Jumat, 16 Maret 2012

BOLEHKAH ULAMA MUTA'AKHKHIRIN MELAKUKAN KRITIK HADIS?


BOLEHKAH ULAMA MUTA'AKHKHIRIN
 MELAKUKAN KRITIK HADIS?

Muhammad Zaki*

 


A. Pendahuluan
     Sifat dasar hadis yang sebagian besar diriwayatkan secara ahad telah memunculkan permasalahan yang rumit terkait dengan pembuktian otentisitasnya. Hal ini disebabkan, interval waktu yang cukup panjang antara masa Nabi SAW. dengan para penghimpun hadis, terjadinya periwayatan secara makna, pergolakan politik dan perbedaan mazhab, serta adanya ulah tidak bertanggungjawab dari musuh-musuh Islam maupun kalangan muslimin sendiri, baik secara sengaja maupun tidak, yang membuat-buat hadis berdasarkan selera dan motivasi tertentu. Inilah yang menyebabkan sebagian  hadis nyaris hilang otensisitas dan orisinalitasnya.

    Beruntungnya, kaum muslimin sejak masa sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya memiliki suatu komitmen untuk menjaga kemurnian sabda Nabi SAW., dari bentuk pemalsuan atau rekayasa. 'Abd Allah ibn al-Mubarak ditanya, mengenai maraknya hadis-hadis palsu yang beredar. Ia menjawab: "Insya Allah akan ditanggulangi oleh para pakarnya (ahli kritik hadis)".[1]
   Sejarah menyebutkan, sebanyak apapun hadis yang tersebar, dengan segala macam bentuk dan jenisnya, tidak luput dari jangkauan para pakar kritik hadis. Kesungguhan belajar, mencari, menyeleksi, dan menghimpun hadis berhasil menyelamatkan eksistensi hadis dari upaya rekayasa dan pemalsuan. Oleh sebab itu hadis-hadis yang sampai ke tangan kita sekarang merupakan barang jadi yang sudah siap digunakan, karena sudah diolah melalui seperangkat alat uji yang disebut Ilmu Kritik Hadis, yang mencakup kritik sanad dan matan. Ilmu tersebut mencapai usia matangnya pada abad III, dengan lahirnya tokoh-tokoh kritikus hadis kenamaan seperti Yahya ibn Ma'in, ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi, Ahmad ibn Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Zur'ah, Abu Hatim, al-Nasa'i, Ibn Abi Hatim, dan lain-lain. Mereka adalah sekian ulama mutaqaddimin spesialis di bidang kritik hadis. Setelah periode mereka masih lahir kembali tokoh-tokoh kritik hadis, seperti Ibn Hibban, al-Daraquthni, al-Hakim, al-Khathib al-Baghdadi, dan lainnya. Mereka merupakan tokoh-tokoh kritikus hadis penutup periode mutaqaddimin, karena setelah mereka, dunia hadis memasuki periode muta'akhkhirin, yang juga melahirkan tokoh-tokoh kritikus hadis yang tidak kalah hebatnya, seperti Ibn al-Shalah, al-Nawawi, al-Dzahabi, al-‘Iraqi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Sakhawi, al-Suyuthi, dan lain-lain. 
     Pemisahan antara periode mutaqaddimin dan muta'akhkhirin berkaitan erat dengan masalah kritik hadis. Hal ini disebabkan, munculnya fatwa  seorang tokoh dari kalangan muta'akhkhirin yang menutup pintu ijtihad di bidang kritik hadis, dengan kata lain, melarang ulama muta'akhkhirin melakukan kritik hadis. Fatwa ini dinilai kontroversial, sehingga mendapat sorotan tajam dari ulama. Di antara mereka ada yang setuju dengan ditutupnya pintu ijtihad di bidang kritik hadis, sebagaimana yang terjadi di bidang Fiqh. Namun sebagian besar ulama menolak dan tidak menyambut positif fatwa tersebut. Tulisan ini akan mencoba mengungkap, sejarah atau latar belakang timbulnya fatwa tersebut dan bagaimana ulama muta'akhkhirin menyikapinya.


B. Fatwa Ibn al-Shalah tentang Larangan Menilai Hadis bagi Ulama Muta'akhkhirin.
     Masalah kritik hadis ulama muta’akhkhirin telah menjadi isu dan perdebatan hangat di kalangan ulama hadis abad ke 7 sampai ke 9. Isu ini mencuat ketika seorang ulama hadis kenamaan Ibn al-Shalah (w. 643 H), penulis kitab Muqaddimah fi 'Ulum al-Hadits, mengeluarkan fatwa, bahwa jika ditemukan hadis yang shahih sanad-nya tetapi tidak tercantum di dalam salah satu kitab shahih maka kita tidak boleh memberanikan diri untuk menghukuminya shahih, karena pada masa sekarang ini tidak cukup menghukumi  ke-shahih-an hanya dengan melihat sanad. Oleh sebab itu untuk mengetahui shahih dan hasan suatu hadis harus berpegang kepada apa yang telah ditetapkan ulama hadis dalam karya-karya mereka yang terkenal dan terpercaya, yang aman dari perubahan dan rekayasa…[2]
    Sepenggalan pernyataan Ibn al-Shalah di atas kemudian menjadi isu kontroversial di kalangan ulama hadis muta'akhkhirin abad 7 sampai 9 H. Ada beberapa alasan yang mendorong Ibn al-Shalah berfatwa demikian. Yang pertama, lemahnya kemampuan ulama muta'akhkhirin dalam men-tashih- dan men-tahsin hadis dibandingkan ulama mutaqaddimin. Kedua, dikhawatirkan orang-orang yang tidak berkompeten di bidang kritik hadis berani melakukan tashih dan tahsin padahal mereka tidak menguasai ilmunya. Ketiga, pintu ijtihad di bidang hadis telah tertutup sebagaimana pintu ijtihad di bidang Fiqh. Oleh sebab itu ia mengajak untuk berpegang kepada hasil penilaian ulama mutaqaddimin yang telah dibukukan, sebagaimana ia pernah menyerukan supaya bertaklid kepada Imam Empat dalam masalah Fiqh.[3]


C. Sikap Ulama Hadis terhadap Fatwa Ibn al-Shalah
     Fatwa dan alasan Ibn al-Shalah di atas tidak mendapat sambutan dari mayoritas ulama hadis, baik yang sezaman dengannya maupun yang sesudahnya. Untuk alasan pertama, menurut Musfir al-Damini, tidak kuat, karena pada kenyataannya telah muncul di kalangan muta'akhkhirin  ulama-ulama  yang mempunyai kemampuan men-sahih-kan hadis-hadis yang belum diteliti pendahulu mereka. Begitu juga dalam bidang Fiqh, banyak masalah yang ditinggalkan ulama mutaqaddimin berhasil dijawab muta'akhkhirin.[4] Bahkan ada hadis-hadis yang di-dha'if-kan mutaqaddimin di-hasan-kan atau di-shahih-kan oleh ulama muta’akhkhirin.[5]
    Untuk alasan kedua hampir semua ulama menyepakatinya. Hanya saja alasan ini tidak cukup kuat untuk menutup pintu ijtihad di bidang kritik hadis. Al-Nawawi ketika membantah Ibn al-Shalah mengatakan: "Dibolehkan men-tashih hadis bagi yang berkemampuan dan berpengetahuan, tidak ada batasan untuk melakukannya oleh para ahli setiap zaman, bahkan untuk zaman-zaman belakangan lebih memungkinkan karena sudah banyak jalur hadis yang ditemukan".[6] Pada bagian lain secara lebih tegas al-Nawawi berkata: "Yang jelas menurutku boleh, tentunya bagi mereka yang mampu dan memiliki pengetahuan.[7] Pendapat al-Nawawi ini, menurut al-'Iraqi, disepakati mayoritas ulama hadis. Ini terbukti banyaknya ulama hadis muta'akhkhirin yang men-shahih-kan hadis-hadis yang belum di-tashhih ulama mutaqaddimin.[8] Ibn Katsir (w.774 H), yang sepakat dengan al-Nawawi mengatakan: "Dalam kitab-kitab musnad, mu'jam, ajza', dan lainnya ditemukan banyak tashhih dari ulama yang ahli di bidang hadis, walaupun tidak ada tashhih dari ulama terdahulu. Tashhih tersebut diberikan setelah dilakukan penelitian mendalam menyangkut rijal dan 'illat-'illat yang dapat merusak hadis".[9]
    Alasan ketiga, yang mengatakan pintu ijtihad telah tertutup dibantah para ulama. Ahli hadis kontemporer, Ahmad Muhammad Syakir mengatakan, bahwa pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup merupakan pendapat batil karena tidak ada dalil penguatnya, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah.[10]
    Ibn Hajar al-‘Asqalani telah menulis kitab khusus yang mengkritisi isi kitab Muqaddimah Ibn Shalah. Masalah penutupan pintu ijtihad di bidang kritik hadis ini tidak luput dari perhatiannya, bahkan mendapat pembahasan yang cukup luas. Menurut al-'Asqalani, jika seorang meriwayatkan sebuah hadis, tidak menemukan cacatnya dan sanad-ya memenuhi syarat-syarat ke-shahih-an, dan ahli hadis lain tidak menemukan 'illat di dalamnya, apa yang menghalangi untuk menghukuminya shahih, walaupun tidak ditemukan pernyataan shahih dari ulama mutaqaddimin.[11] Pada kenyataannya, banyak hadis-hadis yang telah dinilai shahih oleh mutaqaddimin ditemukan oleh ulama muta’akhkhirin 'illat yang menghalanginya dinilai shahih. Hal ini akan tampak sekali pada ulama mutaqaddimin yang tidak memandang perbedaan antara  shahih dan hasan seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban. Keduanya sering men-shahih-kan suatu hadis padahal derajatanya tidak lebih dari hasan. Termasuk pula al-Tirmidzi, ulama yang membedakan antara hadis shahih dan hasan, ditemukan dalam kitabnya hadis-hadis ber-'illat yang dihukuminya shahih.[12]
   Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa kebolehan mengkritik hanya terhadap hadis yang belum dinilai kualitasnya oleh mutaqaddimin. Pendapat  ini dibantah sejumlah ulama. Hamzah al-Malibari mengatakan, adapun pendapat yang mengatakan, kebolehan --tashih wa tadh'if-- hanya pada hadis yang belum pernah dinilai mutaqaddimin saja, sedangkan yang sudah dihukumi tidak boleh, merupakan pendapat  tidak  berdasar, karena bisa jadi pendapat muta'akhkhirin benar, sebagaimana bisa jadi pendapat mutaqaddimin salah. Kami melihat para mutaqaddimin saling mengkritisi pendapat satu sama lain, dan di antara mereka mengungguli sebagian lainnya.[13] Pendapat ini menyimpulkan, bahwa hasil kritik mutaqaddimin-pun terkadang perlu dikritisi, karena tidak jarang ditemukan  kesalahannya oleh muta’akhkhirin. Dengan demikian hasil penelitian ulama mutaqaddimin bukanlah harga mati yang tidak bisa ditawar.  
    Jika ditelusuri dari abad ke abad tampaknya gaung fatwa Ibn al-Shalah tidak berpengaruh terhadap kegiatan kritik hadis. Para ulama yang sezaman dengannya dan sesudahnya banyak melakukan penelitian dan mengkritisi hasil penilaian mutaqaddimin. Di antara ulama yang sezaman dengannya adalah Ibn al-Qaththan (w. 628 H), Dhiya' al-Din al-Maqdisi (w. 643 H),  Zakiyuddin al-Mundziri (w. 656 H), dan  al-Nawawi (w. 676 H). Mereka telah melakukan tashhih beberapa hadis yang belum di-tashih ulama mutaqaddimin.[14]
     Adapun  ulama generasi setelah Ibn al-Shalah yang meneruskan tradisi tashih wa tadh'if (kritik hadis) adalah Syarafuddin al-Dimyathi (w. 705 H), al-Mizzi (w. 742 H), al-Dzahabi (w. 745 H), al-Subki (w. 771 H), al-'Iraqi (w. 806 H), Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H), al-Sakhawi (w. 902 H), al-Suyuthi. (w.911 H), al-Munawi (w.1031 H), dan lainnya. Bahkan sebenarnya, Ibn al-Shalah sendiri telah melakukan kritik hadis dan memberikan penilaian shahih (tashhih), hasan (tahsin), dan dha'if (tadh'if).[15] Para ulama, seperti al-Nawawi dan lainnya berkata: " Komentar Ibn al-Shalah terhadap tashhih al-Hakim secara sendirian dalam kitab al-Mustadrak, yang kualitasnya antara shahih dan hasan, secara tidak langsung merupakan praktek menghukumi hadis yang telah di-shahih-kan pendahulunya.[16]
    Tokoh hadis kontemporer, Muhammad Nashir al-Din al-Albani, mengkritik prinsip yang dibangun Ibn al-Shalah yang melarang tashih muta'akkhirin, karena ia sendiri tidak konsisten dengan prinsip itu. Menurutnya, Ibn Shalah telah men-shahih-kan hadis tentang larangan melihat kemaluan istri, padahal ulama sebelumnya seperti Abu Hatim al-Razi dan Ibn Hibban telah men-dha'if-kannya.[17] Kendati menolak fatwa Ibn al-Shalah, al-Albani mensyaratkan pengetahuan mendalam bagi mereka yang terjun di bidang kritik hadis. Dalam salah satu tulisannya ia mengatakan: "Aku sarankan kepada mereka yang  melakukan tashhih dan tadh'if hadis supaya tidak ceroboh dalam menghukumi hadis kecuali setelah melalui waktu yang panjang melakukan kajian ilmu dan ushul-nya, biografi periwayat, pengetahuan tentang 'illat, sehingga ia merasakan dirinya sudah mantap baik secara teori maupun praktek. Hal ini dibuktikan jika hasil penelitiannya biasanya sesuai dengan hasil penelitian para hafizh terkemuka seperti al-Dzahabi, al-Zaila'i, al-‘Asqalani, dan selain mereka. [18]
   Sudah menjadi sunatullah, bahwa setiap masa akan timbul ulama yang menekuni suatu bidang dan ahli di bidang itu, tanpa terkecuali hadis. Pada abad ini telah muncul ulama-ulama kritikus hadis yang memiliki kedalaman ilmu sesuai dengan zamannya, antara lain Ahmad Muhammad Syakir, Al-Ghummari bersaudara[19], Syu'aib al-Arnauth, 'Abd al-Qadir al-Arna'uth, Abu Ghuddah, Habib al-Rahman al-A'zhami, M. Mushthafa al-A’zhami, Muhammad Nashir al-Din al-Albani,  dan lain-lain.


C. Contoh-Contoh Hadis yang Dihukumi  Shahih, Hasan, dan Dha'if  oleh  Ibn al- Shalah
    Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Ibn al-Shalah ternyata tidak konsisten dengan fatwanya karena beliau sendiri telah melakukan tashih, tahsin dan tadh’if terhadap beberapa hadis. Berikut ini adalah contoh-contoh hadis yang dihukumi oleh Ibn al-Shalah.
“Tidak boleh memberi mudarat (pada orang lain) dan tidak boleh  diberi mudarat (oleh orang lain)”.
                 
    Ibn al-Shalah berkata: “Hadis ini disandarkan al-Daraquthni dari berbagai jalan, kesemuanya memperkuat hadis sehingga kualitasnya menjadi hasan. Mayoritas ahli ilmu menerima dan berhujjah dengannya”.[20]
Contoh  lainnya:
Tidak sah salat tanpa wudhu’ dan tidak sah wudhu’ tanpa menyebut nama Allah”.

    Ibn Shalah berkata: “Hadis ini menjadi kuat dengan banyaknya jalur sehingga ia menjadi hasan.[21]
Contoh hadis yang dinilai dha’if:

“Telinga itu bagian dari kepala”.
   
Ibn  Shalah berkata: “Ke-dha’if-an hadis ini berat, jalur yang banyak tidak mampu menguatkannya”.[22]
    Contoh lainnya:  
“Salat itu adalah tiang agama”.
                  Ibn al-Shalah dalam kitab Musykil al-Wasith mengatakan: “Hadis ini tidak dikenal”.[23]

D. Kesimpulan
   Dengan memperhatikan argumentasi-argumentasi ulama dan realitas yang ada, menjadi jelas, bahwa kritik hadis (tashhih, tahsin, dan tadh'if) dapat dilakukan sepanjang masa dan tidak terbatas pada suatu masa. Hanya saja yang perlu ditegaskan, ini khusus bagi mereka yang mampu dan mempunyai kepakaran khusus di bidang kritik hadis. Bagi mereka yang tidak mampu cukuplah bertaklid kepada penilaian ulama terdahulu. Sebab mengkritik hadis tidak cukup dengan membolak-balik kitab rijal sebagaimana yang dilakukan sebagian orang, tetapi memerlukan seperangkat ilmu lain yang sebagai penunjang. Mengkritik hadis termasuk lapangan ijtihad di bidang hadis, sehingga bagi yang benar mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala.
                 
                                                   DAFTAR PUSTAKA


Al-Albani, Muhammad Nashir al-Din, Silsilah al-Ahadits al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah,  t.p., t.tp., 1399 H.

Al-Damini, Musfir 'Azm Allah,  Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyadh, t.p., 1404H /1984 M

Al-Ghummari, Ahmad ibn Shiddiq, al-Mushim fi Bayan Hal Hadits Thalab al-'Ilm, Riyadh, Makatabah Tahabariyah, 1994 M

Al-Malibari, Hamzah, Tashhih al-Hadits 'inda Ibn al-Shalah, Beirut, Dar ibn Hazm, 1997 M.               

Ayyub, Ahmad Sulaiman, Muntaha al-Amani bi Fawa’id Mushthalah al-Hadits li al-Muhaddits al- Albani, Kairo:,al-Faruq al-Haditsah 1423 H/2003 M.

Ibn Khalifah, 'Abd al-Razzak, Mas'alat al-Tashhih wa al-Tahsin fi al-A’shar al-Muta’akhkhirrah, Beirut, Dar ibn Hazm, 1420 H. /1999 M

Ibn al-Shalah, Muqaddimah Ibn al-Shalah fi 'Ulum al-Hadits, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409H/1989M.

Jalal al-Din, Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Taqrib al-Nawawi, Beirut,Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.

Syakir, Ahmad Muhammad, al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtshar 'Ulum al-Hadits, Beirut:, Dar al-Fikr, t.th.














                                  



* Penulis adalah dosen tetap Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar Lampung. S1nya diselesaikan di IAIN Raden Fattah Palembang, S2nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan sekarang dalam proses penyelesaian S3 pada perguruan tinggi yang sama.

[1] Musfir 'Azm Allah al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, (Riyadh, t.p., 1404H/1984), h. 45

[2] Ibn al-Shalah, Muqaddimah Ibn al-Shalah fi 'Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1409H/1989M), h. 9 Lihat juga 'Abd al-Razzak ibn Khalifah, Mas'alat al-Tashhih wa al-Tahsin fi al-A'shar al-Muta'akhkhirah, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1420H/1999M), h. 10

[3] 'Abd al-Razzaq, op. cit. h. 23-26
[4] Musfir al-Damini, op. cit., h. 44-45
[5] Contoh hadis :"Thalab al-'ilm faridhatun 'ala kulli muslimin", telah dinilai dha'if oleh para huffazh seperti Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahuyah, Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, Ibn 'Abd al-Barr, Ibn al-Shalah, al-Nawawi, dan al-Dzahabi. Tetapi dinilai hasan oleh Ibn al-Qaththan, al-Sakhawi, dan al-Suyuthi, bahkan di-shahih-kan oleh al-'Iraqi dari sebagian para imam. Lihat Ahmad ibn Shiddiq al-Ghummari, al-Mushim fi Bayan Hal Hadits Thalab al-'Ilm, (Riyaadh:Makatabah Tahabariyah, 1994), h. 5
[6] 'Abd al-Razzaq, op. cit., h. 30
[7] Ibid.
[8] Ibid, h. 24
[9] Ibid., h.32

[10]Ibid, h. 42-43 Lihat juga Ahmad Muhammad Syakir, al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtshar 'Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.)., h. 36
[11] Ibid, h. 38
[12] Ibid, h. 47

[13] Hamzah al-Malibari, Tashhih al-Hadits 'inda Ibn al-Shalah, (Beirut: Dar ibn Hazm, 1997), h. 95-96
[14] Ibn al-Qathhan telah men-shahih-kan hadis Ibn 'Umar yang menceritakan, bahwa Ibn 'Umar pernah berwudhu' menggunakan alas kaki (sandal), kemudian mengusapnya. Ibn 'Umar berkata, bahwa Rasulullah SAW., pernah melakukannya. Termasuk juga hadis, tentang sahabat yang menunggu salat sambil berbaring dan ada yang tertidur, kemudian  bangun langsung menunaikan salat. Hadis tersebut telah di-shahih-kan Ibn al-Qaththan  yang tidak ditemukan keterangan tashhih dari ulama sebelumnya. Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh al-Taqrib al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th..), h. 71-72

[15] 'Abd al-Razzaq, op. cit., h. 34
[16] Ibid, h. 40-41
[17] Muhammad Nashir al-Din al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Dha'ifah wa al-Maudhu'ah,  (t.t.p., t.p., 1399 H), jilid II, h. 230

[18] Ahmad Sulaiman Ayyub, Muntaha al-Amani bi Fawa’id Mushthalah al-Hadits li al-Muhaddits al-Albani, (Kairo: al-Faruq al-Haditsah 1423 H/2003 M), h. 17
[19] Abdullah ibn al-Shiddiq al-Ghummari, Ahmad ibn al-Shiddiq al-Ghummari, dan 'Abd al-'’Aziz ibn al-Shiddiq al-Ghummari.
[20] Ibid.
[21] Ibid.

[22] Ibid. h. 68
[23] Ibid., h. 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar