KADAR DAN OBJEK KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN
Yusuf Baihaqi*
ABSTRAK
Terdapat perbedaan di kalangan Ulama dalam menentukan
kadar kemu'jizatan Al Qur'an, ada yang berpendapat bahwasanya kadar
kemu'jizatan yang dimilikinya adalah seukuran surah terpendek darinya, pendapat
lain mengatakan bahwasannya kadar kemu'jizatannya adalah Al Qur'an secara
keseluruhan atau Al Qur'an walaupun tidak secara keseluruhan akan tetapi dalam
jumlah yang banyak atau bahkan sedikit, ada juga yang berpendapat bahwasannya kemu'jizatan Al Qur'an
sesungguhnya terdapat dalam jenis dan kualitasnya, bukan pada besaran dan
banyaknya. Kesepakatan ulama dalam melihat adanya
tantangan dalam Al Qur'an tidaklah membuat mereka sepakat dalam menetukan siapa
yang menjadi objek bagi tantangan tersebut, dikarenakan ada sebagian dari
mereka berpendapat bahwasannya hanya dari jenis manusia tantangan tersebut
diperuntukkan, sedangkan sebagian yang lain berpendapat, bahwasannya tantangan
sebagaimana diperuntukkan untuk jenis manusia, juga diperuntukkan untuk jenis
jin.
Kata kunci : Kadar, Objek, Mu'jizat, Al Qur'an.
Pendahuluan
Mengkaji seputar kadar dan objek kemu'jizatan Al Qur'an
dalam kajian Al Qur'an sangatlah penting, karena hal ini berkaitan erat dengan
pemahaman kita seputar tema "mu'jizat Al Qur'an", yang merupakan
bagian penting dari kajian ilmu-ilmu Al Qur'an.
Memahami secara lebih akurat dan objektif dengan argumen
yang kuat tentang kedua tema diatas juga sangatlah penting, apalagi ketika kita
dihadapkan dengan banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para Ulama seputar
kedua tema tersebut.
Dalam tulisan ini, kami berupaya untuk memaparkan
perbedaan pendapat di kalangan Ulama seputar kedua tema tersebut, dengan menghadirkan
setiap argumentasi yang dimilikinya, sebagaimana dibahas juga sisi kekuatan dan
sisi kelemahan dari setiap argumentasi yang ditampilkan oleh setiap pendapat,
dengan harapan sebuah pendapat yang lebih akurat dan objektif dapat kami
tampilkan dalam tulisan ini.
Demikian, semoga tulisan singkat ini dapat memberikan
kontribusi kepada para pembacanya, dalam memperluas wawasan seputar perbedaan
Ulama tentang kadar dan objek kemu'jizatan Al Qur'an, dan memahami hakekat
keduanya dengan berlandaskan argumentasi yang kuat, sehingga dapat berimplikasi
kepada perolehan sebuah pemahaman yang utuh dalam memahami kemu'jizatan Al
Qur'an.
Kadar Kemu'jizatan Al Qur'an
Dalam konteks diatas, kita dapatkan Al Baqilani memiliki
pendapat yang selaras dengan madzhab Asy'ariyah, dan mengambil pendapat Imamnya
"Abu Hasan Al Asy'ari" yang mengatakan, "Sesungguhnya kadar
terkecil dari kemu'jizatan Al Qur'an adalah satu surah baik pendek maupun
panjang, atau yang seukuran dengannya". Hal ini dikarenakan tidak adanya bukti
kuat akan ketidakmampuan komunitas arab untuk melawan dalam kadar yang kurang
dari seukuran surah terpendek dalam Al Qur'an.
Sebaliknya sebagian pengikut madzhab Mu'tazilah
berpendapat, "Bahwasannya kemu'jizatan Al Qur'an berkaitan dengan Al
Qur'an secara keseluruhan", artinya : kadar kemu'jizatan Al Qur'an tidaklah
mungkin dihasilkan kecuali dengan mengaitkan Al Qur'an secara komprehensif, hal
ini selaras dengan bunyi teks Al Qur'an :
(Katakanlah, "Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al Qur'an ini,
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling
membantu satu sama lain")(*[1]).
Ayat yang dijadikan argumentasi oleh madzhab Mu'tazilah
diatas, dalam hemat kami kurang pas dan akurat, hal ini dikarenakan kata "Al
Qur'an" sebagaimana dapat dipakai untuk penisbatkan Al Qur'an secara
keseluruhan juga untuk sebagiannya. Sebagaimana pendapat ini juga bertolak
belakang dengan keberadaan sejumlah ayat tantangan, yakni : permintaan untuk
mendatangkan semisal Al Qur'an([2]),
sepuluh surah([3])
atau satu surah saja darinya([4]).
Sebagian yang lain berpendapat, bahwasannya kemu'jizatan
Al Qur'an berlaku untuk Al Qur'an baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, hal
ini berdasarkan bunyi teks Al Qur'an :
(Maka
cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al Qur'an) jika mereka
orang-orang yang benar)([5]).
Pendapat ini dalam hemat kami masih terbantahkan apalagi
dari sisi argumentasi yang dimilikinya, dikarenakan teks Al Qur'an diatas
berada setelah firman-Nya :
(Ataukah mereka berkata, "Dia (Muhammad) mereka-rekanya".
Tidak! Merekalah yang tidak beriman)([6]).
Pada ayat diatas, mereka (kaum kafir) tidak
mengatakan bahwasannya Muhammad mereka-reka sebuah ayat dari Al Qur'an,
melainkan klaim mereka bahwasannya Muhammad mereka-reka Al Qur'an secara
keseluruhan. Atas dasar itulah, banyak yang memahami bahwasannya tantangan yang
terkandung dalam ayat tersebut berupa Al Qur'an secara keseluruhan bukan
sebagiannya([7]).
Pendapat lain
seputar kadar kemu'jizatan Al Qur'an, adalah pendapat yang mengatakan
bahwasannya kemu'jizatan tersebut tidaklah terdapat kecuali dalam sejumlah ayat
yang banyak([8]).
Demikian, yang
dapat disimpulkan seputar perbedaan di kalangan ulama dalam menentukan kadar
kemu'jizatan Al Qur'an. Dan dalam hemat kami, kadar kemu'jizatan Al Qur'an
sejatinya terdapat dalam roh yang menyelimuti keseluruhan teks Al Qur'an,
dikarenakan aspek kemu'jizatan Al Qur'an sebagaimana dapat dirasakan pada surah
yang panjang, juga dapat dirasakan pada surahnya yang pendek, pada ayatnya yang
panjang juga pada ayatnya yang pendek, bahkan juga pada kata dan huruf yang
menjadi bagian dari redaksi yang dimilikinya.
Roh yang
menyelimuti keseluruhan ayat Al Qur'an, diibaratkan seperti roh manusia yang
berada dalam tubuhnya. Kita tidak dapat memastikan di bagian organ tubuh mana roh
dalam diri kita bersemayam, dikarenakan dalam kondisi normal sesungguhnya seluruh
organ tubuh kita adalah hidup selama roh masih berada dalam tubuh, akan tetapi
keseluruhan organ tubuh tersebut akan mati dan tidak berfungsi ketika roh telah
keluar dari dalam tubuh. Demikian pula tangan manusia, ia akan berfungsi,
selama ia menjadi bagian dari tubuhnya yang mengalir padanya roh, akan tetapi
ia adalah sepotong daging dan tulang yang mati ketika ia terpotong dan terlepas
dari tubuh manusia.
Surah, ayat, kalimat,
kata bahkan huruf yang menjadi bagian dari rankaian redaksi Al Qur'an mengandung
kemu'jizatan, dikarenakan roh Al Qur'an mengalir pada kesemuanya. Kata dan
huruf yang sama dengan yang dimiliki oleh redaksional Al Qur'an juga terdapat
dalam bahasa arab, dan dipakai oleh komunitas arab dalam percakapan keseharian mereka,
akan tetapi kata dan huruf tersebut tidaklah mengandung kemu'jizatan,
dikarenakan roh Al Qur'an tidak mengalir pada kata dan huruf tersebut.
Kemu'jizatan Al
Qur'an sesungguhnya terdapat dalam jenis dan kualitas dari sebuah perkataan,
bukanlah pada besaran dan banyaknya. Sebagaimana tantangan untuk mendatangkan
semisal Al Qur'an, juga bukanlah berdasarkan besaran dan banyaknya, melainkan
berdasarkan jenis dan kwalitasnya. Ketidakmampuan manusia untuk mendatangkan
semisal Al Qur'an, adalah ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan perkataan
yang sejenis dan memiliki kwalitas yang sama dengan perkataan Al Qur'an.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwasannya kadar kemu'jizatan Al Qur'an adalah berdasarkan
kwalitas bukan besaran, sehingga tidaklah ada perbedaan antara Al Qur'an secara
keseluruhan dengan sebagian darinya, walaupun satu ayat saja, dalam kandungan
kemu'jizatan yang dimilikinya([9]).
Satu contoh kongkrit, betapa keberadaan sebuah huruf dalam
sebuah redaksional Al Qur'an memiliki andil yang sangat signifikan dalam
menampilkan aspek kemu'jizatan yang dimilikinya, adalah pemakaian huruf " ن " yang dalam bahasa arab dipakai
untuk menunjukkan orang banyak dan mencakup si pembicara dan juga orang lain
dalam jumlah yang banyak, yakni dalam firman-Nya :
(Hanya Engkaulah yang kami
sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan)([10]).
Kalau
kita cermati, kenapa redaksional ayat diatas tidak berbunyi Iyyâka A’budu Wa
Iyyâka Asta’în (hanya Engkaulah yang saya sembah dan hanya kepada
Engkaulah saya mohon pertolongan), hal ini dikarenakan terdapat rahasia
dan hikmah Ilahiyyah yang melatar-belakangi pemakaian Shîghat Al jam’i (format
orang banyak) pada kata "
نعبد " diatas.
Beberapa rahasia dan hikmah Ilahiyyah yang terkandung di
dalamnya adalah :
Pertama, kebaikan
dan keutamaan yang terdapat dalam pelaksanaan shalat berjama’ah, dan atas
hikmah itulah kenapa Shîghat Al jam’i dipakai pada redaksi ayat diatas.
Disabdakan dalam sebuah hadits dari sahabat Ibnu Umar ra seputar konteks
kebaikan dan keutamaan yang terdapat dalam pelaksanaan shalat berjama’ah :
صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين
درجة .
(Shalat
jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh (27)
kebaikan)([11]).
Kedua, manusia
merupakan makhluk sosial, diantara cara yang dipakai Al Qur’an dalam mendidik
manusia pada aspek sosial yang dimilikinya adalah dengan menanamkan rasa ukhuwah
(persaudaraan) dan kebersamaan diantara mereka([12]),
dan pelaksanaan ibadah shalat secara berjama’ah adalah dalam rangka untuk
menumbuh-suburkan rasa persatuan dan kebersamaan diantara umat manusia([13]).
Ketiga, ketika
seseorang melakukan shalat secara berjama’ah, sesungguhnya makna kebersamaan
itu terjalin bukan sebatas sesama umat manusia saja, akan tetapi kebersamaan
dalam berdoa dan bertasbih kepada Dzat pencipta yang Esa juga terjalin antar
segenap ciptaan-Nya baik yang di bumi maupun yang di langit([14]),
dan pemakaian Shîghat Al jam’i
pada kata " نعبد
" diatas menunjukkan akan hakekat tersebut. Difirmankan dalam Al
Qur’an :
(Tidakkah kamu tahu bahwasannya
Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung
dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang
dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan)([15]).
Demikianlah, bagaimana sebuah huruf secara teliti dan akurat
dipilih, sebagaimana terdapat rahasia dan hikmah Ilahiyyah dalam setiap
peletakannya dalam redaksional Al Qur’an, ini semuanya menjadi bukti penguat
akan kemu’jizatan Al Qur’an pada aspek bahasa yang dimilikinya.
Objek Kemu'jizatan Al
Qur'an
Para ulama sepakat akan
keberadaan tantangan dalam Al Qur'an, akan tetapi walaupun demikian, mereka
berselisih pendapat dalam menentukan pihak yang dijadikan sebagai objek bagi
tantangan tersebut.
Az Zarkasyi dalam
kitabnya "Al Burhân" mengatakan bahwasannya tantangan ini
hanya diperuntukkan untuk jenis manusia tidak untuk jenis jin, dikarenakan jin
bukanlah dari jenis makhluk yang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa arab
yang dengannya Al Qur'an diturunkan. Penyebutan jenis jin dalam sebuah ayat
tantangan (Qul La‘inij Tama’atil Insu Wal Jinnu)([16]),
bukanlah berarti bahwa jenis ini menjadi
bagian dari pihak
yang dijadikan sebagai objek bagi tantangan tersebut, melainkan penyebutannya sebatas untuk mengagungkan
aspek kemu'jizatan Al Qur'an, dikarenakan sebuah kelompok memiliki kekuatan
lebih dibandingan dengan sebuah individu, dimana kalau saja segenap jenis manusia
dan jin berkelompok dan sepakat untuk melakukan satu konspirasi, dan ternyata mereka
tetap lemah dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan, sesungguhnya kemampuan
yang dimiliki oleh sebuah individu tentunya jauh lebih lemah dan lebih tidak
memiliki kekuatan([17]).
Lain
halnya dengan As Suyuthi sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya "Al
Itqân", bahwasannya tantangan untuk mendatangkan Al Qur'an,
sebagaimana diperuntukkan untuk jenis manusia, juga diperuntukkan untuk jenis
jin, adapun jenis malaikat juga sesungguhnya yang dimaksud pada ayat diatas,
dikarenakan mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan Al Qur'an. Melainkan
pada ayat diatas yang tersebut hanyalah dari jenis jin dan manusia, dikarenakan
rasulullah saw hanya diutus untuk kedua jenis tersebut, tidak kepada jenis
malaikat([18]).
Lebih
lanjut Al Alusi berpendapat dalam tafsirnya "Rûh Al Ma’ânî", bahwasannya
hanya jenis jin dan manusia yang tersebut dalam ayat diatas, dikarenakan yang
menginkari bahwasannya Al Qur'an bersumber dari Allah swt hanyalah dari kedua jenis
tersebut, atas dasar itulah bahwasannya tantangan diperuntukkan kepada
keduanya.....([19]).
Senada dengan Al Alusi, dan juga berargumentasi dengan firman Allah swt diatas,
kita dapatkan pernyataan An Noursi dalam kitabnya " Al Kalimât "([20]).
Dalam pengamatan
kami, para ulama diatas terkesan menjadikan firman Allah swt dalam surah Al
Isrâ‘ [17] : 88 sebagai bagian dari ayat-ayat tantangan, dalam hal ini kami
tidaklah sependapat, adapun alasannya adalah :
Pertama, kami
tidak melihat pada ayat tersebut tantangan bagi kaum kafir, dan permintaan bagi
mereka untuk mendatangkan semisal Al Qur'an. Sebagaimana tidak kita dapatkan
pada ayat di atas pembahasan tentang pendustaan kaum kafir atas sosok rasulullah
SAW, tidak pula pengingkaran bahwasannya Al Qur'an merupakan kalamullah.
Kedua, lebih
daripada itu, tidak juga kita dapatkan pada redaksiona ayat tersebut permintaan
secara lugas untuk mendatangkan semisal Al Qur'an, baik secara keseluruhan
maupun sebahagiannya saja. Tidak adanya permintaan secara transparan dan lugas ini
turut memperkuat pendapat yang menyatakan bahwasannya ayat tersebut bukanlah
bagian dari ayat-ayat tantangan, dikarenakan sebuah tantangan tidaklah mungkin
terjadi kecuali dengan adanya sebuah permintaan yang bersifat transparan dan
lugas.
Ketiga,
sejatinya konteks ayat diatas bukanlah dalam konteks tantangan,
melainkan dalam konteks anugerah dan karunia Tuhan yang diberikan kepada sosok
Muhammad SAW. Dialah Dzat yang telah memilih dan mengutusnya untuk menjadi
seorang nabi dan rasul, dan yang telah Menurunkan kepadanya Al Qur'an sebagai
sebuah rahmat dan karunia. Kalau saja Dia berkehendak untuk menghilangkan Al
Qur'an dari dirinya, tentu sangatlah mudah bagi-Nya untuk melakukannya, dan
tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang mampu untuk mengembalikan Al Qur'an
kepadanya.
Realitas
diatas dapat dipahami sebagai sebuah pemberitahuan dari Allah SWT kepada
rasul-Nya, bukan merupakan tantangan yang ditujukan kepadanya, sebagaimana
tidak ada satupun ulama yang mengatakan bahwasannya Allah SWT menantang
rasul-Nya untuk mendatangkan semisal Al Qur'an yang diturunkan kepadanya!?
Masih
tentang ayat diatas, Allah SWT kemudian menginformasikan kepada kita akan
informasi yang lain, bahwasannya kalaupun manusia dan jin secara keseluruhan
yang jumlahnya bermilyar-milyar mengadakan sebuah konspirasi dan kerja sama
untuk melahirkan sebuah kitab yang menyerupai Al Qur'an, dan mendatangkan
perkataan semacam perkataan Al Qur'an, sesungghnya mereka sekali-kali tidak
akan mampu dan berhasil untuk melakukannya.
Pemberitaan
yang bersumber kepada Allah SWT akan ketidakmampuan segenap makhluk-Nya untuk
mendatangkan perkataan semacam Al Qur'an, dikarenakan Al Qur'an merupakan kalamullah
dan tidak ada satupun dari perkataan yang bersumber kepada makhluk - baik jin
maupun manusia - yang menyerupainya, karena begitu tinggi perbedaan antara
keduanya.
Pemberitahuan
Tuhan akan hakekat diatas, merupakan bagian dari kalimat berita, sedangkan
tantangan tidaklah terlahir melainkan dari sebuah kalimat perintah, sebagaimana
berita bukanlah tantangan.
Atas
dasar itulah, kami lebih cenderung untuk mengatakan bahwasannya pemberitaan
Tuhan sebagaimana yang termaktub dalam surah Al Isrâ‘ diatas, diturunkan
sebelum ayat-ayat tantangan dalam surah At Thûr, Yûnus dan Hûd. Dimana kaum
kafir diminta untuk membenarkan pemberitaan yang bersumber kepada Tuhan ini,
mengakui akan ketidakmampuan segenap makhluk untuk mendatangkan semisal Al
Qur'an, dan mengimani bahwasannya Al Qur'an merupakan kalamullah. Akan
tetapi mereka sama sekali tidak bergeming dari kekafirannya, bahkan mereka
mengklaim mampu untuk mendatangkan semisalnya, kalau saja mereka berkehendak.
(Dan apabila ayat-ayat kami dibacakan kepada mereka,
mereka berkata, "Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti
ini), jika kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini. (Al
Qur'an) ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang terdahulu")([21]).
Kemudian
pasca pendustaan mereka terhadap pemberitaan dalam surah Al Isrâ‘, Allah SWT
menantang mereka dalam beberapa surah yang lain, dan meminta mereka untuk
mendatangkan semisal Al Qur'an, akan tetapi mereka tidak memiliki daya untuk
melakukannya, tidak pula kemampuan untuk mendatangkan semisal dengannya, baik
secara keseluruhan atau sebahagian saja darinya. Ketidakmampuan mereka untuk
menjawab tantangan ini, merupakan bukti kongkrit akan kebenaran pemberitaan
Tuhan sebagaimana yang termaktub dalam surah Al Isrâ‘ diatas.
Kesimpulannya
adalah : bahwasannya pemberitaan akan ketidakberdayaan jin dan manusia
sebagaimana yang diinformasikan dalam surah Al Isrâ‘ merupakan janji Tuhan,
bukan merupakan tantangan, dan ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan semisal
Al Qur'an setelah adanya tantangan, merupakan sebuah realitas yang membenarkan
dan memperkuat janji tersebut([22]).
Demikian
berkaitan dengan firman Allah swt dalam surah Al Isrâ‘ [17] : 88, akan tetapi
walaupun demikian, kami sependapat dengan sekelompok ulama yang mengatakan
bahwasannya objek kemu'jizatan Al Qur'an sebagaimana diperuntukkan untuk jenis
manusia juga untuk jenis jin, hal ini adalah juga dikarenakan beberapa faktor :
Pertama,
bahwasannya jenis jin kalaupun kita terima bukanlah dari jenis yang berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa arab, hal ini tidaklah
berarti bahwasannya jenis ini keluar dari objek yang dituju untuk mendatangkan
semisal Al Qur'an. Dikarenakan dari jenis manusia juga terdapat sekelompok
bahkan mayoritasnya yang tidak cakap berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
arab, akan tetapi tidak kita dapatkan seorang Ulama pun yang mengatakan
bahwasannya tantangan diatas hanya diperuntukkan untuk komunitas Arab, tidak
untuk komunitas non Arab.
Kedua, masuknya jenis jin bersama jenis
manusia untuk menjadi objek yang dituju
untuk mendatangkan semisal Al Qur'an, sangat selaras dengan universalitas ajaran
yang dibawa oleh Muhammad saw :
(Dan
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam)([23]).
Yakni : tidaklah Kami utus engkau yang
Muhammad dengan agama yang lurus ini, yaitu : agama Islam, melainkan agar
engkau menjadi rahmat bagi alam semesta dari kalangan jin dan manusia. Hal ini
dikarenakan Kami telah mengutusmu dengan sebuah ajaran yang dapat membahagiakan
mereka dalam urusan agama, dunia dan akherat mereka, ketika mereka mau
mengikutimu, mematuhi apa yang engkau bawa, dan mentaati segenap seruan dan
laranganmu([24]).
Ketiga, terdapat banyak ayat dalam Al
Qur'an tentang jin yang mengisahkan kepada kita bahwasannya mereka kerap
mendengar dan merasa takjub dengan Al Qur'an, sehingga mereka pun memperoleh
petunjuknya dan mengimani Dzat yang menurunkannya :
(Katakanlah (Muhammad), "Telah diwahyukan kepadaku bahwa
sekumpulan jin telah mendengarkan (bacaan)", lalu mereka berkata,
"Kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan (Al Qur'an), (yang)
memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami
sekali-kali tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami")([25]).
Sebagaimana disebutkan
pula pada ayat yang lain, bahwasannya sekelompok dari mereka kembali kepada
komunitasnya untuk berdakwah setelah selesai mendengarkan Al Qur'an :
(Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan kepadamu (Muhammad)
serombongan jin yang mendengarkan (bacaan) Al Qur'an, maka ketika mereka
menghadiri (pembacaan)-nya mereka berkata, "Diamlah kamu! (untuk
mendengarkannya)", maka ketika telah selesai, mereka kembali kepada
kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, "Wahai kaum kami !
sungguh, kami telah mendengar kitab (Al Qur'an) yang diturunkan setelah Musa,
membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimbing kepada kebenaran,
dan kepada jalan yang lurus")([26]).
Semacam kisah diatas yang Al Qur'an kisahkan kepada kita,
sesungguhnya memberikan banyak informasi penting kepada kita, diantaranya :
-
keterangan bahwasannya
jin juga sama seperti manusia sebagai makhluk Tuhan yang terkenai At Taklîf
Asy Syar’iyyah (kewajiban beragama).
-
bahwasannya komunitas
mu'min dari mereka kerap mengajak komunitas kafir nya kepada keimanan yang
benar.
-
cakupan dakwah kenabian
yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW mencakup dunia manusia dan dunia jin.
-
Pernyataan keimanan yang
diperlihatkan oleh sekelompok jin, hendaknyalah menjadi pendorong bagi kaum
kafir Quraisy dan yang lainnya untuk menpercayai Al Qur'an.
-
bahwasannya komunitas
jin memahami bahasa manusia dan kerap mendengarkannya([27]).
Kesimpulan
Roh yang menyelimuti keseluruhan teks Al
Qur'an merupakan sisi penting dalam memahami hakekat kadar kemu'jizatan Al
Qur'an. Atas dasar itulah, sesungguhnya kadar kemu'jizatan Al Qur'an semestinya
lebih di pandang dari sisi jenis dan kwalitasnya, bukan dari sisi besar dan
banyaknya.
Dimulainya sejumlah surah dalam Al Qur'an
dengan potongan-potongan huruf hijaiyyah, seperti : Alif Lam Mim, Alif Lam
Ra dan Ya sin, mempertegas pandangan diatas, dikarenakan Al Qur'an dengan
potongan-potongan huruf hijaiyyah tersebut hendak menginformasikan kepada
segenap pembacanya, bahwasannya ia terangkai dari huruf-huruf yang selama ini
mereka kenal, maka datangkan semisal dengannya, dan ketidakmampuan mereka untuk
mendatangkan semisalnya adalah bukti penguat akan ketinggian jenis dan kwalitas
setiap huruf yang dimilikinya, dibandingkan dengan huruf yang sama yang di
pakai dalam bahasa arab.
Universalitas
ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, dan banyaknya ayat Al Qur'an yang
mengisahkan seputar interaksi yang diperlihatkan sekelompok jin dengan Al
Qur'an, diantara argumentasi yang memperkuat pendapat yang mengatakan
bahwasannya tantangan untuk mendatangkan Al Qur'an, sebagaimana diperuntukkan
kepada jenis manusia juga kepada jenis jin. Wallahu A'lam.
Daftar Pustaka
Al Qur’an Al Karim.
Abdul Fattah, Shalah, I'jaz Al Qur‘ân Al
Bayanî Wa Dalâ‘il Mashdarihî Ar rabbânî, Penerbit : Dar Ammar, Cet :
Pertama (2000 M).
Al Alusi, Syihabuddin, Rûh Al Ma’ânî, Penerbit
: Dar Al Kutub Al 'Ilmiyyah, Cet : Pertama (1994 M).
Al Hajjaz, Muslim, Shahîh
Muslim, Penerbit : Ihya At Turats Al ‘Arabi, Cet (1972 M).
Al Khalidi, Abdul Fatah, Al Bayân Fî Î’jâz
Al Qur‘ân, Penerbit : Dar Ammar, Cet : Ketiga (1992 M).
Al Qaththan, Manna, Mabâhits Fî Ulûm Al
Qur‘ân, Penerbit : Muassasah Ar Risalah, Cet : Ketiga Puluh Lima (1998 M).
An Noursi, Said, Al Kalimât, Tarjamah
: Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Cet : Kedua (1992 M).
______________, Al Maktûbat, Tarjamah
: Ihsan Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, Cet : Ketiga (1993 M).
As Suyuthi, Jalaluddin, Al Itqân Fî Ûlûm
Al Qur‘ân, Penerbit : Dar Ibnu Katsir, Cet : Keempat (2000 M).
Asy Syanqiti, M Amin, Adhwâ‘ Al Bayân, Penerbit
: Dar Al Kutub Al 'Ilmiyyah, Cet : Pertama (2000 M).
Az Zarkasyi, Badruddin, Al Burhân Fî Ûlûm
Al Qur‘ân, Penerbit : Dar Al Fikr, Cet (1998 M).
Az Zuhaili, Wahbah, At Tafsîr Al Munîr Fî
Al ’Âqîdah Wa Asy Syarî’ah Wa Al Manhaj, Penerbit : Dar Al Fikr, Cet :
Pertama (1991 M).
Khaimar, Muh Utsman, Manhaj Al Qur‘ân Fî
Tarbiyah Al Insân, Penerbit : Muassasah Al ‘Arabiyyah Al Haditsah (Tanpa
Tahun Penerbitan).
Thanthawi, Sayyid, At Tafsîr Al Wasîth, Penerbit : As
Sa'adah (Tanpa Tahun Penerbitan).
Biografi Singkat Penulis
Lahir di Indramayu, 07 Maret 1974 M. Alumni KMI,
Gontor (1993 M) dan Ma’had Li Tahfizh Al Qur’an, Kaliurang Yogyakarta (1996 M).
Menyelesaikan S1 pada spesifikasi Tafsir & Ulumul Qur’an di Universitas Al
Azhar, Cairo Mesir (2000 M), S2 pada spesifikasi yang sama di Universitas Islam
Oumdurman, Khartoum Sudan (2003 M) dan S3 juga pada spesifikasi yang sama di
Universitas Al Qur’an Al Karim, Khartoum Sudan (2006 M). Saat ini aktif
mengajar di Fakultas Syari’ah dan Program Pasca Sarjana IAIN Raden Intan
Lampung.
* (Dosen Fakultas Syari'ah IAIN Raden Intan Alamat : Jl. Letkol H. Endro Suratmin Sukarame Bandar Lampung 35131 E-mail : baihaqi_yusuf@yahoo.com Hp : 0815-6465-6988)
[1] Q.S. Al Isrâ‘ [17] : 88.
[2] Lihat : Q.S. At Thûr [52] : 33-34.
[3] Lihat : Q.S. Hûd [11] :
12-14.
[4] Lihat : Q.S. Yûnus [10] :
37-39.
[5] Q.S. Ath Thûr [52] : 34.
[6] Q.S. Ath Thûr [52] : 33.
[7] Asy Syanqiti berkata : kata "Al Hadits" kerap
dipakai dalam redaksional Al Qur'an untuk menunjukkan Al Qur'an secara
keseluruhan, seperti firman-Nya dalam surah Ath Thûr [52] : 34, surah Az Zumar
[39] : 23 dan surah Yûsuf [12] : 111 (Lihat : Asy Syanqiti, M Amin, Adhwâ‘
Al Bayân, Penerbit : Dar Al Kutub Al 'Ilmiyyah, Juz : 7, Hal : 457, Cet :
Pertama (2000 M)).
[8] Al Qaththan, Manna, Mabâhits Fî Ulûm Al Qur‘ân, Penerbit
: Muassasah Ar Risalah, Hal : 264, Cet : Ketiga Puluh Lima (1998 M).
[9] Al Khalidi, Abdul Fatah, Al Bayân Fî Î’jâz Al Qur‘ân, Penerbit
: Dar Ammar, Hal : 93-94, Cet : Ketiga (1992 M).
[10] Al Fâtihah [1] : 5.
[11] Al Hajjaz, Muslim, Shahîh Muslim, Penerbit : Ihya At Turats Al
‘Arabi, No Hadits. 1038, Cet (1972 M).
[12] Lihat : Âli ’Imrân [3] : 103.
[13] Khaimar, Muh Utsman, Manhaj
Al Qur‘ân Fî Tarbiyah Al Insân, Penerbit : Muassasah Al ‘Arabiyyah Al
Haditsah, Hal : 80 (Tanpa Tahun Penerbitan).
[14] Lihat : An Noursi, Sa’id, Al Maktûbat, Tarjamah : Ihsan
Qasim Shaleh, Penerbit : Sozler, hal : 506-508, Cet : Ketiga (1993 M).
[15] An Nûr [24] : 41.
[16] Q.S. Al Isrâ‘ [17] : 88.
[17] Az Zarkasyi, Badruddin, Al
Burhân Fî Ûlûm Al Qur‘ân, Penerbit : Dar Al Fikr, Juz : 2, Hal : 119, Cet
(1998 M).
[18] As Suyuthi, Jalaluddin, Al Itqân Fî Ûlûm Al Qur‘ân, Penerbit : Dar Ibnu Katsir,
Juz : 2, Hal : 1020, Cet : Keempat (2000 M).
[19] Al Alusi, Syihabuddin, Rûh Al Ma’ânî, Penerbit : Dar Al Kutub Al
'Ilmiyyah, Juz : 8, Hal : 157, Cet : Pertama (1994 M).
[20] Lihat : An Noursi, Said, Al Kalimât, Tarjamah : Ihsan Qasim Shaleh,
Penerbit : Sozler, Hal : 291-292, Cet : Kedua (1992 M).
[21] Q.S. Al Anfâl [8] : 31.
[22] Abdul Fattah, Shalah, I'jaz
Al Qur‘ân Al Bayanî Wa Dalâ‘il Mashdarihî Ar Rabbânî, Penerbit : Dar Ammar,
Hal : 52-53, Cet : Pertama (2000 M).
[23] Q.S. Al Anbiyâ‘ [21] : 107.
[24] Thanthawi, Sayyid, At Tafsîr Al Wasîth, Penerbit :
As Sa'adah, Juz : 17, Hal : 107 (Tanpa Tahun Penerbitan).
[25] Q.S. Al Jinn [72] : 1-2.
[26] Q.S. Al Ahqâf [46] : 29-30.
[27] Az Zuhaili, Wahbah, At Tafsîr Al Munîr Fî Al ’Âqîdah Wa
Asy Syarî’ah Wa Al Manhaj, Penerbit : Dar Al Fikr, Juz : 29, Hal : 163, Cet
: Pertama (1991 M).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar