Jumat, 16 Maret 2012

HADITS MENURUT MUSTHAFA AL-SIBA’I DAN AHMAD AMIN (Suatu Kajian Komparatif)


HADITS MENURUT MUSTHAFA AL-SIBA’I DAN AHMAD AMIN
(Suatu Kajian Komparatif)
Khairullah

ABSTRAK

Keyakinan umat Islam terhadap posisi dan otentisitas hadits atau sunnah pada masa Nabi SAW tidak terdapat persoalan, karena jika mereka menemukan sesuatu yang meragukan atau yang belum jelas bisa langsung melakukan konfirmasi kepada Nabi SAW. Lain halnya pasca wafatnya beliau sampai sekarang, problematika hadits sudah sedemikian rupa, yang berujung kepada terbukanya tabir untuk melihat keberadaannya sebagai otoritas keagamaan. Seperti halnya dilakukan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam, yang melakukan kritik terhadap beberapa hal tentang hadits. Menurutnya, orisinalitas hadits pasca wafatnya Nabi SAW patut dipertanyakan. Sementara Musthafa al-Siba’I melakukan counter terhadap pemikiran Ahmad Amin dengan mengemukakan bukti-bukti historis orisinalitas hadits. Dalam pandangan Musthafa al-Siba’I, kiritk Ahmad Amin terhadap hadits kurang didasari oleh argumentasi yang kuat, bahkan argumentasi yang dibangun lebih bersifat asumtif, generalisasi dan tekstual.


KATA KUNCI: Hadits, Musthafa al-Siba’I, Ahmad Amin


A.    PENDAHULUAN
Hadits atau yang lazim juga disebut dengan sunnah merupakan sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, di dalamnya memuat pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan segala hal ihwal tentang Nabi Muhamamd SAW[1].
Posisi hadits atau sunnah yang tinggi tersebut dalam perundang-undangan Islam telah disepakati oleh seluruh umat Islam dari dahulu sampai sekarang. Sehingga dapat dikatakan bahwa percaya kepada sunnah adalah bagian  dari iman di dalam agama dan menerima sunnah merupakan bagian dari menerima agama, sebagaimana terungkap dalam sebuah atsar yang populer:
ان هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
‘sesungguhnya ilmu hadits ini adalah agama, maka periksalah dari siapa kamu sekalian mengambil agamamu itu”
 Atsar tersebut menjelaskan dua hal yang penting yaitu; pertama, penilaian yang sangat tinggi terhadap sunnah, di mana ia diterapkan sebagai agama, sehingga menerima dan membernarkannya merpakan keharusan dalam beriman. Kedua, perlunya metode yang benar dan standard dalam melakukan penilaian dan penelitian terhadap kebenaran sunnah.
Berdasar pada perlunya suatu metode yang standard dan benar dalam penilaian dan penelitian sunnah, menunjukkan betapa besar keseriusan umat Islam dalam melestarikan sunnah sebagai sumber pokok ajaran agama. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan dan kesungguhna para sahabat dalam mendapatkan, menjaga kemurnian sunnah. Para sahabat terobsesi untuk mengikuti segala apa yang mereka lihat dan dengar dari Nabi SAW. Mereka bertekad untuk mendata sunnah Rasulullah. Karenanya ada di antara mereka yang mengadakan giliran mengikuti majelis-majelis ilmu yang dilaksanakan Nabi SAW. Mereka yang tidak bisa menghadiri majlis ilmu Nabi SAW dapat memperoleh keterangan-keterangan melalui sahabat lain yang menyertai Nabi. Demikian itu mereka lakukan secara bergantian dan terus menerus.
      Selanjutnya tradisi yang dilakukan para sahabat, kemudian dilanjutkan oleh para tabi’in (generasi setelah sahabat), berlanjut kemudian generasi berikutnya, dan akhirnya dapat dikatakan bahwa upaya menjaga kemurnian sunnah tidak pernah berhenti.
Namun demikian, begitu banyak bukti sejarah tentang upaya menjaga kemurnian sunnha, tetap saja ada orang atau kelompok yang mempertanyakan otentisitasnya. Dalam tulisan ini, penulis mempertemukan pandangan dua tokoh yang berbeda tentang beberpa hal yang berkaitan dengan sunnah atau hadits.


B.     BIOGRAFI SINGKAT MUSTHAFA AL-SIBA’I DAN AHMAD AMIN
1.      MUSTHAFA AL-SIBA’I
    Musthafa al-Siba’I bernama lengkap Mustafa bin Husni Abu Hasan al-Siba’i. Lahir di Kota Homs, salah satu kota yang ada di Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H.[2] Beliau memulai pendidikannya di kampung halamannya, mulai ilmu agama, keorganisasian, maupun politik yang langsung ditimba dari ayahnya,[3] kemudian pada usia ke-18 tahun ia melanjutkan pendidikannya ke al-Azhar Mesir hingga menyelesaikan pendidikan Doktor dalam bidang Syari’ah dan Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Di kota inilah pula al-Siba’I memulai perkembangan intelektualnya, dan bahkan terjun ke aktivitas politik dengan bergabung dengan Hasan al-Banna, tokoh Ikhwan al-Muslimin.[4]
    Setahun setelah menyelesaikan program doktornya, al-Siba’I pulang ke kampung halamnnya pada tahun 1950. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang memposisikan dirinya sebagai ahli hukum atau syari’at Islam dan sejarah, yang juga mendudukannya sebagai tokoh yang ahli dalam disiplin hadits dan sejarah, ia aktif mengajar di perguruan tinggi, di organisasi keislaman dan di dunia penerbitan.
   Salah satu karya Al-Siba’I  yang sangat monumental dan fundamental serta referensi utama dalam menghadapkan pemikirannya dengan Ahmad Amin adalah as-Sunnah wa Makanatuhafi at-Tasyri’ al-Islami. Pada tahun 1993 buku ini telah diterjemahkan secara lengkap oleh Dja’far Abd. Muchith yang diterbitkan oleh CV. Diponegoro Bandung dengan judul terjemahan al-Hadits sebagai Sumber Hukum. Kemudian pada tahun yang sama, dalam bentuk terjemah ringkas, karya ini juga telah diterjemahkan oleh  Nurcholis Madjid dengan judul Sunnah dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta.
   Adapun karya-karya lainnya adalah: Isytirakiyatal-Islam, Akhlaquna al-Ijtima’iyyah, al-Qala’id min Fara’id al-Fawa’id, al-Washaya wa al-Fara’id, ‘Azhama’una fi at-Tarikh, Hadza Huwa al-Islam, Min Rawa’I Hadharatina, as-Sirah an-Nabawiyah, tarikhuha wa durusuha, dan masih banyak lagi lainnya.[5] Tokoh ini mengakhiri hidupnya pada tahun 1967 di Syiria.


2.      AHMAD AMIN
Ahmad Amin dengan nama lengkapnya Ahmad Amin bin asy-Syaikh Ibrahim ath-Thabbakh, lahir di Kairo tanggal 1 Oktober 1886 M.[6] Ia terlahir dalam lingkungan keluarga yang terdidik dengan disiplin yang kuat. Dalam otobiografi yang yang dituis beberapa tahun menjelang wafat (1950), Amin mengatakan bahwa ia menimba ilmu pengetahuan yang pentng di rumahnya sendiri, oleh ayahnya, tempat kediaman keluarga Ahmad Amin di setting seperti perpustakaan yang dilengkapi dengan kitab-kitab dalam banyak ilmu seperti: Fiqh, Tafsir, Hadits, Bahasa, Sejarah, Sastra Budaya, Nahwu, Sharaf, dan balaghah. Dalam keseharian, waktunya dihabiskan untuk membaca kitab-kitab tersebut.[7]
Selain mendapatkan ilmu pendidikan di lingkungan keluarga, ia juga belajar di luar untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah[8]. Ahmad Amin menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas al-Azhar jurusan Peradilan Agama, dan langsung mengajar di almamaternya sampai  tahun 1921.
Setelah mengabdi di almamaternya, ia pindah ke kota kelahirannya Kairo, dan mengajar di Universitas Kairo sampai diangkat menjadi Rektor pada tahun 1947. Kemudian pada tahun 1949 ia menerima gelar Doktor Honoris Causa.
Selain memangku jabatan, Ahmad Amin termasuk penulis yang produktif, bahkan ia dinobatkan sebagai ketuga Komite Pengarang, Penerjemah dan Penerbitan selama 30 tahun. Jabatan inilah yang mendudukannya sebagai pengarang dan penulis yang terkemuka.
Diantara karyanya yang paling kontroversial adalah Farj al-Islam. Kitab inilah yang penulis jadikan rujukan dalam mengkomparasikan pemikiran Musthafa al-Siba’I dengan Ahmad Amin tentang Hadits. Karya-karya lainnya seperti Dhuha al-Islam, Zhuhr al-Islam, Mabadi’ al-Falsafah, al-Akhlak dan masih banyak lagi karya lainnya.[9]
Dalam karir intelektualnya, Ahmad Amin terkenal dengan sosok yang sangat kritis dan berani. Hal ini sesuai dengan ungkapannya dalam bukunya Al-Akhlak “Konsep keberanian peradaban”. Konsep ini mengilhami seseorang untuk dapat melahirkan pendapat yang diyakininya benar, walaupun itu menyulut kemarahan orang lain.[10] Sikap yang berani itu pulalah yang mendorong Ahmad Amin mengarang buku “Fajr al-Islam”, yang sebagian isinya kritik terhadap hadits. Beliau wafat pada tanggal 30 Mei 1954 M.


C. PEMIKIRAN MUSTHAFA AL-SIBA’I DAN AHMAD AMIN
     TENTANG HADITS

1. ADANYA PEMALSUAN SUNNAH

Musthafa al-Siba’I meyakini benar bahwa kemurnian hadits tetap terjaga pada masa Rasulullah. Dari segi kesejarahan, dapat dipastikan tidak pernah terjadi pemalsuan hadits pada masa hidup Rasulullah SAW, dikarenakan beliau dikelilingi oleh shahabat-shahabat beliau yang sangat loyal dan jujur. Keraguan sebagian orang bahwa hadits yang berbunyi:                                            
 من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (رواه البخارى و مسلم والترمذى) [11]
merupakan bukti bahwa Rasulullah menyabdakannya dilatar belakangi oleh pemalsuan hadits pada masanya. Jika dikaji pada aspek kuantitatif, hadits tersebut masuk dalam kategori hadits ahad. Jika memang asbab al-wurud hadits tersebut seperti yang disangkakan di atas, maka periwayatannya akan secara mutawatir, karena pemalsuan merupakan sesuatu yang sangat jahat dan menjijikkan.[12] Menurut As-Siba’I hadits tersebut tidak mempunyai sandaran sanad dalam sejarah yang kukuh, juga tidak ada sandaran asbab al-wurud sebagaimana dapat dibaca dalam berbagai kitab yang andal.[13]
   Selain argumen historis di atas, Musthafa as-Siba’I mengungkapkan analisisnya terhadap matn hadits tersebut, yaitu bahwa hadits tersebut di atas merupakan peringatan Nabi kepada para sahabatnya untuk berhati-hati dalam menuturkan sesuatu yang datang dari beliau dan menjauhi kebohongan terhadap beliau  bertalian dengan hal-hal yang beliau sendiri tidak menyabdakannya.[14]
    Adapun Ahmad Amin berpendapat bahwa awal mula terjadinya pemalsuan hadits sudah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup[15]. Amin berargumentasi dengan hadits yang berbunyi:
Menurut Amin, diriwayatkannya hadits di atas, besar dugaan bahwa sudah terjadi pemalsuan hadits pada masa Rasulullah, atau dengan kata lain bahwa asbab al-wurud hadits tersebut di atas peristiwa pemalsuan hadits yang terjadi pada masa Rasulullah. Pandangan tersebut didukung oleh beberapa alasan yang dikemukakannya yaitu: Pertama, karena hadits pada masa pertama belum dibukukan dalam kitab tersendiri. Kedua, hanya mencukupkan dengan riwayat  yang hanya didasarkan pada ingatan. Ketiga, karena sukar menghimpun segala yang telah dikatakan dan dikerjakan oleh Rasul selama 23 tahun. Ketiga alasan tersebutlah yang akhirnya Ahmad Amin menyimpulkan ada golongan yang memberanikan diri meletakkan hadts-hadits yang disandarkan kepada Rasul dengan jalan dusta.[16]
Kedua pandangan yang berbeda di atas, dapat dikaji dari dua sudut, yaitu: Pertama, sudut historis, bahwa diriwayatkan hadits yang dijadikan argumentasi Ahmad Amin telah terjadi pemalsuan hadits sejak Rasulullah masih hidup tidak memiliki akar historisnya atau lebih dikenal dengan asbab wurud al-hadits. Jika ada sahabat nabi yang melakukan pemalsuan hadits, sudah barang tentu hadits man kazzaba…. diriwayatkan secara mutawatir, karena perbuatan pemalsuan itu merupakan perbuatan yang sangat jahat dan menjijikkan. Kedua, bahwa Amin menyatakan bahwa ia patut menduga dengan perkataan Rasulullah tersebut telah terjadi pemalsuan hadits. Apabila diperhatikan secara seksama, tampak bahwa pernyataan Ahmad Amin yang masih besifat dugaan tersebut terkesan terlalu umum dan tekstual.. Perkiraan waktu permulaan terjadinya pemalsuan hadits, mengimplisitkan kesan umum, sifat tekstualitas itu yang disimpulkannya secara tergesa-gesa sehingga pernyataan itu layak disebut sebgai . Suatu pernyataan yang bertaraf dugaan, akan naif untuk naik ke . posisi setaraf alat bukti yang akan melololoskan pernyataan yang akan naik berstatus fakta yang akan menunjukkan kebenaran. Padahal perkataan Rasulullah tersebut merupakan perintah beliau kepada para sahabatnya untuk menturkan hadits beliau kepada orang-orang yang akan datang dengan penuh hati-hati dan harus didasari dengan pengetahuan yang benar. Dengan demikian pernyataan Ahmad Amin tentang awal mulanya terjadinya pemalsuan hadits itu lemah dan dengan sendirinya ditolak.


2. KODIFIKASI HADITS

   Kodifikasi hadits adalah upaya, pengumpulan dan pembukuan hadits dalam satu kitab atau mushaf. Musthafa as-Siba’i berpendapat tentang  pembukuan hadits, bahwa tidak ada perselisihan pendapat di antara para penulis biografi Nabi dan para ulama Hadits dan para shahabat, bahwa al-Qur’an mendapat perhatian yang khusus dari Nabi SAW, sehingga terpelihara dalam hafalan dan tertulis dalam lembaran-lembaran, pelepah kurna, batu lempengan dan lain-lain. Karena itu wajar ketika Rasulullah SAW wafat al-Qur’an tetap utuh dan tertib, tidak ada yang kurang, kecuali belum disatukan dalam satu mushaf.[17]
   Selanjutnya, bagaimnakah dengan nasib Hadits. Sebenarnya tidak terdapat perbedaan pendapat bahwa hadits atau sunnah memang belum di tercatat secara resmi seperti tercatatnya al-Qur’an. Keadaan demikian, menurut Musthafa al-Siba’I sebagaimana yang dikutip oleh M. Erfan Soebahar setidaknya dikarenakan tiga sebab. Pertama, bahwa Rasul SAW hidup bersama sahabat selama 23 tahun sehingga menuliskan ucapan, perbuatan dan pergaulana beliau secara utuh dalam mushaf dan lembaran-lembaran adalah suit dilakukan dari segi masalah lokasi. Sebab, hal itu membutuhkan adanya banyak orang (sahabat), sementara pada waktu itu orang yang mampu menulis masih sangat sedikit. Kedua, bahwa mayoritas orang Arab meyandarkan hafalan mereka kepada ingatan, sementara pada waktu itu para sahabat masih terkonsentrasi untuk menghafal al-Qur’an. Ketiga, bahwa adanya kekhawatiran tercampurnya al-Qur’an dengan hadits nabi yang sangat banyak konteksnya.
Ketiga alasan di atas, bukan berarti tidak pernah terjadi penulisan hadits secara tidak resmi. Ada sejumlah bukti yang ditunjukkan oleh al-Siba’I mengenai telah terjadi pencatatan hadits pada masa Nabi SAW seperti contoh berikut ini:
  1. Bahwa Rasulullah pernah menulis surat dan mengirimnya kpeada raja-raja di Jazirah Arab, dimana isi surat-surat tersebut seruan Nabi untuk memeluk Islam.[18]
  2. Bahwa Imam Ahmad dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Abu Hurairah berkata: “Tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang hadits Nabi daripadaku kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sebab dia mentata apa yang didengarnya dari Nabi dan saya tidak mencatat”.
  3. Bahwa Sahabat Rasulullah yang juga menantunya Ali RA dipastikan memiliki lembaran yang didalamnya tertulis hukum-hukum diyat (perdata).[19]
  4. Bahwa Rasulullah menulis surat kepada petugas yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan doma.[20]
Demikian beberapa bukti otentik yang diajukan Musthafa al-Siba’I untuk memperkuat pendapatnya yang mengatakan bahwa pencatatan hadits atau sunnah sudah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup, walaupun tidak secara keseluruhan.
Selanjutnya akan diuraikan pandangan Ahmad Amin tentang penulisan atau pencatatan hadits. Namun,  sebelumnya, perlu dijelaskan definisi hadits atau sunnah terlebih dahulu. Hadits atau sunnah adalah sesuatu yang datang dari Rasul SAW berupa perkataan, pengamalan, atau ketetapan. Setelah masa Rasul, dikumpulkan ke dalam (pengertian) hadits adalah sesuatu yang datang dari sahabat, sebab sahabat adalah mereka yang selalu bergaul dengan Nabi SAW, mendengar perkataan beliau, dan menyaksikan perbuatan beliau, kemudian mereka menceritakan apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar. Lalu datang setelah itu masa Tabi’in, yang bergaul dengan para sahabat, mendengar dari mereka, dan melihat perbuatan mereka. Maka semua yang datang dari Rasul SAW dan sahabat-sahabat disebut “hadits”.[21]
Dari definsi di atas, dapat dipahami bahwa hadits merupakan verbalisasi sunnah atau tradisi kenabian yang berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW yang dilakukan oleh para sahabat. Hal ini sejalan dengan  pandangan Amin selanjutnya mengenai pembukuan hadits seperti apa yang dikatakannya sebagai berikut:
“Pada masa Nabi SAW hadits belum dibukukan sebagaimana al-Qur’an, dan kita mengetahui Rasul SAW mengangkat beberapa penulis wahyu yang mencatat ayat-ayat al-Qur’an pada waktu turunnya, tetapi beliau tidak menentukan seseorang untuk mencatat apa-apa yang beliau katakan selain al-Qur’an”.
Pernyataan ini merupakan titik tolak dari pemikiran kritik Amin. Ia menengaskan bahwa pembukuan hadits belum populer pada masa Rasul, juga belum ada aturan yang dijadikan pedoman seperti yang berlaku pada pembukuan al-Qur’an, dengan kata lain bahwa periwayatan hadits menggunakan metode ingatan dan tidak dengan pencatatan.
Dalam menguatkan argumentasinya, Amin mengutip hadits berikut ini:
Artinya: Janganlah kamu semua menulis (sesuatu) dariku. Barang siapa yang menulis dariku (sesuatu) selain al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya. Dan katakanlah tentang aku sedangkan ini tidak mengapa, dan barang siapa yang dengan sengaja berbohong tentang dirku maka hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri)

Dari hadits inilah Ahmad Amin berpandangan bahwa berangkat dari larangan Rasul untuk menulis apapun yang datang dari Rasul kecuali al-Qur’an merupakan indikasi bahwa  pada masa Rasul hadits belum dibukukan, setelah wafat Nabi SAW hanya ada satu kitab yang telah dibukukan yaitu al-Qur’an.
Perbedaan pandangan kedua  tokoh di atas, berangkat dari perbedaan dalam memahami hadits yang secara tekstual berimplikasi kepada larangan untuk menulis hadits. Bagi Musthafa al-Siba’I larangan yang terdapat dalam hadits tersebut tidak dapat dipahami bahwa Rasulullah melarang kepada siapapun untuk menulis hadits dalam bentuk apapun. Hadits di atas harus dipahami suatu sikap prefentif Rasulullah kepada para sahabat untuk berhati-hati dalam menulis sesuatu darinya. Dikarenakan pada waktu itu al-Qur’an belum diturunkan secara lengkap. Sementara Ahmad Amin memahaminya sangat tekstual. Kalau pemahaman tekstual tersebut dapat diterima, bagaimana dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Musthafa al-Siba’I seperti diuraikan di atas, dimana Rasulullah sendiripun telah menulis hadits, dan bahkan ada beberapa sahabat Nabi yang menulis hadits Rasulullah. Akan tetapi jika hadits tersebut dipahami sebagai indikasi belum dikodifikasinya hadits pada masa Rasulullah secara resmi dalam satu mushaf, masih memungkinkan dapat diterima.


3. KREDIBILITAS SHAHABAT
Kredibilitas shahabat dalam terminologi ‘ulum al-hadits dikenal dengan istilah ‘adalah al-shahabah.  Term ‘Adalah al-shahabah terdiri dari dua kata yaitu ‘adalah dan al-Shahabah. Adalah berasal dari bahasa arab, dalam tlanslitersi bahasa Indonesianya “adil”, artinya penilaian terhadap kredibilitas perawi hadits yang memiliki integritas moral-spiritual dan intelegensi yang tinggi. Kata Al-Shahabah juga berasal dari bahasa arab yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sahabat atau teman. Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat Rasulullah yang meriwayatkan hadits darinya. Dalam terminologi “ulum al-hadits” seseorang dapat dikatakan sahabat jika dia memeluk agama Islam, pernah bergaul dengan Rasulullah atau melihatnya, beriman kedanya, dan meninggal dunia dalam keadaan Islam.[22]
Dengan demikian penilaian tentang kredibilitas yang akan dilakukan adalah tingkat kredibilitas para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits.
Menyikapi tentang ada tidaknya peluang kritik terhadap kredibilitas sahabat nabi, Musthafa al-Siba’I berpendapat bahwa tidak ada celah kritik terdapat sahabat nabi, sebagaimana telah menjadi kesepakatan para tabi’in dan generasi sesudahnya dan seluruh ulama kritikus hadits. Mereka berpendapat bahwa para sahabat itu “adalah” atau memiliki kredibilitas yang tinggi dan bebas dari kebohongan dan pemalsuan.[23]
Pandangan Musthafa al-Siba’I berbeda dengan Ahmad Amin yang menyatakan bahwa tidak seluruh ulama’ kritikus sepakat bahwa sahabat nabi terbebas dari kritik kebohongan dan pemalsuan. Bahkan menurutnya bahwa para kritikus hadits memperlakukan para sahabat itu seperti halnya orang lain, yang berarti mempunyai kemungkinan ditemukan kebohongan dan kepalsuan dalam diri para sahabat.[24]
Bahkan menurut Ahmad Amin, para sahabat sendiri pada zaman mereka saling mengeritik (meneliti) antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian para sahabat itu meragukan kebenaran sebagaian yang lain, dan saling mengeritik antara sesama mereka.[25]. Peryataan Ahmad Amin ini menurutnya didukung oleh beberapa bukti diantaranya:
  1. Kritik Bin ‘Abbas  terhadap Abu Hurairah
  2. Bahwa para sahabat nabi jika mereka mendengar suatu penuturan hadits, mereka meminta periwayat hadits itu bukti atas kebenarannya
Bukti pertama, Ahmad Amin ingin menjelaskan bahwa kritik Bin ‘Abbas dan Aisyah terhadap Abu Hurairah tentang kebenaran hadits berikut ini:
“Barang siapa yang membawa (mengangkat) jenazah, maka hendaklah dia berwudhu”.
Bahwa suatu sikap kritis Bin ‘Abbas adalah dia tidak mau menerima hadits di atas, dikarenakan perbedaan pemahaman terhadap hadits tersebut. Menurut Bin ‘Abbas hadits di atas mempunyai makna “tidak mengharuskan kita berwudhu setelah mengangkat kayu-kayu yang kering”. Inilah yang dipahami oleh Ahmad Amin, bahwa Bin ‘Abbas meragukan kebenaran hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dalam arti lain bahwa tingkat keadilan sahabat Abu Hurairah juga dipertanyakan olehnya.
Kemudian, tuntutan perlu dihadirkannya saksi sebelum menerima hadits memang berlaku di antara para sahabat Rasulullah,  seperti yang dilakukan Abu Bakar kepada al-Mughirah. Ahmad Amin memahaminya secara tekstual, bahwa menurutnya permintaan persaksian tersebut merupakan indikasi bahwa Abu Bakar tidak percaya dengan al-Mughirah. Padahal hal itu sudah menjadi kebiasaan yang sanantiasa dipeganng bila menerima berita (hadits). Sikap kehati-hatian ini juga bermaksud untuk mendidik kaum muslimin untuk selalu mencari bukti bagi otentisitas hadits.



4. TEORI  TA’DIL DAN AL-JARH DALAM PENELITIAN SANAD
Ta’dil dalam term ‘Ulum al-Hadits mempunyai arti penilaian terhadap kualitas kredibilitas atau tingkat keadilan perawi hadits. Perawi hadits dapat dikatakan adil atau memiliki kredibiltas yang tinggi apabila dalam pribadi perawi hadits terintegrasi aspek spiritualitas,moral, dan intelegensi yang tinggi. Kalau sudah demikian, maka periwatannya dapat diterima.[26]
Adapun Al-Jarh mempunyai makna orisinalnya berkisar pada keinginan mencari cela, luka dengan tujuan untuk menyelamatkan sesuatu, bukan didasari oleh rasa benci, dendam atau sentimentil. Dalam konteks hadits dapat dikatakan bahwa al-jarh dilakukan untuk menyelamatkan hadits dari suatu yang mencemarinya., sehingga sesuatu yang dilukai atau dicela berakibat rendahnya kredibilitas atau tingkat keadilan perawi hadits. Kredibilitas yang disorot dari perawi hadits adalah hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas, moral dan intelegensi. Jika dari aspek-aspek tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perawi hadits, maka kualifikasi perawi hadits tersebut memiliki kredibilitas yang rendah. Dengan demikian, dapat berakibat periwayatannya lemah atau ditolak.[27]
Dalam hal ini Musthafa al-Siba’I menuturkan bahwa penilaian ta’dil dan al-Jarh terhadap seorang perawi harus didasari pengetahuan yang obyektif tentang keadaan seorang perawi. Jika seorang perawi jujur, beriman, dan mempunyai daya hafal yang kuat, maka perawi tersebut dapat dikatakan adil. Dan sebaliknya jika seorang perawi sudah diketahui kebohongan, kefasikan, dan daya hafalnya yang rendah, maka perawi tersebut dapat dikatakan cacat. Subyektifitas yang dilatar belakangi oleh perbedaan madzhab tidak dapat dijadikan alasan untuk menta’dil atau menjarh seseorang.[28]
Ahmad Amin berpendapat bahwa penilaian ta’dil dan al-jarh terhadap seorang perawi lebih dilatar belakangi oleh perbedaan madzhab. Kelompok Ahlussunah melakukan al-jarh terhadap banyaknya perawi yang berlatar belakang syi’ah. Demikian pula sebaliknya, kelompok Syi’ah melakukan al-Jarh kepada peawi yang berlatar belakang sunni.[29] Dengan demikian, tradisi ta’dil dan al-Jarh yang dilakukan oleh ulama kritikus hadits merupakan dampak dari perbedaan madzhab bahkan politik. Sehingga yang muncul ke permukaan adalah subyektifitas kritikus.
Dari uraian pandangan Musthafa al-Siba’I dan Ahmad Amin di atas, sangat jelas terlihat perbedaan. Perbedaan tersebut terdapat pada latar belakangi atau motifasi seorang kritikus hadits melakukan ta’dil dan al-Jarh kepada perawi hadits. Musthafa al-Siba’I berpendapat bahwa penilaian ta’dil dan al-Jarh yang dilakukan para ulama kritikus hadits dilatar belakangi oleh keinginan mencari tingkat kebenaran dan kecacatan perawi hadits yang kemudian dapat dijadikan sandaran dalam sikap menerima atau menolak suatu periwayatan hadits. Sedangkan pandangan Ahmad Amin, perbedaan madzhab atau politiklah yang melatar belakangi ta’dil dan al-Jarh.
Menurut pandangan Musthafa al-Siba’I, Ahmad Amin telah melakukan generasilasi perbedaan madzhab ke dalam pembahasan tentang ta’dil dan al-Jarh. Padahal yang menjadikan sandaran dalam melakukan penilaian keadilan dan kelemahan perawi hadits bukan semata-mata dilatar belakangi oleh perbedaan mazdhab tersebut. Tetapi memang adanya keraguan tentang kebenaran atau tingkat keterpercayaan perawi dari segala aspek.


D. KESIMPULAN

Dari uraian pemikiran kedua tokoh di atas tentang beberapa persoalan dalam hadits terlihat ada dua hal yang dapat disimpulkan.Pertama, keduanya sepakat dalam memposisikan hadits sebagai sumber ajaran agama setelah al-Qur’an, walaupun Amin tetap dibatasi pada masa proses penurunan atau periwayatan di sekitar masa Nabi Saw, yang memiliki nilai historisitas dan tingkat kehujjahan yang tinggi. Kedua, Musthafa al-Siba’I dan Ahmad Amin berbeda pandangan ketika melihat hadits dari sudut historisitas pembukuan atau tadwin dan struktur dalam lingkup uji materi atau matn hadits yang berhubungan erat dengan pola periwayatan dan proses transmisi hadits dari satu generasi ke generasi sesudahnya.
Perbedaan pandangan kedua tokoh di atas, lebih didasari oleh perbedaan dalam menginterpretasikan teks-teks hadits. Musthafa al-Siba’I dalam mengeinterpretasikan hadits selalu berangkat dari asbab al-wurud al-hadits, bukan semata-mata menafsirkan matn hadits yang didasarkan pada asumsi atau dugaan. Sementara interpretasi yang dilakukan oleh Ahmad Amin tidak memperhatikan asbab al-wurud al-hadits, bahkan terkesan sangat mengeneralisir, tekstual dan asumtif. Wallahu a’lam bi ash-shawab.


DAFTAR BACAAN


M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Khair ad-Din az-Zirikli, al-Alam QamusTarajum, Beriut: Dar al-‘ilm li al-Malayin, t.th. Juz VII

John L. Esposito, “al-Siba’I, Musthafa”, The Oxford Encyclopedia The Modern Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995

M. Erfan Subahar, Menguak Keabsahan as-Sunnah, Jakarta: Prenada Media, 2003 

Ahmad Amin, Hayati, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1971

Ahmad Amin, Al-Akhlak, Beirut: Dar al-Kutub, 1967

Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami, Beirut: Maktabah al-Islami, 1978

Ahmad Amin,  Fajr al-Islam, Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1975.

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, Juz IV

 Imam Muslim, Shahih Muslim, Bandung: Syirkah al-Ma’arif at-Thabi’ wa an-Nasyr, t.th, Juz II

 Imam Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1973, Juz  IV

Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, Beirut: Dar al-Fikr, 198, Jilid II

Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989

Nur ad-din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997.




[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 3.
[2] Khair ad-Din az-Zirikli, al-Alam QamusTarajum, (Beriut: Dar al-‘ilm li al-Malayin, t.th.), Juz VII, h. 231.
[3] Ibid.
[4] John L. Esposito, “al-Siba’I, Musthafa”, The Oxford Encyclopedia The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 71.
[5] M. Erfan Subahar, Menguak Keabsahan as-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 21-22. 
[6] Ahmad Amin, Hayati, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1971), h. 3
[7] Ibid., Juz. I, h. 60-63.
[8]Ibid., h. 80.
[9] M. Erfan Subahar, Op. Cit., h. 85-86.
[10] Ahmad Amin, Al-Akhlak, (Beirut: Dar al-Kutub, 1967), h. 224-225.
[11] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim,  Tirmidzi, Ahmad bin Hambal.
[12] Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami,(Beirut: Maktabah al-Islami, 1978),  h. 238-241.
[13] Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami,(Beirut: Maktabah al-Islami, 1978),  h. 234.
[14] Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah, h. 238-231.
[15] Ahmad Amin Fajr al-Islam, h. 211
[16] Ahmad Amin, Fajr Islam, h. 210-211.
[17] Mustafa as-Siba’I, As-Sunnah…., h. 58.
[18] Musthafa al-Siba’I, all-Sunnah… h. 59.
[19] Dikutip oleh Musthafa al-Siba’I dari Bin ‘Abd. Al-Bar dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm, jilid II, h. 76.
[20] Dikutip oleh Musthafa al-Siba’I, Ibid.
[21] Ahmad Amin, Fajr Islam, h. 208.
[22] Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 198), Jilid II, h. 208-214.
[23] Musthafa al-Siba’I, as-Sunnah, h. 261.
[24] Ahmad Amin, fajr al-islam, h. 216.
[25]Ahmad Amin, Fajr Islam, 216.
[26] Para ulama hadits  memberkan kriteria-kriteria kredibilitas seorang perawi yaitu: Beragama Islam, Baligh, Berakal, Bertaqwa, dapat memelihara personalitas yang tinggi, teguh dalam agama, tidak berbuat dosa besar, seperti syirik, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat, tidak fasiq, berita yang disampaikan dapat dipercaya, berita yang disampaikan benar. Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 130. Lihat juga ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 260.
[27] ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 260. Lihat juga Nur ad-din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), h. 92.
[28] Musthafa al-Siba’I, as-Sunnah, h. 267.
[29]Ahmad Amin, Fajr Islam, h. 217.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar