Implikasi Keragaman Mushaf
Al-Qur’an
Terhadap Dinamika Pemikiran Islam
Oleh:
Alamsyah
Abstrak
Kebolehan
untuk berbeda dalam bacaan al-Qur’an dan penulisan mushaf pada masa Nabi SAW
dan era sahabat menjadi langkah awal prinsip kebebasan yang mendorong lahirnya
kreatifitas, inovasi dan ijtihad dalam Islam. Kejayaan peradaban Islam masa
lalu muncul dari adanya semangat untuk terus melakukan penemuan dan rekonstruk-si pemikiran serta
didukung oleh lingkungan yang memberi-kan
kebebasan dalam berpikir, berekspressi dan berpen-dapat. Oleh karena itu, pemikiran Islam tidak pernah ber-henti, tetapi
harus mengalami pembaruan terus menerus. Semua tingkat kemajuan itu tidak lepas
dari pengaruh pola pemikiran atau pemahaman Islam yang logis, rasional dan
kontekstual. Ketika nalar sehat dan berpikir logis-kritis dibungkam, saat
pembakuan telah berubah menjadi pembe-kuan, maka kemunduran bahkan keruntuhan
peradaban tidak lagi dapat dihindari.
Kata kunci:
Mushaf, Sab’ah Ahruf, Tekstual dan Kontekstual
Pendahuluan
Perbedaan dalam membaca al-Qur’an dan dalam menulis mushaf telah terjadi
sejak masa awal, yakni zaman Nabi Muhammad SAW. Wahyu yang diterima oleh Beliau
memang telah disampaikan kepada para sahabat. Namun ketika para sahabat membaca
dan menulis al-Qur’an itu, ternyata sering berbeda satu sama lain. Perdebatan
keras bahkan cenderung menjadi konflik tentu tidak dapat dihindari, tetapi Nabi
SAW justru meresponnya dengan cara sangat bijak, di mana Beliau membolehkan dan
memberikan kelonggaran untuk berbeda. Maka muncul beragam bacaan al-Qur’an di
kalangan sahabat, demikian pula lahir banyak catatan al-Qur’an atau mushaf yang
satu dengan lainnya sering berbeda, baik susunan dan jumlah surat atau ayat,
bunyi bacaan lafaz dalam ayat, perbedaan kata-kata tertentu, perbedaan bunyi,
dan sebagainya. Namun ketika khalifah Utsman melihat perbedaan sudah mengarah
kepada suasana perpecahan, maka dilakukanlah penyeragaman dan dibuatlah mushaf
al-Qur’an standar yang populer sampai saat ini sebagai Mushaf Utsmani.
Tentunya suasana dan sikap yang mentolerir kebebasan dalam bacaan dan
tulisan al-Qur’an, yang diperjuangkan oleh sahabat Nabi seperti Ibn Mas’ud,
berdampak terhadap pembentukan pola pemikiran pengikutnya dari kalangan umat
Islam masa sesudahnya. Hal demikian juga terjadi pada sikap dan pandangan yang
mengedepankan keseragaman mushaf serta hanya boleh mengacu kepada mushaf
standar Utsmani, tentu berdampak terhadap dinamika dan keluasan pemikiran Islam
pada masa berikutnya. Fenomena perbedaan dalam bacaan dan tulisan mushaf
al-Qur’an masa Nabi,
sahabat dan dampaknya terhadap
dinamika pemikiran Islam sesudahnya akan dikaji dalam tulisan ini.
Pluralitas Mushaf al-Qur’an Era Nabi dan Sahabat
A. Konsep Wahyu, al-Qur’an dan Mushaf
Untuk dapat memahami terjadinya perbedaan mushaf secara logis dan kritis,
maka harus dipahami lebih dahulu konsep wahyu, al-Qur’an dan mushaf itu
sendiri.
1. Wahyu
Wahyu dalam bahasa Arab berakar dari fi’il madhi “Waha”, yang
berarti penyampaian pengetahuan kepada orang lain secara samar dan rahasia, dan
orang itu memahami apa yang diterimanya.[1]
Substansi pewahyuan adalah penyampaian informasi secara tersembunyi, dan oleh
karena itu maka apa yang diwahyukan hanya dapat dipahami oleh Tuhan yang
menyampaikan dan Rasul yang menerimanya. Sedangkan substansi informasi
pengetahuan tersebut tidak lain adalah ajaran-ajaran dari Allah SWT sebagai
petunjuk untuk kehidupan umat manusia.
Dalam perdebatan ilmu kalam selalu muncul persoalan apakah zat Allah SWT
memiliki sifat atau tidak. Namun hampir semua ilmuawan muslim sepakat bahwa
wahyu Allah SWT adalah azali, tanpa lafaz yakni tidak ada awal dan tidak ada
akhir, tidak menggunakan bahasa tertentu (la lughat), tidak berhuruf (la
harfa), dan tidak berbentuk suara tertentu (la shauta).
Kesimpulannya: Wahyu adalah kalam Allah atau firman Allah tanpa lafaz (suara,
huruf, dan bahasa). Oleh karena proses
pewahyuan terjadi demikian rahasia, tanpa bahasa verbal dan di alam azali, maka
wahyu berada di luar analisis ilmiah.
Bentuk-bentuk wahyu beragam, yaitu berupa isyarat (Q.Surat Maryam : 11), ilham, (Q. Surat Qashash: 7), bisikan, (Q.
Surat Al-An’am : 12) dan (4) pesan (Q. Surat Al-Anfal: 12).
2. Al-Qur’an
Kebanyakan ulama, seperti Subhi Al Salih, mendefinisikan
Al-Qur'an sebagai “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”.
Wahyu Tuhan yang diterima oleh Rasul SAW sebagai pengemban amanah harus
disampaikan kepada manusia. Wahyu atau pesan Tuhan, yang semula tanpa lafaz dan hanya dipahami
oleh Rasul SAW, ketika disampaikan kepada manusia harus menggunakan lafaz
bahasa tertentu, agar dapat diterima dan dipahami oleh mereka. Dalam konteks
al-Qur’an ini, sistem bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab karena memang
audiens awal adalah masyarakat Arab.
Jika proses komunikasi Tuhan dengan Rasul SAW, atau peyampaian wahyu,
menggunakan bahasa rahasia, bahasa parole, maka komunikasi atau
penyampaian wahyu kepada masyarakat Arab sudah menggunakan bahasa natural keduniaan,
dan itulah bahasa masyarakat Arab. Dalam teori Muhammad Syahrur,
proses penurunan wahyu ketika masih di alam azali dari Allah SWT kepada
malaikat di langit dunia disebut dengan al-Tanzil. Sedangkan proses
penurunan wahyu dari langit ke alam dunia, oleh Syahrur, dinamakan al-Inzal.
Wahyu yang sudah diterima oleh Rasul SAW lalu disampaikan (dibacakan)
kepada manusia dalam bentuk bahasa Arab inilah yang kemudian dinamakan
al-Qur’an. Dengan kata lain, al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang sudah terucap
secara lisan dan dibaca dalam bahasa Arab.
Dalam membaca al-Qur’an secara lisan ini, tentu audiens masyarakat Arab
memiliki kemampuan, keahlian, pengetahuan dan kebiasaan berbeda. Oleh karena
perbedaan itu maka dapat dipahami dan dimaklumi jika kemudian Rasul SAW
memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada para sahabat untuk berbeda dalam
membaca lafaz-lafaz al-Qur’an sesuai dengan dialek-dialek bahasa Arab yang
beragam, sepanjang masih memiliki tujuan makna yang sama. Kelonggaran yang
diberikan oleh Nabi SAW dalam membaca lafaz-lafaz al-Qur’an tertuang dalam
sabda beliau yang berbunyi: “ Sesungguhnya
al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah al-Qur’an itu dengan
cara mudah”.[2]
Penyampaian pesan Allah SWT, dalam bentuk bacaan al-Qur’an kepada manusia
tentunya masih menggunakan bahasa lisan atau bahasa oral. Setiap kali
menerima wahyu, maka Nabi SAW kemudian membacakannya kepada para sahabat, dan
mereka pun menghapalnya. Tradisi lisan atau menghapal dalam masyarakat Arab
merupakan tradisi mulia dan lebih populer melebihi tradisi tulis. Ketika bacaan
al-Qur’an dalam bentuk lisan beralih dan dituangkan ke dalam bentuk tulisan
maka muncul konsep mushaf.
3. Mushaf
Kata Mushaf
atau Shuhuf berasal dari
bahasa Arab Selatan kuno. Kata shuhuf bentuk jamak dari shahifah yang berarti
selembar bahan yang digunakan untuk tempat menulis, tetapi berbagai lembaran
tersebut masih terpisah-pisah tidak terjilid.[3]
Mushaf al-Qur’ān adalah berbagai lembaran yang memuat
catatan tentang ayat-ayat al-Qur’ān yang masih terpisah-pisah dan tidak dijilid
atau dibukukan dalam satu buku khusus. Jadi mushaf adalah kumpulan wahyu
al-Qur’an dalam bentuk catatan tertulis. Dalam konteks ini, jika al-Qur’an
bersifat terbuka maka mushaf merupakan wahyu tercatat yang sudah tertutup.
Al-Qur’an dibaca dan dihapal secara lisan oleh para sahabat Nabi dengan
berbagai bacaan yang berbeda, baik baris/harakat, huruf, maupun lafaz/kata.
Sedangkan mushaf merupakan bacaan dan catatan al-Qur’an menurut versi tertentu
yang bentuknya sesuai dengan pengetahuan atau kebiasaan sahabat yang
mencatatnya.
Pada awalnya bentuk mushaf al-Qur’an beragam atau bermacam-macam. Namun
nantinya pada era khalifah Utsman mushaf yang beragam itu diseragamkan menjadi
satu mushaf, yang sampai saat ini dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Ketika
standarisasi mushaf terjadi, maka dampaknya tidak sebatas penyeragaman bentuk,
tetapi juga berpengaruh terhadap pembatasan dalam pemahaman dan keleluasaan
dalam mengungkapkan bacaan al-Qur’an dan pemakna-annya. Di sinilah Arkoun
menegaskan bahwa penyeragaman mushaf sebenarnya berakibat kepada upaya penyeragaman
pemahaman, dan lebih jauh lagi pembakuan mushaf tersebut juga dapat berakibat
kepada pembekuan pemikiran.
Keragaman Penulisan al-Qur’an
Catatan-catatan al-Qur’ān dari masa Rasul SAW yang masih
berserakan dikumpulkan oleh Zaid ibn Tsabit atas instruksi Khalifah Abu Bakar
Shiddiq. Kumpulan catatan tersebut dinamakan Mushaf. Setelah wafatnya Abu
Bakar, maka mushaf tsb disimpan oleh Umar. Ketika Umar meninggal, maka mushaf
tsb disimpan oleh Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab.
Di samping itu, banyak sahabat yang mencatat ayat-ayat
al-Qur’ān sejak masa Nabi, bahkan mereka mengumpulkannya dan menjadikannya
sebagai mushaf. Catatan-catatan tersebut mereka simpan untuk mereka
masing-masing, atau untuk mereka gunakan dalam pengajaran agama Islam.
Mushaf-mushaf yang terkenal a.l. mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin
Ka’ab, mushaf Abdullah ibn Mas’ud, mushaf Zaid ibn Tsabit, dll.
Masing-masing versi mushaf memiliki perbedaan, banyak
atau sedikit, sebagai berikut:
1. Mushaf Ali bin Abi Thalib
Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak
dimiliki oleh mushaf lainnya. Karakter khusus mushaf ini adalah:
a. Ayat dan surat tersusun rapi sesuai dengan
urutan turunnya, maka ayat-ayat makkiyah diletakkan sebelum ayat-ayat madaniyah,
ayat-ayat yang turun masa awal diletakkan lebih dahulu dari pada ayat-ayat yang
turun belakangan.
b. Bacaan yang tercantum dalam mushaf ini
lebih mendekati keaslian sehingga lebih sesuai dengan bacaan Rasul;
c. Ada catatan tanzil dan takwil di tepi
mushaf yang menjelaskan situasi dan kondisi serta latar belakang ayat-ayat
al-Qur’an diturunkan. Penjelasan ini sangat berguna dalam menggali maksud
ayat-ayat al-Qur’an diturunkan serta menyingkap makna-makna ayat yang masih
samar.
Dari mushaf Ali ini sebenarnya banyak manfaat yang dapat
digali, antara lain dapat diketahui perjalanan tasyri’ hukum, proses
gradualisasi dakwah, dan pentahapan ajaran Islam, demikian pula proses nasikh
dan mansukh dalam al-Qur’an. Seandainya mushaf Ali ibn Abi Thalib ini masih ada
saat ini tentu
akan
banyak
problem
dalam
memahami al-Qur’an akan teratasi.[4]
2. Mushaf Ibn Mas’ud
Mushaf Ibn Mas’ud memiliki ciri yang juga berbeda dari
mushaf lainnya, yaitu:
a. Hanya memuat 111 surat dan minus surat
al-Fatihah dan al-Mu’awwizatain (surat al-Falaq dan an-Nas).
b. Kata-kata dalam ayatnya banyak berbeda
dengan kebanyakan catatan sahabat lain, karena menurutnya kata-kata al-Qur’ān boleh diganti dengan sinonimnya, baik untuk lebih menjelaskan
maknanya, atau agar mudah dibaca orang suku tertentu.
c. Sebagian kata dalam ayat diganti dengan kata lain
dengan maksud agar lebih jelas. Misalnya kata shauman (puasa) dalam
surat Maryam ayat 26 diganti shamtan (diam), karena meksud ayat tersebut
adalah nazar berpuasa untuk diam tidak berkata-kata.[5]
3. Mushaf Ubay ibn Ka’ab:
a. Urutan surat berbeda dengan
urutas mushaf Utsmani.
b. Jumlah surat lebih banyak,
dengan tambahan surat al-Khal’u dan al-Hafdu yang keduanya memuat doa qunut,
karena menurut Ubay kedua doa tsb termasuk yang diwahyukan.
Doa Khal’u sbb:
اللهم انا نستعين بك ونستغفرك
و نثني عليك الخير ولا نكفرك ونخلع
Doa Khafdhu sbb:
بسم االله الرحمن الرحيم
اللهم اياك نعبد ولك نصلي ونسجد واليك نسعى ونخفض
c. Surat al-Fiil dan al-Quraisy disatukan karena dianggap
satu surat dan tidak dimulai dengan Basmalah.[6]
d. Surat az-Zumar diawali dengan “Hamim”, sehingga dalam
al-Qur’ān terdapat 8 surat yang dimulai dengan “Hamim”.
e. Dalam mushaf Ubay ini banyak terdapat bacaan yang
berbeda dengan bacaan masyhur, seperti beberapa kata dalam ayat-ayat tertentu
diganti dengan kata-kata lain yang dianggap sinonim dan maknanya tetap sama.[7]
Misalnya Q.S. Yaasin ayat 52:
(#qä9$s% $uZn=÷uq»t .`tB $uZsVyèt/ `ÏB 2$tRÏs%ö¨B 3
Dalam Mushaf
Ubay tertulis:
(#qä9$s% $uZn=÷uq»t .`tB هبانا `ÏB 2$tRÏs%ö¨B 3
Demikian pula pada Q.S. al-Baqarah ayat 20:
ß%s3t ä-÷y9ø9$# ß#sÜøs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 (#öqt±¨B ÏmÏù
Dalam Mushaf Ubay tertulis:
ß%s3t ä-÷y9ø9$# ß#sÜøs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 مروا ÏmÏù
Kadang-kadang dalam mushaf Ubay terdapat kalimat tambahan yang tidak ditemukan dalam mushaf lain, misalnya Q.S. al-Baqarah 196:
(#qJÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬! 4 ...4 `yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû Ædkptø:$#
Dalam Mushaf Ubay ibn Ka’ab tertulis:
ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& متتابعينÎû Ædkptø:$#
Masih banyak
mushaf lain yang kurang terkenal, yang juga berbeda jika dibandingkan dengan
mushaf Utsmani antara lain mushaf ‘Aisyah dan mushaf Anas ibn Malik. Bentuk-bentuk perbedaan di antara mushaf sahabat berupa
sistem penulisan, susunan/urutan, bacaan, jumlah surat dan ayat, serta tambahan
atau pengurangan tertentu. [8]
Demikianlah para sahabat memiliki mushaf masing-masing.
Sahabat yang tidak memiliki catatan akan meminta bantuan agar dibuatkan sebuah
naskah mushaf sesuai dengan yang diinginkan. Wilayah Islam yang semakin luas
menyebabkan semakin banyak jumlah dan macam-macam mushaf. Apalagi kebutuhan
umat Islam terhadap al-Qur’ān semakin meningkat. Perbedaan antar mushaf di atas disebabkan banyak faktor. Di
samping memang banyak yang tidak memiliki hubungan kegiatan dan kerjasama dalam
penulisan, sebab lainnya adalah karena perbedaan kemampuan dalam kegiatan
penulisan, sehingga menyebabkan perbedaan dalam sistem, bacaan, susunan, dan
lain-lain.
Walaupun demikian, masing-masing mushaf di atas mendapatkan penghormatan tinggi di dunia Islam
saat itu, sesuai dengan domisili sahabat yang menulis mushaf atau umat Islam
yang mempelajarinya. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud, misalnya, menjadi rujukan
penduduk Kufah.[9] Contoh lain adalah mushaf Ubay ibn Ka’ab yang
banyak dipelajari dan dirujuk oleh penduduk Madinah. Demikian pula mushaf Abu
Musa al-Asy’ari di Basrah dan Mushaf Miqdad ibn al-Aswad di Damaskus.
Penyeragaman dan standarisasi Mushaf al-Qur’an
Dalam perkembangannya pada masa belakangan, jauh setelah era Nabi dan
sahabat besar, perbedaan mushaf di atas menyebabkan sering terjadi perselisihan
di kalangan masyarakat muslim yang fanatis terhadap mushaf dengan berbagai
bacaan atau urutan surat yang ada di dalamnya. Tidak jarang satu sama lain
sering saling menyalahkan, dan mengklaim bacaan al-Qur’ān versi mereka sebagai
bacaan paling benar. Bahkan terjadi umat Islam yang salat
berkelompok-kelompok dalam satu masjid,
sesuai dengan bacaan mushaf masing-masing. Situasi demikian berpotensi
terjadinya perpecahan di antara umat Islam.
Catatan penting memperlihatkan perselisihan bahkan konflik banyak terjadi
di kalangan orang-orang yang tidak tahu dengan sejarah masa Nabi dan sahabat.
Padahal pada masa awal itu, pembacaan al-Qur’ān dan
penulisannya sangat fleksibel dan moderat. Namun bagi orang belakangan yg tidak
menyadari kelonggaran pada masa awal Islam dan kurangnya pengetahuan justru
menganggapnya masalah dan perpecahan. Kondisi perbedaan demikian,
terutama terjadi di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah
atau di Makkah, atau di kalangan umat Islam yang banyak masih baru memeluk
Islam atau jarang bertemu dengan banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya dalam
peperangan di Armenia, umat Islam bertengkar karena dalam salat ada yang membaca
“Wa atimmul hajja wal ‘umrata lillah” dan ada yang membaca “Wa
atimmul hajja wal ‘umrata lil bait”.
Situasi demikan, mendorong Huzaifah al-Yamani mengusulkan kepada Khalifah
Utsman ibn ‘Affan agar menyatukan semua mushaf yang ada dan membaca mushaf
tersebut hanya dengan satu macam bacaan. Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa
para sahabat setuju dengan gagasan itu kecuali Ibn Mas’ud yang menolaknya.[10]
Komite penyeragaman mushaf lalu dibentuk oleh Utsman di bawah pimpinan Zaid
ibn Tsabit, seorang yang dianggap paling bagus tulisannya dan tergolong muda
saat itu. Sedangkan Ibn Mas’ud yang merasa lebih banyak mengetahui tentang
seluk beluk al-Qur’ān jelas tidak setuju dengan penyeragaman, apalagi ketika
ibn Tsabit yang ditunjuk sebagai ketua komite. Ibn Mas’ud menilai penyeragaman
hanya akan mematikan keleluasaan dan kemudahan umat dalam membaca dan memahami
al-Qur’an yang telah dibolehkan oleh Nabi SAW sejak masa awal. Namun karena
keputusan akhir dan kekuasaan ada di tangah Khalifah Utsman, maka upaya
penyeragaman mushaf al-Qur’an terus dijalankan. Untuk mempermudah dan
memperketat hasil, maka kegiatan tersebut dibimbing oleh Ubay ibn Ka’ab, Malik ibn
Abi ‘Amir, Anas ibn Malik, dan lain-lain.[11]
Penyatuan mushaf ini mulai
terjadi pada tahun 25 H, pada tahun ke 2 atau ke 3 dari kekhilafahan Utsman.[12]
Hasilnya adalah tersusunnya mushaf standar yang menjadi acuan satu-satunya bagi
seluruh umat Islam. Mushaf standar ini dinamakan Mushaf Utsmani atau Mushaf
al-Imam. Semua mushaf lainnya yang berbeda dari mushaf standar ini harus
dimusnahkan dengan cara dibakar
Ciri-ciri mushaf Utsman adalah:
1. Susunannya seperti yang banyak beredar saat ini, hanya
ada perbedaan sedikit dengan beberapa mushaf sahabat dalam susunan atau urutan
surat. Misalnya jika mushaf sahabat lainnya meletakkan Surat Yunus masuk dalam
tujuh surat besar dan di urutuan ke-7, maka mushaf Utsmani menggolongkannya ke
dalam kelompok Ma’in. Ini menunjukkan bahwa susunan al-Qur’ān yang ada saat ini
adalah hasil ijtihad sahabat, dan bukan tauqifi dari Allah SWT atau Nabi
SAW.[13]
2. Tanda baca seperti titik dan
harakat tidak ada, sehingga masih sulit membedakan huruf dan tata bahasa (i’rab
dan wazan kalimat). Beberapa contoh kesalahfahaman dalam bacaan
kalimat misalnya:
-
Sulit dibedakan “yablu, nablu, tablu, tatlu, yatlu,
natlu”
-
Sulit membedakan “ya’lamuhu, ta’lamuhu, na’lamuhu,
bi’ilmihi’, dll.
-
Maka ayat “litakuuna liman khalfaka ayatan” sering
dibaca “litakuuna liman khalaqaka
ayatan”.
-
“Nunsyizuha, Nunsyiruha, Tunsyiruha”. (Al-Baqarah:
259)
-
“Yuallimuhu, nu’allimuhu, ya’lamuhu, na’lamuhu”( S. Ali ‘Imran: 48)
-
“Nunajjika” atau :Nunahhika” (Yunus 92).
-
“Lanubawwiannahum” atau “lanubawwiyannahum”.
3. Tata tulisan tidak
konsisten sebagai akibat kesalahan dalam imla’ dan penulisananya,
misalnya :
-
الكتاب kadang ditulis dengan الكتب
-
الرحمان banyak ditulis dengan
dengan الرحمن
الصلو ة – الزكوة ditulis menjadi الصلاة – الزكاة-
-
اختلاف اليل و النهار
menjadiاختلف اليل
و النهار
Ada penulisan “basthah” dengan huruf sin, ada pula
penulisannya dengan huruf shad menjadi “Bashthah”, demikian pula pada
kata “Yabsuthu” ditulis dengan “Yabshuthu”, dan lain-lain.
Menurut Subhi Salih, “Berbagai keganjilan penulisan di
atas bukan perintah dari Nabi atau hal yang bersifat Tauqifi. Hal itu
juga tidak sama dengan huruf-huruf Muqatha’ah di awal surat yang memang
mengandung misteri dan mutawatir. Semua kesalahan itu memang dilakukan oleh tim
penulis yang dibentuk Utsman, baik atas peresetujuannya dan sepengetahuannya
atau tidak”.[14]
Respon Nabi SAW Terhadap Perbedaan Bacaan al-Qur’an.
Pembacaan al-Qur’ān pada masa Nabi saw ternyata sangat
dinamis, ada toleransi keragaman dan perbedaan dalam huruf, bunyi, ucapan, kata
bahkan juga tulisan, sepanjang tidak mengubah maksud dan tujuan ayat itu
sendiri.
Maka perbedaan
dalam pembacaan dan pencatatan al-Qur’ān yang menimbulkan keragaman mushaf
memang ada dan terjadi di kalangan sahabat. Data bukti tersebut ditemukan dalam
banyak dokumen otentik, baik dari hadis maupun kutipan para ulama dalam
berbagai kitab tafsir dan ulum al-Qur’ān.
Hadis riwayat Imam Muslim berikut
ini menjelaskan keragaman bacaan di kalangan sahabat dan sikap toleran Nabi
dalam meresponnya:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
يَقُولُا سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ
عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَقْرَأَنِيهَا فَكِدْتُ أَنْ أَعْجَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ أَمْهَلْتُهُ حَتَّى انْصَرَفَ
ثُمَّ لَبَّبْتُهُ بِرِدَائِهِ فَجِئْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ
عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اقْرَأْ فَقَرَأَ الْقِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ
لِي اقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ
عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا
مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ [15]
Hadis di atas secara tegas menunjukkan kebolehan berbeda dalam membaca
al-Qur’an berdasarkan pernyataan Nabi yang berbunyi “ ... sesungguhnya
al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh macam huruf (tujuh macam bahasa Arab)
maka bacalah dengan cara yang mudah“.
Hadis-hadis semakna dan searah dengan hadis di atas hampir bernilai
mutawatir karena sangat banyak jumlahnya. Berbagai hadis tersebut secara jelas
membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan berbagai bahasa Arab yang ada saat itu,
baik Arab Quraisy atau lainnya.
Para ulama memberikan makna “tujuh huruf” dengan makna beragam,
yaitu makna:
- Bacaan (Qiraat) seperti pendapat Ibn al-Jazari, misalnya dalam ungkapannya “Penduduk Syam ketika membaca al-Qur’ān, membacanya dengan bacaan (biharfi) Ibn ‘Amir”.[16] Menurut Khalil ibn Ahmad, pendapat yang mengartikannya sebagai qiraat atau cara bacaan adalah lemah.[17]
- Makna atau arah (al-makna wal jihat) seperti pendapat Muhamaad ibn Sa’dan an-Nahawi (w. 231 H).[18]
- Tujuh macam ilmu, terutama tauhid dengan berbagai cabangnya.
- Tujuh macam pemaknaan al-Qur’ān, yaitu muthlaq - muqayyad, ‘amm - khas, nasikh – mansukh, mujmal – mufassar, dll.[19]
- Banyak (Tujuh) makna yang sama (sinonim) pada kata-kata yang berbeda-beda. Misalnya kata “marilah” dalam bahasa Arab dapat berupa “aqbil”, “halumma” atau “ta’aal). Kata “asri’” atau ‘ajjil bermakna cepat. Demikian pula kata “Akhkhir, anzhir, atau amhil berarti tundalah. Pendapat ini sama dengan kebolehan periwayatan hadis secara makna sepanjang tidak merubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya. Inilah pendapat Ibn Mas’ud dalam menulis mus-
hafnya.
Contohnya adalah pembacaan ayat sbb:
bqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$2 Â\qàÿZyJø9$#
Diganti dengan
bqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Çكالصوف Â\qàÿZyJø9$#
Dialek (Lahjah) bahasa Arab, yaitu dialek Quraisy, Huzail, Tamim,
Azd, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’d ibn Bakar.[20]
Jadi lafaz al-Qur’ān tetap satu, namun cara membacanya dapat berbeda-beda
sesuai dengan tingkat kemudahan dan kesulitas. Inilah pendapat jumhur dan
dianggap paling kuat. Pendapat ini merujuk kepada perintah Utsman yang
memerintahkan agar menulis mushaf dengan lahjah Quraisy jika terjadi perbedaan.
Misalnya kata Ikhsi’uu (rendahkanlah) dalam bahasa Arab umum dapat diganti
dengan ukhzuu dalam dialek kabilah Azrah, Kata Laa taghluu (Jangan melapauai batas) sama dengan laa
tuziiduu dalam dialek bani Lakhm, atau kata Khaluu’an (cemas) sama dengan dhajiiran dalam
dialek. [21]
Makna angka “tujuh” dalam hadis di atas masih diperdebat-kan ulama tentang maksud dan batasnya. Sebagian ulama meng-atakan tujuh
huruf tsb bermakna batas maksimal sehingga tidak boleh lebih atau tidak
bermakna lebih dari tujuh macam. Sebagian menyatakan angka tujuh tersebut
sebagai batasan yang berarti al-Qur’ān hanya
boleh dibaca dengan tujuh macam bacaan). Pembatasan ini merupakan pendapat
jumhur. Sedangkan sebagian ulama lainnya memaknainya sebagai makna banyak,
sehingga al-Qur’ān boleh dibaca dengan berbagai dialek Arab yang ada, tidak
hanya tujuh dialek atau baacaan tetapi boleh lebih dari itu.
Asumsi tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mushaf
Persoalan mengapa terjadi perbedaan dalam bacaan dan penulisan al-Qur’an
(perbedaan mushaf) telah mendapat perhatian dan dijawab oleh kalangan ilmuwan
muslim dengan berbagai pendekatan.
a. Pendekatan tradisionalis
Pendekatan ini melihat perbedaan dalam bacaan dan tulisan al-Qur’an sebagai
ketentuan dari Nabi atau bahkan langsung dari Allah SWT. Dalam pendekatan ta’abbudiy
ini ada anggapan kuat bahwa berbagai tulisan al-Qur’an yang menyimpang dari
kaidah standar bahasa Arab memang berasal dari Nabi, sebagaimana peletakkan
urutan serta nama ayat dan surat juga berasal dari Beliau. Perspektif
tradisionalis ini memang lebih banyak mengangkat aspek realitas namun cenderung
tidak kritis karena kurang menggali latar belakang perbedaan dalam penulisan
atau pembacaan al-Qur’an. Kelemahan lain dari pendekatan ini adalah kurang
mengungkap nilai-nilai positif dan pemanfaatan perbedaan untuk menggali
kekayaan dan kedalaman pemikiran Islam ke depan. Kata shalat dan zakat dalam mushaf Utsmani
misalnya ditulis dengan huruf waw, padahal kaidah standar menggunakan huruf
alif. Namun ada yang meyakini penyimpangan seperti ini memang berasal dari Nabi
SAW sehingga harus diikuti apa adanya.
Bagi kalangan ini, dispensasi kebolehan berbeda dalam bacaan dan penulisan
al-Qur’an hanya bersifat darurat, untuk sementara pada situasi saat itu saja,
dan tidak berlaku lagi untuk masa dan orang-orang sesudahnya. Asumsi seperti
ini ternyata banyak dipertahankan oleh banyak ulama tafsir atau penulis
kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an. Pendekatan dan pola pikir seperti ini tentu
cenderung bersifat taqlid sehingga kurang mengembangkan inovasi dan kreatifitas
umat Islam. Pandangan tidak jauh berbeda
dikemukakan oleh Said Sukamta yang menyatakan bahwa kebolehan berbeda dalam
bacaan atau tulisan al-Qur’an pada masa Nabi memang ada namun kebolehan itu
bersifat terbatas dan darurat. Untuk saat ini tidak boleh ada perbedaasn lagi.[22]
b. Pendekatan Kritis
Pendekatan ini memandang perbedaan dan penyimpangan dalam bacaan atau
penulisan al-Qur’an bukan sebagai hal yang alami, tetapi justru mencurigai
memang ada unsur-unsur kesalahan di dalamnya. Kesalahan ini sangat mungkin
dilakukan oleh tim penulis mushaf bentukan khalifah Utsman yang diketuai oleh
Zaid ibn Tsabit atau juga dilakukan oleh individu sahabat tertentu ketika
menulis mushaf untuk pribadinya. Kesalahan ini misalnya penulisan kata shalat
dan zakat dengan huruf waw. Sedangkan hadis “Sesungguhnya al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf ...” dianggap sebagai hasil rekayasa untuk
pembenaran terhadap kekeliruan yang terjadi. Pandangan dan sikap kritis seperti
ini dikemukakan antara lain oleh beberapa intelektual dari Jaringan Islam
Liberal atau JIL.[23]
c. Pendekatan Fenomenologis
Pendekatan ini melihat adanya perbedaan dalam bacaan atau penulisan al-Qur’an
memang terjadi sejak zaman Nabi. Perbedaan tersebut ternyata memang dibolehkan
secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Toleransi tersebut diberikan oleh
Beliau dengan mempertimbangkan adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam
hal pengetahuan, kemampuan atau bahasa dan perbedaan dialek bahasa Arab di
kalangan sahabat itu sendiri. Bagi kalangan fenomenologis ini, kebolehan untuk
berbeda dalam membaca al-Qur’an ini menunjukkan tingginya toleransi Nabi dalam
menghadapi perbedaan di kalangan umat Islam. Perbedaan dalam hal yang sensitif
saja, seperti bacaan dan tulisan al-Qur’an, oleh Beliau masih diberi
kelonggaran, apalagi perbedaan dalam persoalan kecil lainnya yang tentu lebih
dibolehkan. Pendekatan fenomenologis ini lebih tepat untuk menciptakan hubungan
serasi dan harmonis di tengah berbagai perbedaan. Hal lebih penting lainnya
adalah kemampuan pandangan fenomenologis ini dalam menciptakan kebebasan dan
mendorong umat Islam untuk tetap kreatif dan inovatif dalam membangun
peradaban, sebagaimana dicontohkan oleh keragaman banyak sahabat dalam menulis
mushaf, dan sikap Nabi SAW yang tetap mengakomodir berbagai perbedaan tersebut.
Pengaruh Perbedaan terhadap Dinamika Pemikiran Islam
Dua macam sikap sahabat dalam menanggapi perbedaan bacaan dan penulisan
al-Qur’an ternyata dalam jangka panjang menunjukkan atau bahkan melahirkan dua
macam pola pemikiran, yaitu:
a. Pola pemahaman tekstual
Pola ini yang menganggap bacaan dan tulisan al-Qur’an harus seperti yang
dibaca Nabi, atau harus sesuai dengan bahasa Arab Quraisy yang menjadi acuan
mushaf Utsmani. Bacaan dan tulisan al-Qur’an harus ta’abbudiy, tidak
boleh berbeda dari contoh yang ditulis dalam mushaf standar. Perbedaan dari
ketentuan itu dianggap sebagai penyimpangan yang menyesatkan dan harus
diberantas. Sikap seperti ini melahirkan pemikiran umat Islam yang sangat ketat
dan kaku berpegang kepada teks (sumber tertulis) sebagai satu-satunya sumber
ilmu pengetahuan dan cara untuk memperoleh kebenaran. Dalam sejarah hukum
Islam, pemahaman seperti ini dikembangkan oleh aliran Ahl al-Hadis di
wilayah Hijaz dengan imam Malik, al-Syafi’i, dan ulama ilmu riwayah
lainnya sebagai tokohnya. Pola seperti inilah yang didengungkan oleh ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang populer di kalangan umat Islam.
b. Pola pemahaman rasional – kontekstual
Pola ini memandang pembacaan dan penulisan ayat-ayat al-Qur’an tidak harus
persis sama seperti yang tertulis dalam mushaf Utsmani. Dengan kata lain,
pemahaman seperti ini membolehkan pembacaan al-Qur’an dengan bacaan lafaz dan
dialek atau tulisan Arab yang berbeda dari mushaf Utsmani dengan syarat makna
atau maksudnya tetap sama. Kebolehan ini memiliki dasar pijakan sebagaimana
boleh meriwayatkan hadis Nabi secara makna (al-riwayah
bil makna). Kebolehan pembacaan seperti ini tetap memiliki dasar rujukan
karena masih mengacu kepada kebebasan yang pernah terjadi pada zaman Nabi dan
era sahabat. Pola pemahaman rasional ini dalam sejarahnya berpusat di Iraq,
yang dasar-dasarnya dibawa oleh sahabat Nabi bernama Ibn Mas’ud (Abdullah bin
Mas’ud). Dari murid atau pengikut beliau inilah kemudian lahir ulama-ulama
rasional dari kalangan tabi’in yang terkenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi.
Perjalanan panjang sejarah Islam memperlihatkan wilayah Iraq, dengan
pusat-pusat kota seperti Baghdad, Kufah dan Basrah, menjadi tempat subur
lahirnya peradaban Islam dengan tokoh-tokoh intelektual muslim ternama masa
itu, baik dalam bidang fiqh, kalam, filsafat, tasawuf, sains, dan sebagainya.
Penutup
Keleluasaan dalam membaca al-Qur’an
pada masa Nabi SAW merupakan bukti nyata bahwa Islam membangun prinsip
kebebasan sejak masa awal kepada umatnya. Berbagai aliran pemikiran umat Islam
saat ini berawal dari perbedaan epistemologi pemikiran Islam masa klasik.
Kejayaan peradaban Islam masa lalu muncul dari adanya semangat kreatifitas dan
inovasi serta didukung oleh lingkungan yang memberikan kebebasan dalam
berpikir, berekspressi dan berpenda-pat, sebagaimana yang pernah terjadi pada
zaman Nabi dan era sahabat. Dengan demikian pemikiran Islam akan selalu mengalami
pembaruan dan rekonstruksi. Semua tingkat kemajuan itu tidak lepas dari
pengaruh pola pemikiran atau pemahaman Islam yang logis, rasional dan
kontekstual. Ketika nalar sehat dan pola berpikir logis dan kritis dibungkam,
maka kemunduran bahkan keruntuhan pemikiran dan peradaban Islam tidak dapat
dihindari.
Daftar Pustaka
al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Sahih al-Bukhari, (Bandung: pt Almaarif, tt), juz VI
Ghazali, Abdul Moqsith, dkk, Metodology Studi al-Qur’an, (Jakarta: PT
Gramedia, 2009).
ibn al-Hajjaj, Muslim al-Qusyairi, Sahih Muslim, (Surabaya: Maktabah Sa’adah, 1980), juz I dan II
Ibn al-Jazari, Thabaqat al-Qurra’ (Beirut: Dar al-Fikr, tt) juz I
Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), juz I,
Makrifat, Muhammad Hadi, The History of Qur’an, terjemahan (Jakarta:
penerbit Pustaka, 2007)
Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1968)
Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, (Damaskus: Dar al-Ilmi li al-malayin,
1978), juz II
Said, Sukamto, Inzal al-Qur’an ‘ala Sab’ah Ahruf wa Mafhumuh min al-Manzhur
al-Ijtima’i wal Lughawi, artikel dalam jurnal Al-Jami’ah, UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta, edisi 2 tahun 2008.
Salih, Subhi, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut; Dar al-Fikr, 1975)
Sidiqun, Ali, Antropologi al-Qur’an, (Yogyakarta: penerbit ar-Ruuz, 2008)
Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus 2001)
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978) juz I
Syahrur, Muhammad, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’ashirah, (Damaskus: penerbit al-Ahali, 1991)
Al-Thabari, Tafsir Jami’ Bayan al-‘Ilmi, (Kairo: Mustafa al-Babi wa al-Halabi, 1975), juz XXVII
Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, (Bairut: dar al-Fikr, 1985), juz V dan VII
[1]Muhammad
Syahrur, al-Kitab wal Qur’an; Qiraah Mu’ashirah, Damaskus:
penerbit al-Ahi, 1991, h.
375.
[2]Muslim
ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, Surabaya: Maktabah Sa’adah, 1980, nomor hadis 1354.
[3]Quraish
Shihab, dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus 2001, h. 37.
[4]Al-Suyuthi,
al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978), juz I,
h. 157, Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, juz II, h. 101.
[5]Muhammad
ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz VI, h. 225, Ibn Katsir
al-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, juz I, h. 261, al-Suyuthi, al-Itqan
..., juz I, h. 58, dan Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, h. 48-49.
[6]Zamakhsyari,
Tafsir al-Kasysyaf, (Bairut:
Dar al-Fikr,
1985, juz I,
h. 255, al-Suyuthi, al-Itqan, Opcit, juz I, h. 65.
[7]al-Suyuthi,
al-Itqan ..., Ibid, juz I, h. 64
[8]Lihat:
Muhammad Hadi Makrifat, Sejarah al-Qur’an, Jakarta:
penerbit Pustaka, 2007, h. 144 – 150.
[9]Zamakhsyari,
Tafsir al-Kasysyaf…,
h. 65.
[10]Abu
Dawud, Mashahif Sajistan, h. 11 – 14, sebagaimana dikutip oleh Hadi Makrifat, Sejarah
al-Qur’an…, h.
155.
[11]Ibid.
[12]Al-Thabari,
Tafsir Jami’ Bayan al-‘Ilmi, Kairo:
Mustafa al-Babi wa al-Habi, 1975,
juz XXVII, h. 104.
[13]Ibid, h. 173.
[14]Subhi
Salih, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Qur’an,
Beirut; Dar al-Fikr, 1975, h. 195.
[15]Manna’ Khil al-Qaththan, Mabahis
fiy ‘Ulum al-Qur’an, h. 156-157, dan Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkh
li Dirasatil Qur’an, h. 154.
[16]Ibn
al-Jazari, Thabaqat al-Qurra’,
Beirut: Dar al-Fikr, tt, juz I,
h. 292
[17]Al-Suyuthi,
al-Itqan ..., juz I, h. 78.
[18]Ibn
al-Jazari, Thabaqat al-Qurra’…, juz
II, h. 143.
[19]Subhi
Salih, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Qur’an…, h. 105
[20]Ibn
Sallaam, dalam al-Burhan, I: 217.
[21]Subhi
Salih, Mabahis Fiy ‘Ulum al-Qur’an…, h. 109-112.
[22]Sukamto Said, Inzal al-Qur’an ‘ala
Sab’ah Ahruf wa Mafhumuh min al-Manzhur al-Ijtima’i wal Lughawi, artikel
dalam jurnal Al-Jami’ah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, edisi 2 tahun
2008.
[23]Lihat
Abdul Moqsith Ghazali, dkk, Metodology Studi al-Qur’an, Jakarta:
PT Gramedia, 2009 h. 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar