Minggu, 18 Maret 2012

ILMU MUSYKIL AL-HADITS Problematika Terminologi dan Sejarah Perkembangan


ILMU MUSYKIL AL-HADITS
Problematika Terminologi dan Sejarah Perkembangan


Achmad Dahlan*



Abstrak

Sebagai sebuah ilmu, Mustholah hadits telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan periwayatan hadits itu sendiri. Artinya, benih-benih ilmu ini secara alamiah telah muncul sejak zaman para sahabat sebagai generasi pertama perawi hadits. Akan tetapi dalam bentuk yang sistematis, ia baru dibukukan pertama kali –sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam kitabnya: al-Muhaddits al-Fashil. Dalam perkembangannya, Mustholah hadits semakin matang dan semakin tersistematiskan dengan jerih payah para ulama yang menulis dalam bidang ini, seperti: Abu Abdillah al-Hakim dalam Ma'rifat Ulum al-Hadits, Ibnu Sholah dalam al-Muqoddimah, Imam An-Nawawi dalam al-Taqrib dll. Walaupun demikian, pada kenyataanya, masih ada beberapa pembahasan yang belum final dikalangan ulama, terutama terkait dengan pendefinisian beberapa terminologi dalam ilmu Mustholah hadits. Salah satu diantaranya adalah  Musykil al-Hadits.

Kata Kunci: Musykil al-Hadits, Problematika, Mushtholah


A. Pendahuluan
Ilmu Mustholah hadits merupakan salah satu cabang ilmu hadits yang membahas mengenai kaedah-kaedah yang digunakan untuk mengetahui derajat hadits dan kondisi para perawinya. Kefahaman tentang ilmu ini mutlak dimiliki oleh orang yang berkecimpung dalam bidang hadits, karena ia menjadi langkah awal untuk membedakan hadits yang bisa dijadikan hujjah dari hadits-hadits lemah dan palsu.
    Sebagai sebuah ilmu, Mustholah hadits telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan periwayatan hadits itu sendiri. Artinya, benih-benih ilmu ini secara alamiah telah muncul sejak zaman para shahabat sebagai generasi pertama perawi hadits. Akan tetapi dalam bentuk yang sistematis, ia baru dibukukan pertama kali –sebagaimana pendapat jumhur ulama hadits- oleh Ar Romahurmuzi dalam kitabnya: al-Muhaddits al-Fashil.[1] Dalam perkembangannya, Mustholah hadits semakin matang dan semakin tersistematiskan dengan jerih payah para ulama yang menulis dalam bidang ini, seperti: Abu Abdillah al-Hakim dalam Ma'rifat Ulum al-Hadits, Ibnu Sholah dalam al-Muqoddimah, Imam An-Nawawi dalam al-Taqrib dll. Walaupun demikian, pada kenyataanya, masih ada beberapa pembahasan yang belum final dikalangan ulama, terutama terkait dengan pendefinisian beberapa terminologi dalam ilmu Mustholah hadits. Salah satu diantaranya adalah: Musykil al-Hadits.


B. Definisi Musykil al-Hadits dan problematika seputarnya
Al-Musykil secara bahasa berasal dari kata "Syakala". Ibnu Faris berkata: "Kata syakala dalam kebanyakan bentuknya mengandung arti: "Mumatsalah" (persamaan), misalnya disebutkan: "Hadza Syaklu hadza", artinya: Ini sama dengan ini.[2] Sedangkan dalam Lisan al-Arab disebutkan: "Asykala al-amru" artinya: "Masalah ini ambigu" (mempunyai lebih dari satu makna sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekaburan).[3] Hal yang sama disebutkan oleh para pakar bahasa seperti dalam al-Mu'jam al-Wasith,[4] al-Qamus al-Muhith[5] dll.
Jadi, al-Musykil dalam bahasa arab bermakna: sesuatu yang ambigu, mempunyai lebih dari satu makna, dan menimbulkan kekaburan atau ketidakjelasan. Kemudian kata musykil digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang tidak jelas, baik karena mempunyai makna ganda ataupun karena sebab lain.[6] Oleh karena itu, istilah Musykil al-hadits juga digunakan untuk menunjukkan hadits yang maknanya tidak jelas, atau menimbulkan multi tafsir.
Berdasarkan penelitian penulis terhadap buku-buku Mustholah karangan para ulama terdahulu, seperti: al-Muhaddits al-Fashil, Ma'rifat Ulum al-Hadits, Muqoddimah Ibnu Sholah, at-Taqrib, al-Ba'its  al-Hatsits dll, penggunaan istilah Musykil al-Hadits tidak dipakai dan disebut dalam jenis-jenis ilmu hadits. Yang mereka sebutkan adalah ilmu Mukhtalaf al-Hadits, yang berdasarkan definisinya yang mereka sebutkan bermakna: "Ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan."[7] Kemudian ketika menyebutkan contoh karangan dalam bidang tersebut, mereka menyebut kitab Musykil al-Atsar karangan Imam ath-Thohawi. Padahal kalau kita mempelajari kitab ini, maka akan kita dapati didalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain, akan tetapi maknanya menimbulkan multi tafsir, atau bertentangan dengan ayat al-Qur'an, sejarah ataupun fakta ilmiah.
Zainuddin al-Iraqi berkata: "Karangan dalam bidang Mukhtalaf al-hadits diantaranya adalah kitab karangan Muhammad bin Jarir ath-Thobari, juga kitab Muyskil al-Atsar karya ath-Thohawi.[8]"
Jadi, jelaslah bahwa para ulama terdahulu memasukkan pembahasan hadits-hadits yang musykil dalam pembahasan Mukhtalaf al-hadits. Dan tentunya akan timbul sedikit kerancuan disini, karena ketika mereka memberikan definisi Mukhtalaf al-Hadits mereka hanya menyebutkan pertentangan suatu hadits dengan hadits yang lain, sedangkan hadits Musykil mempunyai makna yang lebih luas dari itu. Dalam hal ini, ternyata ulama-ulama muta'akhkhirin juga melakukan hal yang sama dengan menyamakan Mukhtalaf al-Hadits dan Musykil al-hadits, diantaranya adalah al-Shon'ani dalam kitab Taudhih al-Afkar, al-Mulla Ali al-Qari dalam Syarh Syarh al-Nukhbah, dan al Kattani dalam al-Risalah al-Mustathrofah. Al Kattani berkata ketika menyebutkan karangan-karangan dalam bidang hadits: "Dan diantaranya adalah kitab-kitab tentan Ilmu Mukhtalaf al-Hadits, atau anda bisa menyebutnya ilmu Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits, atau Musykil al-hadits, atau Munaqhodhoh al-hadits."[9]
Mungkin, ulama yang pertama kali menyebutkan bahwa suatu hadits mungkin mempunyai makna yang tidak jelas dan menimbulkan tanda tanya –bukan sekedar bertentangan dengan hadits lain- adalah Imam Thohawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar. Beliau berkata: "Ketika saya meneliti hadits-hadits Rasulullah SAW yang shahih sanadnya, dan diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, saya menemukan hadits-hadits yang tidak diketahui maksud kandungannya oleh sebagian besar orang, maka sayapun tertarik untuk menelitinya, kemudian menyingkap tabir kemusykilannya dengan menjelaskannya, dan mengeluarkan hukum yang terkandung didalamnya."[10]
Disini kita lihat Imam Thohawi secara implisit menyebutkan tentang syarat-syarat hadits musykil, definisinya dan cara menghilangkan kemusykilannya. Adapun syaratnya adalah: hadits itu haruslah shahih sanadnya. Sedangkan definisinya menurut beliau adalah: hadits-hadits yang tidak diketahui kandungan maknanya oleh sebagian besar orang. Dan cara menghilangkan kemusykilan tersebut adalah dengan menelitinya dan menjelaskannya.
Adapun para ulama kontemporer yang menulis dalam bidang Mustholah hadits, secara umum mereka mempunyai dua pendekatan dalam masalah ini:
1. Pendekatan pertama adalah menganggap istilah Mukhtalaf dan Musykil sebagai satu istilah yang sama maknanya. Kelompok ini kemudian terbagi menjadi tiga kategori:
a.      Sebagian menyamakan istilah Mukhtalaf al-Hadits dan Musykil al-hadits, dan menyebutkan satu definisi yang menjelaskan kedua istilah tersebut. Diantaranya adalah Dr. Nuruddin al-'Itthr yang mengatakan: "Mukhtalaf al-hadits, dan sebagian ulama menyebutnya: Musykil al-Hadits, yaitu: "Hadits yang secara zhahir bertentangan kaedah hukum syara', atau bertentangan dengan nash yang lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah) sehingga menimbulkan makna yang bias".[11] Juga Dr. Muhammad Ajjaj al-Khatib yang mendefinisikannya dengan: "Ilmu yang mengkaji hadits-hadits yang secara zhahir saling bertentangan, maka kemudian disingkronkan supaya tidak lagi bertentangan, atau mengkaji hadits-hadits yang bertentangan dengan kaedah syari'ah atau nash lain (baik al-Qur'an maupun As-sunnah)sehingga menimbulkan makna yang bias ."[12]
b.      Sebagian ulama menganggap Musykil al-hadits adalah hadits yang bertentangan dengan hadits lain, tanpa menyebutkan pertentangannya dengan kaedah syariah atau nash al-Qur'an, seperti Syekh Abu Zahw.[13]
c.       Sebagian ulama sama sekali tidak menyebut istilah Musykil al-hadits dan cukup menyebutkan istilah Mukhtalaf hadits, seperti yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. Diantara ulama dalam kategori ini adalah: Syekh Ahmad Syakir,[14] Prof. Dr. Mahmud ath-Thohhan,[15] dan Dr. Ahmad Umar Hashim.[16]

2. Sedangkan pendekatan kedua adalah membedakan antara kedua istilah tersebut, dan menjadikan Mukhtalaf hadits sebagai istilah yang khusus menunjukkan pertentangan hadits dengan hadits yang lain. Adapun Muyskil al-hadits merupakan istilah lain, yang kemudian mereka berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
Dr. Musthofa Said al-Khinn mendefinisikannya sebagai: "Hadits yang secara zhahir menunjukkan makna yang bathil, karena bertentangan dengan nash Al-Qur'an, atau fakta ilmiah, atau karena mengandung tasybih (penyamaan) Dzat atau sifat Allah dengan makhluknya."[17]
     Sedangkan Dr. Usamah Abdullah al-Khoyyath mendefinisikannya sebagai: "Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang shahih yang secara zhahir maknanya menunjukkan hal yang mustahil, atau bertentangan dengan kaedah Syari'ah yang disepakati."[18]
   Sedangkan as-Samahi mendefinisikannya dengan: "Hadits shahih yang diriwayatkan dalam kitab hadits yang mu'tabar (diakui), tetapi (maknanya) bertentangan dengan akal, atau perasaan, atau ilmu, atau hal-hal yang telah disepakati dalam agama, dan bisa ditakwilkan."[19]
     Adapun Dr. Muhammad Thahir al-Jawabi mendefinisikannya dengan: "Hadits shahih yang terlihat bertentangan dengan dalil yang maqbul (bisa diterima) baik bisa ditakwilkan maupun tidak."[20]
     Adapun Prof. Dr. Muhammad Abul Laits mendefinisikannya dengan: "Hadits shahih yang maknanya tidak jelas, karena bertentangan dengan dalil lain, atau karena menunjukkan makna yang mustahil baik secara akal maupun syara', yang tidak mungkin dipahami kecuali dengan penelitian mendalam, atau dengan dibantu dalil yang lain."[21]
    Adapun Dr. Fathuddin al-Bayanuni mendefinisikannya sebagai: "Hadits-hadits shahih yang secara zahir bertentangan dengan dalil lain (al-Qur'an dan As-Sunnah), atau kaedah syara' dan akal, atau fakta sejarah dan fakta ilmiah."[22]


C. Definisi yang tepat dan penjelasannya
     Dari definisi-definisi diatas kita dapati bahwa semuanya menunjukkan kepada penjelasan yang hampir sama, dengan beberapa perbedaan dalam menyebutkan sebab-sebab musykilnya suatu hadits. Secara lebih rinci, dari gabungan definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa suatu hadits dikatakan musykil apabila ia:
  1. Merupakan hadits yang sahih
  2. Secara zhahir mempunyai makna yang tidak jelas, atau;
  3. Menunjukkan hal yang mustahil seperti penyamaan dzat dan sifat Allah, atau;
  4. Bertentangan dengan kaedah syara', atau;
  5. Bertentangan dengan akal, atau;
  6. Bertentangan dengan nash lain baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah, atau;
  7. Bertentangan dengan fakta ilmiah, atau;
  8. Bertentangan dengan fakta sejarah.
Dari beberapa definisi didapati ada yang menambahkan syarat: bisa ditakwilkan, dan ada yang menyebutkan: baik bisa ditakwilkan ataupun tidak. Dalam pandangan penulis, hal ini tidak perlu disebutkan dalam definisi karena baik hadits tersebut akhirnya bisa ditakwilkan ataupun tidak, ia tetap dikatakan sebagai hadits musykil. Oleh karena itu, penyebutan "secara zhahir" dalam definisi sangat penting, untuk menjelaskan bahwa terkadang hadits tersebut sebenarnya tidak bermasalah sama sekali, akan tetapi orang yang membacanya memahaminya secara salah sehingga menjadi musykil. Dalam kasus ini tentunya hadits tersebut akhirnya dapat dijelaskan oleh orang yang betul-betul memahaminya. Akan tetapi terdapat juga hadits-hadits yang pada akhirnya ulama bertawaqquf dalam menjelaskan maknanya.
Syarat bahwa hadits tersebut menunjukkan hal yang mustahil juga sebenarnya tidak perlu disebutkan karena sudah terwakili dengan syarat-syarat yang lain yaitu: bertentangan dengan kaedah syara' dan akal, nash yang lain, atau fakta sejarah dan ilimah. Karena pada dasarnya, kemustahilan itu tidak akan terjadi kecuali karena bertentangan dengan salah satu dari hal tersebut.
Dengan demikian, definisi yang paling tepat untuk Musykil al-hadits adalah: "Hadits shahih yang secara zhahir tidak jelas maknanya, atau bertentangan dengan syara', atau akal, atau dalil yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma maupun Qiyas), atau dengan fakta ilmiah dan fakta sejarah."
Penjelasan dari definisi ini adalah sebagai berikut:
  1. Hadits shahih: Dalam pembahasan Musykil al-hadits kita hanya menerima hadits-hadits shahih saja, karena tujuan pembahasannya adalah untuk mengetahui makna yang benar dari hadits tersebut. Sedangkan hadits yang lemah atau palsu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, sehingga tidak ada artinya kita mentakwilkan atau menjelaskan kemusykilannya.
  2. Secara zhahir: Syarat ini untuk menjelaskan bahwa terkadang hadits tersebut sebenarnya tidak musykil, akan tetapi karena ketidaktahuan orang yang membacanya membuatnya menjadi tampak musykil.
  3. Tidak jelas maknanya: karena mempunyai kosa kata yang asing, atau karena terlalu umum dan tidak spesifik, atau karena mempunyai lebih dari satu makna yang memungkinkan terjadinya multi tafsir, sehingga perlu diketahui makna yang dimaksud dalam hadits tersebut, atau sebab yang lain.
  4. Bertentangan dengan Syara', akal, dalil yang lain, dan fakta ilmiah dan fakta sejarah: ini adalah merupakan hal-hal yang mungkin bertentangan dengan hadits shahih secara zahir. Contoh-contoh untuk setiap hadits yang bertentangan dengan hal-hal diatas dapat kita temukan dalam kitab-kitab yang ditulis secara khusus untuk menkaji hadits-hadits musykil.
Dari definisi yang telah penulis paparkan, maka terlihat dengan jelas bahwa Mukhtalaf al-Hadits seharusnya dibedakan secara terminologi dari Musykil al-Hadits, karena Musykil al-Hadits lebih umum dari Mukhtalaf al-Hadits. Jadi hubungan antara dua terminologi tersebut adalah: "keumuman dan kekhususan secara mutlak", karena semua hadits yang Mukhtalaf bisa dikategorikan sebagai Musykil, akan tetapi hadits yang Musykil belum tentu masuk dalam kategori Mukhtalaf.
Secara lebih detail, perbedaan antara keduanya bisa dipaparkan sebagai berikut:
1. Dari segi bahasa, Musykil berasal dari kata "asykala" yang berarti ambigu atau mengandung makna yang tidak jelas, sedangkan Mukhtalaf berasal dari kata "ikhtalafa" yang berarti berbeda atau bertentangan.
2. Dari segi sebab, suatu hadits dikategorikan sebagai Mukhtalaf apabila bertentangan dengan hadits shahih yang lain, sedangkan dalam Musykil al-Hadits, sebab pengkategoriannya adalah disebabkan oleh pertentangan hadits tersebut dengan dengan Syara', akal, dalil yang lain (baik Al-Qur'an, As-Sunnah) dan fakta ilmiah serta fakta sejarah.


D. Contoh-contoh Hadits Musykil
     Berikut ini adalah beberapa contoh hadits yang bisa dikategorikan sebagai hadits musykil:

1. Hadits yang secara zahir bertentangan dengan al-Qur'an.
"Dari Jarir r.a, ia berkata: "Rasulullah s.a.w keluar bersama kami pada suatu malam purnama. Kemudian beliau bersabda: "Kalian akan melihat Tuhan kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat bulan ini, tanpa terhalang sesuatu pun. (Muttafaq alaih)
            Hadits ini menerangkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang yang beriman akan dapat melihat Allah s.w.t. Secara zahir, ia bertentangan dengan firman Allah s.w.t dalam surat al-An'am ayat 103 yang menerangkan bahwa semua makhluk Allah tidak bisa melihat-Nya. Allah berfirman:

Artinya: "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui."
     Maka, para ulama pun menjelaskan maksud dari kedua dalil tersebut sehingga tidak timbul lagi kontradiksi antara keduanya. Diantaranya adalah pendapat Ibnu Abbas: "Di dunia, Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan makhluknya, akan tetapi di akhirat, orang-orang yang beriman bisa melihatnya, sesuai dengan penjelasan hadits tersebut."

2. Hadits yang secara zahir bertentangan dengan hadits shahih yang lain.
Artinya, terdapat dua hadits shahih yang apabila dipahami dari zahirnya, terjadi kontradiksi makna antara keduanya. Logikanya, hal itu tidak mungkin terjadi, karena Rasulullah s.a.w adalah utusan Allah yang menyampaikan risalah-Nya, sehingga selalu dipelihara dari kesalahan. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Najm 3-4: "Dan tidaklah ia (Muhammad) berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." Oleh karena itu apabila ada dua hadits yang secara zahir bertentangan, haruslah dipahami secara komprehensif dalam kerangka saling menjelaskan. Diantara contoh hadits yang saling bertentangan adalah:

Artinya: Dari Jarhad r.a, ia berkata: "Pada suatu hari Rasulullah lewat di depanku sedangkan kedua pahaku terbuka. Maka Rasulullah s.aw berkata: Tutuplah pahamu, karena sesungguhnya ia termasuk aurat." (H.R at-Tirmidzi, Ahmad, Abdur razzaq, at-Thabrani dll. at-Tirmidzi berkata: Ini adalah hadits hasan).
Hadits ini secara zahir bertentangan dengan hadits shahih riwayat Muslim:
Artinya: "Dari Aisyah r.a: Suatu hari Rasulullah s.a.w sedang berbaring di rumahku dan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Kemudian datanglah Abu Bakar dan minta izin untuk masuk, maka beliau memberikan izin, sedangkan beliau masih dalam kondisi tersebut dan mereka bercakap-cakap. Kemudian datanglah Umar dan minta izin untuk masuk, maka beliau memberikan izin, dan beliau masih dalam kondisi tersebut kemudian mereka bercakap-cakap. Kemudian datanglah Utsman, maka Rasulullah pun duduk dan membenahi pakaiannya". (H.R Muslim)
    Hadits pertama menjelaskan bahwa paha merupakan bagian dari aurat. Sedangkan pada hadits kedua, Rasulullah s.a.w tidak menutup paha beliau ketika Abu Bakar dan Umar datang, yang mengindikasikan bahwa paha bukanlah aurat, karena tidak mungkin Rasulullah membiarkan auratnya terbuka di depan orang lain. Artinya, terdapat kontradiksi antara dua hadits tersebut. Dalam hal ini, Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits berusaha mensinkronkan antara keduanya dengan mengatakan: "Dalam hadits pertama Rasulullah mengatakan: "tutuplah pahamu, karena ia merupakan sebagian dari aurat", beliau tidak mengatakan: "karena ia adalah aurat", karena Aurat itu dibagi menjadi dua: yang pertama adalah kemaluan dan dubur lelaki dan perempuan, ini merupakan aurat yang sesungguhnya yang harus selalu ditutup setiap saat, dimanapun berada, dan dalam kondisi apapun. Aurat yang lain adalah yang lebih ringan yaitu paha dan perut bagian bawah, disebut aurat karena dekat dengan kemaluan dan melingkupinya. Ini merupakan bagian aurat yang boleh dibuka oleh laki-laki di tempat pemandian atau di tempat-tempat sepi seperti di rumahnya dan didepan istrinya. Akan tetapi tidak sebaiknya aurat ini dibuka di tempat umum. Seperti halnya makan di jalan dan di pasar itu halal, akan tetapi tidak baik (sopan)."

3. Hadits yang secara zahir bertentangan fakta ilmiah.
     Fakta ilmiah adalah merupakan penemuan manusia mengenai suatu pengetahuan setelah melalui proses penelitian yang panjang, dan dapat dibuktikan secara ilmiah, serta telah diakui kebenarannya oleh semua orang. Fakta ini sebenarnya merupakan sunnatullah di bumi, yang menjadi bagian dari keniscayaan hakekat makhluk-makhluknya. Oleh karena harus dibedakan antara teori ilmiah dengan fakta ilmiah, karena teori merupakan satu fase dimana pengetahuan itu ditemukan oleh seseorang berdasarkan penelitian, akan tetapi belum disepakati sebagai fakta. Oleh karena itu, suatu teori yang sebelumnya dianggap benar sangat mungkin dikemudian hari dianggap salah karena penemuan teori yang lain.
     Salah satu contoh hadits yang dianggap bertentangan dengan fakta ilmiah adalah,  hadits riwayat Imam al-Bukhari:
Abu Hurairah r.a berkata: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w bersabda: "Tidak ada penyakit menular." (H.R. al-Bukhari)
     Hadits ini menegaskan bahwa tidak ada penyakit menular, padahal secara ilmiah diketahi bahwa ada beberapa penyakit yang bisa berpindah dari seseorang ke orang lain. Maka para ulamapun menjelaskan makna hadits tersebut, salah satunya adalah Syekh Ahmad Syakir yang mengatakan: "Menurut saya pendapat yang paling kuat adalah yang diutarakan oleh Ibnu Sholah, bahwa suatu penyakit tidak bisa menular dengan sendirinya, akan tetapi Allah-lah yang menentukan bahwa berdekatan dengan orang yang berpenyakit menular akan membuat seseorang tertular, karena dimungkinkan ada sebab lain yang membuatnya sakit. Karena sesungguhnya telah  menjadi fakta dalam ilmu kedokteran modern, bahwa suatu penyakit bisa menular melalui mikroba yang dibawa oleh angin atau ludah atau yang lainnya."[23]


E. Sejarah Perkembangan Ilmu Musykil al-Hadits
    Fenomena "Isytisykal al-Hadits" (mempertanyakan makna suatu hadits) sebenarnya sudah ada sejak zaman Shahabat radhiallahu anhum. Dalam hal  ini bisa disebutkan contoh, dimana seorang shahabat bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam karena tidak memahami sabda tersebut. Dalam  shahih al-Bukhari diriwayatkan:
Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Aisyah istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam apabila mendengar sabda Nabi yang ia tidak pahami maknanya,  selalu bertanya kepada Nabi. Suatu saat Nabi bersabda: "Barang siapa yang ditanya ketika dihisab, maka ia akan diazab." Maka Aisyah bertanya: "Bukankah Allah berfirman: "Maka ia akan dihisab dengan hisab yang mudah?" Maka Nabi bersabda: "Sesungguhnya ayat tersebut berkenaan dengan al-Ardh (yaitu salah  satu fase di hari kiamat dimana diperlihatkan kepada seorang mukmin catatan amalnya), akan tetapi barang siapa yang ditanya ketika dihisab, maka ia akan diazab. (HR. al-Bukhari)
     Dalam hadits tersebut, Aisyah ketika mendengar sabda Nabi bahwa semua orang yang dihisab akan diazab, beranggapan bahwa sabda tersebut bertentangan dengan ayat yang menunjukkan bahwa sebagian orang yang dihisab (yaitu orang mukmin), akan dihisab dengan hisab yang mudah. Maka kemudian Rasulullah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah pada saat al-Ardh, yaitu ketika Allah memperlihatkan catatan amal seorang mukmin, dan menunjukkan dosa-dosanya, akan tetapi Allah mengampuninya. Sedangkan sabda Nabi tersebut khusus untuk orang-orang yang ditanya ketika dihisab, maka pasti dia akan diazab.[24]
     Fenomena ini terus berlanjut di era shahabat dan para ulama sesudahnya. Hal ini wajar, selama motivasi orang yang bertanya tersebut betul-betul karena ingin memahami suatu hadits, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat negatif seperti menimbulkan keraguan terhadap hadits, atau mencari-cari masalah yang aneh yang susah dicari jawabannya dll.
     Oleh karena itu, dalam sejarah periwayatan hadits dikenal "Istidrokat Aisyah 'ala al-Shahabah" (koreksi Aisyah terhadap riwayat shahabat)[25]  dimana Aisyah menyanggah beberapa riwayat shahabat dan menganggap bahwa telah terjadi kesalahan dalam periwayatan tersebut karena lupa atau kesalahan memahami nash.
    Akan tetapi  setelah era shahabat, muncullah berbagai kelompok (thawaif) yang mempunyai pemahaman yang menyimpang dalam masalah aqidah dan syariah, maka kemudian para ulama ketika ditanya tentang suatu masalah, membedakan antara orang yang bertanya karena ingin mengetahui hukum yang sebenarnya, dan orang yang sengaja mencari-cari masalah dengan tujuan membuat orang ragu-ragu.
    Dari sisi lain, dengan banyaknya kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, para ulama mulai menjawab syubhat-syubhat mengenai pemahaman beberapa hadits, dengan tujuan untuk menjelaskan kepada masyarakat hal yang sebenarnya. Maka dikenallah Imam Syafi'i sebagai orang yang pertama kali menuliskan buku untuk menjawab syubhat-syubhat yang berkembang di masyarakat mengenai hadits dalam bukunya "Ikhtilaf al-Hadits". Kemudian muncul ulama-ulama yang lain seperti Ibnu Qutaibah, Imam Thohawi dll.
    Berikut ini adalah beberapa kitab penting yang bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui hadits-hadits yang musykil dan cara menjelaskan atau mentakwilkannya. Diantaranya adalah:


1. Kitab "Ikhtilaf al-Hadits" karangan Imam Al-Syafi'i
Merupakan kitab yang pertama kali ditulis dalam bidang ini, yang didalamnya beliau menyebutkan nash-nash yang saling bertentangan secara zhahir, kemudian menghilangkan pertentangan itu baik dengan taufiq (singkronisasi), ataupun menyebutkan dalil yang nasikh (yang menghapuskan hukum) dan yang mansukh (yang dihapuskan) jika ada dalil yang menguatkan hal tersebut, atau tarjih (memilih salah satu dari dua hadits yang bertentangan berdasarkan derajat kesahihannya).
Sesuai dengan judulnya, kitab ini hanya memuat pertentangan antara hadits-hadits dan bukan pertentangan hadits dengan dalil yang lain. Juga hanya membahas hadits dalam bidang fiqh dan bukan bidang aqidah.

2. Kitab "Ta'wil Mukhtalaf al-Hadits" karya Ibnu Qutaibah
     Sebagaimana yang beliau sebutkan dalam mukaddimah, karya beliau ini secara umum memuat:
  1. Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan hadits lain.
  2. Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan Al Qur'an.
  3. Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan akal.
  4. Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan Ijma.
  5. Hadits-hadits yang dianggap bertentangan dengan Qiyas.
Diantara kritik para ulama kepada Ibnu Qutaibah adalah bahwa terkadang beliau menyebutkan hadits dhaif tanpa menyebutkan sanadnya, kemudian berusaha mentakwilkan kemusykilannya. Tentunya lebih baik menyebtukan kedhaifan hadits tersebut daripada berusaha menjelaskan dan mentakwilkannya, karena salah satu syarat hadits musykil adalah baha ia merupakan hadits yang shahih.

3. Kitab "Musykil al-Atsar" karya Ath-Thohawi
Merupakan kitab terlengkap dalam bidang ini, dan mengandung banyak hadits musykil dalam berbagai bidang seperti aqidah, fiqh, qiraat, akhlak dll. Diantara kelebihan yang lain adalah bahwa beliau menyebutkan hadits dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya dan 'illah-'illah yang mungkin terdapat didalamnya seperti inqitho', irsal dll.

4. Kitab "Kasyf al-Musykil Min hadits ash-Shohihain" karya Ibnul Jauzi
      Kitab ini khusus membahas hadits-hadits musykil yang ada dalam Sahih Bukhari dan Shahih Muslim, dengan mengikuti urutan yang dibuat oleh al-Humaidi dalam bukunya Mukhtashar Ash-Shohihain. Diantara kelebihannya adalah kemampuan beliau dalam menjelaskan kata-kata sulit (ghorib al-hadits) dan menyebutkan hukum yang terkandung dalam hadits berdasarkan pendapat para ulama sebelum beliau, dan juga pendapat yang beliau pilih dengan dalil-dalil yang lengkap.
     Demikianlah pembahasan tentang Musykil al-hadits, semoga menjadi motivasi kepada kita untuk lebih bersungguh-sungguh mempelajari ilmu hadits beserta ilmu-ilmu yang terkait dengannya, wallahu A'lam.


Referensi:

Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002).
Ahmad Muhammad al-Samahi, al-Manhaj al-Hadits fi Ulum al-Hadits.
Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi (Beirut: Dar al-Ma'rifah).
Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998).
Al-Faizurabadi, al-Qamus al-Muhith.
Al-Thohawi, Bayan Musykil al-Atsar.
Fathuddin al-Bayanuni, Musykil al-Hadits, Isykaliyah al-Mustholah wa Tarikh al-Nasy'ah, Journal of Islam in Asia, International Islamic University Malaysia, Vol. 2, Juli 2005.
Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar al-Dakwah, Cet.1).
Muhammad Abu al-Laits al-Khairulabadi, Ulum al-Hadits Ashiluha wa Mu'ashruha (Selangor: Dar al-Syakri, cet. 1, 1420).
Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun.
Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7, 1985).
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits, Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet.1, 1989).
Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406).
Muhammad bin Ja'far al-Kattani, al-Risalah al-Mustathrafah (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, cet. 4, 1986).
Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986).
Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1).
Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Syarif.
Musthofa al-Khin, al-Idhoh fi Ilmi Ulum al-Hadits wa al-Mustholah (Damaskus: Dar al-Kalim al-Thayyib, cet.1, 1999).
Nuruddin al-Itthr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997).
Usamah Abdullah al-Khayyath, Mukhtalaf al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al-Ushuliyyin wa al-Fuqaha (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 2001).
Zainuddin Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi, Syarh at-Tabshirah wa al-Tazkirah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2002).




 * H.Achmad Dahlan, M.A.tenaga pengajar pada UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Madinah Fakultas Hadits dan melanjutkan S2nya di Universitas Islam Antara Bangsa Malaysia pada fakultas yang sama dan sekarang sedang menyelesaikan program doktoralnya pada kampus yang sama.
[1]Muhammad bin Ja'far al-Kattani, Al-Risalah al-Mustathrofah li bayan masyhur kutub al-Sunnah al-Mushonnafah (Beirut: Dar al-Basya'ir al-Islamiyah, cet: 4, 1986), hal:143.
[2] Ahmad bin Harits bin Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah (Beirut: Ittihad al-Kuttab al-'Arab, 2002), jilid: 3, hal: 203-204.
[3] Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Ifriqi, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Shadir, Cet.1) jilid: 11, hal: 135.
[4]  Ibrahim Anis dkk, Mu'jam al-Wasith (Dar al-Dakwah, Cet.1) jilid: 1, hal: 491.
[5] Al-Faizurabadi, al-Qamus al-Muhith, jilid: 2, hal: 134.
[6] Abdullah bin Muslim al-Dinauri, Ta'wil Musykil al-Qur'an, hal 74-78.
[7]  Sebagai contoh, lihat: Muhammad bin Ibrahim bin Jama'ah, al-Manhal al-Rawi (Damaskus: Dar al-Fikr, cet. 2, 1406), hal: 60.
[8] Zainuddin Abu al-Fadhl Abdur Rahim al-Iraqi, Syarh at-Tabshirah wa al-Tazkirah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2002), hal: 109.
[9] Muhammad bin Ja'far al-Kattani, al-Risalah al-Mustathrafah (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, cet. 4, 1986), hal: 158
[10] Al-Thohawi, Bayan Musykil al-Atsar, jilid: 1, hal: 3.
[11]  Nuruddin al-Itthr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (Damaskus: Dar al-Fikr, cet.3, 1997) hal: 377.
[12] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ulum al-Hadits, Ushuluh wa Musthalahuh (Beirut: Dar al-Fikr, Cet.1, 1989), hal: 283.
[13] Muhammad Abu Zahw, al-Hadits wa al-Muhadditsun, hal: 471.
[14] Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi (Beirut: Dar al-Ma'rifah) hal: 209.
[15]  Muhammad Ahmad al-Thohhan, Taisir Mustholah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, cet. 7, 1985), hal: 29-30.
[16] Ahmad Umar Hashim, Qowaid Ushul al-Hadits (Beirut: Alam al-Kutub, cet.2, 1998) hal: 203.
[17] Musthofa al-Khin, al-Idhoh fi Ilmi Ulum al-Hadits wa al-Mustholah (Damaskus: Dar al-Kalim al-Thayyib, cet.1, 1999) hal; 441.
[18] Usamah Abdullah al-Khayyath, Mukhtalaf al-Hadits baina al-Muhadditsin wa al-Ushuliyyin wa al-Fuqaha (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 2001) hal: 36.
[19] Ahmad Muhammad al-Samahi, al-Manhaj al-Hadits fi Ulum al-Hadits, hal: 123.
[20] Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits al-Syarif, hal: 414.
[21] Muhammad Abu al-Laits al-Khairulabadi, Ulum al-Hadits Ashiluha wa Mu'ashruha (Selangor: Dar al-Syakri, cet. 1, 1420), hal: 159.
[22] Fathuddin al-Bayanuni, Musykil al-Hadits, Isykaliyah al-Mustholah wa Tarikh al-Nasy'ah, Journal of Islam in Asia, International Islamic University Malaysia, Vol. 2, Juli 2005.
[23] Ahmad Syakir, al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtisha Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Lebanon, Cet. 2, hal: 176
[24]  Penjelasan lebih lengkap mengenai masalah ini dapat dilihat di: Ibn Hajar al-Asqolani, Fath al-Bari, Juz: 14, hal: 384.
[25] Imam al-Zarkasyi telah mengumpulkan istidrokat tersebut dalam sebuah buku berjudul: al-Ijabah li iradi ma istadrakathu 'Aisyah  ala al-Shahabah, diterbitkan oleh al-Maktab al-Islami Beirut tahun 1939. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar