HADITS
MENURUT MUSTHAFA AL-SIBA’I DAN AHMAD AMIN
(Suatu
Kajian Komparatif)
Khairullah
ABSTRAK
Keyakinan umat Islam terhadap posisi dan otentisitas hadits
atau sunnah pada masa Nabi SAW tidak terdapat persoalan, karena jika mereka
menemukan sesuatu yang meragukan atau yang belum jelas bisa langsung melakukan
konfirmasi kepada Nabi SAW. Lain halnya pasca wafatnya beliau sampai sekarang,
problematika hadits sudah sedemikian rupa, yang berujung kepada terbukanya
tabir untuk melihat keberadaannya sebagai otoritas keagamaan. Seperti halnya
dilakukan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam, yang melakukan kritik
terhadap beberapa hal tentang hadits. Menurutnya, orisinalitas hadits pasca
wafatnya Nabi SAW patut dipertanyakan. Sementara Musthafa al-Siba’I melakukan
counter terhadap pemikiran Ahmad Amin dengan mengemukakan bukti-bukti historis
orisinalitas hadits. Dalam pandangan Musthafa al-Siba’I, kiritk Ahmad Amin
terhadap hadits kurang didasari oleh argumentasi yang kuat, bahkan argumentasi
yang dibangun lebih bersifat asumtif, generalisasi dan tekstual.
KATA
KUNCI: Hadits, Musthafa al-Siba’I, Ahmad Amin
A. PENDAHULUAN
Hadits atau yang lazim juga
disebut dengan sunnah merupakan sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an, di
dalamnya memuat pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan segala hal ihwal tentang
Nabi Muhamamd SAW[1].
Posisi hadits atau sunnah
yang tinggi tersebut dalam perundang-undangan Islam telah disepakati oleh
seluruh umat Islam dari dahulu sampai sekarang. Sehingga dapat dikatakan bahwa
percaya kepada sunnah adalah bagian dari
iman di dalam agama dan menerima sunnah merupakan bagian dari menerima agama,
sebagaimana terungkap dalam sebuah atsar yang populer:
ان هذا العلم دين
فانظروا عمن تأخذون دينكم
‘sesungguhnya ilmu hadits ini adalah agama,
maka periksalah dari siapa kamu sekalian mengambil agamamu itu”
Atsar tersebut menjelaskan
dua hal yang penting yaitu; pertama, penilaian yang sangat tinggi terhadap
sunnah, di mana ia diterapkan sebagai agama, sehingga menerima dan
membernarkannya merpakan keharusan dalam beriman. Kedua, perlunya metode
yang benar dan standard dalam melakukan penilaian dan penelitian terhadap
kebenaran sunnah.
Berdasar pada perlunya suatu metode yang
standard dan benar dalam penilaian dan penelitian sunnah, menunjukkan betapa
besar keseriusan umat Islam dalam melestarikan sunnah sebagai sumber pokok
ajaran agama. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan dan kesungguhna para sahabat
dalam mendapatkan, menjaga kemurnian sunnah. Para sahabat terobsesi untuk
mengikuti segala apa yang mereka lihat dan dengar dari Nabi SAW. Mereka
bertekad untuk mendata sunnah Rasulullah. Karenanya ada di antara mereka yang
mengadakan giliran mengikuti majelis-majelis ilmu yang dilaksanakan Nabi SAW.
Mereka yang tidak bisa menghadiri majlis ilmu Nabi SAW dapat memperoleh
keterangan-keterangan melalui sahabat lain yang menyertai Nabi. Demikian itu
mereka lakukan secara bergantian dan terus menerus.
Selanjutnya
tradisi yang dilakukan para sahabat, kemudian dilanjutkan oleh para tabi’in
(generasi setelah sahabat), berlanjut kemudian generasi berikutnya, dan
akhirnya dapat dikatakan bahwa upaya menjaga kemurnian sunnah tidak pernah
berhenti.
Namun demikian, begitu
banyak bukti sejarah tentang upaya menjaga kemurnian sunnha, tetap saja ada
orang atau kelompok yang mempertanyakan otentisitasnya. Dalam tulisan ini,
penulis mempertemukan pandangan dua tokoh yang berbeda tentang beberpa hal yang
berkaitan dengan sunnah atau hadits.
B.
BIOGRAFI SINGKAT
MUSTHAFA AL-SIBA’I DAN AHMAD AMIN
1.
MUSTHAFA AL-SIBA’I
Musthafa al-Siba’I bernama lengkap Mustafa bin
Husni Abu Hasan al-Siba’i. Lahir di Kota Homs, salah satu kota yang ada di
Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H.[2]
Beliau memulai pendidikannya di kampung halamannya, mulai ilmu agama,
keorganisasian, maupun politik yang langsung ditimba dari ayahnya,[3]
kemudian pada usia ke-18 tahun ia melanjutkan pendidikannya ke al-Azhar Mesir
hingga menyelesaikan pendidikan Doktor dalam bidang Syari’ah dan Sejarah
Pemikiran Hukum Islam. Di kota inilah pula al-Siba’I memulai perkembangan
intelektualnya, dan bahkan terjun ke aktivitas politik dengan bergabung dengan
Hasan al-Banna, tokoh Ikhwan al-Muslimin.[4]
Setahun setelah menyelesaikan program doktornya,
al-Siba’I pulang ke kampung halamnnya pada tahun 1950. Dengan berbekal ilmu
pengetahuan yang memposisikan dirinya sebagai ahli hukum atau syari’at Islam
dan sejarah, yang juga mendudukannya sebagai tokoh yang ahli dalam disiplin
hadits dan sejarah, ia aktif mengajar di perguruan tinggi, di organisasi
keislaman dan di dunia penerbitan.
Salah satu karya Al-Siba’I yang sangat monumental dan fundamental serta
referensi utama dalam menghadapkan pemikirannya dengan Ahmad Amin adalah as-Sunnah
wa Makanatuhafi at-Tasyri’ al-Islami. Pada tahun 1993 buku ini telah
diterjemahkan secara lengkap oleh Dja’far Abd. Muchith yang diterbitkan oleh
CV. Diponegoro Bandung dengan judul terjemahan al-Hadits sebagai Sumber Hukum.
Kemudian pada tahun yang sama, dalam bentuk terjemah ringkas, karya ini
juga telah diterjemahkan oleh Nurcholis
Madjid dengan judul Sunnah dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam,
Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, yang diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta.
Adapun karya-karya lainnya adalah: Isytirakiyatal-Islam,
Akhlaquna al-Ijtima’iyyah, al-Qala’id min Fara’id al-Fawa’id, al-Washaya wa
al-Fara’id, ‘Azhama’una fi at-Tarikh, Hadza Huwa al-Islam, Min Rawa’I
Hadharatina, as-Sirah an-Nabawiyah, tarikhuha wa durusuha, dan masih banyak
lagi lainnya.[5] Tokoh ini mengakhiri
hidupnya pada tahun 1967 di Syiria.
2.
AHMAD AMIN
Ahmad Amin dengan nama
lengkapnya Ahmad Amin bin asy-Syaikh Ibrahim ath-Thabbakh, lahir di Kairo
tanggal 1 Oktober 1886 M.[6]
Ia terlahir dalam lingkungan keluarga yang terdidik dengan disiplin yang kuat.
Dalam otobiografi yang yang dituis beberapa tahun menjelang wafat (1950), Amin
mengatakan bahwa ia menimba ilmu pengetahuan yang pentng di rumahnya sendiri,
oleh ayahnya, tempat kediaman keluarga Ahmad Amin di setting seperti
perpustakaan yang dilengkapi dengan kitab-kitab dalam banyak ilmu seperti:
Fiqh, Tafsir, Hadits, Bahasa, Sejarah, Sastra Budaya, Nahwu, Sharaf, dan
balaghah. Dalam keseharian, waktunya dihabiskan untuk membaca kitab-kitab
tersebut.[7]
Selain mendapatkan ilmu
pendidikan di lingkungan keluarga, ia juga belajar di luar untuk pendidikan
tingkat dasar dan menengah[8].
Ahmad Amin menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas al-Azhar jurusan
Peradilan Agama, dan langsung mengajar di almamaternya sampai tahun 1921.
Setelah mengabdi di
almamaternya, ia pindah ke kota kelahirannya Kairo, dan mengajar di Universitas
Kairo sampai diangkat menjadi Rektor pada tahun 1947. Kemudian pada tahun 1949
ia menerima gelar Doktor Honoris Causa.
Selain memangku jabatan,
Ahmad Amin termasuk penulis yang produktif, bahkan ia dinobatkan sebagai ketuga
Komite Pengarang, Penerjemah dan Penerbitan selama 30 tahun. Jabatan inilah
yang mendudukannya sebagai pengarang dan penulis yang terkemuka.
Diantara karyanya yang
paling kontroversial adalah Farj al-Islam. Kitab inilah yang penulis jadikan
rujukan dalam mengkomparasikan pemikiran Musthafa al-Siba’I dengan Ahmad Amin
tentang Hadits. Karya-karya lainnya seperti Dhuha al-Islam, Zhuhr al-Islam,
Mabadi’ al-Falsafah, al-Akhlak dan masih banyak lagi karya lainnya.[9]
Dalam karir intelektualnya,
Ahmad Amin terkenal dengan sosok yang sangat kritis dan berani. Hal ini sesuai
dengan ungkapannya dalam bukunya Al-Akhlak “Konsep keberanian peradaban”.
Konsep ini mengilhami seseorang untuk dapat melahirkan pendapat yang
diyakininya benar, walaupun itu menyulut kemarahan orang lain.[10]
Sikap yang berani itu pulalah yang mendorong Ahmad Amin mengarang buku “Fajr
al-Islam”, yang sebagian isinya kritik terhadap hadits. Beliau wafat pada
tanggal 30 Mei 1954 M.
C. PEMIKIRAN
MUSTHAFA AL-SIBA’I DAN AHMAD AMIN
TENTANG HADITS
1.
ADANYA PEMALSUAN SUNNAH
Musthafa al-Siba’I meyakini
benar bahwa kemurnian hadits tetap terjaga pada masa Rasulullah. Dari segi
kesejarahan, dapat dipastikan tidak pernah terjadi pemalsuan hadits pada masa
hidup Rasulullah SAW, dikarenakan beliau dikelilingi oleh shahabat-shahabat
beliau yang sangat loyal dan jujur. Keraguan sebagian orang bahwa hadits yang
berbunyi:
من كذب على متعمدا
فليتبوأ مقعده من النار (رواه البخارى و مسلم
والترمذى) [11]
merupakan bukti bahwa Rasulullah
menyabdakannya dilatar belakangi oleh pemalsuan hadits pada masanya. Jika
dikaji pada aspek kuantitatif, hadits tersebut masuk dalam kategori hadits
ahad. Jika memang asbab al-wurud hadits tersebut seperti yang disangkakan
di atas, maka periwayatannya akan secara mutawatir, karena pemalsuan merupakan
sesuatu yang sangat jahat dan menjijikkan.[12]
Menurut As-Siba’I hadits tersebut tidak mempunyai sandaran sanad dalam sejarah
yang kukuh, juga tidak ada sandaran asbab al-wurud sebagaimana dapat
dibaca dalam berbagai kitab yang andal.[13]
Selain argumen historis di atas, Musthafa as-Siba’I
mengungkapkan analisisnya terhadap matn hadits tersebut, yaitu bahwa
hadits tersebut di atas merupakan peringatan Nabi kepada para sahabatnya untuk
berhati-hati dalam menuturkan sesuatu yang datang dari beliau dan menjauhi
kebohongan terhadap beliau bertalian
dengan hal-hal yang beliau sendiri tidak menyabdakannya.[14]
Adapun Ahmad Amin berpendapat bahwa awal mula terjadinya
pemalsuan hadits sudah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup[15].
Amin berargumentasi dengan hadits yang berbunyi:
Menurut Amin,
diriwayatkannya hadits di atas, besar dugaan bahwa sudah terjadi pemalsuan
hadits pada masa Rasulullah, atau dengan kata lain bahwa asbab al-wurud hadits
tersebut di atas peristiwa pemalsuan hadits yang terjadi pada masa Rasulullah.
Pandangan tersebut didukung oleh beberapa alasan yang dikemukakannya yaitu: Pertama,
karena hadits pada masa pertama belum dibukukan dalam kitab tersendiri. Kedua,
hanya mencukupkan dengan riwayat
yang hanya didasarkan pada ingatan. Ketiga, karena sukar
menghimpun segala yang telah dikatakan dan dikerjakan oleh Rasul selama 23
tahun. Ketiga alasan tersebutlah yang akhirnya Ahmad Amin menyimpulkan ada
golongan yang memberanikan diri meletakkan hadts-hadits yang disandarkan kepada
Rasul dengan jalan dusta.[16]
Kedua pandangan yang
berbeda di atas, dapat dikaji dari dua sudut, yaitu: Pertama, sudut
historis, bahwa diriwayatkan hadits yang dijadikan argumentasi Ahmad Amin telah
terjadi pemalsuan hadits sejak Rasulullah masih hidup tidak memiliki akar
historisnya atau lebih dikenal dengan asbab wurud al-hadits. Jika ada
sahabat nabi yang melakukan pemalsuan hadits, sudah barang tentu hadits man
kazzaba…. diriwayatkan secara mutawatir, karena perbuatan pemalsuan itu
merupakan perbuatan yang sangat jahat dan menjijikkan. Kedua, bahwa Amin
menyatakan bahwa ia patut menduga dengan perkataan Rasulullah tersebut telah
terjadi pemalsuan hadits. Apabila diperhatikan secara seksama, tampak bahwa
pernyataan Ahmad Amin yang masih besifat dugaan tersebut terkesan terlalu umum
dan tekstual.. Perkiraan waktu permulaan terjadinya pemalsuan hadits,
mengimplisitkan kesan umum, sifat tekstualitas itu yang disimpulkannya secara
tergesa-gesa sehingga pernyataan itu layak disebut sebgai . Suatu
pernyataan yang bertaraf dugaan, akan naif untuk naik ke . posisi setaraf alat
bukti yang akan melololoskan pernyataan yang akan naik berstatus fakta yang
akan menunjukkan kebenaran. Padahal perkataan Rasulullah tersebut merupakan
perintah beliau kepada para sahabatnya untuk menturkan hadits beliau kepada
orang-orang yang akan datang dengan penuh hati-hati dan harus didasari dengan
pengetahuan yang benar. Dengan demikian pernyataan Ahmad Amin tentang awal
mulanya terjadinya pemalsuan hadits itu lemah dan dengan sendirinya ditolak.
2.
KODIFIKASI HADITS
Kodifikasi hadits adalah upaya, pengumpulan dan
pembukuan hadits dalam satu kitab atau mushaf. Musthafa as-Siba’i berpendapat
tentang pembukuan hadits, bahwa tidak
ada perselisihan pendapat di antara para penulis biografi Nabi dan para ulama
Hadits dan para shahabat, bahwa al-Qur’an mendapat perhatian yang khusus dari
Nabi SAW, sehingga terpelihara dalam hafalan dan tertulis dalam
lembaran-lembaran, pelepah kurna, batu lempengan dan lain-lain. Karena itu
wajar ketika Rasulullah SAW wafat al-Qur’an tetap utuh dan tertib, tidak ada
yang kurang, kecuali belum disatukan dalam satu mushaf.[17]
Selanjutnya, bagaimnakah dengan nasib Hadits.
Sebenarnya tidak terdapat perbedaan pendapat bahwa hadits atau sunnah memang
belum di tercatat secara resmi seperti tercatatnya al-Qur’an. Keadaan demikian,
menurut Musthafa al-Siba’I sebagaimana yang dikutip oleh M. Erfan Soebahar
setidaknya dikarenakan tiga sebab. Pertama, bahwa Rasul SAW hidup
bersama sahabat selama 23 tahun sehingga menuliskan ucapan, perbuatan dan
pergaulana beliau secara utuh dalam mushaf dan lembaran-lembaran adalah suit
dilakukan dari segi masalah lokasi. Sebab, hal itu membutuhkan adanya banyak
orang (sahabat), sementara pada waktu itu orang yang mampu menulis masih sangat
sedikit. Kedua, bahwa mayoritas orang Arab meyandarkan hafalan mereka
kepada ingatan, sementara pada waktu itu para sahabat masih terkonsentrasi
untuk menghafal al-Qur’an. Ketiga, bahwa adanya kekhawatiran
tercampurnya al-Qur’an dengan hadits nabi yang sangat banyak konteksnya.
Ketiga alasan di atas,
bukan berarti tidak pernah terjadi penulisan hadits secara tidak resmi. Ada
sejumlah bukti yang ditunjukkan oleh al-Siba’I mengenai telah terjadi
pencatatan hadits pada masa Nabi SAW seperti contoh berikut ini:
- Bahwa Rasulullah pernah menulis surat dan mengirimnya kpeada raja-raja di Jazirah Arab, dimana isi surat-surat tersebut seruan Nabi untuk memeluk Islam.[18]
- Bahwa Imam Ahmad dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Abu Hurairah berkata: “Tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang hadits Nabi daripadaku kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sebab dia mentata apa yang didengarnya dari Nabi dan saya tidak mencatat”.
- Bahwa Sahabat Rasulullah yang juga menantunya Ali RA dipastikan memiliki lembaran yang didalamnya tertulis hukum-hukum diyat (perdata).[19]
- Bahwa Rasulullah menulis surat kepada petugas yang berisi ketentuan-ketentuan zakat unta dan doma.[20]
Demikian beberapa bukti
otentik yang diajukan Musthafa al-Siba’I untuk memperkuat pendapatnya yang
mengatakan bahwa pencatatan hadits atau sunnah sudah dilakukan sejak Rasulullah
masih hidup, walaupun tidak secara keseluruhan.
Selanjutnya akan diuraikan pandangan Ahmad
Amin tentang penulisan atau pencatatan hadits. Namun, sebelumnya, perlu dijelaskan definisi hadits
atau sunnah terlebih dahulu. Hadits atau sunnah adalah sesuatu yang datang dari
Rasul SAW berupa perkataan, pengamalan, atau ketetapan. Setelah masa Rasul,
dikumpulkan ke dalam (pengertian) hadits adalah sesuatu yang datang dari
sahabat, sebab sahabat adalah mereka yang selalu bergaul dengan Nabi SAW,
mendengar perkataan beliau, dan menyaksikan perbuatan beliau, kemudian mereka
menceritakan apa yang mereka lihat dan yang mereka dengar. Lalu datang setelah
itu masa Tabi’in, yang bergaul dengan para sahabat, mendengar dari mereka, dan
melihat perbuatan mereka. Maka semua yang datang dari Rasul SAW dan
sahabat-sahabat disebut “hadits”.[21]
Dari definsi di atas, dapat
dipahami bahwa hadits merupakan verbalisasi sunnah atau tradisi kenabian yang
berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW yang dilakukan oleh para
sahabat. Hal ini sejalan dengan pandangan
Amin selanjutnya mengenai pembukuan hadits seperti apa yang dikatakannya
sebagai berikut:
“Pada masa Nabi SAW hadits
belum dibukukan sebagaimana al-Qur’an, dan kita mengetahui Rasul SAW mengangkat
beberapa penulis wahyu yang mencatat ayat-ayat al-Qur’an pada waktu turunnya,
tetapi beliau tidak menentukan seseorang untuk mencatat apa-apa yang beliau
katakan selain al-Qur’an”.
Pernyataan ini merupakan titik tolak dari
pemikiran kritik Amin. Ia menengaskan bahwa pembukuan hadits belum populer pada
masa Rasul, juga belum ada aturan yang dijadikan pedoman seperti yang berlaku
pada pembukuan al-Qur’an, dengan kata lain bahwa periwayatan hadits menggunakan
metode ingatan dan tidak dengan pencatatan.
Dalam menguatkan argumentasinya, Amin
mengutip hadits berikut ini:
Artinya: Janganlah kamu semua menulis (sesuatu) dariku.
Barang siapa yang menulis dariku (sesuatu) selain al-Qur’an, maka hendaklah dia
menghapusnya. Dan katakanlah tentang aku sedangkan ini tidak mengapa, dan
barang siapa yang dengan sengaja berbohong tentang dirku maka hendaklah dia
mengambil tempat duduknya di neraka (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri)
Dari hadits inilah Ahmad
Amin berpandangan bahwa berangkat dari larangan Rasul untuk menulis apapun yang
datang dari Rasul kecuali al-Qur’an merupakan indikasi bahwa pada masa Rasul hadits belum dibukukan,
setelah wafat Nabi SAW hanya ada satu kitab yang telah dibukukan yaitu
al-Qur’an.
Perbedaan pandangan
kedua tokoh di atas, berangkat dari
perbedaan dalam memahami hadits yang secara tekstual berimplikasi kepada
larangan untuk menulis hadits. Bagi Musthafa al-Siba’I larangan yang terdapat
dalam hadits tersebut tidak dapat dipahami bahwa Rasulullah melarang kepada
siapapun untuk menulis hadits dalam bentuk apapun. Hadits di atas harus
dipahami suatu sikap prefentif Rasulullah kepada para sahabat untuk
berhati-hati dalam menulis sesuatu darinya. Dikarenakan pada waktu itu
al-Qur’an belum diturunkan secara lengkap. Sementara Ahmad Amin memahaminya
sangat tekstual. Kalau pemahaman tekstual tersebut dapat diterima, bagaimana
dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Musthafa al-Siba’I seperti diuraikan di
atas, dimana Rasulullah sendiripun telah menulis hadits, dan bahkan ada
beberapa sahabat Nabi yang menulis hadits Rasulullah. Akan tetapi jika hadits
tersebut dipahami sebagai indikasi belum dikodifikasinya hadits pada masa
Rasulullah secara resmi dalam satu mushaf, masih memungkinkan dapat diterima.
3. KREDIBILITAS SHAHABAT
Kredibilitas shahabat dalam
terminologi ‘ulum al-hadits dikenal dengan istilah ‘adalah al-shahabah. Term ‘Adalah al-shahabah terdiri dari
dua kata yaitu ‘adalah dan al-Shahabah. ‘Adalah berasal
dari bahasa arab, dalam tlanslitersi bahasa Indonesianya “adil”, artinya
penilaian terhadap kredibilitas perawi hadits yang memiliki integritas moral-spiritual
dan intelegensi yang tinggi. Kata Al-Shahabah juga berasal dari bahasa
arab yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sahabat atau teman. Yang
dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat Rasulullah yang meriwayatkan
hadits darinya. Dalam terminologi “ulum al-hadits” seseorang dapat dikatakan
sahabat jika dia memeluk agama Islam, pernah bergaul dengan Rasulullah atau
melihatnya, beriman kedanya, dan meninggal dunia dalam keadaan Islam.[22]
Dengan demikian penilaian
tentang kredibilitas yang akan dilakukan adalah tingkat kredibilitas para
sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits.
Menyikapi tentang ada tidaknya peluang kritik
terhadap kredibilitas sahabat nabi, Musthafa al-Siba’I berpendapat bahwa tidak
ada celah kritik terdapat sahabat nabi, sebagaimana telah menjadi kesepakatan
para tabi’in dan generasi sesudahnya dan seluruh ulama kritikus hadits. Mereka
berpendapat bahwa para sahabat itu “adalah” atau memiliki kredibilitas yang
tinggi dan bebas dari kebohongan dan pemalsuan.[23]
Pandangan Musthafa
al-Siba’I berbeda dengan Ahmad Amin yang menyatakan bahwa tidak seluruh ulama’
kritikus sepakat bahwa sahabat nabi terbebas dari kritik kebohongan dan
pemalsuan. Bahkan menurutnya bahwa para kritikus hadits memperlakukan para
sahabat itu seperti halnya orang lain, yang berarti mempunyai kemungkinan
ditemukan kebohongan dan kepalsuan dalam diri para sahabat.[24]
Bahkan menurut Ahmad Amin,
para sahabat sendiri pada zaman mereka saling mengeritik (meneliti) antara satu
dengan yang lainnya. Dengan demikian para sahabat itu meragukan kebenaran
sebagaian yang lain, dan saling mengeritik antara sesama mereka.[25].
Peryataan Ahmad Amin ini menurutnya didukung oleh beberapa bukti diantaranya:
- Kritik Bin ‘Abbas terhadap Abu Hurairah
- Bahwa para sahabat nabi jika mereka mendengar suatu penuturan hadits, mereka meminta periwayat hadits itu bukti atas kebenarannya
Bukti pertama, Ahmad Amin ingin menjelaskan
bahwa kritik Bin ‘Abbas dan Aisyah terhadap Abu Hurairah tentang kebenaran
hadits berikut ini:
“Barang siapa yang membawa (mengangkat)
jenazah, maka hendaklah dia berwudhu”.
Bahwa suatu sikap kritis
Bin ‘Abbas adalah dia tidak mau menerima hadits di atas, dikarenakan perbedaan
pemahaman terhadap hadits tersebut. Menurut Bin ‘Abbas hadits di atas mempunyai
makna “tidak mengharuskan kita berwudhu setelah mengangkat kayu-kayu yang
kering”. Inilah yang dipahami oleh Ahmad Amin, bahwa Bin ‘Abbas meragukan
kebenaran hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Dalam arti lain bahwa
tingkat keadilan sahabat Abu Hurairah juga dipertanyakan olehnya.
Kemudian, tuntutan perlu
dihadirkannya saksi sebelum menerima hadits memang berlaku di antara para
sahabat Rasulullah, seperti yang
dilakukan Abu Bakar kepada al-Mughirah. Ahmad Amin memahaminya secara tekstual,
bahwa menurutnya permintaan persaksian tersebut merupakan indikasi bahwa Abu
Bakar tidak percaya dengan al-Mughirah. Padahal hal itu sudah menjadi kebiasaan
yang sanantiasa dipeganng bila menerima berita (hadits). Sikap kehati-hatian
ini juga bermaksud untuk mendidik kaum muslimin untuk selalu mencari bukti bagi
otentisitas hadits.
4.
TEORI TA’DIL DAN AL-JARH DALAM
PENELITIAN SANAD
Ta’dil dalam term ‘Ulum al-Hadits
mempunyai arti penilaian terhadap kualitas kredibilitas atau tingkat keadilan
perawi hadits. Perawi hadits dapat dikatakan adil atau memiliki kredibiltas
yang tinggi apabila dalam pribadi perawi hadits terintegrasi aspek
spiritualitas,moral, dan intelegensi yang tinggi. Kalau sudah demikian, maka
periwatannya dapat diterima.[26]
Adapun Al-Jarh mempunyai
makna orisinalnya berkisar pada keinginan mencari cela, luka dengan tujuan
untuk menyelamatkan sesuatu, bukan didasari oleh rasa benci, dendam atau
sentimentil. Dalam konteks hadits dapat dikatakan bahwa al-jarh dilakukan
untuk menyelamatkan hadits dari suatu yang mencemarinya., sehingga sesuatu yang
dilukai atau dicela berakibat rendahnya kredibilitas atau tingkat keadilan
perawi hadits. Kredibilitas yang disorot dari perawi hadits adalah hal-hal yang
berkaitan dengan spiritualitas, moral dan intelegensi. Jika dari aspek-aspek
tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perawi hadits, maka kualifikasi perawi
hadits tersebut memiliki kredibilitas yang rendah. Dengan demikian, dapat
berakibat periwayatannya lemah atau ditolak.[27]
Dalam hal ini Musthafa
al-Siba’I menuturkan bahwa penilaian ta’dil dan al-Jarh terhadap
seorang perawi harus didasari pengetahuan yang obyektif tentang keadaan seorang
perawi. Jika seorang perawi jujur, beriman, dan mempunyai daya hafal yang kuat,
maka perawi tersebut dapat dikatakan adil. Dan sebaliknya jika seorang perawi
sudah diketahui kebohongan, kefasikan, dan daya hafalnya yang rendah, maka
perawi tersebut dapat dikatakan cacat. Subyektifitas yang dilatar belakangi
oleh perbedaan madzhab tidak dapat dijadikan alasan untuk menta’dil atau
menjarh seseorang.[28]
Ahmad Amin berpendapat
bahwa penilaian ta’dil dan al-jarh terhadap seorang perawi lebih
dilatar belakangi oleh perbedaan madzhab. Kelompok Ahlussunah melakukan al-jarh
terhadap banyaknya perawi yang berlatar belakang syi’ah. Demikian pula
sebaliknya, kelompok Syi’ah melakukan al-Jarh kepada peawi yang berlatar belakang
sunni.[29]
Dengan demikian, tradisi ta’dil dan al-Jarh yang dilakukan oleh ulama
kritikus hadits merupakan dampak dari perbedaan madzhab bahkan politik.
Sehingga yang muncul ke permukaan adalah subyektifitas kritikus.
Dari uraian pandangan
Musthafa al-Siba’I dan Ahmad Amin di atas, sangat jelas terlihat perbedaan.
Perbedaan tersebut terdapat pada latar belakangi atau motifasi seorang kritikus
hadits melakukan ta’dil dan al-Jarh kepada perawi hadits. Musthafa
al-Siba’I berpendapat bahwa penilaian ta’dil dan al-Jarh yang
dilakukan para ulama kritikus hadits dilatar belakangi oleh keinginan mencari
tingkat kebenaran dan kecacatan perawi hadits yang kemudian dapat dijadikan
sandaran dalam sikap menerima atau menolak suatu periwayatan hadits. Sedangkan
pandangan Ahmad Amin, perbedaan madzhab atau politiklah yang melatar belakangi ta’dil
dan al-Jarh.
Menurut pandangan Musthafa
al-Siba’I, Ahmad Amin telah melakukan generasilasi perbedaan madzhab ke dalam
pembahasan tentang ta’dil dan al-Jarh. Padahal yang menjadikan
sandaran dalam melakukan penilaian keadilan dan kelemahan perawi hadits bukan
semata-mata dilatar belakangi oleh perbedaan mazdhab tersebut. Tetapi memang
adanya keraguan tentang kebenaran atau tingkat keterpercayaan perawi dari
segala aspek.
D.
KESIMPULAN
Dari uraian pemikiran kedua
tokoh di atas tentang beberapa persoalan dalam hadits terlihat ada dua hal yang
dapat disimpulkan.Pertama, keduanya sepakat dalam memposisikan hadits
sebagai sumber ajaran agama setelah al-Qur’an, walaupun Amin tetap dibatasi
pada masa proses penurunan atau periwayatan di sekitar masa Nabi Saw, yang
memiliki nilai historisitas dan tingkat kehujjahan yang tinggi. Kedua, Musthafa
al-Siba’I dan Ahmad Amin berbeda pandangan ketika melihat hadits dari sudut
historisitas pembukuan atau tadwin dan struktur dalam lingkup uji materi
atau matn hadits yang berhubungan erat dengan pola periwayatan dan proses
transmisi hadits dari satu generasi ke generasi sesudahnya.
Perbedaan pandangan kedua
tokoh di atas, lebih didasari oleh perbedaan dalam menginterpretasikan
teks-teks hadits. Musthafa al-Siba’I dalam mengeinterpretasikan hadits selalu
berangkat dari asbab al-wurud al-hadits, bukan semata-mata menafsirkan
matn hadits yang didasarkan pada asumsi atau dugaan. Sementara interpretasi
yang dilakukan oleh Ahmad Amin tidak memperhatikan asbab al-wurud al-hadits,
bahkan terkesan sangat mengeneralisir, tekstual dan asumtif. Wallahu
a’lam bi ash-shawab.
DAFTAR BACAAN
M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1992
Khair
ad-Din az-Zirikli, al-Alam QamusTarajum, Beriut: Dar al-‘ilm li
al-Malayin, t.th. Juz VII
John
L. Esposito, “al-Siba’I, Musthafa”, The Oxford Encyclopedia The Modern
Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995
M.
Erfan Subahar, Menguak Keabsahan as-Sunnah, Jakarta: Prenada Media,
2003
Ahmad
Amin, Hayati, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1971
Ahmad
Amin, Al-Akhlak, Beirut: Dar al-Kutub, 1967
Musthafa
as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami, Beirut:
Maktabah al-Islami, 1978
Ahmad
Amin, Fajr al-Islam, Kairo:
Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1975.
Al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, Juz IV
Imam Muslim, Shahih Muslim, Bandung: Syirkah
al-Ma’arif at-Thabi’ wa an-Nasyr, t.th, Juz II
Imam Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Kairo:
Musthafa al-Babi al-Halabi, 1973, Juz IV
Jalaluddin
as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, Beirut: Dar al-Fikr, 198, Jilid II
Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar
al-Fikr, 1989
Nur
ad-din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr
al-Mu’ashir, 1997.
[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 3.
[2] Khair ad-Din az-Zirikli, al-Alam
QamusTarajum, (Beriut: Dar al-‘ilm li al-Malayin, t.th.), Juz VII, h. 231.
[3] Ibid.
[4] John L. Esposito,
“al-Siba’I, Musthafa”, The Oxford Encyclopedia The Modern Islamic World, (New
York: Oxford University Press, 1995), h. 71.
[5]
M. Erfan Subahar, Menguak Keabsahan as-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media,
2003), h. 21-22.
[6]
Ahmad Amin, Hayati, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1971), h. 3
[7]
Ibid., Juz. I, h. 60-63.
[8]Ibid.,
h. 80.
[9]
M. Erfan Subahar, Op. Cit., h. 85-86.
[10]
Ahmad Amin, Al-Akhlak, (Beirut: Dar al-Kutub, 1967), h. 224-225.
[11]
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad bin Hambal.
[12]
Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami,(Beirut:
Maktabah al-Islami, 1978), h. 238-241.
[13]
Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami,(Beirut:
Maktabah al-Islami, 1978), h. 234.
[14]
Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah, h. 238-231.
[15]
Ahmad Amin Fajr al-Islam, h. 211
[16]
Ahmad Amin, Fajr Islam, h. 210-211.
[17]
Mustafa as-Siba’I, As-Sunnah…., h. 58.
[18]
Musthafa al-Siba’I, all-Sunnah… h. 59.
[19]
Dikutip oleh Musthafa al-Siba’I dari Bin ‘Abd. Al-Bar dalam Jami’ Bayan
al-‘Ilm, jilid II, h. 76.
[20]
Dikutip oleh Musthafa al-Siba’I, Ibid.
[21]
Ahmad Amin, Fajr Islam, h. 208.
[22]
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 198), Jilid
II, h. 208-214.
[23]
Musthafa al-Siba’I, as-Sunnah, h. 261.
[24]
Ahmad Amin, fajr al-islam, h. 216.
[25]Ahmad
Amin, Fajr Islam, 216.
[26] Para ulama hadits memberkan kriteria-kriteria kredibilitas
seorang perawi yaitu: Beragama Islam, Baligh, Berakal, Bertaqwa, dapat
memelihara personalitas yang tinggi, teguh dalam agama, tidak berbuat dosa
besar, seperti syirik, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak berbuat bid’ah, tidak
berbuat maksiat, tidak fasiq, berita yang disampaikan dapat dipercaya, berita
yang disampaikan benar. Lihat M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad
Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 130. Lihat juga ‘Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1989), h. 260.
[27] ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 260.
Lihat juga Nur ad-din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), h. 92.
[28]
Musthafa al-Siba’I, as-Sunnah, h. 267.
[29]Ahmad
Amin, Fajr Islam, h. 217.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar