BOLEHKAH ULAMA MUTA'AKHKHIRIN
MELAKUKAN KRITIK
HADIS?
Muhammad Zaki*
A. Pendahuluan
Sifat dasar hadis yang sebagian besar diriwayatkan secara ahad
telah memunculkan permasalahan yang rumit terkait dengan pembuktian
otentisitasnya. Hal ini disebabkan, interval waktu yang cukup panjang antara
masa Nabi SAW. dengan para penghimpun hadis, terjadinya periwayatan secara
makna, pergolakan politik dan perbedaan mazhab, serta adanya ulah tidak
bertanggungjawab dari musuh-musuh Islam maupun kalangan muslimin sendiri, baik
secara sengaja maupun tidak, yang membuat-buat hadis berdasarkan selera dan
motivasi tertentu. Inilah yang menyebabkan sebagian hadis nyaris hilang otensisitas dan
orisinalitasnya.
Beruntungnya, kaum muslimin sejak masa sahabat, tabi’in, dan generasi
setelahnya memiliki suatu komitmen untuk menjaga kemurnian sabda Nabi SAW.,
dari bentuk pemalsuan atau rekayasa. 'Abd Allah ibn al-Mubarak ditanya,
mengenai maraknya hadis-hadis palsu yang beredar. Ia menjawab: "Insya
Allah akan ditanggulangi oleh para pakarnya (ahli kritik hadis)".[1]
Sejarah menyebutkan, sebanyak apapun hadis yang tersebar, dengan segala
macam bentuk dan jenisnya, tidak luput dari jangkauan para pakar kritik hadis.
Kesungguhan belajar, mencari, menyeleksi, dan menghimpun hadis berhasil
menyelamatkan eksistensi hadis dari upaya rekayasa dan pemalsuan. Oleh sebab
itu hadis-hadis yang sampai ke tangan kita sekarang merupakan barang jadi yang
sudah siap digunakan, karena sudah diolah melalui seperangkat alat uji yang
disebut Ilmu Kritik Hadis, yang mencakup kritik sanad dan matan.
Ilmu tersebut mencapai usia matangnya pada abad III, dengan lahirnya
tokoh-tokoh kritikus hadis kenamaan seperti Yahya ibn Ma'in, ‘Abd al-Rahman ibn
Mahdi, Ahmad ibn Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Zur'ah, Abu Hatim, al-Nasa'i,
Ibn Abi Hatim, dan lain-lain. Mereka adalah sekian ulama mutaqaddimin
spesialis di bidang kritik hadis. Setelah periode mereka masih lahir kembali
tokoh-tokoh kritik hadis, seperti Ibn Hibban, al-Daraquthni, al-Hakim,
al-Khathib al-Baghdadi, dan lainnya. Mereka merupakan tokoh-tokoh kritikus
hadis penutup periode mutaqaddimin, karena setelah mereka, dunia hadis
memasuki periode muta'akhkhirin, yang juga melahirkan tokoh-tokoh
kritikus hadis yang tidak kalah hebatnya, seperti Ibn al-Shalah, al-Nawawi,
al-Dzahabi, al-‘Iraqi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi, dan
lain-lain.
Pemisahan
antara periode mutaqaddimin dan muta'akhkhirin berkaitan erat
dengan masalah kritik hadis. Hal ini disebabkan, munculnya fatwa seorang tokoh dari kalangan muta'akhkhirin
yang menutup pintu ijtihad di bidang kritik hadis, dengan kata lain, melarang
ulama muta'akhkhirin melakukan kritik hadis. Fatwa ini dinilai
kontroversial, sehingga mendapat sorotan tajam dari ulama. Di antara mereka ada
yang setuju dengan ditutupnya pintu ijtihad di bidang kritik hadis, sebagaimana
yang terjadi di bidang Fiqh. Namun sebagian besar ulama menolak dan tidak
menyambut positif fatwa tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengungkap, sejarah
atau latar belakang timbulnya fatwa tersebut dan bagaimana ulama muta'akhkhirin
menyikapinya.
B. Fatwa Ibn al-Shalah tentang Larangan Menilai Hadis bagi
Ulama Muta'akhkhirin.
Masalah
kritik hadis ulama muta’akhkhirin telah menjadi isu dan perdebatan
hangat di kalangan ulama hadis abad ke 7 sampai ke 9. Isu ini mencuat ketika
seorang ulama hadis kenamaan Ibn al-Shalah (w. 643 H), penulis kitab Muqaddimah
fi 'Ulum al-Hadits, mengeluarkan fatwa, bahwa jika ditemukan hadis yang shahih
sanad-nya tetapi tidak tercantum di dalam salah satu kitab shahih
maka kita tidak boleh memberanikan diri untuk menghukuminya shahih,
karena pada masa sekarang ini tidak cukup menghukumi ke-shahih-an hanya dengan melihat sanad.
Oleh sebab itu untuk mengetahui shahih dan hasan suatu hadis harus
berpegang kepada apa yang telah ditetapkan ulama hadis dalam karya-karya mereka
yang terkenal dan terpercaya, yang aman dari perubahan dan rekayasa…[2]
Sepenggalan
pernyataan Ibn al-Shalah di atas kemudian menjadi isu kontroversial di kalangan
ulama hadis muta'akhkhirin abad 7 sampai 9 H. Ada beberapa alasan yang
mendorong Ibn al-Shalah berfatwa demikian. Yang pertama, lemahnya
kemampuan ulama muta'akhkhirin dalam men-tashih- dan men-tahsin
hadis dibandingkan ulama mutaqaddimin. Kedua, dikhawatirkan
orang-orang yang tidak berkompeten di bidang kritik hadis berani melakukan tashih
dan tahsin padahal mereka tidak menguasai ilmunya. Ketiga, pintu
ijtihad di bidang hadis telah tertutup sebagaimana pintu ijtihad di bidang
Fiqh. Oleh sebab itu ia mengajak untuk berpegang kepada hasil penilaian ulama mutaqaddimin
yang telah dibukukan, sebagaimana ia pernah menyerukan supaya bertaklid kepada
Imam Empat dalam masalah Fiqh.[3]
C. Sikap Ulama Hadis terhadap Fatwa Ibn al-Shalah
Fatwa
dan alasan Ibn al-Shalah di atas tidak mendapat sambutan dari mayoritas ulama
hadis, baik yang sezaman dengannya maupun yang sesudahnya. Untuk alasan
pertama, menurut Musfir al-Damini, tidak kuat, karena pada kenyataannya telah
muncul di kalangan muta'akhkhirin
ulama-ulama yang mempunyai
kemampuan men-sahih-kan hadis-hadis yang belum diteliti pendahulu
mereka. Begitu juga dalam bidang Fiqh, banyak masalah yang ditinggalkan ulama mutaqaddimin
berhasil dijawab muta'akhkhirin.[4]
Bahkan ada hadis-hadis yang di-dha'if-kan mutaqaddimin di-hasan-kan
atau di-shahih-kan oleh ulama muta’akhkhirin.[5]
Untuk alasan kedua hampir semua ulama
menyepakatinya. Hanya saja alasan ini tidak cukup kuat untuk menutup pintu
ijtihad di bidang kritik hadis. Al-Nawawi ketika membantah Ibn al-Shalah
mengatakan: "Dibolehkan men-tashih hadis bagi yang berkemampuan dan
berpengetahuan, tidak ada batasan untuk melakukannya oleh para ahli setiap
zaman, bahkan untuk zaman-zaman belakangan lebih memungkinkan karena sudah
banyak jalur hadis yang ditemukan".[6]
Pada bagian lain secara lebih tegas al-Nawawi berkata: "Yang jelas
menurutku boleh, tentunya bagi mereka yang mampu dan memiliki pengetahuan.[7]
Pendapat al-Nawawi ini, menurut al-'Iraqi, disepakati mayoritas ulama hadis.
Ini terbukti banyaknya ulama hadis muta'akhkhirin yang men-shahih-kan
hadis-hadis yang belum di-tashhih ulama mutaqaddimin.[8]
Ibn Katsir (w.774 H), yang sepakat dengan al-Nawawi mengatakan: "Dalam
kitab-kitab musnad, mu'jam, ajza', dan lainnya ditemukan
banyak tashhih dari ulama yang ahli di bidang hadis, walaupun tidak ada tashhih
dari ulama terdahulu. Tashhih tersebut diberikan setelah dilakukan
penelitian mendalam menyangkut rijal dan 'illat-'illat yang dapat
merusak hadis".[9]
Alasan
ketiga, yang mengatakan pintu ijtihad telah tertutup dibantah para ulama. Ahli
hadis kontemporer, Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, bahwa pendapat yang
menyatakan pintu ijtihad telah tertutup merupakan pendapat batil karena tidak
ada dalil penguatnya, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah.[10]
Ibn Hajar al-‘Asqalani telah menulis kitab
khusus yang mengkritisi isi kitab Muqaddimah Ibn Shalah. Masalah
penutupan pintu ijtihad di bidang kritik hadis ini tidak luput dari
perhatiannya, bahkan mendapat pembahasan yang cukup luas. Menurut al-'Asqalani,
jika seorang meriwayatkan sebuah hadis, tidak menemukan cacatnya dan sanad-ya
memenuhi syarat-syarat ke-shahih-an, dan ahli hadis lain tidak menemukan
'illat di dalamnya, apa yang menghalangi untuk menghukuminya shahih,
walaupun tidak ditemukan pernyataan shahih dari ulama mutaqaddimin.[11]
Pada kenyataannya, banyak hadis-hadis yang telah dinilai shahih oleh mutaqaddimin
ditemukan oleh ulama muta’akhkhirin 'illat yang
menghalanginya dinilai shahih. Hal ini akan tampak sekali pada ulama mutaqaddimin
yang tidak memandang perbedaan antara shahih
dan hasan seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban. Keduanya sering men-shahih-kan
suatu hadis padahal derajatanya tidak lebih dari hasan. Termasuk pula
al-Tirmidzi, ulama yang membedakan antara hadis shahih dan hasan,
ditemukan dalam kitabnya hadis-hadis ber-'illat yang dihukuminya shahih.[12]
Di
antara ulama ada yang berpendapat bahwa kebolehan mengkritik hanya terhadap
hadis yang belum dinilai kualitasnya oleh mutaqaddimin. Pendapat ini dibantah sejumlah ulama. Hamzah
al-Malibari mengatakan, adapun pendapat yang mengatakan, kebolehan --tashih
wa tadh'if-- hanya pada hadis yang belum pernah dinilai mutaqaddimin
saja, sedangkan yang sudah dihukumi tidak boleh, merupakan pendapat tidak
berdasar, karena bisa jadi pendapat muta'akhkhirin benar,
sebagaimana bisa jadi pendapat mutaqaddimin salah. Kami melihat para mutaqaddimin
saling mengkritisi pendapat satu sama lain, dan di antara mereka mengungguli sebagian
lainnya.[13]
Pendapat ini menyimpulkan, bahwa hasil kritik mutaqaddimin-pun terkadang
perlu dikritisi, karena tidak jarang ditemukan
kesalahannya oleh muta’akhkhirin. Dengan demikian hasil
penelitian ulama mutaqaddimin bukanlah harga mati yang tidak bisa
ditawar.
Jika
ditelusuri dari abad ke abad tampaknya gaung fatwa Ibn al-Shalah tidak
berpengaruh terhadap kegiatan kritik hadis. Para ulama yang sezaman dengannya
dan sesudahnya banyak melakukan penelitian dan mengkritisi hasil penilaian mutaqaddimin.
Di antara ulama yang sezaman dengannya adalah Ibn al-Qaththan (w. 628 H),
Dhiya' al-Din al-Maqdisi (w. 643 H),
Zakiyuddin al-Mundziri (w. 656 H), dan
al-Nawawi (w. 676 H). Mereka telah melakukan tashhih beberapa
hadis yang belum di-tashih ulama mutaqaddimin.[14]
Adapun ulama generasi setelah Ibn al-Shalah yang
meneruskan tradisi tashih wa tadh'if (kritik hadis) adalah Syarafuddin
al-Dimyathi (w. 705 H), al-Mizzi (w. 742 H), al-Dzahabi (w. 745 H), al-Subki
(w. 771 H), al-'Iraqi (w. 806 H), Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), al-Sakhawi
(w. 902 H), al-Suyuthi. (w.911 H), al-Munawi (w.1031 H), dan lainnya. Bahkan
sebenarnya, Ibn al-Shalah sendiri telah melakukan kritik hadis dan memberikan
penilaian shahih (tashhih), hasan (tahsin), dan dha'if
(tadh'if).[15]
Para ulama, seperti al-Nawawi dan lainnya berkata: " Komentar Ibn
al-Shalah terhadap tashhih al-Hakim secara sendirian dalam kitab al-Mustadrak,
yang kualitasnya antara shahih dan hasan, secara tidak langsung
merupakan praktek menghukumi hadis yang telah di-shahih-kan
pendahulunya.[16]
Tokoh
hadis kontemporer, Muhammad Nashir al-Din al-Albani, mengkritik prinsip yang
dibangun Ibn al-Shalah yang melarang tashih muta'akkhirin, karena
ia sendiri tidak konsisten dengan prinsip itu. Menurutnya, Ibn Shalah telah
men-shahih-kan hadis tentang larangan melihat kemaluan istri, padahal
ulama sebelumnya seperti Abu Hatim al-Razi dan Ibn Hibban telah men-dha'if-kannya.[17]
Kendati menolak fatwa Ibn al-Shalah, al-Albani mensyaratkan pengetahuan
mendalam bagi mereka yang terjun di bidang kritik hadis. Dalam salah satu tulisannya
ia mengatakan: "Aku sarankan kepada mereka yang melakukan tashhih dan tadh'if
hadis supaya tidak ceroboh dalam menghukumi hadis kecuali setelah melalui waktu
yang panjang melakukan kajian ilmu dan ushul-nya, biografi periwayat,
pengetahuan tentang 'illat, sehingga ia merasakan dirinya sudah mantap
baik secara teori maupun praktek. Hal ini dibuktikan jika hasil penelitiannya
biasanya sesuai dengan hasil penelitian para hafizh terkemuka seperti
al-Dzahabi, al-Zaila'i, al-‘Asqalani, dan selain mereka. [18]
Sudah
menjadi sunatullah, bahwa setiap masa akan timbul ulama yang menekuni suatu
bidang dan ahli di bidang itu, tanpa terkecuali hadis. Pada abad ini telah
muncul ulama-ulama kritikus hadis yang memiliki kedalaman ilmu sesuai dengan
zamannya, antara lain Ahmad Muhammad Syakir, Al-Ghummari bersaudara[19],
Syu'aib al-Arnauth, 'Abd al-Qadir al-Arna'uth, Abu Ghuddah, Habib al-Rahman
al-A'zhami, M. Mushthafa al-A’zhami, Muhammad Nashir al-Din al-Albani, dan lain-lain.
C.
Contoh-Contoh Hadis yang Dihukumi Shahih,
Hasan, dan Dha'if
oleh Ibn al- Shalah
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Ibn
al-Shalah ternyata tidak konsisten dengan fatwanya karena beliau sendiri telah
melakukan tashih, tahsin dan tadh’if terhadap beberapa
hadis. Berikut ini adalah contoh-contoh hadis yang dihukumi oleh Ibn al-Shalah.
“Tidak
boleh memberi mudarat (pada orang lain) dan tidak boleh diberi mudarat (oleh orang lain)”.
Ibn
al-Shalah berkata: “Hadis ini disandarkan al-Daraquthni dari berbagai jalan,
kesemuanya memperkuat hadis sehingga kualitasnya menjadi hasan.
Mayoritas ahli ilmu menerima dan berhujjah dengannya”.[20]
Contoh
lainnya:
Tidak
sah salat tanpa wudhu’ dan tidak sah wudhu’ tanpa menyebut nama Allah”.
Ibn
Shalah berkata: “Hadis ini menjadi kuat dengan banyaknya jalur sehingga ia
menjadi hasan.[21]
Contoh hadis yang dinilai dha’if:
“Telinga
itu bagian dari kepala”.
Ibn Shalah berkata: “Ke-dha’if-an
hadis ini berat, jalur yang banyak tidak mampu menguatkannya”.[22]
Contoh
lainnya:
“Salat itu adalah tiang agama”.
Ibn
al-Shalah dalam kitab Musykil al-Wasith mengatakan: “Hadis ini tidak
dikenal”.[23]
D. Kesimpulan
Dengan
memperhatikan argumentasi-argumentasi ulama dan realitas yang ada, menjadi
jelas, bahwa kritik hadis (tashhih, tahsin, dan tadh'if)
dapat dilakukan sepanjang masa dan tidak terbatas pada suatu masa. Hanya saja
yang perlu ditegaskan, ini khusus bagi mereka yang mampu dan mempunyai
kepakaran khusus di bidang kritik hadis. Bagi mereka yang tidak mampu cukuplah
bertaklid kepada penilaian ulama terdahulu. Sebab mengkritik hadis tidak cukup
dengan membolak-balik kitab rijal sebagaimana yang dilakukan sebagian
orang, tetapi memerlukan seperangkat ilmu lain yang sebagai penunjang.
Mengkritik hadis termasuk lapangan ijtihad di bidang hadis, sehingga bagi yang
benar mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani,
Muhammad Nashir al-Din, Silsilah al-Ahadits al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah, t.p., t.tp., 1399 H.
Al-Damini,
Musfir 'Azm Allah, Maqayis Naqd Mutun
al-Sunnah, Riyadh, t.p., 1404H /1984 M
Al-Ghummari,
Ahmad ibn Shiddiq, al-Mushim fi Bayan Hal Hadits Thalab al-'Ilm, Riyadh,
Makatabah Tahabariyah, 1994 M
Al-Malibari,
Hamzah, Tashhih al-Hadits 'inda Ibn al-Shalah, Beirut, Dar ibn Hazm,
1997 M.
Ayyub,
Ahmad Sulaiman, Muntaha al-Amani bi Fawa’id Mushthalah al-Hadits li
al-Muhaddits al- Albani, Kairo:,al-Faruq al-Haditsah 1423 H/2003 M.
Ibn
Khalifah, 'Abd al-Razzak, Mas'alat al-Tashhih wa al-Tahsin fi al-A’shar
al-Muta’akhkhirrah, Beirut, Dar ibn Hazm, 1420 H. /1999 M
Ibn
al-Shalah, Muqaddimah Ibn al-Shalah fi 'Ulum al-Hadits, Beirut, Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409H/1989M.
Jalal
al-Din, Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Taqrib al-Nawawi,
Beirut,Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.
Syakir,
Ahmad Muhammad, al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtshar 'Ulum al-Hadits,
Beirut:, Dar al-Fikr, t.th.
* Penulis adalah
dosen tetap Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung. S1nya
diselesaikan di IAIN Raden Fattah Palembang, S2nya di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dan sekarang dalam proses penyelesaian S3 pada perguruan tinggi yang
sama.
[1] Musfir 'Azm Allah al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah,
(Riyadh, t.p., 1404H/1984), h. 45
[2] Ibn al-Shalah, Muqaddimah Ibn al-Shalah fi 'Ulum al-Hadits,
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409H/1989M), h. 9 Lihat juga 'Abd
al-Razzak ibn Khalifah, Mas'alat al-Tashhih wa al-Tahsin fi al-A'shar
al-Muta'akhkhirah, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1420H/1999M), h. 10
[3] 'Abd al-Razzaq, op. cit. h. 23-26
[4] Musfir al-Damini, op. cit., h. 44-45
[5] Contoh hadis :"Thalab al-'ilm faridhatun 'ala kulli
muslimin", telah dinilai dha'if oleh para huffazh
seperti Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahuyah, Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi,
Ibn 'Abd al-Barr, Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan al-Dzahabi. Tetapi dinilai hasan
oleh Ibn al-Qaththan, al-Sakhawi, dan al-Suyuthi, bahkan di-shahih-kan
oleh al-'Iraqi dari sebagian para imam. Lihat Ahmad ibn Shiddiq al-Ghummari,
al-Mushim fi Bayan Hal Hadits Thalab al-'Ilm, (Riyaadh:Makatabah
Tahabariyah, 1994), h. 5
[6] 'Abd al-Razzaq, op. cit., h. 30
[7] Ibid.
[8] Ibid, h. 24
[9] Ibid., h.32
[10]Ibid, h. 42-43 Lihat juga Ahmad Muhammad
Syakir, al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtshar 'Ulum al-Hadits, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.)., h. 36
[11] Ibid, h. 38
[12] Ibid, h. 47
[13] Hamzah al-Malibari, Tashhih al-Hadits 'inda Ibn al-Shalah,
(Beirut: Dar ibn Hazm, 1997), h. 95-96
[14] Ibn al-Qathhan telah men-shahih-kan hadis Ibn 'Umar
yang menceritakan, bahwa Ibn 'Umar pernah berwudhu' menggunakan alas kaki
(sandal), kemudian mengusapnya. Ibn 'Umar berkata, bahwa Rasulullah SAW.,
pernah melakukannya. Termasuk juga hadis, tentang sahabat yang menunggu salat
sambil berbaring dan ada yang tertidur, kemudian bangun langsung menunaikan salat. Hadis
tersebut telah di-shahih-kan Ibn al-Qaththan yang tidak ditemukan keterangan tashhih
dari ulama sebelumnya. Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Taqrib
al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th..), h. 71-72
[15] 'Abd al-Razzaq, op. cit., h. 34
[16] Ibid, h. 40-41
[17] Muhammad Nashir al-Din al-Albani, Silsilah al-Ahadits
al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah,
(t.t.p., t.p., 1399 H), jilid II, h. 230
[18] Ahmad Sulaiman Ayyub, Muntaha al-Amani bi Fawa’id
Mushthalah al-Hadits li al-Muhaddits al-Albani, (Kairo: al-Faruq
al-Haditsah 1423 H/2003 M), h. 17
[19] Abdullah ibn al-Shiddiq al-Ghummari, Ahmad ibn al-Shiddiq
al-Ghummari, dan 'Abd al-'’Aziz ibn al-Shiddiq al-Ghummari.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid. h. 68
[23] Ibid., h. 70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar