Kamis, 01 Agustus 2013

KAIDAH TAFSIR PERSPEKTIF ASPEK DIRAYAH



KAIDAH TAFSIR PERSPEKTIF ASPEK DIRAYAH

Septiawadi*




Abstrak

 

Dalam memahami dan mengambil suatu pengertian yang utuh mengenai Alquran maka seseorang harus menguasai ilmu – ilmu yang terkait dengan Alquran serta mengetahui kaidah – kaidah tafsir. Seseorang tidak dapat seenaknya atau sekehendaknya untuk menafsirkan Alquran bila tidak memiliki dan menguasai hal diatas. Disinilah perlu dituntut kesadaran diri atau tahu diri bagi siapa yang tidak punya kapabilitas, tidak punya keahlian atau tidak menekuni bidang terkait dengan ilmu – ilmu Alquran itu supaya tidak mudah saja menafsirkan makna ayat hanya berdasarkan logika dan pengalaman.

Kata Kunci;  Kaidah kebahasaan, kaidah ushul fiqh

 

Pendahuluan
Setiap aktifitas yang kita jalankan, masing – masing punya aturan main yang akan menjadi pedoman dan ukuran agar apa yang dilakukan memperoleh hasil yang baik dan terhindar dari penyimpangan – penyimpangan. Hal ini juga berlaku ketika seseorang menafsirkan Alquran. Upaya penafsiran Alquran merupakan tugas mulia dan berat sebab yang dijelaskan itu adalah perkataan Allah. Sedangkan penafsiran bertujuan untuk menjadikan rahmat bagi manusia secara umum artinya berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Dengan memahami petunjuk – petunjuk Alquran dan diamalkan secara baik maka Alquran sendiri yang menjamin bahwa hidup akan bahagia dan selamat sentosa. Berkenaan dengan firman Allah ini sudah pasti bahwa yang paling tahu maksudnya ialah Allah karena sebagai sumbernya. Makanya kita sering menemukan makna suatu ayat dijelaskan oleh ayat lain.[1] Penjelasannya bisa beriringan dengan ayat yang bersangkutan atau terungkap pada tempat lain. Selain dari Allah sebagai sumbernya, maka orang yang dapat juga memahami dengan sempurna adalah nabi Muhammad sebagai orang pertama yang menerima perkataan (wahyu) itu.
   Bagi pengikut Muhammad sampai sekarang dapat juga melakukan penafsiran Alquran dengan tetap mengacu kepada kaidah – kaidah yang terdapat dalam Alquran atau kaedah – kaedah yang disusun berdasarkan ilmu kebahasaan dan ilmu ushul fiqh. Bila diperhatikan pada kitab – kitab yang membahas tentang ilmu tafsir atau ulumul Quran, banyak sekali kaidah – kaidah yang ditetapkan dan dijadikan sebagai kaidah – kaidah tafsir untuk menafsirkan Alquran bahkan ada yang menguraikannya dengan rinci.[2] Diantara sekian banyak itu barangkali secara umum dapat kita pilah dan kelompokkan ke dalam beberapa pokok bahasan saja.
Dengan begitu tulisan ini paling tidak dapat memberikan gambaran  bagi pembaca untuk melihat garis besar kaidah tafsir serta beberapa persoalan terkait dengannya. Di antara persoalan dimaksud adalah seperti kaidah mana saja yang tergolong sebagai kaidah utama? Di mana letak signifikansi kaidah tersebut dalam penafsiran? Dapatkah kaidah itu ditinggalkan bila berbenturan dengan faktor sosiologis atau budaya tertentu? Atau bagaimana memposisikannya ketika menghadapi fenomena sosial? Banyak lagi persoalan – persoalan yang harus dimunculkan tentang itu.
Sebagai pengantar dalam kajian qawaid tafsir tulisan ini akan mencoba mengangkat persoalan menyangkut kaidah – kaidah mana yang tergolong sebagai  pokok atau yang utama dalam penafsiran? Dengan demikian akan terlihat kategorisasi dari kaidah tafsir. Untuk itu penulis akan berusaha memaparkannya.
 Uraian ini diawali dengan pendahuluan lalu diikuti oleh pema-haman topik ( maudhu’ ) baru masuk pada kaidah – kaidah umum penafsiran yang dibagi dalam 2 garis besar yaitu kaidah kebahasaan dan ushul fiqh, sebagai kaidah yang merupakan hasil dari kajian mendalam serta analisis tajam terhadap ayat Alquran. Sedangkan diluar itu meru-pakan kaidah yang berasal dari rumusan dalam memahami ayat lahiriyah Alquran artinya langsung diambil dari tampilan Alquran. Sebetulnya kaidah ini ada keterkaitan dengan bahasan ilmu Quran. Bentuk kedua ini merupakan kaidah yang langsung dinukil dari Alquran seperti amtsal, aqsam, jidal, kisah dan sebagainya. 


Pemahaman Topik

   Kaidah – kaidah tafsir merupakan pengalihan dari ungkapan bahasa Arab yang kalimat aslinya adalah Qawa’id at – TafsirQawaid adalah bentuk jamak dari qa’idah.[3] Arti dari qaidah yaitu alas bangunan, aturan, undang – undang.[4] Tafsir[5] adalah menjelaskan atau menguraikan maksud dari Alquran.[6] Dalam at – Taisir disebutkan juga bahwa tafsir sebagai membukakan makna Alquran dan menerangkan maksudnya.[7]
   Dengan demikian Qawaid at – Tafsir berarti seperangkat aturan, ketentuan atau kaidah yang dijadikan dasar dalam menafsirkan (menje-laskan maksud) Alquran.[8] Penguasaan akan qaidah penafsiran suatu ke-niscayaan bila ingin menjelaskan Alquran lebih luas.

Kaidah – kaidah Umum Penafsiran Alquran

   Seperti dijelaskan dimuka bahwa para ulama tafsir telah menge-mukakan berbagai macam kaidah – kaidah dan ada diantaranya yang menguraikan dengan penjelasan yang rinci seperti as – Suyuti dalam at – Tahbir[9] serta ada pula yang sederhana dan agak sistematis seperti al- Qaththan dalam Ulum al – Quran.[10] Dari kaidah – kaidah yang dikemu-kakan ulama tersebut, penulis akan menampilkan secara globalnya saja. Sehubungan dengan ini pembahasan akan ditujukan kepada kaidah – kaidah yang dinukil oleh ulama tafsir dari Alquran dengan pemahaman dan analisa mendalam yang kemudian terpisah dan berdiri sendiri dalam wujud kaidah kebahasaan dan kaidah ilmu ushul fiqh. Selain itu, kaidah diluarnya yang merupakan diangkat langsung dari tampilan dalam Al-quran akan dikemukakan sebagian saja.
   Pembahasan berikut akan diawali dengan kaidah kebahasaan. Penulis mendasarkan uraian ini pada buku Ulum al – Quran oleh al – Qaththan.[11]

1. Kaidah – kaidah kebahasaan

Sekalipun kaidah ini dinukil dari al – Qaththan namun penulis tidak mengutip secara mentah saja tapi langsung diformulasikan dalam bahasa yang komunikatif dengan tetap menjaga ide prinsip pengarang-nya. Kaidah kebahasaan ini meliputi aspek nahu, sharaf serta balaghah.
a.Ad – Dhamair (isim dhamir)
Kata ganti atau isim dhamir merupakan bagian dari kaidah keba-hasaan yang dirumuskan oleh ulama bahasa. Kaidah dhamir[12] itu ter-ambil dari pemahaman dalam Alquran, sumber – sumber bahasa Arab asli, hadis Nabi atau juga dari ungkapan sastera seperti yang terdapat dalam syi’ir – syi’ir  (nazhm, natsr).
Penggunaan dhamir bertujuan untuk menyederhanakan/ meringkaskan kalimat sehingga tidak perlu banyak atau sering menye-butkan lafaz, disamping juga berguna untuk menghindari terjadinya pengulangan lafaz.
Contoh :
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا . الأحزاب (33 ): 35
Penggunaan dhamir hum pada lahum diatas berarti sudah menggantikan penyebutan 20 kata dari sebelumnya.
            Secara umum ada 2 bentuk penggunaan dhamir.
Pertama ; dhamir yang disebutkan (didahului oleh) kata yang dimaksud. Ini merupakan asal dari penggunaan dhamir yaitu dengan menyebutkan secara jelas (malfuzh) tempat kembali dhamir dalam kalimat terlebih dahulu. Ini umum terjadi dalam struktur kalimat.
Contoh :
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ . هود ( 11) : 42

Atau dengan kalimat yang mengandung pengertian menyangkut dhamir yang bersangkutan.
Contoh :
... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. المائدة (5) : 8
Dhamir huwa kembalinya ke al – adl yang terkandung dalam lafaz  i’dilu.[13] 
Kedua ; dengan menyebutkan maksud dari dhamir pada bagian belakang atau sesudah dhamir. Inipun ada 2 macam ;
-  ada yang beriringan, seperti ;
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ . الإخلا ص (112) 1
-  Ada pula yang tidak berurutan, seperti ;
فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى. طه (20) : 67
b.      Ta’ rif dan Tankir
Istilah diatas disebut juga dengan ma’rifah serta nakirah. Bentuk ma’rifah adakalanya berupa ;
Isim dhamir atau isim alam yang bertujuan menjelaskan dengan nyata akan nama sesuatu atau untuk menghormatinya. Seperti ;
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ ... الفتح ( 48 ) : 29
Bisa juga untuk menghinakannya, seperti ;
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ – المسد ( 111  ) : 1

-  Penggunaan  isim isyarah untuk menjelaskan keadaan dekat atau jauh. Seperti ;
هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ ... لقمان (31 ) : 11
Isim maushul, dikarenakan enggan menyatakan namanya, seperti ;
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا ... الأحقاف ( 46 ) :17
Atau karena menghendaki secara umum, seperti ;
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ ... العنكبوت ( 29 ) : 69
Atau untuk meringkas, seperti ;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ ءَاذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا ... الأحزاب (33 ):69
-  Menggunakan alif lam ; ~untuk menunjukkan secara nyata terhadap yang diketahui, seperti :
اللَّهُ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ... النور( 24  ) : 35
~untuk istigraq al-afrad
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – العصر : 2
Ini diantara poin – poin tentang makna pemakaian bentuk ma’rifah dalam kalimat ( ayat – ayat ).
Adapun bentuk nakirah  juga mengandung beberapa makna yaitu :
-  Untuk menunjukkan satu, seperti ;
وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَامُوسَى ... القصص (28 ) : 20
Yang dimaksud adalah seorang laki – laki.
-  Untuk menunjukkan macam atau jenis, seperti ;
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا ... البقرة (2 ) : 96
Maksudnya jenis dari al - hayah yaitu ia menghendaki tambahan kelebihan pada masa berikut dari apa yang sudah dimiliki sekarang.
-  Untuk menunjukkan satu dan juga macam dari sesuatu ( kedua kandungan diatas ), seperti ;
وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ ... النور( 24 ) : 45

Maksudnya setiap macam / 1 jenis dabbah. `
-  Untuk menunjukkan kemuliaan / pengagungan, seperti ;
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ... البقرة ( 2 ) : 279
Maksudnya hurubin ‘azhimah.
-  Untuk menunjukkan banyak ( taktsir ), seperti ;
فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالُوا لِفِرْعَوْنَ أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا ... الشعرا ء ( 26 ) : 41
Maksudnya adalah ajran wafiran ( أجرا وافرا.)
-  Bisa juga dengan pengertian ta’zhim (penghormatan) sekaligus juga banyak, seperti ;
وَإِنْ يُكَذِّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ ... فاطر ( 35 ) : 4
Maksudnya adalah Rasul – rasul yang agung dengan jumlah yang banyak.
-  Untuk menyatakan kehinaan, seperti ;
مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ – عبس ( 80 ) : 18
Maksudnya adalah dari sesuatu yang hina, rendah.
-  Untuk menyatakan sedikit (taqlil), seperti ;
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ – التوبة ( 9 ) : 76
Maksudnya adalah ridhwan yang sedikit sebetulnya lebih besar dari jannat sebab ridhwan tersebut merupakan yang utama dari segala kebahagiaan.[14]
  Demikian makna – makna nakirah serta makrifah yang terdapat dalam Alquran. Rumusan ini dapat dianalogikan kepada ayat lain dengan memperhatikan uslubnya. Barangkali bagi siapa yang ingin menekuni bidang tafsir khususnya menyangkut penggunaan 2 sudut diatas dapat meneliti ayat lain dan boleh jadi menemukan makna yang lain.
   Selain makna dalam pola makrifah dan nakirah diatas, ada lagi makna yang dipahami dari susunan makrifah atau nakirah yang terulang atau beriringan dalam rangkaian ayat yang berdekatan. Bentuk uslub seperti ini ada 4 polanya yaitu ;
  1. Uslub yang terdiri dari 2 kata makrifah sejenis berturut – turut, maka umumnya makna makrifah kedua sama dengan makrifah pertama. Contoh ;
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ.صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ... الفاتحة (1 ) : 6-7
  1. Bila dalam uslub 2 kata nakirah atau lebih beriringan, maka pada umumnya yang kedua tidak sama pengertiannya dengan yang pertama. Contoh ;
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ... الروم (30 ) : 54
 (الضعف الأول النطفة )
  1. Uslub dengan ungkapan pertama nakirah lalu disusul dengan makrifah yang kedua maka kata kedualah yang menggantikan kedudukan yang pertama. Contoh ;
كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا(15)فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ ... المزمل : 15-16
  1. Uslub dengan tampilan pertama makrifah lalu nakirah yang kedua maka pengertian sangat tergantung karinah yang ada. Contoh ; 
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ الروم ( 30 ) :55
c. Mufrad dan Jamak
  Sebagian lafaz Alquran ada yang terungkap dalam bentuk tunggal yang membawa kepada makna khusus, juga ada yang berbentuk jamak untuk menunjukkan yang nyata. Kita akan lihat penjelasan berikut.
- Ada sebagian lafaz yang hanya terungkap dalam bentuk jamak seperti al – albab ( mufradnya al – lubb )[15] seperti ;
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ – الزمر ( 39 ) : 21
Sedangkan bila menyebutkan untuk makna mufrad malah digunakan muradifnya yaitu al –qalb (merupakan tempat al – lubb), seperti ;
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ – ق ( 50 ) : 37
Tidak dijelaskan oleh al – Qaththan kenapa kata al – albab tidak ada terungkap dalam bentuk mufrad sedangkan al – qalb dijumpai dalam bentuk mufrad dan juga bentuk jamak.
- Sebaliknya ada penyebutan lafaz yang terungkap hanya bentuk mufrad pada masing – masing tempat, seperti ;
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ ... الطلاق ( 65 ) : 12
Jadi tidak dikatakan sab’u ardhin سبع أرضين) padahal kalau menyebutkan langit ( as – sama’ ) terkadang dengan bentuk jamak atau mufrad.[16] Ketika berkaitan dengan perhitungan yang menunjukkan arti besar ditampilkan dengan bentuk jamak dalam rangka menerangkan kelapangan dan keluasan yang luar biasa besar.
Contoh ;
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ... الحشر ( 59 ) : 1
- Sedangkan untuk menunjukkan arah atau bagian digunakan bentuk mufrad, seperti ;
ءَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ ... الملك (7 ) : 16
            
 Berdasarkan penjelasan diatas dipahami bahwa penggunaan ben-tuk jamak atau mufrad pada kata yang sama mengandung tujuan yang berbeda. Oleh sebab itu metode ini dapat diterapkan pada susunan kali-mat atau ayat – ayat lainnya. Model begini juga dapat dianalogikan dengan lawan kata seperti zhulumat dengan nur.[17] Dengan memahami perbedaan makna antara bentuk mufrad dan jamak pada suatu kata akan membantu kita  ketika menjelaskan maksud yang lebih halus dari ayat Alquran.
d . Mutaradif
Istilah ini biasa juga disebut dengan muradif ( sinonim ). Sering juga ditemukan dalam Alquran mengenai kata – kata yang sekilas mem-punyai arti sama tapi sebetulnya masing – masingnya punya penekanan maksud yang berbeda dalam bobot atau jenis dan sebagainya. Seperti kata takut ( al- khasy-yah dan al – khawf ). Khasy-yah mempunyai pengertian lebih tinggi ( berat ) dari kata khawf.  Kalau khawf  lebih cenderung ke bentuk fisik sedangkan khasy-yah lebih ke pengertian abstrak dan agung. Begitu juga kata al – bukhl dan as – syuah. Ungkapan syuah lebih parah dari bukhl sebab syuah disamping bakhil juga tamak. Dan banyak lagi kata – kata yang mirip dengan bentuk seperti demi-kian.[18]
e. Sual  - Jawab
Salah satu ungkapan Alquran yang banyak ditemukan dalam ayat yang merupakan respon Alquran terhadap persoalan yang dihadapkan kepada Nabi dengan  struktur soal – jawab.      Pada prinsipnya jawaban yang disampaikan biasanya harus sesuai dengan soal yang dikemukakan.
Namun terkadang jawaban boleh jadi bertujuan meluruskan terhadap substansi soal tersebut. Artinya jawaban terkesan menyimpang dari soal, padahal jawaban seperti itulah yang seharusnya dikehendaki oleh sipenanya. Dalam ilmu kebahasaan dan sastera Arab istilah demi-kian dikenal dengan uslub al – hakim. Jadi jawaban yang diberikan dimaksudkan untuk mengingatkan kepada sipenanya bahwa inilah yang perlu untuk ditanyakan. Contoh ;
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ... البقرة ( 2 ) : 189
Jawaban dari ayat diatas menerangkan hikmah dari proses perubahan bentuk bulan. Mendengar jawaban tersebut membuat orang sadar bahwa jawaban yang demikian  semestinya yang dibutuhkan sekalipun secara lahiriyah tidak sinkron dengan soal yang diajukan.[19]
f. Khithab dengan Isim dan dengan Fi’il    
   Dua jenis kata yaitu isim dan fi’il ternyata dalam Alquran mengandung makna yang dalam dan halus. Penggunaan isim menun-jukkan sesuatu yang tetap dan berkelanjutan, sedangkan fi’il membawa kepada yang baru dan terjadi perobahan, berproses menjadi baru. Masing – masing mempunyai tempat yang tidak bisa dipertukarkan. Contohnya ;
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ ... ال عمران ( 3 ) : 134   
Pada kalimat atau ayat diatas tidak dinyatakan dengan isim misalnya al – Munfiqun. Contoh lain ;
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ...الحجرات (49 ) : 15
Maksudnya adalah nafkah pada contoh I merupakan suatu perbuatan yang keadaannya senantiasa berobah, bergerak untuk selalu baru (memperbaharui). Berbeda halnya dengan iman sebagai sifat orang Islam yang pada hakikatnya menghendaki posisi mapan dan berkelanjutan.
Demikian diantara pokok – pokok kaidah kebahasaan yang masing – masingnya dapat dirinci lagi dan dikembangkan dalam bahasan yang luas. Diantaranya kaidah fungsi huruf amil ( seperti ; kana, inna dan zhanantu ), kaidah athaf.  Disamping kaidah – kaidah diatas masih banyak kaidah lainnya yang perlu dikaji juga, dalam rangka pengem-bangan penafsiran yang tidak saja menekankan pada arti semantiknya tapi harus diselaraskan juga dengan makna dari rangkaian ayat atau kali-mat. 
2. Kaidah – kaidah Ushul Fiqh
Selain dari rumusan kebahasaan yang dijadikan kaidah penafsir-an, terdapat juga rumusan lain yang dihasilkan dari penalaran yang da-lam melalui Alquran yaitu yang dikenal dengan kaidah ushul fiqh.[20] Kaidah – kaidah itu sangat membantu dalam memahami dan menafsir-kan Alquran. Untuk menemukan rumusan ushul fiqh para mujtahid pada awalnya juga mendasarkan pada analisa bahasa. Maka dari itu tidak salah bila dikatakan ilmu kebahasaan sebagai pisau utama dalam mem-bedah Alquran. Artinya bahasa Arab dengan segala seginya harus dipa-hami betul bagi siapa yang akan menafsirkan Alquran demi menjaga agar pemahaman tidak jauh dari jiwa ayat.
Selanjutnya kita lihat bentuk kaidah – kaidah ushul fiqh yang digunakan dalam penafsiran Alquran. Kaidah – kaidah tersebut terang-kum dalam bahasan ilmu ushul fiqh dengan fokus kajian untuk meng-enali dalil – dalil hukum dan metodologi pengambilannya dari nash.[21] Di antara kaidah dimaksud akan dikemukakan 2 saja dan itupun secara global.
a. Amar – Nahi
Bentuk dari kaidah ini ada 2 macam;
-  Menyuruh akan sesuatu berarti melarang dari lawannya.
            Bila ditemukan pernyataan Allah dengan struktur amar artinya ketika menyuruh pada sesuatu maka implikasinya adalah secara tidak langsung sudah melarang perbuatan yang berlawanan dengannya. Begitu pula sebaliknya, bila struktur kalimat berbentuk nahi, maka berarti di-suruh untuk melakukan kebalikan dari padanya.
  Karena itu tidak mungkin melaksanakan perintah dengan sempur-na melainkan dengan meninggalkan yang bertentangan dengan itu. Contoh; perintah untuk mengesakan Allah (paham tauhid) berarti mela-rang berlaku syirik. Perintah menegakkan shalat berarti terlarang me-ninggalkannya, perintah untuk melaksanakan nikah dengan maksud ter-larang melakukan zina dan seterusnya.[22]
-  Amar untuk berhati – hati ( tatsabbut )
    Alquran menyuruh manusia agar berhati – hati dalam mencari ke-tetapan dan tidak tergesa – gesa dalam menghadapi persoalan yang di-khawatirkan membawa efek buruk. Namun sebaliknya Alquran men-dorong untuk menyegerakan perbuatan yang yang sudah jelas status baiknya justru akan dikahawatirkan hilang kesempatan untuk meraihnya bila tidak disegerakan.
Sebagai contoh pertama ;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا... الحجرات (49 ) :6
Allah mencela orang – orang yang cepat menyebarkan berita yang belum jelas sumbernya dan dikhawatirkan berdampak tidak baik atau membawa kerusuhan. Sikap terburu – buru memutuskan perkara yang belum jelas kebenarannya hanya menuruti nafsu setan.[23]
Contoh bentuk kedua ;
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ ... ال عمران ( 3 ) :133
Perintah ini bila tidak segera dilaksanakan dan kesempatan yang ada di sia – siakan dapat membawa celaka ( penyesalan diri ). Ini merupakan bimbingan Allah yang sempurna bagi hambaNya yang tentu akan berimplikasi baik kepadanya.[24]
   Makna amar dan nahi ini banyak sekali seperti ada amar yang bertujuan wajib, sunat dan seterusnya, begitu pula nahi yang mengand-ung makna haram, makruh dan seterusnya. Untuk menentukan makna mana yang dikehendaki ayat misalnya maka diperlukan pemahaman yang komprehensif dalam berbagai sisi mengenai suatu ayat. Langkah pertamanya adalah menganalisa struktur ayat, semantik, konteks sosial dan historis ayat. Disinilah sering muncul ikhtilaf pendapat. 

b. Muhkam - Mutasyabih
    Ulama ushul fiqh khususnya sepakat bahwa kandungan ayat Alquran terdiri dari muhkam dan ada yang mutasyabih.[25] Untuk meng-enali dan memahami tentang ayat – ayat yang termasuk muhkam atau mutasyabih, maka mereka ( ulama ushul ) menyusun rumusan – rumusan sebagai alat bantu dalam menafsirkan Alquran. Landasan kaidah ini adalah ;
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ ... ال عمران ( 3 ) :7
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءَايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ- هود ( 10 ) : 1
Bila tidak menguasai kaidah muhkam dan mutasyabih yang merupakan bagian dari kaidah penafsiran maka akan keliru ketika memahami ayat yang bersangkutan.
    Muhkam menurut Ibnu Abbas adalah nasikh terhadap muta-syabih, pernyataan halal, haram, hudud, faraidh serta apa yang kita percayai, jelas dan amalkan.[26] Jadi tidak perlu ada penjelasan lagi tapi pernyataannya sudah tegas. Menurut al – Kafijiy terkait dengan muhkam ini  mengatakan bahwa setiap muhkam dalam Alquran menunjukkan maksud yang qath’i.[27]
Adapun mutasyabih merupakan ayat yang mansukh, muqaddam, muakh-khar, amtsal, aqsam serta apa yang diakui dan tidak diamalkan secara apa adanya.[28] Tidak dapat langsung dipahami dengan mudah tapi perlu pengkajian dan analisa. Muqatil memberikan keterangan tambahan dengan menyebutkan seperti huruf – huruf muqatta’ah yang sering dijumpai pada awal surat. Mengenai tafsiran terhadap ayat mutasyabih timbul perbedaan pendapat dikalangan mufasir khususnya menyangkut ayat 7 : Ali Imran. Perbedaan yang sering timbul adalah ketika menen-tukan mana ayat yang muhkam dan mana pula yang mutasyabih.  Bagi bangsa non Arab kemungkinan besar banyak ayat yang mutasyabih lalu persoalan selanjutnya bagaimana menafsirkan ayat mutasyabihat yang lebih tepat. Pada pihak lain masih ada kelompok yang mempersoalkan kedudukan ar – Rasikhun pada ayat tersebut terkait dengan kewenangan dalam takwil.
Sudah sangat wajar bagi pengkaji Alquran untuk bersikap rendah hati dan teliti dalam memaknai suatu ayat artinya jangan menyepelekan dan mengabaikan kaidah – kaidah tafsir. 
Demikian bahasan pengantar tentang muhkam dan mutasyabih yang menjadi salah satu pembahasan dalam ilmu tafsir dan juga dalam ilmu ushul fiqh. Selain tema muhkam dan mutasyabih ini, banyak lagi persoalan yang sama – sama dibahas  oleh kedua ilmu tersebut.[29] Barangkali perlu dipertegas bahwa tema – tema yang dikaji oleh kaidah tafsir dan yang dibahas pula oleh ushul fiqh dalam hal penekanannya supaya tidak terjadi tumpang tindih. Misalnya tema – tema yang ber-kaitan dengan kaidah tafsir diarahkan pada penggunaannya untuk kemudian ditemukan kaidah yang aplikatif. Sedangkan dalam ilmu ushul fiqh tema – tema tersebut masih membicarakan teori dan dapat diwacanakan dan dikembangkan. Walaupun demikian ushul fiqh tetap mempunyai peranan penting bagi mufasir dalam menafsirkan Alquran, disamping penguasaan ilmu kebahasaan.
Uraian diatas yang terkait dengan kaidah – kaidah tafsir jika di-perhatikan merupakan hasil rumusan yang berasal dari kajian terhadap Alquran. Kaidah – kaidah diatas ketika sudah tersusun menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri maka ia bersifat aktif sehingga berfungsi sebagai standar ketika menjelaskan ayat atau kalimat yang terkait dengan kandungan kaidah tersebut.
Kalau kaidah – kaidah tersebut bersifat aktif lalu ada pula kaidah – kaidah yang langsung diambil dari Alquran secara lahiriyah ber-dasarkan informasi nash. Kaidah – kaidah yang dimaksud adalah seperti munasabah, amtsal, aqsam , qira’at dan seterusnya. Disinilah kita hendaknya berupaya membagi kaidah – kaidah tafsir seperti yang tergolong kepada kebahasaan atau berdasarkan ilmu ushul fiqh atau mana pula yang hanya dikutip langsung dari Alquran. Atau memang tidak dapat dipisahkan seperti bahasan muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh dan seterusnya bahwa masing juga bagian dari ulumul Quran dan juga bahasan dalam ushul fiqh.
Kaidah – kaidah penafsiran harus menjadi patokan umum dalam menafsirkan Alquran. Ketika sudah memahami kaidah ini kita juga dapat melihat mana di antara penafsiran – penafsiran yang menyimpang dari ruh ayat dan diharapkan mampu mengembalikan kepada makna yang dikehendaki ayat.

 

Penutup

   Untuk menafsirkan Alquran tidak dapat lepas dari penguasaan kaidah – kaidah tafsir.  Secara umum kaidah – kaidah tersebut ada yang merupakan hasil kajian terhadap uslub Alquran dan ada yang ditarik langsung dari tampilan ayat – ayat Alquran. Dalam makalah ini, hanya kaidah jenis pertama yang disampaikan. Jenis kaidah dimaksud ialah kaidah kebahasaan dan kaidah ushul fiqh. Karena Alquran berbahasa Arab maka pokok pangkal utama dalam menafsirkan Alquran adalah dengan menguasai dan memahami berbagai segi ilmu bahasa dan satera Arab. Sebab ilmu ushul fiqh pun terlahir dengan menggunakan alat bahasa.      
Sebagai tambahan atau saran bahwa kita perlu mempertegas kembali mana kaidah – kaidah tafsir yang tergolong kepada bahasa, mana yang berdasarkan ilmu ushul fiqh atau mana pula yang hanya di-kutip langsung dari Alquran. Kemudian perlu juga  ditelusuri mana kaidah kebahasaan yang berasal dari penggunaan bahasa Arab sebelum Islam (sebelum Muhammad menjadi Rasul). Sebetulnya banyak hal yang mesti kita gali sehubungan dengan metodologi pemahaman Alquran namun sayang usia dan kemampuan terbatas.

Daftar Pustaka

Ismail, Sya’ban Muhammad, al – Madkhal li Dirasah al – Quran wa as – Sunnah wa al – Ulum al – Islamiyah, tt : Dar al – Anshar, t.th, juz II
al – Kafijiy, Muhammad bin Sulaiman, at – Taisir fi Qawa’id Ilm at – Tafsir, Beirut : Dar al – Qalam, 1990 / 1410, Cet. ke- 1, tahkik ; Nashir bin Muhammad al – Mathrudiy
al – Qaththan, Manna’, Mabahits fi Ulum al – Quran, tt : Mansyurat al – ‘Ashr al – Hadits, t.th, Cet. ke- 3
as – Sa’diy, Abdurrahman bin Nashir, al – Qawa’id al – Hisan li tafsir al – Quran,  Riyadh : Maktabah al – Ma’arif, 1980 / 1400
as – Suyuti, at – Tahbir fi Ilm at – Tafsir, Kairo : Dar al–Manar, 1986 / 1406, tahkik ; Dr. Fathi Abdul Qadir Farid.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Alquran, 1973, Cet. ke- 1
az – Zarkasyi, Badruddin, al – Burhan fi Ulum al – Quran,  Kairo : Dar at – Turats, t.th, juz II,  tahkik ; Muhammad Abu al – Fadhl Ibrahim



* Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Penjelasan demikian dikenal dalam ilmu tafsir dengan kategori corak bi al – Ma’tsur yang paling tinggi yaitu ayat tertentu yang menjelaskan maksud dari suatu ayat artinya Allah sendiri yang menerangkan / menafsirkan makna ayat yang  belum terang maksudnya. Dikatakan juga bentuk seperti ini dengan tafsir al – Qur’an bi al – Qur’an
[2] Seharusnya antar 3 komponen ini dapat dibedakan penekanan materinya sebab ketika membahas kaidah – kaidah tafsir kita akan bersinggungan atau bahkan mengadopsi materi ilmu tafsir atau juga ulumul Quran. Tampaknya perlu diadakan pemilahan, khususnya yang terkait dengan kaidah – kaidah dalam penafsiran. Ini diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih ( tidak sekedar numpang aja ) antara ketiga bidang kajian tersebut dan juga bagi pengkaji Alquran hal demikian sangat dibutuhkan supaya lebih mengarahkan mereka dalam pengaplikasiannya.
[3] Kata ini sebetulnya sudah menjadi bahasa serapan dalam bahasa Indonesia yaitu kaidah yang berarti juga sebagai ketentuan atau dasar. Maka penulis akan menggunakan istilah kaidah untuk seterusnya dalam makalah ini.
[4] Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia  (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Alquran, 1973 ), Cet. ke- 1, hal. 350 
[5] Tafsir inipun sudah popular ditelinga masyarakat kita seperti ditemukan dalam media – media cetak khususnya. Penggunaan kata ini biasanya menunjukkan kepada penjelasan yang luas atau dengan mengemukakan makna yang tidak harfiahal. Sungguhpun demikian dalam makalah ini penulis akan menggunakan makna tafsir menurut istilah dalam ulum al –Quran
[6] Badruddin az – Zarkasyi, al – Burhan fi Ulum al – Quran  (Kairo : Dar at – Turats, t.th), juz II,  tahkik ; Muhammad Abu al – Fadhl Ibrahim, hal. 149
[7] Muhammad bin Sulaiman al – Kafijiy, at – Taisir fi Qawa’id Ilm at – Tafsir  (Beirut : Dar al – Qalam, 1990 / 1410), Cet. ke- 1, tahkik ; Nashir bin Muhammad al – Mathrudiy, hal. 124
[8] Az – Zarkasyi dalam al – Burhan membedakan antara tafsir dengan ilmu tafsir. Tafsir adalah seperti yang telah dikemukakan yang lalu bahwa pemahamannya lebih umum dari takwil ( yang hanya berkisar pada makna ), sedangkan ilmu tafsir adalah pembahasan untuk memahami Alquran untuk menerangkan maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmah dalam Alquran. Lihat ; az _ Zarkasyi, juz I, hal. 13  
[9] Dikemukakan dengan detil. Lihat ; as – Suyuti, at – Tahbir fi Ilm at – Tafsir (Kairo : Dar al – Manar, 1986 / 1406), tahkik ; Dr. Fathi Abdul Qadir Farid.
[10] Disini dikemukakan juga pengantar dalam mengenali Alquran. Lihat ; Manna’ al – Qaththan, Mabahits fi Ulum al – Quran (tt : Mansyurat al – ‘Ashr al – Hadits, t.th) Cet. ke- 3. 
[11] Ibid., hal. 196. Khususnya yang berkaitan dengan poin pokok. Disamping itu juga dilengkapi dengan keterangan pada buku – buku lainnya serta dilengkapi dengan analisa penulis. 
[12] Setentangan dengan dhamir ini telah disusun kitab yang dikarang oleh Ibnu al – Anbariy. Buku ini menerangkan mengenai dhamir – dhamir yang terdapat dalam Alquran.  Lihat ; Ibid., al – Qaththan, Ulum al – Quran, hal. 196
[13] Ibid., al – Qaththan, hal. 197
[14] Di akhirat nanti, keredhaan Allah yang dirasakan walaupun sedikit lebih besar pengaruhnya dari keindahan surga.
[15] Begitu juga lafaz al-kub yang terungkap hanya dalam bentuk jamak yaitu akwab ( QS. Al-Ghasyiyah : 14 ) 
[16] Demikian halnya lafaz ar-rih dan ar-riyah terkadang dalam bentuk mufrad atau jamak. Disamping itu ada pula lafaz yang senantiasa dikonfrontasikan dengan lawannya dalam bentuk mufrad dan jamak seperti kata nur ( mufrad ) dengan zhulumat ( jamak ).
[17] Ketika menyandingkan 2 kata ini diungkapkan dengan tingkat yang berbeda yaitu yang pertama jamak dan yang kedua mufrad.  
[18] Ungkapan lain seperti sabil (yang umumnya mengandung kebaikan) dengan thariq (tidak selalu mengandung kebaikan), dan banyak sekali ditemukan dalam Alquran kata – kata yang bersinonim dengan menyimpan berbagai bermakna.  Dapat diteliti lebih lanjut dalam, al – Qaththan, Ulum al – Quran, Ibid., hal. 204
[19] Ini menunjukkan bahwa orang yang bertanya tidak cerdas dan sebaliknya yang memberi jawaban dengan kepintarannya sudah melebihi dari apa yang harus ditanyakan orang lain. Maka dikatakan jawaban tersebut sebagai kata – kata bijak dan penuh hikmahal. 
[20] Setelah rumusan – rumusan ushul fiqh dibakukan dan terpisah dari Alquran maka ia membentuk ilmu tersendiri. Jadi ketika ingin menganalisa Alquran tinggal menggunakan kaidah ushul fiqh dan tidak perlu lagi meneliti ayat untuk menemukan rumusan lain.
[21] Seperti diungkap oleh Sya’ban. Lihat ; Sya’ban Muhammad Ismail, al – Madkhal li Dirasah al – Quran wa as – Sunnah wa al – Ulum al – Islamiyah (tt : Dar al – Anshar, t.th), juz II, hal. 284
[22] Abdurrahman bin Nashir as – Sa’diy, al – Qawa’id al – Hisan li tafsir al – Quran (Riyadh : Maktabah al – Ma’arif, 1980 / 1400), hal. 113
[23] Ibid., hal. 142
[24] Ibid
[25] Ibid., hal. 69
[26] Ayat yang dijadikan dasar ; al – An’am : 151 – 153 ;
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا...

Lihat ; as – Suyuti, at – Tahbir, op. cit.,  hal. 218. Pendapat ini didukung oleh Ikrimah, Mujahid, ad – Dhahhak, Muqatil dan lain – lain.
[27] Al – Kafijiy, at – Taisir, op. cit.,  hal. 208
[28] Pendapat ini juga dari Ibnu Abbas, lihat ; as - Suyuti,  op. cit., hal. 219
[29] Seperti masalah nasikh – mansukh, mutlak – muqayyad, manthuq – mafhum, ‘am – khas dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar