ILMU MUSYKIL AL-HADITS
Problematika Terminologi dan
Sejarah Perkembangan
Achmad Dahlan*
Abstrak
Sebagai sebuah ilmu, Mustholah hadits telah tumbuh dan berkembang sejalan
dengan periwayatan hadits itu sendiri. Artinya, benih-benih ilmu ini secara
alamiah telah muncul sejak zaman para sahabat sebagai generasi pertama perawi
hadits. Akan tetapi dalam bentuk yang sistematis, ia baru dibukukan pertama
kali –sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam
kitabnya: al-Muhaddits al-Fashil. Dalam perkembangannya, Mustholah
hadits semakin matang dan semakin tersistematiskan dengan jerih payah para
ulama yang menulis dalam bidang ini, seperti: Abu Abdillah al-Hakim dalam Ma'rifat
Ulum al-Hadits, Ibnu Sholah dalam al-Muqoddimah, Imam An-Nawawi dalam
al-Taqrib dll. Walaupun demikian, pada kenyataanya, masih ada beberapa
pembahasan yang belum final dikalangan ulama, terutama terkait dengan
pendefinisian beberapa terminologi dalam ilmu Mustholah hadits. Salah satu
diantaranya adalah Musykil al-Hadits.
Kata Kunci: Musykil al-Hadits, Problematika, Mushtholah
A. Pendahuluan
Ilmu Mustholah
hadits merupakan salah satu cabang ilmu hadits yang membahas mengenai
kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui derajat hadits dan kondisi para
perawinya. Kefahaman tentang ilmu ini mutlak dimiliki oleh orang yang
berkecimpung dalam bidang hadits, karena ia menjadi langkah awal untuk
membedakan hadits yang bisa dijadikan hujjah dari hadits-hadits lemah dan
palsu.
Sebagai
sebuah ilmu, Mustholah hadits telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan
periwayatan hadits itu sendiri. Artinya, benih-benih ilmu ini secara alamiah
telah muncul sejak zaman para shahabat sebagai generasi pertama perawi hadits. Akan
tetapi dalam bentuk yang sistematis, ia baru dibukukan pertama kali
–sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam kitabnya: al-Muhaddits
al-Fashil.[1]
Dalam perkembangannya, Mustholah hadits semakin matang dan semakin
tersistematiskan dengan jerih payah para ulama yang menulis dalam bidang ini, seperti:
Abu Abdillah al-Hakim dalam Ma'rifat Ulum al-Hadits, Ibnu Sholah dalam al-Muqoddimah,
Imam An-Nawawi dalam al-Taqrib dll. Walaupun demikian, pada kenyataanya,
masih ada beberapa pembahasan yang belum final dikalangan ulama, terutama
terkait dengan pendefinisian beberapa terminologi dalam ilmu Mustholah hadits.
Salah satu diantaranya adalah: Musykil al-Hadits.
B. Definisi Musykil al-Hadits dan problematika seputarnya
Al-Musykil secara bahasa berasal dari kata "Syakala".
Ibnu Faris berkata: "Kata syakala dalam kebanyakan bentuknya
mengandung arti: "Mumatsalah" (persamaan), misalnya
disebutkan: "Hadza Syaklu hadza", artinya: Ini sama dengan
ini.[2]
Sedangkan dalam Lisan al-Arab disebutkan: "Asykala al-amru"
artinya: "Masalah ini ambigu" (mempunyai lebih dari satu makna
sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).[3] Hal yang
sama disebutkan oleh para pakar bahasa seperti dalam al-Mu'jam al-Wasith,[4] al-Qamus
al-Muhith[5] dll.
Jadi, al-Musykil dalam bahasa arab
bermakna: sesuatu yang ambigu, mempunyai lebih dari satu makna, dan menimbulkan
kekaburan atau ketidakjelasan. Kemudian kata musykil digunakan untuk
menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, baik karena mempunyai makna ganda ataupun
karena sebab lain.[6]
Oleh karena itu, istilah Musykil al-hadits juga digunakan untuk
menunjukkan hadits yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.
Berdasarkan penelitian penulis terhadap
buku-buku Mustholah karangan para ulama terdahulu, seperti: al-Muhaddits
al-Fashil, Ma'rifat Ulum al-Hadits, Muqoddimah Ibnu Sholah, at-Taqrib,
al-Ba'its al-Hatsits dll, penggunaan
istilah Musykil al-Hadits tidak dipakai dan disebut dalam jenis-jenis
ilmu hadits. Yang mereka sebutkan adalah ilmu Mukhtalaf al-Hadits, yang
berdasarkan definisinya yang mereka sebutkan bermakna: "Ilmu yang
membahas tentang hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan."[7] Kemudian ketika
menyebutkan contoh karangan dalam bidang tersebut, mereka menyebut kitab Musykil
al-Atsar karangan Imam ath-Thohawi. Padahal kalau kita mempelajari kitab
ini, maka akan kita dapati didalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak
bertentangan dengan hadits lain, akan tetapi maknanya menimbulkan multi tafsir,
atau bertentangan dengan ayat al-Qur'an, sejarah ataupun fakta ilmiah.
Zainuddin al-Iraqi berkata: "Karangan
dalam bidang Mukhtalaf al-hadits diantaranya adalah kitab karangan Muhammad bin
Jarir ath-Thobari, juga kitab Muyskil al-Atsar karya ath-Thohawi.[8]"
Jadi, jelaslah bahwa para ulama terdahulu
memasukkan pembahasan hadits-hadits yang musykil dalam pembahasan Mukhtalaf al-hadits.
Dan tentunya akan timbul sedikit kerancuan disini, karena ketika mereka
memberikan definisi Mukhtalaf al-Hadits mereka hanya menyebutkan
pertentangan suatu hadits dengan hadits yang lain, sedangkan hadits Musykil
mempunyai makna yang lebih luas dari itu. Dalam hal ini, ternyata ulama-ulama muta'akhkhirin
juga melakukan hal yang sama dengan menyamakan Mukhtalaf al-Hadits dan Musykil
al-hadits, diantaranya adalah al-Shon'ani dalam kitab Taudhih al-Afkar,
al-Mulla Ali al-Qari dalam Syarh Syarh al-Nukhbah, dan al Kattani dalam al-Risalah
al-Mustathrofah. Al Kattani berkata ketika menyebutkan karangan-karangan
dalam bidang hadits: "Dan diantaranya adalah kitab-kitab tentan Ilmu
Mukhtalaf al-Hadits, atau anda bisa menyebutnya ilmu Ta'wil Mukhtalaf
al-Hadits, atau Musykil al-hadits, atau Munaqhodhoh al-hadits."[9]
Mungkin, ulama yang pertama kali
menyebutkan bahwa suatu hadits mungkin mempunyai makna yang tidak jelas dan
menimbulkan tanda tanya –bukan sekedar bertentangan dengan hadits lain- adalah
Imam Thohawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar. Beliau berkata: "Ketika
saya meneliti hadits-hadits Rasulullah SAW yang shahih sanadnya, dan
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, saya menemukan hadits-hadits yang
tidak diketahui maksud kandungannya oleh sebagian besar orang, maka sayapun
tertarik untuk menelitinya, kemudian menyingkap tabir kemusykilannya dengan
menjelaskannya, dan mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya."[10]
Disini kita lihat Imam Thohawi secara
implisit menyebutkan tentang syarat-syarat hadits musykil, definisinya dan cara
menghilangkan kemusykilannya. Adapun syaratnya adalah: hadits itu haruslah
shahih sanadnya. Sedangkan definisinya menurut beliau adalah: hadits-hadits
yang tidak diketahui kandungan maknanya oleh sebagian besar orang. Dan cara menghilangkan kemusykilan tersebut adalah dengan
menelitinya dan menjelaskannya.
Adapun
para ulama kontemporer yang menulis dalam bidang Mustholah hadits, secara umum
mereka mempunyai dua pendekatan dalam masalah ini:
1.
Pendekatan pertama adalah menganggap istilah Mukhtalaf dan Musykil
sebagai satu istilah yang sama maknanya. Kelompok ini kemudian terbagi
menjadi tiga kategori:
a. Sebagian menyamakan istilah Mukhtalaf al-Hadits dan Musykil
al-hadits, dan menyebutkan satu definisi yang menjelaskan kedua istilah
tersebut. Diantaranya adalah Dr. Nuruddin al-'Itthr yang mengatakan: "Mukhtalaf
al-hadits, dan sebagian ulama menyebutnya: Musykil al-Hadits, yaitu:
"Hadits yang secara zhahir bertentangan kaedah hukum syara', atau
bertentangan dengan nash yang lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah) sehingga
menimbulkan makna yang bias".[11] Juga Dr. Muhammad Ajjaj
al-Khatib yang mendefinisikannya dengan: "Ilmu yang mengkaji
hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan, maka kemudian
disingkronkan supaya tidak lagi bertentangan, atau mengkaji hadits-hadits yang
bertentangan dengan kaedah syari'ah atau nash lain (baik al-Qur'an maupun
As-sunnah)sehingga menimbulkan makna yang bias ."[12]
b. Sebagian ulama menganggap Musykil al-hadits adalah hadits
yang bertentangan dengan hadits lain, tanpa menyebutkan pertentangannya dengan
kaedah syariah atau nash al-Qur'an, seperti Syekh Abu Zahw.[13]
c. Sebagian ulama sama sekali tidak menyebut istilah Musykil
al-hadits dan cukup menyebutkan istilah Mukhtalaf hadits, seperti yang
dilakukan oleh para ulama terdahulu. Diantara ulama dalam kategori ini adalah:
Syekh Ahmad Syakir,[14] Prof. Dr. Mahmud
ath-Thohhan,[15]
dan Dr. Ahmad Umar Hashim.[16]
2. Sedangkan pendekatan kedua adalah
membedakan antara kedua istilah tersebut, dan menjadikan Mukhtalaf hadits
sebagai istilah yang khusus menunjukkan pertentangan hadits dengan hadits yang
lain. Adapun Muyskil al-hadits merupakan istilah lain, yang kemudian
mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Dr. Musthofa Said al-Khinn mendefinisikannya
sebagai: "Hadits yang secara zhahir menunjukkan makna yang bathil,
karena bertentangan dengan nash Al-Qur'an, atau fakta ilmiah, atau karena
mengandung tasybih (penyamaan) Dzat atau sifat Allah dengan makhluknya."[17]
Sedangkan
Dr. Usamah Abdullah al-Khoyyath mendefinisikannya sebagai: "Hadits-hadits
yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih yang secara zhahir maknanya
menunjukkan hal yang mustahil, atau bertentangan dengan kaedah Syari'ah yang
disepakati."[18]
Sedangkan as-Samahi
mendefinisikannya dengan: "Hadits shahih yang diriwayatkan dalam kitab
hadits yang mu'tabar (diakui), tetapi (maknanya) bertentangan dengan akal, atau
perasaan, atau ilmu, atau hal-hal yang telah disepakati dalam agama, dan bisa
ditakwilkan."[19]
Adapun Dr. Muhammad
Thahir al-Jawabi mendefinisikannya dengan: "Hadits shahih yang terlihat
bertentangan dengan dalil yang maqbul (bisa diterima) baik bisa ditakwilkan
maupun tidak."[20]
Adapun Prof. Dr.
Muhammad Abul Laits mendefinisikannya dengan: "Hadits shahih yang
maknanya tidak jelas, karena bertentangan dengan dalil lain, atau karena
menunjukkan makna yang mustahil baik secara akal maupun syara', yang tidak
mungkin dipahami kecuali dengan penelitian mendalam, atau dengan dibantu dalil
yang lain."[21]
Adapun Dr.
Fathuddin al-Bayanuni mendefinisikannya sebagai: "Hadits-hadits shahih
yang secara zahir bertentangan dengan dalil lain (al-Qur'an dan As-Sunnah),
atau kaedah syara' dan akal, atau fakta sejarah dan fakta ilmiah."[22]
C. Definisi yang tepat dan penjelasannya
Dari
definisi-definisi diatas kita dapati bahwa semuanya menunjukkan kepada
penjelasan yang hampir sama, dengan beberapa perbedaan dalam menyebutkan
sebab-sebab musykilnya suatu hadits. Secara lebih rinci, dari gabungan definisi
diatas, dapat kita simpulkan bahwa suatu hadits dikatakan musykil apabila ia:
- Merupakan hadits yang sahih
- Secara zhahir mempunyai makna yang tidak jelas, atau;
- Menunjukkan hal yang mustahil seperti penyamaan dzat dan sifat Allah,
atau;
- Bertentangan
dengan kaedah syara', atau;
- Bertentangan
dengan akal, atau;
- Bertentangan
dengan nash lain baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau;
- Bertentangan dengan fakta ilmiah, atau;
- Bertentangan
dengan fakta sejarah.
Dari beberapa
definisi didapati ada yang menambahkan syarat: bisa ditakwilkan, dan ada yang
menyebutkan: baik bisa ditakwilkan ataupun tidak. Dalam pandangan penulis, hal
ini tidak perlu disebutkan dalam definisi karena baik hadits tersebut akhirnya
bisa ditakwilkan ataupun tidak, ia tetap dikatakan sebagai hadits musykil. Oleh
karena itu, penyebutan "secara zhahir" dalam definisi sangat penting,
untuk menjelaskan bahwa terkadang hadits tersebut sebenarnya tidak bermasalah
sama sekali, akan tetapi orang yang membacanya memahaminya secara salah
sehingga menjadi musykil. Dalam kasus ini tentunya hadits tersebut akhirnya
dapat dijelaskan oleh orang yang betul-betul memahaminya. Akan tetapi terdapat
juga hadits-hadits yang pada akhirnya ulama bertawaqquf dalam
menjelaskan maknanya.
Syarat bahwa hadits
tersebut menunjukkan hal yang mustahil juga sebenarnya tidak perlu disebutkan
karena sudah terwakili dengan syarat-syarat yang lain yaitu: bertentangan
dengan kaedah syara' dan akal, nash yang lain, atau fakta sejarah dan ilimah.
Karena pada dasarnya, kemustahilan itu tidak akan terjadi kecuali karena
bertentangan dengan salah satu dari hal tersebut.
Dengan demikian,
definisi yang paling tepat untuk Musykil al-hadits adalah: "Hadits
shahih yang secara zhahir tidak jelas maknanya, atau bertentangan dengan
syara', atau akal, atau dalil yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma maupun
Qiyas), atau dengan fakta ilmiah dan fakta sejarah."
Penjelasan dari definisi ini adalah sebagai berikut:
- Hadits shahih: Dalam
pembahasan Musykil al-hadits kita hanya menerima hadits-hadits
shahih saja, karena tujuan pembahasannya adalah untuk mengetahui makna
yang benar dari hadits tersebut. Sedangkan hadits yang lemah atau palsu
tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sehingga tidak ada artinya kita
mentakwilkan atau menjelaskan kemusykilannya.
- Secara zhahir: Syarat ini
untuk menjelaskan bahwa terkadang hadits tersebut sebenarnya tidak
musykil, akan tetapi karena ketidaktahuan orang yang membacanya membuatnya
menjadi tampak musykil.
- Tidak jelas maknanya: karena mempunyai kosa
kata yang asing, atau karena terlalu umum dan tidak spesifik, atau karena
mempunyai lebih dari satu makna yang memungkinkan terjadinya multi tafsir,
sehingga perlu diketahui makna yang dimaksud dalam hadits tersebut, atau
sebab yang lain.
- Bertentangan dengan Syara', akal, dalil yang lain, dan fakta ilmiah
dan fakta sejarah: ini adalah
merupakan hal-hal yang mungkin bertentangan dengan hadits shahih secara
zahir. Contoh-contoh untuk setiap hadits yang bertentangan dengan hal-hal
diatas dapat kita temukan dalam kitab-kitab yang ditulis secara khusus
untuk menkaji hadits-hadits musykil.
Dari definisi yang telah penulis paparkan, maka terlihat dengan jelas bahwa
Mukhtalaf al-Hadits seharusnya dibedakan secara terminologi dari Musykil
al-Hadits, karena Musykil al-Hadits lebih umum dari Mukhtalaf al-Hadits.
Jadi hubungan antara dua terminologi tersebut adalah: "keumuman dan
kekhususan secara mutlak", karena semua hadits yang Mukhtalaf bisa
dikategorikan sebagai Musykil, akan tetapi hadits yang Musykil belum tentu
masuk dalam kategori Mukhtalaf.
Secara lebih detail, perbedaan antara keduanya bisa dipaparkan sebagai
berikut:
1. Dari segi bahasa, Musykil berasal dari kata
"asykala" yang berarti ambigu atau mengandung makna yang tidak jelas,
sedangkan Mukhtalaf berasal dari kata "ikhtalafa" yang berarti
berbeda atau bertentangan.
2. Dari segi sebab, suatu hadits dikategorikan sebagai
Mukhtalaf apabila bertentangan dengan hadits shahih yang lain, sedangkan dalam
Musykil al-Hadits, sebab pengkategoriannya adalah disebabkan oleh pertentangan
hadits tersebut dengan dengan Syara', akal, dalil yang lain (baik Al-Qur'an,
As-Sunnah) dan fakta ilmiah serta fakta sejarah.
D. Contoh-contoh Hadits Musykil
Berikut
ini adalah beberapa contoh hadits yang bisa dikategorikan sebagai hadits
musykil:
1. Hadits yang
secara zahir bertentangan dengan al-Qur'an.
"Dari Jarir r.a,
ia berkata: "Rasulullah s.a.w keluar bersama kami pada suatu malam
purnama. Kemudian beliau bersabda: "Kalian akan melihat Tuhan
kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan ini, tanpa terhalang
sesuatu pun. (Muttafaq alaih)
Hadits
ini menerangkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang beriman akan dapat
melihat Allah s.w.t. Secara zahir, ia bertentangan dengan firman Allah s.w.t
dalam surat al-An'am ayat 103 yang menerangkan bahwa semua makhluk Allah tidak
bisa melihat-Nya. Allah berfirman:
Artinya: "Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui."
Maka, para ulama
pun menjelaskan maksud dari kedua dalil tersebut sehingga tidak timbul lagi
kontradiksi antara keduanya. Diantaranya adalah pendapat Ibnu Abbas: "Di
dunia, Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan makhluknya, akan tetapi di
akhirat, orang-orang yang beriman bisa melihatnya, sesuai dengan penjelasan
hadits tersebut."
2. Hadits yang
secara zahir bertentangan dengan hadits shahih yang lain.
Artinya, terdapat
dua hadits shahih yang apabila dipahami dari zahirnya, terjadi kontradiksi
makna antara keduanya. Logikanya, hal itu tidak mungkin terjadi, karena
Rasulullah s.a.w adalah utusan Allah yang menyampaikan risalah-Nya, sehingga
selalu dipelihara dari kesalahan. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Najm 3-4: "Dan
tidaklah ia (Muhammad) berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." Oleh karena itu apabila
ada dua hadits yang secara zahir bertentangan, haruslah dipahami secara
komprehensif dalam kerangka saling menjelaskan. Diantara contoh hadits yang
saling bertentangan adalah:
Artinya: Dari
Jarhad r.a, ia berkata: "Pada suatu hari Rasulullah lewat di depanku
sedangkan kedua pahaku terbuka. Maka Rasulullah s.aw berkata: Tutuplah pahamu,
karena sesungguhnya ia termasuk aurat." (H.R at-Tirmidzi, Ahmad, Abdur
razzaq, at-Thabrani dll. at-Tirmidzi berkata: Ini adalah hadits hasan).
Hadits ini secara zahir bertentangan dengan hadits shahih riwayat Muslim:
Artinya: "Dari
Aisyah r.a: Suatu hari Rasulullah s.a.w sedang berbaring di rumahku dan kedua
pahanya atau kedua betisnya terbuka. Kemudian datanglah Abu Bakar dan minta izin
untuk masuk, maka beliau memberikan izin, sedangkan beliau masih dalam kondisi
tersebut dan mereka bercakap-cakap. Kemudian datanglah Umar dan minta izin
untuk masuk, maka beliau memberikan izin, dan beliau masih dalam kondisi
tersebut kemudian mereka bercakap-cakap. Kemudian datanglah Utsman, maka Rasulullah pun duduk dan membenahi
pakaiannya". (H.R Muslim)
Hadits pertama menjelaskan bahwa paha merupakan bagian
dari aurat. Sedangkan pada hadits kedua, Rasulullah s.a.w tidak menutup paha
beliau ketika Abu Bakar dan Umar datang, yang mengindikasikan bahwa paha
bukanlah aurat, karena tidak mungkin Rasulullah membiarkan auratnya terbuka di
depan orang lain. Artinya, terdapat kontradiksi antara dua hadits tersebut. Dalam hal ini, Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta'wil
Mukhtalaf al-Hadits berusaha mensinkronkan antara keduanya dengan
mengatakan: "Dalam hadits pertama Rasulullah mengatakan: "tutuplah
pahamu, karena ia merupakan sebagian dari aurat", beliau tidak mengatakan:
"karena ia adalah aurat", karena Aurat itu dibagi menjadi dua: yang
pertama adalah kemaluan dan dubur lelaki dan perempuan, ini merupakan aurat yang
sesungguhnya yang harus selalu ditutup setiap saat, dimanapun berada, dan dalam
kondisi apapun. Aurat yang lain adalah yang lebih ringan yaitu paha dan perut
bagian bawah, disebut aurat karena dekat dengan kemaluan dan melingkupinya. Ini
merupakan bagian aurat yang boleh dibuka oleh laki-laki di tempat pemandian
atau di tempat-tempat sepi seperti di rumahnya dan didepan istrinya. Akan
tetapi tidak sebaiknya aurat ini dibuka di tempat umum. Seperti halnya makan di
jalan dan di pasar itu halal, akan tetapi tidak baik (sopan)."
3. Hadits yang secara zahir bertentangan fakta ilmiah.
Fakta ilmiah adalah
merupakan penemuan manusia mengenai suatu pengetahuan setelah melalui proses
penelitian yang panjang, dan dapat dibuktikan secara ilmiah, serta telah diakui
kebenarannya oleh semua orang. Fakta ini sebenarnya merupakan sunnatullah di
bumi, yang menjadi bagian dari keniscayaan hakekat makhluk-makhluknya. Oleh
karena harus dibedakan antara teori ilmiah dengan fakta ilmiah, karena teori
merupakan satu fase dimana pengetahuan itu ditemukan oleh seseorang berdasarkan
penelitian, akan tetapi belum disepakati sebagai fakta. Oleh karena itu, suatu
teori yang sebelumnya dianggap benar sangat mungkin dikemudian hari dianggap
salah karena penemuan teori yang lain.
Salah satu contoh hadits
yang dianggap bertentangan dengan fakta ilmiah adalah, hadits riwayat Imam al-Bukhari:
Abu Hurairah r.a berkata: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda:
"Tidak ada penyakit menular." (H.R. al-Bukhari)
Hadits ini menegaskan
bahwa tidak ada penyakit menular, padahal secara ilmiah diketahi bahwa ada
beberapa penyakit yang bisa berpindah dari seseorang ke orang lain. Maka para
ulamapun menjelaskan makna hadits tersebut, salah satunya adalah Syekh Ahmad
Syakir yang mengatakan: "Menurut saya pendapat yang paling kuat adalah
yang diutarakan oleh Ibnu Sholah, bahwa suatu penyakit tidak bisa menular
dengan sendirinya, akan tetapi Allah-lah yang menentukan bahwa berdekatan
dengan orang yang berpenyakit menular akan membuat seseorang tertular, karena
dimungkinkan ada sebab lain yang membuatnya sakit. Karena sesungguhnya
telah menjadi fakta dalam ilmu kedokteran
modern, bahwa suatu penyakit bisa menular melalui mikroba yang dibawa oleh
angin atau ludah atau yang lainnya."[23]
E. Sejarah Perkembangan Ilmu Musykil al-Hadits
Fenomena "Isytisykal al-Hadits" (mempertanyakan makna
suatu hadits) sebenarnya sudah ada sejak zaman Shahabat radhiallahu
anhum. Dalam hal ini bisa disebutkan
contoh, dimana seorang shahabat bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wasallam karena tidak memahami sabda tersebut. Dalam shahih al-Bukhari diriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Aisyah
istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam apabila mendengar sabda Nabi
yang ia tidak pahami maknanya, selalu
bertanya kepada Nabi. Suatu saat Nabi bersabda: "Barang siapa yang ditanya
ketika dihisab, maka ia akan diazab." Maka Aisyah bertanya: "Bukankah
Allah berfirman: "Maka ia akan dihisab dengan hisab yang mudah?" Maka
Nabi bersabda: "Sesungguhnya ayat tersebut berkenaan dengan al-Ardh (yaitu
salah satu fase di hari kiamat dimana
diperlihatkan kepada seorang mukmin catatan amalnya), akan tetapi barang siapa
yang ditanya ketika dihisab, maka ia akan diazab. (HR. al-Bukhari)
Dalam
hadits tersebut, Aisyah ketika mendengar sabda Nabi bahwa semua orang yang
dihisab akan diazab, beranggapan bahwa sabda tersebut bertentangan dengan ayat
yang menunjukkan bahwa sebagian orang yang dihisab (yaitu orang mukmin), akan
dihisab dengan hisab yang mudah. Maka kemudian Rasulullah menjelaskan, bahwa
yang dimaksud ayat tersebut adalah pada saat al-Ardh, yaitu ketika Allah
memperlihatkan catatan amal seorang mukmin, dan menunjukkan dosa-dosanya, akan
tetapi Allah mengampuninya. Sedangkan sabda Nabi tersebut khusus untuk
orang-orang yang ditanya ketika dihisab, maka pasti dia akan diazab.[24]
Fenomena ini terus berlanjut di era shahabat dan para ulama sesudahnya. Hal
ini wajar, selama motivasi orang yang bertanya tersebut betul-betul karena
ingin memahami suatu hadits, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat negatif
seperti menimbulkan keraguan terhadap hadits, atau mencari-cari masalah yang
aneh yang susah dicari jawabannya dll.
Oleh karena itu, dalam
sejarah periwayatan hadits dikenal "Istidrokat Aisyah 'ala
al-Shahabah" (koreksi Aisyah terhadap riwayat shahabat)[25] dimana Aisyah menyanggah beberapa riwayat
shahabat dan menganggap bahwa telah terjadi kesalahan dalam periwayatan
tersebut karena lupa atau kesalahan memahami nash.
Akan tetapi setelah era shahabat, muncullah berbagai
kelompok (thawaif) yang mempunyai pemahaman yang menyimpang dalam
masalah aqidah dan syariah, maka kemudian para ulama ketika ditanya tentang
suatu masalah, membedakan antara orang yang bertanya karena ingin mengetahui
hukum yang sebenarnya, dan orang yang sengaja mencari-cari masalah dengan
tujuan membuat orang ragu-ragu.
Dari sisi lain, dengan
banyaknya kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, para ulama mulai menjawab
syubhat-syubhat mengenai pemahaman beberapa hadits, dengan tujuan untuk
menjelaskan kepada masyarakat hal yang sebenarnya. Maka dikenallah Imam Syafi'i
sebagai orang yang pertama kali menuliskan buku untuk menjawab syubhat-syubhat
yang berkembang di masyarakat mengenai hadits dalam bukunya "Ikhtilaf
al-Hadits". Kemudian muncul ulama-ulama yang lain seperti Ibnu Qutaibah,
Imam Thohawi dll.
Berikut ini adalah
beberapa kitab penting yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui
hadits-hadits yang musykil dan cara menjelaskan atau mentakwilkannya. Diantaranya adalah:
1. Kitab "Ikhtilaf
al-Hadits" karangan Imam Al-Syafi'i
Merupakan kitab
yang pertama kali ditulis dalam bidang ini, yang didalamnya beliau menyebutkan
nash-nash yang saling bertentangan secara zhahir, kemudian menghilangkan
pertentangan itu baik dengan taufiq (singkronisasi), ataupun menyebutkan
dalil yang nasikh (yang menghapuskan hukum) dan yang mansukh
(yang dihapuskan) jika ada dalil yang menguatkan hal tersebut, atau tarjih
(memilih salah satu dari dua hadits yang bertentangan berdasarkan derajat
kesahihannya).
Sesuai dengan judulnya, kitab ini hanya memuat pertentangan antara
hadits-hadits dan bukan pertentangan hadits dengan dalil yang lain. Juga hanya
membahas hadits dalam bidang fiqh dan bukan bidang aqidah.
2. Kitab "Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits" karya Ibnu Qutaibah
Sebagaimana yang beliau
sebutkan dalam mukaddimah, karya beliau ini secara umum memuat:
- Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan hadits lain.
- Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan Al Qur'an.
- Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan akal.
- Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan Ijma.
- Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan Qiyas.
Diantara kritik para ulama kepada Ibnu Qutaibah adalah bahwa terkadang
beliau menyebutkan hadits dhaif tanpa menyebutkan sanadnya, kemudian berusaha
mentakwilkan kemusykilannya. Tentunya lebih baik menyebtukan kedhaifan hadits
tersebut daripada berusaha menjelaskan dan mentakwilkannya, karena salah satu syarat
hadits musykil adalah baha ia merupakan hadits yang shahih.
3. Kitab "Musykil al-Atsar" karya Ath-Thohawi
Merupakan kitab terlengkap dalam bidang ini, dan mengandung banyak hadits
musykil dalam berbagai bidang seperti aqidah, fiqh, qiraat, akhlak dll.
Diantara kelebihan yang lain adalah bahwa beliau menyebutkan hadits dengan
sanadnya dan menjelaskan derajatnya dan 'illah-'illah yang mungkin
terdapat didalamnya seperti inqitho', irsal dll.
4. Kitab "Kasyf al-Musykil Min hadits ash-Shohihain" karya
Ibnul Jauzi
Kitab ini khusus membahas
hadits-hadits musykil yang ada dalam Sahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan
mengikuti urutan yang dibuat oleh al-Humaidi dalam bukunya Mukhtashar
Ash-Shohihain. Diantara kelebihannya adalah kemampuan beliau dalam menjelaskan
kata-kata sulit (ghorib al-hadits) dan menyebutkan hukum yang terkandung
dalam hadits berdasarkan pendapat para ulama sebelum beliau, dan juga pendapat
yang beliau pilih dengan dalil-dalil yang lengkap.
Demikianlah pembahasan
tentang Musykil al-hadits, semoga menjadi motivasi kepada kita untuk lebih
bersungguh-sungguh mempelajari ilmu hadits beserta ilmu-ilmu yang terkait
dengannya, wallahu A'lam.
Referensi:
Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah
(Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002).
Ahmad Muhammad al-Samahi, al-Manhaj al-Hadits fi Ulum
al-Hadits.
Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi (Beirut: Dar
al-Ma'rifah).
Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam
al-Kutub, cet.2, 1998).
Al-Faizurabadi,
al-Qamus al-Muhith.
Al-Thohawi, Bayan Musykil al-Atsar.
Fathuddin al-Bayanuni, Musykil al-Hadits, Isykaliyah al-Mustholah wa Tarikh
al-Nasy'ah, Journal of Islam in Asia, International Islamic University
Malaysia, Vol. 2, Juli 2005.
Ibrahim
Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar al-Dakwah, Cet.1).
Muhammad
Abu al-Laits al-Khairulabadi, Ulum al-Hadits Ashiluha wa Mu'ashruha (Selangor:
Dar al-Syakri, cet. 1, 1420).
Muhammad
Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun.
Muhammad
Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet.
7, 1985).
Muhammad
Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits, Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr,
Cet.1, 1989).
Muhammad
bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2,
1406).
Muhammad
bin Ja'far al-Kattani, al-Risalah al-Mustathrafah (Beirut: Dar al-Basyair
al-Islamiyah, cet. 4, 1986).
Muhammad
bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub
al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986).
Muhammad
bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1).
Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud
al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Syarif.
Musthofa
al-Khin, al-Idhoh fi Ilmi Ulum al-Hadits wa al-Mustholah (Damaskus: Dar
al-Kalim al-Thayyib, cet.1, 1999).
Nuruddin
al-Itthr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3,
1997).
Usamah
Abdullah al-Khayyath, Mukhtalaf al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al-Ushuliyyin
wa al-Fuqaha (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 2001).
Zainuddin
Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi, Syarh at-Tabshirah wa al-Tazkirah (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2002).
* H.Achmad
Dahlan, M.A.tenaga pengajar pada UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Menyelesaikan
pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah Fakultas Hadits dan melanjutkan
S2nya di Universitas Islam Antara Bangsa Malaysia pada fakultas yang sama dan
sekarang sedang menyelesaikan program doktoralnya pada kampus yang sama.
[1]Muhammad
bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah
al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986), hal:143.
[2] Ahmad bin Harits bin
Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut :
Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002), jilid: 3, hal: 203-204.
[3] Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan
al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1) jilid: 11, hal: 135.
[4] Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar al-Dakwah, Cet.1) jilid: 1, hal:
491.
[5] Al-Faizurabadi,
al-Qamus al-Muhith, jilid: 2, hal: 134.
[6]
Abdullah bin Muslim al-Dinauri, Ta'wil Musykil al-Qur'an, hal 74-78.
[7] Sebagai contoh, lihat:
Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr,
cet. 2, 1406), hal: 60.
[8] Zainuddin Abu
al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi, Syarh at-Tabshirah wa al-Tazkirah (Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, cet. 1, 2002), hal: 109.
[9] Muhammad bin Ja'far
al-Kattani, al-Risalah al-Mustathrafah (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah,
cet. 4, 1986), hal: 158
[10] Al-Thohawi, Bayan Musykil al-Atsar, jilid: 1, hal:
3.
[11] Nuruddin al-Itthr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits
(Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997) hal: 377.
[12] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits, Ushuluh
wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet.1, 1989), hal: 283.
[13] Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun,
hal: 471.
[14] Ahmad Syakir, Syarh
Alfiyah al-Suyuthi (Beirut :
Dar al-Ma'rifah) hal: 209.
[15] Muhammad Ahmad
al-Thohhan, Taisir Mustholah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7,
1985), hal: 29-30.
[16] Ahmad Umar Hashim,
Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998) hal: 203.
[17] Musthofa al-Khin,
al-Idhoh fi Ilmi Ulum al-Hadits wa al-Mustholah (Damaskus: Dar al-Kalim
al-Thayyib, cet.1, 1999) hal; 441.
[18] Usamah Abdullah
al-Khayyath, Mukhtalaf al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al-Ushuliyyin wa
al-Fuqaha (Beirut :
Dar Ibn Hazm, cet. 1, 2001) hal: 36.
[19] Ahmad Muhammad al-Samahi, al-Manhaj al-Hadits fi
Ulum al-Hadits, hal: 123.
[20] Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi
Naqd Matn al-Hadits al-Syarif, hal: 414.
[21] Muhammad Abu al-Laits al-Khairulabadi, Ulum
al-Hadits Ashiluha wa Mu'ashruha (Selangor: Dar al-Syakri, cet. 1, 1420), hal:
159.
[22] Fathuddin al-Bayanuni, Musykil al-Hadits,
Isykaliyah al-Mustholah wa Tarikh al-Nasy'ah, Journal of Islam in Asia,
International Islamic University Malaysia, Vol. 2, Juli 2005.
[23] Ahmad Syakir, al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtisha
Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Lebanon, Cet. 2, hal: 176
[24] Penjelasan lebih lengkap
mengenai masalah ini dapat dilihat di: Ibn Hajar al-Asqolani, Fath al-Bari,
Juz: 14, hal: 384.
[25] Imam al-Zarkasyi telah mengumpulkan istidrokat
tersebut dalam sebuah buku berjudul: al-Ijabah li iradi ma istadrakathu
'Aisyah ala al-Shahabah, diterbitkan
oleh al-Maktab al-Islami Beirut
tahun 1939.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar