditanya seputar
makna kata-kata yang terdapat dalam Al Qur’an, beliau pun menjawab dengan apa
yang dimaksudnya dari sisi bahasa, seperti jawabannya atas makna kata “ ءاذنــك ” dalam surah Fushshilat [41] : 47, bahwa yang
dimaksud dengannya adalah “ أعلمناك ”([2]).
Bahkan kita dapatkan Abdullah bin Abbas RA dalam menafsirkan makna
kata-kata Al Qur’an sering sekali ia menguatkan dan membenarkan penafsirannya
dengan merujuk kepada apa yang dikatakan oleh bangsa arab dalam syair-syair
mereka, seperti ketika ia ditanya tentang makna “
الوسيلة ”
dalam surah Al Ma’idah [5] : 35, ia berkata bahwa yang dimaksud dengannya
adalah “ الحاجة ”, makna inilah sebagaimana yang terdapat dalam sya’ir
‘Antarah (salah seorang bagawan sya’ir arab)([3]).
Semacam apa yang dilakukan oleh
sahabat Abdullah bin Abbas RA diatas merupakan langkah awal bagi tumbuh
suburnya orientasi At Tafsir Al Lughawi dalam penafsiran al Qur’an,
dimana semua kajian di dalamnya beredar seputar pemaknaan dan pemahaman Al
Qur’an serta penjelasan akan tujuan dan gaya pemaparannya. Dan Al Qur’an dalam
hal ini sebagai pusat dan sumber kajian diatas, dimana pembahasan seputar i’rab
(sintaksis) dari ayat yang ditafsirinya adalah dalam rangka untuk
menjauhkan kesalahan pelafazhan (pengucapan), dan pembahasan seputar
gaya pemaparannya adalah dalam rangka untuk menarik perhatian pembacanya
sehingga mereka mendapatkan petunjuk dengannya.
Kajian nahwu pun terlahir oleh Abu
Al Aswad Ad Du’ali, namun masih dalam bentuknya yang sederhana, sampai tumbuh
dan meluas pembahasannya dan memiliki teori-teori dan istilah-istilah dan pusat
kajian-pusat kajian yang telah banyak menghasilkan khazanah keilmuan yang dapat
memenuhi dan memuaskan kebutuhan akal pikiran manusia dalam rangka memaknai dan
memahami kitab sucinya.
Sejalan dengan perjalanan waktu,
kajian nahwu dan bahasa pun masuk dalam ranah kajian keislaman, dan menjadikan
kajian seputarnya sebagai keharusan dan bagian yang tak bisa terlepaskan bagi
yang berkehendak untuk memahami teks al Qur’an dan syariat Islam, hal ini
dikarenakan banyaknya orang yang masuk dan memeluk ajaran agama Islam, jauhnya
bangsa Arab dari era risalah kenabian dan terjadinya proses asimilasi
(percampuran) antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain non Arab yang
menghasilkan sebuah generasi yang tidak cakap dalam memahami bahasa nenek
moyangnya kecuali dengan mengkaji teori-teori dan istilah-istilah yang terdapat
di dalamnya.
Dari sinilah masuk istilah-istilah
ilmu nahwu dalam kajian Al Qur’an, khususnya dalam memahami teks Al Qur’an.
Sebagaimana perbedaan pendapat antara para pakar nahwu juga terlihat jelas
dalam penafsiran sebagian teks Al Qur’an dan berimplikasi terhadap terjadinya
pengelompokan pada Al Madrasah An Nahwiyyah (madzhab nahwu), dimana
setiap madzhab akan berbeda dengan madzhab lainnya dalam beristimbath
(mengambil hukum dan kesimpulan) dan memaknai sebagian teks Al Qur’an tersebut.
Demikian sekilas perjalanan sejarah At
Tafsir Al Lughawi atau kajian bahasa pada masa-masa awalnya, dimana
semuanya menjadikan teks Al Qur’an sebagai pusat kajian mereka, dan hal ini sangatlah
logis dikarenakan bahasa Al Qur’an merupakan asal dan asas bagi segenap tarakib
(structure/susunan) dan kata dalam bahasa arab([4]).
Kenapa Aspek Bahasa merupakan Bukti Akan Kemu’jizatan Al Qur’an?
Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa
Arab sangatlah terkenal dengan kemampuan bahasa mereka yang sangat tinggi, dimana
semakin tinggi kemampuan mereka dalam mengetahui dan menguasai aspek bahasa
mereka, semakin terbuka pula tabir kandungan kemu’jizatan Al Qur’an, sehingga
merekapun tunduk dan mengakui akan kehebatan kandungan bahasa yang dimiliki Al
Qur’an.
Fenomena diatas berlaku sebaliknya bagi
mereka yang merasa hebat dan terpedaya dengan kemampuan dirinya, seperti yang
pernah diklaim oleh Musailamah Al Kadzdzab yang mengaku sebagai nabi
sepeninggalnya rasulullah SAW dan berusaha untuk meniru dan menantang semisal
Al Qur’an, akan tetapi klaim tersebut berakhir dengan kegagalan, bahkan
mendapat cemooh dan hinaan dari masyarakat arab([5]), sejarah pun
mencatat bahwa semenjak diturunkan ayat yang berisikan tantangan untuk
mendatangkan semisal Al Qur’an sampai sekarang dan insyaallah akan
berkelanjutan sampai hari kiamat, belum ada dan tidak akan ada, baik dari
kalangan manusia maupun jin yang mampu dan akan berhasil mendatangkan
semisalnya ditilik dari aspek bahasa yang dimilikinya, sesungguhnya
ketidakmampuan mereka yang notabene merupakan para pakar dan begawan bahasa
untuk mendatangkan semisal Al Qur’an ini dan upaya mereka untuk menutupi
ketidak-mampuan tersebut dengan lebih memilih berperang di medang peperangan, merupakan
sebuah bukti pembenar akan kandungan mu’jizat yang dimilikinya, sungguh benar
apa yang difirmankan dalam Al Qur’an :
(Katakanlah : “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat
yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain”)([6]).
Sangat tidak logis dan realistis kalau ada yang berpendapat bahwasannya
mendatangkan semisal Al Qur’an adalah sesuatu yang memungkinkan akan tetapi
tidaklah terdapat urgenitas (kebutuhan) untuk mendatangkan semisalnya.
Sejarah telah mencatat bahwa banyak faktor yang semestinya mendorong kaum
Musyrikin untuk menantang dan mendatangkan semisal Al Qur’an, bukankah mereka selalu
mengingkari sosok rasulullah SAW dan dakwah kenabian yang dibawanya?, sebagaimana
berbagai cara untuk membungkam dakwah beliau pun mereka lakukan : mereka
tawarkan beliau harta dan jabatan, mereka boikot beliau dan segenap
pengikutnya, mereka menuduh beliau sebagai seorang yang gila dan terkena sihir
bahkan mereka mengadakan konspirasi sesama mereka untuk menahan, membunuh dan
mengusir beliau.
Apa yang semua mereka lakukan tersebut sama sekali tidaklah mampu dan
berhasil untuk membungkam seruan dakwah beliau, padahal mereka telah ditawarkan
untuk memilih sebuah cara yang jauh lebih gampang dan praktis -kalau saja
mereka mampu- untuk membungkamnya, yakni dengan mendatangkan semisal apa yang
beliau datangkan kepada mereka, yaitu : Al Qur’an Al Karim. Akan tetapi tawaran
ini tidaklah mereka lirik dan lakukan, dan tidaklah keenganan mereka ini
melainkan sebagai sinyal kuat akan ketidak mampuan mereka([7]), padahal Al Qur’an
yang diminta kepada mereka untuk mendatangkan semisalnya tidaklah diturunkan
melainkan juga dengan menggunakan bahasa yang selama ini mereka kenal dan
pergunakan dalam keseharian mereka, Allah
SWT berfirman :
(Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al
Qur’an dengan berbahasa arab, agar kamu memahaminya)([8]).
Sejarah juga telah
mencatat betapa dahsyat pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh Al Qur’an secara
spontanitas, baik dalam diri kaum Musyrikin lebih-lebih lagi dalam diri kaum
Mu’minin. Kisah bagaimana proses Umar bin Al Kaththab memeluk agama Islam,
ketika amarahnya telah memuncak, kemudian ia membaca beberapa ayat dalam surah
Thaha, ia pun kemudian tidak dapat menyembunyikan rasa kekagumannya atas
redaksi yang dimiliki oleh Al Qur’an, kemarahan pun secara spontan berubah
padam sebagaimana air memadamkan panasnya api, hidayah Islam pun masuk dalam
dirinya dari arah yang tidak disangka-sangka.
Apa
yang terjadi atas diri Umar bin Al Kaththab sesungguhnya sama dan tidaklah
berbeda jauh dengan apa yang terjadi atas diri Al Walid bin Al Mughirah, dimana
pengetahuannya yang luas akan seluk-beluk bahasa arab mengantarkanya setelah
mendengarkan lantunan Al Qur’an yang dibaca oleh rasulullah SAW untuk
mengeluarkan sebuah pernyataannya yang masyhur tentang Al Qur’an :
" والله إن لقوله لحلاوة وإن عليه لطلاوة
وإن أسفله لمغدق وإن أعلاه لمثمر ما يقول هذا بشر "
(Demi tuhan, sungguh indah dan tersusun rapi perkataan
(Al Qur’an) yang dilantunkannya, kalau diibaratkan seperti pohon maka tanah
dibawahnya sangatlah subur, sebagaimana diatasnya produktif menghasilkan buah,
tidaklah mungkin perkataan seperti ini dikatakan (diciptakan) oleh seorang
manusia).
Demikianlah, dimana saat manusia
berupaya untuk lebih memperhatikan Al Qur’an, ia akan mendapatkan
rahasia-rahasia yang terkandung dalam kemu’jizatan Al Qur’an pada aspek bahasa
yang dimilikinya. Sebagaimana fenomena mena’jubkan yang terdapat dalam bahasa
Al Qur’an inilah yang mendorong banyak ulama untuk mengatakan : “Sesungguhnya
bahasa Al Qur’an adalah bahasa arab yang tidak asing dan telah banyak dikenal
oleh bangsa arab, sebagaimana pada saat yang bersamaan bahasa Al Qur’an juga bukanlah merupakan bahasa mereka”.
Ia merupakan bahasa bangsa arab yang
telah dikenal oleh mereka, karena terdapat kesamaan dalam hal materi dan
tata-bahasa yang dimiliki oleh keduanya. Dimana lafazh yang terdapat dalam
bahasa Al Qur’an tidaklah keluar dari lafazh yang terdapat dalam bahasa arab,
sebagaimana dari sisi tarkib pun demikian. Atas dasar itulah, tidak kita
dapatkan seseorang dari bangsa arab yang menolak arabisme (sifat
kearaban) yang melekat pada lafazh-lafazh yang terdapat dalam Al Qur’an atau
mengkritiki susunan kalimatnya.
Adapun bahwasannya bahasa Al Qur’an
adalah berbeda dengan bahasa arab adalah dikarenakan beberapa faktor di bawah
ini :
-
Sesungguhnya al Mufradat (koso-kata) yang dimiliki oleh bahasa Al
Qur’an walaupun ia termasuk bagian dari al
Mufradat yang dimiliki oleh bahasa
arab, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan dalam hal makna yang
dimaksud, karena bisa jadi makna yang terkandung dalam bahasa Al Qur’an tidak
demikian dalam bahasa arab atau bahkan tidak pernah sebelumnya ditunjukkan oleh
bahasa arab, hal ini sangatlah dimungkinkan karena bahasa Al Qur’an pada
hakekatnya merupakan intisari dari bahasa arab tersebut.
-
Apabila bahasa arab merupakan media komunikasi antara bangsa arab atau
mereka yang mempelajari bahasa arab yang kesemuanya merupakan bagian dari unsur
sesama manusia, maka sesungguhnya bahasa Al Qur’an merupakan media komunikasi
antara individu-individu manusia dengan Dzat pencipta alam semesta ini. Atas
dasar itu dan pada sisi ini terdapat perbedaan yang mendasar antara bahasa arab
dengan bahasa al Qur’an, baik ditilik dari sisi uslub, tarkib dan
pemilihan lafazh-lafazhnya. Sebuah perkara dimana dikarenakannya, segenap
makhluk-Nya tidak memiliki kemampuan untuk menirukannya atau mendatangkan walau
semisal satu surat terpendek darinya.
Atas dasar itu sangatlah tidak adil bagi bahasa al Qur’an apabila memiliki
semacam kekhususan diatas untuk disamakan dan disejajarkan dengan bahasa arab
yang memiliki keterbatasan baik dari sisi makna, uslub maupun tarkib, dimana keterbatasan yang
dimiliki oleh bahasa arab ini sangat dimungkinkan untuk ditiru atau didatangkan
yang lebih baik baik darinya baik dari sisi bayan (kejelasan) atau balaghah
(kefasihan)nya.
-
Sesungguhnya tarkib yang dimiliki oleh bahasa Al Qur’an walaupun
sejalan dengan tarkib yang dimiliki oleh bahasa arab, akan tetapi bahasa
Al Qur’an sangatlah berbeda dengan bahasa arab baik dari sisi bayan dan
balaghah maupun dari sisi badi’ (retorika) yang dimilikinya, sebagaimana
dahsyatnya pengaruh yang ditimbulkan oleh Al Qur’an, yang telah mampu
memberikan penerangan atas alam jagat raya ini juga pencerahan atas diri
manusia, tidaklah mungkin fenomena ini ditimbulkan melainkan oleh sebuah kitab
yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi, serta dijelaskan secara terperinci dan
diturunkan dari Dzat yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Atas dasar itulah, bahwasannya tarkib yang dimiliki oleh bahasa Al
Qur’an sangatlah berbeda dengan tarkib yang dimiliki oleh bahasa arab,
baik dari aspek makna, cara penyampaian maupun visi dan misinya, disamping apa
yang terkandung dalam redaksi Al Qur’an dari hikmah dan rahasia Ilahiyyah yang
tidak terdapat dalam bahasa arab.
-
Sesungguhnya uslub yang dipakai oleh bahasa Al Qur’an dalam
menggambarkan makna yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah uslub tersendiri
yang tidak pernah dikenal oleh bangsa arab sebelum Al Qur’an itu diturunkan,
bahkan sampai sekarang dan akan berkelanjutan sampai akhir umur dunia ini
tidaklah akan mampu seseorang untuk menirukannya.
Uslub yang dimiliki oleh bahasa Al Qur’an benar-benar berbeda
dengan uslub yang sudah dikenal oleh bangsa arab, baik yang berupa
sajak, prosa, kisah, perumpamaan juga korespondensi. Ia sangatlah berbeda
dengan apa yang telah dimiliki dan dikenal oleh bangsa arab dari macam-macam
bentuk tulisan dan perkataan. Atas dasar itulah tidaklah benar kalau sebuah uslub
yang memiliki keistimewaan dan kekhususan tersebut untuk disifati dan dinamakan
melainkan dengan uslub Al Qur’an itu sendiri.
Apabila bahasa Al Qur’an sangatlah kental dengan aroma yang bersifat ilahi
(ketuhanan) dikarenakan kekhususan dan keistimewaan yang dimilikinya
tersebut, tidakkah objektif bagi kita untuk mengatakan “Bahwasannya bahasa
Al Qur’an adalah lain dan berbeda dengan bahasa
arab?”. Sebagaimana At Tasyabuh Azh Zhahir (kemiripan yang
tampak) antara keduanya dalam bentuk, tidaklah berarti menafikan perbedaan
antara keduanya yang lebih bersifat substansif dan hakiki, seperti halnya
kemiripan antara sebuah patung dengan gambar seseorang manusia, juga tidaklah
berarti bahwa antara keduanya adalah sama, sebagaimana sangatlah mustahil bagi
sebuah patung untuk dikatakan bahwasannya ia adalah seseorang manusia([9]).
Kesimpulannya adalah : Bahwasannya bahasa Al Qur’an secara lisan (pengucapan)
memiliki kesamaan dengan bahasa arab, akan tetapi tidaklah demikian dalam aspek
sifat (karakteristik) yang dimiliki oleh keduanya. Dikarenakan bahasa
arab merupakan produk manusia yang memiliki sisi positif dan negatif, tentunya
tidaklah demikian dengan bahasa Al Qur’an yang merupakan produk tuhan.
Macam-Macam Al I’jaz Al Bayani.
Istilah yang sering digunakan dalam
kajian Al Qur’an untuk penisbatan aspek kemu’jizatan Al Qur’an dari sisi
bahasanya adalah Al I’jaz Al Bayani, adapun pembahasan Al I’jaz Al Bayani
itu sendiri meliputi huruf, kata dan kalimat yang terkandung dalam Al
Qur’an ditilik dari sisi uslub (style/gaya), bayan (kejelasan)
dan balaghah (kefasihan)nya. Inilah hakekat dari Al I’jaz Al Bayani,
sehingga banyak diantara ulama yang mengklasifikasikannya menjadi tiga
(3) aspek([10])
:
Pertama, aspek penaruhan
huruf dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Sebagai contoh adalah pemakaian huruf "
ن "
yang dalam bahasa arab dipakai untuk menunjukkan orang banyak dan mencakup si
pembicara dan juga banyak orang lain, yakni dalam firman-Nya :
(Hanya Engkaulah yang kami
sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan)([11]).
Kalaulah kita cermati, kenapa
redaksi pada ayat diatas tidak berbunyi Iyyaka A’budu Wa Iyyaka Asta’in (hanya
Engkaulah yang saya sembah dan hanya kepada Engkaulah saya mohon
pertolongan), hal ini dikarenakan terdapat rahasia dan hikmah Ilahiyyah yang
melatar-belakangi pemakaian shighat al jam’i (format orang banyak) pada
kata " نعبد " diatas, dan diantara beberapa rahasia
dan hikmah Ilahiyyah yang terkandung di dalamnya adalah :
-
Kebaikan dan keutamaan yang terdapat dalam pelaksanaan shalat berjama’ah,
dan atas hikmah itulah kenapa shighat al jam’i yang menunjukkan orang
banyak dipakai pada redaksi ayat diatas. Disabdakan dalam sebuah hadits
rasulullah SAW dari sahabat Ibnu Umar RA seputar konteks kebaikan dan keutamaan
yang terdapat dalam pelaksanaan shalat berjama’ah :
صلاة الجماعة أفضل من
صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة .
(Shalat jama’ah lebih utama dari
shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh (27) derajat)([12]).
-
Manusia merupakan makhluk sosial dan diantara cara yang dipakai Al Qur’an
dalam mendidik manusia pada aspek sosial yang dimilikinya adalah dengan
menanamkan rasa ukhuwah (persaudaraan) dan kebersamaan diantara mereka([13]), dan pelaksanaan
ibadah shalat secara berjama’ah adalah dalam rangka untuk menumbuh-suburkan
rasa persatuan dan kebersamaan diantara umat([14]).
-
Ketika seseorang melakukan shalat secara berjama’ah, sesungguhnya kebersamaan
itu terjalin bukan sebatas sesama umat manusia saja, akan tetapi kebersamaan
dalam berdoa dan bertasbih kepada Dzat pencipta yang Esa juga terjalin antar
segenap ciptaan-Nya baik yang di bumi maupun yang di langit([15]), dan pemakaian shighat al jam’i (format
orang banyak) pada kata "
نعبد "
diatas menunjukkan akan hakekat tersebut. Difirmankan dalam Al Qur’an :
(Tidakkah kamu tahu bahwasannya Allah, kepada-Nya
bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan
sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan
Allah maha mengetahui apa yang mereka kerjakan)([16]).
Demikianlah, bagaimana sebuah huruf secara teliti dan detail dipilih, sebagaimana
terdapat rahasia dan hikmah Ilahiyyah dalam setiap peletakannya dalam redaksi
Al Qur’an, ini semuanya menjadi bukti penguat akan kemu’jizatan Al Qur’an pada
aspek bahasanya.
Kedua, aspek konotasi kata
dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Kita ketahui bahwasannya para ulama
berbeda pendapat dalam hal ada tidaknya konsep At Taraduf (sinonim) kata
dalam sebuah bahasa, dalam konteks bahasa arab konsep tersebut dapat kita
temukan walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit, dikarenakan mayoritas kata
yang dianggapnya memiliki kesamaan makna, sesungguhnya memiliki pembeda antara
satu dan yang lainnya, seperti penggunaan kata "
القعود "
dan " الجلوس " atau antara kata " الخوف " dan "
الخشية "
yang oleh banyak pihak dinyatakan sebagai sebuah bentuk At Taraduf,
padahal tidaklah demikian pada kenyataannya.
Akan tetapi dalam konteks Al Qur’an,
bisa kami katakan tidak terdapat dalam setiap redaksi yang dipakainya dua kata
yang berbentuk At Taraduf secara mutlak, dikarenakan Al Qur’an dalam
setiap uslub yang dipakainya selalu memperhatikan secara detail akan
perbedaan yang terdapat dalam setiap kata, disamping penaruhan setiap kata dalam
Al Qur’an juga disesuaikan dengan konteks dan maknanya.
Sebagai contoh adalah penggunaan dan
pemilihan Al Qur’an kata " حرث " ketika hendak mengumpamakan isteri-isteri
bagi suami mereka, dan tidak menggunakan beberapa kata yang lain, seperti kata " الأرض " atau "
الحقـل "
dan yang sejenisnya dari kata-kata yang memiliki kedekatan makna dengannya.
Yakni dalam firman-Nya :
(Isteri-isterimu adalah (seperti)
tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu
itu bagaimana saja kamu kehendaki)([17]).
Kalaulah kita perhatikan, penggunaan dan pemakaian Al Qur’an kata " حرث " pada ayat diatas dan
bukan yang lainnya dari kata-kata yang memiliki kedekatan makna dengannya,
dikarenakan terdapat sebuah perumpamaan yang indah, tepat dan halus dalam
menggumpamakan antara hubungan seorang petani dengan ladangnya dan seorang
suami dengan isterinya, dan antara buah yang dihasilkan oleh ladang tersebut
dan buah yang dihasilkan oleh seorang isteri, demikian pula persamaan yang
terdapat diantara keduanya berupa proses perkembang-biakan, pertumbuhan dan
pemakmuran.
Rahasia dan hikmah yang terkandung
dalam penggunaan kata " حرث " pada ayat diatas inilah yang tidak
kita dapatkan pada kata-kata selainnya, walaupun secara makna kata-kata
tersebut memiliki kedekatan. Dikarenakan kata "
الأرض "
bisa saja berupa tanah yang tandus yang tidak pas dan efektif untuk dijadikan sebagai
lahan untuk bercocok-tanam. Demikian pula kata "
الحقل ",
dikarenakan makna kata ini tidaklah menunjukkan akan sebuah proses dan usaha
dari si pemiliknya, melainkan kata tersebut menunjukkan akan sesuatu yang sudah
jadi dan siap, tidak ada di dalamnya proses penanaman bibit oleh si pemiliknya.
Dengan demikian, dapat kita
simpulkan bahwasannya Al Qur’an dalam memilih kata-kata yang memiliki kedekatan
secara makna, ia memilih mana diantaranya yang paling pas, akurat dan tepat
dalam menggambarkan makna yang dimaksudnya, disamping juga mana diantara
kata-kata tersebut yang terindah dan terenak dalam pendengaran dan
pengucapannya([18]).
Ketiga, aspek uslub
kalimat dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Sebagai contoh adalah firman Allah SWT :
(Dan jika mereka ditimpa sedikit saja adzab tuhanmu)([19]).
Kalimat dalam firman Allah SWT tersebut sejatinya dipaparkan untuk
memperlihatkan adzab-Nya kelak di akherat dan betapa sekecil apapun itu adzab,
ternyata pengaruh dan rasa sakit yang dapat ditimbulkannya sangatlah hebat dan
luar biasa sehingga mereka yang kerap berbuat zhalim pun ketika dihadapkan
dengan semacam adzab tersebut, mengumpat diri mereka sendiri dan mengakui akan
kezhaliman yang kerap mereka lakukan sewaktu di dunianya. Atas dasar itulah kita
dapatkan semua komponen kalimat diatas menunjukkan akan sesuatu yang kecil dan
sedikit, akan tetapi memiliki efek jera yang sangat hebat dan luar biasa, dan
pengungkapan dengan semacam redaksi tersebut membuktikan akan kebenaran rahasia
Illahi yang terkandung dalam kalimat tersebut :
-
kata " لئن " menunjukkan keragu-raguan, ketika
seseorang melakukan sesuatu dibarengi dengan sikap ragu berarti ia melakukannya
dengan sedikit dan tidak banyak, karena ia masih mencoba-coba antara melakukan
atau tidak melakukan.
-
Kata " مسّ " yang berarti mengenai dengan
sedikit, hal ini tentunya juga menunjukkan akan sesuatu yang sedikit.
-
Kata " نفحة " materinya berupa bau yang sepintas
lalu, dan ini menunjukkan sesuatu yang sedikit, sebagaimana bentuk katanya yang
menunjukkan akan sesuatu yang satu, yakni yang satu dan kecil, apalagi harakat tanwin
pada kata " نفحة " yang bersifat nakirah dalam
bahasa arab juga menunjukkan akan sesuatu yang sangat kecil sekali sehingga
tidak dapat diidentifikasi dan diketahui.
-
Kata " من " berarti sebagian atau bagian dari
sesuatu, hal ini juga menandakan akan sesuatu yang sedikit.
-
Kata " عذاب " menginspirasikan akan sesuatu yang
ringan dari sebuah hukuman bila dibandingkan dengan makna yang terkandung dalam
semacam kata " النكال " atau "
العقاب "
, hal ini juga menandakan akan sesuatu yang sedikit dan
ringan.
-
Kata "
ربك "
digunakan dalam redaksi ayat diatas dan tidak digunakan semacam kata "
القهار ", "
الجبار "
atau " المنتقم " juga untuk mengesankan kepada
segenap pembaca, bahwasannya adzab yang diturunkan barulah sebatas adzab yang
ringan, dikarenakan kata " ربك " itu sendiri mengandung makna belas kasih sayang.
Demikianlah bagaimana sesungguhnya redaksi kalimat pada ayat diatas
semuanya menunjukkan : kalau saja adzab tuhan yang baru sedikit dan ringan sangatlah
pedih dan membekas, maka bagaimana gambaran akan pedih dan dahsyatnya adzab
tuhan itu secara keseluruhan? Demikianlah dapat kita perhatikan bagaimana
terjadi sebuah korelasi yang sangat apik dan rapi dalam sebuah redaksi kalimat
Al Qur’an, dimana terdapat kekompokan dalam semua komponen yang terdapat
didalamnya, sebagaimana setiap komponen yang terkandung di dalamnya juga saling
mendukung dan menyatu dalam mencapai sebuah maksud yang hendak dicapai([20]).
Karya Ilmiah Yang Banyak Mengungkap Aspek Bahasa Yang Dimiliki Oleh Al
Qur’an.
Ada banyak karya ilmiah yang telah
dihasilkan oleh para pakar bahasa seputar tema diatas, sebagaimana objek kajian
bahasa pada masa-masa awal adalah seputar Al Qur’an itu sendiri, sehingga
tidaklah terlalu mengherankan kalau telah banyak karya ilmiah yang terlahir
dari mereka seputar tema diatas semenjak beberapa abad yang silam. Sebagai
contoh adalah:
Pertama, karya Al Farra yang berjudul “Ma’ani
Al Qur’an”, karya ini pada asalnya merupakan karya dalam bidang bahasa dan
sebuah referensi penting bagi para peminat studi bahasa, melainkan masuk dalam
katagori sebuah karya tafsir dikarenakan penulisnya memaparkan dalam karyanya
ini sisi-sisi penafsiran ayat Al Qur’an walaupun hanya dengan menggunakan
pendekatan bahasa, ia juga sering memaparkan asbabun nuzul dan Wajh Al
Munasabat (aspek korelasi) dari sebuah ayat, sebagaimana yang menjadi
konsentrasinya dalam karyanya ini adalah pembahasan seputar i’rab (sintaksis)
dari ayat yang ditafsirinya([21]).
Kedua, karya Abu Hayyan yang berjudul “Al Bahr Al Muhith”,
karya ini sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama merupakan referensi pertama
dan terpenting bagi para peminat dan pemerhati seputar pembahasan i’rab
dari kata per kata yang terdapat dalam Al Qur’an, dikarenakan pembahasan
seputar ilmu nahwu merupakan konsentrasi dari penulisnya dalam karyanya ini,
hal ini dikarenakan ia merupakan seorang begawan dalam ilmu nahwu. Akan tetapi
walaupun demikian secara objektif dapat dikatakan bahwasannya dalam karyanya
ini sang penulis terlalu jauh membahas seputar ilmu nahwu dengan mengexplore
banyak perbedaan pendapat diantara pakar ilmu nahwu, sehingga terkesan karyanya
ini lebih dekat untuk dikatagorikan sebagai sebuah karya dalam bidang ilmu
nahwu dibandingkan dengan sebuah karya dalam bidang ilmu tafsir([22]).
Ketiga, karya Az Zamakhsyari yang
berjudul “Al Kasysyaf ‘An Haqaiq Wa Ghawamidh At Tanzil Wa ‘Uyun Al Aqawil
Fi Wujuh At Ta’wil”, karya ini terlepas dari latar belakang ideologi
penulisnya yang bermadzhab Mu’tazilah, ia merupakan sebuah karya tafsir
monumental, dikarenakan sang penulis berupaya dalam karyanya ini untuk
mengungkap aspek-aspek kemu’jizatan Al Qur’an di samping upayanya untuk
menerangkan keindahan kandungan Al Qur’an baik dari sisi nazhm (puisi
& sajak) maupun balaghah (kefasihan)nya([23]).
Kesimpulan.
Sesungguhnya penguasaan akan bahasa
arab merupakan hal yang sangat urgent (penting) bagi siapa saja yang
berkehendak untuk menafsirkan teks Al Qur’an, apalagi untuk mengetahui dan
membuka maksud diturunkannya, rahasia yang terkandung didalamnya dan aspek
kemu’jizatan yang dimilikinya.
Ketidakmampuan manusia dan jin untuk
mendatangkan semisal satu surah terpendek saja dari Al Qur’an adalah bukti kuat
akan kemu’jizatan Al Qur’an, dan bahwasannya ia benar merupakan kalamullah, sebagaimana
nabi yang diutus untuk membawanya juga benar merupakan utusan Allah.
Banyak faktor yang melatar-belakangi
ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan semisal satu surah terpendek dari Al
Qur’an, bukan saja dikarenakan Dzat yang menantangnya adalah Dzat yang Maha
segala-galanya dan pencipta alam semesta ini, akan tetapi juga dikarenakan
tidak ada satu pun di tilik dari aspek bahasa yang digunakannya, dapat untuk
disejajarkan apalagi ditandingi dengan bahasa-bahasa yang dimiliki oleh segenap
makhluk-Nya, bahkan sampai bahasa arab yang oleh sebagian orang dipahami
memiliki kesamaan dengan bahasa Al Qur’an, sesungguhnya ketidakmampuan mereka
adalah bukti kuat bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan yang sangat
substansif dan mendasar.
Referensi :
Al Qur’an Al Karim.
Al Qur’an Dan Terjemahannya, Departemen Agama R
I, Penerbit : Gema Risalah Press.
Muslim bin Al Hajjaz, Shahih Muslim, Penerbit : Ihya At Turats Al
‘Arabi, cet. 1972 M.
M Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Gharib Al Qur’an, Penerbit : Isa Al Babi
Al Halabi.
As Sayyid Khalil, Dirasat Fi Al Qur’an, Dar Al Ma’arif, cet. 1972 M.
Dr Musa’id Muslim, Atsar At Tathawwur Al Fikr Fi At Tafsir Fi Al ‘Ashr
Al ‘Abbasi, Penerbit : Ar Risalah, cet. 1984 M.
Manna’ Al Qaththan, Mabahis Fi Ulum Al Qur’an, Penerbit : Wahbah, cet.
Ketujuh (1990 M).
Dr Abdul Jalil Abdur Rahim, Lughah Al Qur’an, Penerbit : Ar Risalah
Al Haditshah, cet. Pertama (1980 M).
‘Aisyah Abdurrahman, Al I’jaz Al Bayani Fi Al Qur’an Wa Masail Nafi’ Bin
Al Azraq, Penerbit : Al Ma’arif, cet. 1971 M.
Dr. M Utsman Khaimar, Manhaj Al Qur’an Fi Tarbiyah Al Insan, Penerbit
: Muassasah Al Arabiyyah Al Haditsah.
Sa’id An Noursi, Al Maktubat, Tarjamah : Ihsan Qashim, Penerbit :
Sozler, cet. Ketiga (1993 M).
Sa’id An Noursi, Al Kalimat, Tarjamah : Ihsan Qashim, Penerbit :
Sozler, cet. Kedua (1992 M).
Khalid Abdurrahman, Al Furqan Wal Qur’an, Penerbit : Al Hikmah, cet.
Pertama (1994 M).
Dr M Husain Adz Dzahabi, At Tafsir Wa Al Mufassirun, Penerbit :
Wahbah, cet. Keenam (1995 M).
* Lahir di Indramayu, 03 Juni 1973. Alumni KMI, Gontor (1993) dan Ma’had Li
Tahfizh Al Qur’an, Kaliurang Yogyakarta (1996). Menyelesaikan S1 pada
spesifikasi Tafsir & Ulumul Qur’an di Universitas Al Azhar, Cairo Mesir
(2000), S2 pada spesifikasi yang sama di Universitas Islam Oumdurman, Khartoum
Sudan (2003) dan S3 juga pada spesifikasi yang sama di Universitas Al Qur’an Al
Karim, Khartoum Sudan (2006). Saat ini aktif mengajar di Fakultas Ushuluddin,
Syari’ah dan Program Pasca Sarjana IAIN Raden Intan Bandar Lampung.
[1] As Sayyid Khalil, Dirasat Fi Al Qur’an, Dar Al Ma’arif, hal. 70,
cet. 1972 M.
[2] M Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Gharib Al Qur’an, Penerbit : Isa Al Babi
Al Halabi, hal. 4.
[3] M Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Gharib Al Qur’an, hal. 290.
[4] Dr Musa’id Muslim, Atsar At Tathawwur Al Fikr Fi At Tafsir Fi Al ‘Ashr
Al ‘Abbasi, Penerbit : Ar Risalah, hal. 385-391, cet. 1984 M.
[5] Sebagai contoh kami
nukilkan di bawah ini kata-kata Musailamah Al Kadzdzab yang dianggapnya dapat
menandingi sebagian ayat-ayat Al Qur’an :
يا ضفدع بنت ضفدعين، نقي ما تنقين، أعلاك
في الماء وأسفلك في الطين
(Hai katak anak dari dua katak, bersihkanlah apa-apa
yang akan engkau bersihkan, bahagian atas
engkau di air dan bahagian bawah engkau di tanah)
Seorang sastrawan Arab yang
bernama Al Jahiz telah memberikan penilaiannya atas gubahan Musailamah ini
dalam bukunya yang bernama “Al Hayawan” sebagai berikut : “Saya tidak
mengerti apakah gerangan yang menggerakkan jiwa Musailamah menyebut katak dan
sebagainya itu. Alangkah kotornya gubahan yang dikatakannya sebagai ayat Al Qur’an
itu yang turun kepadanya sebagai wahyu”. (Al Qur’an Dan Terjemahannya,
Departemen Agama R I, Penerbit : Gema Risalah Press, hal. 107).
[6] Al Israa’ [17] :
88.
[7] Manna’ Al Qaththan,
Mabahis Fi Ulum Al Qur’an, Penerbit : Wahbah, hal. 72-74, cet. Ketujuh (1990 M).
[8] Yusuf [12] : 2.
[9] Dr Abdul Jalil
Abdur Rahim, Lughah Al Qur’an, Penerbit : Ar
Risalah Al Haditshah, hal. 8-10, cet. Pertama (1980 M).
[10] Lihat : ‘Aisyah Abdurrahman, Al I’jaz Al Bayani Fi Al Qur’an Wa Masail
Nafi’ Bin Al Azraq, Penerbit : Al Ma’arif, hal.122, cet. 1971 M.
[11] Al Fatihah [1] : 5.
[12] Muslim bin Al Hajjaz, Shahih Muslim, Penerbit : Ihya At Turats Al
‘Arabi, No Hadits. 1038, cet. 1972 M.
[13] Lihat : Ali Imran [3] : 103.
[14] Dr. M Utsman Khaimar, Manhaj Al Qur’an Fi Tarbiyah Al Insan, Penerbit
: Muassasah Al ‘Arabiyyah Al Haditsah, hal. 80.
[15] Lihat : Sa’id An Noursi, Al Maktubat, Tarjamah : Ihsan Qashim, Penerbit :
Sozler, hal. 506-508, cet. Ketiga (1993 M).
[16] An Nur [24] : 41.
[17] Al Baqarah [2] : 223.
[18] Khalid Abdurrahman,
Al Furqan Wal Qur’an, Penerbit : Al Hikmah, hal. 160-161, cet. Pertama (1994 M).
[19] Al Anbiya [21] : 46.
[20] Sa’id An Noursi, Al Kalimat, Tarjamah : Ihsan Qashim, Penerbit :
Sozler, hal. 426-427, cet. Kedua (1992 M).
[21] Dr Musa’id Muslim, Atsar At Tathawwur Al Fikr Fi At Tafsir Fi Al ‘Ashr
Al ‘Abbasi, hal. 388-389.
[22] Dr M Husain Adz Dzahabi, At Tafsir Wa Al Mufassirun, Penerbit :
Wahbah, jilid. 1, hal. 326, cet. Keenam (1995 M).
[23] Dr M Husain Adz Dzahabi, At Tafsir Wa Al Mufassirun,, jilid. 1, hal.
440.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar