Pemikiran Tafsir Muhammad Abduh
Oleh :
Ahmad Isnaeni[1]
Abstrak
Sejarah membuktikan, Al-Qur’an turun secara
berangsur-angsur mengitari peristiwa yang ada sebagai jawaban. Problematika
kehidupan itu dapat teratasi secara konseptual dengan turunnya sebagian ayat
al-Qur’an melalui lisan Nabi saw. Secara umum umat Islam meyakini bahwa
kandungan al-Qur’an terus berlaku sepanjang masa dan keadaan (shalih li kulli
zaman wa makan). Keyakinan ini terbukti nyata dengan terus munculnya
kitab-kitab tafsir sepanjang masa, dengan metode dan corak masing-masing.
Muhammad Abduh salah satu mufassir yang mencoba mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan kehidupan nyata. Mendekati ayat demi ayat melalui pendekatan akal dan
kebebasan berpikir menjadi landasan Abduh untuk mencoba meyakinkan bahwa
al-Qur’an selalu mampu menjawab permasalahan hidup. Corak tafsir model Abduh tampaknya
tidak seiring dengan kebanyakan ulama tafsir yang cenderung bil ma’tsur.
Kata
Kunci: Tafsir, Al-Qur’an, Muhammad Abduh
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sebagai dokumen umat
Islam, bahkan kitab ini menamakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan
li an-nas). Sebuah petunjuk tentu harus dapat memberi bimbingan kepada
manusia dalam kehidupannya, dengan kata lain al-Qur’an merupakan sumber makna
dan nilai. Ini pula yang menyebabkan al-Qur’an menamakan dirinya sebagai
pembeda antara yang hak dan batil.
Kunci untuk menguak kandungan seruan,
risalah, dan syari’ah Islam tidak lain dengan menafsirkan al-Qur’an secara
benar dan tepat. Muhammad Abduh salah satu penafsir yang menekankan dalam
menafsirkan al-Qur’an melalui metode ilmiah dan kebebasan daya akal. Akal
menurutnya ialah suatu daya yang hanya dimiliki manusia. Ia merupakan tonggak
kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya.[2]
Muhammad Abduh hidup pada masa di mana
masyarakat telah banyak bertaklid pada pendapat orang terdahulu dan enggan
berpikir aktif karena terbelenggu dengan suatu madzhab. Ia bangkit dengan
menyerukan untuk bersikap kritis terhadap berbagai masalah hidup.[3] Ia mengajak umat
Islam untuk memahami al-Qur’an sesuai tingkat kemampuannya masing-masing.
Meskipun itu bukan pekerjaan yang mudah, akan tetapi tidak semua yang sulit
dilakukan harus ditinggalkan.[4]
Pemikiran Abduh tentang metode tafsir dan
daya akal sebagai modal memahami al-Qur’an ini menarik dikaji dalam beberapa
penafsiranya, yang mana ini masuk kelompok yang membolehkan menafsirkan
al-Qur’an dengan akal bila didasari kemampuan bahasa dan sastra Arab yang luas,[5] sebagaimana
tertuang dalam kitab tafsirnya meskipun ia hanya sampai pada ayat 135 dari
surat al-Nisa’dan juz ‘Amma. Penafsirannya dilanjutkan oleh Muhammad Rasyid
Ridla, juga tidak seluruhnya kecuali hanya sampai pada surat Yusuf ayat 101.[6] meski demikian,
tafsir keduanya ini mampu membangkitkan kesadaran umat Islam menuju kemajuan
berpikir khususnya dalam memahi al-Qur’an.
Sekilas
Tentang Muhammad Abduh
1. Riwayat
Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh seorang pemikir dan
pembaharuan dalam Islam di Mesir yang hidup pada akhir abad kesembilan belas
dan awal bada dua puluh.[7] Dilahirkan di desa
Mahallat Nasr, Saerakhiyat daerah Buhairah kira-kira 15 kilo meter dari
Damanhur pada tahun 1849 M. Ayahnya
bukanlah seorang yang kaya, juga bukan keturunan bangsawan, namun beliau
dikenal sebagai orang terhormat dan suka memberi pertolongan kepada masyarakat.[8]
Sejak kecil ia telah memiliki kecerdasan
yang menonjol. Berbagai tempat pendidikan dan guru telah dilaluinya,
menjadikannya sebagai orang yang berorientasi bahwa ilmu pengetahuan adalah
sumber utama kemajuan peradaban suatu bangsa. Jamaluddin al-Afghani, seorang
guru yang cukup membekas dan mempengaruhi ide pemikiran Muhammad Abduh.
Semasa hidupnya pernah menjadi pengajar
pada al-Azhar. Menjadi hakim di pengadilan Daerah Banha, pengadilan Abidin,
Kairo. Mufti mesir dan anggota majelis Syura kerajaan Mesir. Muhammad Abduh
wafat pada tanggal 11 Juli 1905 M. dalam usia ke 56 tahun.[9]
Muhammad Abduh dikenal sebagai
seorang ulama yang berpengetahuan luas bukan hanya tentang keIslaman, tetapi
juga keilmuan Barat. Dalam mengeluarkan fatwa, ia tidak terkait dengan ulama
pendahulunya, menghargai semua madzhab,
memandang mengikuti madzhab sama halnya mengikuti para imam dalam
berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadits. Ia bukanlah seorang mu’tazili, salaf
dan lainnya.[10] Ia seorang pemikir
murni yang memiliki kekhususan tersendiri meskipun ia menghormati pendahulunya.
2. Karya
Muhammad Abduh
Di tengah kesibukannya, Muhammad Abduh
masih sempat menulis buku selain karangan-karangan yang terdapat dalam surat
kabar dan majalah. Di antaranya ialah :
a. Risalah
Tauhid
Buku ini
diterbitkan pertama kali tahun 1817, di dalamnya membahas tentang kerasulan
pada umumnya dan kebutuhan manusia akan rasul. Buku ini diterjemahkan ke dalam
bahasa Perancis oleh dua orang pengarang terkemuka yaitu M. Micheil dan Mustafa
Abdur Raziq.[11] Universitas
Aligarh di India menterjemahkan ke dalam bahasa Urdu dan bahasa Inggris oleh
Ishaq Musa’ad dan Keneth Cragg.
Di Indonesia,
penerjemahan buku ini dimulai oleh A.D. Hanie sekitar tahun 1920-an, kemudian
tahun 1930-an oleh T. Yufizham, dan terakhir oleh K.H. Firdaus yang diterbitkan
pertama kali tahun 1963.
b. Al-Islam
Din al-Ilmu wa al-Madaniah
Buku ini diterbitkan
tahun 1902, yang berisi tentang ulama-ulama yang menimbulkan taklid. Sikap
ulama semacam ini – menurut Muhammad Abduh – membuat umat Islam menjadi mundur.
Taklid membuat kevakuman kreasi umat Islam[12] dan berpegang pada
tradisi.
c. Tafsir
al-Manar
Tafsir al-Manar
merupakan hasil kuliah Muhammad Abduh mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar
sejak tahun 1899. Ia tidak sampai selesai menafsirkan al-Qur’an – telah
terungkap di atas – hanya sebagian saja yang terbit pada masa hidupnya. Tafsir
ini diperiksa dua kali oleh muridnya Rasyid Ridla dan dimuat pertama kali di
majalah al-Manar yang diterbitkan sejak tahun 1899.[13] Perlu diketahui
bahwa penafsiran yang dilakukan Muhammad Abduh diberikan dalam bentuk ceramah
di masjid al-Azhar hanya sampai ayat ke-135 dari surat al-Nisa’.
d. Risalah
al-Waridah
Kitab ini ditulis
oleh Muhammad Abduh ketika masih menjadi mahasiswa di al-Azhar. Isinya
menerangkan tentang ilmu Tauhid dari segi tasawuf.
e. Hasyiyah
‘ala Sharh al-Qawwani li al-Aqa’id al-Adudiah
Buku ini merupakan
ulaasan atau komentar terhadap penjelasan al-Dawanni terhadap akidah-akidah
yang meleset. [14] Buku ini dikarang
tahun 1976, yang menerangkan Muhammad Abduh memasuki perselisihan dengan
menunjukkan pendapat dan sikapnya. Jika dalam buku risalah tauhid ia bersikap
netral, sedangkan dalam buku ini ia memihak salah satunya.
Buku ini banyak
membantu usaha untuk mengetahui corak teologi Muhammad Abduh yang sebenarnya.
Antara ‘risalah tauhid’ dan ‘hasyiyah’ tidak ada pertentangan,
sebab antara teologi rasional dan teologi tradisional, meski ada perbedaan.
f.
Taqrir fi Ishlah
al-Mahakam al-Syar’iyah
Buku ini dikarang
tahun 1900, yang menerangkan kajian pengadilan. Yakni usulan-usulannya tentang
perbaikan pengadilan. Buku ini juga digunakan di sekolah-sekolah hakim.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dengan nama “L’Eourope L’Islam”
oleh M. Thalaat Harb Bey.[15]
Selain karangan
yang tersebut di atas, ada beberapa karya Muhammad Abduh berupa majalah dan
harian umum seperti al-Ahram, Tsamarah al-Funun yang terbit di Beirut, al-Muayyad
dan lainnya.
Pokok
Pemikiran Muhammad Abduh
Kemunduran umat Islam menjadi bahan
renungan Muhammad Abduh, dari sini lahir pemikiran-pemikirannya untuk mengatasi
kondisi tersebut. Sedikitnya melalui empat segi, yakni segi politik dan
nasionalisme, segi kemasyarakatan, segi aqidah dan segi pendidikan dan
bimbingan umum.
1. Segi
Politik dan Nasionalisme
Dalam masalah tanah air, Muhammad Abduh
menggariskan ada hubugan erat antara seseorang dengan tanah air. Ada tiga hal
yang mengahruskan seseorang cinta terhadap tanah airnya, yaitu :
a. Sebagai
tempat kediaman yang memberi makanan, perlindungan, tempat tinggal keluarga dan
sanak saudara.
b. Sebagai
tempat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang keduanya menjadi poros
kehidupan politik.
Dalam menjelaskan masalah demokrasi dan
pemerintahan, Muhammad Abduh mengatakan bahwa prinsip demokrasi harus dipegang
bersama, baik penguasa maupun rakyat. Penguasa harus memberikan kebebasan
kepada rakyatnya untuk bekerja dengan benar agar dapat mewujudkan kebaikan diri
dan masyarakat.
Berkenaan dengan pertalian undang-undang
negara dengan keadaan negara, Muhammad Abduh memandang bahwa pembuat
undang-undangan hendaknya memperhatikan perbedaan yang ada di kalangan rakyat,
baik tingkat kecerdasan, sosial, tabiat, kepercayaan dan kebiasaannya.[17]
2. Segi
Kemasyarakatan
Sebab kemunduran dan ketertinggalan umat
Islam, menurut Muhammad Abduh ialah karena kemiskinan (kelemahan) jiwa dan
bimbingan yang salah terhadap akal. Merajalelanya sifat egois (ananiyah)
dan rusaknya sikap kebersamaan. Sebenarnya telah cukup tuntunan al-Qur’an untuk
mewujudkan masyarakat maju dan berperadaban. Memang al-Qur’an hanya memuat
secara garis besar, namun itulah yang harus menjadi landasan umat Islam dalam
mengatur kemasyarakatannya.[18] Perincian dan
pelaksanaannya diserahkan kepada akal untuk menentukan dan mengubahnya sesuai
dengan perkembangan zaman.
3. Segi
Akidah
Muhammad Abduh mengkritik pendirian
Jabariyah dan menyebutnya sebagai keyakinan yang meruntuhkan syari’at (agama),
menghapuskan hukum taklif (adanya perintah Allah), dan membatalkan hukum
akal yang logis, padahal ini merupakan pilar iman.[19] Daya berfikir dan
kebebasan memilih merupakan sifat dasar alami yang mesti ada pada manusia, ini
adalah sunnatullah, kalau sifat ini tiada maka ia bukan manusia lagi.
4. Segi
Pendidikan dan Bimbingan Umum
Dalam bidang ini, Muhammad Abduh memusatkan
perhatian pada enam hal, yaitu : Fanatik madzhab, Ijtihad dan taklid, Kekuasaan
kita, Kitab-kitab tertentu, Menghidupkan kembali kitab-kitab lama, dan
Pembaharuan al-Azhar.[20] Muhammad Abduh
berkeyakinan bahwa akal dan wahyu terdapat hubungan yang erat, al-Qur’an sebagai
wahyu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap akal. Kemampuan akal dapat
menembus rahasia-rahasia alam bahkan denganyalah kita dianjurkan menyelidiki
seluruh kandungan alam. Namun demikian Muhammad Abduh mengakui keterbatasan
akal dalam dua hal yakni mengenai alam semesta dan rahasia keumuman kitabullah.[21]
Pengakuan Muhammad Abduh ini tidak akan
menyurutkan idenya tentang penggunaan akal untuk menelaah dan mengamati dua
macam ‘ayat’ yang dianugerahkan Allah yaitu al-Qur’an (wahyu) dan ayat
kauniyah (alam semesta). Keterbatasan akal tidak menghalangi keyakinannya
akan manfaat yang dapat timbul dari penelaahan dan penelitian tersebut. Hal ini
dibuktikan oleh Muhammad Abduh dalam memahami kandungan al-Qur’an. Beliau
banyak bertumpu pada akal dalam menafsirkan ayat-ayat Allah, dan meyakini bahwa
kandungan ayat-ayat Allah itu tidak mungkin bertentangan dengan akal.
Prinsip Muhammad Abduh ini seolah ingin
merasionalkan ajaran-ajaran agama serta mempersempit wilayah ‘ghaib’, seperti
pemahaman beliau tentang malaikat dan sihir:
1. Malaikat
Muhammad Abduh memberikan interpretasi
tentang malaikat dengan akal, tidak seperti pada umumnya bahwa malaikat makhluk
yang diciptakan dari cahaya, yang mengemban tugas tertentu. Abduh berpendapat
malaikat bukan merupakan satu ‘person’ tetapi bersifat ‘kekuatan’ yang
berfungsi mengatur mekanisme pertumbuhan dan pertumbuhan makhluk-makhlk di alam
semesta. Selain itu malaikat merupakan makhluk gaib yang tak dapat diketahui
hakikatnya namun harus dipercayai.[22]
2. Sihir
Sihir menurut Muhammad Abduh, sebagaimana
dielaskan dalam al-Qur’an ialah :
تخيل يخدع الأعن
فيريها ما ليس بكائن كائن
Artinya: “ Pengelabuan
yang menipu mata sehingga terlihat apa yang sebenarnya tidak ada menjadi ada”
sebagaimana firman Allah SWT :
يسعى
يخيل اليه من
سحرهم انها
Artinya: “Terbayang
kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka” (Taha : 66)[23]
Muhammad Abduh dengan lantang menentang
segala bentuk ilmu sihir yang dikenal dan dipraktekkan serta dipercayai di
kalangan Mesir. Sihir hanya satu kebohongan yang dilakukan sebagian orang untuk
menipu yang lain. Dalam memahami ayat-ayat tentang sihir, ia berkesimpulan
bahwa sihir pada hakekatnya hanya sesuatu ilmu yang hanya dapat dipelajari dan
diketahui sementara orang untuk menipu yang lain.
Muhammad Abduh tampak tidak memberi alasan
tepat dalam memperkuat pendapatnya. Sihir adalah hal gaib namun ia ingin
membuktikannya melalui logika sehingga mufassirin sesudahnya berpendapat bahwa
Muhammad Abduh menolak adanya sihir itu. Beberapa hadits yang berbicara tentang
sihir dianggapnya tidak benar walaupun telah diriwayatkan oleh periwayat
terkenal dan diterima riwayatnya. Di sinilah tampak bahwa Muhammad Abduh
diilhami pendapat dan pemikiran kaum Mu’tazilah yang tidak percaya adanya
sihir.[24]
Manhaj
Muhammad Abduh Dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Muhammad Abduh memandang kitab tafsir
terdahulu dan masanya tidak selayaknya disebut kitab tafsir, sebab di sana
hanya memaparkan segala pendapat ulama sebelumnya yang tampak berlainan, ada
yang berbincang masalah lain yang jauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan dengan tujuan sebagai petunjuk dan kemaslahatan umat.
Menurutnya tafsir yang baik ialah tafsir yang pembahasannya menukik kepada
redaksi kebahasaan seperti karya tafsir al-Zamakhsyari.[25]
Karya tafsir Muhammad Abduh oleh kalangan
ulama dikelompokkan kepada tafsir adab al-ijtima’i, yang berusaha
meyakinkan bahwa al-Qur’an benar-benar suatu kitab suci yang kekal, yang
menjadi pedoman hidup di segala permasalahan yang ada dalam kehidupan. Dengan
mengungkapkan keindahan bahasa dan pemecahan masalah yang dihadapi umat Islam
serta berupaya menemukan ilmu pengetahuan, di samping menghapus keraguan yang
ada melalui argumen yang kuat dan meyakinkan.
Manhaj tafsir Muhamamd Abduh
diimplementasikan berdasarkan beberapa prinsip, yaitu :[26]
1. Memandang
Surat al-Qur’an satu kesatuan utuh
Dengan pandangan ini Muhammad Abduh berkeyakinan
bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang satu dengan lainnya merupakan kesatuan yang tak
terpisahkan. Persesuaian ini dijadikan sebagai pijakan utama dalam memberikan
makna dalam menilai pendapat-pendapat terdahlu yang berbeda. Dengan keserasian
antar ayat ini ia memberikan penafsiran yang lebih mendalam terhadap hal-hal
yang tidak banyak disinggung oleh ulama-ulama terdahulu.
Muhammad Syaltut menyebutkan, ketika
menjelaskan prinsip ini – sebagaimana terlihat saat menafsirkan surat
al-Baqarah – ia memandangnya sebagai kesatuan yang utuh yang mencakup berbagai
permasalahan. Paling tidak ada dua tujuan seruan yang ada di dalamnya. Pertama
seruan dakwah kepada bani Israil untuk mengingatkan mereka akan nikmat Allah
dan tunduk akan ajaran-Nya. Kedua seruan kepada muslim agar mengambil
prinsip kebaikan dalam hidup untuk diri mereka dan masyarakatnya.[27]
Muhammad Abdullah Darraz melihat pandangan
Muhammad Abduh akan kesatuan makna pada setiap surat adalah hal yang prinsip.
Paling tidak ada beberapa hal seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah,
yakni muqaddimah memuat empat tujuan dan diakhiri dengan penutup.[28] Muqaddimah
menguraikan tentang al-Qur'an dan penjelasan tentang apa yang terkandung di
dalamnya, sebagai petunjuk bagi manusia yang memiliki hati nurani, tidak ada
yang membantah kebenarannya kecuali orang-orang yang dalam hatinya ada
penyakit.
Keempat tujuan dimaksud adalah : Dakwah
kepada seluruh umat manusia untuk memeluk Islam; Dakwah kepada ahli kitab,
khusus untuk meninggalkan kepercayaannya dan masuk kepada agama Islam yang hak;
Menguraikan syari’at Islam; Menyebutkan cara penerapan syari’at dan menghukum
mereka yang melanggar.
Penutup pada surat ini adalah dengan
menyebutkan orang-orang yang menjalankan seruan agama dan tujuannya, dan
orang-orang yang melanggar ajaran itu dengan kehidupan merek di dunia dan
akhirat. Muhammad Abduh tampaknya ingin membawa al-Qur'an sebagai sarana
membangkitkan nilai-nilai Islam. Setiap surat memiliki kesatuan jiwa dan ruh
yang mampu menghidupkan umat Islam dengan hukum-hukum yang dibangunnya.
Bagaimana ini tidak terjadi sebab ia berasal dari Allah yang mampu menghidupkan
kreatifitas manusia.
2. Kandungan al-Qur’an bersifat umum dan berlaku sepanjang
masa
Pandangan ini berawal dari pendapat
Muhammad Abduh akan keberlakuan al-Qur’an di segala masa dan tempat. Ia
memahami al-Qur’an mempunyai sifat umum. Berpijak pada kaidah bahwa keumuman
lafadz yang harus dipegangi dalam menafsirkan al-Qur’an dan bukan keterangan
sebab turunnya yang membuat ayat itu khusus (al-Ibrah bi ‘Umum al-lafdzi la
bi khusus al-sabab”. Berangkat dari kaidah ini, ia banyak memberikan
pengertian-pengertian dan arti-arti yang umum terhadap suatu ayat.
Al-Qur'an bersifat umum dan menyeluruh
maksudnya ialah petunjuknya menyelimuti hingga hari kiamat. Tuntutan, janji dan
ancaman yang ada di dalamnya tidak dapat diyakini hanya berlangsung di dunia.
Contoh kongkret dari pandangan Muhammad Abduh ini ialah ketika ia menafsirkan
awal-awal surat al-Baqarah tentang sifat orang munafik, ia menyatakan sifat ini
berlaku bagi orang munafik di masa kini dan setiap masa. Tidak dibenarkan jika
ada mufassir yang menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk orang munafik di masa
Nabi saw semata.[29]
3. Al-Qur’an
Sumber Utama Pembentukan Hukum
Al-Qur’an adalah suatu tatanan yang
kepadanya akidah harus bertumpu. Sandaran utama dalam beristinbath, kepadanya
seseorang yang hendak menetapkan sesuatu.[30] Muhammad Abduh
menyatakan bahwa kalangan intelektual muslim terdahulu mengambil jalan yang
serupa,s ehingga berkat jasanya petunjuk-petunjuk al-Qur’an dapat dirasakan. Ia
mengajak mufassirin agar mengambil cara ini dalam memahami suatu permasalahan
dan tidak mengesampingkan kitab suci ini.
Muhammad Abduh berprinsip demikian sesuai
dengan apa yang dilakukan Nabi saw ketika hendak mengutus Muadz bin Jabbal ke
Yaman. Landasan utama dalam menetapkan hukum ialah Kitabullah, Sunnah Rasul dan
ijtihad. Abduh ingin menjelaskan kepada mereka yang hanya bertaklid kepada
pendahulunya semata dalam menyikapi permasalahan sampai-sampai ia menulis
penjelasan hadits tersebut dengan menyatakan bahwa hadits ini bukan itujukan
atas madzhab al-Syafi’i. Al-Syafi’i sendiri mengatakan bila hadits ini shahih,
itulah madzhabku dan ikutilah itu.[31]
Para imam mujtahid ketika berijtihad
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul, tetapi tidak dibolehkan bagi kita
untuk mendahulukan pendapat mereka atas Kitabullah. Sebagai contoh saat
menafsirkan ayat tentang tayamum, ia mendasarkan pendapatnya pada firman Allah
yang membolehkan siapa saja yang hendak shalat dalam perjalanan tetapi tidak
ditemukan air, baik ia berhadas kecil atau setelah menggauli isterinya, untuk
bertayamum tanpa memberatkan iri orang itu.
Rasyid Ridla berkomentar, agaknya ia
berbeda pandangan kali ini dengan gurunya. Ia mengemukakan bila itu
diberlakukan untuk masa lalu maka sesuai, tetapi untuk sekarang tampaknya tidak
pas. Alasan Ridla adalah alat transportasi dan jarak perjalanan yang dahulu
cukup sulit, untuk sekarang ini telah berbeda, dan sekarang telah mudah untuk
menemukan air.
Berpegang kepada Kitabullah adalah benar,
tetapi bukan berarti harus meninnggalkan Sunnah Rasul yang berstatus sebagai
penjelas al-Qur’an. Bukankah Allah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya dan
taat kepada Rasul serta ulil amri. Taat kepada Allah berarti berhukum
dengannya, taat kepada Rasul yakni dengan melakukan sunnahnya. Sedangkan ulil
amri ialah para ulama dan mujtahid yang memiliki kedalaman pandangan, tentunya
berlandaskan kedua sumber di atas.[32]
4. Menentang
dan Memberantas Taklid
Muhammad Abduh bukanlah seorang teoritikus,
dia seorang reformis yang berusaha keras untuk membebaskan pemikiran yang pada
saat itu terbelenggu tradisi. Ia ingin membuktikan bahwa al-Qur’an menuntut
umat Islam untuk menggunakan akal mereka serta mengancam orang-orang yang hanya
mengikuti apa yang mereka temui pada generasi terdahulu. Al-Qur’an selalu
otentik dan berlaku dalam setiap masa yang dinamis. Tuntutan al-Qur’an agar
umatnya hijrah telah nyata, menggunakan dalil-dalil dalam menentukan keyakinan
dan permasalahan, bukan hanya bertaklid belaka.[33]
Muhammad Abduh tidak meninggalkan pemahaman
ayat hanya untuk mengikuti pendapat orang dahulu tanpa diiringi usaha berfikir.
Ia melihat kelemahan kaum muslimin di bidang politik, kebudayaan dan lainnya
adalah berpusat dari kurangnya pengembangan diri. Ia mengajak umat Islam untuk
mencontoh perilaku umat Islam pada kurun waktu abad ketiga dan keempat hijrah.
Mereka jaya dengan ilmu dan kebudayaan, sebab mampu menggali potensi dan memahami
nash al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang mempu
menyelesaikan setiap permasalahan kapanpun masanya. Berijtihad adalah jalan
utama untuk sampai kepada kejayaan, dan memerangi taklid merupakan suatu jalan
menuju kemajuan. Ia mengatakan pintu ijtihad tetap terbuka sampai datangnya
hari kiamat.
5. Menggunakan
metode Kritis dan Ilmiah dalam membahas Istimbath Hukum
Manhaj ini ada kaitannya dengan
meninggalkan taklid, dan lebih menekankan kepada pengunaan cara berfikir
falsafi yang menawarkan pemahaman baru dalam berfikir. Muhammad Abduh memandang
cara seperti ini sebenarnya telah ada dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang
mengajak menggunakan akal dalam memahami kejadian alam atau al-Qur’an sendiri.
Seperti yang terdapat pada surat al-Thariq ayat ke 5- 8 sebagai berikut :
هو الذي خلق لكم ما في الارض جمبعا ثم استوى الى السماء فسواهن سبع
سموات وهو بكل شيء عليم (البقرة 26 )
Ada dua macam kenikmatan yang dapat
diambil dari ayat ini, yakni : Pertama, mengambil manfaat dengan memperhatikan
segala sesuatu untuk kehidupan jasmaniah. Kedua, menelaah dan merenungi untuk
khidupan akliyah.[34]
6. Penggunaan
Otoritas Akal dalam Menafsirkan al-Qur’an
Al-Qur’an telah memuliakan akal di berbagai
tempat, bahkan menjadikannya sebagai salah satu sarana penetapan dasar hukum
(ijtihad). Akal dapat menghindarkan manusia terjerumus ke dalam neraka, ini
dipahami dari ayat :
وقالوا لوكنا نسمع أو نعقل
ما كنا في أصحاب السعير
Untuk menentukan makna ayat atau kata
tertentu, Muhammad Abduh banyak memperhatikan konteksnya. Ini merupakan hal
biasa yang dilakukan. Dalam memecahkan masalah, ia sering mengganti dan
mempertimbangkan konterks kalimat.
Wahyu dan akal adalah pemberian Allah dan
dijadikan untuk menunjukkan manusia mana yang terbaik. Sebab itu keduanya tidak
akan bertentangan . Muhammad Abduh sepaham dengan Mu’tazilah dalam menggunakan
akal untuk memahami kandungan al-Qur’an, perbedaannya ialah bila Mu’tazilah
bersandar pada akal ketika memahami ayat untuk menguatkan madzhabnya. Lain
halnya dengan Muhammad Abduh,[35] yang murni
bertujuan untuk penggalian hukum dari al-Qur’an bahkan ia sepakat untuk
memerangi bentuk taklid terhadap suatu madzhab.
7. Tidak
Merinci Persoalan yang Mubham
Ia memandang al-Qur’an sebagai sumber
hidayah, petunjuk keagamaan dan spiritual. Menurutnya seseorang yang memberikan
pejelasan suatu ayat seharusnya tidak menjelaskan sesuatu yang sengaja tidak
dijelaskan oleh al-Qur’an. Seorang mufassir itu diwajibkan menjelaskan teks sebagaimana adanya atau
tidak menambah-nambah. Mufassir, tambah Muhammad Abduh tidak mempunyai hak
untuk mengidentifikasi segala sesuatu yang sengaja disebutkan secara mubham,
selayaknya hanya melihat konteks ayat tersebut dalam menentukan maknanya[36]
Hal-hal yang disebutkan secara
mubham di antaranya seperti keadaan “shirath, mizan, jannah, nar” dan
lainnya. Dalam menentukan dan memahami makna kata-kata tersebut, Abduh
menjelaskan secara jelas dan singkat seperti yang dikemukakan para salaf, yakni
kita hanya diwajibkan mengimaninya, sedangkan makna hakikinya diserahkan Allah.[37]
Pada kenyataannya tidak selama
prinsip ini dipegang, terbukti Muhammad Abduh telah berusaha merinci kandungan
ayat 3 dan 4 dari surat al-fiil yang berbicara tentang burung ababil dan
bebatuan yang diturunkan Allah untuk menghancurkan tentara gajah. M. Quraish
Shihab[38] menjelaskan, ini
adalah salah satu ketidak-konsistenan Abduh dalam memegang prinsip tidak
merinci hal yang disebutkan secara mubham, apakah ia sengaja dengan penjelasan
ini atau memang lupa akan hal tersebut.
Muhammad Abduh merinci pengetian (thairan
ababil” dengan sejenis lalat atau nyamuk yang membawa bakteri-bakteri dan
mengakibatkan penyakit cacar dan campak. Keterangan ini dikemukakannya
berdasarkan sebuah riwayat yang dinilai mutawatir. Ia menutup uraiannnya dengan
menyatakan, tidak ada salahnya untuk mempercayai burung tersebut dari jenis
nyamuk dan lalat yang membawa benih penyakit tertentu.[39]
8. Menolak
Gaya Tafsir bi al-Ma’tsur
Ungkapan yang tepat ialah bahwa Muhammad
Abduh tidak sepaham dengan cara penafsiran yang menggunakan hadits-hadits
tertentu dalam memahami ayat – seperti tentang sihir – dan kisah-kisah tentang
israiliyyat. Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, ini selayaknya dipahami
melalui bahasa Arab, tidak usah mencari keterangan dari kisah atau riwayat yang
masih dipertentangkan kebenarannya.
Ada ungkapan menarik dari Muhammad Abduh
saat menyikapi pola penafsiran bil ma’tsur; ini terlihat pada pernyataannya
bahwasannya Allah tidak akan bertanya kepada kita tentang perkataan orang-orang
dan pemahamannya terhadap al-Qur’an, yang ditanyakan ialah tentang kitabullah
dan Sunnah Rasulullah saw. Pertanyaan itu ialah apakah kamu telah sampai
risalah itu? Apakah kamu telah merenungi apa yang disampaikannya kepadamu ?
Apakah kamu memikirkan apa yang Kami larang untukmu dan apa yang Kami
perintahkan?[40]
9. Memahami
al-Qur’an dengan Konteks Kehidupan Sosial
Ciri ini merupakan salah satu sebab
dimasukkannya tafsir Muhammad Abduh ke dalam corak adab ijtima’i. Ia
berusaha memahami ayat dikaitkan dengan kehidupan sosial, alasannya adalah
al-Qur’an sebagai sumber petunjuk tentunya memiliki petunjuk untuk
menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
Dengan corak inilah ia meyakini bahwa
al-Qur’an benar-benar menjadi hidayah manusia dalam kehidupannya. Al-Qur’an
dapat menawarkan jalan keluar dan membimbing ke arah kemajuan. Semua ini dapat
dilihat tatkala beliau menafsirkan ayat
yang berbunyi "فاما اليم فلا تقهر" dengan jangan kamu menghinanya, tetapi pergauli ia dengan adab
dan akhlak yang mulia.[41]
Ada beberapa point yang menjadi
penekanan penafsiran Muhammad Abduh saat
menyinggung permasalahan sosial kemasyarakatan, yakni: Pembentukan
perundang-undangan hidup sosial yang Islami; Hak-hak inividu dan masyarakat;
Hikmah pensyari’atan ibadah; Mengokohkan kepribadian muslim; Ajakan untuk
menuntut ilmu; Membrantas gaya hidup mewah dan megah-megahan; Mudlaratnya
beristeri banyak; Tatakrama pergaulan Islami.
[42]
Penutup
Muhammad Abduh seorang mujtahid, mujaddid
dan ilmuan muslim berwawasan luas yang menawarkan pemikirannya untuk
kemaslahatan, kemajuan dan kejayaan umat Islam. Manhaj Muhammad Abduh dalam
menafsirkan al-Qur’an lebih ditekankan kepada pengenalan al-Qur’an sebagai
sumber ajaran dan petunjuk bagi manusia. Penafsiran terhadap al-Qur’an harus
ditujukan untuk pemecahan permasalahan yang dihadapi dan tidak membahas
ilmu-ilmu lain yang dapat menjauhkan kandungannya. Hal itu didasarkan pada
pemahaman bahasa Arab dan ketajaman akal dalam mengangkap kandungan ayat.
Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad,
Tafsir Juz ‘Amma, Pent Muhammad Bagir (Bandung; Mizan, 199)
_______,
Risalah Tauhid, Alih Bahasa K.H. Firdaus AN, (jakarta; Bulan Bintang,
1992).
Dewan Redaksi,
Ensiklopedia Islam, (Jakarta; Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1993), jld. III.
Hanafi,
Ahmad, Pengantar Theologi Islam, (jakarta; al-Husna Zikra, 1995).
Jansen,
J.J.G., Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Terj. Harussalim,
(Yogjakarta; Tiara Wacana Yogya, 1997).
Nasution,
Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta; UI
Press, 1987).
_______,
Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1992).
_______,
Islam Rasional, (Bandung; Mizan, 1995).
Nawawi,
Rif'at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Akidah dan Ibadah (Jakarta;
Paramadina, 2002)
Ridla, Muhammad
Rasyid, Tafsir al-Manar (Dar al-Fikr, tt),
Shihab, M. Quraisy,
Study Kritis Tafsir al-Manar, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1994).
Syazali, Munawir, Islam
dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta; UI Press, 1990).
Syahatah, Abdullah
Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh fi Tafsir al-Qur’an al-Karim,
(Kairo; Nasyr al-Rasail al-Jami’iyah, 1993).
al-Zahabi, Muhammad
Husein, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Baghdad; Dar al-Kutub al- Haditsah,
1976), jld. I & II.
[1] Dosen Prodi Tafsir Hadits Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[29] Ibid, h. 45.
[31] Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh…, h. 49.
[32] Ibid, h. 52.
[34] Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar…,
h. 249.
[35] Syahatah, Manhaj al-Imam
Muhammad Abduh…, h. 84 & 97.
[36] Jansen, Diskursus Tafsir
al-Qur’an Modern…, h. 40.
[37] Syahatah, Manhaj al-Imam
Muhammad Abduh…, h. 140.
[38] Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma,…,
h. ix.
[39] ibid, h. 322.
[40] Syahatah, Manhaj al-Imam
Muhammad Abduh…, h. 164..
[41] Ibid, h. 171.
[42] Ibid, h. 170-191.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar