Rabu, 25 September 2013

Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh

Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh





Oleh :
Ahmad Isnaeni[1]

Abstrak
Sejarah membuktikan, Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur mengitari peristiwa yang ada sebagai jawaban. Problematika kehidupan itu dapat teratasi secara konseptual dengan turunnya sebagian ayat al-Qur’an melalui lisan Nabi saw. Secara umum umat Islam meyakini bahwa kandungan al-Qur’an terus berlaku sepanjang masa dan keadaan (shalih li kulli zaman wa makan). Keyakinan ini terbukti nyata dengan terus munculnya kitab-kitab tafsir sepanjang masa, dengan metode dan corak masing-masing. Muhammad Abduh salah satu mufassir yang mencoba mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kehidupan nyata. Mendekati ayat demi ayat melalui pendekatan akal dan kebebasan berpikir menjadi landasan Abduh untuk mencoba meyakinkan bahwa al-Qur’an selalu mampu menjawab permasalahan hidup. Corak tafsir model Abduh tampaknya tidak seiring dengan kebanyakan ulama tafsir yang cenderung bil ma’tsur.

Kata Kunci: Tafsir, Al-Qur’an, Muhammad Abduh



Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sebagai dokumen umat Islam, bahkan kitab ini menamakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li an-nas). Sebuah petunjuk tentu harus dapat memberi bimbingan kepada manusia dalam kehidupannya, dengan kata lain al-Qur’an merupakan sumber makna dan nilai. Ini pula yang menyebabkan al-Qur’an menamakan dirinya sebagai pembeda antara yang hak dan batil.
Kunci untuk menguak kandungan seruan, risalah, dan syari’ah Islam tidak lain dengan menafsirkan al-Qur’an secara benar dan tepat. Muhammad Abduh salah satu penafsir yang menekankan dalam menafsirkan al-Qur’an melalui metode ilmiah dan kebebasan daya akal. Akal menurutnya ialah suatu daya yang hanya dimiliki manusia. Ia merupakan tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya.[2]
Muhammad Abduh hidup pada masa di mana masyarakat telah banyak bertaklid pada pendapat orang terdahulu dan enggan berpikir aktif karena terbelenggu dengan suatu madzhab. Ia bangkit dengan menyerukan untuk bersikap kritis terhadap berbagai masalah hidup.[3] Ia mengajak umat Islam untuk memahami al-Qur’an sesuai tingkat kemampuannya masing-masing. Meskipun itu bukan pekerjaan yang mudah, akan tetapi tidak semua yang sulit dilakukan harus ditinggalkan.[4]
Pemikiran Abduh tentang metode tafsir dan daya akal sebagai modal memahami al-Qur’an ini menarik dikaji dalam beberapa penafsiranya, yang mana ini masuk kelompok yang membolehkan menafsirkan al-Qur’an dengan akal bila didasari kemampuan bahasa dan sastra Arab yang luas,[5] sebagaimana tertuang dalam kitab tafsirnya meskipun ia hanya sampai pada ayat 135 dari surat al-Nisa’dan juz ‘Amma. Penafsirannya dilanjutkan oleh Muhammad Rasyid Ridla, juga tidak seluruhnya kecuali hanya sampai pada surat Yusuf ayat 101.[6] meski demikian, tafsir keduanya ini mampu membangkitkan kesadaran umat Islam menuju kemajuan berpikir khususnya dalam memahi al-Qur’an.

Sekilas Tentang Muhammad Abduh
1.      Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh seorang pemikir dan pembaharuan dalam Islam di Mesir yang hidup pada akhir abad kesembilan belas dan awal bada dua puluh.[7] Dilahirkan di desa Mahallat Nasr, Saerakhiyat daerah Buhairah kira-kira 15 kilo meter dari Damanhur pada tahun 1849 M.  Ayahnya bukanlah seorang yang kaya, juga bukan keturunan bangsawan, namun beliau dikenal sebagai orang terhormat dan suka memberi pertolongan kepada masyarakat.[8]
Sejak kecil ia telah memiliki kecerdasan yang menonjol. Berbagai tempat pendidikan dan guru telah dilaluinya, menjadikannya sebagai orang yang berorientasi bahwa ilmu pengetahuan adalah sumber utama kemajuan peradaban suatu bangsa. Jamaluddin al-Afghani, seorang guru yang cukup membekas dan mempengaruhi ide pemikiran Muhammad Abduh.
Semasa hidupnya pernah menjadi pengajar pada al-Azhar. Menjadi hakim di pengadilan Daerah Banha, pengadilan Abidin, Kairo. Mufti mesir dan anggota majelis Syura kerajaan Mesir. Muhammad Abduh wafat pada tanggal 11 Juli 1905 M. dalam usia ke 56 tahun.[9]
            Muhammad Abduh dikenal sebagai seorang ulama yang berpengetahuan luas bukan hanya tentang keIslaman, tetapi juga keilmuan Barat. Dalam mengeluarkan fatwa, ia tidak terkait dengan ulama pendahulunya, menghargai semua madzhab,  memandang mengikuti madzhab sama halnya mengikuti para imam dalam berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits. Ia bukanlah seorang mu’tazili, salaf dan lainnya.[10] Ia seorang pemikir murni yang memiliki kekhususan tersendiri meskipun ia menghormati pendahulunya.
2.      Karya Muhammad Abduh
Di tengah kesibukannya, Muhammad Abduh masih sempat menulis buku selain karangan-karangan yang terdapat dalam surat kabar dan majalah. Di antaranya ialah :
a.       Risalah Tauhid
Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1817, di dalamnya membahas tentang kerasulan pada umumnya dan kebutuhan manusia akan rasul. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh dua orang pengarang terkemuka yaitu M. Micheil dan Mustafa Abdur Raziq.[11] Universitas Aligarh di India menterjemahkan ke dalam bahasa Urdu dan bahasa Inggris oleh Ishaq Musa’ad dan Keneth Cragg.
Di Indonesia, penerjemahan buku ini dimulai oleh A.D. Hanie sekitar tahun 1920-an, kemudian tahun 1930-an oleh T. Yufizham, dan terakhir oleh K.H. Firdaus yang diterbitkan pertama kali tahun 1963.
b.       Al-Islam Din al-Ilmu wa al-Madaniah
Buku ini diterbitkan tahun 1902, yang berisi tentang ulama-ulama yang menimbulkan taklid. Sikap ulama semacam ini – menurut Muhammad Abduh – membuat umat Islam menjadi mundur. Taklid membuat kevakuman kreasi umat Islam[12] dan berpegang pada tradisi.
c.       Tafsir al-Manar
Tafsir al-Manar merupakan hasil kuliah Muhammad Abduh mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar sejak tahun 1899. Ia tidak sampai selesai menafsirkan al-Qur’an – telah terungkap di atas – hanya sebagian saja yang terbit pada masa hidupnya. Tafsir ini diperiksa dua kali oleh muridnya Rasyid Ridla dan dimuat pertama kali di majalah al-Manar yang diterbitkan sejak tahun 1899.[13] Perlu diketahui bahwa penafsiran yang dilakukan Muhammad Abduh diberikan dalam bentuk ceramah di masjid al-Azhar hanya sampai ayat ke-135 dari surat al-Nisa’.
d.      Risalah al-Waridah
Kitab ini ditulis oleh Muhammad Abduh ketika masih menjadi mahasiswa di al-Azhar. Isinya menerangkan tentang ilmu Tauhid dari segi tasawuf.
e.       Hasyiyah ‘ala Sharh al-Qawwani li al-Aqa’id al-Adudiah
Buku ini merupakan ulaasan atau komentar terhadap penjelasan al-Dawanni terhadap akidah-akidah yang meleset. [14] Buku ini dikarang tahun 1976, yang menerangkan Muhammad Abduh memasuki perselisihan dengan menunjukkan pendapat dan sikapnya. Jika dalam buku risalah tauhid ia bersikap netral, sedangkan dalam buku ini ia memihak salah satunya.
Buku ini banyak membantu usaha untuk mengetahui corak teologi Muhammad Abduh yang sebenarnya. Antara ‘risalah tauhid’ dan ‘hasyiyah’ tidak ada pertentangan, sebab antara teologi rasional dan teologi tradisional, meski ada perbedaan.
f.        Taqrir fi Ishlah al-Mahakam al-Syar’iyah
Buku ini dikarang tahun 1900, yang menerangkan kajian pengadilan. Yakni usulan-usulannya tentang perbaikan pengadilan. Buku ini juga digunakan di sekolah-sekolah hakim. Diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dengan nama “L’Eourope L’Islam” oleh M. Thalaat Harb Bey.[15]
Selain karangan yang tersebut di atas, ada beberapa karya Muhammad Abduh berupa majalah dan harian umum seperti al-Ahram, Tsamarah al-Funun yang terbit di Beirut, al-Muayyad dan lainnya.

Pokok Pemikiran Muhammad Abduh
Kemunduran umat Islam menjadi bahan renungan Muhammad Abduh, dari sini lahir pemikiran-pemikirannya untuk mengatasi kondisi tersebut. Sedikitnya melalui empat segi, yakni segi politik dan nasionalisme, segi kemasyarakatan, segi aqidah dan segi pendidikan dan bimbingan umum.
1.      Segi Politik dan Nasionalisme
Dalam masalah tanah air, Muhammad Abduh menggariskan ada hubugan erat antara seseorang dengan tanah air. Ada tiga hal yang mengahruskan seseorang cinta terhadap tanah airnya, yaitu :
a.      Sebagai tempat kediaman yang memberi makanan, perlindungan, tempat tinggal keluarga dan sanak saudara.
b.      Sebagai tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang keduanya menjadi poros kehidupan politik.
c.       Tempat mempertalikan diri, di mana seseorang akan merasa bangga atau terbina karenanya.[16]
Dalam menjelaskan masalah demokrasi dan pemerintahan, Muhammad Abduh mengatakan bahwa prinsip demokrasi harus dipegang bersama, baik penguasa maupun rakyat. Penguasa harus memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk bekerja dengan benar agar dapat mewujudkan kebaikan diri dan masyarakat.
Berkenaan dengan pertalian undang-undang negara dengan keadaan negara, Muhammad Abduh memandang bahwa pembuat undang-undangan hendaknya memperhatikan perbedaan yang ada di kalangan rakyat, baik tingkat kecerdasan, sosial, tabiat, kepercayaan dan kebiasaannya.[17]
2.      Segi Kemasyarakatan
Sebab kemunduran dan ketertinggalan umat Islam, menurut Muhammad Abduh ialah karena kemiskinan (kelemahan) jiwa dan bimbingan yang salah terhadap akal. Merajalelanya sifat egois (ananiyah) dan rusaknya sikap kebersamaan. Sebenarnya telah cukup tuntunan al-Qur’an untuk mewujudkan masyarakat maju dan berperadaban. Memang al-Qur’an hanya memuat secara garis besar, namun itulah yang harus menjadi landasan umat Islam dalam mengatur kemasyarakatannya.[18] Perincian dan pelaksanaannya diserahkan kepada akal untuk menentukan dan mengubahnya sesuai dengan perkembangan zaman.
3.      Segi Akidah
Muhammad Abduh mengkritik pendirian Jabariyah dan menyebutnya sebagai keyakinan yang meruntuhkan syari’at (agama), menghapuskan hukum taklif (adanya perintah Allah), dan membatalkan hukum akal yang logis, padahal ini merupakan pilar iman.[19] Daya berfikir dan kebebasan memilih merupakan sifat dasar alami yang mesti ada pada manusia, ini adalah sunnatullah, kalau sifat ini tiada maka ia bukan manusia lagi.
4.      Segi Pendidikan dan Bimbingan Umum
Dalam bidang ini, Muhammad Abduh memusatkan perhatian pada enam hal, yaitu : Fanatik madzhab, Ijtihad dan taklid, Kekuasaan kita, Kitab-kitab tertentu, Menghidupkan kembali kitab-kitab lama, dan Pembaharuan al-Azhar.[20] Muhammad Abduh berkeyakinan bahwa akal dan wahyu terdapat hubungan yang erat, al-Qur’an sebagai wahyu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap akal. Kemampuan akal dapat menembus rahasia-rahasia alam bahkan denganyalah kita dianjurkan menyelidiki seluruh kandungan alam. Namun demikian Muhammad Abduh mengakui keterbatasan akal dalam dua hal yakni mengenai alam semesta dan rahasia keumuman kitabullah.[21]
Pengakuan Muhammad Abduh ini tidak akan menyurutkan idenya tentang penggunaan akal untuk menelaah dan mengamati dua macam ‘ayat’ yang dianugerahkan Allah yaitu al-Qur’an (wahyu) dan ayat kauniyah (alam semesta). Keterbatasan akal tidak menghalangi keyakinannya akan manfaat yang dapat timbul dari penelaahan dan penelitian tersebut. Hal ini dibuktikan oleh Muhammad Abduh dalam memahami kandungan al-Qur’an. Beliau banyak bertumpu pada akal dalam menafsirkan ayat-ayat Allah, dan meyakini bahwa kandungan ayat-ayat Allah itu tidak mungkin bertentangan dengan akal.
Prinsip Muhammad Abduh ini seolah ingin merasionalkan ajaran-ajaran agama serta mempersempit wilayah ‘ghaib’, seperti pemahaman beliau tentang malaikat dan sihir:
1.      Malaikat
Muhammad Abduh memberikan interpretasi tentang malaikat dengan akal, tidak seperti pada umumnya bahwa malaikat makhluk yang diciptakan dari cahaya, yang mengemban tugas tertentu. Abduh berpendapat malaikat bukan merupakan satu ‘person’ tetapi bersifat ‘kekuatan’ yang berfungsi mengatur mekanisme pertumbuhan dan pertumbuhan makhluk-makhlk di alam semesta. Selain itu malaikat merupakan makhluk gaib yang tak dapat diketahui hakikatnya namun harus dipercayai.[22]
2.      Sihir
Sihir menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dielaskan dalam al-Qur’an ialah :
 تخيل يخدع الأعن فيريها ما ليس بكائن كائن
Artinya: “ Pengelabuan yang menipu mata sehingga terlihat apa yang sebenarnya tidak ada menjadi ada” sebagaimana firman Allah SWT :
 يسعى                                                      يخيل اليه من سحرهم انها
Artinya: “Terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka” (Taha : 66)[23]
Muhammad Abduh dengan lantang menentang segala bentuk ilmu sihir yang dikenal dan dipraktekkan serta dipercayai di kalangan Mesir. Sihir hanya satu kebohongan yang dilakukan sebagian orang untuk menipu yang lain. Dalam memahami ayat-ayat tentang sihir, ia berkesimpulan bahwa sihir pada hakekatnya hanya sesuatu ilmu yang hanya dapat dipelajari dan diketahui sementara orang untuk menipu yang lain.
Muhammad Abduh tampak tidak memberi alasan tepat dalam memperkuat pendapatnya. Sihir adalah hal gaib namun ia ingin membuktikannya melalui logika sehingga mufassirin sesudahnya berpendapat bahwa Muhammad Abduh menolak adanya sihir itu. Beberapa hadits yang berbicara tentang sihir dianggapnya tidak benar walaupun telah diriwayatkan oleh periwayat terkenal dan diterima riwayatnya. Di sinilah tampak bahwa Muhammad Abduh diilhami pendapat dan pemikiran kaum Mu’tazilah yang tidak percaya adanya sihir.[24]

Manhaj Muhammad Abduh Dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Muhammad Abduh memandang kitab tafsir terdahulu dan masanya tidak selayaknya disebut kitab tafsir, sebab di sana hanya memaparkan segala pendapat ulama sebelumnya yang tampak berlainan, ada yang berbincang masalah lain yang jauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dengan tujuan sebagai petunjuk dan kemaslahatan umat. Menurutnya tafsir yang baik ialah tafsir yang pembahasannya menukik kepada redaksi kebahasaan seperti karya tafsir al-Zamakhsyari.[25]
Karya tafsir Muhammad Abduh oleh kalangan ulama dikelompokkan kepada tafsir adab al-ijtima’i, yang berusaha meyakinkan bahwa al-Qur’an benar-benar suatu kitab suci yang kekal, yang menjadi pedoman hidup di segala permasalahan yang ada dalam kehidupan. Dengan mengungkapkan keindahan bahasa dan pemecahan masalah yang dihadapi umat Islam serta berupaya menemukan ilmu pengetahuan, di samping menghapus keraguan yang ada melalui argumen yang kuat dan meyakinkan.
            Manhaj tafsir Muhamamd Abduh diimplementasikan berdasarkan beberapa prinsip, yaitu :[26]
1.      Memandang Surat al-Qur’an satu kesatuan utuh
Dengan pandangan ini Muhammad Abduh berkeyakinan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang satu dengan lainnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Persesuaian ini dijadikan sebagai pijakan utama dalam memberikan makna dalam menilai pendapat-pendapat terdahlu yang berbeda. Dengan keserasian antar ayat ini ia memberikan penafsiran yang lebih mendalam terhadap hal-hal yang tidak banyak disinggung oleh ulama-ulama terdahulu.
Muhammad Syaltut menyebutkan, ketika menjelaskan prinsip ini – sebagaimana terlihat saat menafsirkan surat al-Baqarah – ia memandangnya sebagai kesatuan yang utuh yang mencakup berbagai permasalahan. Paling tidak ada dua tujuan seruan yang ada di dalamnya. Pertama seruan dakwah kepada bani Israil untuk mengingatkan mereka akan nikmat Allah dan tunduk akan ajaran-Nya. Kedua seruan kepada muslim agar mengambil prinsip kebaikan dalam hidup untuk diri mereka dan masyarakatnya.[27]
Muhammad Abdullah Darraz melihat pandangan Muhammad Abduh akan kesatuan makna pada setiap surat adalah hal yang prinsip. Paling tidak ada beberapa hal seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah, yakni muqaddimah memuat empat tujuan dan diakhiri dengan penutup.[28] Muqaddimah menguraikan tentang al-Qur'an dan penjelasan tentang apa yang terkandung di dalamnya, sebagai petunjuk bagi manusia yang memiliki hati nurani, tidak ada yang membantah kebenarannya kecuali orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit.
Keempat tujuan dimaksud adalah : Dakwah kepada seluruh umat manusia untuk memeluk Islam; Dakwah kepada ahli kitab, khusus untuk meninggalkan kepercayaannya dan masuk kepada agama Islam yang hak; Menguraikan syari’at Islam; Menyebutkan cara penerapan syari’at dan menghukum mereka yang melanggar.
            Penutup pada surat ini adalah dengan menyebutkan orang-orang yang menjalankan seruan agama dan tujuannya, dan orang-orang yang melanggar ajaran itu dengan kehidupan merek di dunia dan akhirat. Muhammad Abduh tampaknya ingin membawa al-Qur'an sebagai sarana membangkitkan nilai-nilai Islam. Setiap surat memiliki kesatuan jiwa dan ruh yang mampu menghidupkan umat Islam dengan hukum-hukum yang dibangunnya. Bagaimana ini tidak terjadi sebab ia berasal dari Allah yang mampu menghidupkan kreatifitas manusia.

2.      Kandungan  al-Qur’an bersifat umum dan berlaku sepanjang masa
Pandangan ini berawal dari pendapat Muhammad Abduh akan keberlakuan al-Qur’an di segala masa dan tempat. Ia memahami al-Qur’an mempunyai sifat umum. Berpijak pada kaidah bahwa keumuman lafadz yang harus dipegangi dalam menafsirkan al-Qur’an dan bukan keterangan sebab turunnya yang membuat ayat itu khusus (al-Ibrah bi ‘Umum al-lafdzi la bi khusus al-sabab”. Berangkat dari kaidah ini, ia banyak memberikan pengertian-pengertian dan arti-arti yang umum terhadap suatu ayat.
Al-Qur'an bersifat umum dan menyeluruh maksudnya ialah petunjuknya menyelimuti hingga hari kiamat. Tuntutan, janji dan ancaman yang ada di dalamnya tidak dapat diyakini hanya berlangsung di dunia. Contoh kongkret dari pandangan Muhammad Abduh ini ialah ketika ia menafsirkan awal-awal surat al-Baqarah tentang sifat orang munafik, ia menyatakan sifat ini berlaku bagi orang munafik di masa kini dan setiap masa. Tidak dibenarkan jika ada mufassir yang menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk orang munafik di masa Nabi saw semata.[29]

3.      Al-Qur’an Sumber Utama Pembentukan Hukum
Al-Qur’an adalah suatu tatanan yang kepadanya akidah harus bertumpu. Sandaran utama dalam beristinbath, kepadanya seseorang yang hendak menetapkan sesuatu.[30] Muhammad Abduh menyatakan bahwa kalangan intelektual muslim terdahulu mengambil jalan yang serupa,s ehingga berkat jasanya petunjuk-petunjuk al-Qur’an dapat dirasakan. Ia mengajak mufassirin agar mengambil cara ini dalam memahami suatu permasalahan dan tidak mengesampingkan kitab suci ini.
Muhammad Abduh berprinsip demikian sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi saw ketika hendak mengutus Muadz bin Jabbal ke Yaman. Landasan utama dalam menetapkan hukum ialah Kitabullah, Sunnah Rasul dan ijtihad. Abduh ingin menjelaskan kepada mereka yang hanya bertaklid kepada pendahulunya semata dalam menyikapi permasalahan sampai-sampai ia menulis penjelasan hadits tersebut dengan menyatakan bahwa hadits ini bukan itujukan atas madzhab al-Syafi’i. Al-Syafi’i sendiri mengatakan bila hadits ini shahih, itulah madzhabku dan ikutilah itu.[31]
Para imam mujtahid ketika berijtihad berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul, tetapi tidak dibolehkan bagi kita untuk mendahulukan pendapat mereka atas Kitabullah. Sebagai contoh saat menafsirkan ayat tentang tayamum, ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah yang membolehkan siapa saja yang hendak shalat dalam perjalanan tetapi tidak ditemukan air, baik ia berhadas kecil atau setelah menggauli isterinya, untuk bertayamum tanpa memberatkan iri orang itu.
Rasyid Ridla berkomentar, agaknya ia berbeda pandangan kali ini dengan gurunya. Ia mengemukakan bila itu diberlakukan untuk masa lalu maka sesuai, tetapi untuk sekarang tampaknya tidak pas. Alasan Ridla adalah alat transportasi dan jarak perjalanan yang dahulu cukup sulit, untuk sekarang ini telah berbeda, dan sekarang telah mudah untuk menemukan air.
Berpegang kepada Kitabullah adalah benar, tetapi bukan berarti harus meninnggalkan Sunnah Rasul yang berstatus sebagai penjelas al-Qur’an. Bukankah Allah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya dan taat kepada Rasul serta ulil amri. Taat kepada Allah berarti berhukum dengannya, taat kepada Rasul yakni dengan melakukan sunnahnya. Sedangkan ulil amri ialah para ulama dan mujtahid yang memiliki kedalaman pandangan, tentunya berlandaskan kedua sumber di atas.[32]

4.      Menentang dan Memberantas Taklid
Muhammad Abduh bukanlah seorang teoritikus, dia seorang reformis yang berusaha keras untuk membebaskan pemikiran yang pada saat itu terbelenggu tradisi. Ia ingin membuktikan bahwa al-Qur’an menuntut umat Islam untuk menggunakan akal mereka serta mengancam orang-orang yang hanya mengikuti apa yang mereka temui pada generasi terdahulu. Al-Qur’an selalu otentik dan berlaku dalam setiap masa yang dinamis. Tuntutan al-Qur’an agar umatnya hijrah telah nyata, menggunakan dalil-dalil dalam menentukan keyakinan dan permasalahan, bukan hanya bertaklid belaka.[33]
Muhammad Abduh tidak meninggalkan pemahaman ayat hanya untuk mengikuti pendapat orang dahulu tanpa diiringi usaha berfikir. Ia melihat kelemahan kaum muslimin di bidang politik, kebudayaan dan lainnya adalah berpusat dari kurangnya pengembangan diri. Ia mengajak umat Islam untuk mencontoh perilaku umat Islam pada kurun waktu abad ketiga dan keempat hijrah. Mereka jaya dengan ilmu dan kebudayaan, sebab mampu menggali potensi dan memahami nash al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang mempu menyelesaikan setiap permasalahan kapanpun masanya. Berijtihad adalah jalan utama untuk sampai kepada kejayaan, dan memerangi taklid merupakan suatu jalan menuju kemajuan. Ia mengatakan pintu ijtihad tetap terbuka sampai datangnya hari kiamat.

5.      Menggunakan metode Kritis dan Ilmiah dalam membahas Istimbath Hukum
Manhaj ini ada kaitannya dengan meninggalkan taklid, dan lebih menekankan kepada pengunaan cara berfikir falsafi yang menawarkan pemahaman baru dalam berfikir. Muhammad Abduh memandang cara seperti ini sebenarnya telah ada dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang mengajak menggunakan akal dalam memahami kejadian alam atau al-Qur’an sendiri. Seperti yang terdapat pada surat al-Thariq ayat ke 5- 8 sebagai berikut :
هو الذي خلق لكم ما في الارض جمبعا ثم استوى الى السماء فسواهن سبع سموات وهو بكل شيء عليم (البقرة 26 )
            Ada dua macam kenikmatan yang dapat diambil dari ayat ini, yakni : Pertama, mengambil manfaat dengan memperhatikan segala sesuatu untuk kehidupan jasmaniah. Kedua, menelaah dan merenungi untuk khidupan akliyah.[34]

6.      Penggunaan Otoritas Akal dalam Menafsirkan al-Qur’an
Al-Qur’an telah memuliakan akal di berbagai tempat, bahkan menjadikannya sebagai salah satu sarana penetapan dasar hukum (ijtihad). Akal dapat menghindarkan manusia terjerumus ke dalam neraka, ini dipahami dari ayat :
وقالوا لوكنا نسمع أو نعقل ما كنا في أصحاب السعير
Untuk menentukan makna ayat atau kata tertentu, Muhammad Abduh banyak memperhatikan konteksnya. Ini merupakan hal biasa yang dilakukan. Dalam memecahkan masalah, ia sering mengganti dan mempertimbangkan konterks kalimat.
Wahyu dan akal adalah pemberian Allah dan dijadikan untuk menunjukkan manusia mana yang terbaik. Sebab itu keduanya tidak akan bertentangan . Muhammad Abduh sepaham dengan Mu’tazilah dalam menggunakan akal untuk memahami kandungan al-Qur’an, perbedaannya ialah bila Mu’tazilah bersandar pada akal ketika memahami ayat untuk menguatkan madzhabnya. Lain halnya dengan Muhammad Abduh,[35] yang murni bertujuan untuk penggalian hukum dari al-Qur’an bahkan ia sepakat untuk memerangi bentuk taklid terhadap suatu madzhab.

7.      Tidak Merinci Persoalan yang Mubham
Ia memandang al-Qur’an sebagai sumber hidayah, petunjuk keagamaan dan spiritual. Menurutnya seseorang yang memberikan pejelasan suatu ayat seharusnya tidak menjelaskan sesuatu yang sengaja tidak dijelaskan oleh al-Qur’an. Seorang mufassir itu diwajibkan  menjelaskan teks sebagaimana adanya atau tidak menambah-nambah. Mufassir, tambah Muhammad Abduh tidak mempunyai hak untuk mengidentifikasi segala sesuatu yang sengaja disebutkan secara mubham, selayaknya hanya melihat konteks ayat tersebut dalam menentukan maknanya[36]
            Hal-hal yang disebutkan secara mubham di antaranya seperti keadaan “shirath, mizan, jannah, nar” dan lainnya. Dalam menentukan dan memahami makna kata-kata tersebut, Abduh menjelaskan secara jelas dan singkat seperti yang dikemukakan para salaf, yakni kita hanya diwajibkan mengimaninya, sedangkan makna hakikinya diserahkan Allah.[37]
            Pada kenyataannya tidak selama prinsip ini dipegang, terbukti Muhammad Abduh telah berusaha merinci kandungan ayat 3 dan 4 dari surat al-fiil yang berbicara tentang burung ababil dan bebatuan yang diturunkan Allah untuk menghancurkan tentara gajah. M. Quraish Shihab[38] menjelaskan, ini adalah salah satu ketidak-konsistenan Abduh dalam memegang prinsip tidak merinci hal yang disebutkan secara mubham, apakah ia sengaja dengan penjelasan ini atau memang lupa akan hal tersebut.
            Muhammad Abduh merinci pengetian (thairan ababil” dengan sejenis lalat atau nyamuk yang membawa bakteri-bakteri dan mengakibatkan penyakit cacar dan campak. Keterangan ini dikemukakannya berdasarkan sebuah riwayat yang dinilai mutawatir. Ia menutup uraiannnya dengan menyatakan, tidak ada salahnya untuk mempercayai burung tersebut dari jenis nyamuk dan lalat yang membawa benih penyakit tertentu.[39]


8.      Menolak Gaya Tafsir bi al-Ma’tsur
Ungkapan yang tepat ialah bahwa Muhammad Abduh tidak sepaham dengan cara penafsiran yang menggunakan hadits-hadits tertentu dalam memahami ayat – seperti tentang sihir – dan kisah-kisah tentang israiliyyat. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, ini selayaknya dipahami melalui bahasa Arab, tidak usah mencari keterangan dari kisah atau riwayat yang masih dipertentangkan kebenarannya.
Ada ungkapan menarik dari Muhammad Abduh saat menyikapi pola penafsiran bil ma’tsur; ini terlihat pada pernyataannya bahwasannya Allah tidak akan bertanya kepada kita tentang perkataan orang-orang dan pemahamannya terhadap al-Qur’an, yang ditanyakan ialah tentang kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Pertanyaan itu ialah apakah kamu telah sampai risalah itu? Apakah kamu telah merenungi apa yang disampaikannya kepadamu ? Apakah kamu memikirkan apa yang Kami larang untukmu dan apa yang Kami perintahkan?[40]

9.      Memahami al-Qur’an dengan Konteks Kehidupan Sosial
Ciri ini merupakan salah satu sebab dimasukkannya tafsir Muhammad Abduh ke dalam corak adab ijtima’i. Ia berusaha memahami ayat dikaitkan dengan kehidupan sosial, alasannya adalah al-Qur’an sebagai sumber petunjuk tentunya memiliki petunjuk untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
Dengan corak inilah ia meyakini bahwa al-Qur’an benar-benar menjadi hidayah manusia dalam kehidupannya. Al-Qur’an dapat menawarkan jalan keluar dan membimbing ke arah kemajuan. Semua ini dapat dilihat tatkala beliau menafsirkan  ayat yang berbunyi   "فاما اليم فلا تقهر" dengan jangan kamu menghinanya, tetapi pergauli ia dengan adab dan akhlak yang mulia.[41]
Ada beberapa point yang menjadi penekanan  penafsiran Muhammad Abduh saat menyinggung permasalahan sosial kemasyarakatan, yakni: Pembentukan perundang-undangan hidup sosial yang Islami; Hak-hak inividu dan masyarakat; Hikmah pensyari’atan ibadah; Mengokohkan kepribadian muslim; Ajakan untuk menuntut ilmu; Membrantas gaya hidup mewah dan megah-megahan; Mudlaratnya beristeri banyak; Tatakrama pergaulan Islami. [42]

Penutup
Muhammad Abduh seorang mujtahid, mujaddid dan ilmuan muslim berwawasan luas yang menawarkan pemikirannya untuk kemaslahatan, kemajuan dan kejayaan umat Islam. Manhaj Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur’an lebih ditekankan kepada pengenalan al-Qur’an sebagai sumber ajaran dan petunjuk bagi manusia. Penafsiran terhadap al-Qur’an harus ditujukan untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi dan tidak membahas ilmu-ilmu lain yang dapat menjauhkan kandungannya. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahasa Arab dan ketajaman akal dalam mengangkap kandungan ayat.

























Daftar Pustaka


Abduh, Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma, Pent Muhammad Bagir (Bandung; Mizan, 199)
_______, Risalah Tauhid, Alih Bahasa K.H. Firdaus AN, (jakarta; Bulan Bintang, 1992).
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta; Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1993), jld. III.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Theologi Islam, (jakarta; al-Husna Zikra, 1995).
Jansen, J.J.G., Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Harussalim, (Yogjakarta; Tiara Wacana Yogya, 1997).
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta; UI Press, 1987).
_______, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1992).
_______, Islam Rasional, (Bandung; Mizan, 1995).
Nawawi, Rif'at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Akidah dan Ibadah (Jakarta; Paramadina, 2002)
Ridla, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar (Dar al-Fikr, tt),
Shihab, M. Quraisy, Study Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1994).      
Syazali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta; UI Press, 1990).
Syahatah, Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Kairo; Nasyr al-Rasail al-Jami’iyah, 1993).
al-Zahabi, Muhammad Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Baghdad; Dar al-Kutub al- Haditsah, 1976), jld. I & II.














[1] Dosen Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
1 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta; UI Press, 1987, h. 45.
                2Ahmad Hanafi, Pengantar Theologi Islam, Jakarta; al-Husna Zikra, 1995, h. 171.       
3Rif'at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Akidah dan Ibadah, Jakarta; Paramadina, 2002, h. 113. Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, Dar al-Fikr, tt, jld. I, h. 17.
4Muhammad Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Baghdad; Dar al-Kutub al-Haditsah, 1976, h. 256. Selanjutnya ditulis al-Zahabi.
5 Abdullah Mahmud Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Kairo; Nasyr al-Rasail al-Jami’iyah, 1993, dalam  muqaddimah. Selanjutnya disebut Syahatah.
6Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta; Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1993, jld. III, h. 255.
7 Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…, h. 3.
                [9] Muhammad Abduh, Tafsir Juz 'Amma, Pent. Muhammad Bagir Bandung; Mizan, 1999, cet V, h. vi.
                9Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…, dalam muqaddimah h.  م.
                 10Muhammad Abduh, Risalah .., h. 22.
11  Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1992, h. 62.
                12  Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam., h. 752.
                13 Ibid.
14 Ahmad Hanafi, Pengantar…, h. 158.
15 Ibid.
                16 Ibid.
17 Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung; Mizan, 1995, h. 324.
18 Muhammad Abduh, Risalah…, h. 94.
 19 Ahmad Hanafi, Pengantar…, h. 171.
 20 Muhammad Abduh, Risalah…, h. 37.
 21  Quraish Shihab, Study…, h. 34.
 [23] Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…, h. 110.
23 Al-Zahabi, Tafsir wa al-Mufassirun…, h. 572.
24 J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Harussalim, Yogjakarta; Tiara Wacana Yogya, 1997, h. 28.
25  Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…, h. 35 dan seterusnya.
                [27] Ibid, h. 40.
[28]  Ibid., h. 43.
[29] Ibid, h. 45.
29al-Zahabi, Tafsir wa al-Mufassirun…, jld. I, h. 556.
[31] Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…, h. 49.
[32] Ibid, h. 52.
32 Quraisy Shihab, Study…,  h. 45.
[34] Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar…, h. 249.
[35] Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…, h. 84 & 97.
[36] Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern…,  h. 40.
[37] Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…,  h. 140.
[38] Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma,, h. ix.
[39] ibid, h. 322.
[40] Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…, h. 164..
[41] Ibid, h. 171.
[42] Ibid, h. 170-191.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar