Hadits Ahad
(Studi Kehujjahan Hadits Ahad
Dalam Aqidah)
Oleh:
Ahmad Zumaro[1]
Abstrak
Ajaran
nabi yang tertuang dalam hadits/sunnah memang menjadi sesuatu yang hangat
diperbincangkan baik dari segi sanad maupun matan;kalangan intern maupun
ekstern (non-muslim). Usaha ulama untuk menjaga dalam memilah hadits sangatlah
ketat untuk menjaga kevaliditasan suatu hadits. Penerimaan hadits dari banyaknya perowi dari tiap
thobaqot menimbulkan istilah sendiri dan menjadi polemik dalam penggunaannya
masalah aqidah. Ahad-Mutawatir istilah ini menjadi diskusi panjang di kalangan
para ulama mutaqoddimin dan mutakhirin dengan argumennya masing-masing, karena
itu masih ada peluang bagi kita untuk meninjau kembali kehujjahan hadits ahad
dalam masalah aqidah.
Kata kunci: ahad, mutawatir dan hujjah
Pendahuluan
Hadits
sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan
lagi. Namun karena proses transmisi hadits berbeda dengan proses Al-Qur’an,
maka dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang
membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara mutawatir.
Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadits jauh lebih lama
setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an.
Untuk
kepentingan validitas dan sterelisasi hadits, dalam proses dan perkembangan
selanjutnya para ulama hadits melakukan upaya serius berupa penyeleksian
terhadap hadits dengan menilai para perawi hadits dari berbagai thabaqat secara
ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadits tidak secara otomatis selamat dan
langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadits
terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat
kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu
hadits.
Ulama
demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadits, timbullah bermacam-macam
istilah tentang rangkaian sanad yang mana pada masa rasul tidak digunakan
istilah-istilah tersebut. Setelah diukur
dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadits mutawatir dan ahad. Bilangan
sanad inilah yang menjadikan perbedaan dalam menentukan boleh tidaknya suatu
hadits dipakai dalam masalah aqidah, karena ada golongan yang berkeyakinan
bahwa hadits ahad bukan hujjah (argumentasi) dalam hal aqidah, mereka beralasan
hadits ahad bukan sumber pasti dan tidak dapat memberikan khobar yang bersifat
keilmuan dan yakin. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan memaparkan
tentang penggunaan hadits Ahad dalam
masalah aqidah.
Pengertian Hadits Mutawatir
dan Ahad
a. Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir
dan hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits dilihat
dari segi sampainya kepada kita. Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il
dari at-tawaatur yang artinya
berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “hadits yang diriwayatkan
oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari
melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut
akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan
hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”. Ada empat syarat satu hadits dikatakan
mutawatir :
1.
Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.[2]
2. Jumlah
yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3. Menurut
kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta
4. Sandaran hadits mereka
dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka [3]
kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti
itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat
dikatakan sebagai hadits mutawatir.
b. Pembagian hadits Mutawatir
Hadits
mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :Mutawatir
Lafzhy dan Mutawatir Maknawi
- Mutawatir Lafzhy adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir. Misalnya hadits :
ِ
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ أَنَسٌ إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِي أَنْ أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا
كَثِيرًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَمَّدَ
عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya: ”Barangsiapa
yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam)
maka dia akan mendapatkan tempat dari api neraka”[4]
Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang
shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
- Mutawatir Ma’nawy adalah maknanya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa.
أَبُو مُوسَى
الْأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ
وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ
Artinya: “dari Abu Musa Aly’ari berkata Nabi
SAW; Nabi Saw berdoa kemudaian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat
putih kedua ketiaknya”.
Hadits ini telah diriwayatkan
dari Nabi sekitar 50 sahabat tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya
dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir.
Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara
hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.[5]
Hadits
Ahad
Ahad menurut bahasa mempunyai
arti “satu”. Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah
adalah “hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”.
Abdul
Wahab Khalaf mendefenisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh
satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah
perowi terakhir. Keadaan perowi ini terjadi sejak perowi pertama sampai perowi
terakhir.[6]
Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
1.
Hadits Masyhur
Masyhur (atau
juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh)
menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga)
perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas
mutawatir”. Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو
بْنِ الْعَاصِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ
يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ
النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Artinya: ”Sesungguhnya
Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan
tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah
tidak terdapat seorang yang ‘alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai
pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan
menyesatkan”[7]
2.
Hadits Aziz
Aziz secara
bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadits Aziz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang
diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya : Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Artinya: ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku
(Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh
manusia”[8]
3.
Hadits Gharib
Gharib secara
bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan
periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi
cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang
lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai
hadits gharib). Sebagian ulama’ lain
menyebut hadits ini sebagai Al-Fard.
Hadits gharib dibagi menjadi dua :
Gharib Muthlaq,
disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq;
yaitu bilamana kesendirian (gharabah)
periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada
niatnya”.[9]
Hadits ini diriwayatkan
sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh
‘Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari ‘Alqamah. Kemudian
Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu,
ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib
muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya
sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi;
yaitu hadits yang dalam sanadnya terdapat perbedaan (ciri khusus) yang
membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Ghorb nisbi tidak berkaitan dengan
jumlahperowi namun . pada kondisi yang asing atau beda bila dibanding dengan
kondisi sanad lain. Perbedaan tersebut berkaitan dengan tempat atau sifat
perowi. Misalnya : Hadits, “rasulullah pada hari raya idul fitri dan adha
membaca surat Qaf dan surat al-Qomar”. [10]
Argumentasi Penolak Hadits Ahad Sebagai Dalil
Aqidah
Pembagian hadits dari segi
kuantitas ahad-mutawatir sehingga menimbulkan penolakan terhadap penggunaan
hadits ahad dalam masalah aqidah banyak dituduhkan kepada kelompok Mu’tazilah.
Menurut Ibn Hazm seperti yang dikutip oleh Ali Mustofa Ya’qub, “umat islam
secara keseluruhan, baik ahlussunah, khawarij, Syiah dan Qodariyah menerima
hadits ahad. Baru pada awal abad kedua hijri para ahli ilmu kalam dari kelompok
Mu’tazilah berpendapat lain. Mereka menentang konsensus umat tadi. Memang,
al-Nadhom (wafat antara 221-223 H) dan Muhammad Abd Wahhab Abu Ali al-Jubba’I
(w.303 H) disebut sebagai orang yang berpendapat demikian, sementara keduanya
berasal dari kelompok Mu’tazilah. Namun tidak ada kejelasan apakah hal ini
merupakan pendapat resmi kelompok Mu’tazilah atau pendapat mereka sendiri.
Sebab ulama Mu,tazilah yang lain tidak berpendapat seperti ini.
Pendapat tidak dapat
dijadikan hadits ahad sebagai hujjah juga disetujui oleh banyak ulama
kontemporer, seperti: Muhammad Syaltut dan Muhammad Ghozali. Menurut
mereka bahwa, “akidah tidak dapat
ditetapkan melainkan dengan keterangan yang pasti sumbernya dan tegas
tujuannya. Sehubungan dengan itu perlu diterangkan pula prinsip yang menentukan
sunnah itu qoth’I atau zonni harus memperhatikan keadaan sunnah kurang pasti
ialah dari dua segi; sumbernya dan tujuannya. Dalam hubungan ini terdapat tiga
kemungkinan; pertama, keraguan apakah hubungan riwayat itu sampai kepada
Rasullullah atau tidak. Ini menurutnya tidak pasti. kedua, keraguan tentang
tujuannya, bisa kepada dua tiga pengertian. Dan ini juga menurutnya tidak pasti
tujuannya. Ketiga, keraguan dalam dua hal, sumber dan tujuannya. Akidah islam
tidak dapat ditetapkan dengan hadits dari ketiga macam itu. Hadits yang dapat
menetapkan aqidah dan yang boleh dijadikan alasan untuk aqidah ialah hadits
yang bersumber pasti dan bertujuan tegas. Menurutnya hadits yang bersumber
pasti dan tegas adalah hadits mutawatir dan jumlah hadits mutawatir sangat
sedikit.[11]
Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang dikatakan
tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai berikut:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ
أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit
pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka kerjakan.” [Yunus: 36]
وَإِن تُطِعْ
أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا
الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Artinya: “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan
orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain
hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]
إِنَّ الَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat
itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun
tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan
persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm:
27-28][12]
Argumentasi Penerima
Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Hal Aqidah
Hadits sebagai hujah dalam
berbagai macam aspek keagamaan, para ulama sepakat menerima hadits mutawatir
tanpa ada penyangkalan sedikitpun. Hal tersebut dikarenakan hadits mutawatir
memberikan suatu kepastian yang sifatnya qath’i,
wajib diyakini, karena disampaikan oleh sejumlah perowi yang kuantitasnya
banyak dari setiap generasi ke generasi, di mana secara kebiasaan, mereka tidak
mungkin sepakat untuk berdusta. Lain halnya dengan hadits ahad yang hanya
memberikan zhan (dugaan)
yang sifatnya tidak pasti, karena hanya disampaikan oleh beberapa perowi yang
tidak sampai pada derajat mutawatir, dan bisa dimungkinkan ada berita yang
didistorsi oleh seorang atau beberapa perowi. Hal ini berdampak pada sebagian
sikap umat Islam yang tidak menerima hadits ahad sebagai dalil dalam masalah
akidah. Karena menurut mereka hadits ahad yang sifatnya zhon tidak dapat dijadikan dalil
dalam hal-hal yang sifatnya qath’i,
seperti akidah.
Argumen kelompok penerima
kehujjahan hadits ahad dalam masalah aqidah dengan hadits maupun al-Quran.
$tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÈ
Artinya:
“Tidak
sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(At
Taubah: 122)
Menurut ayat di atas,
merupakan fardhu kifayah bagi sebagian kelompok orang-orang mukmin untuk pergi
mendalami agamanya meliputi aspek aqidah atau pun hukum. Thaifah
(kelompok) dalam bahasa Arab mengandung arti satu orang atau lebih.[13]
Kalau sekiranya tidak boleh
berhujjah dengan hadits ahad dalam aspek aqidah maupun hukum, niscaya
Allah dalam ayat di atas, tidak mengkhususkan
mereka untuk menyampaikan ilmu (tabligh), (“Supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya). Dengan demikian ayat tersebut menegaskan bahwa ilmu termasuk
kandungan hadits ahad.
عَنْ زَيْدِ
بْنِ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ
حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
Artinya:
“Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang mendengarkan hadits dari
kami lalu menghafalnya hingga menyampaikannya. Berapa banyak orang yang
mendengar hadits dari kami lalu menghafal hingga menyampaiknnya. Berapa banyak
orng yang membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham dari
padanya, dan berapa banyak orang yang membawa ilmu namun tidak mengerti”.[14]
Bantahan
terhadap dalil al-Quran pun mereka gunakan. Pemakaian kata zhon memiliki makna kontradiktif. Bisa bermakna
ragu bisa pula bermakna yakin. zhon
adalah keraguan (syak) yang muncul dalam hatimu lalu engkau berusaha meneliti
dan menghukuminya. Menghukumi yaitu jika zhon itu lemah disebut waham.
Jika zhon itu kuat dengan adanya dalil-dalil kebenaran dan kejelasan
beberapa qarinah (indikasi) maka disebut ilmu dan yakin. Dalam Alquran
terdapat kata zhon yang merujuk masalah aqidah dan Allah memujinya. Ayat
yang menjelaskan tentang orang yang khusyu’ dalam sholat adalah “alladzina
yazhunnuna annahum mulaaqu Rabbihim wa annahum ilahi raaji’un” (QS.
Al-Baqarah: 46). Menurut ulama tafsir antara lain Wahbah Zuhaili, zhon
dalam ayat itu bermakna keyakinan yang pasti yang tidak dipengaruhi oleh
keraguan[15].
Demikian pula, zhon yang
berkaitan dengan hadits ahad yang shohih adalah zhon yang meyakinkan,
sebab indikasi kebenaran otentisitasnya sebagai sabda Nabi SAW telah dibuktikan
melalui serangkaian penelitian. Sementara menolak berhujjah dengannya
berarti mengalihkan keyakinan kepada hal yang berlawanan dengan petunjuk yang
dibawa hadits itu. Padahal, keyakinan untuk tidak meyakini itu sendiri haruslah
didasarkan pada pegangan yang kuat dan bukan hanya didasari persangkaan (zhon)
itu sendiri.
Analisis
Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Aqidah
Kontroversi
tentang apakah hadits ahad dapat dijadikan hujjah dalam masalah akidah atau
tidak sesungguhnya berawal dari perdebatan tentang apakah hadits ahad itu
berfaedah qath’i atau zhonni. Perdebatan yang belum sampai
pada kata sepakat ini berimplikasi pada sikap mereka dalam mengambil hadits
ahad sebagai hujjah. Bagi mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad dapat
memberikan suatu kepastian yang qath’i
tentu berpendapat bahwa hadits ahad dapat dijadikan hujjah akidah. Sebaliknya,
mereka yang berpendapat bahwa hadits ahad hanya memberikan suatu pengetahuan
yang sifatnya zhonni akan
menolak kehujjahan hadits ahad dalam masalah akidah.
Pembagian hadits mutawatir
dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits
telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan
validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka
diterima (maqbul), dan jika hadits itu dha’if (apalagi maudlu’/palsu dan
laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun
hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda
secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana
klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut
:
- Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).[16]
- Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits Dhla’if, Maudlu’.[17]
Di sini kita tidak akan
menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul,
yang terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.
Para ulama telah menjelaskan
bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dhorury
(aksiomatik). Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus
diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh
hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Maka hadits mutawatir
adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang
keadaan para perawinya .
Adapun hadits ahad (yang
shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nazhary. Maksudnya, satu
hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan
penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa
hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, dan selamat dan ‘illat
(cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz
(kejanggalan), maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu
(keyakinan).
Sebagaimana yang telah lalu,
bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan
sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau
tidaknya satu hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat
keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak.
Penentuan
jumlah perawi tertentu yang bersifat baku justru tidak realistis mengingat
perbedaan yang cukup signifikan pada kualitas ke-tsiqoh-an tiap-tiap
perawi sebagaimana tinjuan ilmu al-jarh wa ta’dil. Perbedaan peringkat
ta’dil sejumlah perawi tertentu dengan perawi yang lainnya berimplikasi pada
perbedaan bobot kesahihan hadis yang diriwayatkan masing-masing. Dengan
demikian, logis bila penetapan standar minimal tertentu untuk jumlah perawi
mutawatir sulit dilakukan.
As-Sayuti di dalam bukunya
menjelaskan, “sesungguhnya para ulama khususnya muhadditsin, tidak pernah
mengatakan bahwa hadits-hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam
masalah-masalah aqidah. Yang mereka katakan hanyalah hdis shahih dan hadits
hasan dapat menjadi hujjah dalam ajaran islam, baik masalah aqidah, syariah,
maupunakhlak. Sedangkan hadits dhoif tidak dapat menjadi hujjah dalam masalah
aqidah dan syariah tetapi hanya dapat dipakai dalam masalah fadhoilul a’mal
dengan syarat-syarat tertentu.[18]
Seandainya pendapat untuk
menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada
banyak sekali aqidah Islam yang harus gugur, karena landasannya hanya
berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafat nabi SAW di hari akhir,
mukjizat nabi SAW selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan
neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga)
nabi SAW di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan
ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan
seterusnya.[19]
Kesimpulan
Masalah
hadits ahad, apakah dapat menjadi dalil dalam aqidah atau tidak, memang telah
menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama-ulama sejak dahulu hingga kini.
Mereka telah mencurahkan segenap kemampuan dan keikhlasan untuk berpendapat
dengan berbagai argumen dalil masing-masing. faktor
terpenting bukan hanya bersandar pada kuantitasnya tetapi sempurnanya
kepercayaan kepada kualitas perawi. Mantapnya keyakinan dalam menerima hadis
ahad bergantung pada penelitian dan langkah-langkah ilmiah dalam menverifikasi
otentisitas dan validitas hadis . Jika faktor-faktor kesamaran yang meragukan
dapat dihilangkan maka implikasinya adalah keyakinan semakin bertambah kepada
otentitas dan otoritas hadis tersebut. Kehujjahan hadits ahad dapat dipergunakan
dalam masalah aqidah, apabila sudah
diteliti dari berbagai aspek sehingga hadits itu memenuhi kriteria hadits sahih.
Daftar Pustaka
‘Itr,
Nuruddin, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm
al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401/1981)
al-Khatib,
‘Ajjaj, Ushûl al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa
Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,1989)
al-Suyuthi,
Tadrib al-Rowi fî Syarh Taqrib al-Nawawi,
edisi Abî Ya’qûb Nasy’at ibn Kamâl al-Mishrî, (Kairo: Dâr al-‘Aqîda, 2008)
Al-Thahan
Mahmud, Taysîr Musthalah al-Hadîts,
(Beirut:Dâr al-Fikr, t.t.)
Hajar,
Ibnu, Nuzhatun-Nadhar Fii Taudliihi
Nukhbatil-Fikar, (Semarang:Maktabah Munawwaroh, Tth)
Idris
Syafii, Muhammad, ar-Risalah, (Beirut;Darul Fikr, tth)
Khallaf,
Abdul Al-Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Indonesia:Almajlis Al-A’la
Al-Indonesia Li Da’wah Al-Islamiyah)
Shihab M. Quraish, Tafsir
Al-Misbah, (Jakarta;Lentera Hati, 2004), Vol.V, H.750
Syaltut,
Mahmud, Akidah Dan Syariah Islam, Alih Bahasa:Facruddin Hs, (Jakarta:Bumi
Aksara, 1994)
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000)
Zuhaili,
Wahbah, at-Tafsir al-Munir, (Damsyik:Darul Fikr, 2009)
[1] Dosen STAIN Jurai Siwo Metro,
LAmpung
[2] Ulama hadits juga berbeda pendapat
dalam menetapkan banyaknya jumlah perowi hadits mutawatir. Ada yang mengatakan
5 orang diqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar ulul azmi. Lainyya
mengatakan 12 bedasarkan surat al-Maidah;12, sebagian ulama mengatakan 20 orang
berdasrkan surat al-Anfal;65, ada juga yang mengatakan 40 sesuai dengan surat
al-Anfal;65 dan masih ada pendapat lainnya. Ketidak sepakatan dalam jumlah
inilah yang menjadi perdebatan di kalangan muhaddisin, tetapi mereka sepakat
bahwa hadits mutawatir mempunyai nilai ilmu dhoruri, yakni;keharusan
menerima dan mengamalkannya. Para perowi hadits mutawatir tidak perlu
dipersoalkan, baik mengenai keadilan dan kedhobitnnya, sebab persyaratannya
yang begitu ketat.
[3] Nuruddin ‘Itr, Manhaj
al-Naqd fi ‘Ulûm al-Hadits,
(Damaskus: Dâr al-Fikr, 1401/1981) ,h. 404, ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl
al-Hadîts: ‘Ulûmuhu wa Mushthalahuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr,1989), h. 301, al-Suyuthi, Tadrib
al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
edisi Abî Ya’qûb Nasy’at ibn Kamâl al-Mishrî, Kairo: Dâr al-‘Aqîda, 2008), h.
390 dan Mahmud Al-Thahan, Taysîr Musthalah al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t., h.19
[4] Bukhori, Shohih Bukhori, Kitab
Al-Ilmu;Kitab Ismu Man Kadzaba ‘Alanabi, Hadits No.104
[5] Ada beberapa hadits yang
menjelaskan bahwa selepas shalat nabi
mengangkat tangan, saat di arofah beliau mengangkat tangan, saat mendoaakan
sahabat beliau mengangkat tangan, ketika selesai shalat istisqo beliau berdoa
lalu mengangkat tangan.
[6] Abdul Al-Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Indonesia:Almajlis Al-A’la Al-Indonesia Li Da’wah Al-Islamiyah,
1972, h.42
[7] Bukhori, Kitab Al-Ilmu;Kitab Kayfa Yaqbidhu Al-Ilmu,
Hadits.No.98
[8] Bukhori, Kitab al-Iman:bab Hubb ar-Rasul minal Iman,
hadits no.13
[9] Bukhori, Shohih Bukhori, Bab.
Bad’ulwahyi;Kitabbad’ulwahyi, Hadits No.1
[10] Hadits ini diriwatkan oleh imam
muslim. Pada perowi ini terdapat nama Dumrah bin Said al-muzani disifati tsqoh.
Tidak seorangpun dari perowi tsiqoh yang meriwayatkan selain dirinya. Disifati
menyendiri tentang ketsqohannya.
[11]Mahmud Syaltut, Akidah Dan
Syariah Islam, Alih Bahasa:Facruddin Hs, Jakarta:Bumi Aksara, 1994, h.
57-59. Lihat Pengertian hadits mutawatir
[12] Dari ketiga ayat tersebut bahwa
sesuatu yang zhonni tidak dapat dijadikan hujjah karena tidak menghasilkan
kepastian.
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah, Jakarta;Lentera Hati, 2004, Vol.V, h.750
[14]Hadits ini jelas
sekali menegaskan bahwa mendengar hadits yang menyampaikannya kembali, meski
dilakukan hanya oleh satu orang saja, dapat dilakukan dan dibenarkan. Baik
terkait dalam masalah aqidah, syariah atau muammalah.
[15] Wahbah Zuhaili, at-Tafsir
al-Munir, Damsyik:Darul Fikr, 2009, h.167
[16] Krteria hadits maqbul adalah
sanadnya bersambung, dirawayatkan oleh perowi yang tsiqoh, tidak ada unsur
syadz dan illat. Imam Syafe’i orang pertama yang menetapkan
kriteria ini.
[17] Hadits mardud ialah hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian hadits maqbul. Para
ulama menelompokkan menjadi dua; hadits dhoif dan ma’dhu’
[18] Op.cit, Jalaluddin As-Sayuti, h.160
[19] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, h.133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar