Kisah al-Qur’ân :
Catatan Terhadap Buku “Fî asy-Syi’ir al-Jâhilî”
Oleh :
Yusuf Baihaqi[1]
Abstrak
Thoha Husein merupakan sosok budayawan dan kritikus
sastra besar berkebangsaan Mesir, ada banyak karya ilmiah yang telah
ditulisnya, diantaranya adalah“Fî asy-Syi’ir
al-Jâhilî”, sebuah buku yang kontroversial dikarenakan dalam buku ini beliau
berupaya untuk menafikan fakta sejarah keberadaan Ibrahim dan Ismail di Tanah
Hijaz, dengan alasan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara bahasa Qahthâniyyah dan Adnâniyyah. Sesungguhnya konspirasi politik lah
yang melahirkan kisah keberadaan Ibrahim dan Ismail di tanah Hijaz, demikian
sebagaimana yang diungkapkan oleh Thoha Husein dalam bukunya tersebut. Respon
balik pun bermunculan dari kalangan ulama dan cendekiawan, diantara mereka ada
yang mengkritisinya dari aspek keorsinilan pendapat ini, dikarenakan adanya
kemiripan pendapat Thoha Husein diatas dengan pendapat orang lain sebelumnya,
juga dikarenakan ketidakakuratan Thoha Husein dalam menukil pendapat seseorang.
Ada juga yang mengkritisinya dari sisi fakta sejarah, logika berpikir,
sebagaimana kita dapatkan yang lain mengkritisnya dengan berargumentasikan teks
agama.
Kata kunci : Kisah al-Qur’ân, Thoha Husein, Syi’ir al-Jâhilî
Pendahuluan
Diantara karakteristik yang dimiliki oleh kisah al-Qur’ân
bahwasannya ia bersifat fakta dan jauh dari kebohongan dan pemutar balikan,
makna semacam ini dinyatakan oleh al-Qur’ân dalam banyak ayatnya, seperti firman Allah swt
Artinya: Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita mereka dengan benar. (Q.S. al-Kahfi [18] : 13)..
Artinya: Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita mereka dengan benar. (Q.S. al-Kahfi [18] : 13)..
Kebenaran selalu melekat dalam kandungan kisah al-Qur’ân
dikarenakan ia bersumber dari Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal,
sebagaimana kajian sejarah pun membuktikan akan hal ini, dimana tidak satupun
kita dapatkan kesepakatan kajian sejarah yang dihasilkan oleh para sejarawan
yang bertolak belakang dengan apa yang dikisahkan oleh al-Qur’ân dalam banyak
ayatnya.
Fenomena pengingkaran terhadap
kebenaran kisah al-Qur’ân, seperti yang dilakukan oleh Thoha Husein dalam
bukunya “Fî asy-Syi’ir al-Jâhilî” dalam
hemat penulis menarik untuk dikaji, bukan saja guna menguatkan keyakinan kita
seputar karakteristik kisah al-Qur’ân diatas, melainkan juga guna menguji
seberapa objektif dan akurat argumentasi yang dibangun oleh fenomena
pengingkaran semacam ini.
Atas dasar itulah tulisan ini
ditulis, dan sebagai pembahasan awal penulis berupaya untuk menghadirkan
sekilas tentang biografi Thoha Husein, kemudian pembahasan seputar apa yang
menjadikan buku “Fî asy-Syi’ir al-Jâhilî” kontroversial
oleh banyak kalangan ulama dan cendekiawan, setelahnya penulis berupaya untuk
menyajikan argumentasi yang dibangun oleh Thoha Husein dalam memperkuat
pendapatnya dan cacatan penulis terhadap argumentasi tersebut, sebagaimana di
akhir pembahasan penulis menyajikan seputar keberadaan Ibrahim dan Ismail dalam
fakta sejarah guna menguatkan catatan penulis terhadap argumentasi Thoha
Husein.
Sosok Thoha Husein
Thoha Husein merupakan sosok budayawan dan kritikus sastra besar
berkebangsaan Mesir, hidup antara tahun 1889-1973 M, dan dijuluki sebagai ‘Amîd al-Adab al-‘Arabi (begawan budaya Arab). Lahir di Maghoghah, sebuah desa di pedalamam Mesir
dan sudah hilang penglihatan semenjak ia kecil.
Thoha Husein kecil sempat mengenyam
pendidikan di al-Azhar, kemudian melanjutkan ke universitas umum lalu ke salah
satu universitas di Perancis. Sepulang dari menyelesaikan program studinya di Perancis
ia mendirikan universitas Alexandaria dan menjabat sebagai rektornya pada tahun
1942 M, kemudian menjabat sebagai menteri pendidikan Mesir pada tahun 1950 M,
dimana pada masanya keluar kebijaksanaan untuk mengratiskan pendidikan di
Mesir, sebagaimana ia jugalah yang mendirikan universitas Ain Syams di kota
Cairo.
Banyak karya ilmiah yang telah dihasilkannya, baik dalam bentuk artikel
yang dimuat di koran, makalah yang disampaikan dalam seminar maupun dalam
bentuk buku ilmiah, dimana semua karya ilmiah tersebut mencakup seputar budaya,
kritik sastra dan kisah. Diantara karya ilmiah yang telah dihasilkannya adalah
: Dzikrâ Abî al-‘Alâ, Ibnu Khaldûn, Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî, Hadîts al-Arbiʻâ’, Ma‘a
al-Mutanabbî, ‘Alâ Hâmisy as-Sîrah, al-Ayyâm, Syarah al-Bu’si, al-Muʻadzdzabûn Fî al-Ardh.....disamping
karya-karya ilmiah tersebut, beliau juga memiliki banyak bentuk karya ilmiah
yang berupa tarjamahan[2].
Kontroversi Thoha Husein Dalam Bukunya “Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî”
Dalam bukunya “Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî”, Thoha Husein membuat satu pernyataan yang sangat kontroversial, dalam hemat
beliau, “kisah seputar Ibrahim dan Ismail yang diabadikan oleh al-Qur’ân
merupakan kisah fiktif yang dibikin oleh orang Yahudi untuk kepentingan
politik, sebagaimana al-Qur’ân juga mengabadikan kisah tersebut juga untuk
kepentingan politik”.
Menurut hemat Thoha Husein, faktalah yang mengharuskannya untuk
mengeluarkan pernyataan semacam ini. Beberapa argumentasi yang melandasi fakta
ini adalah : apa yang sudah menjadi kesepakatan atau hampir kesepakatan
diantara para sejarawan, bahwasannya bangsa Arab terbagi menjadi dua kelompok :
Pertama, Qahthâniyyah, dimana Yaman merupakan tempat asal muasal
mereka. Kedua, Adnâniyyah, dimana Hijaz merupakan tempat asal muasal mereka.
Para sejarawan pun sepakat
bahwasannya Qahthâniyyah merupakan bangsa Arab sejak awal penciptaannya,
sebaliknya Adnâniyyah merupakan kelompok yang bahasa ibunya adalah bahasa
Ibraniyyah atau Kaldaniyyah, adapun bahasa Arab mereka peroleh melalui proses
belajar, hingga ketika bahasa ibu mereka punah di
kemudian hari, bahasa Arab pun menggantikan posisi bahasa ibu mereka.
Kesepakatan lain diantara para
sejarawan, masih menurut Thoha Husein, bahwasannya Adnâniyyah secara silsilah
keturunan bermuara kepada Ismail bin Ibrahim, artinya : orang pertama dari
kalangan Adnâniyyah yang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab dan melupakan
bahasa ibunya adalah Ismail bin Ibrahim.
Pada sisi lain para sejarawan juga
sepakat bahwasannya terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara bahasa Hamyar
yang merupakan bahasa Qahthâniyyah dengan bahasa Adnân yang
merupakan bahasa Adnâniyyah.
Penelitian kontemporer pun
memperkuat adanya perbedaan yang sangat mendasar antara bahasa yang dipakai
oleh penduduk selatan jazirah Arab, dengan yang tinggal di utara jazirah,
sehingga harus ada penjelasan terhadap permasalah ini, demikian pernyataan
Thoha Husein.
Apabila anak cucu Ismail mempelajari
bahasa Arab dari Qahthâniyyah, bagaimana bisa terjadi perbedaan yang sangat
fundamental antara bahasa Qahthâniyyah dengan Adnâniyyah?, dimana para ilmuan
kontemporer dapat membuktikan perbedaan ini dengan sejumlah argumentasi yang
tidak dapat terbantahkan.
Permasalahan tidak berhenti sampai
disini, sangat jelas bagi pengkaji sejarah khususnya, bahwa teori diatas
bermasalah dan terlalu diada-adakan pada beberapa dekade akhir, dikarenakan
kepentingan agama, ekonomi dan politik.
Taurat boleh-boleh saja mengisahkan
kepada kita seputar kisah Ibrahim dan Ismail, sebagaimana juga al-Qur’ân, akan
tetapi pengabadian dua nama tersebut baik dalam Taurat maupun al-Qur’ân tidak
cukup untuk menguatkan keberadaan keduanya dalam realita sejarah, lebih-lebih
seputar kisah hijrahnya Ismail bin Ibrahim ke Mekkah dan tumbuh berkembangnya
kelompok Adnâniyyah di kota tersebut di kemudian hari.[3]
Demikian yang dapat kami simpulkan
dari pemikiran Thoha Husein seputar kisah Ibrahim dan Ismail yang sangat
kontroversial, sebagaimana yang beliau tulis dalam bukunya “Fî asy-Syi’ir al-Jâhilî”.
Argumentasi Thoha
Husein
Dalam banyak kajian disebutkan
bahwasannya bahasa Yaman kuno memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan
bahasa Arab utara, karena perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya
disimpulkan bahwasannya bahasa Arab utara merupakan sebuah bahasa yang
independen dan tak ada kaitannya dengan bahasa Yaman kuno.
Sejarah pun mencatat adanya shirâʻ lughawi (benturan antar bahasa), dimana proses benturan antar
bahasa ini membutuhkan waktu yang cukup panjang, sampai sebuah bahasa pada
akhirnya dapat menguasai bahasa lain, atas dasar itulah, hegemoni sebuah bahasa
atas bahasa lain bersifat berangsur dan tidak bisa terjadi sesaat.
Bahasa Arab telah bersinggungan
dengan bahasa Yaman kuno dan terjadi antara keduanya benturan dalam waktu yang
cukup lama, sehingga pada akhirnya bahasa Arab berhasil menghegemoni bahasa
Yaman kuno pada era jahili.
Walaupun demikian, bahasa Arab pun mengalami beberapa perubahan baik dalam
pengucapan, koso-kata maupun kaidah, maka lahirlah dialek-dialek Arab baru di
kawasan selatan jazirah Arab yang berbeda dengan dialek di kawasan utara
jazirah, kemudian terjadi proses harmonisasi antara penduduk jazirah Arab di
bagian utara dan selatan, hingga lahir penyatuan sebuah bahasa, dan syiir
jâhilî merupakan hasil dari proses penyatuan tersebut, walaupun beberapa
dialek Yaman kuno di beberapa tempat terpencil masih kerap didapatkan.
Atas dasar itulah, bahasa Arab
dibagi menjadi dua bagian : pertama : bahasa Qahthâniyyah yang identik
dengan bangsa Arab al-‘Âribah. Kedua : bahasa Adnâniyyah
yang identik dengan bangsa Arab al-Mustaribah.
Sebagaimana hegemoni sebuah bahasa
atau dialek atas bahasa dan dialek lain bersifat berangsur, demikian pula yang
terjadi pada bahasa Adnâniyyah lebih-lebih lagi dialek Quraisy, ketika keduanya
menghegemoni bahasa dan dialek lainnya.
Perbedaan yang sangat mendasar
antara bangsa Qahthâniyyîn dengan bangsa Adnâniyyîn bukan saja pada aspek
bahasa, melainkan juga pada aspek peradaban. Bangsa Arab Qahthâniyyah telah
hidup secara beradab dan menetap, disamping bercocok-tanam merupakan mata
pencaharian mereka sehari-hari. Sedangkan bangsa Arab Adnâniyyah masih hidup
secara primitif dan hidup masih berpindah-pindah. Pada akhir abad keempat
masehi atau awal abad kelima masehi, bangsa Quraisy yang merupakan bagian dari
Arab Adnâniyyah makin memantapkan kekuatan yang dimilikinya, baik pada aspek
politik, ekonomi maupun agama. Kota Makkah pun menjadi pusat peradaban dan
bahasa, dimana bahasa Quraisy merupakan bahasa yang mendominasi di kota
tersebut. Sebaliknya peran bangsa Arab Qahthâniyyah melemah, lebih-lebih setelah
mereka tunduk dibawah kekuasaan Habasyah, kemudian Parsi setelahnya[4].
Dalam sebuah tulisannya,
Thoha Husein mengatakan,
“Syiʻir jâhilî bukanlah gambaran bagi bahasa Arab jahiliyah”[5].
Alasannya, perbedaan yang sangat signifikan antara
bahasa Arab al-‘Âribah (Qahthâniyyah) dengan bahasa Arab
al-Mustaʻribah (Adnâniyyah), hal ini dibuktikan dengan perkataan Abu Amru bin al-‘Ala’,
“Mâ Lisânu Hamyar Bi Lisâninâ Wa Lâ Lughatuhum Bi
Lughâtinâ”
(Perkataan Hamyar bukanlah perkataan kita, dan
bahasa mereka bukanlah bahasa kita)[6].
Thoha Husein juga berpendapat, “Bahwasannya
hubungan antara bahasa Arab Fushhah (Arab Adnâniyyah) dengan Arab
Qahthâniyyah, adalah layaknya hubungan antara bahasa Arab dengan bahasa-bahasa
semit lainnya, sebagaimana kisah belajarnya Ismail bahasa Arab dari Jurhum, dan
pembagian bangsa Arab menjadi al-‘Âribah dan al-Mustaribah merupakan dongengan belaka yang tidak memiliki fakta sejarah yang kuat”[7].
Atas
dasar itulah, Thoha Husein menyimpulkan bahwasannya syi’ir jâhilî yang ada sekarang tidaklah menggambarkan bahasa Arab
jahiliyyah sehingga ia (syiir
jâhilî) tidak bisa dinisbatkan sebagai bahasa Arab jahiliyyah. Hal
ini dikarenakan para penyair yang banyak dinukil syair-syairnya sebagai karya syiir jâhilî merupkan keturunan Arab Yaman[8],
sedangkan bahasa Yaman bukanlah representasi dari bahasa al-Qur’ân, sebagaimana
karya syair mereka juga tidak menggambarkan kehidupan bangsa Arab pada era
jahili, atas dasar itulah, masih menurut Thoha Husein, sesungguhnya syiir jâhilî merupakan kumpulan syair yang ditulis pada era Islam[9].
Catatan Terhadap Argumentasi Thoha Husein
Setelah
kita mengkaji kitab “Thabaqât asy-Syu’arâ” yang dijadikan rujukan oleh
Thoha Husein dalam menukil perkataan Abu Amru bin al-‘Ala’ diatas, dapak kita
simpulkan bahwasannya Thoha Husein telah melakukan distorsi dari redaksi
aslinya, dikarenakan bunyi redaksi aslinya adalah :
“Mâ Lisânu Hamyar Wa Aqâshî
al-Yaman al-Yaum Bilisânina Wa Lâ ‘Arabiyyatuhum Bi ‘Arabiyyatinâ”
(Bukanlah perkataan Hamyar dan
ujung Yaman sekarang sebagai perkataan kita, dan bahasa Arab mereka sebagai
bahasa Arab kita)[10].
Sangat jelas perbedaan antara perkataan Abu Amru bin al-‘Ala’ yang dinukil oleh Thoha Husein dengan redaksi aslinya, karena yang dinukil oleh Thoha Husein mengesankan adanya dua bahasa yang berbeda, yakni bahasa selatan (Hamyar) yang oleh para sejarawan dianggap sebagai Arab al-‘Âribah dan bahasa utara yang dianggap oleh mereka pada awalnya merupakan bahasa Ibraniyyah atau Kildaniyyah[11]. Pada sisi lain, redaksi aslinya menunjukkan bahwasannya bahasa penduduk selatan jazirah arab dan utara sama, yakni : bahasa Arab, hanya saja terdapat perbedaan antara keduannya dari sisi dialek, inilah yang bisa disimpulkan dari redaksi “Wa Lâ ‘Arabiyyatuhum Bi ‘Arabiyyatinâ”, yang oleh Thoha Husein diganti menjadi “Wa Lâ Lughatuhum Bi Lughâtinâ”.
Sebagaimana
juga terdapat point penting yang tidak diperhatikan oleh Thoha Husein dan
berupaya untuk mendistorsinya ketika ia menukil dari redaksi aslinya, yakni :
redaksi yang berbunyi “Aqâshî al-Yaman”, dimana dengan redaksi ini Abu
Amru tidak bermaksud bahwasannya perbedaan yang terjadi antara perkataan Arab
Yaman atau Arab selatan bersifat menyeluruh, melainkan sebatas perkataan Arab
Yaman jauh, bahkan bisa jadi perbedaan yang dimaksud oleh Abu Amru “Wa Lâ
‘Arabiyyatuhum Bi ‘Arabiyyatinâ” adalah perbedaan antara dua dialek, yakni
: perbedaan dari sisi pengucapan dan beberapa fenomena suara lainnya[12].
Apabila
kita menengok era di mana Abu Amru hidup, yakni : abad kedelapan masehi, memang
kita dapatkan perbedaan antara dialek Hamyar dengan bahasa Arab Fushhah
yang dengannya syiʻir jâhilî ditulis, namun perbedaan semacam ini kerap didapat ketika terjadi
perbedaan lingkungan antar kabilah Arab dan meluasnya kawasan Arab, sehingga
bisa kami katakan bahwasannya perbedaan antara bahasa Qahthâniyyîn dengan
bahasa Adnâniyyîn adalah perbedaan yang dilahirkan oleh zaman, dimana sebuah
bahasa mangalami proses evolusi dari sebuah bentuk ke bentuknya yang lain, dan
sesungguhnya perubahan semacam ini juga terjadi diantara bahasa Adnâniyyîn itu
sendiri, fenomena inilah yang pada akhirnya melahirkan dialek Arab yang baru
dan berbeda dengan yang lainnya.
Pada
sisi lain, kabilah-kabilah Qahthâniyyah sendiri tidak selalu menetap di selatan
jazirah Arab, bahkan sesekali mereka menetap di utara jazirah Arab. Kabilah
Jurhum, kabilah dimana Ismail belajar darinya bahasa Arab menetap di Makkah.
Kabilah Kahlan, dimana Amru al-Qais berasal menetap di al-Urudh, sebuah tempat
di utara jazirah Arab. Kabilah Khazaʻah, bagian dari Hamyar juga
menetap di Makkah. Dan kabilah Aus dan Khazraj menetap di Madinah. Disamping
bepergiannya beberapa kabilah-kabilah lain dari Qahthâniyyah ke Syam dan Iraq[13].
Lebih daripada itu, robohnya
bendungan Marib yang menyebabkan tenggelamnya kawasan di sekitarnya, kemudian
runtuhnya negara as-Sabʻiyyah di selatan jazirah Arab
yang hidup kisaran antara abad kedelapan sebelum masehi hingga akhir abad kedua
sebelum masehi, mendorong penduduk selatan jazirah Arab untuk melakukan eksodus
secara besar-besaran ke utara jazirah Arab. Sehingga pusat perdagangan pun
pindah dari selatan ke utara jazirah, dimana bangsa Quraisy dan bangsa-bangsa
sekitarnya berdomisili.
Kesimpulannya : perbedaan
prinsipil antara bahasa Arab selatan dan bahasa Arab utara hanyalah perbedaan
diantara dialek saja[14].
Bukan sebagaimana yang dipahami oleh Thoha Husein yang berpendapat bahwasannya
perbedaan antara keduannya bersifat substanstif, seakan-akan keduanya merupakan
dua bahasa yang sama sekali berbeda.
Ibrahim dan Ismail Dalam Fakta Sejarah
Dari pemaparan diatas, dapat
disimpulkan bahwasannya Thoha Husein mengingkari keberadaan Ibrahim dan Ismail
di jazirah Arab, sebuah pemikiran yang dalam hemat penulis penuh dengan catatan
dikarenakan ia bertolak belakang dengan apa yang dikisahkan oleh al-Qur’ân
dalam banyak ayatnya seputar kisah keduanya.
Beberapa argumentasi yang dapat menguatkan keberadaan
Ibrahim dan Ismail di jazirah Arab dalam fakta sejarah adalah :
Pertama, al-Qur’ân
tidak pernah bercerita seputar belajarnya Ismail bahasa Arab dari Qahthân, melainkan yang diceritakan adalah seputar keberadaan
Ibrahim dan Ismail dan hijrah keduanya di jazirah Arab serta pembangunan ka’bah oleh keduanya. Yang menceritakan seputar belajarnya
Ismail bahasa Arab dari Qahthân adalah para pakar sejarah bahasa.
Anggaplah apa yang dinyatakan oleh
Thoha Husein seputar perbedaan mendasar antara bahasa Qahthâniyyîn dan ‘Adnâniyyîn yang menjadikan keduanya sebagai
dua bahasa yang independen adalah benar adanya, kami katakan : argumentasi yang
dibangun oleh Thoha Husein tidak menafikan kecuali seputar belajarnya Ismail
bahasa Arab dari Qahthâniyyîn, adapun keberadaan Ibrahim dan Ismail dan hijrah
keduanya di jazirah Arab serta pembangunan kaʻbah oleh keduanya, sebagaimana yang diceritakan oleh
al-Qur’ân tidaklah dapat dinafikan.
Yang selaras dengan argumentasi Thoha Husein, bahwasannya
Ibrahim dan Ismail pernah berada dan berhijrah ke kota Mekkah, keduanya
membangun ka’bah, dan Ismail dan anak cucunya belajar bahasa Arab dari selain Qahthâniyyîn.
Kesimpulannya : argumentasi yang
dibangun oleh Thoha Husein tidak menafikan kecuali satu perkara, yakni :
belajarnya Ismail dan anak cucunya bahasa arab dari Qahthâniyyîn. Merupakan sebuah keharusan bagi argumentasi yang
dibangun oleh Thoha Husein untuk membatasi hanya pada perkara ini saja,
dikarenakan logika mengharuskan apabila sebuah argumentasi menafikan sebuah
perkara, hendaknyalah sebatas perkara yang dinafikannya, tidak menafikan
perkara-perkara lainnya yang tidak berkaitan dengan argumentasi tersebut[15].
Kedua, pernyataan
Thoha Husein bahwa kisah Ibrahim dan Ismail hanyalah sebuah kisah khayalan, dan
diada-adakah oleh komunitas Yahudi untuk kepentingan politik, dan dieksploitasi
oleh Al Qur’an juga untuk kepentingan yang sama[16],
dalam hemat kami pernyataan semacam ini hanyalah sebuah anggapan yang tidak
beralasan, dikarenakan beliau sendiri tidak memiliki teks sejarah yang
menguatkan anggapannya tersebut. Beliau hanya mengira-ngira bahwaannya hal
tersebut bisa jadi yang terjadi[17],
padahal sebuah fakta sejarah tidak bisa hanya berlandaskan sebuah anggapan,
karena anggapan semacam ini tidaklah berarti apa-apa dalam menentukan sebuah
fakta sejarah[18].
Ketiga, sesungguhnya
ide pengingkaran keberadaan sosok Ibrahim dan Ismail di jazirah Arab
sebagaimana yang diungkapkan oleh Thoha Husein dalam bukunya “Fî asy-Syiir
al-Jâhilî”, terinspirasi dari seorang misionaris yang bernama Hasyim
al-Arabi dalam bukunya “Dzail Maqâlah Fî al-Islâm”, demikian sebagaimana
yang diungkapkan oleh Muhammad Arafah dalam bukunya “Naqd Mathâin Fî
al-Qur’ân al-Karîm”.
Guna lebih menguatkan fakta ini,
kita kutip satu contoh kongkrit dari redaksi aslinya berikut halamannya,
kemudian kita cocokkan setelahnya dengan redaksi Thoha Husein, hingga terlihat
jelas bahwasannya telah terjadi pengutipan dalam hal ini.
Pengarang buku “Dzail Maqâlah Fî al-Islâm” menulis seputar hakikat kisah keberadaan Ismail di jazirah Arab :
وحقيقة الأمر فى قصة إسماعيل أنها
دسيسة لفقها قدماء اليهود للعرب تزلفا إليهم.
(Perkara sesungguhnya dalam kisah Ismail, ia merupakan
intrik yang diada-adakan oleh komunitas Yahudi klasik guna mendekatkan diri
mereka kepada komunitas Arab)[19].
Kita dapatkan Thoha Husein mengatakan hal yang serupa pada kisah diatas dalam bukunya “Fî asy-Syiir al-Jâhilî” :
ونحن مضطرون إلى أن نرى فى هذه القصة نوعا من الحيلة فى
إثبات الصلة بين اليهود والعرب من جهة، وبين الإسلام واليهودية والقرآن والتوراة من
جهة أخرى.
Artinya:
(Dengan sangat terpaksa kita katakan
bahwasannya pada kisah tersebut terdapat semacam alasan yang diada-adakan untuk
memantapkan hubungan antara komunitas Yahudi dan komunitas Arab pada satu sisi,
dan antara agama Islam dan agama Yahudi juga Taurat dan al-Qur’ân pada sisi
lainnya)[20].
Sangat jelas ketika membandingkan kedua redaksi diatas,
bahwasannya Thoha Husein telah mengutip pendapat pengarang buku “Dzail
Maqâlah Fî al-Islâm”, hal ini dikarenakan buku “Dzail Maqâlah Fî
al-Islâm” lebih dahulu penulisannya dibandingkan buku “Fî asy-Syiʻir al-Jâhilî”.
Dimana buku “Dzail Maqâlah Fî al-Islâm” dicetak untuk keenam kalinya
pada tahun 1925 M, sebagaimana cetakan yang terlama yang dapat dilacak adalah
tahun 1891 M, sedangkan buku “Fî asy-Syiir al-Jâhilî” baru dicetak untuk
pertama kalinya pada tahun 1926 M di percetakan Dar al-Kutub al-Mishriyyah[21].
Keempat,
sesungguhnya sejarah tanah Hijaz tidak dapat dipahami kecuali melalui
perjalanan sejarah bapak dari para nabi-nabi, yakni : Ibrahim as., sosok yang
juga mendirikan kaʻbah, sehingga menjadikan Makkah sebagai kota suci. Dialah
sosok yang pertama kali menyerukan ibadah haji, sebagaimana dia jugalah orang
pertama yang mendoakan tanah Hijaz agar selalu aman dan sentosa.
Tanah
Hijaz merupakan tempat kelahiran rasul terakhir Muhammad saw., dimana jutaan
umatnya menghadapkan wajah mereka dalam sehari ke arah tanah Hijaz lima kali
dalam sehari, sebagaimana tanah Hijaz pada setiap tahunnya diziarahi oleh
jutaan kaum muslimin dari segenap belahan bumi sebagai bagian dari terkabulnya
doa nabi Ibrahim as.
Demikian,
sangatlah jelas betapa sosok nabi Ibrahim as. tidaklah memiliki keterikataan
yang sangat kuat dengan agama manapun, sebagaimana keterikatannya dengan agama
Islam. Dalam hal keimanan, pengikut nabi Ibrahim as. memiliki keselarasan
dengan keimanan kaum muslimin yang hanya beriman kepada Tuhan yang Esa (Tauhid).
Tidak kita dapatkan sebuah komunitas yang lebih bangga dengan sosok Ibrahim as.
dari sisi keturunan, sebagaimana bangganya komunitas Arab secara umum dan
bangsa Quraisy secara khusus. Dan tidak terdapat pengikut sebuah agama yang
lebih berpegang teguh dengan ajaran yang dibawa oleh Ibahim as. selain pengikut
agama Islam, walaupun adanya klaim dari pengikut agama Yahudi dan Nasrani
bahwasannya mereka lebih memiliki kedekatan dibandingkan dengan kaum muslimin.
Dalam
banyak literatur Islam kita dapatkan pembahasan seputar kisah perjalanan nabi
Ibrahim dan nabi Ismail di tanah Hijaz yang membikin banyak dari kalangan
sejarawan barat terperangah bahkan tidak sedikit dari mereka yang
mengingkarinya, dimana pengingkaran yang sama juga kita dapatkan dalam diri Thoha
Husein sebagaimana yang diterangkan dalam pemaparan diatas.
Guna
memastikan realitas sejarah nabi Ibrahim dan nabi Ismail, dan kisah hijrah
keduanya ke tanah Hijaz, adanya silsilah keturunan antara keduanya dengan
komunitas Arab, pendirian kaʻbah oleh keduanya, dibawah ini
kami hadirkan beberapa argumentasi yang dapat mengcounter berbagai analisa yang
berseberangan dengan literatur Islam :
- al-Qur’ân sama sekali tidak pernah menyatakan bahwasannya komunitas Yahudi
sebagai penyokong Islam, melainkan tersebut dalam salah satu ayatnya secara
lugas bahwasannya komunitas Yahudi merupakan bagian dari komunitas yang sangat
benci dengan Islam :
Artinya: Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (Q.S. al-Mâ’idah [5] : 82).
- al-Qur’ân tidak pernah bangga dengan keyahudiaan nabi
Ibrahim as., sebaliknya al-Qur’ân dalam sebuah ayatnya menafikan penyematan
beliau sebagai seorang Yahudi :
Artinya: Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula)
seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri
(kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang
musyri. (Q.S. Âli-Imrân [3] : 67).
- Tidak kita dapatkan sebuah bangsa yang melebihi bangsa
Arab dalam hal mengenang leluhur dan nenek-moyangnya, mereka kerap berupaya
untuk mengenang leluhur dan nenek-moyang mereka hingga generasi keduapuluh
dengan menghafal nama-nama mereka diluar kepala. Pertanyaannya : apakah masuk
diakal bagi bangsa semacam ini untuk tidak mengingat sama sekali akan asal
muasal mereka?!
- Keberadaan ka’bah di
tengah-tengah bangsa Arab, dimana terdapat beberapa tempat disekitarnya yang
mengindikasikan secara kuat keberadaan Ibrahim dan Ismail, bukankah hal ini
mengingatkan mereka akan ikatan yang terjalin antara mereka dengan dua sosok
tersebut?!
Diamnya kaum musyrikin Quraisy yang sangat paham dengan
silsilah leluhur dan nenek-moyang mereka terhadap semacam firman Allah swt. :
Millata Abîkum Ibrâhîm. Artinya: (ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. (Q.S. al-Hajj [22] : 78).
- Membuktikan kebenaran firman Allah swt. tersebut. kalau
saja mereka tidak mengetahui bahwasannya mereka merupakan anak keturunan
Ibrahim dari anaknya yang bernama Ismail, tentulah mereka tidak akan diam diri.
Bukankah banyak diantara mereka yang sangat membenci sosok rasulullah saw. dan
kerap berupaya untuk mendustakannya atas dakwah kenabian yang diserunya.
- Gambar Ibrahim yang tergantung di dinding kabah sebelum
kedatangan Islam, dimana bangsa Arab menggambar sosoknya dengan panah yang
dipegang ditangannya, disampingnya gambar anaknya Ismail yang sedang menaiki
kuda, dan beberapa gambar lain yang menggambarkan anak cucu keduanya hingga
Qusay bin Kilab[22]. Keberadaan gambar
keduanya di kabah pada saat ia dipenuhi dengan patung-patung sembahan kaum
musyrikin merupaka hal yang tidak bertolak belakang dengan nalar,
selama mereka -kaum musyrikin- mempercayai status kebapakan Ibrahim atas
mereka, dan bahwasannya dia dan anaknya Ismail telah berjasa atas mereka dengan
meninggikan pondasi kabah.
- Bangsa Arab sebelum diutusnya Muhammad sebagai seorang
rasul telah meyakini bahwasannya mereka merupakan anak cucu nabi Ibrahim as.,
hal ini dapat dibuktikan dengan pidato Abu Thalib[23] pada saat
pernikahan rasulullah saw. dengan Khadijah :
-
الحمد لله الذى جعلنا من ذرية إبراهيم
وزرع إسماعيل، وجعل لنا بلدا حراما وبنيانا محجوجا وجعلنا الحكام على الناس.
Artinya: Puji syukur Tuhan yang telah menjadikan kita anak cucu
Ibrahim dari sisi Ismail, dan yang telah menganugerahkan kita tanah suci dan
bangunan yang kerap diziarahi dan yang telah menjadikan kita pemimpin atas manusia[24].
Demikian, sangat jelas dari berbagai argumentasi di atas bahwa perjalanan Ibrahim dan anaknya Ismail ke tanah Hijaz, pembangunan ka’bah yang dilakukan oleh keduanya dan penisbatan bangsa Arab dari sisi silsilah kepada keduanya, merupakan hal yang tidak terbantahkan, baik dilihat dari sisi syariʻah maupun sejarah.
Kesimpulan
Ada banyak catatan yang dapat
mengcounter pemikiran Thoha Husein dalam bukunya yang berjudul “Fî asy-Syiir al-Jâhilî”, diantaranya :
- Adanya kepentingan politik antara komunitas Yahudi
dan komunitas Arab yang melahirkan kisah Ibrahim dan Ismail di Tanah
Hijaz, sebagaimana yang diungkapkan oleh Thoha Husein, dalam hemat kami
sebatas perkiraan yang tidak didukung baik oleh fakta sejarah maupun teks
agama.
- Perbedaan antara
bahasa Qahthâniyyah dan Adnâniyyah hanyalah pada aspek dialek
saja dan tidak bersifat substansif.
- Sangat layak diduga kalau Thoha Husein
terinspirasi oleh Hasyim al-Arabi, dikarenakan adanya kemiripan antara
pemikiran keduanya dalam konteks pengingkaran keberadaan sosok Ibrahim dan
Ismail di jazirah Arab.
- Dalam rangka memperkuat pemikirannya di atas Thoha
Husein menukil pendapat Abu Amru bin al-‘Ala’ seputar hakekat perbedaan
antara bahasa Qahthâniyyah dan Adnâniyyah, akan tetapi
sangat disayangkan ternyata Thoha Husein
dalam hal ini telah melakukan distorsi makna atas pendapat Abu Amru bin
al-‘Ala’.
- Lebih daripada itu semua, sekalipun argumentasi yang
dibangun oleh Thoha Husein dapat dibenarkan, sesungguhnya argumentasi ini
tidak sampai menafikan keberadaan Ibrahim dan Ismail di tanah Hijaz
sebagaimana yang dikisahkan oleh al-Qur’ân.
Daftar Pustaka
Ahmad Kamal Zaki, Fî asy-Syiir al-Jâhilî Nazhrah Am Nazhariyyah, (Cairo; Dar al-Hilal, Cet : 1996).
Ali Wafi, ‘Ilm
al-Lughah, (Cairo: Dar an-Nahzhah)
Bayoumi Mahran, Dirâsât Târîkhiyyah Min al-Qur’ân
al-Karîm Fî Bilâd al-Arab, (Iskandariah: Dar al-Marifah al-Jamiiyyah, 1995)
Fathi Ahmad Amir, Fî
Mir’ât asy-Syir al-Jâhilî, (Iskandariah: Dar al-Maarif).
Hasyim al-Arabi, Dzail Maqâlah Fî
al-Islâm, (Cairo: an-Nîl al-Masihiyyah)
Louis Maluf, al-Munjid
Fî al-A’lâm, (Beirut:
Dar al-Masyriq).
Majalah “al-Qâhirah”,
(Vol : Februari 1996).
Muhammad Arfah, Naqd Mathâin Fî al-Qur’ân
al-Karîm, Cairo: al-Zahra, 1996).
Muhammad Khafaji, Nazhariyyah
Thoha Husein Fî asy-Syiir al-Jâhilî, (Cairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1975).
Muhammad al-Jamhi, Thabaqât
asy-Syuarâ, (Cairo: al-Mu’assasah as-Sa’udiyyah, 1980).
Musthafa ar-Rafii, Tahta Râyah al-Qur’ân,
(Cairo: Dar al-Kutub al-Arabi, 1983).
Thoha Husein, Fî asy-Syiir al-Jâhilî, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1926).
[10] Muhammad al-Jamhi, Thabaqât asy-Syuʻarâ, Juz : 1, Cairo: al-Mu’assasah as-Sa’udiyyah,
1980, hlm, 11
[13] Ahmad Kamal Zaki, Fî
asy-Syiir al-Jâhilî Nazhrah Am
Nazhariyyah, Cairo:: Dar al-Hilal, 1996, hlm, 187-188
[14] Muhammad Khafaji, Nazhariyyah Thoha Husein Fî asy-Syiir al-Jâhilî, Cairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1975, hlm, 93-94
[15]
Muhammad Arfah, Naqd Mathâʻin Fî al-Qur’ân al-Karîm, Cairo: al-Zahra, Cet , ii, 1996, hlm, 91-92
[24] Bayoumi
Mahran, Dirâsât Târîkhiyyah Min al-Qur’ân al-Karîm Fî Bilâd al-ʻArab, Iskandaria: Dar al-Ma’rifah
al-Jami’iyyah, 1995,
hlm, 149-155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar