Rabu, 25 September 2013

Otensitas Dan Integritas Mushaf ‘Usmani

Otensitas Dan Integritas Mushaf ‘Usmani




Oleh:
Ahmad Muttaqin[1]

Abstrak
Meskipun keberadaan Mushaf ‘Usmani sudah berumur ribuan tahun, akan tetapi eksistensi dan otentisitasnya kerapkali mendapatkan gugatan. Gugatan itu terutama muncul dari kalangan orientalis sampai hari ini. Tulisan ini mencoba menelusuri dan melacak argumentasi untuk menolak berbagai jenis gugatan yang dilancarkan oleh para Orientalis itu. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa otensitas dan integritas Mushaf ‘Usmani tetaplah terjaga, beberapa bukti adanya perbedaan penulisan antara mushaf-mushaf ‘Usmani dengan mushaf sebaran yang dilakukan ‘Usman tidaklah mengakibatkan berkurangnya otensitas mushaf ‘Usmani. Berkaitan dengan adanya inkonsistensi tulisan yang terdapat dalam mushaf ‘Usmani sendiri, memang ditemukan, namun secara substansi tidak mengurangi otensitas mushaf itu sendiri, selama bacaan yang dimiliki kaum muslimin adalah benar, dan memang pada faktanya berbedanya tulisan tersebut tidak menyebabkan perbedaan kaum muslimin dalam membacanya. Adanya riwayat-riwayat dari sahabat yang mengemukakan bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an yang tidak tercantum dalam mushaf, pada dasarnya disebabkan kekeliruan dalam mengidentifikasi antara hadits dan al-Qur’an, hal ini dalam kondisi tertentu dapat dimaklumi, mengingat antara hadits dan al-Qur’an dari segi Mukhatib (Pembicaranya) adalah sama yakni Rasulullah saw.

Kata Kunci: Otensitas, Integritas, Mushaf ‘Usmani



Pendahuluan.
Al-qur’an yang ada dihadapan kita saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah, yang tidak lain merupakan peran dari para sahabat dalam penulisan al-qur’an dimulai  masa rasulullah saw, kemudian masa Abu Bakar ash-Shidieq ra dan masa Usman bin Affan. Ada dua hal yang membuat terjaga ketika itu, pertama, hapalan yang tersimpan rapi dalam dada para sahabat. Kedua, tertulisnya al-Qur’an, walaupun masih belum tersusun secara teratur, masih terpisah-pisah dalam ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terdiri dari kulit, tulang, pelepah kurma batu tipis dan kayu.
Dengan jangka waktu sekian puluh tahun, al-Qur’an mengalamai penjagaan yang ketat, baik secara hafalan maupun secara tulisan. as-Suyuti dalam bukunya “al-Itqan” menyebutkan lebih dari dua puluh nama yang amat dikenal sebagai penghafal al-Qur’an, di an-tara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, ibn Mas’ud,  Abu  Hurairah,  Abdullah  bin  Abbas,  Abdullah bin ‘Amer bin al-‘Ash, Aisyah, Hafsah, dan Ummu Salamah.[2]
Telah banyak informasi yang menyebutkan bahwa al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terutama ketika beliau masih hidup. Dan kebiasaan ini tetap berlangsung pada saat beliau telah wafat, dan kemudian di kalangan para tabi’in hingga ke genarasi sekarang ini. Secara keseluruhan al-Qur’an telah dituliskan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, hanya saja belum dikumpulkan di satu tempat. Sehingga dengan demikian seluruh bahan tersebut belum tersusun secara teratur.[3]
Pernyataan ini menunjukkan bahwa lewat hafalan dan penulisan dengan bahan yang ada tersebut, penyusunan al-Qur’an serta surat-surat yang di dalamnya telah dilakukan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara pribadi, dan ke-mudian terjaga melalui penyampaian lisan.
Pengumpulan dan penulisan al-Qur’an terus berlangsung dari masa ke masa, sebagai salah satu bentuk penjagaan kitab al-Qur’an. Pengumpulan dari masa ke masa tersebut mengalami perkembangan sesuai kondisi yang berlaku. Tidak dapat ragukan lagi, al-Qur’an tidak saja diteruskan atau disampaikan secara lisan oleh umat Islam yang telah mempelajari sebagian atau seluruhnya, tetapi juga telah dituliskan pada zaman rasul masih hidup.
Pada masa Abu Bakar, akibat peperangan yang sering berkecamuk melawan kaum murtad, pembangkang zakat, dan nabi palsu,  menyebabkan banyaknya para Huffazh yang gugur, bahkan diantara peperangan yang hebat itu, adalah peperangan Yamamah. Kaum muslimin dibawah komandoKhalid bin Walid sang pedang Allah bertarung sengit melawan Musailamah Al-kadzab dan anak buahnya. banyak sahabat yang syahid dalam pertempuran ini diantaranya terdapat tujuh puluih orang qurro, sallim maula Abi hudzaifah dan Abu Hudzaifah sendiri termasuk didalamnya. Bahkan sebagian orang ada yang menghitung mencapai limaratus orang qurro.[4] Hal ini yang kemudian yang menggugah Umar untuk mendesak Abu Bakar untuk membukukan al-Qur’an.
Selama pemerintahan Utsman, perbedaan dalam cara membaca begitu meruncing, dan sesudah bermusya-warah dengan para sahabat akhirnya Utsman berhasil me-nyusun sebuah naskah standar, yang dipersiapkan dari shu-huf Abu Bakar, yang saat itu disimpan dirumah Hafsah. Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa ketika Hudzaifah bin Al-Yaman datang kepada Utsman yang mana orang-orang Syam dan Irak sedang bertempur untuk menundukkan Armenia dan Azarbaijan, terjadi perbedaan cara mebaca al-Qur’an.[5]
Hudzaifah merasa khawatir menyaksikan perselisihan tersebut dan meminta Utsman menyelesaikannya. Di antara mereka yang berbeda membaca al-Qur’an merasa masing-masing paling benar. Mushaf-mushaf hasil penggandaan pada Utsman itu di sebarkan ke berbagai daerah, seperti Makkah (Hijaz), Syam (Damaskus). Kuffah (Irak), Basrah dan Madinah (kediaman Utsman).[6]
Sebagaimana telah diketahui bahwasanya, setelah melakukan kodifikasi ‘Usman kemudian memperbanyak mushafnya, yang kemudian disebar ke berbagai daerah. Ada beberapa versi tentang berapa banyak naskah Mushaf yang disebar oleh ‘Usman, ada yang mengatakan empat, Kufah, Basrah dan Suriah yang satu lagi disimpan di Madinah, ada yang mengatakan delapan, dengan menambahkan Mekkah, Yaman dan Bahrain dan satu lagi disimpan oleh ‘Usman sendiri.[7] Bahkan al-Yaqubi, seorang sejarawan Syi’ah menyebutkan sembilan naskah mushaf yang disebarkan oleh ‘Usman, yakni Kufah, Basra, Madinah, Mekkah, Mesir, Suriah, Bahrain, Yaman dan al-Jazirah.[8]
Salinan-salinan mushaf usmani yang diedarkan disejumlah kota, dalam kenyataanya, tidaklah sempurna. Terdapat beberapa kekeliruan penulisan pada mushaf-mushaf yang disebarkan tersebut, atau dengan kata lain adanya ketidak sesuaian penulisan antara mushaf-mushaf tersebut dengan mushaf induk yang dipegang oleh ‘Usman. [9]
Di sisi lain Mushaf Ustmani secara doktrinal, dipandang telah mencakup keseluruhan Wahyu Illahi yang telah diterima oleh Rasulullah yang semestinya dimasukkan dalam kompilasi tersebut. Tetapi sejumlah riwayat yang sampai ke tangan kita dewasa ini juga memberitakan adanya  sejumlah wahyu lainnya yang tidak terekam secara tertulis didalamnya. Adanya ayat-ayat yang dipandang bagian al-Qur’an, namun tidak terekam dalam dokumen mushaf ‘Usmani ini sebagian besarnya dikemukakan dalam bahasan panjang lebar para ulama tentang nasikh dan mansukh.

Latar belakang Mushaf ‘Usmani.
Telah terjadi perselisihan dikalangan umat Islam ber-kenaan dengan cara membaca al-Qur’an, ini muncul di an-taranya dalam suatu riwayat tatkala kaum muslimin hendak mengadakan peperangan menundukkan Armenia dan Azer-beijan, sebagaimana telah terungkap pada pembahasan terda-hulu. Utsman mendapat laporan dari Hudzaifah yang me-nyaksikan pertentangan di antara kaum muslimin yang ber-beda daerah didalam membaca al-Qur’an.
Ketika mendengar berita dari Hudzaifah bin Al-Yaman, Utsman berinisiatif mengirim sepucuk surat kepada Hafsah berisi permintaan agar mengirimkan mushaf yang disimpannya untuk disalin menjadi beberapa mushaf. Setelah itu akan dikembalikan lagi kepadanya. Dari riwayat tersebut memberikan keterangan kepada kita terhadap lima perkara[10], yaitu :
1.        Perbedaan cara membaca al-Qur’an, inilah masalah pokok yang menjadikan Utsman bergerak hatinya untuk menyalin mushaf, menjadi beberapa mushaf yang akan menjadi standar dalam membaca al-Qur’an.
2.        Komisi yang bertugas menyalin mushaf tersendiri dari empat orang.
3.        komisi empat yang bekerja menggunakan atau merujuk kepada mushaf yang ada pada Hafsah menjadi dasar salinan yang merupakan hasil penghimpunan di masa Abu Bakar.
4.        Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab dialek Quraisy, dialek yang diutamakan dalam penulisan nash al-Qur’an bila terdapat perbedaan an-tara ketiga orang Quraisy dan Zaid bin Tsabit.
5.        Khalifah Utsman mengirimkan salinan mushaf hasil kerja komisi empat ke daerah-daerah meskipun meng-enai jumlah mushaf ini terdapat perbedaan di ka-langan ulama dan keberhasilannya menghilangkan pertengkaran dalam membaca al-Qur’an. [11]

Kekhawatirannya akan terjadinya perselisihan dalam membaca al-Qur’an bukan saja muncul dari diri Hudzaifah bin Al-Yaman, tetapi pada diri Utsman dan juga orang-orang muslim lainnya. Mereka setelah mendengar instruksi pem-bakaran dan pemusnahan dari khalifah Utsman, mengada-kan pemusnahan mushaf yang ada di tangan mereka secara kesadaran masing-masing.
Demikian beberapa peristiwa yang melatar belakangi munculnya penulisan mushaf Utsmani, dan menjadikannya sebagai mushaf standar bagi kaum muslimin dalam mem-baca al-Qur’an. Khalifah Utsman selanjutnya memerintahkan untuk memusnahkan mushaf-mushaf selain hasil penyalinannya.

Kerancuan disekitar Mushaf ‘Usmani.
1.        Kerancuan Penulisan.
Dalam sebagian besar buku ‘ulumul qur’an yang ditulis, terdapat sebuah subjek pembahasan yang disebut Rasm al-Qur’an atau Rasm’Utsmani, yang sering diidentifikasi sebagai pola-pola penulisan yang dilakukan dalm Mushaf “utsmani yang berbeda dengan pola penulisan Imla’i. Perdebatan disekitar objek tersebut pada umumnya, disekitar apakah penulisan tersebut merupakan ketetapan Rasulullah saw (Tauqifi) atau merupakan produk Ijtihad dari ‘Usman dan sahabat yang terkumpul dalam panitia penulisan al-Qur’an yang dibentuk oleh Khalifah ‘Usman. Namun dari berbagai perdebatan tersebut pada akhirnya tetap berujung pada keharusan mengikuti tulisan pada Mushaf ‘Usmani sebagai sebuah keputusan Ijma’ yang tidak dapat diganggu gugat.
Sebagaimana telah diketahui bahwasanya, setelah melakukan kodifikasi ‘Usman kemudian memperbanyak mushafnya, yang kemudian disebar ke berbagai daerah. Ada beberapa versi tentang berapa banyak naskah Mushaf yang disebar oleh ‘Usman, ada yang mengatakan empat, Kufah, Basrah dan Suriah yang satu lagi disimpan di Madinah, ada yang mengatakan delapan, dengan menambahkan Mekkah, Yaman dan Bahrain dan satu lagi disimpan oleh ‘Usman sendiri.[12] Bahkan al-Yaqubi, seorang sejarawan Syi’ah menyebutkan sembilan naskah mushaf yang disebarkan oleh ‘Usman, yakni Kufah, Basra, Madinah, Mekkah, Mesir, Suriah, Bahrain, Yaman dan al-Jazirah.[13]
Salinan-salinan mushaf usmani yang diedarkan disejumlah kota, dalam kenyataanya, tidaklah sempurna. Terdapat beberapa kekeliruan penulisan pada mushaf-mushaf yang disebarkan tersebut, atau dengan kata lain adanya ketidak sesuaian penulisan antara mushaf-mushaf tersebut dengan mushaf induk yang dipegang oleh ‘Usman.  Sebagian perbedaan-perbedaan tersebut dapat disebutkan dalam bagan berikut[14]:


Surat

Ayat

Mushaf Madinah dan Syam
Mushaf Kufah dan Basrah
(Mushaf yang sesuai dengan saat ini)
Al-Baqarah
 116

َقَالُواْ اتَّخَذَ اللّهُ وَلَدا
وَقَالُواْ اتَّخَذَ اللّهُ وَلَداً
Al-Baqarah
132
واََوصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ
Al- Maidah
54
مَن يَرْتَدد مِنكُمْ عَن دِينِهِ
مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ
Al-A’raf
141
وَإِذْ أَنجَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَونَ
وَإِذْ أَنجَيْنَاكُم مِّنْ آلِ فِرْعَونَ
Al-Isra’
93
قال سُبْحَانَ رَبِّي
قُل سُبْحَانَ رَبِّي

Usman sendiri, dalam sebuah riwayat, sudah sejak awal menemukan kekeliruan-kekeliruan yang terdapat pada mushaf-mushaf tersebut, ketika memeriksa salah satu eksemplar yang telah ditulis, Beliau mengatakan bahwa kekeliruan itu tidak perlu diubah, karena Orang Arab bisa membacanya dengan benar.[15] Dengan riwayat ini tampaknya ‘Usman meyakini bahwa kemampuan bahasa dan Hapalan bangsa Arab, bisa dijadikan pegangan dalam memelihara kelestarian al-Qur’an, sehingga kekeliruan-kekeliruan penulisan tidak berdampak bagi otensitas al-Qur’an sendiri.
Hadi Ma’rifat, menyebutkan beberapa faktor penting penyebab perbedaan penulisan diantara mushaf-mushaf tersebut:
a.    Usia khat dikalangan Arab yang masih belia.
Pada waktu itu Khat dikalangan Arab masih berbentuk sangat sederhana, karena dasar-dasarnya masih belum kuat. Apalgi orang-orang Arab masih belum mengetahui seni tulis dan cara penulisan yang benar. Banyak sekali kata-kata yang mereka tulis berdasarkan analogi pengungkapannya. Dalam kaligrafi saat ini masih ada bekas-bekas tersebut. Dalam kaligrafi, bentuk “Nun” yang ada diakhir kalimat ditulis dalam bentuk uang tidak berbeda denga “Ra”. Demikian juga bentuk ‘Wawu’ atau ‘Ya’ yang pada saat itu adalah satu. Banyak bentuk ‘Mim” dan ‘dal’ ditulis dalam bentuk Kaf, dalam Khat Kufi, dan ‘ain yang berada ditengah ditulis dalam bentuk’ Ha’.

b.    Tidak adanya titik sebagai pembeda huruf.
Salah satu faktor lainnya adalah tidak adanya titik pada huruf-hurf Mu’jamah (bertitik) dan huruf-huruf Muhmalah (tidak bertitik), oleh karena itu antara “ سdan “ش begitupula huruf-huruf  ن ق ف غ ع ط ظ ص ض خ ح ج ث ت ب
Pembaca harus bisa membedakannya setelah tahu makna kata sesuai dengan yang diujarkan dengan jeli.

c.    Tidak adanya tanda baca dan harakat-harakat.
Dalam mushaf-mushaf awal kalimat-kalimat dicatat tanpa segala bentuk I’rab dan harakat, wazan dan harakat I’rab serta bina kalimat tidak jelas. Karenanya sulit bagi pembaca selain orang Arab untuk membedakan bagaimanakah wazan dan harakat kalimat itu. Bahkan bagi orang selain arab pun bagaimanakah bentuk kalimat itu. Sebagai contoh; kata اعلم  itu fi’il amr atau fi’il Mutakalim mudhari, apakah af’alul tafdhil atau fi’il madhi. Hamzah dan Kisa’i membaca al-Baqarah 259:
قالَ اعْلَمُ أَنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Dengan fi’il amr (I’lam) sedangkan yang lainnya membaca dengan fi’il mudhari mutakalim (A’lamu).

d.   Tidak adanya alif dalam kalimat-kalimat.
Faktor yang menimbulkan masalah dalam tulisan al-Qur’an adalah tidak adanya alif  dalam tulisan saat itu. Khat Khufi diambil dari khat Suryani. Dalam khat Suryani tidak lazim menulis Alif ditengah-tengah kalimat, maka huruf alif tersebut dihilangkan. Karena awalnya al-Qur’an ditulis dalam huruf Khufi, maka para penulis tidak menulis huruf alif ditengah-tengah kalimat seperti سماوات  , mereka menulisnya سموت. Hal ini kemudian menimbulkan perbedaan bacaan, sebagai contoh Nafi’, Abu Amr dan Ibnu katsir membaca ayat  وَمَا يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم
Dalam surat al-Baqarah 9, dengan bacaan: وَمَا يَخْادَعُونَ إِلاَّ أَنفُسَهُم  dengan alasan bahwa kalimat ini sudah tercantum diawal kalimat dengan wazan seperti itu, dengan alif, dan mereka menyangka seperti itu, padahal kaliamt yang dimaksud adalah tanpa alif. 
Faktor-faktor yang dikemukakan oleh Hadi ma’rifat, semestinya hanya berlaku pada mushaf Utama yakni Mushaf  yang ada ditangan Usman sendiri, sebagai mushaf rujukan, tidak pada mushaf yang merupakan salinan, karena bagaimanapun semestinya mushaf salinan mestinya hanya sebagai copyan dari mushaf utama. Dengan demikian kesalahan yang terjadi pada mushaf salinan yang disebarkan justeru terletak pada penulis mushaf itu sendiri, atau panitia yang dibentuk Usman. Dan faktor-faktor yang disebutkan Hadi Ma’rifat  ini lebih tepat  merupakan salah satu faktor berkembangnya perbedaan bacaan (qira’at) pada masa selanjutnya.
Kesalahan-kesalahan penulisan, pada mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Khalifah ‘Usman bin Affan ternyata tidak hanya terletak pada mushaf-mushaf salinan, ternyata juga terdapat pada Mushaf Utama. Sebuah riwayat menceritakan bahwa Aisyah menemukan sejumlah kekeliruan yang terdapat pada mushaf ‘Usmani; Kalimat dalam surat An-Nissa; 162: “Lakini  ar-rasikhuna……wa almuqimina….”   semestinya “lakina…. Wa almuqimuna…”, surat al-Maidah; 59 “innaladzina amanu…. Wa al-shabiuna” semestinya “al-shabi’ina” dan dalam surat Thaha ; 63; “inna hadzani lasahiraani” Semestinya “hadzayni” dan menegaskan bahwa ini sepenuhnya kesalah penulis.[16]
Di samping beberapa kesalahan yang dilansir oleh riwayat dari Aisyah di atas, beberapa tulisan juga menunjukkan inkonsistensi dari penulis mushaf tersebut. Dalam mushaf ‘Usmani kita dapati satu kalimat ditulis dalam suatu bentuk tertentu, sementara kalimat itu juga ditulis dalam tempat lain dalam bentuk yang berbeda; berikut beberapa inkonsistensi yang ditemukan dalm Mushaf ‘Usmani, yang terdapat pada mushaf saat ini juga:

Kalimat dengan Imla Yang benar
Kalimat dengan Imla yang salah
 (al-Hijr78 dan Qaf 14)  اَصْحَابُ الأَيْكَةِ
(Shad; 13 dan As-Syu’ara 176) أَصْحَاب لَيْكَة   
(at-Taubah; 91) لَّيْسَ عَلَى الضُّعَفَاء
(Ibrahim; 21) فَقَالَ الضُّعَفؤاَ
(al-a’raf ;34) فَلاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً
(Yunus 49) فَلاَ يَسْتَءخِرُونَ سَاعَةً
(Ar-Ra’du 14) وَمَا دُعَاء الكَافِرِينَ
(al-Ghafir ;50) وَمَا دُعؤا الكَافِرِينَ
(Ali Imran; 182) لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِّلعَبِيدِ
(al-hajj;10) لَيْسَ بِظَلمٍ لِّلعَبِيدِ
(al-Hajj; 66) أَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُم 
(al-Baqarah;28) فَأَحْيَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ
(al-Hajj;5) فِي الأَرْحَامِ مَا نَشَاء
(Hud; 87) فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَؤا
(An-Nahl;18) وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمََة اللّهِ
(Ibrahim; 43)وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّه  
(Muhammad; 14) عَلَى بَيِّنَةٍ مِّنْهُ
(Fathiir;40) عَلَى بَيِّنَتٍ مِّنْهُ
(al-Ghafir;18) لَدَى البَابِ
)Yusuf; 25) لَدَا البَابِ
(An-Nazi’at; 17) إِنَّهُ طَغَى
(al-Haqqah;11) طَغَا المَاء
(al-Mu’minun; 33) وقَالَ المََلأُ
(al-Mu’minun; 24)فَقَالَ المََلؤاُ
(Yasiin; 59) أَيُّهَا المُجْرِمُونَ
(ar-Rahman; 31) أَيُّه الثَّقَلاَنِ
                       
Terhadap bukti-bukti ini, sekelompok ulama, menolak bahwa perbedaan penulisan dalam mushaf ‘Usmani ini adalah sebuah kekeliruan, mereka tetap berpegang teguh, bahwa bentuk penulisan ini merupakan disusun atas perintah rasulullah saw atau tauqifi. Kemudian semua kesalahan dalam tulisan ini dianggap suatu misteri atau hikmah terselubung yang tiada seorang pun yang mengetahui selain Allah. Dalam hal ini Abul Abbas Marakisy yang dikenal dengan Ibnul Bina (w. 721) dalam kitabnya Unwan al-Dalil fi Marsum at-Tanzil menjelaskan dengan detail bahwa posisi huruf-huruf tersebut adalah berdasarkan perbedaan dan bentuk makna kalimat yaitu misteri-misteri serta hikmah-hikmah yang terselubung, yang diantaranya adalah perhatian kepada alam-alam ghaib dan alam nyata serta tingkatan-tingkatan dan kedudukan wujud.[17] 
Sebagian ulama berusaha melakukan investigasi atas masalah penulisan ini. Seringkali pandangan yang mereka kemukakan terkesan sangat dipaksakan. Sebagai contoh mereka mengatakan bahwa, tambahan Alif  dalam kata َلأَاذْبَحَنَّهُ   untuk menunjukkan sembelihan yang disebutkan di awal surat an-Naml ayat 21 itu, yaitu suatu azab yang paling pedih, demikian pula kata     مائة adalah tambahan tetapi dalam   فئة  tidak ada tambahannya, karena        مائة  artinya banyak, satuan dan puluhan.    
Bahkan Thahir Kurdi, setelah menjelaskan sebagian kesalahan-kesalahan penulisan Mushaf ‘Usmani serta kontradiksi didalamnya, berpendapat: ‘Penulisan Mushaf adalah sebuah rahasia dari rahasia-rahasia illahi yang tak seorangpun mengetahuinya. Janganlah kalian menyangka mereka lupa, salah dan tidak mengerti tentang dasar-dasar ilmu tulis, karena prasangka tersebut adalah khayalan yang tidak benar. Kita memiliki keyakinan yang pasti bahwa para sahabat mengetahui kaidah-kaidah imla dan tulis menulis sebagaiman mestinya”[18]Mereka menempatkan perbedaan yang terdapat dalam penulisan mushaf, seolah-olah memiliki posisi yang sama dengan huruf-huruf Muqaththa’ah, yang mengandung misteri dan hikmah yang tersembunyi. Berkaitan dengan ini Subhi Shalih menanggapi anggapan tersebut, “Tidak diragukan lagi ini adalah pendapat berlebihan berkaitan dengan penulisan Mushaf ‘Usmani. Tidak logis jika kita menganggap bahwa tulisan-tulisan itu masalah Tauqifi dan atas perintah rasulullah saw atau kita memandang bahwa penulisan tersebut  mengandung misteri yang sama dengan awal sebagian surat yang juga misteri. Tiada satu kasus pun yang bisa dijadikan pembanding antara tulisan tersebut dengan huruf Muqaththa’ah yang terbukti mutawatir. Semua ini adalah istilah-istilah yang dibuat-buat oleh para penulis pada zaman itu yang disetujui ‘Usman pada saat itu.[19]                    
2.         Dugaan pengurangan Mushaf ‘Usmani.
Mushaf ‘Usmani, sampai saat ini dipandang, telah mencakup keseluruhan wahyu Illahi yang diterima Nabi Muhammad saw. Namun dalam beberapa riwayat kita temukan adanya dugaan sejumlah ayat yang tidak terdokumen dalam mushaf ‘Usmani. Materi-materi  (dugaan sebagai ayat) ini dikemukakan secara panjang lebar dalam bahasan nasikh dan Mansukh. Secara garis besarnya, teradap tiga kategori utama dalam berbagai bahasan nasikh dan mansukh ini: pertama, adalah wahyu yang terhapus baik hukum maupun bacaannya (Naskh al-hukm wa at-tilawah), kedua, Wahyu yang hanya terhapus hukumnya. Sementara teks dan bacaannya masih terdapat dalm mushaf (naskh al-hukm duna at-Tilawah) dan yang terakhir, adalah wahyu yang terhapus teks dan bacaannya, tetapi hukumnya masih berlaku (Naskh al-tilawah duna al-hukm).
Dalam ketiga kategori naskh di atas, pada point pertama dan ketigalah yang paling relevan dengan subjek pembahasan ini. Kedua kategori di atas mengindikasikan ada sejumlah ayat yang tidak terekam dalam dokumen al-Qur’an yang ditulis dalam mushaf ‘Usmani. Dalam kategori pertama, yakni terhapus hukum dan bacaannya, riwayat yang paling sering diajukan adalah bacaan yang berbunyi:
لو ان لابن اَدم واديان من مال لابتغى واديا ثالثا ولايملأ جوف
 ابن ادم الا التراب و يتوب الله على من تاب

Artinya: “Seandainya anak adam memiliki dua gunung harta, maka  ia akan meminta tambah untuk yang ketiga, dan tidak ada yang memuaskan anak adam kecuali tanah. Dan Allah mengampuni kepada orang-orang yang bertaubat”.[20]
Dalam sebuah riwayat, ayat ini disisipkan diantara ayat 24 dan 25 surat Yunus. Sejumlah sahabat nabi, diantaranya Abu Musa al-‘Asy’ari, memandangnya sebagai bagian dari al-Qur’an, tetapi pada masa belakangan telah dinasakh.
Begitupula riwayat yang berasal dari ‘Aisyah, terkait penyusuan yang menjadikan seseorang menjadi muhrim, yang mengatakan,”Sepuluh susuan bisa menyebabkan muhrim, namun kemudian ayat tersebut dinasakh oleh ayat lima susuan, dan ketika rasulullah wafat. kedua ayat ini dibaca sebagai bagian dari al-Qur’an”.[21]
Disamping model nasakh diatas, dalam sejumlah riwayat, terdapat sejumlah materi wahyu yang dinisbatkan kepada ‘Umar, yang tidak terekam dalam Mushaf ‘Usmani, misalnya tentang rajam yang berbunyi:
اذا زنا الشيخ و الشيخة فا رجموهما البتة نكلالا من الله والله عزيز حكيم

Artinya: “Apabila seorang laki-laki dewasa dan perempuan dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan, dan Tuhan Maha Kuasa lagi Bijaksana”[22]

Juga tentang Jihad :
جاهدوا كما جاهدتم اول مرة

Artinya: “ Berjihadlah kalian seperti kalian telah berjihad untuk pertama kalinya”. [23]

Berbagai riwayat ini seakan mengindikasikan bahwa ada sejumlah ayat yang tidak terekam dalam tulisan mushaf ‘Usmani, dan menunjukkan bahwa mushaf ‘Usmani tidak mencakup keseluruhan wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepada rasulullah saw. Adapun kategorisasi beberapa ‘ulama sebagai bagian ayat yang dinasakh (hapus) bacaannya, merupakan sebuah pandangan yang naif, karena bacaan ayat tersebut nyatanya masih terdapat dalam riwayat-riwayat yang sampai kepada kita, dan  semestinya tidak ada sesuatu penghalangpun yang menyebabkan ia tidak tertulis dalam mushaf.
Dalam hal ini beberapa pandangan yang relevan dan logis bisa diketengahkan terkait dugaan adanya ayat-ayat yang tidak tercantum dalam mushaf. ِArgumentasi Pertama, yang bisa dikemukakan adalah kerancuan dalam membedakan Al-Qur’an dan hadits, hal ini karena adanya kesamaan dari sudut sumber keduanya, yakni Rasulullah saw. Berkaitan dengan riwayat tentang Rajam diatas misalnya, ada sebuah riwayat bandingan, bahwasanya Zaid bin Tsabit mendengar  Rasulullah saw bersabda; “Seorang Dewasa laki-laki dan dewasa perempuan berzina maka rajamlah keduanya”.[24] Riwayat Zaid ini menunjukkan bahwa riwayat yang dikemukakan oleh Umar tentang Rajam sesungguhnya merupakan sebuah hadits, dan kemungkinan besar bahwa ‘Umar mengira bahwa ini adalah bagian dari wahyu al-Qur’an.
Argumentasi kedua adalah, dari segi rima, atau bunyi ayat. Pada ayat-ayat yang diduga tidak tercantum dalam mushaf, memiliki ketidak cocokkan dengan rima pada ayat-ayat baik sebelum dan sesudahnya, dan tentu saja ini merupakan hal yang ganjil jika diberlakukan terhadap al-Qur’an, dimana kesesuaian bunyi dan kandungan merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam wahyu al-Quran. Contoh dalam hal ini adalah tentang ayat Bani adam diatas yang dikatakan berada diantara ayat 24 dan 25 surat Yunus. Ayat ini tidak berkesesuaian rima dengan ayat sebelum dan sesudahnya, karena ayat-ayat sebelum dan sesudahnya rata-rata berima dalam –un- kecuali ayat 25 yang berima –im (atau -in). bahkan ungkapan Ibn adam, merupakan ungkapan yang asing bagi al-Qur’an. Di samping itu, dalam riwayat Bukhari dari Ibnu Zubayr, ayat diatas hanya disebut sebagai hadits Nabi bukan wahyu al-Qur’an.[25]      
Dan yang ketiga adalah, kemutawatiran al-Qur’an, sebagaimana telah dipahami bahwa syarat diterimanya al-Qur’an, baik keseluruhan maupun bagian-bagiannya, adalah kemutawatiran. Kaum muslim menukilnya dari tangan ke

Otensitas Dan Integritas Mushaf Usmani.
Berkenaan dengan terungkapnya bukti-bukti adanya bahwa adanya perbedaan antara Mushaf utama dan mushaf salinan penulisan mushaf ‘Usmani yang disebarkan, ada baiknya kita tuliskan pernyataan Al-baqilani dalam kitabnya al-Inthisar sebagaimana dikutip oleh az-Zarqani:
“Allah tidak mengharuskan bentuk tertentu sebuah tulisan untuk manusia. Tentang penulisan al-Qur’an dan para penulis-penulis mushaf, tidak ada ketentuan model tulisan tertentu untuk mencatat al-Qur’an, juga tidak ada larangan menggunakan model tulisan sebagaimana tulisan awal. Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa al-Qur’an bisa ditulis dengan segala bentuk yang lebih mudah, sebab rasulullah saw hanya memerintahkan untuk menulis al-Qur’an saja, tidak menentukan cara dan model tulisan tertentu untuk menulisnya. Tidak seorangpun dilarang untuk menulis al-Qur’an oleh beliau. Karena itulah tulisan-tulisan mushaf itu berbeda-beda dan setiap kelompok menulis al-Qur’an dengan metodologi yang berlaku dikalangan mereka sendiri. Oleh sebab itu bentuk tulisan ditulis dengan huruf Kufi dan khat dasar (Lam dituis dengan bentuk huruf Kaf dan alif ditulis dengan melengkung). Bentuk tulisan bisa ditulis dengan bentuk lain, dengan metodologi kuno atau dengan cara baru.
Jika bentuk-bentuk tulisan dalam mushaf itu huruf-hurufnya berbeda-beda satu sama lainnya dan bentuknya juga tidak sama, itu disebabkan orang-orang pada waktu itu, itu tidak disebabkan oleh orang-orang yang pada waktu itu tidak mempermasalahkannya. Mereka tidak melarang siapa saja untuk menulis al-Qur’an sesuai dengan bentuk tulisan yang populer dikalangan mereka sendiri. Setiap cara yang lebih mudah dan lebih masyhur dapat diterima oleh orang-orang dan sama sekali tidak ada masalah, karena tidak ada cara dan bentuk tulisan khusus yang ditentukan dalam penulisan al-Qur’an. ketentuannya adalah bacaan yang benar, sementara simbol bacaan menggunakan bentuk apa saja, karena bentuk tulisan itu sama dengan alamat dan simbol yang menunjukkan suatu kalimat. Setiap alamat dan tanda yang mengungkapkan maksud, tidak dilarang penggunaannya.
Ringkasnya, siapa saja yang berpendapat bahwa al-Qur’an harus ditulis dengan bentuk tulisan tertentu, dia harus memiliki dasar yang benar, sementara dalil untuk itu tidak ada.[26]

Dengan kutipan di atas, menjadi jelas bahwa adanya perbedaan diantara mushaf ‘Usmani dengan mushaf-mushaf lainnya, tidaklah menjadikan keaslian atau otensitas mushaf itu sendiri diragukan. Dan dalam hal ini tentu saja tradisi hapalan yang senantiasa diwariskan kaum muslimin sejak masa awal hingga saat ini, menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian dan keotensitas al-Qur’an itu sendiri. Sehingga perbedaan bacaan dalam mushaf tidak merusak hapalan bacaan kaum muslimin[27]. Disamping itu proses Penyeragaman yang dilakukan ‘Usman secara perlahan mendekati kesempurnaannya dimana pada akhirnya sistem bacaan yang diterima kaum muslimin tetap merujuk pada Mushaf  utama yakni mushaf ‘Usmani, sehingga kekeliruan yang terdapat pada mushaf-mushaf sebaran lainnya, tidak lagi begitu penting untuk terus dipermasalahkan,dan tidak menganggu otensitas tulisan pada mushaf ‘Usmani yang kini tersebar dimasyarak muslimin. sehingga bacaan yang kemudian digunakan dalam mushaf adalah adalah bacaan ‘Ashim dengan tulisan tetap merujuk pada tulisan pada Mushaf ‘Usmani.[28]    
Sedangkan berkaitan dengan adanya inkonsistensi tulisan yang terdapat dalam mushaf ‘Usmani sendiri, bukti-bukti yang ditunjukkan pada paparan bab sebelumnya dan dapat ditemukan dalam tulisan mushaf yang menyebar saat ini,  sebagaimana kutipan Al-Baqilani diatas bahwa ketentuan rujukan adalah bacaan yang benar bukan pada tulisan, maka inkonsistensi dalam tulisan mushaf ‘Usmani  tidak mengurangi otensitas mushaf itu sendiri, selama bacaan yang dimiliki kaum muslimin adalah benar, dan memang pada faktanya berbedanya tulisan tersebut tidak menyebabkan perbedaan kaum muslimin dalam membacanya.
Namun disisi lain, pandangan bahwa Penulisan Mushaf ‘Usmani adalah ketentuan rasulullah saw dan tauqifi sehingga dalam penulisan mushaf, diharuskan mengikuti model dan bentuk penulisan awal, tampaknya terlalu berlebihan dan emosional dan bertentangan dengan ketentuan, ‘ tulislah dengan tulisan yang mudah dibaca’ itu sendiri. Pada kenyataannya Mushaf ‘Usmani sendiri telah mengalami berbagai bentuk penyempurnaan tulisannya, dimulai sejak Abu ‘Aswad  ad-Du’ali hingga sempurna dengan tanda-tanda harakatnya sebagaimana kita lihat saat ini, dan dimaksudkan guna memudahkan membacanya bagi kaum muslimin.
Dengan demikian penyempurnaan tulisan mushaf ‘Usmani dengan penyeragaman bentuk tulisan dan penyesuaian dengan model tulisan imla’i yang berkembang saat ini, dapat dibenarkan (untuk tidak mengatakan sebagai sesuatu yang mendesak) untuk dilakukan, selama tetap dalam koridor, ‘bacaan yang benar’, sehingga potensi-potensi kekeliruan dalam membaca al-Qur’an dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Dan upaya-upaya penyempurnaan tulisan dengan penyeragaman model tulisan dan penyesuaian dengan pola imla’I yang berlaku saat ini, telah penulis temukan dalam mushaf-mushaf qur’an media elektronik seperti Al-qur’an dalam Hand Phone (HP) dan PC yang tentunya hal ini dapat juga diterapkan pada mushaf-mushaf tulisan konvensional atau Kitab.  
Dugaan adanya ayat- ayat yang tidak terekam dalam mushaf ‘Usmani ini, biasanya terdapat dalam pembahasan Nasakh, khususnya nasakh bacaan/teks. Dalam beberapa riwayat, dapat ditemukan bahwa ada beberapa ayat yang diduga sebagai ayat al-Qur’an namun tidak tercantum dalam mushaf al-Qur’an. Dalam pembahasan ‘Ulum al-Qur’an, para ‘ulama biasanya menempatkan riwayat-riwayat tentang dugaan ayat yang tidak tercantum ini sebagai ayat yang telah dinasakh bacaan atau teksnya oleh Allah swt. Pandangan ini tidaklah kuat, berdasarkan bahwa riwayat-riwayat ini sendiri didasarkan pada perkataan-perkataan sahabat setelah rasulullah wafat, seperti riwayat-riwayatkan yang dinisbatkan pada Umar dan Aisyah. Dengan kenyataan tersebut, maka pandangan ini sangatlah aneh, dikarenakan rasulullah telah wafat, maka tidak mungkin wahyu dinasakh setelah wafatnya beliau karena otoritas menasakh wahyu tentunya adalah melalui rasulullah itu sendiri. Dan jika telah dinasakh pada masa rasulullah, para sahabat tentunya sudah mengetahuinya, dan riwayat-riwayat dari sahabat tersebut sangat tidak mungkin keluar dari mulut mereka.
Dalam hal ini beberapa pandangan yang relevan dan logis bisa diketengahkan terkait dugaan adanya ayat-ayat yang tidak tercantum dalam mushaf. ِArgumentasi Pertama, yang bisa dikemukakan adalah kerancuan dalam membedakan Al-Qur’an dan hadits, hal ini karena adanya kesamaan dari sudut sumber keduanya, yakni Rasulullah saw. Berkaitan dengan riwayat tentang Rajam diatas misalnya, ada sebuah riwayat bandingan, bahwasanya Zaid bin Tsabit mendengar  Rasulullah saw bersabda; “Seorang Dewasa laki-laki dan dewasa perempuan berzina maka rajamlah keduanya”.[29] Riwayat Zaid ini menunjukkan bahwa riwayat yang dikemukakan oleh Umar tentang Rajam sesungguhnya merupakan sebuah hadits, dan kemungkinan besar bahwa ‘Umar mengira bahwa ini adalah bagian dari wahyu al-Qur’an.
Argumentasi kedua adalah, dari segi rima, atau bunyi ayat. Pada ayat-ayat yang diduga tidak tercantum dalam mushaf, memiliki ketidak cocokkan dengan rima pada ayat-ayat baik sebelum dan sesudahnya, dan tentu saja ini merupakan hal yang ganjil jika diberlakukan terhadap al-Qur’an, dimana kesesuaian bunyi dan kandungan merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam wahyu al-Quran. Dimana ayat yang diduga sebagai ayat yang tidak tercantum dalam mushaf sangat tidak berkesesuaian dengan rima keseluruhan ayat dimana ayat yang diduga tersebut diposisikan.           
Dan yang ketiga adalah, kemutawatiran al-Qur’an, sebagaimana telah dipahami bahwa syarat diterimanya al-Qur’an, baik keseluruhan maupun bagian-bagiannya, adalah kemutawatiran. Kaum muslim menukilnya dari tangan ke tangan, dari generasi ke generasi melalui riwayat yang banyak. Oleh sebab itu dugaan adanya pengurangan ayat-ayat al-Qur’an, tidak dapat diterima karena riwayat-riwayat berkenaan dengan ayat yang tidak tercantum dalam mushaf tersebut itu dinukil secara perorangan.
Dari paparan ini dapat di simpulkan bahwasanya Mushaf Usmani dan yang berlaku saat ini telah mencakup keseluruhan wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepada rasulullah saw. Adanya riwayat-riwayat dari sahabat yang mengemukakan bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an yang tidak tercantum dalam mushaf, pada dasarnya disebabkan kekeliruan dalam mengidentifikasi antara hadits dan al-Qur’an, hal ini dalam kondisi tertentu dapat dimaklumi, mengingat antara hadits dan al-Qur’an dari segi Mukhatib (Pembicaranya) adalah sama yakni Rasulullah saw. Kesimpulan ini didukung bahwa riwayat yang mereka kemukakan bersifat ahad atau perseorangan, yang sangat bertentangan dengan syarat diterimanya al-Qur’an yakni riwayat mutawatir, disamping  dibeberapa kasus, terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa riwayat yang dianggap ayat tersebut adalah hadits. 



Kesimpulan
Bahwa otensitas dan integritas Mushaf ‘Usmani tetaplah terjaga, beberapa bukti adanya perbedaan penulisan antara mushaf-mushaf ‘Usmani dengan mushaf sebaran yang dilakukan ‘Usman tidaklah mengakibatkan berkurangnya otensitas mushaf ‘Usmani. dalam hal ini tentu saja tradisi hapalan yang senantiasa diwariskan kaum muslimin sejak masa awal hingga saat ini, menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian dan otensitas al-Qur’an itu sendiri. Jika bentuk-bentuk tulisan dalam mushaf itu huruf-hurufnya berbeda-beda satu sama lainnya dan bentuknya juga tidak sama, itu disebabkan orang-orang pada waktu itu, itu tidak disebabkan oleh orang-orang yang pada waktu itu tidak mempermasalahkannya. karena tidak ada cara dan bentuk tulisan khusus yang ditentukan dalam penulisan al-Qur’an. Sedangkan berkaitan dengan adanya inkonsistensi tulisan yang terdapat dalam mushaf ‘Usmani sendiri, memang ditemukan, namun secara substansi tidak mengurangi otensitas mushaf itu sendiri, selama bacaan yang dimiliki kaum muslimin adalah benar, dan memang pada faktanya berbedanya tulisan tersebut tidak menyebabkan perbedaan kaum muslimin dalam membacanya.
Bahwa Mushaf ‘Usmani dan mushaf yang tersebar saat ini mencakup semua keseluruhan wahyu al-Qur’an yang diterima oleh rasulullah saw. Adanya riwayat-riwayat dari sahabat yang mengemukakan bahwa ada beberapa ayat al-Qur’an yang tidak tercantum dalam mushaf, pada dasarnya disebabkan kekeliruan dalam mengidentifikasi antara hadits dan al-Qur’an, hal ini dalam kondisi tertentu dapat dimaklumi, mengingat antara hadits dan al-Qur’an dari segi Mukhatib (Pembicaranya) adalah sama yakni Rasulullah saw. Kesimpulan ini didukung bahwa riwayat yang mereka kemukakan bersifat ahad atau perseorangan, yang sangat bertentangan dengan syarat diterimanya al-Qur’an yakni riwayat mutawatir, disamping  dibeberapa kasus, terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa riwayat yang dianggap ayat tersebut adalah hadits.







Daftar Pustaka


Al-A’zami, Sejarah teks al-Qur’an dari Wahyu sampai kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta: Gema Insani, 2005
Al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikir, Juz. 1, 1979.
Al-Yaqubi, Tarikh, Beirut, Jilid 2, 1960.
Az-Zarqani, Manahil ‘irfan fi’ulum al-Qur’an, Kairo: Dar al-Fikr, Jilid 1, tt.
Muhammad Thahir Kurdi, Tarikh al-Khat al-‘arabi, Dar al-Ma’rifat, 1987.
Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an, Terj. Thoha Musawa, Jakarta: Al-Huda, 2007.
Subhi As Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-5, 1995.
Hasan Abd hamid Watd, Hidayaturrahman fi ‘ulum al-qur’an, Matba’ah fajru al-jadid, t.th.



























[1] Dosen Ilmu al-Qur’an Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[2] Al-Suyuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikir, 1979, Juz. 1, h. 124.
[3] Ibid., h. 41.
[4] Hasan Abd hamid Watd, Hidayaturrahman fi ‘ulum al-qur’an, Matba’ah fajru al-jadid, h. 55
[5] Ahmad Von Daffer, Op.cit, h. 52.
[6] Ibid., h. 63.
[7] Al-A’zami, Sejarah teks al-Qur’an dari Wahyu sampai kompilasi, terj. Sohirin Solihin dkk, Jakarta, Gema Insani, 2005, h. 105.
[8] Al-Yaqubi, Tarikh, Beirut, 1960,  Jilid 2, h. 170.
[9] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an, Terj. Thoha Musawa, Jakarta: Al-Huda, 2007, h. 214
[10] Subhi As Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-5, 1995, h. 90.
[11] Ibid., h. 93.
[12] Al-A’zami, Sejarah teks al-Qur’an……., h. 105.
[13] Al-Yaqubi, Tarikh, Beirut, 1960,  Jilid 2, h. 170.
[14] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an……, h.214
[15] Suyuthi, Al-Itqan fi’ulum al-Qur’an, tp,tt, Juz I, h.184
[16] Suyuthi, Al-Itqan fi’ulum al-Qur’an….., h. 183, dan menurutnya hadits ini memenuhi isnad Bukhari dan Muslim.
[17] Muhammad Hadi Ma’rifat, Sejarah al-Qur’an……, h.194
[18] Muhammad Thahir Kurdi, Tarikh al-Khat al-‘arabi, Dar al-Ma’rifat, 1987, h. 101-102.
[19] Subhi Shalih,  Mabahits fi’ulum al-Qur’an, Kairo, Dar al-Fikr, 1986, h. 277
[20] As-Suyuthi , Al-Itqan fi’ulum al-Qur’an….., Juz II, h.25. Lihat juga Shahih Bukhari, kitab riqaq
[21] Ibid, h.75
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Bukhori, Shahih Bukhari….., h. 25
[26] Az-Zarqani, Manahil ‘irfan fi’ulum al-Qur’an, Kairo: Dar al-Fikr, Jilid 1, tt, h. 373-378
[27] Walaupun perbedaan tulisan ini merupakan salah satu bacaan Qira’at namun, perbedaan bacaan tersebut tidak keluar dari koridor bacaan yang diperbolehkan dan disepakati kebenarannya oleh kaum muslimin.
[28]Secara tidak langsung kaum muslin telah menyepakati, dengan tersebarnya al-Qur’an dengan satu versi bacaan yang kemudian diterima seluruh kaum muslimin di dunia, bahwa bentuk bacaan dalam pembacaan mushaf adalah satu bacaan, dan menolak model bacaan lain bagi penulisan mushaf, walaupun memperbolehkan mempelajarinya. 
[29] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar