Jumat, 16 Maret 2012

AHLI BID’AH DAN PEMALSUAN HADITS


 AHLI BID’AH DAN PEMALSUAN HADITS



 Ahmad Isnaeni*







Abstrak

Penelitian ini diarahkan kepada upaya para ahli bid’ah dalam memalsukan hadits. Data diperoleh melalui penelaahan pus-taka, yang dianalisa dengan metode content analisis dan de-duktif. Kemunculan hadits palsu dilakukan oleh para pelakunya dengan berbagai alasan dan motivasi. Dampak yang dimuncul-kannya membuat perpecahan di kalangan umat Islam, demikian pula dalam kehidupan sosial politik. Para ahli bid’ah itu ada yang mengaku telah memalsukan hadits dengan jumlah tertentu untuk kepentingan masing-masing. Ulama hadits bangkit mengadakan pengkajian terhadap hadits palsu yang tersebar di masyarakat dengan membuat standar penerimaan suatu hadits.


Kata Kunci: Ahli Bid’ah, Hadits palsu



Pendahuluan

Ahli bid’ah merupakan gelar bagi sejumlah kelompok (firqah) Islam yang memiliki paham bersebarangan dengan Ahlussunnah wal jama’ah. Gerakan pemalsuan hadits disinyalir merupakan perbuatan orang-orang tertentu untuk tujuan tertentu. Bentuk pemalsuan hadits ini dapat dibedakan kepada dua kategori, yakni memalsukan hadits secara disengaja dan tidak disengaja. Bentuk pertama dikenal dengan hadits maudlû’, sedangkan bentuk kedua karena kesalahan dalam periwayatan disebut hadits batil.[1] Bentuk-bentuk itu dapat berupa pergantian lafazh-lafazh dalam hadits, penambahan atau pengurangan.

Informasi di atas cukup menarik untuk ditelusuri melalui penelitian dan pengkajian, khususnya berkaitan dengan pemalsu-an hadits. Hal ini beralasan, karena secara realitas hadits meme-gang peranan penting di antaranya menjelaskan kandungan al-Qur’an. Obyek utama penelitian ini yakni menelusuri dan mene-laah keterlibatan para ahli bid’ah dengan berbagai kelompok dan tujuannya dalam memalsukan hadits. Permasalahan penelitian ini adalah: Apa bentuk-bentuk upaya ahli bid’ah dalam memalsukan hadits? Bagaimana dampak dari pemalsuan hadits oleh ahli bid’ah terhadap kehidupan masyarakat Islam kala itu?

 

Metode Penelitian

Secara metodologis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah (historis approach) dan merupakan kajian kepustakaan. Data diperoleh melalui penelaah-an buku-buku, kitab dan literatur lain yang berkaitan dengan obyek penelitian, untuk selanjutnya dilakukan analisis.

Penganalisaan data menggunakan analisis isi (content analysis),[2] dan pola berpikir deduktif. Informasi tentang pemal-suan hadits ahli bid’ah yang tersebar dalam literatur, ditelaah de-ngan berpijak pada asumsi bahwa pemalsuan hadits dengan latar belakang dan tujuannya tidak lain untuk mendukung kelompok mereka masing-masing serta merusak ajaran Islam. Semua ini cukup memberikan dampak di kalangan masyarakat Islam secara umum.


Hakikat Bid’ah

Hakekat Bid’ah secara bahasa melakukan atau mengadakan hal baru yang sebelumnya tidak ada perumpamaannya).[3] Asy-Syâ-thibi dalam bukunya “al-I’thishâm” memberi penjelasan tentang batasan bid’ah secara istilah:

طَرِيْقَةٌ ِفْي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِيُ الشَّرْعِيَّةَ يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِيْ التَّعَبُدِِلله سُبْحَانَهُ[4]

“Jalan atau cara baru dalam agama yang menyerupai tuntunan syara’ dengan tujuan untuk berlebihan-lebihan dalam  beribadah kepada Allah SWT”.

Pandangan ini menunjukkan, kebiasaan (adat) tidak ter-masuk di dalamnya, dan khusus hanya menjelaskan tentang ibadah. Adapun bid’ah bermakna pekerjaan/kebiasaan (adat) termasuk di dalamnya ialah :

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِيُ الشَّرْعِيَّةَ يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يَقْصُدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ[5]

“Jalan atau cara baru dalam agama yang menyerupai tuntunan syara’ namun  jika diteliti pada hakikatnya berlawanan dengan syara‘, sebagai bentuk pelaksanaan apa yang disebut dengan syari’at”.

Imam al-Sammani, sebagaimana dikutip oleh Ali Mahfûzh memberi batasan bid‘ah dengan sesuatu yang baru dilakukan berlawanan dengan yang hak (benar) yang ada pada masa Nabi  Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dijadikan pegangan dalam urusan agama yang lurus.[6]
Beberapa definisi tentang bid‘ah di atas ada dua hal yang menjadi ciri sesuatu dapat dikatakan bid‘ah:

a.      Melakukan suatu amaliah baru yang tidak dijumpai pada masa Rasulullah, sahabat atau atsar. Baik perbuatan itu bersifat fisik, keilmuan, keagamaan dan lain sebagainya.
b.      Amaliah keagamaan dan ibadah kepada Allah secara lang-sung yang tidak diperbolehkan memperbaharuinya seper-ti menambah rakaat shalat.
    
Para ulama cukup beragam dalam engidentifikasi bid-‘ah, paling tidak ada dua kelompok dalam memandang bid‘ah, yakni:

1.      Mereka yang terlalu memperluas cakupan bid‘ah sehingga ada yang menganggap setiap sesuatu yang baru dan tidak mereka temukan dalilnya termasuk bid‘ah.
2.      Kelompok ulama yang menganggap enteng dalam meng-amalkan dan melaksanakan hal-hal yang termasuk bid‘ah. Mereka telah mempersempit pintu bid‘ah, sehingga bid‘ah yang besar  saja yang mereka masukkan dalam kategori bid‘ah dan yang kecil-kecil tidak mereka masukkan, bah-kan seringkali hal-hal yang bid‘ah mereka namakan sun-nah agama.[7]


Macam-macam Bid‘ah

Sebagian  ulama  memandang  bid‘ah  ada   dua   macam,  yakni  bid‘ah  yang dipandang baik dan boleh dilakukan, dan bid-‘ah yang dinilai sesat yakni yang bertentangan dengan nash yang ada[8]. Sebagian lainnya memahami bid‘ah, jika itu sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul maka dinamakan bid‘ah baik (mah-mûdah, hasanah atau ghair madzmûmah). Tetapi bila bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul maka dinamakan bid‘ah sesat (dlalalah atau madzmûmah), demikian  ungkapan yang dinis-batkan kepada az-Zarkasyi, asy-Syâfi’i, Abu Nu’aim, Abu Sya-mah, an-Nawawi, al-‘Aini dan Ibnu Hajar.[9] asy-Syaukâni  me-mandang pembagian bid’ah oleh para fuqaha adalah sesuatu yang dilakukan tanpa dalil yang kuat, baik dalil naqli maupun aqli.[10]


Sebab-sebab Melakukan Bid‘ah
   
      Ada beberapa sebab yang memunculkan perilaku bid‘ah terjadi di kalangan masyarakat yakni: (1) Tidak mengetahui sara-na untuk memahami dalil, (2)  Ketidaktahuan akan tujuan syari’at (maqâshid asy-syarî’at), (3) Berbuat kebaikan bersandarkan akal, dan (4) Mengikuti hawa nafsu[11]

Ada beberapa sebab lain yang membuat seseorang mela-kukan bid’ah, antara lain:  (a) tidak mengenal Sunnah Nabi; (b) memasuki arena mutasyabihat, ini yang terbesar dan terbanyak; (c) tidak mengetahui ayat-ayat muhkam dan mutasyabihât; (d) terlalu mengangungkan guru; (e) menjadikan amalannya sebagai hu-kum; (f) Berperilaku tasawuf yang rusak (fasid) dengan taklid dalam kebodohan.[12]

 

Macam-macam Kelompok Ahli Bid’ah

Adz-Dzahabi (672-748 H) di dalam kitab “Mîzân al-I‘tidâl”, telah menjelaskan bahwa bid‘ah ada dua macam yang masing-masing membawa dampak bagi pelaku atau penganutnya, yaitu:
  1. Bid‘ah kecil (sughra), seperti mengaku bermadzhab khawâ-rij tanpa ekstrem (ghullat), seperti mereka yang tergolong kepada kelompok yang membunuh Ali radliyallahu ‘anhu, ini kebanyakan para tabi‘in dan pengikut tabi‘in, meski-pun mereka dikenal wara’, shadûq, kelompok ini diterima riwayatnya;
  2. Bid‘ah besar (kubra), seperti golongan Syi‘ah dari kalangan Rafîdlah murni, yang mencela Abu Bakar, Umar dan me-reka tertolak riwayatnya.[13]
Dalam perkembangan selanjutnya, ahli bid’ah telah meng-halalkan segala cara termasuk membuat hadits. Termasuk mereka adalah kelompok (firqah) yang memiliki paham bersebarangan dengan Ahlussunnah.[14] Al-Khatîb al-Baghdâdi memberi tanggga-pan tentang bid‘ah ini dengan memisalkan mereka dan menyebut sekte-sekte yang ada dalam aliran kalam seperti: [15] 

  1. Qadariyah[16], dipelopori oleh Ma‘bad al-Juhani dari kala-ngan tabi‘i dan temannya Ghailân ad-Dimasyqi.
  2. khawârij[17], pemimpin mereka adalah Abd Allah bin Wahb ar-Rasyid. Memiliki beberapa sekte di antaranya Azâriqah, ‘Umariyah, Syabibiyah, Najdiyah, Ibadliyah, Shafariyah, Haru-riyah, Hamziyah, Shalidiyah, dan Syarrah.[18]
  3. Syi‘ah[19] dan Rafîdlah[20] Kelompok ini termasuk dalam ke-lompok Syi‘ah dan memiliki banyak sekte yang oleh mayoritas ulama telah dikafirkan karena paham sesat mereka. Di antara sekte-sekte itu ialah Saba’iyah, Mukhtâ-riyah, Samâniyah, Jarudiyah, Imâmiyah, Ismâiliyah, Ja’fariyah, Zaidiyah, dan lain-lain.[21] Rafidlah menyatkan bahwa nikah mut’ah tanpa wali, tanpa saksi, tanpa teman adalah halal.[22]
  4. Mu‘tazilah[23], Kelompok ini dijuluki kaum rasionalis Islam, ahl al-adl wa at-tauhid, dipelopori oleh Washil bin Atha‘.
  5. Murji‘ah[24], kelompok Islam yang berpendapat bahwa per-masalahan tentang dosa besar ditangguhkan dan diserah-kan kepada Allah untuk menghukuminya.
  6. Jabariah[25], kelompok Islam yang menafikan usaha manusia (hamba) dan hanya disandarkan atas perbuatan Tuhan. Paham ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan yang dibu-nuh oleh Khalid bin Abd Allah tahun 124 H.
  7. Musyabbihah[26] ada dua macam, pertama kelompok yang menyamakan sifat Allah dengan lainnya, seperti berse-mayamnya Allah dengan duduk manusia, Kedua menya-markan Dzat Allah dengan yang lain, seperti kelompok Sabaiyyah yang dipimpin oleh Abd Allah bin Saba‘ yang menganggap Ali sebagai Tuhan.
  8. Jahamiyah, yang menyatakan bahkan al-Qur’an itu makh-luk, mereka mengikari bahwa Allah telah berbicara lang-sung dengan Nabi Musa as., mengingkari syafa’at, menya-takan bahwa Allah memiliki tangan.[27]
Dalam bidang hadits, di antara mereka banyak melakukan pemalsuan hadits yang didorong oleh fanatiknya (ta‘ashub) ter-hadap madzhab yang mereka anut.

 

Hakekat Hadits Palsu

Secara bahasa kata maudlu’ isim maf’ul dari kata wadla’a, berarti yang diletakkan, yang dibiarkan, menggugurkan, mening-galkan yakni yang ditinggalkan atau dibiarkan tinggal di tempat penggembalaan. Juga berarti berita bohong yang dibuat-buat.[28] Sedangkan menurut istilah ilmu hadits ialah:

اْلمَوْضُوْعُ: هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ.[29]
           
Hadits maudlû’ ialah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat yang merupakan seburuk-buruknya hadits dloif.”

وَالْمَوْضُوْعُ فِي اِصْطِلاَحِ الْمُحَدِّثِيْنَ: هُوَ مَانَسَبَ إِلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِخْتِلاَفاً وَكِذْباً مِمَّا لَمْ يُقِلُّهُ أَوْ يَفْعُلُهُ أَوْ يُقِرُّ.[30]
           
Hadits maudlû’ secara istilah ulama hadits: sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang  mneyalahi (dengan hadits nabi yang sebenarnya) dan mengandung kebohongan dari apa yang dikatakan, diperbuat, atau ditetapkan beliau.”

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hadits maudlû’ ialah suatu hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam dengan dusta dan tidak ada kaitan yang hakiki dengan Rasulullah. Bahkan, sebenarnya ia bukan hadits, hanya saja para ulama menamainya dengan hadits mengingat adanya anggapan rawinya bahwa hal itu adalah hadits.

Ada dua cara memalsu hadits, pertama pemalsu membuat kata-kata (matan) dari dirinya sendiri, kemudian membuat jalur riwayat (sanad) semaunya sendiri yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua pemalsu mengambil kata-kata para ulama, lalu membuat jalur riwayat.[31]     Ada beberapa cara untuk mengetahui ciri-ciri hadits palsu, di antaranya ialah: (a) Pengakuan Pemalsu, (b) Semi Pemalsuan, (c) Subyektifitas Pera-wi, (d) Kerancuan dalam Kalimat Hadits, (e) Periwayatnya Pen-dusta[32]


Kelompok Ahli Bid’ah yang Memalsukan Hadits
 
Mustafa Azami dan Shidîq Basyîr Shadr menjelaskan ada beberapa kelompok dan motif yang berbeda dalam pembuatan hadits palsu, di antaranya:[33]

a)      Kaum Zindiq

Kaum zindiq ialah  mereka yang hendak menghancurkan Islam dari dalam disebabkan tidak mampu secara frontal untuk menghadapi umat Islam. Para zindiq termasuk Mughirah bin Sa‘d al-Kûfi dan Muhammad bin Sa‘îd asy-Syâmi[34] yang mati disalib atas perbuatannya. Kalimat hadits palsu tersebut ialah:

أنََاَ خَاتَمُ الَّنِبِّييْنَ لاَ نَبِيَ مِنْ بَعْدِيْ إِلاَّ اَنْ يَّشَاءَ الله.ُ[35]

“Saya (Muhammad) adalah pengganti para Nabi , (dan) tidak ada Nabi  setelah saya, kecuali jika Allah menginginkannya”.

b)     Penutur  Dongeng dan Ahli Tasawuf

Ada sejumlah orang yang lemah ingatannya yang mem-buat-buat hadits dengan tujuan mendapatkan imbalan pahala iba-dah. Misalnya Abu Umarah al-Marwazi[36] mengatakan bahwa Abu ‘Ismah pernah ditanya tentang hadits-hadits yang men-ceritakan keutamaan ayat-ayat al-Qur’an, sementara murid-murid Ikrimah tidak meriwayatkan hadits tersebut. Abu ‘Ismah menja-wab pertanyaan itu dengan mengatakan  bahwa manusia berpa-ling dari (membaca dan mempelajari) al-Qur’an, dan menyibuk-kan diri dengan menekuni buku-buku fikih Abu Hanifah serta buku al-Maghazi Muhammad bin Ishaq, lalu (untuk mengalihkan perhatian mereka), saya membuat hadits-hadits tersebut yang menerangkan perolehan pahala di akhirat nanti, bagi orang-orang yang mempelajari al-Qur’an.[37] Dalam kaitan ini yahya bin Sa‘îd al-Qaththân berkomentar:

مَا رَأيَْتُ الصَّالِحِيْنَ أَكْذَبُ مِنْهُمْ فِي اْلحَدِيْثِ.[38]

“Aku tidak pernah melihat orang-orang shalih yang lebih pendusta dari mereka (para sufi) dalam hal hadits”
.
Sebuah riwayat dari dongeng bernama Ja‘far  ath-Thayâ-lisi, ia berkata:

حَدَّثَناَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَ يَحْيَ بْنُ مَعِيْنٍ قَالاَ: حَدَّثَناَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ قَتاَدَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِىَ الله ُعَنْه ُقاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَ لاَ اِلَهَ اِلاَّالله ُُ ُيخْلَقُ مِنْ كُلِّ كَلِمَةٍ مِنْهَا طَائِرٌ مِنْقَارُهُ مِنْ ذَهَبٍ وَرِيْشُهُ مِنْ مَرْجَانٍ، وَأُخِذَ مِنْ قِصَّةٍ مِنْ عِشْرِيْنَ وَرَقَةٍ، فَجَعَلَ أَحْمَدُ يَنْظُرُ إِلَى يَحْيَ، وَيَحْيَ يَنْظُرُ إِلَى أَحْمَدِ فَقَالَ: أَنْتَ حَدَّثْتَهُ بِهَذَا؟ فَقَالَ: لاَ وَاللهِِ مَا سَمِعْتُ بِهِ إِلاَّ هَذِهِ السَّاعَةُ...[39]

“Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin ma‘in menceritakan kepadaku, keduanya berkata: Abd ar-Razzaq menceritakan kepada kami dari Ma‘mar dari Qatadah dari Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: Barangsiapa yang mengatakan Laailahaillallah (Tiada Tuhan selain Allah), maka Ia (Allah) menjadikan untuknya dari setiap kalimat itu sebuah burung yang paruhnya terbuat dari emas, bulunya terbuat dari mutiara, Kisah ini diceritakan sebanyak dua puluh halaman, lalu Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya (bin Ma‘în) saling berpandangan (merasa aneh akan riwayat ini) lalu ia (Yahya) berkata: Apakah engkau meriwayatkannya demikian?. Ahmad  menjawab: tidak, demi Allah saya tidak pernah mendengarnya kecuali saat sekarang ini”


c)      Fanatik Madzhab dan  Alirannya.
1)      Kelompok Mu‘awiyah 
 
Kelompok pendukung Mu‘awiyah bin Abi Sufyân  men-jadi  salah  satu aliran politik yang penting dalam sejarah politik Islam. Terdapat  riwayat yang menyatakan keberadaan Mu’awi-yah di sisi Allah, yakni:

الأُمَناَءُ عِنْدَ الله ِثَلاَثَة:ٌ أَناَ وَجِبْرِيْلُ وَمُعَاوِيَةُ.[40]

“Orang-orang yang dapat dipercaya di sisi allah hanya ada tiga orang, yaitu: Aku (Muhammad), Jibril dan Mu‘wiyah”.

2)      Khawârij

Khawârij sama dengan sekte Islam yang lain, mereka kebanyakan bodoh, literalis (zhahiriyyah) dalam memahami nash dan sangat fanatik. Dengan kefanatikannya, tidak jarang mereka juga berperan dalam berdusta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dengan membuat hadits demi membantu dan mendu-kung pendapat-pendapat yang mereka anut.[41]
            Hal ini misalnya dapat dilihat dari apa yang mereka ungkapkan sebagai bukti kecaman mereka atas diri Ali dan Mu‘awiyah:

أَوَّلُ مَنْ يَخْتَصِمُ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلِيٌّ وَمُعَاوِيَةٌ.[42]

“Orang yang pertama-tama menimbulkan permusuhan pada umat ini ialah Ali dan Mu ‘awiyah”.

      3)  Syî‘ah

Al-‘Alla’i bin Abd ar-Rahman mengakui perbuatannya ketika hendak tiba ajalnya sampai dia tidak merasa pantas dimin-takan ampun karena merasa berdosa dengan memalsukan hadits. Ungkapannya termaktub dalam keterangan berikut ini:

وَسُئِلَ (يَحْيَ بْنِ مَعِيْنٍ) عَنِ الْعَلاَءِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ: أَحْسَنُ اَحْوَالِهِمْ عِنْدِيْ أَنَّهُ قِيْلَ لَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ اَنْ لاَ تَسْتَغْفِرَ الله؟َ قَالَ: لاَأَرْجوُا أَن يَغْفِرَالله ُلِيْ فَقَدْ وَضَعْتُ فِيْ فَضْلِ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ سَبْعِيْنَ حَدِيْثًا.[43]

“Yahya bin Ma‘în telah ditanya tentang al-‘Ala’i bin Abd ar-Rahmân, lalu ia berkata: Yang baik dari perilaku mereka menurut saya ialah ketika dikatakan kepadanya saat hendak matinya, bukankah engkau menginginkan dimintakan ampun kepada Allah? Ia menjawab: Saya tidak mengharapkan untuk dimintakan ampun kepada Allah sebab aku telah memalsukan hadits tentang keutamaan Ali bin Thâlib sebanyak tujuh puluh hadits”.

4) Murji’ah
   
Muhammad bin al-Qasim ath-Thayakani telah ukan hadits demi keuntungan madzhabnya. Ia adalah seorang pemuka kaum Murji’ah yang mendapat penilaian dari ibn Atsir dan Ibnu al-Jauzi sebagai munkar al-hadîts.[44]  Sebuah hadits yang dibuat oleh orang di luar kelompok  Murji’ah. Riwayat tersebut ialah:

حَدّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَامِرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ حَفْصٍ عَنْ مَعْرُوْفِ بْنِ عَبْدِ الله ِالْخِيَاطِ عَنْ وَاثِلَةِ بْنِ اْلأَسْقَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّىالله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: لَوْ أَنَّ مُرْجِئاً أَوْقَدَرِيَّا مَاتَ فَدُفِنَ ثُمَّ نَبَشَ بَعْدَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ لَوَجَدَ وَجْهَهُ إِلىَ غَيْرِ اْلقِبْلَةِ.

Ahmad bin ‘Amir menceritakan kepada kami dari Umar bin Hafsh dari Ma’ruf bin Abd Allah al-Khiyath dari Watsilah bin al-Asqa’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Seandainya ada orang murji’ah dan Qadariyah yang meninggal, lalu dikuburkan kemudian setelah tiga hari digali kuburnya maka akan didapatkan wajahnya tidak lagi menghadap kiblat”.

5)  Perbedaan Madzhab fikih

Muhammad bin ‘Akasyah al-Kirmani yang menerima khabar dari sekelompok orang tentang tata cara mengangkat tangan ketika hendak ruku‘ atau bangun dari ruku‘ (saat i‘tidâl), yakni:

إِنَّ قَوْماً يَرْفَعُوْنَ اَيْدِيَهُمْ فِي الرُّكُوْعِ وَفِي الرَّفْعِ مِنْهُ، فَقَالَ: حَدَّثَناَ اْلمُسَيَّبُ بْنُ وَاضِحٍ ثَناَ اْبنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يُوْنُسِ بْنِ يَزِيْدٍ عَنِ الزُّهْرِى عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعاً "مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الرُّكُوْعِ فَلاَصَلاَةَ لهَ"ُ[45]

“Sesungguhnya orang-orang mengangkat tangan ketika hendak ruku‘ dan bangun dari rukû‘  (saat i‘tidal), maka ia berkata: Ibn al-Musayyab bin Wadlih, is meriyatakan dari ibn al-Mubarak dari Yunus bin Yazid dari Zuhri dan Anas secara marfû‘, (Nabi ) bersabda: Barangsiapa mengangkat tangan ketika rukû‘, maka batallah shalatnya (tidak dianggap sah shalatnya)”.

Di bawah ini ada riwayat yang cenderung mendukung atau memihak madzhab Abu Hanifah dengan berusaha meng-hilangkan madzhab lain, yakni madzhab asy-Syâfi‘i:

وَقِيْلَ لِمَأْمُوْنِ بْنِ أَحْمَدِ الْهَرَوِى: أَلاَ تَرَى إِلىَ الشَّافِعِى وَمَنْ تَبِعَهُ بِخُراَساَنِ، فَقاَلَ حَدَّثَناَ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الله  الجُوَيْباَرِي أَنْبَأَناَ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَعْداَنِ اْلأَزَدِى عَنْ أَنَسٍ بْنِ ماَلِكٍ قالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيْسِ أَضَرَّ عَلىَ أُمَتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ وَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبوُ حَنِيْفَةَ هُوَ سِراَجُ أُمَّتِيْ.[46]

“Dikatakan kepada Makmun bin Ahmad al-Harawi: “Ingat dan lihatlah kepada asy-Syafi‘i dan  orang-orang yang mengikutinya di Khurasan, maka ia berkata: Ahmad bin Abd Allah al-Juwaibari telah memberitahuku ia berkata, Abd Allah bin ma‘dan al-Azadi mengkhabarkan kepadaku dari Anasbin Malik ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Akan datang pada umatku seseorang yang dipanggil Muhammad bin Idris, ia adalah seburuk-buruk manusia di antara umatku dibandingkan dengan Iblis, dan akan datang pada umatku seseorang yang dikenal bernama Abu Hanifah, dia adalah bagaikan lampu yang menyinari (penerang) umatku”.

6)  Mu’tazilah

Abu Lubabah Husain memaparkan dalam muqaddimah kitab Shahih Muslim dijelaskan bahwa ‘Amr  bin Ubaid (pem-besar Mu’tazilah) pernah memalsukan hadits. Di antara hadits palsu yang dinisbatkan kepada Hasan al-Bashri adalah hadits ten-tang orang yang mabuk karena meminum anggur tidak dicam-buk. Abu Ayyub pernah ditanya mengenai keshahihan hadits tersebut. Maka beliau berkata: “Bohong dia, saya mendengar Ha-san al-Bashri berkata orang mabuk karena meminum anggur te-tap dicambuk”.[47]

 

Dampak Pemalsuan Hadits Ahli Bid’ah dalam Kehidupan Masyarakat

Dampak tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek kehi-dupan, di antaranya:

1. Sosial Keagamaan 
            Dalam kehidupan sosial keagamaan, pemalsuan hadits cukup terasa dampaknya. Hal ini berdasarkan apa yang diung-kapkan oleh al-Qasimi yang menyatakan bahwa pemalsuan ha-dits yang dilakukan oleh para ahli bid’ah menimbulkan pengaruh yang buruk dalam kehidupan sosial keagamaan. Beliau menya-takan:

وَإِنَّ تَفَرَّقَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلىَ شِيْعَةٍ وَرَافِضَةٍ وَخَواَرِجٍ وَنَصِيْرِيَّةٍ الخ ... لَهُوَ أَثَرٌ قَبِيْحٌ مِنْ آَثَرِ الْوَضْعِ فِي الدِّيْنِ. [48]
           
Bahwasannya perpecahan kaum muslimin kepada Syi’ah, Rafidlah, Khawarij, dan Nashiriyyah dan lain-lain … sungguh menimbulkan pengaruh buruk termasuk pengaruh pemalsuan (hadits) di dalam agama”.

    
Satu kelompok memberi legitimasi dan penghargaan yang berlebihan kepada kelompok, tokoh atau pemimpin mereka dengan mengeluarkan hadits palsu untuk mendukung pendapat dan pandangan mereka. Sementara itu pihak lainnya berusaha menandingi kelebihan kelompok atau pemimpin yang lain dan mengimbanginya dengan memunculkan riwayat palsu yang sengaja dibuat-buat untuk mendukung tujuannya. Perbuatan ini juga dibarengi dengan membuat hadits palsu, seperti:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا  (مسلم) [49]
           
Dari Abi Hurairah bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk (kebe-naran) maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun”. (Muslim)

2. Perpecahan umat

Munculnya riwayat-riwayat palsu yang dikeluarkan oleh ahli bid’ah, pada dasarnya telah menambahkan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inilah yang pernah diingatkan Allah dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 159 yang berbunyi:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ.

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.

     
Pemalsuan hadits itu memunculkan berbagai golongan dan kelompok yang saling berbeda. Perbedaan ini yang kemudian memecah belah keutuhan umat Islam.[50] Semuanya itu telah disinyalir oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebu-ah hadits, beliau bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قاَلَ رَسُوْلُ الله ِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّماَنِ دَجَّالُوْنَ كَذَّبُوْنَ يَأْتُوْنَكُمْ مِنَ الأَحاَدِيْثِ بِماَ لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آباَؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لاَ يُضِلُّوْنَكُمْ وَلاَ يَفْتِنُوْنَكُمْ. (مسلم)  [51]

Dari Abi Hurairah ia bersabda: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Di akhir zaman nanti akan muncul para dajjal pendusta. Mereka akan melontarkan hadits-hadits yang belujm pernah kalian dengar, demikian pula nenek moyang kalian. Jagalah diri kalian untuk tidak mendekatkan diri dengan mereka, sehingga mereka ridak menyesatkan kalian dan tidak membawa kalian kepada bencana”.


Upaya Ulama dalam Memberantas Pemalsuan Hadits ahli Bid‘ah

Para ulama menyaksikan berbagai penyimpangan dan pemalsuan terhadap hadits Nabi  Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bangkit dan mengadakan pembersihan hadits dari keran-cuan dan keburukan pemalsunya. Ahli hadits mulai meneliti lebih ketat lagi setiap periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka membuat kaidah-kaidah dalam menyeleksi setiap riwayat sebagai upaya menyelamatkan sunnah dari perbuatan ahli bid‘ah yang membuat hadits.

Kaidah-kaidah tersebut antara lain; (a) Meneliti sanad dan matan hadits, (b)   Menciptakan barbagai istilah dan kaidah dalam ilmu hadits, (c) Menelusuri periwayatan palsu, (d)   Menjelaskan keadaan periwayat hadits.
Para ahli hadits menyadari bahwa mengetahui keadaan para periwayat adalah sesuatu yang harus dilakukan, dengannya akan dapat mengetahui kejujuran dan kedlabitan periwayat. Ketekunan ulama tersebut terbukti dengan adanya penyusunan  ilmu al-jarh wa at-ta‘dîl yang membahas para periwayat, mulai dari sahabat sampai masa berikutnya, sehingga banyak muncul ulama kritik hadits.[52]

Para ulama al-jarh wa at-ta‘dîl menjelaskan masa hidup periwayat, keadaan sehari-hari mereka, kredibilitas dan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Pada akhirnya mereka memberi penilaian terhadap masing-masing periwayat untuk menjaring keshahihan riwayat. [53] Dengan cara ini pula para ahli bid‘ah dan penurut hawa nafsu seperti para zindiq tidak diterima periwa-yatannya.

Kesimpulan

    Ahli bid’ah memiliki kontribusi cukup besar memuncul-kan hadits palsu. Motif mereka memalsukan hadits berlatar bela-kang berbeda-beda.  Akhir dari semua itu bermunculan hadits palsu di kalangan umat Islam. Semuanya menimbulkan dampak negatif dalam tatanan kehidupan sosial keagamaan dan menim-bulkan perpecahan umat.
   
Para ulama bangkit dengan berusaha mengadakan pene-litian terhadap hadits, berdasarkan kaidah tertentu untuk me-nyortir keshahihan riwayat. Hasilnya selain dapat memilah hadits yang diterima dan ditolak, juga dalam rangka pengembangan ilmu hadits. Sebagai umat Islam hendaknya kita menjaga keo-tentikan hadits, mengkaji dan menelitinya, memahami dan melaksanakannya. Wallahu a’lam




DAFTAR PUSTAKA

Ajjâj Khatîb, as-Sunnah Qabla at-Tadwîn, Kairo: Maktabah Wahbah, 1963.
-------, Muhammad, Ushul al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, 1967.
Amin, Ahmad, Fajr al-Islâm, Kairo:Maktabah an-Nahdlah al-Mishriyyah, 1965, jld.I.
al-Asy‘ari, Abu Hasan, Maqâlat al-Islâmiyyin Kairo: Maktabah an-Nahdlah, 1950, jld. I.
Azami, Muhammad Mustafa, Studies In Hadith methodology and Literature, Terj, A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992, cet. I.
al-Baghdâdi, Abi Bakr Ahmad bin Ali bin Tsâbit al-Khatîb, al-Kifâyah fi ‘Ilm ar_Riwâyah, Mesir: Mathba‘ah as-Sa‘adah, 1972.
al-Bukhâri, Abu Abd Allah Muhammad bin Ismail, Shahîh al-Bukhâri, Indonesia: Maktabah Dahlan, tth, jld. I.
adz-Dzahabi, Syamsu ad-Dîn Muhammad bin Ahmad (671-748 H), Mîzân al-I‘tidâl fi an-Naqd ar-Rijâl, ditahqiq oleh Abd al-Fath Abu Ghuddah, tt: Dâr al-Fikr, tth, juz IV.
al-Fairuzabadi, Majd ad-Dîn Muhammad bin Ya’kûb, al-Qamus al-Muhîth, Mesir: Maktabah Mustafa al-Bâbi al-Halabi wa Auladah, 1952 M/1371 H, Cet. II.
Fallatah, Umar, al-Wadl‘u  fi al-Hadîts, (Beirut: Mu’assasah Manâhil ‘Irfân maktabah al-Ghazali, 1996,  cet. I, juz I.
Hâsyim, Ahmad Umar, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa ‘Ulumuha, tt: Maktabah Gharîb, tth.
-------, Manhaj Difâ‘ ‘an al-Hadîts an-Nabawiyyah,  al-Qâhirah: Majlis A‘la al-Maskun li al-Islâmiyyah, 1989.
Husain, Abu Lubabah, Pemikiran Hadis Mu’tazilah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Ibn al-Jauzi, Abu al-Farrj Abd ar-Rahmân bin Ali, Maudlû’ât al-Kubra, tahqiq Abd ar-Rahmân Utsmân, tt: al-Maktabah as-Salafiyah, 1966, cet. I.
al-Jizâni, Muhammad bin Husain, Qawâ‘id Ma‘rifat al Bidâ‘, Pent. Aman Abd Rahmân, Kaidah Memahami Bid’ah, Jakarta: Pustaka Azzam, 1998, cet. I.
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, Cet. I.
Krippendorff, Klaus, Content Analysis: Introduction to its theory and Metodology, pent. Farid Wajidi, Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
al-Kubaisi, Makki Husein Hamdân, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa Mathâ’inu al-Mubtadi’ah Fiha, ‘Aman: Dâr ‘Imâr, 1998 M.
Mahfûzh, Ali, al-Ibdâ’ fi Madlâr al-Ibtidâ’, tt: Dâr al-I’thishâm, tth, Cet. VII.
Ibn Manzhûr Muhammad bin Mukarram, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Fikr, tth.
al-Masyath, Hasan Muhammad, at-Taqrirat as-Sunniyah Syarh al-Manzhumah al-Baiquniyah fii Musthalah al-Hadits, ditahqiq oleh Fuad Ahmad Zamrali, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1993, cet. III.
al-Multhi, Abu al-Husain Muhammad bin Ahmad bin Abd ar-Rahmân asy-Syâfi’i (w. 377 H), At-Tanbiyah wa ar-Radd ‘alâ Ahl al-Ahwâ wa al-Bida’, ditahqiq Muhammad Zaid bin al-Hasan al-Kautsari, Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1968
Nashr, Shidîq Basyîr, Dlawâbith ar-Riwâyah ‘Inda al-Muhadditsîn, Tharâbulis: Mansyurat Kuliah ad-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1992, cet. I.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
an-Nemr, Abd al-Mun‘em, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi‘ah, ttp: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 35.
al-Qathani, Said bin Ali bin Wahb, Mengupas Sunnah membedah Bid’ah, Pent. Abu Umar Basyir dan Aman Abdurrahman, Jakarta: Darul Haq, 2002.
al-Qasimi, Muhammad Jamâl ad-Dîn, Qawâ‘id at-Tahdîts min Funûn musthalah al-Hadîts, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.
al-Qusyairi, Abu Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim an-Naisabûri (w. 261 H), al-Jamî‘ ash-shahîh/Shahîh Muslim, Mesir: Mustafa al-Bâbi al-Halabi wa Auladah, 1377 H.
ar-Râzi, Fakhr ad-Dîn Muhammad bin Umar al-Khatîb, I’tiqadât Farq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, al-Qâhirah: Syarkah ath-Thibâ’ah al-Fanniyah al-Mutahaddah, 1978.
as-Sahibany, Abd al-Qayyûm Muhammad, al-Luma‘ fi ar-Raddi ‘ala Muhassiniy al-Bida‘, Terj. Abu Hafsh M. Tasyrif Asbi al-Ambony, Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah, Solo, at-Tibyan, 2003.
ash-Shon‘âni, Muhammad bin Ismail al-Hasani (w. 1182), Taudlîh al-Afkâr, tahqiq Muhammad Muhyi ad-Dîn Abd al-Hamîd, ttp: Maktabah al-Khanaji, tth, jld.
As-Siba’i, Mustafa, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri‘al-Islam, Terj.Nurcholish Majid, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Suatu Pembelaan  Kaum Sunni, Jakarta: Pustaka Firdaus,1991.
asy-Syâthibi, Ibrâhîm bin Musâ bin Muhammad  bin Abi Ishâq (w. 770 H), al-I‘tishâm, (Beirut: Dâr ats-Tsaqafah al-Islâmiyyah, tth), juz I.
asy-Syahristâni, Lihat Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad, al-Milal wa an-Nihal, ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailâni,Mesir: Maktabah Halabi, 1967, jld. I.
Asy-Syâkir, Ahmad Muhammad, al-Bâ‘its al-Hatsits Syarh Ikhtishâr ‘Ulum al-Hadits li Ibn Katsîr, Beirut: Dâr  al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994 M.1414 H.
Asy-Syaukani, Muhammad Ali, al-Fawa’id al-Majmu‘ah fi al-Ahaditsal Maudlû’ah,ttp:Syarif Basya al-Kabir, tth.
asy-Syaqir Muhammad Abd as-Salam khidlr, as-Sunan wa al-Mubtadi’at, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994 M/1415 H, Cet. I.
asy-Syâthibi, Abu Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ bin Muhammad al-Lakhami, al-I’thishâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M, Cet. II, jld. I.
as-Suyûthi, Jalâl ad-Din Abd ar-Rahmân bin Abi Bakr, al-La‘âli al-Mashnû‘ah fi al-Ahâdits al-Maudlû‘ah, Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1983, jld. I.
-------,Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, diedit oleh Abd al-Wahab Abd al-Latif,al-Qahirah: Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1996.
at-Tamimi, Abd al-Qadir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdâdi al-Isfaraini (w. 429 H), al-Farq baina al-Firâq, ditahqiq oleh Muhammad Muhyi ad-Dîn Abd al-Hamid, al-Qâhirah: Mathba‘ah al-Madani, tth.
at-Tahanawi,  Zhafar Ahmad al-Utsmâni (1310-1394 H), Qawâ‘id fi ‘ulûm al-Hadîts, tahqiq Abd al-Fattah Abu Ghuddah, Beirut: Maktabah al-Mathbu‘ah al-Islâmiyyah, tth.
Thabaththaba‘i, MH, Islam Syî‘ah, Shi‘te Islam,  (Houston: Free Islamic Literature, 1979), Terj. Djohan Effendi, Asal Usul dan Perkembangannya, Jakarta: Grafiti, 1993, cet. II.
at-Tirmisi, Muhammad  Mahfûd bin Abd Allah, Manhaj Dzaw an-Nazhar, Jeddah: al-Harâmain, 1974, Cet. III.
al-Wâ’i, Taufîk Yûsuf, al-Bid’ah wa al-mashâlih al-Mursalah, Bayânuha, Ta’shiluha, Aqwâl al-Ulamâ’ fîha, Kuwait: Dâr al-Turâts, tth.












* Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandarlampung, mengajar mata kuliah Hadits. S1-nya diselesaikan di IAIN Raden Intan Bandarlampung Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits. S2-nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Muhammad Mustafa Azami, Studies In Hadith Methodology and Literature, Terj, A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1992, cet. I, h. 111.
[2] Klaus krippendorff, Content Analysis: Introduction to its theory and Metodology, pent. Farid Wajidi, Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 15.
[3] Muhammad bin Mukarram bin Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), jld. VIII, h. 6. Majd ad-Dîn Muhammad bin Ya’kûb al-Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhîth, (Mesir: Maktabah Mustafa al-Bâbi al-Halabi wa Auladah, 1952 M/1371 H), Cet. II, jld. III, h. 3.
[4] Abu Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ bin Muhammad al-Lakhami asy-Syâthibi, al-I’thishâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M), Cet. II, jld. I, h. 28. (Selanjutnya disebut asy-Syâthibi).
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Muhammad bin Husain al-Jizâni, Qawâ‘id Ma‘rifat al Bidâ‘, Pent. Aman Abd Rahmân, Kaidah Memahami Bid’ah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998) cet. I,  h. 9.
[8] Ali Mahfûzh, op.cit., h. 28.
[9]Ibid. Bandingkan dengan Taufîk Yûsuf al-Wâ’i, al-Bid’ah wa al-mashâlih al-Mursalah, Bayânuha, Ta’shiluha, Aqwâl al-Ulamâ’ fîha, (Kuwait: Dâr al-Turâts, tth.) h. 88-90.
[10] Abd al-Qayyûm Muhammad as-Sahibany, al-Luma‘ fi ar-Raddi ‘ala Muhassiniy al-Bida‘, Terj. Abu Hafsh M. Tasyrif Asbi al-Ambony, Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah, Solo, at-Tibyan, 2003), h. 29.
[11] Taufîk Yûsuf al-Wâ’i, op.cit., h. 125-150.
[12] Ibid., h. 152-171.
[13] Syamsu ad-Dîn Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi (671-748 H), Mîzân al-I‘tidâl fi an-Naqd ar-Rijâl, ditahqiq oleh Abd al-Fath Abu Ghuddah (tt: Dâr al-Fikr, tth), juz IV, h. 5.
[14] Ibrâhîm bin Musâ bin Muhammad  bin Abi Ishâq asy-Syâthibi (w. 770 H), al-I‘tishâm, (Beirut: Dâr ats-Tsaqafah al-Islâmiyyah, tth), juz I, h. 39.
[15] Al-Khatib al-Baghdâdi, (w. 463 H/1072 M), Al-Kifâyah fi ‘Ilmi ar-Riwâyah, diedit oleh Ahmad Umar Hasyîm, (Beirut: Dâr al-kitab al-‘Arabiyyah, 1985), Cet. I, h. 198.
[16] Lihat Ahmad Amîn, op.cit., h. 255.
[17] Abu Hasan al-Asy‘ari, Maqâlat al-Islâmiyyin (Kairo: Maktabah an-Nahdlah, 1950), jld. I,  h. 156. (Selanjutnya disebut al-Asy‘ari); Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. Cet. V, h. 11.
[18] Abu al-Husain Muhammad bin Ahmad bin Abd ar-Rahmân al-Multhi asy-Syâfi’i (w. 377 H), At-Tanbiyah wa ar-Radd ‘alâ Ahl al-Ahwâ wa al-Bida’, ditahqiq oleh Muhammad Zaid bin al-Hasan al-Kautsari, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, 1968), h. 47-54. Selanjutnya disebut al-Multhi asy-Syâfi’i.
[19] Lihat M.H. Thabaththa‘i, Islam syi‘ah; Asal Usul dan Perkembangannya, Terj. Djohan Effendi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), Cet. II, h. 32,  Bandingkan dengan Abd al-Mun‘em an-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi‘ah, (ttp: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 35.
[20] Al-Asy‘ari, op.cit., h. 66.
[21] al-Multhi asy-Syâfi’i, op.cit., h. 16-33.
[22] Ibid., h. 163.
[23] Lihat Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad asy-Syahristâni, al-Milal wa an-Nihal, ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailâni, (Mesir: Maktabah Halabi, 1967), jld. I, h. 43.
[24] Lihat al-Asy‘ari, op.cit.,  h. 197.
[25] Ibid, h. 86.
[26] Lihat Abd al-Qadir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdâdi al-Isfaraini at-Tamimi (w. 429 H), al-Farq baina al-Firâq, ditahqiq oleh Muhammad Muhyi ad-Dîn Abd al-Hamid, (al-Qâhirah: Mathba‘ah al-Madani, tth), h. 225; Fakhr ad-Dîn Muhammad bin Umar al-Khatîb ar-Râzi, I’tiqadât Farq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, (al-Qâhirah; Syarkah ath-Thibâ’ah al-Fanniyah al-Mutahaddah, 1978), h. 97.
[27] al-Multhi asy-Syâfi’i, op.cit., h. 125-144.
[28] Hasan Muhammad al-Masyath, at-Taqrirat as-Sunniyah Syarh al-Manzhumah al-baiquniyah fii Musthalah al-Hadits, ditahqiq oleh Fuad Ahmad Zamrali, ( Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1993), cet. III, h. 117. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997),  h. 125.
[29] Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, ditahqiq oleh Abd al-Wahab Abd al-Latif, (Madinah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972), cet. II, jld. I, h. 274. Selanjutnya disebut as-Suyuthi.
[30] Muhammad Ajjaj Khatib, Ushûl al-Hadits ‘Ulûmuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975),  cet. III, h. 415.
[31] Ali Mustafa Yaqub, op.cit., h. 84.
[32] Ibid.,  h. 68.
[33] Ibid.,  h. 112; Shidîq Bâsyir Nashr, op.cit.,  h. 104.
[34] Nama lengkapnya Muhammad bin Sa‘id ad-Dimasyqi, ada yang menyebutnya Muhammad bin Hisan, ini disandarkan kepada kakeknya, atau Muhammad bin Abi Qais, atau Muhammad al-Ardani, dan Muhammad asy-Syâmi. Namanya selalu dirubah secara sembunyi-sembunyi dan semaunya. Lihat adz-Dzahabi, Mîzân .., op.cit., jld. III, h. 561.
[35] Abu al-Farrj Abd ar-Rahmân bin Ali bin al-Jauzi, Maudlu‘ât al-Kubra, tahqiq Abd ar-Rahmân Utsmân, (tt: al-Maktabah as-Salafiyah, 1966), cet. I,  h. 38. Selanjutnya disebut Ibn al-Jauzi. as-Suyûthi, Tadrîb ar-Râwi fi Syarh Taqrîb an-Nawawi, tahqiq Abd al-Wahab Abd al-Latif, (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), cet. II, jld. I, h. 284.
[36] Nama lengkapnya Abu ‘Ismah Nuh Abi Maryam al-Marwazi, dinilai oleh adz-Dzahabi sebagai periwayat hadits dengan predikat “taraka hadîtsahu”. Lihat adz-Dhahabi, Mîzân ...., op.cit., jld. V,  h. 40
[37] Muhammad Mustafa Azami, op.cit., h. 113.
[38]Shidîq Basyîr Shadr,  op.cit., h. 104. Lihat Muhammad bin Ismail al-Hasani ash-Shon‘âni (w. 1182), Taudlîh al-Afkâr, tahqiq Muhammad Muhyi ad-Dîn Abd al-Hamîd, (tt: Maktabah al-Khanaji, tth), jld. II,  h. 87.
[39] Ibn al-jauzi, al-Maudlu’ât, opcit., h. 46. Ahmad Muhammad Syakir, al-Bâ‘its al-Hatsîts Syarh ‘ulûm al-hadîts Li al-Hâfidz Ibn Katsîr, (al-Qâhirah: Thaba‘ah Muhammad Ali Shabih wa Auladah, 1951), cet. II, h. 93-94. Muhammad Ajjâj Khatîb, As-Sunnah Qabla at-Tadwîn, ( al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1963), cet. I,  h. 212.
[40] Muhammad Ali asy-Syaukâni, al-Fawâ‘id al-majmû‘ah fi al-Ahâdits al-Maudlû‘ah, (tt: Syarîf Basya al-Kabîr, tth), h. 404. Bentuk sanadnya tidak ada. (Selanjutnya disebut asy-Syaukâni)
[41] Umar Fallatah, al-Wadl‘u  fi al-Hadîts, (Beirut: Mu’assasah Manâhil ‘Irfân maktabah al-Ghazali, 1996),  cet. I, juz I,  h. 229.
[42] Asy-Syaukâni, al-Fawâ’id…, op.cit.,  h. 403.
[43] Ibn al-Jauzi, al-maudlû ‘at…, op.cit., jld. I, h. 253.
[44] as-Suyûthi, Tadrîb, op.cit., h. 285. Ibnu al-Jauzi, op.cit., h. 204.
[45] Ibid., h. 278. Bandingkan dengan as-Suyûthi, al-La‘âli, op.cit., jld. II,  h. 248.
[46] As-Suyûthi, Tadrîb…, op.cit., 278., Ibnu al-Jauzi, op.cit., jld. I, h. 354.
[47] Abu Lubabah Husain, Pemikiran Hadis Mu’tazilah, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2003), h. 86.
[48] Muhammad jamal ad-Din al-Qâsimi, Qawâ’id at-Tahdits min Funûn Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), h. 153.
[49] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut; Dâr Ihya at-Turats al-Arabi, 1972), kitab Ilmu, nomor hadits 2060..
[50] Said bin Ali bin Wahf al-Qathani, Mengupas Sunnah membedah Bid’ah, Pent. Abu Umar Basyir dan Aman Abdurrahman, (Jakarta: Darul Haq, 2002), h. 184.
[51] Muslim bin Hajjaj, op.cit., h. muqaddimah.
[52] ibid., h. 432.
[53] Ahmad Umar Hâsyim, Manhaj Difâ‘…op.cit., h. 122.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar