Otensitas
Dan Integritas Mushaf ‘Usmani
Oleh:
Ahmad
Muttaqin[1]
Abstrak
Meskipun keberadaan Mushaf ‘Usmani
sudah berumur ribuan tahun, akan tetapi eksistensi dan otentisitasnya kerapkali
mendapatkan gugatan. Gugatan itu terutama muncul dari kalangan orientalis
sampai hari ini. Tulisan ini mencoba menelusuri dan melacak argumentasi untuk
menolak berbagai jenis gugatan yang dilancarkan oleh para Orientalis itu.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa otensitas dan integritas Mushaf ‘Usmani tetaplah
terjaga, beberapa bukti adanya perbedaan penulisan antara mushaf-mushaf ‘Usmani
dengan mushaf sebaran yang dilakukan ‘Usman tidaklah mengakibatkan berkurangnya
otensitas mushaf ‘Usmani. Berkaitan dengan adanya inkonsistensi tulisan yang
terdapat dalam mushaf ‘Usmani sendiri, memang ditemukan, namun secara substansi
tidak mengurangi otensitas mushaf itu sendiri, selama bacaan yang dimiliki kaum
muslimin adalah benar, dan memang pada faktanya berbedanya tulisan tersebut
tidak menyebabkan perbedaan kaum muslimin dalam membacanya. Adanya
riwayat-riwayat dari sahabat yang mengemukakan bahwa ada beberapa ayat
al-Qur’an yang tidak tercantum dalam mushaf, pada dasarnya disebabkan
kekeliruan dalam mengidentifikasi antara hadits dan al-Qur’an, hal ini dalam
kondisi tertentu dapat dimaklumi, mengingat antara hadits dan al-Qur’an dari
segi Mukhatib (Pembicaranya) adalah sama yakni Rasulullah saw.
Kata Kunci: Otensitas, Integritas, Mushaf ‘Usmani
Pendahuluan.
Al-qur’an yang ada dihadapan
kita saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah, yang tidak lain merupakan
peran dari para sahabat dalam penulisan al-qur’an dimulai masa rasulullah saw, kemudian masa Abu Bakar
ash-Shidieq ra dan masa Usman bin Affan. Ada dua hal yang membuat terjaga
ketika itu, pertama, hapalan yang tersimpan rapi dalam dada para sahabat.
Kedua, tertulisnya al-Qur’an, walaupun masih belum tersusun secara teratur,
masih terpisah-pisah dalam ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran
yang terdiri dari kulit, tulang, pelepah kurma batu tipis dan kayu.
Dengan jangka waktu sekian
puluh tahun, al-Qur’an mengalamai penjagaan yang ketat, baik secara hafalan
maupun secara tulisan. as-Suyuti dalam bukunya “al-Itqan” menyebutkan
lebih dari dua puluh nama yang amat dikenal sebagai penghafal al-Qur’an, di
an-tara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, ibn
Mas’ud, Abu Hurairah,
Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin ‘Amer bin al-‘Ash, Aisyah, Hafsah, dan Ummu Salamah.[2]
Telah banyak informasi yang
menyebutkan bahwa al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, terutama ketika beliau masih hidup. Dan kebiasaan ini
tetap berlangsung pada saat beliau telah wafat, dan kemudian di kalangan para
tabi’in hingga ke genarasi sekarang ini. Secara keseluruhan al-Qur’an telah
dituliskan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup,
hanya saja belum dikumpulkan di satu tempat. Sehingga dengan demikian seluruh
bahan tersebut belum tersusun secara teratur.[3]
Pernyataan ini menunjukkan
bahwa lewat hafalan dan penulisan dengan bahan yang ada tersebut, penyusunan
al-Qur’an serta surat-surat yang di dalamnya telah dilakukan oleh Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam secara pribadi, dan ke-mudian terjaga melalui penyampaian
lisan.
Pengumpulan dan penulisan
al-Qur’an terus berlangsung dari masa ke masa, sebagai salah satu bentuk
penjagaan kitab al-Qur’an. Pengumpulan dari masa ke masa tersebut mengalami
perkembangan sesuai kondisi yang berlaku. Tidak dapat ragukan lagi, al-Qur’an
tidak saja diteruskan atau disampaikan secara lisan oleh umat Islam yang telah
mempelajari sebagian atau seluruhnya, tetapi juga telah dituliskan pada zaman
rasul masih hidup.
Pada masa Abu Bakar, akibat
peperangan yang sering berkecamuk melawan kaum murtad, pembangkang zakat, dan
nabi palsu, menyebabkan banyaknya para
Huffazh yang gugur, bahkan diantara peperangan yang hebat itu, adalah
peperangan Yamamah. Kaum muslimin dibawah komandoKhalid bin Walid sang pedang
Allah bertarung sengit melawan Musailamah Al-kadzab dan anak buahnya. banyak
sahabat yang syahid dalam pertempuran ini diantaranya terdapat tujuh puluih
orang qurro, sallim maula Abi hudzaifah dan Abu Hudzaifah sendiri termasuk
didalamnya. Bahkan sebagian orang ada yang menghitung mencapai limaratus orang qurro.[4]
Hal ini yang kemudian yang menggugah Umar untuk mendesak Abu Bakar untuk
membukukan al-Qur’an.
Selama pemerintahan Utsman,
perbedaan dalam cara membaca begitu meruncing, dan sesudah bermusya-warah
dengan para sahabat akhirnya Utsman berhasil me-nyusun sebuah naskah standar,
yang dipersiapkan dari shu-huf Abu Bakar, yang saat itu disimpan dirumah
Hafsah. Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa ketika Hudzaifah bin Al-Yaman
datang kepada Utsman yang mana orang-orang Syam dan Irak sedang bertempur untuk
menundukkan Armenia dan Azarbaijan, terjadi perbedaan cara mebaca al-Qur’an.[5]
Hudzaifah merasa khawatir
menyaksikan perselisihan tersebut dan meminta Utsman menyelesaikannya. Di
antara mereka yang berbeda membaca al-Qur’an merasa masing-masing paling benar.
Mushaf-mushaf hasil penggandaan pada Utsman itu di sebarkan ke berbagai daerah,
seperti Makkah (Hijaz), Syam (Damaskus). Kuffah (Irak), Basrah dan Madinah
(kediaman Utsman).[6]
Sebagaimana telah diketahui
bahwasanya, setelah melakukan kodifikasi ‘Usman kemudian memperbanyak
mushafnya, yang kemudian disebar ke berbagai daerah. Ada beberapa versi tentang
berapa banyak naskah Mushaf yang disebar oleh ‘Usman, ada yang mengatakan
empat, Kufah, Basrah dan Suriah yang satu lagi disimpan di Madinah, ada yang
mengatakan delapan, dengan menambahkan Mekkah, Yaman dan Bahrain dan satu lagi
disimpan oleh ‘Usman sendiri.[7]
Bahkan al-Yaqubi, seorang sejarawan Syi’ah menyebutkan sembilan naskah mushaf
yang disebarkan oleh ‘Usman, yakni Kufah, Basra, Madinah, Mekkah, Mesir,
Suriah, Bahrain, Yaman dan al-Jazirah.[8]
Salinan-salinan mushaf usmani
yang diedarkan disejumlah kota, dalam kenyataanya, tidaklah sempurna. Terdapat
beberapa kekeliruan penulisan pada mushaf-mushaf yang disebarkan tersebut, atau
dengan kata lain adanya ketidak sesuaian penulisan antara mushaf-mushaf
tersebut dengan mushaf induk yang dipegang oleh ‘Usman. [9]
Di sisi lain Mushaf Ustmani
secara doktrinal, dipandang telah mencakup keseluruhan Wahyu Illahi yang telah
diterima oleh Rasulullah yang semestinya dimasukkan dalam kompilasi tersebut.
Tetapi sejumlah riwayat yang sampai ke tangan kita dewasa ini juga memberitakan
adanya sejumlah wahyu lainnya yang tidak
terekam secara tertulis didalamnya. Adanya ayat-ayat yang dipandang bagian
al-Qur’an, namun tidak terekam dalam dokumen mushaf ‘Usmani ini sebagian
besarnya dikemukakan dalam bahasan panjang lebar para ulama tentang nasikh dan
mansukh.
Latar belakang Mushaf
‘Usmani.
Telah terjadi perselisihan
dikalangan umat Islam ber-kenaan dengan cara membaca al-Qur’an, ini muncul di
an-taranya dalam suatu riwayat tatkala kaum muslimin hendak mengadakan
peperangan menundukkan Armenia dan Azer-beijan, sebagaimana telah terungkap
pada pembahasan terda-hulu. Utsman mendapat laporan dari Hudzaifah yang
me-nyaksikan pertentangan di antara kaum muslimin yang ber-beda daerah didalam
membaca al-Qur’an.
Ketika mendengar berita dari
Hudzaifah bin Al-Yaman, Utsman berinisiatif mengirim sepucuk surat kepada
Hafsah berisi permintaan agar mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin
menjadi beberapa mushaf. Setelah itu akan dikembalikan lagi kepadanya. Dari
riwayat tersebut memberikan keterangan kepada kita terhadap lima perkara[10],
yaitu :
1.
Perbedaan cara membaca al-Qur’an, inilah
masalah pokok yang menjadikan Utsman bergerak hatinya untuk menyalin mushaf,
menjadi beberapa mushaf yang akan menjadi standar dalam membaca al-Qur’an.
2.
Komisi yang bertugas menyalin mushaf tersendiri
dari empat orang.
3.
komisi empat yang bekerja menggunakan atau
merujuk kepada mushaf yang ada pada Hafsah menjadi dasar salinan yang merupakan
hasil penghimpunan di masa Abu Bakar.
4.
Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa
Arab dialek Quraisy, dialek yang diutamakan dalam penulisan nash al-Qur’an bila
terdapat perbedaan an-tara ketiga orang Quraisy dan Zaid bin Tsabit.
5.
Khalifah Utsman mengirimkan salinan mushaf
hasil kerja komisi empat ke daerah-daerah meskipun meng-enai jumlah mushaf ini
terdapat perbedaan di ka-langan ulama dan keberhasilannya menghilangkan
pertengkaran dalam membaca al-Qur’an. [11]
Kekhawatirannya akan
terjadinya perselisihan dalam membaca al-Qur’an bukan saja muncul dari diri
Hudzaifah bin Al-Yaman, tetapi pada diri Utsman dan juga orang-orang muslim
lainnya. Mereka setelah mendengar instruksi pem-bakaran dan pemusnahan dari
khalifah Utsman, mengada-kan pemusnahan mushaf yang ada di tangan mereka secara
kesadaran masing-masing.
Demikian beberapa peristiwa
yang melatar belakangi munculnya penulisan mushaf Utsmani, dan menjadikannya
sebagai mushaf standar bagi kaum muslimin dalam mem-baca al-Qur’an. Khalifah
Utsman selanjutnya memerintahkan untuk memusnahkan mushaf-mushaf selain hasil
penyalinannya.
Kerancuan disekitar Mushaf
‘Usmani.
1.
Kerancuan Penulisan.
Dalam sebagian besar buku
‘ulumul qur’an yang ditulis, terdapat sebuah subjek pembahasan yang disebut Rasm
al-Qur’an atau Rasm’Utsmani, yang sering diidentifikasi sebagai
pola-pola penulisan yang dilakukan dalm Mushaf “utsmani yang berbeda dengan
pola penulisan Imla’i. Perdebatan disekitar objek tersebut pada umumnya,
disekitar apakah penulisan tersebut merupakan ketetapan Rasulullah saw (Tauqifi)
atau merupakan produk Ijtihad dari ‘Usman dan sahabat yang terkumpul dalam
panitia penulisan al-Qur’an yang dibentuk oleh Khalifah ‘Usman. Namun dari
berbagai perdebatan tersebut pada akhirnya tetap berujung pada keharusan
mengikuti tulisan pada Mushaf ‘Usmani sebagai sebuah keputusan Ijma’ yang tidak
dapat diganggu gugat.
Sebagaimana telah diketahui
bahwasanya, setelah melakukan kodifikasi ‘Usman kemudian memperbanyak
mushafnya, yang kemudian disebar ke berbagai daerah. Ada beberapa versi tentang
berapa banyak naskah Mushaf yang disebar oleh ‘Usman, ada yang mengatakan
empat, Kufah, Basrah dan Suriah yang satu lagi disimpan di Madinah, ada yang
mengatakan delapan, dengan menambahkan Mekkah, Yaman dan Bahrain dan satu lagi
disimpan oleh ‘Usman sendiri.[12]
Bahkan al-Yaqubi, seorang sejarawan Syi’ah menyebutkan sembilan naskah mushaf
yang disebarkan oleh ‘Usman, yakni Kufah, Basra, Madinah, Mekkah, Mesir,
Suriah, Bahrain, Yaman dan al-Jazirah.[13]
Salinan-salinan mushaf usmani
yang diedarkan disejumlah kota, dalam kenyataanya, tidaklah sempurna. Terdapat
beberapa kekeliruan penulisan pada mushaf-mushaf yang disebarkan tersebut, atau
dengan kata lain adanya ketidak sesuaian penulisan antara mushaf-mushaf
tersebut dengan mushaf induk yang dipegang oleh ‘Usman. Sebagian perbedaan-perbedaan tersebut dapat
disebutkan dalam bagan berikut[14]:
Surat
|
Ayat
|
Mushaf Madinah dan Syam
|
Mushaf Kufah dan Basrah
(Mushaf yang sesuai dengan
saat ini)
|
Al-Baqarah
|
116
|
َقَالُواْ اتَّخَذَ اللّهُ وَلَدا
|
وَقَالُواْ اتَّخَذَ اللّهُ وَلَداً
|
Al-Baqarah
|
132
|
واََوصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ
|
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ
|
Al- Maidah
|
54
|
مَن يَرْتَدد مِنكُمْ عَن دِينِهِ
|
مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ
|
Al-A’raf
|
141
|
وَإِذْ أَنجَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَونَ
|
وَإِذْ أَنجَيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَونَ
|
Al-Isra’
|
93
|
قال سُبْحَانَ رَبِّي
|
قُل سُبْحَانَ رَبِّي
|
Usman sendiri, dalam sebuah
riwayat, sudah sejak awal menemukan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat pada
mushaf-mushaf tersebut, ketika memeriksa salah satu eksemplar yang telah
ditulis, Beliau mengatakan bahwa kekeliruan itu tidak perlu diubah, karena Orang
Arab bisa membacanya dengan benar.[15]
Dengan riwayat ini tampaknya ‘Usman meyakini bahwa kemampuan bahasa dan Hapalan
bangsa Arab, bisa dijadikan pegangan dalam memelihara kelestarian al-Qur’an,
sehingga kekeliruan-kekeliruan penulisan tidak berdampak bagi otensitas
al-Qur’an sendiri.
Hadi Ma’rifat, menyebutkan
beberapa faktor penting penyebab perbedaan penulisan diantara mushaf-mushaf
tersebut:
a. Usia
khat dikalangan Arab yang masih belia.
Pada
waktu itu Khat dikalangan Arab masih berbentuk sangat sederhana, karena
dasar-dasarnya masih belum kuat. Apalgi orang-orang Arab masih belum mengetahui
seni tulis dan cara penulisan yang benar. Banyak sekali kata-kata yang mereka
tulis berdasarkan analogi pengungkapannya. Dalam kaligrafi saat ini masih ada
bekas-bekas tersebut. Dalam kaligrafi, bentuk “Nun” yang ada diakhir
kalimat ditulis dalam bentuk uang tidak berbeda denga “Ra”. Demikian
juga bentuk ‘Wawu’ atau ‘Ya’ yang pada saat itu adalah satu. Banyak
bentuk ‘Mim” dan ‘dal’ ditulis dalam bentuk Kaf, dalam
Khat Kufi, dan ‘ain yang berada ditengah ditulis dalam bentuk’ Ha’.
b. Tidak
adanya titik sebagai pembeda huruf.
Salah
satu faktor lainnya adalah tidak adanya titik pada huruf-hurf Mu’jamah
(bertitik) dan huruf-huruf Muhmalah (tidak bertitik), oleh karena itu
antara “ سdan “ش”
begitupula huruf-huruf ن ق ف غ ع
ط ظ ص ض خ ح ج ث ت ب
Pembaca
harus bisa membedakannya setelah tahu makna kata sesuai dengan yang diujarkan
dengan jeli.
c. Tidak
adanya tanda baca dan harakat-harakat.
Dalam
mushaf-mushaf awal kalimat-kalimat dicatat tanpa segala bentuk I’rab dan
harakat, wazan dan harakat I’rab serta bina kalimat tidak
jelas. Karenanya sulit bagi pembaca selain orang Arab untuk membedakan bagaimanakah
wazan dan harakat kalimat itu. Bahkan bagi orang selain arab pun bagaimanakah
bentuk kalimat itu. Sebagai contoh; kata اعلم
itu fi’il amr atau
fi’il Mutakalim mudhari, apakah af’alul tafdhil atau fi’il madhi. Hamzah
dan Kisa’i membaca al-Baqarah 259:
قالَ اعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dengan
fi’il amr (I’lam) sedangkan yang lainnya membaca dengan fi’il mudhari
mutakalim (A’lamu).
d. Tidak
adanya alif dalam kalimat-kalimat.
Faktor
yang menimbulkan masalah dalam tulisan al-Qur’an adalah tidak adanya alif dalam tulisan saat itu. Khat Khufi diambil
dari khat Suryani. Dalam khat Suryani tidak lazim menulis Alif ditengah-tengah
kalimat, maka huruf alif tersebut dihilangkan. Karena awalnya al-Qur’an ditulis
dalam huruf Khufi, maka para penulis tidak menulis huruf alif ditengah-tengah
kalimat seperti سماوات , mereka menulisnya سموت. Hal
ini kemudian menimbulkan perbedaan bacaan, sebagai contoh Nafi’, Abu Amr dan
Ibnu katsir membaca ayat وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم
Dalam
surat al-Baqarah 9, dengan bacaan: وَمَا
يَخْادَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم dengan alasan bahwa kalimat ini sudah
tercantum diawal kalimat dengan wazan seperti itu, dengan alif, dan mereka
menyangka seperti itu, padahal kaliamt yang dimaksud adalah tanpa alif.
Faktor-faktor
yang dikemukakan oleh Hadi ma’rifat, semestinya hanya berlaku pada mushaf Utama
yakni Mushaf yang ada ditangan Usman
sendiri, sebagai mushaf rujukan, tidak pada mushaf yang merupakan salinan,
karena bagaimanapun semestinya mushaf salinan mestinya hanya sebagai copyan
dari mushaf utama. Dengan demikian kesalahan yang terjadi pada mushaf salinan
yang disebarkan justeru terletak pada penulis mushaf itu sendiri, atau panitia
yang dibentuk Usman. Dan faktor-faktor yang disebutkan Hadi Ma’rifat ini lebih tepat merupakan salah satu faktor berkembangnya
perbedaan bacaan (qira’at) pada masa selanjutnya.
Kesalahan-kesalahan
penulisan, pada mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Khalifah ‘Usman bin Affan
ternyata tidak hanya terletak pada mushaf-mushaf salinan, ternyata juga
terdapat pada Mushaf Utama. Sebuah riwayat menceritakan bahwa Aisyah menemukan
sejumlah kekeliruan yang terdapat pada mushaf ‘Usmani; Kalimat dalam surat
An-Nissa; 162: “Lakini ar-rasikhuna……wa
almuqimina….” semestinya “lakina…. Wa almuqimuna…”,
surat al-Maidah; 59 “innaladzina amanu…. Wa al-shabiuna” semestinya “al-shabi’ina”
dan dalam surat Thaha ; 63; “inna hadzani lasahiraani” Semestinya “hadzayni”
dan menegaskan bahwa ini sepenuhnya kesalah penulis.[16]
Di
samping beberapa kesalahan yang dilansir oleh riwayat dari Aisyah di atas,
beberapa tulisan juga menunjukkan inkonsistensi dari penulis mushaf tersebut.
Dalam mushaf ‘Usmani kita dapati satu kalimat ditulis dalam suatu bentuk
tertentu, sementara kalimat itu juga ditulis dalam tempat lain dalam bentuk
yang berbeda; berikut beberapa inkonsistensi yang ditemukan dalm Mushaf
‘Usmani, yang terdapat pada mushaf saat ini juga:
Kalimat dengan Imla Yang
benar
|
Kalimat dengan Imla yang
salah
|
(al-Hijr78
dan Qaf 14) اَصْحَابُ الأَيْكَةِ…
|
(Shad; 13 dan As-Syu’ara 176) أَصْحَاب لَيْكَة
|
(at-Taubah; 91) لَّيْسَ عَلَى الضُّعَفَاء
|
(Ibrahim; 21) فَقَالَ الضُّعَفؤاَ
|
(al-a’raf ;34) فَلاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً
|
(Yunus 49) فَلاَ يَسْتَءخِرُونَ سَاعَةً
|
(Ar-Ra’du 14) وَمَا دُعَاء الكَافِرِينَ
|
(al-Ghafir ;50) وَمَا دُعؤا الكَافِرِينَ
|
(Ali Imran; 182) لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِّلعَبِيدِ
|
(al-hajj;10) لَيْسَ بِظَلمٍ لِّلعَبِيدِ
|
(al-Hajj; 66) أَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُم
|
(al-Baqarah;28) فَأَحْيَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ
|
(al-Hajj;5) فِي الأَرْحَامِ مَا نَشَاء
|
(Hud; 87) فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَؤا
|
(An-Nahl;18) وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمََة اللّهِ
|
(Ibrahim; 43)وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّه
|
(Muhammad; 14) عَلَى بَيِّنَةٍ مِّنْهُ
|
(Fathiir;40) عَلَى بَيِّنَتٍ مِّنْهُ
|
(al-Ghafir;18) لَدَى البَابِ
|
)Yusuf; 25) لَدَا البَابِ
|
(An-Nazi’at; 17) إِنَّهُ طَغَى
|
(al-Haqqah;11) طَغَا المَاء
|
(al-Mu’minun; 33) وقَالَ المََلأُ
|
(al-Mu’minun; 24)فَقَالَ المََلؤاُ
|
(Yasiin; 59) أَيُّهَا المُجْرِمُونَ
|
(ar-Rahman; 31) أَيُّه الثَّقَلاَنِ
|
Terhadap bukti-bukti ini,
sekelompok ulama, menolak bahwa perbedaan penulisan dalam mushaf ‘Usmani ini
adalah sebuah kekeliruan, mereka tetap berpegang teguh, bahwa bentuk penulisan
ini merupakan disusun atas perintah rasulullah saw atau tauqifi.
Kemudian semua kesalahan dalam tulisan ini dianggap suatu misteri atau hikmah
terselubung yang tiada seorang pun yang mengetahui selain Allah. Dalam hal ini
Abul Abbas Marakisy yang dikenal dengan Ibnul Bina (w. 721) dalam kitabnya Unwan
al-Dalil fi Marsum at-Tanzil menjelaskan dengan detail bahwa posisi
huruf-huruf tersebut adalah berdasarkan perbedaan dan bentuk makna kalimat
yaitu misteri-misteri serta hikmah-hikmah yang terselubung, yang diantaranya
adalah perhatian kepada alam-alam ghaib dan alam nyata serta
tingkatan-tingkatan dan kedudukan wujud.[17]
Sebagian ulama berusaha
melakukan investigasi atas masalah penulisan ini. Seringkali pandangan yang
mereka kemukakan terkesan sangat dipaksakan. Sebagai contoh mereka mengatakan
bahwa, tambahan Alif dalam kata َلأَاذْبَحَنَّهُ untuk menunjukkan sembelihan yang disebutkan
di awal surat an-Naml ayat 21 itu, yaitu suatu azab yang paling pedih, demikian
pula kata مائة adalah
tambahan tetapi dalam فئة tidak ada tambahannya, karena مائة artinya banyak, satuan dan
puluhan.
Bahkan Thahir Kurdi, setelah
menjelaskan sebagian kesalahan-kesalahan penulisan Mushaf ‘Usmani serta
kontradiksi didalamnya, berpendapat: ‘Penulisan Mushaf adalah sebuah rahasia
dari rahasia-rahasia illahi yang tak seorangpun mengetahuinya. Janganlah kalian
menyangka mereka lupa, salah dan tidak mengerti tentang dasar-dasar ilmu tulis,
karena prasangka tersebut adalah khayalan yang tidak benar. Kita memiliki
keyakinan yang pasti bahwa para sahabat mengetahui kaidah-kaidah imla dan tulis
menulis sebagaiman mestinya”[18]Mereka
menempatkan perbedaan yang terdapat dalam penulisan mushaf, seolah-olah
memiliki posisi yang sama dengan huruf-huruf Muqaththa’ah, yang
mengandung misteri dan hikmah yang tersembunyi. Berkaitan dengan ini Subhi
Shalih menanggapi anggapan tersebut, “Tidak diragukan lagi ini adalah pendapat
berlebihan berkaitan dengan penulisan Mushaf ‘Usmani. Tidak logis jika kita
menganggap bahwa tulisan-tulisan itu masalah Tauqifi dan atas perintah rasulullah
saw atau kita memandang bahwa penulisan tersebut mengandung misteri yang sama dengan awal
sebagian surat yang juga misteri. Tiada satu kasus pun yang bisa dijadikan
pembanding antara tulisan tersebut dengan huruf Muqaththa’ah yang
terbukti mutawatir. Semua ini adalah istilah-istilah yang dibuat-buat oleh para
penulis pada zaman itu yang disetujui ‘Usman pada saat itu.[19]
2.
Dugaan pengurangan Mushaf ‘Usmani.
Mushaf ‘Usmani, sampai saat
ini dipandang, telah mencakup keseluruhan wahyu Illahi yang diterima Nabi
Muhammad saw. Namun dalam beberapa riwayat kita temukan adanya dugaan sejumlah
ayat yang tidak terdokumen dalam mushaf ‘Usmani. Materi-materi (dugaan sebagai ayat) ini dikemukakan secara
panjang lebar dalam bahasan nasikh dan Mansukh. Secara garis besarnya, teradap
tiga kategori utama dalam berbagai bahasan nasikh dan mansukh
ini: pertama, adalah wahyu yang terhapus baik hukum maupun bacaannya (Naskh
al-hukm wa at-tilawah), kedua, Wahyu yang hanya terhapus hukumnya.
Sementara teks dan bacaannya masih terdapat dalm mushaf (naskh al-hukm duna
at-Tilawah) dan yang terakhir, adalah wahyu yang terhapus teks dan
bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku (Naskh al-tilawah duna al-hukm).
Dalam ketiga kategori naskh
di atas, pada point pertama dan ketigalah yang paling relevan dengan subjek
pembahasan ini. Kedua kategori di atas mengindikasikan ada sejumlah ayat yang
tidak terekam dalam dokumen al-Qur’an yang ditulis dalam mushaf ‘Usmani. Dalam
kategori pertama, yakni terhapus hukum dan bacaannya, riwayat yang paling
sering diajukan adalah bacaan yang berbunyi:
لو ان لابن
اَدم واديان من مال لابتغى واديا ثالثا ولايملأ جوف
ابن ادم الا
التراب و يتوب الله على من تاب
Artinya:
“Seandainya anak adam memiliki dua gunung harta, maka ia akan meminta tambah untuk yang ketiga, dan
tidak ada yang memuaskan anak adam kecuali tanah. Dan Allah mengampuni kepada
orang-orang yang bertaubat”.[20]
Dalam sebuah riwayat, ayat
ini disisipkan diantara ayat 24 dan 25 surat Yunus. Sejumlah sahabat nabi,
diantaranya Abu Musa al-‘Asy’ari, memandangnya sebagai bagian dari al-Qur’an,
tetapi pada masa belakangan telah dinasakh.
Begitupula riwayat yang
berasal dari ‘Aisyah, terkait penyusuan yang menjadikan seseorang menjadi
muhrim, yang mengatakan,”Sepuluh susuan bisa menyebabkan muhrim, namun kemudian
ayat tersebut dinasakh oleh ayat lima susuan, dan ketika rasulullah wafat.
kedua ayat ini dibaca sebagai bagian dari al-Qur’an”.[21]
Disamping model nasakh
diatas, dalam sejumlah riwayat, terdapat sejumlah materi wahyu yang dinisbatkan
kepada ‘Umar, yang tidak terekam dalam Mushaf ‘Usmani, misalnya tentang rajam
yang berbunyi:
اذا زنا الشيخ و الشيخة فا رجموهما البتة نكلالا من
الله والله عزيز حكيم
Artinya:
“Apabila seorang laki-laki dewasa dan perempuan dewasa berzina, maka rajamlah
keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan, dan Tuhan Maha Kuasa lagi
Bijaksana”[22]
Juga tentang Jihad :
جاهدوا كما جاهدتم اول مرة
Artinya:
“ Berjihadlah kalian seperti kalian telah berjihad untuk pertama kalinya”. [23]
Berbagai riwayat ini seakan
mengindikasikan bahwa ada sejumlah ayat yang tidak terekam dalam tulisan mushaf
‘Usmani, dan menunjukkan bahwa mushaf ‘Usmani tidak mencakup keseluruhan wahyu
al-Qur’an yang diturunkan kepada rasulullah saw. Adapun kategorisasi beberapa
‘ulama sebagai bagian ayat yang dinasakh (hapus) bacaannya, merupakan sebuah
pandangan yang naif, karena bacaan ayat tersebut nyatanya masih terdapat dalam
riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, dan
semestinya tidak ada sesuatu penghalangpun yang menyebabkan ia tidak
tertulis dalam mushaf.
Dalam hal ini beberapa
pandangan yang relevan dan logis bisa diketengahkan terkait dugaan adanya
ayat-ayat yang tidak tercantum dalam mushaf. ِArgumentasi Pertama, yang
bisa dikemukakan adalah kerancuan dalam membedakan Al-Qur’an dan hadits, hal
ini karena adanya kesamaan dari sudut sumber keduanya, yakni Rasulullah saw.
Berkaitan dengan riwayat tentang Rajam diatas misalnya, ada sebuah riwayat
bandingan, bahwasanya Zaid bin Tsabit mendengar
Rasulullah saw bersabda; “Seorang Dewasa laki-laki dan dewasa perempuan
berzina maka rajamlah keduanya”.[24]
Riwayat Zaid ini menunjukkan bahwa riwayat yang dikemukakan oleh Umar tentang
Rajam sesungguhnya merupakan sebuah hadits, dan kemungkinan besar bahwa ‘Umar
mengira bahwa ini adalah bagian dari wahyu al-Qur’an.
Argumentasi kedua adalah,
dari segi rima, atau bunyi ayat. Pada ayat-ayat yang diduga tidak tercantum
dalam mushaf, memiliki ketidak cocokkan dengan rima pada ayat-ayat baik sebelum
dan sesudahnya, dan tentu saja ini merupakan hal yang ganjil jika diberlakukan
terhadap al-Qur’an, dimana kesesuaian bunyi dan kandungan merupakan hal yang
sangat diperhatikan dalam wahyu al-Quran. Contoh dalam hal ini adalah tentang
ayat Bani adam diatas yang dikatakan berada diantara ayat 24 dan 25 surat
Yunus. Ayat ini tidak berkesesuaian rima dengan ayat sebelum dan sesudahnya,
karena ayat-ayat sebelum dan sesudahnya rata-rata berima dalam –un- kecuali
ayat 25 yang berima –im (atau -in). bahkan ungkapan Ibn adam, merupakan
ungkapan yang asing bagi al-Qur’an. Di samping itu, dalam riwayat Bukhari dari
Ibnu Zubayr, ayat diatas hanya disebut sebagai hadits Nabi bukan wahyu
al-Qur’an.[25]
Dan yang ketiga adalah,
kemutawatiran al-Qur’an, sebagaimana telah dipahami bahwa syarat diterimanya
al-Qur’an, baik keseluruhan maupun bagian-bagiannya, adalah kemutawatiran. Kaum
muslim menukilnya dari tangan ke
Otensitas Dan Integritas
Mushaf Usmani.
Berkenaan dengan terungkapnya
bukti-bukti adanya bahwa adanya perbedaan antara Mushaf utama dan mushaf
salinan penulisan mushaf ‘Usmani yang disebarkan, ada baiknya kita tuliskan
pernyataan Al-baqilani dalam kitabnya al-Inthisar sebagaimana dikutip
oleh az-Zarqani:
“Allah
tidak mengharuskan bentuk tertentu sebuah tulisan untuk manusia. Tentang
penulisan al-Qur’an dan para penulis-penulis mushaf, tidak ada ketentuan model
tulisan tertentu untuk mencatat al-Qur’an, juga tidak ada larangan menggunakan
model tulisan sebagaimana tulisan awal. Bahkan ada hadits yang menyebutkan
bahwa al-Qur’an bisa ditulis dengan segala bentuk yang lebih mudah, sebab
rasulullah saw hanya memerintahkan untuk menulis al-Qur’an saja, tidak
menentukan cara dan model tulisan tertentu untuk menulisnya. Tidak seorangpun
dilarang untuk menulis al-Qur’an oleh beliau. Karena itulah tulisan-tulisan
mushaf itu berbeda-beda dan setiap kelompok menulis al-Qur’an dengan metodologi
yang berlaku dikalangan mereka sendiri. Oleh sebab itu bentuk tulisan ditulis
dengan huruf Kufi dan khat dasar (Lam dituis dengan bentuk huruf Kaf dan alif
ditulis dengan melengkung). Bentuk tulisan bisa ditulis dengan bentuk lain,
dengan metodologi kuno atau dengan cara baru.
Jika
bentuk-bentuk tulisan dalam mushaf itu huruf-hurufnya berbeda-beda satu sama
lainnya dan bentuknya juga tidak sama, itu disebabkan orang-orang pada waktu
itu, itu tidak disebabkan oleh orang-orang yang pada waktu itu tidak
mempermasalahkannya. Mereka tidak melarang siapa saja untuk menulis al-Qur’an
sesuai dengan bentuk tulisan yang populer dikalangan mereka sendiri. Setiap
cara yang lebih mudah dan lebih masyhur dapat diterima oleh orang-orang dan
sama sekali tidak ada masalah, karena tidak ada cara dan bentuk tulisan khusus
yang ditentukan dalam penulisan al-Qur’an. ketentuannya adalah bacaan yang
benar, sementara simbol bacaan menggunakan bentuk apa saja, karena bentuk
tulisan itu sama dengan alamat dan simbol yang menunjukkan suatu kalimat.
Setiap alamat dan tanda yang mengungkapkan maksud, tidak dilarang
penggunaannya.
Ringkasnya,
siapa saja yang berpendapat bahwa al-Qur’an harus ditulis dengan bentuk tulisan
tertentu, dia harus memiliki dasar yang benar, sementara dalil untuk itu tidak
ada.[26]
Dengan kutipan di atas,
menjadi jelas bahwa adanya perbedaan diantara mushaf ‘Usmani dengan
mushaf-mushaf lainnya, tidaklah menjadikan keaslian atau otensitas mushaf itu
sendiri diragukan. Dan dalam hal ini tentu saja tradisi hapalan yang senantiasa
diwariskan kaum muslimin sejak masa awal hingga saat ini, menjadi garda
terdepan dalam menjaga kelestarian dan keotensitas al-Qur’an itu sendiri.
Sehingga perbedaan bacaan dalam mushaf tidak merusak hapalan bacaan kaum
muslimin[27].
Disamping itu proses Penyeragaman yang dilakukan ‘Usman secara perlahan mendekati
kesempurnaannya dimana pada akhirnya sistem bacaan yang diterima kaum muslimin
tetap merujuk pada Mushaf utama yakni
mushaf ‘Usmani, sehingga kekeliruan yang terdapat pada mushaf-mushaf sebaran
lainnya, tidak lagi begitu penting untuk terus dipermasalahkan,dan tidak
menganggu otensitas tulisan pada mushaf ‘Usmani yang kini tersebar dimasyarak
muslimin. sehingga bacaan yang kemudian digunakan dalam mushaf adalah adalah
bacaan ‘Ashim dengan tulisan tetap merujuk pada tulisan pada Mushaf ‘Usmani.[28]
Sedangkan berkaitan dengan
adanya inkonsistensi tulisan yang terdapat dalam mushaf ‘Usmani sendiri,
bukti-bukti yang ditunjukkan pada paparan bab sebelumnya dan dapat ditemukan
dalam tulisan mushaf yang menyebar saat ini,
sebagaimana kutipan Al-Baqilani diatas bahwa ketentuan rujukan adalah
bacaan yang benar bukan pada tulisan, maka inkonsistensi dalam tulisan mushaf
‘Usmani tidak mengurangi otensitas
mushaf itu sendiri, selama bacaan yang dimiliki kaum muslimin adalah benar, dan
memang pada faktanya berbedanya tulisan tersebut tidak menyebabkan perbedaan
kaum muslimin dalam membacanya.
Namun disisi lain, pandangan
bahwa Penulisan Mushaf ‘Usmani adalah ketentuan rasulullah saw dan tauqifi
sehingga dalam penulisan mushaf, diharuskan mengikuti model dan bentuk
penulisan awal, tampaknya terlalu berlebihan dan emosional dan bertentangan
dengan ketentuan, ‘ tulislah dengan tulisan yang mudah dibaca’ itu sendiri.
Pada kenyataannya Mushaf ‘Usmani sendiri telah mengalami berbagai bentuk
penyempurnaan tulisannya, dimulai sejak Abu ‘Aswad ad-Du’ali hingga sempurna dengan tanda-tanda
harakatnya sebagaimana kita lihat saat ini, dan dimaksudkan guna memudahkan membacanya
bagi kaum muslimin.
Dengan demikian penyempurnaan
tulisan mushaf ‘Usmani dengan penyeragaman bentuk tulisan dan penyesuaian
dengan model tulisan imla’i yang berkembang saat ini, dapat dibenarkan (untuk
tidak mengatakan sebagai sesuatu yang mendesak) untuk dilakukan, selama tetap
dalam koridor, ‘bacaan yang benar’, sehingga potensi-potensi kekeliruan dalam
membaca al-Qur’an dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Dan upaya-upaya
penyempurnaan tulisan dengan penyeragaman model tulisan dan penyesuaian dengan
pola imla’I yang berlaku saat ini, telah penulis temukan dalam mushaf-mushaf
qur’an media elektronik seperti Al-qur’an dalam Hand Phone (HP) dan PC yang
tentunya hal ini dapat juga diterapkan pada mushaf-mushaf tulisan konvensional
atau Kitab.
Dugaan adanya ayat- ayat yang
tidak terekam dalam mushaf ‘Usmani ini, biasanya terdapat dalam pembahasan
Nasakh, khususnya nasakh bacaan/teks. Dalam beberapa riwayat, dapat ditemukan
bahwa ada beberapa ayat yang diduga sebagai ayat al-Qur’an namun tidak
tercantum dalam mushaf al-Qur’an. Dalam pembahasan ‘Ulum al-Qur’an, para ‘ulama
biasanya menempatkan riwayat-riwayat tentang dugaan ayat yang tidak tercantum
ini sebagai ayat yang telah dinasakh bacaan atau teksnya oleh Allah swt.
Pandangan ini tidaklah kuat, berdasarkan bahwa riwayat-riwayat ini sendiri
didasarkan pada perkataan-perkataan sahabat setelah rasulullah wafat, seperti
riwayat-riwayatkan yang dinisbatkan pada Umar dan Aisyah. Dengan kenyataan
tersebut, maka pandangan ini sangatlah aneh, dikarenakan rasulullah telah
wafat, maka tidak mungkin wahyu dinasakh setelah wafatnya beliau karena
otoritas menasakh wahyu tentunya adalah melalui rasulullah itu sendiri. Dan
jika telah dinasakh pada masa rasulullah, para sahabat tentunya sudah
mengetahuinya, dan riwayat-riwayat dari sahabat tersebut sangat tidak mungkin
keluar dari mulut mereka.
Dalam hal ini beberapa
pandangan yang relevan dan logis bisa diketengahkan terkait dugaan adanya
ayat-ayat yang tidak tercantum dalam mushaf. ِArgumentasi Pertama, yang
bisa dikemukakan adalah kerancuan dalam membedakan Al-Qur’an dan hadits, hal
ini karena adanya kesamaan dari sudut sumber keduanya, yakni Rasulullah saw.
Berkaitan dengan riwayat tentang Rajam diatas misalnya, ada sebuah riwayat
bandingan, bahwasanya Zaid bin Tsabit mendengar
Rasulullah saw bersabda; “Seorang Dewasa laki-laki dan dewasa perempuan
berzina maka rajamlah keduanya”.[29]
Riwayat Zaid ini menunjukkan bahwa riwayat yang dikemukakan oleh Umar tentang
Rajam sesungguhnya merupakan sebuah hadits, dan kemungkinan besar bahwa ‘Umar
mengira bahwa ini adalah bagian dari wahyu al-Qur’an.
Argumentasi kedua adalah,
dari segi rima, atau bunyi ayat. Pada ayat-ayat yang diduga tidak tercantum
dalam mushaf, memiliki ketidak cocokkan dengan rima pada ayat-ayat baik sebelum
dan sesudahnya, dan tentu saja ini merupakan hal yang ganjil jika diberlakukan
terhadap al-Qur’an, dimana kesesuaian bunyi dan kandungan merupakan hal yang
sangat diperhatikan dalam wahyu al-Quran. Dimana ayat yang diduga sebagai ayat
yang tidak tercantum dalam mushaf sangat tidak berkesesuaian dengan rima
keseluruhan ayat dimana ayat yang diduga tersebut diposisikan.
Dan yang ketiga adalah,
kemutawatiran al-Qur’an, sebagaimana telah dipahami bahwa syarat diterimanya
al-Qur’an, baik keseluruhan maupun bagian-bagiannya, adalah kemutawatiran. Kaum
muslim menukilnya dari tangan ke tangan, dari generasi ke generasi melalui
riwayat yang banyak. Oleh sebab itu dugaan adanya pengurangan ayat-ayat
al-Qur’an, tidak dapat diterima karena riwayat-riwayat berkenaan dengan ayat
yang tidak tercantum dalam mushaf tersebut itu dinukil secara perorangan.
Dari paparan ini dapat di
simpulkan bahwasanya Mushaf Usmani dan yang berlaku saat ini telah mencakup
keseluruhan wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepada rasulullah saw. Adanya riwayat-riwayat
dari sahabat yang mengemukakan bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an yang tidak
tercantum dalam mushaf, pada dasarnya disebabkan kekeliruan dalam
mengidentifikasi antara hadits dan al-Qur’an, hal ini dalam kondisi tertentu
dapat dimaklumi, mengingat antara hadits dan al-Qur’an dari segi Mukhatib
(Pembicaranya) adalah sama yakni Rasulullah saw. Kesimpulan ini didukung bahwa
riwayat yang mereka kemukakan bersifat ahad atau perseorangan, yang sangat
bertentangan dengan syarat diterimanya al-Qur’an yakni riwayat mutawatir,
disamping dibeberapa kasus, terdapat
riwayat lain yang menunjukkan bahwa riwayat yang dianggap ayat tersebut adalah
hadits.
Kesimpulan
Bahwa otensitas dan
integritas Mushaf ‘Usmani tetaplah terjaga, beberapa bukti adanya perbedaan
penulisan antara mushaf-mushaf ‘Usmani dengan mushaf sebaran yang dilakukan
‘Usman tidaklah mengakibatkan berkurangnya otensitas mushaf ‘Usmani. dalam hal
ini tentu saja tradisi hapalan yang senantiasa diwariskan kaum muslimin sejak
masa awal hingga saat ini, menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian dan
otensitas al-Qur’an itu sendiri. Jika bentuk-bentuk tulisan dalam mushaf itu
huruf-hurufnya berbeda-beda satu sama lainnya dan bentuknya juga tidak sama,
itu disebabkan orang-orang pada waktu itu, itu tidak disebabkan oleh
orang-orang yang pada waktu itu tidak mempermasalahkannya. karena tidak ada
cara dan bentuk tulisan khusus yang ditentukan dalam penulisan al-Qur’an.
Sedangkan berkaitan dengan adanya inkonsistensi tulisan yang terdapat dalam mushaf
‘Usmani sendiri, memang ditemukan, namun secara substansi tidak mengurangi
otensitas mushaf itu sendiri, selama bacaan yang dimiliki kaum muslimin adalah
benar, dan memang pada faktanya berbedanya tulisan tersebut tidak menyebabkan
perbedaan kaum muslimin dalam membacanya.
Bahwa Mushaf
‘Usmani dan mushaf yang tersebar saat ini mencakup semua keseluruhan wahyu
al-Qur’an yang diterima oleh rasulullah saw. Adanya riwayat-riwayat dari
sahabat yang mengemukakan bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an yang tidak tercantum
dalam mushaf, pada dasarnya disebabkan kekeliruan dalam mengidentifikasi antara
hadits dan al-Qur’an, hal ini dalam kondisi tertentu dapat dimaklumi, mengingat
antara hadits dan al-Qur’an dari segi Mukhatib (Pembicaranya) adalah
sama yakni Rasulullah saw. Kesimpulan ini didukung bahwa riwayat yang mereka
kemukakan bersifat ahad atau perseorangan, yang sangat bertentangan dengan
syarat diterimanya al-Qur’an yakni riwayat mutawatir, disamping dibeberapa kasus, terdapat riwayat lain yang
menunjukkan bahwa riwayat yang dianggap ayat tersebut adalah hadits.
Daftar Pustaka
Al-A’zami, Sejarah
teks al-Qur’an dari Wahyu sampai kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk,
Jakarta: Gema Insani, 2005
Al-Suyuti, Al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikir, Juz. 1, 1979.
Al-Yaqubi,
Tarikh, Beirut, Jilid 2, 1960.
Az-Zarqani, Manahil ‘irfan
fi’ulum al-Qur’an, Kairo: Dar al-Fikr, Jilid 1, tt.
Muhammad Thahir Kurdi,
Tarikh al-Khat al-‘arabi, Dar al-Ma’rifat, 1987.
Muhammad Hadi
Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an, Terj. Thoha Musawa, Jakarta: Al-Huda, 2007.
Subhi As Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus,
Cet. Ke-5, 1995.
Hasan Abd hamid
Watd, Hidayaturrahman fi ‘ulum al-qur’an, Matba’ah fajru al-jadid, t.th.
[1] Dosen Ilmu al-Qur’an Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[2] Al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum
al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikir, 1979, Juz. 1, h. 124.
[3] Ibid., h. 41.
[4] Hasan Abd hamid Watd, Hidayaturrahman
fi ‘ulum al-qur’an, Matba’ah fajru al-jadid, h. 55
[5] Ahmad Von Daffer, Op.cit, h.
52.
[6] Ibid., h. 63.
[7] Al-A’zami, Sejarah teks
al-Qur’an dari Wahyu sampai kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta,
Gema Insani, 2005, h. 105.
[8] Al-Yaqubi, Tarikh, Beirut,
1960, Jilid 2, h. 170.
[9] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah
al-Qur’an, Terj. Thoha Musawa, Jakarta: Al-Huda, 2007, h. 214
[10] Subhi As Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus,
Cet. Ke-5, 1995, h. 90.
[11] Ibid., h. 93.
[12] Al-A’zami, Sejarah teks
al-Qur’an……., h. 105.
[13] Al-Yaqubi, Tarikh, Beirut,
1960, Jilid 2, h. 170.
[14] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah
al-Qur’an……, h.214
[15] Suyuthi, Al-Itqan fi’ulum
al-Qur’an, tp,tt, Juz I, h.184
[16] Suyuthi, Al-Itqan fi’ulum
al-Qur’an….., h. 183, dan menurutnya hadits ini memenuhi isnad Bukhari dan
Muslim.
[17] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah
al-Qur’an……, h.194
[18] Muhammad Thahir Kurdi, Tarikh
al-Khat al-‘arabi, Dar al-Ma’rifat, 1987, h. 101-102.
[19] Subhi Shalih, Mabahits fi’ulum al-Qur’an, Kairo, Dar
al-Fikr, 1986, h. 277
[20] As-Suyuthi , Al-Itqan fi’ulum
al-Qur’an….., Juz II, h.25. Lihat juga Shahih Bukhari, kitab riqaq
[21] Ibid, h.75
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Bukhori, Shahih Bukhari…..,
h. 25
[26] Az-Zarqani, Manahil ‘irfan
fi’ulum al-Qur’an, Kairo: Dar al-Fikr, Jilid 1, tt, h. 373-378
[27] Walaupun perbedaan tulisan ini
merupakan salah satu bacaan Qira’at namun, perbedaan bacaan tersebut tidak
keluar dari koridor bacaan yang diperbolehkan dan disepakati kebenarannya oleh
kaum muslimin.
[28]Secara tidak langsung kaum muslin
telah menyepakati, dengan tersebarnya al-Qur’an dengan satu versi bacaan yang
kemudian diterima seluruh kaum muslimin di dunia, bahwa bentuk bacaan dalam
pembacaan mushaf adalah satu bacaan, dan menolak model bacaan lain bagi
penulisan mushaf, walaupun memperbolehkan mempelajarinya.
[29] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar