AHLI BID’AH DAN PEMALSUAN HADITS
Ahmad Isnaeni*
Abstrak
Penelitian ini diarahkan kepada upaya para ahli bid’ah
dalam memalsukan hadits. Data diperoleh melalui penelaahan pus-taka, yang
dianalisa dengan metode content analisis dan de-duktif. Kemunculan hadits palsu
dilakukan oleh para pelakunya dengan berbagai alasan dan motivasi. Dampak yang
dimuncul-kannya membuat perpecahan di kalangan umat Islam, demikian pula dalam
kehidupan sosial politik. Para ahli bid’ah itu
ada yang mengaku telah memalsukan hadits dengan jumlah tertentu untuk
kepentingan masing-masing. Ulama hadits bangkit mengadakan pengkajian terhadap
hadits palsu yang tersebar di masyarakat dengan membuat standar penerimaan
suatu hadits.
Kata Kunci: Ahli Bid’ah, Hadits palsu
Pendahuluan
Ahli bid’ah merupakan gelar bagi
sejumlah kelompok (firqah) Islam yang memiliki paham bersebarangan
dengan Ahlussunnah wal jama’ah. Gerakan pemalsuan hadits disinyalir
merupakan perbuatan orang-orang tertentu untuk tujuan tertentu. Bentuk
pemalsuan hadits ini dapat dibedakan kepada dua kategori, yakni memalsukan
hadits secara disengaja dan tidak disengaja. Bentuk pertama dikenal dengan
hadits maudlû’, sedangkan bentuk kedua karena kesalahan dalam
periwayatan disebut hadits batil.[1]
Bentuk-bentuk itu dapat berupa pergantian lafazh-lafazh dalam hadits,
penambahan atau pengurangan.
Informasi di atas cukup menarik untuk
ditelusuri melalui penelitian dan pengkajian, khususnya berkaitan dengan
pemalsu-an hadits. Hal ini beralasan, karena secara realitas hadits meme-gang
peranan penting di antaranya menjelaskan kandungan al-Qur’an. Obyek utama
penelitian ini yakni menelusuri dan mene-laah keterlibatan para ahli bid’ah
dengan berbagai kelompok dan tujuannya dalam memalsukan hadits. Permasalahan
penelitian ini adalah: Apa bentuk-bentuk upaya ahli bid’ah dalam memalsukan
hadits? Bagaimana dampak dari pemalsuan hadits oleh ahli bid’ah terhadap
kehidupan masyarakat Islam kala itu?
Metode
Penelitian
Secara metodologis pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah (historis approach)
dan merupakan kajian kepustakaan. Data diperoleh melalui penelaah-an buku-buku,
kitab dan literatur lain yang berkaitan dengan obyek penelitian, untuk
selanjutnya dilakukan analisis.
Penganalisaan data menggunakan analisis
isi (content analysis),[2]
dan pola berpikir deduktif. Informasi tentang pemal-suan hadits ahli bid’ah
yang tersebar dalam literatur, ditelaah de-ngan berpijak pada asumsi bahwa
pemalsuan hadits dengan latar belakang dan tujuannya tidak lain untuk mendukung
kelompok mereka masing-masing serta merusak ajaran Islam. Semua ini cukup
memberikan dampak di kalangan masyarakat Islam secara umum.
Hakikat Bid’ah
Hakekat Bid’ah secara bahasa melakukan atau mengadakan
hal baru yang sebelumnya tidak ada perumpamaannya).[3]
Asy-Syâ-thibi dalam bukunya “al-I’thishâm” memberi penjelasan tentang
batasan bid’ah secara istilah:
طَرِيْقَةٌ ِفْي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ
تُضَاهِيُ الشَّرْعِيَّةَ يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِيْ
التَّعَبُدِِلله سُبْحَانَهُ[4]
“Jalan
atau cara baru dalam agama yang menyerupai tuntunan syara’ dengan tujuan untuk
berlebihan-lebihan dalam beribadah
kepada Allah SWT”.
Pandangan
ini menunjukkan, kebiasaan (adat) tidak ter-masuk di dalamnya, dan khusus hanya
menjelaskan tentang ibadah. Adapun bid’ah bermakna pekerjaan/kebiasaan (adat)
termasuk di dalamnya ialah :
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ
تُضَاهِيُ الشَّرْعِيَّةَ يَقْصُدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يَقْصُدُ
بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ[5]
“Jalan
atau cara baru dalam agama yang menyerupai tuntunan syara’ namun jika diteliti pada hakikatnya berlawanan
dengan syara‘, sebagai bentuk pelaksanaan apa yang disebut dengan syari’at”.
Imam
al-Sammani, sebagaimana dikutip oleh Ali Mahfûzh memberi batasan bid‘ah
dengan sesuatu yang baru dilakukan berlawanan dengan yang hak (benar) yang ada
pada masa Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu dijadikan pegangan dalam urusan agama yang lurus.[6]
Beberapa
definisi tentang bid‘ah di atas ada dua hal yang menjadi ciri sesuatu dapat
dikatakan bid‘ah:
a. Melakukan suatu amaliah baru yang tidak
dijumpai pada masa Rasulullah, sahabat atau atsar. Baik perbuatan itu bersifat
fisik, keilmuan, keagamaan dan lain sebagainya.
b. Amaliah keagamaan dan ibadah kepada Allah
secara lang-sung yang tidak diperbolehkan memperbaharuinya seper-ti menambah
rakaat shalat.
1. Mereka yang terlalu memperluas cakupan
bid‘ah sehingga ada yang menganggap setiap sesuatu yang baru dan tidak mereka
temukan dalilnya termasuk bid‘ah.
2. Kelompok ulama yang menganggap enteng dalam
meng-amalkan dan melaksanakan hal-hal yang termasuk bid‘ah. Mereka telah
mempersempit pintu bid‘ah, sehingga bid‘ah yang besar saja yang mereka masukkan dalam kategori
bid‘ah dan yang kecil-kecil tidak mereka masukkan, bah-kan seringkali hal-hal
yang bid‘ah mereka namakan sun-nah agama.[7]
Macam-macam
Bid‘ah
Sebagian
ulama memandang bid‘ah
ada dua macam,
yakni bid‘ah yang dipandang baik dan boleh dilakukan, dan
bid-‘ah yang dinilai sesat yakni yang bertentangan dengan nash yang ada[8].
Sebagian lainnya memahami bid‘ah, jika itu sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasul maka dinamakan bid‘ah baik (mah-mûdah, hasanah atau ghair
madzmûmah). Tetapi bila bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul
maka dinamakan bid‘ah sesat (dlalalah atau madzmûmah),
demikian ungkapan yang dinis-batkan
kepada az-Zarkasyi, asy-Syâfi’i, Abu Nu’aim, Abu Sya-mah, an-Nawawi, al-‘Aini
dan Ibnu Hajar.[9]
asy-Syaukâni me-mandang pembagian
bid’ah oleh para fuqaha adalah sesuatu yang dilakukan tanpa dalil yang kuat,
baik dalil naqli maupun aqli.[10]
Sebab-sebab
Melakukan Bid‘ah
Ada beberapa sebab lain yang membuat
seseorang mela-kukan bid’ah, antara lain:
(a) tidak mengenal Sunnah Nabi; (b) memasuki arena mutasyabihat,
ini yang terbesar dan terbanyak; (c) tidak mengetahui ayat-ayat muhkam dan
mutasyabihât; (d) terlalu mengangungkan guru; (e) menjadikan amalannya
sebagai hu-kum; (f) Berperilaku tasawuf yang rusak (fasid) dengan taklid
dalam kebodohan.[12]
Macam-macam
Kelompok Ahli Bid’ah
Adz-Dzahabi (672-748 H) di dalam
kitab “Mîzân al-I‘tidâl”, telah menjelaskan bahwa bid‘ah ada dua macam
yang masing-masing membawa dampak bagi pelaku atau penganutnya, yaitu:
- Bid‘ah
kecil (sughra), seperti mengaku bermadzhab khawâ-rij tanpa
ekstrem (ghullat), seperti mereka yang tergolong kepada kelompok
yang membunuh Ali radliyallahu ‘anhu, ini kebanyakan para tabi‘in
dan pengikut tabi‘in, meski-pun mereka dikenal wara’, shadûq, kelompok
ini diterima riwayatnya;
- Bid‘ah
besar (kubra), seperti golongan Syi‘ah dari kalangan Rafîdlah
murni, yang mencela Abu Bakar, Umar dan me-reka tertolak riwayatnya.[13]
Dalam perkembangan selanjutnya, ahli
bid’ah telah meng-halalkan segala cara termasuk membuat hadits. Termasuk mereka
adalah kelompok (firqah) yang memiliki paham bersebarangan dengan
Ahlussunnah.[14]
Al-Khatîb al-Baghdâdi memberi tanggga-pan tentang bid‘ah ini dengan memisalkan
mereka dan menyebut sekte-sekte yang ada dalam aliran kalam seperti: [15]
- Qadariyah[16],
dipelopori oleh Ma‘bad al-Juhani dari
kala-ngan tabi‘i dan temannya Ghailân ad-Dimasyqi.
- khawârij[17],
pemimpin mereka adalah Abd Allah bin
Wahb ar-Rasyid. Memiliki beberapa sekte di antaranya Azâriqah,
‘Umariyah, Syabibiyah, Najdiyah, Ibadliyah, Shafariyah, Haru-riyah,
Hamziyah, Shalidiyah, dan Syarrah.[18]
- Syi‘ah[19]
dan Rafîdlah[20]
Kelompok ini termasuk dalam ke-lompok Syi‘ah dan memiliki banyak sekte
yang oleh mayoritas ulama telah dikafirkan karena paham sesat mereka. Di
antara sekte-sekte itu ialah Saba’iyah, Mukhtâ-riyah, Samâniyah,
Jarudiyah, Imâmiyah, Ismâiliyah, Ja’fariyah, Zaidiyah, dan lain-lain.[21]
Rafidlah menyatkan bahwa nikah mut’ah tanpa wali, tanpa saksi,
tanpa teman adalah halal.[22]
- Mu‘tazilah[23],
Kelompok ini dijuluki kaum rasionalis
Islam, ahl al-adl wa at-tauhid, dipelopori oleh Washil bin Atha‘.
- Murji‘ah[24],
kelompok Islam yang berpendapat bahwa
per-masalahan tentang dosa besar ditangguhkan dan diserah-kan kepada Allah
untuk menghukuminya.
- Jabariah[25],
kelompok Islam yang menafikan usaha
manusia (hamba) dan hanya disandarkan atas perbuatan Tuhan. Paham ini
dipelopori oleh Jahm bin Shafwan yang dibu-nuh oleh Khalid bin Abd Allah
tahun 124 H.
- Musyabbihah[26]
ada dua macam, pertama kelompok yang menyamakan sifat Allah dengan
lainnya, seperti berse-mayamnya Allah dengan duduk manusia, Kedua
menya-markan Dzat Allah dengan yang lain, seperti kelompok Sabaiyyah
yang dipimpin oleh Abd Allah bin Saba‘ yang menganggap Ali sebagai Tuhan.
- Jahamiyah,
yang menyatakan bahkan al-Qur’an itu makh-luk, mereka mengikari bahwa
Allah telah berbicara lang-sung dengan Nabi Musa as., mengingkari
syafa’at, menya-takan bahwa Allah memiliki tangan.[27]
Dalam bidang hadits, di antara
mereka banyak melakukan pemalsuan hadits yang didorong oleh fanatiknya (ta‘ashub)
ter-hadap madzhab yang mereka anut.
Hakekat
Hadits Palsu
Secara bahasa kata maudlu’ isim
maf’ul dari kata wadla’a, berarti yang diletakkan, yang dibiarkan,
menggugurkan, mening-galkan yakni yang ditinggalkan atau dibiarkan tinggal di
tempat penggembalaan. Juga berarti berita bohong yang dibuat-buat.[28]
Sedangkan menurut istilah ilmu hadits ialah:
اْلمَوْضُوْعُ:
هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ الضَّعِيْفِ.[29]
“Hadits
maudlû’ ialah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat yang merupakan
seburuk-buruknya hadits dloif.”
وَالْمَوْضُوْعُ
فِي اِصْطِلاَحِ الْمُحَدِّثِيْنَ: هُوَ مَانَسَبَ إِلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى الله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِخْتِلاَفاً وَكِذْباً مِمَّا لَمْ يُقِلُّهُ أَوْ
يَفْعُلُهُ أَوْ يُقِرُّ.[30]
”Hadits
maudlû’ secara istilah ulama hadits: sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mneyalahi (dengan hadits nabi yang sebenarnya) dan mengandung kebohongan
dari apa yang dikatakan, diperbuat, atau ditetapkan beliau.”
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa hadits maudlû’ ialah suatu
hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam
dengan dusta dan tidak ada kaitan yang hakiki dengan Rasulullah. Bahkan,
sebenarnya ia bukan hadits, hanya saja para ulama menamainya dengan hadits
mengingat adanya anggapan rawinya bahwa hal itu adalah hadits.
Kelompok Ahli Bid’ah yang Memalsukan
Hadits
Mustafa
Azami dan Shidîq Basyîr Shadr menjelaskan ada beberapa kelompok dan motif yang
berbeda dalam pembuatan hadits palsu, di antaranya:[33]
a) Kaum Zindiq
Kaum
zindiq ialah mereka yang hendak
menghancurkan Islam dari dalam disebabkan tidak mampu secara frontal untuk
menghadapi umat Islam. Para zindiq termasuk
Mughirah bin Sa‘d al-Kûfi dan Muhammad bin Sa‘îd asy-Syâmi[34]
yang mati disalib atas perbuatannya. Kalimat hadits palsu tersebut ialah:
أنََاَ خَاتَمُ الَّنِبِّييْنَ لاَ نَبِيَ
مِنْ بَعْدِيْ إِلاَّ اَنْ يَّشَاءَ الله.ُ[35]
“Saya
(Muhammad) adalah pengganti para Nabi , (dan) tidak ada Nabi setelah saya, kecuali jika Allah
menginginkannya”.
b) Penutur
Dongeng dan Ahli Tasawuf
مَا رَأيَْتُ الصَّالِحِيْنَ أَكْذَبُ
مِنْهُمْ فِي اْلحَدِيْثِ.[38]
“Aku
tidak pernah melihat orang-orang shalih yang lebih pendusta dari mereka (para
sufi) dalam hal hadits”
.
Sebuah
riwayat dari dongeng bernama Ja‘far
ath-Thayâ-lisi, ia berkata:
حَدَّثَناَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَ
يَحْيَ بْنُ مَعِيْنٍ قَالاَ: حَدَّثَناَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ
قَتاَدَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِىَ الله ُعَنْه ُقاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَ لاَ اِلَهَ اِلاَّالله ُُ ُيخْلَقُ مِنْ
كُلِّ كَلِمَةٍ مِنْهَا طَائِرٌ مِنْقَارُهُ مِنْ ذَهَبٍ وَرِيْشُهُ مِنْ
مَرْجَانٍ، وَأُخِذَ مِنْ قِصَّةٍ مِنْ عِشْرِيْنَ وَرَقَةٍ، فَجَعَلَ أَحْمَدُ
يَنْظُرُ إِلَى يَحْيَ، وَيَحْيَ يَنْظُرُ إِلَى أَحْمَدِ فَقَالَ: أَنْتَ
حَدَّثْتَهُ بِهَذَا؟ فَقَالَ: لاَ وَاللهِِ مَا سَمِعْتُ بِهِ إِلاَّ هَذِهِ
السَّاعَةُ...[39]
“Ahmad
bin Hanbal dan Yahya bin ma‘in menceritakan kepadaku, keduanya
berkata: Abd ar-Razzaq menceritakan kepada kami dari Ma‘mar dari Qatadah dari
Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Barangsiapa yang mengatakan Laailahaillallah (Tiada Tuhan selain Allah), maka
Ia (Allah) menjadikan untuknya dari setiap kalimat itu sebuah burung yang
paruhnya terbuat dari emas, bulunya terbuat dari mutiara, Kisah ini diceritakan
sebanyak dua puluh halaman, lalu Ahmad (bin Hanbal) dan Yahya
(bin Ma‘în) saling berpandangan (merasa aneh akan riwayat ini) lalu ia (Yahya)
berkata: Apakah engkau meriwayatkannya demikian?. Ahmad menjawab: tidak, demi Allah saya tidak pernah
mendengarnya kecuali saat sekarang ini”
c) Fanatik Madzhab dan Alirannya.
1)
Kelompok
Mu‘awiyah
Kelompok pendukung Mu‘awiyah bin Abi
Sufyân men-jadi salah
satu aliran politik yang penting dalam sejarah politik Islam. Terdapat riwayat yang menyatakan keberadaan Mu’awi-yah
di sisi Allah, yakni:
الأُمَناَءُ عِنْدَ الله
ِثَلاَثَة:ٌ أَناَ وَجِبْرِيْلُ وَمُعَاوِيَةُ.[40]
“Orang-orang yang
dapat dipercaya di sisi allah hanya ada tiga orang, yaitu: Aku (Muhammad),
Jibril dan Mu‘wiyah”.
2)
Khawârij
Khawârij sama dengan sekte Islam
yang lain, mereka kebanyakan bodoh, literalis (zhahiriyyah) dalam
memahami nash dan sangat fanatik. Dengan kefanatikannya, tidak jarang mereka
juga berperan dalam berdusta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membuat hadits demi membantu dan
mendu-kung pendapat-pendapat yang mereka anut.[41]
Hal ini misalnya dapat dilihat dari
apa yang mereka ungkapkan sebagai bukti kecaman mereka atas diri Ali dan
Mu‘awiyah:
أَوَّلُ مَنْ يَخْتَصِمُ مِنْ هَذِهِ
اْلأُمَّةِ عَلِيٌّ وَمُعَاوِيَةٌ.[42]
“Orang
yang pertama-tama menimbulkan permusuhan pada umat ini ialah Ali dan Mu
‘awiyah”.
3)
Syî‘ah
Al-‘Alla’i bin
Abd ar-Rahman mengakui perbuatannya ketika hendak tiba ajalnya sampai dia tidak
merasa pantas dimin-takan ampun karena merasa berdosa dengan memalsukan hadits.
Ungkapannya termaktub dalam keterangan berikut ini:
وَسُئِلَ (يَحْيَ بْنِ مَعِيْنٍ) عَنِ
الْعَلاَءِ ابْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَ: أَحْسَنُ اَحْوَالِهِمْ عِنْدِيْ
أَنَّهُ قِيْلَ لَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ اَنْ لاَ تَسْتَغْفِرَ الله؟َ قَالَ:
لاَأَرْجوُا أَن يَغْفِرَالله ُلِيْ فَقَدْ وَضَعْتُ فِيْ فَضْلِ عَلِيِّ بْنِ
أَبِيْ طَالِبٍ سَبْعِيْنَ حَدِيْثًا.[43]
“Yahya
bin Ma‘în telah ditanya tentang al-‘Ala’i bin Abd ar-Rahmân, lalu ia
berkata: Yang baik dari perilaku mereka menurut saya ialah ketika dikatakan
kepadanya saat hendak matinya, bukankah engkau menginginkan dimintakan ampun
kepada Allah? Ia menjawab: Saya tidak mengharapkan untuk dimintakan ampun
kepada Allah sebab aku telah memalsukan hadits tentang keutamaan Ali bin Thâlib
sebanyak tujuh puluh hadits”.
4)
Murji’ah
Muhammad
bin al-Qasim ath-Thayakani telah ukan hadits demi keuntungan madzhabnya. Ia
adalah seorang pemuka kaum Murji’ah yang mendapat penilaian dari ibn Atsir dan
Ibnu al-Jauzi sebagai munkar al-hadîts.[44] Sebuah hadits yang dibuat oleh orang di luar
kelompok Murji’ah. Riwayat tersebut
ialah:
حَدّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَامِرٍ عَنْ
عُمَرَ بْنِ حَفْصٍ عَنْ مَعْرُوْفِ بْنِ عَبْدِ الله ِالْخِيَاطِ عَنْ وَاثِلَةِ
بْنِ اْلأَسْقَعِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّىالله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: لَوْ
أَنَّ مُرْجِئاً أَوْقَدَرِيَّا مَاتَ فَدُفِنَ ثُمَّ نَبَشَ بَعْدَ ثَلاَثَةِ
أَيَّامٍ لَوَجَدَ وَجْهَهُ إِلىَ غَيْرِ اْلقِبْلَةِ.
“Ahmad bin ‘Amir menceritakan
kepada kami dari Umar bin Hafsh dari Ma’ruf bin Abd Allah al-Khiyath dari
Watsilah bin al-Asqa’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
Seandainya ada orang murji’ah dan Qadariyah yang meninggal, lalu dikuburkan
kemudian setelah tiga hari digali kuburnya maka akan didapatkan wajahnya tidak
lagi menghadap kiblat”.
5) Perbedaan Madzhab fikih
Muhammad
bin ‘Akasyah al-Kirmani yang menerima khabar dari sekelompok orang tentang tata
cara mengangkat tangan ketika hendak ruku‘ atau bangun dari ruku‘ (saat i‘tidâl),
yakni:
إِنَّ قَوْماً يَرْفَعُوْنَ اَيْدِيَهُمْ
فِي الرُّكُوْعِ وَفِي الرَّفْعِ مِنْهُ، فَقَالَ: حَدَّثَناَ اْلمُسَيَّبُ بْنُ
وَاضِحٍ ثَناَ اْبنُ الْمُبَارَكِ عَنْ يُوْنُسِ بْنِ يَزِيْدٍ عَنِ الزُّهْرِى
عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعاً "مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الرُّكُوْعِ فَلاَصَلاَةَ
لهَ"ُ[45]
“Sesungguhnya
orang-orang mengangkat tangan ketika hendak ruku‘ dan bangun dari rukû‘ (saat i‘tidal), maka ia berkata: Ibn
al-Musayyab bin Wadlih, is meriyatakan dari ibn al-Mubarak dari Yunus bin Yazid
dari Zuhri dan Anas secara marfû‘, (Nabi ) bersabda: Barangsiapa mengangkat
tangan ketika rukû‘, maka batallah shalatnya (tidak dianggap sah shalatnya)”.
Di
bawah ini ada riwayat yang cenderung mendukung atau memihak madzhab Abu Hanifah
dengan berusaha meng-hilangkan madzhab lain, yakni madzhab asy-Syâfi‘i:
وَقِيْلَ لِمَأْمُوْنِ بْنِ أَحْمَدِ
الْهَرَوِى: أَلاَ تَرَى إِلىَ الشَّافِعِى وَمَنْ تَبِعَهُ بِخُراَساَنِ، فَقاَلَ
حَدَّثَناَ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ الله الجُوَيْباَرِي
أَنْبَأَناَ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَعْداَنِ اْلأَزَدِى عَنْ أَنَسٍ بْنِ ماَلِكٍ
قالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَكُوْنُ فِيْ
أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيْسِ أَضَرَّ عَلىَ أُمَتِيْ
مِنْ إِبْلِيْسَ وَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبوُ حَنِيْفَةَ
هُوَ سِراَجُ أُمَّتِيْ.[46]
“Dikatakan
kepada Makmun bin Ahmad al-Harawi: “Ingat dan lihatlah kepada
asy-Syafi‘i dan orang-orang yang
mengikutinya di Khurasan, maka ia berkata: Ahmad bin Abd Allah
al-Juwaibari telah memberitahuku ia berkata, Abd Allah bin ma‘dan al-Azadi
mengkhabarkan kepadaku dari Anasbin Malik ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Akan datang pada umatku seseorang yang dipanggil
Muhammad bin Idris, ia adalah seburuk-buruk manusia di antara umatku
dibandingkan dengan Iblis, dan akan datang pada umatku seseorang yang dikenal
bernama Abu Hanifah, dia adalah bagaikan lampu yang menyinari (penerang)
umatku”.
6) Mu’tazilah
Abu
Lubabah Husain memaparkan dalam muqaddimah kitab Shahih Muslim dijelaskan bahwa
‘Amr bin Ubaid (pem-besar Mu’tazilah)
pernah memalsukan hadits. Di antara hadits palsu yang dinisbatkan kepada Hasan
al-Bashri adalah hadits ten-tang orang yang mabuk karena meminum anggur tidak
dicam-buk. Abu Ayyub pernah ditanya mengenai keshahihan hadits tersebut. Maka
beliau berkata: “Bohong dia, saya mendengar Ha-san al-Bashri berkata orang
mabuk karena meminum anggur te-tap dicambuk”.[47]
Dampak Pemalsuan Hadits Ahli Bid’ah
dalam Kehidupan Masyarakat
Dampak tersebut dapat dilihat dari beberapa
aspek kehi-dupan, di antaranya:
1. Sosial Keagamaan
Dalam
kehidupan sosial keagamaan, pemalsuan hadits cukup terasa dampaknya. Hal ini
berdasarkan apa yang diung-kapkan oleh al-Qasimi yang menyatakan bahwa
pemalsuan ha-dits yang dilakukan oleh para ahli bid’ah menimbulkan pengaruh
yang buruk dalam kehidupan sosial keagamaan. Beliau menya-takan:
وَإِنَّ تَفَرَّقَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلىَ
شِيْعَةٍ وَرَافِضَةٍ وَخَواَرِجٍ وَنَصِيْرِيَّةٍ الخ ... لَهُوَ أَثَرٌ قَبِيْحٌ
مِنْ آَثَرِ الْوَضْعِ فِي الدِّيْنِ. [48]
“Bahwasannya
perpecahan kaum muslimin kepada Syi’ah, Rafidlah, Khawarij, dan Nashiriyyah dan
lain-lain … sungguh menimbulkan pengaruh buruk termasuk pengaruh pemalsuan
(hadits) di dalam agama”.
Satu kelompok memberi legitimasi dan
penghargaan yang berlebihan kepada kelompok, tokoh atau pemimpin mereka dengan
mengeluarkan hadits palsu untuk mendukung pendapat dan pandangan mereka.
Sementara itu pihak lainnya berusaha menandingi kelebihan kelompok atau
pemimpin yang lain dan mengimbanginya dengan memunculkan riwayat palsu yang
sengaja dibuat-buat untuk mendukung tujuannya. Perbuatan ini juga dibarengi
dengan membuat hadits palsu, seperti:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ
لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ
مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا (مسلم) [49]
“Dari
Abi Hurairah bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk (kebe-naran) maka baginya pahala
seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan
barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang
yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun”. (Muslim)
2. Perpecahan umat
Munculnya riwayat-riwayat palsu yang
dikeluarkan oleh ahli bid’ah, pada dasarnya telah menambahkan apa yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal inilah
yang pernah diingatkan Allah dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 159 yang berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ
وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ
ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ.
“Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa
golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.
Pemalsuan
hadits itu memunculkan berbagai golongan dan kelompok yang saling berbeda.
Perbedaan ini yang kemudian memecah belah keutuhan umat Islam.[50]
Semuanya itu telah disinyalir oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sebu-ah hadits, beliau bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قاَلَ رَسُوْلُ الله
ِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّماَنِ دَجَّالُوْنَ
كَذَّبُوْنَ يَأْتُوْنَكُمْ مِنَ الأَحاَدِيْثِ بِماَ لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ
وَلاَ آباَؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لاَ يُضِلُّوْنَكُمْ وَلاَ
يَفْتِنُوْنَكُمْ. (مسلم) [51]
“Dari
Abi Hurairah ia bersabda: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Di
akhir zaman nanti akan muncul para dajjal pendusta. Mereka akan melontarkan
hadits-hadits yang belujm pernah kalian dengar, demikian pula nenek moyang
kalian. Jagalah diri kalian untuk tidak mendekatkan diri dengan mereka,
sehingga mereka ridak menyesatkan kalian dan tidak membawa kalian kepada
bencana”.
Upaya Ulama dalam Memberantas
Pemalsuan Hadits ahli Bid‘ah
Kaidah-kaidah
tersebut antara lain; (a) Meneliti sanad dan matan hadits, (b) Menciptakan barbagai istilah dan kaidah
dalam ilmu hadits, (c) Menelusuri periwayatan palsu, (d) Menjelaskan keadaan periwayat hadits.
Kesimpulan
Ahli
bid’ah memiliki kontribusi cukup besar memuncul-kan hadits palsu. Motif mereka
memalsukan hadits berlatar bela-kang berbeda-beda. Akhir dari semua itu bermunculan hadits palsu
di kalangan umat Islam. Semuanya menimbulkan dampak negatif dalam tatanan
kehidupan sosial keagamaan dan menim-bulkan perpecahan umat.
DAFTAR PUSTAKA
Ajjâj Khatîb, as-Sunnah
Qabla at-Tadwîn, Kairo: Maktabah Wahbah, 1963.
-------,
Muhammad, Ushul al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, Beirut : Dâr al-Fikr, 1967.
Amin, Ahmad, Fajr
al-Islâm, Kairo:Maktabah an-Nahdlah al-Mishriyyah, 1965, jld.I.
al-Asy‘ari, Abu
Hasan, Maqâlat al-Islâmiyyin Kairo: Maktabah an-Nahdlah, 1950, jld. I.
Azami, Muhammad
Mustafa, Studies In Hadith methodology and Literature, Terj, A. Yamin, Metodologi
Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992, cet. I.
al-Baghdâdi, Abi
Bakr Ahmad bin Ali bin Tsâbit al-Khatîb, al-Kifâyah fi ‘Ilm ar_Riwâyah,
Mesir: Mathba‘ah as-Sa‘adah, 1972.
al-Bukhâri, Abu
Abd Allah Muhammad bin Ismail, Shahîh
al-Bukhâri, Indonesia :
Maktabah Dahlan, tth, jld. I.
adz-Dzahabi,
Syamsu ad-Dîn Muhammad bin Ahmad (671-748 H), Mîzân al-I‘tidâl fi an-Naqd
ar-Rijâl, ditahqiq oleh Abd al-Fath Abu Ghuddah, tt: Dâr al-Fikr, tth, juz
IV.
al-Fairuzabadi,
Majd ad-Dîn Muhammad bin Ya’kûb, al-Qamus al-Muhîth,
Mesir: Maktabah Mustafa al-Bâbi al-Halabi wa Auladah, 1952 M/1371 H,
Cet. II.
Fallatah, Umar,
al-Wadl‘u fi al-Hadîts, (Beirut : Mu’assasah
Manâhil ‘Irfân maktabah al-Ghazali, 1996,
cet. I, juz I.
Hâsyim, Ahmad
Umar, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa ‘Ulumuha, tt: Maktabah Gharîb, tth.
-------, Manhaj
Difâ‘ ‘an al-Hadîts an-Nabawiyyah,
al-Qâhirah: Majlis A‘la al-Maskun li al-Islâmiyyah, 1989.
Husain, Abu
Lubabah, Pemikiran Hadis Mu’tazilah, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003.
Ibn al-Jauzi, Abu
al-Farrj Abd ar-Rahmân bin Ali, Maudlû’ât al-Kubra, tahqiq Abd
ar-Rahmân Utsmân, tt: al-Maktabah as-Salafiyah, 1966, cet. I.
al-Jizâni, Muhammad
bin Husain, Qawâ‘id Ma‘rifat al Bidâ‘, Pent. Aman Abd Rahmân,
Kaidah Memahami Bid’ah, Jakarta :
Pustaka Azzam, 1998, cet. I.
Jumantoro, Totok,
Kamus Ilmu Hadits, Jakarta :
Bumi Aksara, 1997, Cet. I.
Krippendorff,
Klaus, Content Analysis: Introduction to its theory and Metodology, pent. Farid
Wajidi, Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metologi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993.
al-Kubaisi, Makki
Husein Hamdân, as-Sunnah an-Nabawiyyah wa Mathâ’inu al-Mubtadi’ah
Fiha, ‘Aman: Dâr ‘Imâr, 1998 M.
Mahfûzh, Ali, al-Ibdâ’ fi
Madlâr al-Ibtidâ’, tt: Dâr al-I’thishâm, tth, Cet. VII.
Ibn Manzhûr Muhammad
bin Mukarram, Lisân al-‘Arab, Beirut :
Dâr al-Fikr, tth.
al-Masyath,
Hasan Muhammad, at-Taqrirat as-Sunniyah Syarh al-Manzhumah al-Baiquniyah fii
Musthalah al-Hadits, ditahqiq oleh Fuad Ahmad Zamrali, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Arabi, 1993, cet. III.
al-Multhi,
Abu al-Husain Muhammad bin Ahmad bin Abd ar-Rahmân asy-Syâfi’i (w. 377 H), At-Tanbiyah
wa ar-Radd ‘alâ Ahl al-Ahwâ wa al-Bida’, ditahqiq Muhammad Zaid bin
al-Hasan al-Kautsari, Beirut :
Maktabah al-Ma’arif, 1968
Nashr, Shidîq
Basyîr, Dlawâbith ar-Riwâyah ‘Inda al-Muhadditsîn, Tharâbulis:
Mansyurat Kuliah ad-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1992, cet. I.
Nasution,
Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 1986.
an-Nemr, Abd
al-Mun‘em, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi‘ah, ttp: Yayasan Alumni Timur
Tengah, 1988), h. 35.
al-Qathani,
Said bin Ali bin Wahb, Mengupas Sunnah membedah Bid’ah, Pent. Abu Umar
Basyir dan Aman Abdurrahman, Jakarta :
Darul Haq, 2002.
al-Qasimi, Muhammad
Jamâl ad-Dîn, Qawâ‘id at-Tahdîts min Funûn musthalah al-Hadîts,
Beirut : Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth.
al-Qusyairi, Abu
Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim an-Naisabûri (w. 261 H), al-Jamî‘
ash-shahîh/Shahîh Muslim, Mesir: Mustafa al-Bâbi al-Halabi wa Auladah, 1377
H.
ar-Râzi,
Fakhr ad-Dîn Muhammad bin Umar al-Khatîb, I’tiqadât Farq al-Muslimîn wa
al-Musyrikîn, al-Qâhirah: Syarkah ath-Thibâ’ah al-Fanniyah al-Mutahaddah,
1978.
as-Sahibany,
Abd al-Qayyûm Muhammad, al-Luma‘ fi ar-Raddi ‘ala Muhassiniy al-Bida‘, Terj.
Abu Hafsh M. Tasyrif Asbi al-Ambony, Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah,
Solo, at-Tibyan, 2003.
ash-Shon‘âni, Muhammad
bin Ismail al-Hasani (w. 1182), Taudlîh al-Afkâr, tahqiq
Muhammad Muhyi ad-Dîn Abd al-Hamîd, ttp: Maktabah
al-Khanaji, tth, jld.
As-Siba’i,
Mustafa, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri‘al-Islam, Terj.Nurcholish
Majid, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Suatu
Pembelaan Kaum Sunni, Jakarta : Pustaka
Firdaus,1991.
asy-Syâthibi,
Ibrâhîm bin Musâ bin Muhammad bin Abi
Ishâq (w. 770 H), al-I‘tishâm, (Beirut :
Dâr ats-Tsaqafah al-Islâmiyyah, tth), juz I.
asy-Syahristâni,
Lihat Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad, al-Milal wa
an-Nihal, ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailâni,Mesir: Maktabah Halabi,
1967, jld. I.
Asy-Syâkir, Ahmad
Muhammad, al-Bâ‘its al-Hatsits Syarh Ikhtishâr ‘Ulum al-Hadits
li Ibn Katsîr, Beirut :
Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994 M.1414 H.
Asy-Syaukani,
Muhammad Ali, al-Fawa’id al-Majmu‘ah fi al-Ahaditsal Maudlû’ah,ttp:Syarif
Basya al-Kabir, tth.
asy-Syaqir Muhammad Abd
as-Salam khidlr, as-Sunan wa al-Mubtadi’at, Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994
M/1415 H, Cet. I.
asy-Syâthibi, Abu
Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ bin Muhammad al-Lakhami, al-I’thishâm, Beirut : Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1995 M, Cet. II, jld. I.
as-Suyûthi, Jalâl
ad-Din Abd ar-Rahmân bin Abi Bakr, al-La‘âli al-Mashnû‘ah fi al-Ahâdits
al-Maudlû‘ah, Beirut :
Dâr al-Ma‘rifah, 1983, jld. I.
-------,Tadrib
ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi, diedit oleh Abd al-Wahab Abd
al-Latif,al-Qahirah: Dâr al-Kutub al-Haditsah, 1996.
at-Tamimi, Abd
al-Qadir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdâdi al-Isfaraini (w. 429 H), al-Farq
baina al-Firâq, ditahqiq oleh Muhammad Muhyi ad-Dîn Abd al-Hamid,
al-Qâhirah: Mathba‘ah al-Madani, tth.
at-Tahanawi, Zhafar Ahmad al-Utsmâni (1310-1394 H), Qawâ‘id
fi ‘ulûm al-Hadîts, tahqiq Abd al-Fattah Abu Ghuddah, Beirut : Maktabah al-Mathbu‘ah al-Islâmiyyah,
tth.
Thabaththaba‘i,
MH, Islam Syî‘ah, Shi‘te Islam,
(Houston: Free Islamic Literature, 1979), Terj. Djohan Effendi, Asal
Usul dan Perkembangannya, Jakarta :
Grafiti, 1993, cet. II.
at-Tirmisi,
Muhammad Mahfûd bin Abd Allah, Manhaj
Dzaw an-Nazhar, Jeddah: al-Harâmain, 1974, Cet. III.
al-Wâ’i, Taufîk
Yûsuf, al-Bid’ah wa al-mashâlih al-Mursalah, Bayânuha, Ta’shiluha,
Aqwâl al-Ulamâ’ fîha, Kuwait :
Dâr al-Turâts, tth.
*
Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandarlampung,
mengajar mata kuliah Hadits. S1-nya diselesaikan di IAIN Raden Intan
Bandarlampung Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits. S2-nya di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta .
[1]
Muhammad Mustafa Azami, Studies In Hadith Methodology and Literature, Terj, A.
Yamin, Metodologi Kritik Hadis, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1992, cet. I,
h. 111.
[2]
Klaus krippendorff, Content Analysis: Introduction to its theory and
Metodology, pent. Farid Wajidi, Analisis Isi, Pengantar Teori dan Metologi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 15.
[3]
Muhammad bin Mukarram bin Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth), jld. VIII, h. 6.
Majd ad-Dîn Muhammad bin Ya’kûb al-Fairuzabadi, al-Qamus al-Muhîth,
(Mesir: Maktabah Mustafa al-Bâbi al-Halabi wa Auladah, 1952 M/1371 H),
Cet. II, jld. III, h. 3.
[4]
Abu Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsâ bin Muhammad al-Lakhami asy-Syâthibi,
al-I’thishâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M), Cet. II, jld. I,
h. 28. (Selanjutnya disebut asy-Syâthibi).
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Muhammad bin Husain al-Jizâni, Qawâ‘id Ma‘rifat al Bidâ‘, Pent. Aman Abd
Rahmân, Kaidah Memahami Bid’ah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998)
cet. I, h. 9.
[8]
Ali Mahfûzh, op.cit., h. 28.
[9]Ibid.
Bandingkan dengan Taufîk Yûsuf al-Wâ’i, al-Bid’ah wa al-mashâlih
al-Mursalah, Bayânuha, Ta’shiluha, Aqwâl al-Ulamâ’ fîha, (Kuwait : Dâr
al-Turâts, tth.) h. 88-90.
[10]
Abd al-Qayyûm Muhammad as-Sahibany, al-Luma‘ fi ar-Raddi ‘ala Muhassiniy
al-Bida‘, Terj. Abu Hafsh M. Tasyrif Asbi al-Ambony, Mengapa Anda Menolak
Bid’ah Hasanah, Solo, at-Tibyan, 2003), h. 29.
[11]
Taufîk Yûsuf al-Wâ’i, op.cit., h. 125-150.
[12]
Ibid., h. 152-171.
[13]
Syamsu ad-Dîn Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi (671-748 H), Mîzân al-I‘tidâl
fi an-Naqd ar-Rijâl, ditahqiq oleh Abd al-Fath Abu Ghuddah (tt: Dâr
al-Fikr, tth), juz IV, h. 5.
[14]
Ibrâhîm bin Musâ bin Muhammad bin Abi
Ishâq asy-Syâthibi (w. 770 H), al-I‘tishâm, (Beirut : Dâr ats-Tsaqafah al-Islâmiyyah, tth),
juz I, h. 39.
[15]
Al-Khatib al-Baghdâdi, (w. 463 H/1072 M), Al-Kifâyah fi ‘Ilmi ar-Riwâyah,
diedit oleh Ahmad Umar Hasyîm, (Beirut: Dâr al-kitab al-‘Arabiyyah, 1985), Cet.
I, h. 198.
[16]
Lihat Ahmad Amîn, op.cit., h. 255.
[17]
Abu Hasan al-Asy‘ari, Maqâlat al-Islâmiyyin (Kairo: Maktabah an-Nahdlah,
1950), jld. I, h. 156. (Selanjutnya
disebut al-Asy‘ari); Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. Cet. V, h. 11.
[18]
Abu al-Husain Muhammad bin Ahmad bin Abd ar-Rahmân al-Multhi asy-Syâfi’i (w.
377 H), At-Tanbiyah wa ar-Radd ‘alâ Ahl al-Ahwâ wa al-Bida’, ditahqiq
oleh Muhammad Zaid bin al-Hasan al-Kautsari, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif,
1968), h. 47-54. Selanjutnya disebut al-Multhi asy-Syâfi’i.
[19]
Lihat M.H. Thabaththa‘i, Islam syi‘ah; Asal Usul dan Perkembangannya, Terj.
Djohan Effendi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), Cet. II, h. 32, Bandingkan dengan Abd al-Mun‘em an-Nemr, Sejarah
dan Dokumen-dokumen Syi‘ah, (ttp: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h.
35.
[20]
Al-Asy‘ari, op.cit., h. 66.
[21]
al-Multhi asy-Syâfi’i, op.cit., h. 16-33.
[22]
Ibid., h. 163.
[23]
Lihat Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad asy-Syahristâni,
al-Milal wa an-Nihal, ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailâni, (Mesir:
Maktabah Halabi, 1967), jld. I, h. 43.
[24]
Lihat al-Asy‘ari, op.cit., h.
197.
[25]
Ibid, h. 86.
[26]
Lihat Abd al-Qadir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdâdi al-Isfaraini at-Tamimi
(w. 429 H), al-Farq baina al-Firâq, ditahqiq oleh Muhammad Muhyi ad-Dîn
Abd al-Hamid, (al-Qâhirah: Mathba‘ah al-Madani, tth), h. 225; Fakhr ad-Dîn Muhammad
bin Umar al-Khatîb ar-Râzi, I’tiqadât Farq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, (al-Qâhirah;
Syarkah ath-Thibâ’ah al-Fanniyah al-Mutahaddah, 1978), h. 97.
[27]
al-Multhi asy-Syâfi’i, op.cit., h. 125-144.
[28]
Hasan Muhammad al-Masyath, at-Taqrirat as-Sunniyah Syarh al-Manzhumah
al-baiquniyah fii Musthalah al-Hadits, ditahqiq oleh Fuad Ahmad Zamrali, (
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1993), cet. III, h. 117. Totok Jumantoro, Kamus
Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997),
h. 125.
[29]
Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi fi Syarh
Taqrib an-Nawawi, ditahqiq oleh Abd al-Wahab Abd al-Latif, (Madinah:
al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972), cet. II, jld. I, h. 274. Selanjutnya disebut
as-Suyuthi.
[30]
Muhammad Ajjaj Khatib, Ushûl al-Hadits ‘Ulûmuhu
wa Musthalahuhu, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), cet. III, h. 415.
[31]
Ali Mustafa Yaqub, op.cit., h. 84.
[32]
Ibid., h. 68.
[33]
Ibid., h. 112; Shidîq Bâsyir
Nashr, op.cit., h. 104.
[34]
Nama lengkapnya Muhammad bin Sa‘id ad-Dimasyqi, ada yang menyebutnya Muhammad
bin Hisan, ini disandarkan kepada kakeknya, atau Muhammad bin Abi Qais,
atau Muhammad al-Ardani, dan Muhammad asy-Syâmi. Namanya selalu dirubah secara
sembunyi-sembunyi dan semaunya. Lihat adz-Dzahabi, Mîzân .., op.cit.,
jld. III, h. 561.
[35]
Abu al-Farrj Abd ar-Rahmân bin Ali bin al-Jauzi, Maudlu‘ât al-Kubra,
tahqiq Abd ar-Rahmân Utsmân, (tt: al-Maktabah as-Salafiyah, 1966), cet.
I, h. 38. Selanjutnya disebut Ibn
al-Jauzi. as-Suyûthi, Tadrîb ar-Râwi fi Syarh Taqrîb an-Nawawi,
tahqiq Abd al-Wahab Abd al-Latif, (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972),
cet. II, jld. I, h. 284.
[36]
Nama lengkapnya Abu ‘Ismah Nuh Abi Maryam al-Marwazi, dinilai oleh
adz-Dzahabi sebagai periwayat hadits dengan predikat “taraka hadîtsahu”.
Lihat adz-Dhahabi, Mîzân ...., op.cit., jld. V, h. 40
[37]
Muhammad Mustafa Azami, op.cit., h. 113.
[38]Shidîq
Basyîr Shadr, op.cit., h. 104.
Lihat Muhammad bin Ismail al-Hasani ash-Shon‘âni (w. 1182), Taudlîh
al-Afkâr, tahqiq Muhammad Muhyi ad-Dîn Abd al-Hamîd, (tt:
Maktabah al-Khanaji, tth), jld. II, h. 87.
[39]
Ibn al-jauzi, al-Maudlu’ât, opcit., h. 46. Ahmad Muhammad Syakir, al-Bâ‘its
al-Hatsîts Syarh ‘ulûm al-hadîts Li al-Hâfidz Ibn
Katsîr, (al-Qâhirah: Thaba‘ah Muhammad Ali Shabih wa Auladah, 1951),
cet. II, h. 93-94. Muhammad Ajjâj Khatîb, As-Sunnah Qabla at-Tadwîn, (
al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1963), cet. I,
h. 212.
[40]
Muhammad Ali asy-Syaukâni, al-Fawâ‘id al-majmû‘ah fi al-Ahâdits
al-Maudlû‘ah, (tt: Syarîf Basya al-Kabîr, tth), h. 404. Bentuk sanadnya
tidak ada. (Selanjutnya disebut asy-Syaukâni)
[41]
Umar Fallatah, al-Wadl‘u fi al-Hadîts,
(Beirut: Mu’assasah Manâhil ‘Irfân maktabah al-Ghazali, 1996), cet. I, juz I, h. 229.
[42]
Asy-Syaukâni, al-Fawâ’id…, op.cit.,
h. 403.
[43]
Ibn al-Jauzi, al-maudlû ‘at…, op.cit., jld. I, h. 253.
[44]
as-Suyûthi, Tadrîb, op.cit., h. 285. Ibnu al-Jauzi, op.cit., h.
204.
[45]
Ibid., h. 278. Bandingkan dengan as-Suyûthi, al-La‘âli, op.cit.,
jld. II, h. 248.
[46]
As-Suyûthi, Tadrîb…, op.cit., 278., Ibnu al-Jauzi, op.cit., jld.
I, h. 354.
[47]
Abu Lubabah Husain, Pemikiran Hadis Mu’tazilah, (Jakarta :Pustaka Firdaus, 2003), h. 86.
[48]
Muhammad jamal ad-Din al-Qâsimi, Qawâ’id at-Tahdits min Funûn
Musthalah al-Hadits, (Beirut : Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), h.
153.
[49]
Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Beirut; Dâr Ihya at-Turats al-Arabi,
1972), kitab Ilmu, nomor hadits 2060..
[50]
Said bin Ali bin Wahf al-Qathani, Mengupas Sunnah membedah Bid’ah, Pent.
Abu Umar Basyir dan Aman Abdurrahman, (Jakarta: Darul Haq, 2002), h. 184.
[51]
Muslim bin Hajjaj, op.cit., h. muqaddimah.
[52]
ibid., h. 432.
[53]
Ahmad Umar Hâsyim, Manhaj Difâ‘…op.cit., h. 122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar