Rabu, 25 September 2013

Hadits Ahad (Studi Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Aqidah)

Hadits Ahad
(Studi Kehujjahan Hadits Ahad Dalam  Aqidah)




Oleh:
Ahmad Zumaro[1]


Abstrak
     Ajaran nabi yang tertuang dalam hadits/sunnah memang menjadi sesuatu yang hangat diperbincangkan baik dari segi sanad maupun matan;kalangan intern maupun ekstern (non-muslim). Usaha ulama untuk menjaga dalam memilah hadits sangatlah ketat untuk menjaga kevaliditasan suatu hadits. Penerimaan  hadits dari banyaknya perowi dari tiap thobaqot menimbulkan istilah sendiri dan menjadi polemik dalam penggunaannya masalah aqidah. Ahad-Mutawatir istilah ini menjadi diskusi panjang di kalangan para ulama mutaqoddimin dan mutakhirin dengan argumennya masing-masing, karena itu masih ada peluang bagi kita untuk meninjau kembali kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah.

Kata kunci: ahad, mutawatir dan hujjah



Pendahuluan
            Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadits berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi  kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadits jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an.
Untuk kepentingan validitas dan sterelisasi hadits, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadits melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadits dengan menilai para perawi hadits dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadits tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadits terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadits.
Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadits, timbullah bermacam-macam istilah tentang rangkaian sanad yang mana pada masa rasul tidak digunakan istilah-istilah tersebut.  Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadits mutawatir dan ahad. Bilangan sanad inilah yang menjadikan perbedaan dalam menentukan boleh tidaknya suatu hadits dipakai dalam masalah aqidah, karena ada golongan yang berkeyakinan bahwa hadits ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal aqidah, mereka beralasan hadits ahad bukan sumber pasti dan tidak dapat memberikan khobar yang bersifat keilmuan dan yakin. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan memaparkan tentang penggunaan hadits Ahad  dalam masalah aqidah.

Pengertian Hadits Mutawatir dan Ahad
a.  Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir dan hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita. Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawaatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.  Ada empat syarat satu hadits dikatakan mutawatir :
1.    Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.[2]
2.    Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3.    Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta
4.    Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka [3] kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
       b. Pembagian hadits Mutawatir
            Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :Mutawatir Lafzhy   dan Mutawatir Maknawi
  1. Mutawatir Lafzhy adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir. Misalnya hadits :

ِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ أَنَسٌ إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِي أَنْ أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Artinya: ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat dari api neraka[4]
           
            Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
  1. Mutawatir Ma’nawy adalah maknanya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa.

 أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Artinya: “dari Abu Musa Aly’ari berkata Nabi SAW; Nabi Saw berdoa kemudaian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih kedua ketiaknya”.
Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 50 sahabat tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.  Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.[5]

Hadits Ahad
Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”.  Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”. 
            Abdul Wahab Khalaf mendefenisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perowi terakhir. Keadaan perowi ini terjadi sejak perowi pertama sampai perowi terakhir.[6]
            Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
1.                     Hadits Masyhur
Masyhur (atau juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :
 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Artinya: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang ‘alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan[7]

2.                     Hadits Aziz
Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadits Aziz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

Artinya: ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia”[8]

3.                     Hadits Gharib
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
            Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya”.[9]
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh ‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id.  Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perbedaan (ciri khusus) yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Ghorb nisbi tidak berkaitan dengan jumlahperowi namun . pada kondisi yang asing atau beda bila dibanding dengan kondisi sanad lain. Perbedaan tersebut berkaitan dengan tempat atau sifat perowi. Misalnya : Hadits, “rasulullah pada hari raya idul fitri dan adha membaca surat Qaf dan surat al-Qomar”. [10]

Argumentasi Penolak Hadits Ahad Sebagai Dalil Aqidah
Pembagian hadits dari segi kuantitas ahad-mutawatir sehingga menimbulkan penolakan terhadap penggunaan hadits ahad dalam masalah aqidah banyak dituduhkan kepada kelompok Mu’tazilah. Menurut Ibn Hazm seperti yang dikutip oleh Ali Mustofa Ya’qub, “umat islam secara keseluruhan, baik ahlussunah, khawarij, Syiah dan Qodariyah menerima hadits ahad. Baru pada awal abad kedua hijri para ahli ilmu kalam dari kelompok Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang konsensus umat tadi. Memang, al-Nadhom (wafat antara 221-223 H) dan Muhammad Abd Wahhab Abu Ali al-Jubba’I (w.303 H) disebut sebagai orang yang berpendapat demikian, sementara keduanya berasal dari kelompok Mu’tazilah. Namun tidak ada kejelasan apakah hal ini merupakan pendapat resmi kelompok Mu’tazilah atau pendapat mereka sendiri. Sebab ulama Mu,tazilah yang lain tidak berpendapat seperti ini.
Pendapat tidak dapat dijadikan hadits ahad sebagai hujjah juga disetujui oleh banyak ulama kontemporer, seperti: Muhammad Syaltut dan Muhammad Ghozali. Menurut mereka  bahwa, “akidah tidak dapat ditetapkan melainkan dengan keterangan yang pasti sumbernya dan tegas tujuannya. Sehubungan dengan itu perlu diterangkan pula prinsip yang menentukan sunnah itu qoth’I atau zonni harus memperhatikan keadaan sunnah kurang pasti ialah dari dua segi; sumbernya dan tujuannya. Dalam hubungan ini terdapat tiga kemungkinan; pertama, keraguan apakah hubungan riwayat itu sampai kepada Rasullullah atau tidak. Ini menurutnya tidak pasti. kedua, keraguan tentang tujuannya, bisa kepada dua tiga pengertian. Dan ini juga menurutnya tidak pasti tujuannya. Ketiga, keraguan dalam dua hal, sumber dan tujuannya. Akidah islam tidak dapat ditetapkan dengan hadits dari ketiga macam itu. Hadits yang dapat menetapkan aqidah dan yang boleh dijadikan alasan untuk aqidah ialah hadits yang bersumber pasti dan bertujuan tegas. Menurutnya hadits yang bersumber pasti dan tegas adalah hadits mutawatir dan jumlah hadits mutawatir sangat sedikit.[11] Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai berikut:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Yunus: 36]

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Artinya: “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 27-28][12]

Argumentasi Penerima Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Hal Aqidah
Hadits sebagai hujah dalam berbagai macam aspek keagamaan, para ulama sepakat menerima hadits mutawatir tanpa ada penyangkalan sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadits mutawatir memberikan suatu kepastian yang sifatnya qath’i, wajib diyakini, karena disampaikan oleh sejumlah perowi yang kuantitasnya banyak dari setiap generasi ke generasi, di mana secara kebiasaan, mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Lain halnya dengan hadits ahad yang hanya memberikan zhan (dugaan) yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa perowi yang tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang didistorsi oleh seorang atau beberapa perowi. Hal ini berdampak pada sebagian sikap umat Islam yang tidak menerima hadits ahad sebagai dalil dalam masalah akidah. Karena menurut mereka hadits ahad yang sifatnya zhon tidak dapat dijadikan dalil dalam hal-hal yang sifatnya qath’i, seperti akidah.
Argumen kelompok penerima kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah dengan hadits maupun al-Quran.

$tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts ÇÈ

Artinya:   Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At Taubah: 122)

Menurut ayat di atas, merupakan fardhu kifayah bagi sebagian kelompok orang-orang mukmin untuk pergi mendalami agamanya meliputi aspek aqidah atau pun hukum. Thaifah (kelompok) dalam bahasa Arab mengandung arti satu orang atau lebih.[13]
Kalau sekiranya tidak boleh berhujjah dengan hadits ahad dalam aspek aqidah maupun hukum, niscaya Allah     dalam ayat di atas, tidak mengkhususkan mereka  untuk menyampaikan ilmu (tabligh), (“Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya). Dengan demikian ayat tersebut menegaskan bahwa ilmu termasuk kandungan hadits ahad.

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ

Artinya: “Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang mendengarkan hadits dari kami lalu menghafalnya hingga menyampaikannya. Berapa  banyak orang yang mendengar hadits dari kami lalu menghafal hingga menyampaiknnya. Berapa banyak orng yang membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham dari padanya, dan berapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak mengerti”.[14]


Bantahan terhadap dalil al-Quran pun mereka gunakan. Pemakaian kata zhon  memiliki makna kontradiktif. Bisa bermakna ragu bisa pula bermakna yakin.  zhon adalah keraguan (syak) yang muncul dalam hatimu lalu engkau berusaha meneliti dan menghukuminya. Menghukumi yaitu jika zhon itu lemah disebut waham. Jika zhon itu kuat dengan adanya dalil-dalil kebenaran dan kejelasan beberapa qarinah (indikasi) maka disebut ilmu dan yakin. Dalam Alquran terdapat kata zhon yang merujuk masalah aqidah dan Allah memujinya. Ayat yang menjelaskan tentang orang yang khusyu’ dalam sholat adalah “alladzina yazhunnuna annahum mulaaqu Rabbihim wa annahum ilahi raaji’un” (QS. Al-Baqarah: 46). Menurut ulama tafsir antara lain Wahbah Zuhaili, zhon dalam ayat itu bermakna keyakinan yang pasti yang tidak dipengaruhi oleh keraguan[15]. Demikian pula,  zhon yang berkaitan dengan hadits ahad yang shohih adalah zhon yang meyakinkan, sebab indikasi kebenaran otentisitasnya sebagai sabda Nabi SAW telah dibuktikan melalui serangkaian penelitian. Sementara menolak berhujjah dengannya berarti mengalihkan keyakinan kepada hal yang berlawanan dengan petunjuk yang dibawa hadits itu. Padahal, keyakinan untuk tidak meyakini itu sendiri haruslah didasarkan pada pegangan yang kuat dan bukan hanya didasari persangkaan (zhon) itu sendiri.

Analisis Kehujjahan  Hadits Ahad Dalam Aqidah
Kontroversi tentang apakah hadits ahad dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah atau tidak sesungguhnya berawal dari perdebatan tentang apakah hadits ahad itu berfaedah qath’i atau zhonni. Perdebatan yang belum sampai pada kata sepakat ini berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadits ahad sebagai hujjah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat memberikan suatu kepastian yang qath’i tentu berpendapat bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah akidah. Sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad hanya memberikan suatu pengetahuan yang sifatnya zhonni akan menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah.
Pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu dha’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :
  1. Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).[16]
  2. Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits Dhla’if, Maudlu’.[17]
Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.
Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dhorury (aksiomatik). Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nazhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan), maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan).
Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak.
Penentuan jumlah perawi tertentu yang bersifat baku justru tidak realistis mengingat perbedaan yang cukup signifikan pada kualitas ke-tsiqoh-an tiap-tiap perawi sebagaimana tinjuan ilmu al-jarh wa ta’dil. Perbedaan peringkat ta’dil sejumlah perawi tertentu dengan perawi yang lainnya berimplikasi pada perbedaan bobot kesahihan hadis yang diriwayatkan masing-masing. Dengan demikian, logis bila penetapan standar minimal tertentu untuk jumlah perawi mutawatir sulit dilakukan.
As-Sayuti di dalam bukunya menjelaskan, “sesungguhnya para ulama khususnya muhadditsin, tidak pernah mengatakan bahwa hadits-hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah-masalah aqidah. Yang mereka katakan hanyalah hdis shahih dan hadits hasan dapat menjadi hujjah dalam ajaran islam, baik masalah aqidah, syariah, maupunakhlak. Sedangkan hadits dhoif tidak dapat menjadi hujjah dalam masalah aqidah dan syariah tetapi hanya dapat dipakai dalam masalah fadhoilul a’mal dengan syarat-syarat tertentu.[18]
Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada banyak sekali aqidah Islam yang harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafat nabi SAW di hari akhir, mukjizat nabi SAW selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi SAW di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan seterusnya.[19]

Kesimpulan
            Masalah hadits ahad, apakah dapat menjadi dalil dalam aqidah atau tidak, memang telah menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama-ulama sejak dahulu hingga kini. Mereka telah mencurahkan segenap kemampuan dan keikhlasan untuk berpendapat dengan berbagai argumen dalil masing-masing. faktor terpenting bukan hanya bersandar pada kuantitasnya tetapi sempurnanya kepercayaan kepada kualitas perawi. Mantapnya keyakinan dalam menerima hadis ahad bergantung pada penelitian dan langkah-langkah ilmiah dalam menverifikasi otentisitas dan validitas hadis . Jika faktor-faktor kesamaran yang meragukan dapat dihilangkan maka implikasinya adalah keyakinan semakin bertambah kepada otentitas dan otoritas hadis tersebut. Kehujjahan hadits ahad dapat dipergunakan dalam masalah aqidah, apabila  sudah diteliti dari berbagai aspek sehingga hadits itu  memenuhi kriteria hadits sahih.
Daftar Pustaka


‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401/1981)
al-Khatib, ‘Ajjaj, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,1989)
al-Suyuthi, Tadrib al-Rowi fî Syarh Taqrib al-Nawawi, edisi Abî Ya’qûb Nasy’at ibn Kamâl al-Mishrî, (Kairo: Dâr al-‘Aqîda, 2008)
Al-Thahan Mahmud, Taysîr Musthalah al-Hadîts, (Beirut:Dâr al-Fikr, t.t.)
Hajar, Ibnu, Nuzhatun-Nadhar Fii Taudliihi Nukhbatil-Fikar, (Semarang:Maktabah Munawwaroh, Tth)
Idris Syafii, Muhammad, ar-Risalah, (Beirut;Darul Fikr, tth)
Khallaf, Abdul Al-Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Indonesia:Almajlis Al-A’la Al-Indonesia Li Da’wah Al-Islamiyah)
Shihab M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta;Lentera Hati, 2004), Vol.V, H.750
Syaltut, Mahmud, Akidah Dan Syariah Islam, Alih Bahasa:Facruddin Hs, (Jakarta:Bumi Aksara, 1994)
Yaqub,  Ali Mustafa, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000)
Zuhaili, Wahbah, at-Tafsir al-Munir, (Damsyik:Darul Fikr, 2009)























[1] Dosen STAIN Jurai Siwo Metro, LAmpung
[2] Ulama hadits juga berbeda pendapat dalam menetapkan banyaknya jumlah perowi hadits mutawatir. Ada yang mengatakan 5 orang diqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar ulul azmi. Lainyya mengatakan 12 bedasarkan surat al-Maidah;12, sebagian ulama mengatakan 20 orang berdasrkan surat al-Anfal;65, ada juga yang mengatakan 40 sesuai dengan surat al-Anfal;65 dan masih ada pendapat lainnya. Ketidak sepakatan dalam jumlah inilah yang menjadi perdebatan di kalangan muhaddisin, tetapi mereka sepakat bahwa hadits mutawatir mempunyai nilai ilmu dhoruri, yakni;keharusan menerima dan mengamalkannya. Para perowi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan dan kedhobitnnya, sebab persyaratannya yang begitu ketat.
[3] Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadits, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401/1981) ,h. 404, ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,1989), h. 301, al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, edisi Abî Ya’qûb Nasy’at ibn Kamâl al-Mishrî, Kairo: Dâr al-‘Aqîda, 2008), h. 390 dan Mahmud Al-Thahan, Taysîr Musthalah al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., h.19
[4] Bukhori, Shohih Bukhori, Kitab Al-Ilmu;Kitab Ismu Man Kadzaba ‘Alanabi, Hadits No.104
[5] Ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa selepas shalat  nabi mengangkat tangan, saat di arofah beliau mengangkat tangan, saat mendoaakan sahabat beliau mengangkat tangan, ketika selesai shalat istisqo beliau berdoa lalu mengangkat tangan.
[6] Abdul Al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Indonesia:Almajlis Al-A’la Al-Indonesia Li Da’wah Al-Islamiyah, 1972, h.42
[7] Bukhori,  Kitab Al-Ilmu;Kitab Kayfa Yaqbidhu Al-Ilmu, Hadits.No.98
[8] Bukhori,  Kitab al-Iman:bab Hubb ar-Rasul minal Iman, hadits no.13
[9] Bukhori, Shohih Bukhori, Bab. Bad’ulwahyi;Kitabbad’ulwahyi, Hadits No.1
[10] Hadits ini diriwatkan oleh imam muslim. Pada perowi ini terdapat nama Dumrah bin Said al-muzani disifati tsqoh. Tidak seorangpun dari perowi tsiqoh yang meriwayatkan selain dirinya. Disifati menyendiri tentang ketsqohannya.
[11]Mahmud Syaltut, Akidah Dan Syariah Islam, Alih Bahasa:Facruddin Hs, Jakarta:Bumi Aksara, 1994, h. 57-59. Lihat Pengertian hadits mutawatir
[12] Dari ketiga ayat tersebut bahwa sesuatu yang zhonni tidak dapat dijadikan hujjah karena tidak menghasilkan kepastian.
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta;Lentera Hati, 2004, Vol.V, h.750
[14]Hadits ini jelas sekali menegaskan bahwa mendengar hadits yang menyampaikannya kembali, meski dilakukan hanya oleh satu orang saja, dapat dilakukan dan dibenarkan. Baik terkait dalam masalah aqidah, syariah atau muammalah.
[15] Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Damsyik:Darul Fikr, 2009, h.167
[16] Krteria hadits maqbul adalah sanadnya bersambung, dirawayatkan oleh perowi yang tsiqoh, tidak ada unsur syadz dan illat. Imam Syafe’i orang pertama yang menetapkan kriteria ini.
[17] Hadits mardud ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian hadits maqbul. Para ulama menelompokkan menjadi dua; hadits dhoif dan ma’dhu’
[18] Op.cit, Jalaluddin As-Sayuti, h.160
[19] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, h.133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar