Rabu, 10 April 2013

Kisah al-Qur’ân : Catatan Terhadap Buku “Fî asy-Syi’ir al-Jâhilî”

Kisah al-Qurân :
Catatan Terhadap Buku “Fî asy-Syiir al-Jâhilî”

 

Oleh :
Yusuf Baihaqi[1]



Abstrak

Thoha Husein merupakan sosok budayawan dan kritikus sastra besar berkebangsaan Mesir, ada banyak karya ilmiah yang telah ditulisnya, diantaranya adalah“Fî asy-Syi’ir al-Jâhilî”, sebuah buku yang kontroversial dikarenakan dalam buku ini beliau berupaya untuk menafikan fakta sejarah keberadaan Ibrahim dan Ismail di Tanah Hijaz, dengan alasan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara bahasa Qahthâniyyah dan Adnâniyyah. Sesungguhnya konspirasi politik lah yang melahirkan kisah keberadaan Ibrahim dan Ismail di tanah Hijaz, demikian sebagaimana yang diungkapkan oleh Thoha Husein dalam bukunya tersebut. Respon balik pun bermunculan dari kalangan ulama dan cendekiawan, diantara mereka ada yang mengkritisinya dari aspek keorsinilan pendapat ini, dikarenakan adanya kemiripan pendapat Thoha Husein diatas dengan pendapat orang lain sebelumnya, juga dikarenakan ketidakakuratan Thoha Husein dalam menukil pendapat seseorang. Ada juga yang mengkritisinya dari sisi fakta sejarah, logika berpikir, sebagaimana kita dapatkan yang lain mengkritisnya dengan berargumentasikan teks agama.

Kata kunci : Kisah al-Qur’ân, Thoha Husein, Syiir al-Jâhilî         



Pendahuluan
            Diantara karakteristik yang dimiliki oleh kisah al-Qur’ân bahwasannya ia bersifat fakta dan jauh dari kebohongan dan pemutar balikan, makna semacam ini dinyatakan oleh al-Qur’ân dalam banyak ayatnya, seperti firman Allah swt

Artinya: Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita mereka dengan benar. (Q.S. al-Kahfi [18] : 13)..

    Kebenaran selalu melekat dalam kandungan kisah al-Qur’ân dikarenakan ia bersumber dari Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal, sebagaimana kajian sejarah pun membuktikan akan hal ini, dimana tidak satupun kita dapatkan kesepakatan kajian sejarah yang dihasilkan oleh para sejarawan yang bertolak belakang dengan apa yang dikisahkan oleh al-Qur’ân dalam banyak ayatnya.
    Fenomena pengingkaran terhadap kebenaran kisah al-Qur’ân, seperti yang dilakukan oleh Thoha Husein dalam bukunya “Fî asy-Syiir al-Jâhilî” dalam hemat penulis menarik untuk dikaji, bukan saja guna menguatkan keyakinan kita seputar karakteristik kisah al-Qur’ân diatas, melainkan juga guna menguji seberapa objektif dan akurat argumentasi yang dibangun oleh fenomena pengingkaran semacam ini.
    Atas dasar itulah tulisan ini ditulis, dan sebagai pembahasan awal penulis berupaya untuk menghadirkan sekilas tentang biografi Thoha Husein, kemudian pembahasan seputar apa yang menjadikan buku “Fî asy-Syiir al-Jâhilî” kontroversial oleh banyak kalangan ulama dan cendekiawan, setelahnya penulis berupaya untuk menyajikan argumentasi yang dibangun oleh Thoha Husein dalam memperkuat pendapatnya dan cacatan penulis terhadap argumentasi tersebut, sebagaimana di akhir pembahasan penulis menyajikan seputar keberadaan Ibrahim dan Ismail dalam fakta sejarah guna menguatkan catatan penulis terhadap argumentasi Thoha Husein.         

Sosok Thoha Husein
    Thoha Husein merupakan sosok budayawan dan kritikus sastra besar berkebangsaan Mesir, hidup antara tahun 1889-1973 M, dan dijuluki sebagai Amîd al-Adab al-Arabi (begawan budaya Arab). Lahir di Maghoghah, sebuah desa di pedalamam Mesir dan sudah hilang penglihatan semenjak ia kecil.
    Thoha Husein kecil sempat mengenyam pendidikan di al-Azhar, kemudian melanjutkan ke universitas umum lalu ke salah satu universitas di Perancis. Sepulang dari menyelesaikan program studinya di Perancis ia mendirikan universitas Alexandaria dan menjabat sebagai rektornya pada tahun 1942 M, kemudian menjabat sebagai menteri pendidikan Mesir pada tahun 1950 M, dimana pada masanya keluar kebijaksanaan untuk mengratiskan pendidikan di Mesir, sebagaimana ia jugalah yang mendirikan universitas Ain Syams di kota Cairo.
    Banyak karya ilmiah yang telah dihasilkannya, baik dalam bentuk artikel yang dimuat di koran, makalah yang disampaikan dalam seminar maupun dalam bentuk buku ilmiah, dimana semua karya ilmiah tersebut mencakup seputar budaya, kritik sastra dan kisah. Diantara karya ilmiah yang telah dihasilkannya adalah : Dzikrâ Abî al-‘Alâ, Ibnu Khaldûn, Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî, Hadîts al-Arbiʻâ’, Ma‘a al-Mutanabbî, ‘Alâ Hâmisy as-Sîrah, al-Ayyâm, Syarah al-Bu’si, al-Muʻadzdzabûn Fî al-Ardh.....disamping karya-karya ilmiah tersebut, beliau juga memiliki banyak bentuk karya ilmiah yang berupa tarjamahan[2].

Kontroversi Thoha Husein Dalam Bukunya “Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî”
    Dalam bukunya “Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî”, Thoha Husein membuat satu pernyataan yang sangat kontroversial, dalam hemat beliau, “kisah seputar Ibrahim dan Ismail yang diabadikan oleh al-Qur’ân merupakan kisah fiktif yang dibikin oleh orang Yahudi untuk kepentingan politik, sebagaimana al-Qur’ân juga mengabadikan kisah tersebut juga untuk kepentingan politik”.
Menurut hemat Thoha Husein, faktalah yang mengharuskannya untuk mengeluarkan pernyataan semacam ini. Beberapa argumentasi yang melandasi fakta ini adalah : apa yang sudah menjadi kesepakatan atau hampir kesepakatan diantara para sejarawan, bahwasannya bangsa Arab terbagi menjadi dua kelompok : Pertama, Qahthâniyyah, dimana Yaman merupakan tempat asal muasal mereka. Kedua, Adnâniyyah, dimana Hijaz merupakan tempat asal muasal mereka.
    Para sejarawan pun sepakat bahwasannya Qahthâniyyah merupakan bangsa Arab sejak awal penciptaannya, sebaliknya Adnâniyyah merupakan kelompok yang bahasa ibunya adalah bahasa Ibraniyyah atau Kaldaniyyah, adapun bahasa Arab mereka peroleh melalui proses belajar, hingga ketika bahasa ibu mereka punah di kemudian hari, bahasa Arab pun menggantikan posisi bahasa ibu mereka.
    Kesepakatan lain diantara para sejarawan, masih menurut Thoha Husein, bahwasannya Adnâniyyah secara silsilah keturunan bermuara kepada Ismail bin Ibrahim, artinya : orang pertama dari kalangan Adnâniyyah yang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab dan melupakan bahasa ibunya adalah Ismail bin Ibrahim.
    Pada sisi lain para sejarawan juga sepakat bahwasannya terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara bahasa Hamyar yang merupakan bahasa Qahthâniyyah dengan bahasa Adnân yang merupakan bahasa Adnâniyyah.
    Penelitian kontemporer pun memperkuat adanya perbedaan yang sangat mendasar antara bahasa yang dipakai oleh penduduk selatan jazirah Arab, dengan yang tinggal di utara jazirah, sehingga harus ada penjelasan terhadap permasalah ini, demikian pernyataan Thoha Husein.
    Apabila anak cucu Ismail mempelajari bahasa Arab dari Qahthâniyyah, bagaimana bisa terjadi perbedaan yang sangat fundamental antara bahasa Qahthâniyyah dengan Adnâniyyah?, dimana para ilmuan kontemporer dapat membuktikan perbedaan ini dengan sejumlah argumentasi yang tidak dapat terbantahkan.
    Permasalahan tidak berhenti sampai disini, sangat jelas bagi pengkaji sejarah khususnya, bahwa teori diatas bermasalah dan terlalu diada-adakan pada beberapa dekade akhir, dikarenakan kepentingan agama, ekonomi dan politik.
    Taurat boleh-boleh saja mengisahkan kepada kita seputar kisah Ibrahim dan Ismail, sebagaimana juga al-Qur’ân, akan tetapi pengabadian dua nama tersebut baik dalam Taurat maupun al-Qur’ân tidak cukup untuk menguatkan keberadaan keduanya dalam realita sejarah, lebih-lebih seputar kisah hijrahnya Ismail bin Ibrahim ke Mekkah dan tumbuh berkembangnya kelompok Adnâniyyah di kota tersebut di kemudian hari.[3]
    Demikian yang dapat kami simpulkan dari pemikiran Thoha Husein seputar kisah Ibrahim dan Ismail yang sangat kontroversial, sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya “Fî asy-Syiir al-Jâhilî”.

Argumentasi Thoha Husein
    Dalam banyak kajian disebutkan bahwasannya bahasa Yaman kuno memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan bahasa Arab utara, karena perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya disimpulkan bahwasannya bahasa Arab utara merupakan sebuah bahasa yang independen dan tak ada kaitannya dengan bahasa Yaman kuno.
    Sejarah pun mencatat adanya shirâʻ lughawi (benturan antar bahasa), dimana proses benturan antar bahasa ini membutuhkan waktu yang cukup panjang, sampai sebuah bahasa pada akhirnya dapat menguasai bahasa lain, atas dasar itulah, hegemoni sebuah bahasa atas bahasa lain bersifat berangsur dan tidak bisa terjadi sesaat.
    Bahasa Arab telah bersinggungan dengan bahasa Yaman kuno dan terjadi antara keduanya benturan dalam waktu yang cukup lama, sehingga pada akhirnya bahasa Arab berhasil menghegemoni bahasa Yaman kuno pada era jahili.
Walaupun demikian, bahasa Arab pun mengalami beberapa perubahan baik dalam pengucapan, koso-kata maupun kaidah, maka lahirlah dialek-dialek Arab baru di kawasan selatan jazirah Arab yang berbeda dengan dialek di kawasan utara jazirah, kemudian terjadi proses harmonisasi antara penduduk jazirah Arab di bagian utara dan selatan, hingga lahir penyatuan sebuah bahasa, dan syiir jâhilî merupakan hasil dari proses penyatuan tersebut, walaupun beberapa dialek Yaman kuno di beberapa tempat terpencil masih kerap didapatkan.
    Atas dasar itulah, bahasa Arab dibagi menjadi dua bagian : pertama : bahasa Qahthâniyyah yang identik dengan bangsa Arab al-‘Âribah. Kedua : bahasa Adnâniyyah yang identik dengan bangsa Arab al-Mustaribah.
    Sebagaimana hegemoni sebuah bahasa atau dialek atas bahasa dan dialek lain bersifat berangsur, demikian pula yang terjadi pada bahasa Adnâniyyah lebih-lebih lagi dialek Quraisy, ketika keduanya menghegemoni bahasa dan dialek lainnya.
    Perbedaan yang sangat mendasar antara bangsa Qahthâniyyîn dengan bangsa Adnâniyyîn bukan saja pada aspek bahasa, melainkan juga pada aspek peradaban. Bangsa Arab Qahthâniyyah telah hidup secara beradab dan menetap, disamping bercocok-tanam merupakan mata pencaharian mereka sehari-hari. Sedangkan bangsa Arab Adnâniyyah masih hidup secara primitif dan hidup masih berpindah-pindah. Pada akhir abad keempat masehi atau awal abad kelima masehi, bangsa Quraisy yang merupakan bagian dari Arab Adnâniyyah makin memantapkan kekuatan yang dimilikinya, baik pada aspek politik, ekonomi maupun agama. Kota Makkah pun menjadi pusat peradaban dan bahasa, dimana bahasa Quraisy merupakan bahasa yang mendominasi di kota tersebut. Sebaliknya peran bangsa Arab Qahthâniyyah melemah, lebih-lebih setelah mereka tunduk dibawah kekuasaan Habasyah, kemudian Parsi setelahnya[4].
    Dalam sebuah tulisannya, Thoha Husein mengatakan,
Syiʻir jâhilî bukanlah gambaran bagi bahasa Arab jahiliyah”[5].

Alasannya, perbedaan yang sangat signifikan antara bahasa Arab al-‘Âribah (Qahthâniyyah) dengan bahasa Arab al-Mustaʻribah (Adnâniyyah), hal ini dibuktikan dengan perkataan Abu Amru bin al-‘Ala’,
“Mâ Lisânu Hamyar Bi Lisâninâ Wa Lâ Lughatuhum Bi Lughâtinâ”
(Perkataan Hamyar bukanlah perkataan kita, dan bahasa mereka bukanlah bahasa kita)[6].

Thoha Husein juga berpendapat, “Bahwasannya hubungan antara bahasa Arab Fushhah (Arab Adnâniyyah) dengan Arab Qahthâniyyah, adalah layaknya hubungan antara bahasa Arab dengan bahasa-bahasa semit lainnya, sebagaimana kisah belajarnya Ismail bahasa Arab dari Jurhum, dan pembagian bangsa Arab menjadi al-‘Âribah dan al-Mustaribah merupakan dongengan belaka yang tidak memiliki fakta sejarah yang kuat”[7].
    Atas dasar itulah, Thoha Husein menyimpulkan bahwasannya syi’ir jâhilî yang ada sekarang tidaklah menggambarkan bahasa Arab jahiliyyah sehingga ia (syiir jâhilî) tidak bisa dinisbatkan sebagai bahasa Arab jahiliyyah. Hal ini dikarenakan para penyair yang banyak dinukil syair-syairnya sebagai karya syiir jâhilî merupkan keturunan Arab Yaman[8], sedangkan bahasa Yaman bukanlah representasi dari bahasa al-Qur’ân, sebagaimana karya syair mereka juga tidak menggambarkan kehidupan bangsa Arab pada era jahili, atas dasar itulah, masih menurut Thoha Husein, sesungguhnya syiir jâhilî merupakan kumpulan syair yang ditulis pada era Islam[9].

Catatan Terhadap Argumentasi Thoha Husein
    Setelah kita mengkaji kitab “Thabaqât asy-Syu’arâ” yang dijadikan rujukan oleh Thoha Husein dalam menukil perkataan Abu Amru bin al-‘Ala’ diatas, dapak kita simpulkan bahwasannya Thoha Husein telah melakukan distorsi dari redaksi aslinya, dikarenakan bunyi redaksi aslinya adalah :
“Mâ Lisânu Hamyar Wa Aqâshî al-Yaman al-Yaum Bilisânina Wa Lâ ‘Arabiyyatuhum Bi ‘Arabiyyatinâ”
(Bukanlah perkataan Hamyar dan ujung Yaman sekarang sebagai perkataan kita, dan bahasa Arab mereka sebagai bahasa Arab kita)[10].
    
Sangat jelas perbedaan antara perkataan Abu Amru bin al-‘Ala’ yang dinukil oleh Thoha Husein dengan redaksi aslinya, karena yang dinukil oleh Thoha Husein mengesankan adanya dua bahasa yang berbeda, yakni bahasa selatan (Hamyar) yang oleh para sejarawan dianggap sebagai Arab al-‘Âribah dan bahasa utara yang dianggap oleh mereka pada awalnya merupakan bahasa Ibraniyyah atau Kildaniyyah[11]. Pada sisi lain, redaksi aslinya menunjukkan bahwasannya bahasa penduduk selatan jazirah arab dan utara sama, yakni : bahasa Arab, hanya saja terdapat perbedaan antara keduannya dari sisi dialek, inilah yang bisa disimpulkan dari redaksi “Wa Lâ ‘Arabiyyatuhum Bi ‘Arabiyyatinâ”, yang oleh Thoha Husein diganti menjadi “Wa Lâ Lughatuhum Bi Lughâtinâ”.
            Sebagaimana juga terdapat point penting yang tidak diperhatikan oleh Thoha Husein dan berupaya untuk mendistorsinya ketika ia menukil dari redaksi aslinya, yakni : redaksi yang berbunyi “Aqâshî al-Yaman”, dimana dengan redaksi ini Abu Amru tidak bermaksud bahwasannya perbedaan yang terjadi antara perkataan Arab Yaman atau Arab selatan bersifat menyeluruh, melainkan sebatas perkataan Arab Yaman jauh, bahkan bisa jadi perbedaan yang dimaksud oleh Abu Amru “Wa Lâ ‘Arabiyyatuhum Bi ‘Arabiyyatinâ” adalah perbedaan antara dua dialek, yakni : perbedaan dari sisi pengucapan dan beberapa fenomena suara lainnya[12].
     Apabila kita menengok era di mana Abu Amru hidup, yakni : abad kedelapan masehi, memang kita dapatkan perbedaan antara dialek Hamyar dengan bahasa Arab Fushhah yang dengannya syiʻir jâhilî ditulis, namun perbedaan semacam ini kerap didapat ketika terjadi perbedaan lingkungan antar kabilah Arab dan meluasnya kawasan Arab, sehingga bisa kami katakan bahwasannya perbedaan antara bahasa Qahthâniyyîn dengan bahasa Adnâniyyîn adalah perbedaan yang dilahirkan oleh zaman, dimana sebuah bahasa mangalami proses evolusi dari sebuah bentuk ke bentuknya yang lain, dan sesungguhnya perubahan semacam ini juga terjadi diantara bahasa Adnâniyyîn itu sendiri, fenomena inilah yang pada akhirnya melahirkan dialek Arab yang baru dan berbeda dengan yang lainnya.
    Pada sisi lain, kabilah-kabilah Qahthâniyyah sendiri tidak selalu menetap di selatan jazirah Arab, bahkan sesekali mereka menetap di utara jazirah Arab. Kabilah Jurhum, kabilah dimana Ismail belajar darinya bahasa Arab menetap di Makkah. Kabilah Kahlan, dimana Amru al-Qais berasal menetap di al-Urudh, sebuah tempat di utara jazirah Arab. Kabilah Khazaʻah, bagian dari Hamyar juga menetap di Makkah. Dan kabilah Aus dan Khazraj menetap di Madinah. Disamping bepergiannya beberapa kabilah-kabilah lain dari Qahthâniyyah ke Syam dan Iraq[13].
    Lebih daripada itu, robohnya bendungan Marib yang menyebabkan tenggelamnya kawasan di sekitarnya, kemudian runtuhnya negara as-Sabʻiyyah di selatan jazirah Arab yang hidup kisaran antara abad kedelapan sebelum masehi hingga akhir abad kedua sebelum masehi, mendorong penduduk selatan jazirah Arab untuk melakukan eksodus secara besar-besaran ke utara jazirah Arab. Sehingga pusat perdagangan pun pindah dari selatan ke utara jazirah, dimana bangsa Quraisy dan bangsa-bangsa sekitarnya berdomisili.
Kesimpulannya : perbedaan prinsipil antara bahasa Arab selatan dan bahasa Arab utara hanyalah perbedaan diantara dialek saja[14]. Bukan sebagaimana yang dipahami oleh Thoha Husein yang berpendapat bahwasannya perbedaan antara keduannya bersifat substanstif, seakan-akan keduanya merupakan dua bahasa yang sama sekali berbeda. 
       
Ibrahim dan Ismail Dalam Fakta Sejarah
    Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwasannya Thoha Husein mengingkari keberadaan Ibrahim dan Ismail di jazirah Arab, sebuah pemikiran yang dalam hemat penulis penuh dengan catatan dikarenakan ia bertolak belakang dengan apa yang dikisahkan oleh al-Qur’ân dalam banyak ayatnya seputar kisah keduanya.
Beberapa argumentasi yang dapat menguatkan keberadaan Ibrahim dan Ismail di jazirah Arab dalam fakta sejarah adalah :
Pertama, al-Qur’ân tidak pernah bercerita seputar belajarnya Ismail bahasa Arab dari Qahthân, melainkan yang diceritakan adalah seputar keberadaan Ibrahim dan Ismail dan hijrah keduanya di jazirah Arab serta pembangunan kabah oleh keduanya. Yang menceritakan seputar belajarnya Ismail bahasa Arab dari Qahthân adalah para pakar sejarah bahasa.
   Anggaplah apa yang dinyatakan oleh Thoha Husein seputar perbedaan mendasar antara bahasa Qahthâniyyîn dan ‘Adnâniyyîn yang menjadikan keduanya sebagai dua bahasa yang independen adalah benar adanya, kami katakan : argumentasi yang dibangun oleh Thoha Husein tidak menafikan kecuali seputar belajarnya Ismail bahasa Arab dari Qahthâniyyîn, adapun keberadaan Ibrahim dan Ismail dan hijrah keduanya di jazirah Arab serta pembangunan kaʻbah oleh keduanya, sebagaimana yang diceritakan oleh al-Qur’ân tidaklah dapat dinafikan.
Yang selaras dengan argumentasi Thoha Husein, bahwasannya Ibrahim dan Ismail pernah berada dan berhijrah ke kota Mekkah, keduanya membangun ka’bah, dan Ismail dan anak cucunya belajar bahasa Arab dari selain Qahthâniyyîn.
   Kesimpulannya : argumentasi yang dibangun oleh Thoha Husein tidak menafikan kecuali satu perkara, yakni : belajarnya Ismail dan anak cucunya bahasa arab dari Qahthâniyyîn. Merupakan sebuah keharusan bagi argumentasi yang dibangun oleh Thoha Husein untuk membatasi hanya pada perkara ini saja, dikarenakan logika mengharuskan apabila sebuah argumentasi menafikan sebuah perkara, hendaknyalah sebatas perkara yang dinafikannya, tidak menafikan perkara-perkara lainnya yang tidak berkaitan dengan argumentasi tersebut[15].
Kedua, pernyataan Thoha Husein bahwa kisah Ibrahim dan Ismail hanyalah sebuah kisah khayalan, dan diada-adakah oleh komunitas Yahudi untuk kepentingan politik, dan dieksploitasi oleh Al Qur’an juga untuk kepentingan yang sama[16], dalam hemat kami pernyataan semacam ini hanyalah sebuah anggapan yang tidak beralasan, dikarenakan beliau sendiri tidak memiliki teks sejarah yang menguatkan anggapannya tersebut. Beliau hanya mengira-ngira bahwaannya hal tersebut bisa jadi yang terjadi[17], padahal sebuah fakta sejarah tidak bisa hanya berlandaskan sebuah anggapan, karena anggapan semacam ini tidaklah berarti apa-apa dalam menentukan sebuah fakta sejarah[18].
Ketiga, sesungguhnya ide pengingkaran keberadaan sosok Ibrahim dan Ismail di jazirah Arab sebagaimana yang diungkapkan oleh Thoha Husein dalam bukunya “Fî asy-Syiir al-Jâhilî”, terinspirasi dari seorang misionaris yang bernama Hasyim al-Arabi dalam bukunya “Dzail Maqâlah Fî al-Islâm”, demikian sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Arafah dalam bukunya “Naqd Mathâin Fî al-Qur’ân al-Karîm”.
    Guna lebih menguatkan fakta ini, kita kutip satu contoh kongkrit dari redaksi aslinya berikut halamannya, kemudian kita cocokkan setelahnya dengan redaksi Thoha Husein, hingga terlihat jelas bahwasannya telah terjadi pengutipan dalam hal ini.
    Pengarang buku “Dzail Maqâlah Fî al-Islâm” menulis seputar hakikat kisah keberadaan Ismail di jazirah Arab :
وحقيقة الأمر فى قصة إسماعيل أنها دسيسة لفقها قدماء اليهود للعرب تزلفا إليهم.
(Perkara sesungguhnya dalam kisah Ismail, ia merupakan intrik yang diada-adakan oleh komunitas Yahudi klasik guna mendekatkan diri mereka kepada komunitas Arab)[19].

    Kita dapatkan Thoha Husein mengatakan hal yang serupa pada kisah diatas dalam bukunya “Fî asy-Syiir al-Jâhilî” :

ونحن مضطرون إلى أن نرى فى هذه القصة نوعا من الحيلة فى إثبات الصلة بين اليهود والعرب من جهة، وبين الإسلام واليهودية والقرآن والتوراة من جهة أخرى.

Artinya: (Dengan sangat terpaksa kita katakan bahwasannya pada kisah tersebut terdapat semacam alasan yang diada-adakan untuk memantapkan hubungan antara komunitas Yahudi dan komunitas Arab pada satu sisi, dan antara agama Islam dan agama Yahudi juga Taurat dan al-Qur’ân pada sisi lainnya)[20].

   Sangat jelas ketika membandingkan kedua redaksi diatas, bahwasannya Thoha Husein telah mengutip pendapat pengarang buku “Dzail Maqâlah Fî al-Islâm”, hal ini dikarenakan buku “Dzail Maqâlah Fî al-Islâm” lebih dahulu penulisannya dibandingkan buku “Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî”. Dimana buku “Dzail Maqâlah Fî al-Islâm” dicetak untuk keenam kalinya pada tahun 1925 M, sebagaimana cetakan yang terlama yang dapat dilacak adalah tahun 1891 M, sedangkan buku “Fî asy-Syiir al-Jâhilî” baru dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1926 M di percetakan Dar al-Kutub al-Mishriyyah[21].
Keempat, sesungguhnya sejarah tanah Hijaz tidak dapat dipahami kecuali melalui perjalanan sejarah bapak dari para nabi-nabi, yakni : Ibrahim as., sosok yang juga mendirikan kaʻbah, sehingga menjadikan Makkah sebagai kota suci. Dialah sosok yang pertama kali menyerukan ibadah haji, sebagaimana dia jugalah orang pertama yang mendoakan tanah Hijaz agar selalu aman dan sentosa.
   Tanah Hijaz merupakan tempat kelahiran rasul terakhir Muhammad saw., dimana jutaan umatnya menghadapkan wajah mereka dalam sehari ke arah tanah Hijaz lima kali dalam sehari, sebagaimana tanah Hijaz pada setiap tahunnya diziarahi oleh jutaan kaum muslimin dari segenap belahan bumi sebagai bagian dari terkabulnya doa nabi Ibrahim as.
   Demikian, sangatlah jelas betapa sosok nabi Ibrahim as. tidaklah memiliki keterikataan yang sangat kuat dengan agama manapun, sebagaimana keterikatannya dengan agama Islam. Dalam hal keimanan, pengikut nabi Ibrahim as. memiliki keselarasan dengan keimanan kaum muslimin yang hanya beriman kepada Tuhan yang Esa (Tauhid). Tidak kita dapatkan sebuah komunitas yang lebih bangga dengan sosok Ibrahim as. dari sisi keturunan, sebagaimana bangganya komunitas Arab secara umum dan bangsa Quraisy secara khusus. Dan tidak terdapat pengikut sebuah agama yang lebih berpegang teguh dengan ajaran yang dibawa oleh Ibahim as. selain pengikut agama Islam, walaupun adanya klaim dari pengikut agama Yahudi dan Nasrani bahwasannya mereka lebih memiliki kedekatan dibandingkan dengan kaum muslimin.
    Dalam banyak literatur Islam kita dapatkan pembahasan seputar kisah perjalanan nabi Ibrahim dan nabi Ismail di tanah Hijaz yang membikin banyak dari kalangan sejarawan barat terperangah bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengingkarinya, dimana pengingkaran yang sama juga kita dapatkan dalam diri Thoha Husein sebagaimana yang diterangkan dalam pemaparan diatas.
   Guna memastikan realitas sejarah nabi Ibrahim dan nabi Ismail, dan kisah hijrah keduanya ke tanah Hijaz, adanya silsilah keturunan antara keduanya dengan komunitas Arab, pendirian kaʻbah oleh keduanya, dibawah ini kami hadirkan beberapa argumentasi yang dapat mengcounter berbagai analisa yang berseberangan dengan literatur Islam :
-   al-Qur’ân sama sekali tidak pernah menyatakan bahwasannya komunitas Yahudi sebagai penyokong Islam, melainkan tersebut dalam salah satu ayatnya secara lugas bahwasannya komunitas Yahudi merupakan bagian dari komunitas yang sangat benci dengan Islam :

Artinya: Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Q.S. al-Mâ’idah [5] : 82).

-  al-Qur’ân tidak pernah bangga dengan keyahudiaan nabi Ibrahim as., sebaliknya al-Qur’ân dalam sebuah ayatnya menafikan penyematan beliau sebagai seorang Yahudi :

Artinya: Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyri. (Q.S. Âli-Imrân [3] : 67).

- Tidak kita dapatkan sebuah bangsa yang melebihi bangsa Arab dalam hal mengenang leluhur dan nenek-moyangnya, mereka kerap berupaya untuk mengenang leluhur dan nenek-moyang mereka hingga generasi keduapuluh dengan menghafal nama-nama mereka diluar kepala. Pertanyaannya : apakah masuk diakal bagi bangsa semacam ini untuk tidak mengingat sama sekali akan asal muasal mereka?!
-  Keberadaan kabah di tengah-tengah bangsa Arab, dimana terdapat beberapa tempat disekitarnya yang mengindikasikan secara kuat keberadaan Ibrahim dan Ismail, bukankah hal ini mengingatkan mereka akan ikatan yang terjalin antara mereka dengan dua sosok tersebut?!
Diamnya kaum musyrikin Quraisy yang sangat paham dengan silsilah leluhur dan nenek-moyang mereka terhadap semacam firman Allah swt. : Millata Abîkum Ibrâhîm. Artinya: (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. (Q.S. al-Hajj [22] : 78).
-  Membuktikan kebenaran firman Allah swt. tersebut. kalau saja mereka tidak mengetahui bahwasannya mereka merupakan anak keturunan Ibrahim dari anaknya yang bernama Ismail, tentulah mereka tidak akan diam diri. Bukankah banyak diantara mereka yang sangat membenci sosok rasulullah saw. dan kerap berupaya untuk mendustakannya atas dakwah kenabian yang diserunya.
-  Gambar Ibrahim yang tergantung di dinding kabah sebelum kedatangan Islam, dimana bangsa Arab menggambar sosoknya dengan panah yang dipegang ditangannya, disampingnya gambar anaknya Ismail yang sedang menaiki kuda, dan beberapa gambar lain yang menggambarkan anak cucu keduanya hingga Qusay bin Kilab[22]. Keberadaan gambar keduanya di kabah pada saat ia dipenuhi dengan patung-patung sembahan kaum musyrikin merupaka hal yang tidak bertolak belakang dengan nalar, selama mereka -kaum musyrikin- mempercayai status kebapakan Ibrahim atas mereka, dan bahwasannya dia dan anaknya Ismail telah berjasa atas mereka dengan meninggikan pondasi kabah.
-  Bangsa Arab sebelum diutusnya Muhammad sebagai seorang rasul telah meyakini bahwasannya mereka merupakan anak cucu nabi Ibrahim as., hal ini dapat dibuktikan dengan pidato Abu Thalib[23] pada saat pernikahan rasulullah saw. dengan Khadijah :
-           
الحمد لله الذى جعلنا من ذرية إبراهيم وزرع إسماعيل، وجعل لنا بلدا حراما وبنيانا محجوجا وجعلنا الحكام على الناس.

Artinya: Puji syukur Tuhan yang telah menjadikan kita anak cucu Ibrahim dari sisi Ismail, dan yang telah menganugerahkan kita tanah suci dan bangunan yang kerap diziarahi dan yang telah menjadikan kita pemimpin atas manusia[24].

    
 Demikian, sangat jelas dari berbagai argumentasi di atas bahwa perjalanan Ibrahim dan anaknya Ismail ke tanah Hijaz, pembangunan kabah yang dilakukan oleh keduanya dan penisbatan bangsa Arab dari sisi silsilah kepada keduanya, merupakan hal yang tidak terbantahkan, baik dilihat dari sisi syariʻah maupun sejarah.

Kesimpulan
   Ada banyak catatan yang dapat mengcounter pemikiran Thoha Husein dalam bukunya yang berjudul “Fî asy-Syiir al-Jâhilî”, diantaranya :
  1. Adanya kepentingan politik antara komunitas Yahudi dan komunitas Arab yang melahirkan kisah Ibrahim dan Ismail di Tanah Hijaz, sebagaimana yang diungkapkan oleh Thoha Husein, dalam hemat kami sebatas perkiraan yang tidak didukung baik oleh fakta sejarah maupun teks agama.
  2. Perbedaan antara bahasa Qahthâniyyah dan Adnâniyyah hanyalah pada aspek dialek saja dan tidak bersifat substansif.
  3. Sangat layak diduga kalau Thoha Husein terinspirasi oleh Hasyim al-Arabi, dikarenakan adanya kemiripan antara pemikiran keduanya dalam konteks pengingkaran keberadaan sosok Ibrahim dan Ismail di jazirah Arab.   
  4. Dalam rangka memperkuat pemikirannya di atas Thoha Husein menukil pendapat Abu Amru bin al-‘Ala’ seputar hakekat perbedaan antara bahasa Qahthâniyyah dan Adnâniyyah, akan tetapi sangat disayangkan ternyata Thoha Husein dalam hal ini telah melakukan distorsi makna atas pendapat Abu Amru bin al-‘Ala’.
  5. Lebih daripada itu semua, sekalipun argumentasi yang dibangun oleh Thoha Husein dapat dibenarkan, sesungguhnya argumentasi ini tidak sampai menafikan keberadaan Ibrahim dan Ismail di tanah Hijaz sebagaimana yang dikisahkan oleh al-Qur’ân.   

Daftar Pustaka

Ahmad Kamal Zaki, Fî asy-Syiir al-Jâhilî Nazhrah Am Nazhariyyah, (Cairo; Dar al-Hilal, Cet : 1996).
Ali Wafi, ‘Ilm al-Lughah, (Cairo: Dar an-Nahzhah)
Bayoumi Mahran, Dirâsât Târîkhiyyah Min al-Qur’ân al-Karîm Fî Bilâd al-Arab, (Iskandariah: Dar al-Marifah al-Jamiiyyah, 1995)
Fathi Ahmad Amir, Fî Mir’ât asy-Syir al-Jâhilî, (Iskandariah: Dar al-Maarif).
Hasyim al-Arabi, Dzail Maqâlah Fî al-Islâm, (Cairo: an-Nîl al-Masihiyyah)
Louis Maluf, al-Munjid Fî al-Alâm, (Beirut: Dar al-Masyriq).
Majalah “al-Qâhirah”, (Vol : Februari 1996).
Muhammad Arfah, Naqd Mathâin Fî al-Qur’ân al-Karîm, Cairo: al-Zahra, 1996).
Muhammad Khafaji, Nazhariyyah Thoha Husein Fî asy-Syiir al-Jâhilî, (Cairo:  al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1975).
Muhammad al-Jamhi, Thabaqât asy-Syuarâ, (Cairo: al-Mu’assasah as-Sa’udiyyah, 1980).
Musthafa ar-Rafii, Tahta Râyah al-Qur’ân, (Cairo: Dar al-Kutub al-Arabi, 1983).
Thoha Husein, Fî asy-Syiir al-Jâhilî, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1926).







           


           


             


             




           
           














[1] Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung, E-mail : baihaqi_yusuf@yahoo.com
[2] Louis Maʻluf, al-Munjid Fî al-Aʻlâm, , Bairut: Dar al-Masyriq, Cet : xv, hlm : 358
[3] Majalah “al-Qâhirah”, Vol : Februari 1996 M, hlm 29.
[4] Ali Wafi, ‘Ilm al-Lughah, Cairo : Dar an-Nahzhah, hlm. 83
[5] Thoha Husein, Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî, Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1926, hlm, 24
[6] Thoha Husein, Fî asy-Syi’ir al-Jâhilî, hlm, 25.
[7] Thoha Husein, Fî asy-Syiir al-Jâhilî, hlm, 29.
[8] Thoha Husein, Fî asy-Syiir al-Jâhilî, hlm, 29.
[9] Thoha Husein, Fî asy-Syiir al-Jâhilî, hlm, 41.
[10] Muhammad al-Jamhi, Thabaqât asy-Syuʻarâ, Juz : 1, Cairo: al-Mu’assasah as-Sa’udiyyah, 1980, hlm, 11
[11] Thoha Husein, Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî, hlm, 35.
[12] Fathi Ahmad Amir, Fî Mir’ât asy-Syiʻr al-Jâhilî, Iskandaria: Dar al-Maʻarif, hlm, 121
[13] Ahmad Kamal Zaki, Fî asy-Syiir al-Jâhilî Nazhrah Am Nazhariyyah, Cairo:: Dar al-Hilal, 1996, hlm, 187-188
[14] Muhammad Khafaji, Nazhariyyah Thoha Husein Fî asy-Syiir al-Jâhilî, Cairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1975, hlm, 93-94
[15] Muhammad Arfah, Naqd Mathâʻin Fî al-Qur’ân al-Karîm, Cairo: al-Zahra, Cet , ii, 1996, hlm,  91-92
[16] Majalah “al-Qâhirah”, hlm,  29-30.
[17] Muhammad Arfah, Naqd Mathâin Fî al-Qur’ân al-Karîm…., hlm, 96.
[18] Musthafa ar-Rafii, Tahta Râyah al-Qur’ân, Cairo: Dar al-Kutub al-Arabi, 1983, hlm, 101
[19] Hasyim al-Arabi, Dzail Maqâlah Fî al-Islâm, Cairo: an-Nîl al-Masihiyyah, hlm,  353
[20] Majalah “al-Qâhirah”, hlm, 29.
[21] Muhammad Arfah, Naqd Mathâʻin Fî al-Qur’ân al-Karîm…., hlm, 105-110.
[22] Salah satu nenek moyang nabi muhammad saw. dan merupakan pemuka Quraisy pada masanya.
[23] Paman nabi Muhammad saw. dan yang mengasuhnya sepeninggal kakeknya Abdul Muthallib.
[24] Bayoumi Mahran, Dirâsât Târîkhiyyah Min al-Qur’ân al-Karîm Fî Bilâd al-ʻArab, Iskandaria: Dar al-Marifah al-Jamiiyyah, 1995, hlm, 149-155

Tidak ada komentar:

Posting Komentar