PEMIKIRAN NASHR
HAMID ABU ZAYD
MENGENAI METODOLOGI
TAFSIR AL-QUR`AN
Anwar Mujahidin*
Abstrak
Pembaharuan metodologi tafsir al-Qur`an meniscayakan
pergeseran cara pandang terhadap teks al-Qur`an sebagai obyek kajian. Masalah
utama dalam studi al-Qur`an adalah mengembalikan kaitan antara kajian al-Qur`an
dengan kajian bahasa dan kritik sastra. Antara kajian al-Qur`an dengan sastra
tersusun berbagai ilmu yang porosnya satu, yaitu teks, baik teks tersebut
berupa al-Qur`an ataupun hadits Nabi. Persoalan tafsir-ta`wil sebagai kajian
ilmiah terhadap al-Qur`an bukanlah tingkat obyektivitas atau subyektifitasnya,
namun terhindarkannya dari kecenderungan ideologis, yaitu bias interpreter. Abu
Zayd, sebagai seorang pemikjir kontemporer menawarkan tiga prinsip dalam
penafsiran al-Qur`an, yaitu, perhatian pada makna teks yang asli, kesadaran
akan pesan utama (significance), dan mengaktualkan pesan utama ke dalam konteks
masyarakakat kontemporer.
Kata Kunci: Metode Tafsir
al-Qur`an, Tekstualitas, Nashr Hamid Abu Zayd
A. Latar
Belakang
Kebutuhan
pengkajian al-Qur`an sudah mulai terasa sejak masa awal sejarah penyebaran
Islam dan mencapai respon keilmuan yang cukup penting pada masa Abbasiyah
dimana Islam telah menjadi agama bagi orang-orang non Arab, di luar bangsa di
mana al-Qur`an pertama kali diturunkan dan sekaligus pemilik bahasa yang
digunakan oleh Tuhan mengartikulasikan firman-firman-Nya. Manna’ al-Qaththan
menyatakan bahwa sampai masa tadwin (masa kodifikasi keilmuan Islam)
telah tumbuh karya-karya tafsir yang berdiri sendiri terlepas dari bidang
hadits dengan menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat
sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf. Para ulama menafsirkan al-Qur’an
dengan al-sunnah, pendapat sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in yang
kadang-kadang disertai penjelasan (tarjih) kandungan hukumnya. Di antara
karya tafsir dengan metode dan pendekatan tersebut adalah : karya Ibn Majah (w
273 H), karya ibn Jarir al-Thabari (w 310 H), karya Abu Bakr bin al-Munzir
al-Naysaburi (w. 318 H). [1]
Kemudian setelah ilmu keislaman dan peradaban
Islam berkembang pesat sehingga para ulama dapat menguasai berbagai disiplin
ilmu, maka bermunculan karya-karya ilmiah dari berbagai bidang, termasuk karya-karya
tafsir. Kelahiran berbagai karya tafsir pada masa ini diwarnai oleh latar
belakang pendidikan masing-masing penafsirnya. Masing-masing penafsir mempunyai kecenderungan dan arah
pembahasan tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Di antara mereka ada yang
cenderung kepada pembahasan aspek balaghah seperti imam al-Zamakhsyari,
ada yang cenderung kepada pembahasan aspek hukum syariat seperti imam Abu
al-Su’ud. [2]
Suatu hal yang patut disesali adalah tertutupnya mimbar
petualangan akademik untuk menemukan metode ilmiah dalam studi ilmu-ilmu ke-Islaman
khususnya ilmu al-Qur`an dan tafsir al-Qur`an pada zaman pertengahan. Penutupan
tersebut karena para mutakallimin khawatir akan terjadinya pendangkalan aqidah
dan kesesatan akibat perkembangan pemikiran. Ulama masa pertengahan menyerukan
untuk mencukupkan diri dengan ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh ulama masa awal
Islam (mutaqaddimin). Al-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Nashr Hamid Abu Zayd
menyatakan bahwa ilmu-ilmu keislaman yang dihasilkan pendahulunya khususnya
al-Qur’an dan hadits adalah ilmu yang sudah matang dan final (nadhijat wa
ihtarakat). Untuk itu Abu Zayd dalam penelitiannya terhadap kitab al-Itqan
karya al-Suyuthi menyimpulkan bahwa karya tersebut hanya sebagai karya
pengulangan, apa yang ditulisnya hanyalah kumpulan dari ilmu-ilmu yang sudah
dirumuskan ulama terdahulu.[3]
Ibn Taymiyyah, salah seorang ulama abad VIII Hijriah
menegaskan bahwa apabila telah diketahui pengertian atau tafsir al-Qur’an
dengan al-sunnah maka tidak diperlukan lagi pendapat ahli bahasa dan yang
lainnya. Bagi setiap mukmin tidak diperkenankan berbicara mengenai agama
kecuali mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw., para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti jejak mereka dari para tabi’in, yang tak seorangpun
diantara mereka terbukti melakukan pertentangan dengan al-Qur’an dengan
rasionalitasnya.[4]
Tafsir dengan pendekatan ulama mutaqaddimin, yang
disebut tafsir bi al-ma’tsur menurut al-Qaththan wajib diikuti dan
dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan
paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam
memahami kitabullah.[5] Sebaliknya, tafsir yang mencoba merespon
perkembangan zaman dengan menghadirkan ilmu-ilmu seperti bahasa, sastra, dan
filsafat sebagai ilmu bantu dalam menyingkap makna al-Qur’an adalah karya yang
dilarang (haram) yang berarti juga haram megikutinya. Hal tersebut dikarenakan
ketepatan dan kebenaran suatu pendapat tidak meyakinkan dan hanya bersifat
dugaan dan perkiraan semata. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah
menurut dugaan semata berarti ia telah mengatakan terhadap Allah sesuatu yang
tidak ia ketahui.[6] Ibn Taymiyyah juga secara tegas mengklaim bahwa
sebab-sebab kesesatan dalam penafsiran al-Qur’an adalah adanya interaksi dengan
para filosof.[7]
Dialektika halal-haram dalam ilmu-ilmu al-Qur`an akan
menutup dialektika keilmuan dan memasukkan ruang akademik ke dalam ruang
teologis yang hitam-putih. Hal ini berakibat pada dinamika pemikiran Islam yang
merujuk pada sumber al-Qur`an dan al-Sunnah tidak terakomodasi dengan kerangka
metodologi yang memadai. Keprihatinan ini tergambar dalam pernyataan Muhammad
Syahrur, seorang insinyur muslim yang menaruh minat pada studi al-Qur`an. Dalam
pengantar bukunya al-Kitab wa al-Qur`an, Qira`ah Mu'ashirah, ia
menyatakan bahwa telah berlalu paruh kedua dari abad ke-15 H, atau bertepatan
dengan paruh terakhir abad ke-20 M, tetapi peradaban Islam sejak permulaan abad
ke-20 masih saja menyuguhkan Islam sebagai aqidah dan etika tanpa menyentuh
dimensi filosofis dari aqidah Islam. Peradaban Islam mengalami stagnasi dan tidak
mampu memecahkan problem fundamental pemikiran ke-Islaman, karena masih
dipenuhi berbagai taqlid tentang konsep qadha` dan qadar, faham jabariah,
problematika pengetahuan, konsep negara, problem sosial ekonomi, demokrasi dan
penafsiran atas sejarah.[8]
Usaha untuk keluar dari krisis pemikiran dan sakit
mental yang traumatik terhadap dunia luar, dilakukan dengan mengarahkan dunia
akademik di era kontemporer lebih berorientasi kepada usaha menemukan
metode-metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. ilmu-ilmu al-Qur`an sudah saatnya
dikembangkan sehingga dapat menjadi dasar-dasar ilmiah bagi usaha penafsiran
terhadap al-Qur`an. Menurut Nasr
Hamid Abu Zayd, usaha membangun sebuah metodologi yang ilmiah dalam studi
al-Qur`an merupakan jalan satu-satunya untuk mencapai obyektifitas pemahaman
terhadap al-Qur`an dan Islam secara keseluruhan. Ungkapan Abu Zayd tersebut
didasarkan pada kenyataan kuatnya tarikan-tarikan ideologis dalam pemikiran
Islam yang sulit dihindarkan oleh para pengkaji dan peneliti ketika memasuki
wilayah kajian Islam.[9]
Melalui bukunya Mafhum al-Nash, Dirosah fi Ulum
al-Qur`an, Nasr Hamid, Dosen Universitas Kairo dan Universitas Leiden telah
melakukan kritik terhadap rancang bangun ilmu-ilmu al-Qur`an yang selama ini
menjadi ilmu yang seolah baku dan sakral. Kritik tersebut dijadikannya sebagai
langkah awal untuk membangun sebuah metodologi tafsir yang aktual untuk masa
kontemporer saat ini.
B.
Biografi dan Latar Belakang Sosial-Historis Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di desa Qahafah, dekat kota Tantra Mesir, 10 Juli
1943 dan wafat 5 Juli 2010 di Mesir dan dimakamkan di daerah tempat ia
dilahirkan.[10]
Sebagaimana kebiasaan masyarakat muslim Mesir, sejak sekitar usia 4 tahun dia
belajar Qur`an di kuttab di desanya Qahafah, dan pada usia 8 tahun dia
telah menghafal al-Qur`an.[11]
Ayah Abu Zayd adalah seorang aktivis al-Ikhwan al-muslimun dan pernah
dipenjara menyusul dieksekusinya Sayyid Quthb. Abu Zayd juga telah menjadi
simpatisan gerakan Ikhwan al-muslimun pada usiannya yang sebelas tahun.
Abu Zayd tertarik dengan pemikiran Sayyid Quthb dalam bukunya al-Islām wa
al-’Adālah al-Ijtimā’iah (Islam dan Keadilan Sosial), khususnya
penekanannya pada keadilan manusiawi dalam menafsirkan Islam.[12]
Ayah Abu Zayd
meninggal pada saat Abu Zayd berusia empat belas tahun dan mengharuskan ia
bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Setelah menyelesaikan pendidikan
teknik di Thanta pada tahun 1960, dia bekerja sebagai seorang teknisi
elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo sampai tahun 1972. Pada
saat yang sama, sambil bekerja ia mulai melanjutkan studi di Cairo
University, di mana Abu Zayd meraih gelar BA
dalam Arabic
Studies dengan predikat cum laude (1972).[13]
Abu Zayd kemudian diangkat sebagai asisten dosen. Berdasarkan kebijakan
pimpinan pada jurusannya yang mewajibkan para asisten dosen baru untuk
mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master dan Doktoral,
maka Abu Zayd merubah bidang studi keahliannya dari linguistik dan kritik sastra
menjadi studi Islam khususnya studi al-Qur`an.[14]
Pada universitas
yang sama dengan program sarjananya, Abu Zayd meraih gelar MA pada tahun 1977.[15]
Abu Zayd menulis tesis dengan tema al-Ittijāh al-’Aqli fī al-Tafsīr: Dirāsah
fī Qadhiyyāt al-Majaz fī al-Qur`ān ’inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam
tafsir: Sebuah Studi tentang Problem Metafor menurut Mu’tazilah). Karya tesis
terbut kemudian dipublikasikan pada tahun 1982.[16]
Gelar PhD dalam Islamic
Studies, dengan fokus pada bidang tafsir al-Qur`an diselesaikan
Abu Zayd pada tahun 1981.[17]
Abu Zayd menulis disertasi berjudul Falsafat al-ta`wīl: Dirāsah fī
Ta`wīl al-Qur`ān ’Inda Muhy al-Dīn Ibnu ’Arabi (Filsafat Takwil: Studi
Heremeneutika al-Qur`an Muhy al-Din ibnu Arabi).[18]
Abu Zayd pernah tinggal di Amerika
selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian
doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of
Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan
maupun tulisan.[19]
Pada saat Abu Zayd mengikuti program
studi di University of Pennsylvania, ia
mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya teori-teori tentang
cerita rakyat (folklore). Pada masa itulah
Abu Zayd menjadi akrab dengan hermeneutika barat. Dia menulis artikel
“al-Hirminiyuthiqa wa Mu`dhilat Tafsīr al-Nashsh (Hermeneutika dan problem
penafsiran teks). Artikel tersebut merupakan artikel pertama yang ditulis Nahsr
Hamid tentang hermeneutika dalam bahasa Arab.[20]
Selain sebagai
dosen pada fakultas Bahasa dan Sastra Arab pada Cairo University, Abu
Zayd juga pernah menjadi dosen tamu di universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama empat tahun (Maret
1985-Juli 1989).[21]
Ketika dia masih berada di Jepang, dia
dipromosikan sebagai Associate Profesor. Masa Abu Zayd di Jepang
nampaknya merupakan masa paling produktif baginya. Selama tinggal di Jepang
itulah Abu Zayd menyelesaikan bukunya Mafhūm al-Nash: Dirāsah fī al-Ulūm
al-Qur`ān (Konsep Teks: studi tentang ilmu-ilmu al-Qur`an) dan menulis
artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya nanti dipublikasikan dalam Naqd
al-Khithab al-Dīni (Kritik atas Wacana Keagamaan). Sebagian besar artikel
yang dimuat dalam buku terakhir ini dipublikasikan pada akhir 1980-an dan awal
1990-an.[22]
Pada bulan April
1992, pada usianya yang ke-49, Abu Zayd menikahi Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis,
profesor Bahasa Perancis dan Sastra Perbandingan di Universitas Kairo. Satu
bulan kemudian, 9 Mei 1992, dia mengajukan promosi profesor penuh di
Universitas Kairo. Namun ini juga merupakan awal dari tragedi hidupnya, sebuah
peristiwa yang telah mempengaruhi sejarah Mesir dan dunia Islam secara umum.[23] Abu Zayd
mengajukan berkas yang diperlukan dengan melampirkan semua karya tulisnya yang
sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember 1992, keluar keputusan bahwa
promosinya ditolak. Abu Zayd tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya
dinilai kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan
ajaran Islam, menghina Rasulullah Saw, meremehkan al-Qur’an dan menghina para
ulama salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes.[24]
Pada 3 Juli 1995,
bersama istrinya, Abu Zayd terbang ke Madrid, Spanyol, dan akhirnya menetap di
Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995. Di Belanda Abu Zayd mendapat sambutan
hangat, ia menjadi profesor tamu studi Islam di Universitas Leiden sejak 26
Juli 1995 hingga 27 Desember 2000 dan dikukuhkan sebagai Guru Besar tetap di
Universitas Leiden.[25]
Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya
(1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan
kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility, Freedom
of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu.[26]
Abu Zayd tetap sering berkunjung ke
Mesir setelah tahun 1995, tetapi hanya untuk mengunjungi saudara-saudaranya.
Selama kunjungan ke Indonesia ia terkena virus yang tidak diketahui dan di
rawat di rumah sakit di Kairo hingga akhirnya meninggal di rumah sakit Kairo
pada 5 Juli 2010.[27]
C. al-Qur`an adalah
Teks Kebahasaan (Dasar Tafsir Ilmiah vis-a-vis Tafsir Ideologis)
Kerangka
konseptual pemikiran Abu Zayd Abu Zayd sebenarnya tidak seliberal sebagaimana
dituduhkan para ulama Mesir terhadapnya, hal itu karena dalam pembaharuan Abu
Zayd berprinsip untuk tetap tidak meninggalkan warisan budaya para ulama mutaqaddimin.
Abu Zayd berprinsip bahwa pembaharuan adalah dialektika antara unsur yang lama dan unsur
kebudayaan kotemporer. Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan,
“Ringkasnya,
warisan budaya itu telah kita warisi. Yaitu warisan yang senantiasa memberikan
andil dalam membentuk kesadaran kita dan mempengaruhi perilaku kita, sadar
ataupun tidak. Maka dari itu, kita tidak mungkin mengabaikan warisan budaya
tersebut dan juga tidak mungkin menggugurkannya dari perhitungan kita, namun
dengan pertimbangan yang sama, kita juga tidak dapat menerimanya secara apa adanya
begitu saja. Untuk itu, bagi kita seharusnya merumuskannya kembali, dengan
membuang apa yang tidak sesuai dengan masa kita. Di situ kita menegaskan aspek
positifnya, memperbaharuinya dan merumuskannya dengan bahasa yang sesuai dengan masa kita. Inilah pembaharuan yang
sangat dibutuhkan apabila kita ingin mengatasi krisis kita saat ini, yaitu
pembaharuan yang menggabungkan antara unsur-unsur yang asli-otentik dengan
unsur-unsur kontemporer”.[28]
Pembaharuan
metodologi tafsir meniscayakan pergeseran cara pandang terhadap teks al-Qur`an
sebagai obyek kajian. Abu Zayd, sebagai seorang pembaharu di era kontemporer
telah menegaskan diawal kajiannya bahwa masalah utama dalam studi al-Qur`an
adalah mengembalikan kaitan antara kajian-kajian al-Qur`an dengan kajian-kajian
dan kritik sastra. Antara kajian al-Qur`an dengan sastra tersusun dari berbagai
ilmu yang porosnya satu, yaitu teks, baik teks tersebut berupa al-Qur`an
ataupun hadits Nabi. Tidak ada perbedaan metodologis dan pendekatan-pendekatan
kritis dalam mempelajari teks-teks sastra, perbedaannya hanya dalam menentukan
hakekat “teks”, karakteristik, dan fungsinya.[29]
Statemen dari Abu
Zayd di atas sangatlah menarik sebagai sebuah langkah maju untuk menemukan
metode ilmiah dalam studi al-Qur`an, namun ide tersebut sekaligus menjadi ide
yang kontroversial. Keberatan yang segera muncul adalah bagaimana mungkin
menerapkan metode analisis teks terhadap teks ketuhanan?. Meskipun tidak bersifat
mengada-ada dan berpijak dengan argumentasi baik historis maupun rasional yang
kuat, namun pemikiran Abu Zayd mengenai tekstualitas al-Qur`an untuk
mengembalikan studi al-Qur`an pada porosnya sebagai teks kebahasaan telah
disalah pahami oleh sebagian ulama Mesir. Ulama tersebut menganggap Abu Zayd
murtad di antaranya dengan alasan, pertama: Abu Zayd berpendapat dan mengatakan bahwa
al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya
mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam
al-Lawh al-Mahfuz dan kedua, Abu Zayd berpendapat dan mengatakan bahwa
al-Qur’an adalah teks linguistik (nashsh lughawi), Ini sama dengan
mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan
al-Qur’an adalah karangan beliau.[30]
Abu Zayd sama sekali tidak mengingkari hakikat al-Qur`an sebagai
kalamullah. Abu Zayd menyatakan bahwa dalam hubungan linguistik terdapat
interaksi antara pengirim dan penerima. Dalam konteks al-Qur`an pengirimnya
adalah Allah. Oleh karena pengirim dalam konteks al-Qur`an adalah Allah, maka
tidak dapat dijadikan objek kajian. Abu Zayd kemudian menawarkan objek kajian
dalam studi al-Qur`an berupa realitas budaya yang terjadi pada fase pembentukan
dan penyempurnaan. Dengan demikian, pendapat Abu Zayd bahwa al-Qur`an adalah
teks linguistik, tidaklah menafikan realitas al-Qur`an sebagai kalamullah pada
masa pewahyuan. Karena setelah masa pewahyuan berlangsung masa berikutnya
sebagai apa yang disebut masa pembentukan, di mana al-Qur`an sebagai teks
kebahasaan yang dibaca dan dikaji oleh umat manusia. Interaksi masyarakat
dengan al-Qur`an inilah yang dimaksud Abu Zayd sebagai realitas budaya yang
dapat dijadikan objek studi al-Qur`an.[31]
Dengan demikian pandangan Abu Zayd mengenai
tekstualitas, bahwa teks al-Qur`an adalah “produk budaya”, teks linguistik,
teks historis, sama sekali tidak menafikan asal-usul Ilahiah dari al-Qur`an,
namun juga tidak mengebiri hakekat al-Qur`an sebagai teks linguistik yang
terikat oleh waktu dan ruang di dalam sejarah dan masyarakat tertentu. Al-Qur`an
sebagai teks historis tunduk kepada pemahaman dan interpretasi manusia
(pembaca). Hubungan antara bahasa dan budaya menegaskan bahwa bahasa
merefleksikan budaya (fenomena dan system-sistem tanda) pada satu sisi, dan
merujuk kepada alam (yakni entitas-entitas fisikal dan sosial), pada sisi lain.[32]
Meskipun Abu Zayd mengakui kedudukan al-Qur`an sebagai
teks linguistik sebagaimana teks-teks kebahasaan yang diproduksi oleh suatu
system budaya pada umumnya, namun teks al-Qur`an tetap memiliki kekhasan
sendiri dibanding teks-teks budaya lainnya. Abu Zayd menggunakan teori dari
bapak linguistik modern De Saussure yang membedakan antara parole
(ucapan) dan langue (bahasa) yang diterjemahkan dalam bahasa Arab
“kalam” dan “lughah”. Langue adalah system bahasa sebagai keseluruhan
yang sejatinya bersifat social dan independen dari individu tertentu, sementara
parole adalah ucapan-ucapan atau tindak komunikasi individual. Hubungan
antara langue dan parole bersifat dialektik, karena parole
meskipun mempunyai partikularitasnya sendiri tidak bisa melampaui struktur
general system linguistik (langue). Bagi Abu Zayd, bahasa
al-Qur`an adalah parole dan bahasa Arab adalah langue.[33]
Bahasa
al-Qur`an sebagai sebuah system (langue) Dalam konteks hermeneutika,
berarti merefleksikan budaya Arab abad ketujuh, dan budaya itu merefleksikan
alam atau entitas-entitas fisikal dan sosial yang ada pada saat itu. Antara bahasa, budaya, dan alam terkait secara melingkar
yang tak ada habis-habisnya.[34] Pewahyuan gradual al-Qur`an selama lebih dari dua puluh
dua tahun mengekspresikan hubungan dialektik antara teks, budaya, dan realitas
dalam sebuah momen hitoris tertentu. Historisitas tafsir al-Qur`an mencakup historisitas makna yang
terkandung dalam teks, tidak hanya peristiwa sejarah yang menyertai turunnya
nash, yang biasa disebut dengan asbab al-Nuzul. Kajian dalam tafsir
al-Qur`an yang historis akan meliputi kajian terhadap historisitas bahasa teks,
termasuk di dalamnya masalah bahasa dan budaya masyarakat yang memproduk,
membangun, atau menyusun teks tersebut. Kajian terhadap sebuah teks tidak hanya
berhenti pada makna yang tersurat teks tersebut, tetapi juga apa yang dimaksud
dibalik makna teks.[35]
D. Tafsir
dan Ta`wil
Interpretasi dan teks adalah dua sisi dari satu mata
uang. Teks al-Qur`an telah ditundukkan pada interpretasi sejak masa
pewahyuannya. Muhammad saw. adalah penafsir yang pertama, yang melalui dialah
al-Qur`an untuk pertama kalinya berinteraksi dengan pemikiran manusia.[36]
Dalam studi al-Qur`an terdapat pertentangan dan
perbedaan antara penggunaan istilah tafsir dan ta`wil. Sebagaimana dinyatakan
oleh Hashim Kamali untuk tujuan mendeduksi hukum dari nash (al-Qur`an) maka ada
dua metode yaitu tafsir dan ta`wil. Tafsir berarti menjelaskan
makna teks al-Qur`an dalam batas-batas kata dan ungkapannya, artinya penjelasan
berdasarkan unsur kandungan dan komposisi linguistiknya semata. Sedangkan ta`wil
adalah pencarian makna tersembunyi dengan mengabaikan makna yang tampak (zahir)
menuju makna yang lain. Namun tidak semua kata perlu dita`wilkan, seperti kata
yang tegas (mufassar) dan kata yang sudah jelas (muhkam),
begitu juga kata yang sudah spesifik (khass) dan kata-kata yang
terkualifikasi (muqayyad). Kata yang perlu dita`wilkan adalah hanya kata
yang nampak dzahirnya dan kata yang jelas (nass), termasuk kata yang masih umum
(‘amm).[37]
Abu Zayd merasa prihatin dengan sikap ulama yang
mempertahankan pemahaman tafsir dengan mengabaikan ta`wil dengan alasan
dianggap menyimpang dari kekuasaan ulama mutaqaddimin yaitu otoritas
Nabi, Sahabat dan Tabi`in. Sikap merasa cukup dengan hasil interpretasi
generasi pertama teks dan membatasi peran mufassir modern hanya dengan
meriwayatkan dari ulama kuno membawa konsekuensi yang lebih berbahaya dalam
kehidupan sosial; mungkin masyarakat akan memegangi interpretasi tersebut
secara literal dan menjadikannya aqidah, dan akibatnya merasa cukup
dengan “kebenaran-kebenaran” azali (imanen) sebagai kebenaran-kebenaran final,
dan menjauhi metode “eksperimental” dalam mengkaji fenomena-fenomena alam dan
kemanusiaan.[38]
Persoalan tafsir-ta`wil sebagai kajian ilmiah terhadap
al-Qur`an menurut Abu Zayd, bukanlah tingkat obyektivitas atau
subyektifitasnya, namun terhindarkannya dari kecenderungan ideologis. Dengan
demikian ta`wil vis a vis berhadapan dengan interpretasi ideologis yang
diistilakan sebagai talwīn (mewarnai atau memberi warna kepada teks).
Ideologi yang dimaksud Abu zayd adalah bias interpreter, bias kepentingan,
orientasi, kecenderungan ideologis, tujuan-tujuan politis, pragmatis, dan
keyakinan keagamaan.[39]
Abu Zayd juga menggunakan istilah pembacaan (Qirā`ah)
untuk membedakan antara kajian penguakan makna al-Qur`an yang ilmiah dengan
kajian yang bersifat ideologis. Ta`wil merupakan pembacaan produktif (qirā`ah
muntijah) yang didasarkan atas kritik epistemologis tentang obyektivitas
sedangkan talwīn adalah sebuah pembacaan ideologis-subyektif-tendensius
(qirā`ah mughridhah) atas teks. Dengan kata lain, ta`wil adalah
pembacaan yang membuat teks berbicara sendiri tentang dirinya (reading out)
sementara talwīn adalah pembacaan yang memaksakan agar teks berbicara tentang
apa yang diinginkan pembaca (reading into). Meskipun demikian, Abu Zayd
mengakui bahwa tidak ada pembacaan yang bersih (qirā`ah barī`ah) karena
tidak ada pengetahuan yang berangkat dari ruang hampa, dan pembaca selalu
dibatasi oleh horizon pembacanya sendiri.[40]
Dengan demikian terdapat satu dimensi penting dalam
proses ta`wil yaitu peran pembaca dalam menghadapi teks dan dalam menemukan
maknanya. Peran pembaca atau pen-ta`wil bukanlah peran mutlak yang
mengubah ta`wil menjadi teks yang tunduk pada kepentingan subjektif, tetapi
ta`wil harus berdasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang secara
niscaya berkaitan dengan teks, dan berada dalam konteks “tafsir”. Penta`wil
harus mengetahui benar tentang tafsir yang memungkinkanya memberikan ta`wil
yang diterima dalam teks, yaitu ta`wil yang tidak menundukkan teks pada
kepentingan subyektif dan ideologinya.[41]
E. Metode
Tafsir al-Qur`an (Konteks Masa Nabi dan Masa Kini)
Pemikiran
mengenai prinsip-prinsip dasar tafsir al-Qur`an bertujuan melakukan penafsiran
al-Qur`an dengan metode ilmiah untuk menghindarkan penafsir dari pengaruh
subyektifitas yang diistilahkan Abu Zayd sebagai karya ideologis. Selain
merubah perspektifnya mengenai al-Qur`an dari teks mitologis menjadi
teks-manusiawi, seorang penafsir sebelum melakukan kegiatan penafsirannya juga
harus merubah orientasinya. al-Qur`an tidaklah dimaksudkan untuk menjawab semua
problem manusia. Al-Qur`an tidaklah mengandung segala-galanya. Banyak hal yang
harus diperoleh di luar al-Qur`an. Dengan demikian interpretasi tidaklah didasarkan
atas kebutuhan-kebutuhan aktual dan diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Apabila orientasi tersebut tidak diingat kuat-kuat oleh penafsir,
maka interpretasi akan dengan mudah dimanipulasi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan ini dan jawabannya seringkali telah didapatkan justru
sebelum interpretasi dilakukan. Kalau hal tersebut terjadi maka interpretasi
hanyalah pembenaran atas suatu opini atau posisi tertentu.[42]
Metode
tafsir yang diusulkan Abu zayd sebenarnya bukanlah suatu metode yang baru sama
sekali dan asing di dunia tafsir al-Qur`an. Metode tafsir yang kontekstual (manhaj
al-qirā`ah al-siyaqiyah) yang disebut sebagai metode pembaharuan (manhaj
al-tajdīd), merupakan pengembangan dari metode usul al-fiqh tradisional
pada satu sisi, dan kerja keras daripara pendukung renaissance Islam –
khususnya Muhammad Abduh dan Amin al-Khuli.[43]
Abu
Zayd menawarkan sebuah langkah-langkah untuk mengungkap makna al-Qur`an.
Seorang interpreter haruslah mulai dengan sebuah pembacaan permulaan (preliminary
reading), kemudian diikuti dengan pembacaan analitis (al-Qirā`ah al-tahlīliyah)
agar kunci dan gagasan-gagasan sentral teks terkuak. Melalui gagasan-gagasan
sentral ini, interpreter menemukan makna tersembunyi lain dan mengembangkan
pembacaan-pembacaan baru. Pembacaan interpreter haruslah di dasarkan atas
pelibatan total pembaca dalam dunia teks.[44]
Untuk
menganalisis makna dan signifikansi ayat, Abu Zayd tidak meninggalkan sejumlah
ilmu yang telah dibukukan dalam ilmu-ilmu al-Qur`an, meskipun dengan sejumlah
pemaknaan baru. Ilmu Makiyah Madaniyah, Asbab al-Nuzul, Nasikh-Mansukh,
Munasabat dan ilmu-ilmu kebahasaan (nahwu, balaghah) merupakan instrument utama
dalam interpretasi. Namun berbeda dengan para ulama dalam memaknai asbab
al-Nuzul, Abu Zayd melihatnya dalam perspektif yang lebih luas yakni sekumpulan
konteks historis sosial – Abad VII M- turunnya wahyu.[45]
Berkaitan
dengan al-nash al-ta`sīsi al-tsāni yakni Sunnah Nabi, menurutnya
haruslah ada pemaduan antara kritik “matan” dan kritik “sanad”, yakni antara
metode Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi`i dengan memanfaatkan pula segala metode
kritik teks yang mungkin dan pemantapannya dalam linguistik dan stilistik
kontemporer. Yang lebih penting lagi, pembukaan pintu ijtihad untuk memisahkan
antara perkataan Rasulullah Saw. dalam konsep “Sunnah” dengan pengertian
terminologis yang harus diikuti dalam kapasitasnya sebagai Rasul dan Nabi, dan
perkataan-perkataan biasa yang boleh diikuti atau ditinggalkan dalam
kapasitasnya sebagai manusia biasa.[46]
Perhatian
penafsir kepada makna kontekstual berdasarkan konteks sosio historis ayat harus
ditunjang dengan teori-teori sejarah, sosiologi, linguistik modern. Menurut Abu
Zayd langkah penafsiran awal untuk menemukan makna pesan teks harus menggunakan
kritik historis (historical critism) kemudian diikuti analisis
linguistik dan kritik sastra. Apabila suatu teks mempunyai level makna pertama,
maka ia berhenti pada kritik historis dan memperlakukan teks tersebut sebagai
bukti/ fakta historis. Apabila suatu teks mempunyai level makna kedua, maka
penafsir dapat melangkah dari kritik historis ke kritik sastra dengan
menganggap teks tersebut sebagai metaphor. Kaitan antara makna metaforis dan makna hakiki (literal)
haruslah tetap dijaga. Dalam hubungannya dengan level ketiga, sebuah teks
haruslah dicari signifikansinya yang diturunkan dari makna obyektifnya. Makna
ini akan membimbing penafsir untuk mendapatkan “pesan baru”, dengan bergerak
dari “makna” teks kepada “signifikansinya” di dalam konteks sosio-kultural
interpreter.[47]
Dengan demikian metode penafsiran al-Qur`an yang
diusulkan Abu Zayd yang berpijak pada interaksi yang diciptakan teks dengan
sistem budaya, menggunakan pendekatan hermeneutik yang terdiri dari dua langkah
yang berdialektika satu sama lain. Pertama,
perlu menemukan kembali “makna asal” (dalālah
al-ashliyyah) dari teks dan sekaligus juga unsur budaya dengan
menempatkannya di dalam konteks sosio-historis kemunculannya. Dalam
berinteraksi dengan teks (turats), seorang mufassir seharusnya mempertimbangkan
historisitas teks. Artinya menempatkan teks pada konteksnya dalam upaya
menyingkap makna yang asli, kemudian memasuki konteks historis, dan selanjutnya
konteks bahasa yang khusus dari teks-teks tersebut. Kedua, signifikansi (magza), yaitu
mengkontekstualisasikan makna historis teks tersebut ke dalam realitas
sosial-budaya pembaca. Untuk mengklarifikasi berbagai bingkai sosio-kultural
sekarang ini dan tujuan praktisnya mendorong dan mengarahkan berbagai
penafsiran, sehingga dapat membedakan kandungan ideologis interpretasi dari
makna orisinal historisnya.
Sebuah pembacaan “produktif” dihasilkan ketika dua
langkah ini didialektikkan secara terus menerus dan tanpa henti, “sebuah
gerakan pendulum antara dimensi orisinil (ashl) dan tujuan (ghayah), atau
antara tanda (dalalah) dan signifikansi (maghza). Tanpa dua
gerakan diatas, antara makna dan signifikansi, kedua-duanya akan saling
mengintimidasi dan pembacaan akan saling menjauh dari wawasan yang diinginkan
dan akan jatuh pada tendensi (talwin).
F.Kesimpulan
Metodologi Tafsir al-Qur`an dibangun di atas prinsip
tektualitas al-Qur`an, bahwa obyek utama kajian al-Qur`an adalah teks
kebahasaan. Dengan prinsip dasar tersebut, studi al-Qur`an harus dikaitan
dengan ilmu bahasa (linguistik) dan kritik sastra. Selain pendekatan tekstual,
studi al-Qur`an juga menggunakan pendekatan histors kritis, sehingga asbab
al-nuzul yang merupakan salah satu pilar ilmu-ilmu al-Qur`an, digunakan
dalam perspektif yang lebih luas yakni sekumpulan konteks historis sosial –
Abad VII M- turunnya wahyu. Penggunaan Al-Sunnah memadukan antara kritik
“matan” dan kritik “sanad”, yakni antara metode Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi`i dengan memanfaatkan pula segala metode kritik teks yang mungkin dan
pemantapannya dalam linguistik dan stilistik kontemporer. Kedudukan Muhammad
saw. dalam konsep “Sunnah” harus diteliti dalam kapasitasnya sebagai Rasul dan
Nabi, dan perkataan-perkataan biasa yang boleh diikuti atau ditinggalkan dalam
kapasitasnya sebagai manusia biasa. Dengan pendekatan tekstual dan historis
kritis di atas, tafsir al-Qur`an dapat diorientasikan kepada tiga tujuan, yaitu
1. Perhatian pada makna teks yang asli, 2. Kesadaran akan pesan utama
(significance), dan 3. Mengaktualkan pesan utama ke dalam konteks masyarakakat
kontemporer.
G.
Daftar Pustaka
Ichwan, Moch Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis
al-Qur`an,Teori Hermeneutika Nashr Abu zayd, Jakarta: Teraju, 2003.
Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin,ed., Studi
al-Qur`an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002.
al-Najdi, ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim
al-‘Ashim, Majmu ‘Fatawa Syaykh al-Islam ahmad bin Taymiyyah, (Tt: tpn,
1398 H), Juz 13 –Kitab Muqaddimat al-Tafsir.
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an,
Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973.
Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur`an, Qira`ah
Mu'ashirah,Damaskus: al-Ahali, 1990.
al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah, al-Burhan
fi’Ulum al-Qur’an,Beyrut: Dar al-Fikr, 1990.
Zayd, Nashr Hamid Abu, Mahfum al-Nash, Dirasah fi
Ulum al-Qur’an, Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab.
------------------------------, Tekstualitas
al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoioron Nahdliyyin,
Yogykarta: LkiS, 2001
* Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Intan Lampung, menyelesaikan pendidikan S2nya pada UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan kini sedang menyelesaikan program doktoralnya pada UIN
Sunan Kalijaga, Jogjakarta.
[1] Manna’ al-Qaththan, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973), h.
341-342
[2] ‘Abd Al-Hayy al-Farmawi, Metode
Tafsir Mawadhu’iy Suatu Pengantar, Penerjemah: Suryan A. Jamrah, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1996), h. 14-15
[3] Nashr Hamid Abu Zayd, Mahfum
al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah
al-Ammah li al-Kitab), h. 11, terjemah lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas
al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoiron Nahdliyin,
(Yogyakarta: LkiS, 2001) h. 4
[4] ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin
Qasim al-‘Ashim al-Najdi, Majmu ‘Fatawa Syaykh al-Islam ahmad bin Taymiyyah,
(Tt: tpn, 1398 H), Juz 13 –Kitab Muqaddimat al-Tafsir, h. 27 dan 63
[5]
al-Qaththan, Mabahits, h. 350
[6] Ibid., h. 352
[7]
‘Abd al-Rahman, Majmu Fatawa, h. 206
[8] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur`an,
Qira`ah Mu'ashirah (Damaskus: al-Ahali, 1990) h. 29-32
[9] Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas
al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoiron Nahdliyin,
(Yogyakarta: LKiS, 2001) h. 16
[10] http://en.wikipedia.org/wiki/Nasr_Abu_Zayd;
Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur`an,Teori Hermeneutika
Nashr Abu zayd (Jakarta: Teraju, 2003) h. 15
[11] Moch Nur Ichwan, al-Qur`an
sebagai Teks (Teori Teks dalam Hermeneutik Qur`an Nasr Hamid Abu Zayd) dalam
Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin,ed., Studi al-Qur`an Kontemporer,
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002) h.
150
[12] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis al-Qur`an, h. 15-16
[13] Ibid., 16-17
[14] Ibid., 17
[16]
Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur`an, h. 17-18
[18] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis al-Qur`an, h. 18
[20] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis al-Qur`an, h. 18
[22] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis al-Qur`an, h. 20
[23] Ibid., h.22
[24] Syamsuddin
Arief, Kisah
Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, Pengusung Tafsir Hermeneutika, http://indrayogi.multiply.com/reviews/item/89, 14 Agustus 2010
[25] Shofiyullah, Membaca “Naqd al-Khitab” Nasr Hamid Abu Zayd,
[26] Syamsuddin
Arief, Kisah
Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, Pengusung Tafsir Hermeneutika
[28]
Nasr Hāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Nash, h. 16
[29] Ibid., h. 19
[30] Syamsuddin
Arief, Kisah
Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd,
[31] Nasr Hāmid Abū Zayd, Mafhūm
al-Nash, h. 24
[32] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis, h.71
[33] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis, h. 74-75
[34] Ibid., h.72
[35] Shofiyullah, Membaca “Naqd
al-Khitab” Nasr Hamid Abu Zayd
[36]Ibid., h. 78
[37] Muhammad Hashim Kamali, Prinsip
dan Teori-Teori Hukum Islam, Penerjemah: Noorhadi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996) h. 111-113
[38] Nashr Hāmid Abu Zayd, Mafhūm
al-Nash, h. 222
[39] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis, h. 83
[40] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis, h. 85
[41] Abu Zayd, Tekstualitas
al-Qur`an, h. 319
[42]
Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis, h. 96
[43] Ibid., h. 99
[44] Ibid., h. 99
[45] Ibid., h. 99-100
[46] Moch Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis, h. 100-101
[47] Ibid.,h. 101
[48] Moch Nur Ichwan, Meretas
Kesarjanaan Kritis, h. 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar