DALAM CAHAYA AL-QUR’AN;
TAFSIR AYAT-AYAT SOSIAL POLITIK
(Pengenalan Terhadap Karya Tafsir
Syu’bah Asa)
Oleh : Ahmad Bastari*
Abstrak
Tulisan ini membahas karya Syu’bah Asa
seorang –yang dapat digolongkan – mufasir modern. Dalam pemaparannya, sangat kontektual selalu
aktual dan faktual. Tafsir Syu’bah
tergolong tematik (maudhu’i), tetapi cara penyajiannya tergolong unik. Karena dalam teorinya tafsir tematik terdiri
dari satu tema yang menghimpun sejumlah ayat yang semakna atau relevan dengan
tersebut kemudian baru dijelaskan maksudnya, atau cara lainnya adalah dengan
mengambil satu surat dengan tema hal yang menonjol dalam surat tersebut. Tafsir karya Syu’bah merupakan salah satu
usaha yang besar dengan terobosan-terobosan pemikiran tafsir, sekalipun ia
melakukan pendobrakan terhadap makna tafsir yang dipegangi selama ini serta
memberikan interpretasi yang semakin meluas.
Kata
Kunci : Tafsir, Syu’bah Asa, Sosial – Politik.
Pendahuluan
Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup bagi manusia sangat sarat dengan makna berupa
pengetahuan, pemberitaan, hukum, fenomena sosial dan lainnya. Hal ini terbukti dengan munculnya
mufasir-mufasir yang mengkaji al-Qur’an semenjak turunnya wahyu sampai saat
ini. Tidak berhentinya usaha tersebut
tidak lain dikarenakan al-Qur’an mampu atau bisa memberikan jawaban-jawaban
terhadap berbagai persoalan manusia pada setiap zamannya.
Sebuah realita yang tidak bisa
dipungkiri bahwa upaya-upaya untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an dalam
berbagai perspektif dan pendekatan, telah ikut memperkaya khazanah intelektual
Islam yang lahir dan berkembang sejak awal masa Islam. Hal ini menurut Thameen Ushama, ditandai
dengan semakin banyaknya karya-karya tafsir dan maraknya kajian-kajian
al-Qur’an.[1] Ini juga merupakan bukti semakin meningkatnya
daya krea6tifitas dan intelektualitas umat Islam khususnya dan mufasir pada
umumnya.
Di Indonesia bentuk-bentuk
penafsiran dan kajian-kajian al-Qur’an juga banyak dilakukan. Pada mulanya mufasir Indonesia menafsirkan
al-Qur’an dengan merujuk dan mengutip bahkan menterjemahkan tafsir-tafsir yang
sudah ada, namun pada akhir-akhir ini telah ada terobosan-terobosan baru dalam
menafsirkan dan memahami ayat al-Qur’an.
Substansi yang paling menonjol diungkap adalah spirit (ruh) dari ayat
itu atau dengan istilah lainnya adalah sirrul
bayyan dari sebuah ayat kemudian direlevansikan dengan konteks
kekinian. Namun jika dilihat dari segi
metodenya maka bentuk penafsiran semacam ini belum memiliki metodologi yang
bisa dipertanggung jawabkan secara akademik dan ilmiah.
Salah seorang yang melakukan
terobosan pemikiran tafsir semacam ini adalah Syu’bah Asa, dengan karyanya yang
berjudul “Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik”.[2] Kayanya ini bermula dari tulisan-tulisannya
dalam Majalah Panji Masyarakat yang dihimpun dan dibukukan. Meskipun demikian halnya Syu’bah Asa
menyatakan bahwa buku ini bukanlah merupakan kumpulan esai tetapi memang tafsir
al-Qur’an.
Untuk lebih jelasnya tentang karya
ini, penulis akan mencoba menyoroti kitab tafsir ini lebih dekat dan mengungkap
penafsirannya terhadap berbagai ayat al-Qur’an.
Pada pembahasan ini penulis akan mengungkap biografi ringkas dari
Syu’bah Asa, komentar, sistematika penafsirannya, dan di akhir tulisan ini penulis
mencoba mengemukakan kritik dan analisa terhadap karya ini.
Biografi Singkat Pengarang
Syu’bah Asa dilahirkan antara tahun
1941 dan 1943 (kitab Zubad, sampulnya
ditulis tanggal lahirnya oleh ayahnya, hilang dizaman clash), Syu’bah ketika lahirnya dibacakan barzanji oleh ayahnya
selama 40 malam. Ayahnya seorang
pengusaha batik dilingkungan penghafal al-Qur’an di desa Kradenan, Pekalongan
Selatan.
Digembleng dengan al-Qur’an semenjak
masa kanak-kanak oleh paman ipar, menantu paman, paman misan, dan adik embahnya
sendiri di sekolah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama milik mereka pada siangnya,
disamping di Sekolah Rakyat paginya.
Setelah menduduki kelas lima selama satu bulan ayahnya mengeluarkan dan
menyerahkannya ke tangan tokoh Hizbullah, adik seperjuangan adik embah, yang
membuka madrasah Menengaha Mualimin Muhammadiyah. Dari tokoh ini ia mempelajari sirah nabi,
berkenalan dengan cerpen al-Manfaluthi, majalah kebudayaan Kristen Mesir
al-Hilal dan novel cinta pertama Ivan Turgenev dalam bahasa Arab.
Suatu padi Syu’bah Asa di doai, lalu
naik kereta api ke Yogyakarta untuk masuk PGAA Negeri, sambil di pesan agar
belajar privat kitab kuning pada seorang kiyai bangsawan di Lempuyangan, dan
sebenatar nyantri kalong di Pesantren Krapyak. Studi di IAIN Sunan Kalijaga ditempuhnay dari
Desember 1960 sampai awal 1977 di Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat.
Sewaktu mahasiswa di Yogyakarta
disamping mengajar ngajak anak-anak dan berkhutbah, ia menjadi guru pengganti
(untuk almarhum Djarnawi Hadikusumo yang sibuk sebagai ketua Parmusi dan
anggota DPRD) di Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Negeri tempat ia pernah
sekolah, untuk pelajaran Ilmu Balaghah.
Selain itu selama dua tahun ia pernah menjadi dosen muda partikelir mata
kuliah ekstra kurikuler drama pada IKIP Negeri.
Syu’bah Asa adalah seorang seniman,
dalam film pengkhiatan G.30 S/PKI ia berperan sebagai D.N. Aidit. Di usia SLTP ia sudah menulis novel remaja Cerita di Pagi Cerah (1960, penerbit
Balai Pustaka), setelah karangan pertamanya di muat di majalah Batik.
Ia juga seorang sutradara antara lain untuk teater Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), selain itu ia juga menjadi penyiar radio dan kondektur paduan
suara mahasiswa. Dimasa pasang surut
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) pula Syu’bah yang menurlis cerpen, sajak,
kritik sastra dan komposisi lagu seriosa, mengetuai Ikatan Sastrawan Muda Islam
(ISMI) dan bergerak antara tokoh Mohammad Diponegoro yang memimpin Teater
Muslim dan Badan Koordinasi Kebudayaan Islam Yogyakarta (BKKIY) dan Pater Dick
Hartoko dari majalah Kebudayaan Basis. Waktu itu ia masuk partai Perti, bersama
Yudho Paripuro, abang Kuntowijoyo.
Pada tahun 1963, ia menerjemahkan
syair-syair maulud, kemudian mendukung pementasannya (Kasidah berzanji
19691-1970 dan kegiatan bengkel teaternya).
Di Dewan Kesenian Jakarta 1970, ia turut proyek kecil puitisasi terjemah
al-Qur’an bersama Taufik Isamil dan Ali Audah.
Ia anggota pleno sejak 1973 yang mengtuai Komite Teater, sambil mengajar
mata kuliah Kritik di Jurusan Drama di Institut Kesenian Jakarta sampai
1977. Hampir setengah tahun sebagai
dosen kritik ia dikirim menjadi fellow
program Fulbright-Hays di lima negara bagian Amerika Serikat, sebelum
mengunjungi banyak negara sebagai wartawan.
Disamping seorang seniman ia juga
aktif dalam berbagai kegiatan khususnya dalam bidang jurnalistik. Jabatan pertamanya di Ekspres, cikal bakal majalah Tempo, redaktur musik (1970). Dan lewat Tempo, sejak berdirinya 1971 ia
mungkin penulis kritik teater yang paling tajam dan ajak. Disini ia sebagai redaktur pelaksana
Kompartemen Agama dan Budaya, sebelum redaktu senior.
Setelah keluar dari Tempo 1978 ia
pernah menjadi ketua sidang redaksi editor, dan wakil pemimpin redaksi harian Pelita.
Pada masa berikutnya sampai sekarang ia di majalah Panji
Masyarakat. Di majalah inilah ia menulis
tafsir yang pernah diidam-idamkannya sebagaimana ungkapannya “sebagai stasiun
terakhir saya”. Disamping itu ia menjadi
imam Masjid Jami’ Taman Firdaus Kodya Depok, yang ia ikut merintis sepulang
dari Amerika, dan anggota Dewa Pertimbanga Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.
Pengenalan Terhadap Buku Tafsir Ayat-ayat
Sosial Politik
Buku tafsir ini berjudul “Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat
Sosial Politik”, diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta tahun
2000. Jumlah halaman 482 tambah halaman
pendahuluand dan pengantar sampai halaman xxi.
Kata pengantar disampaikan oleh Kuntowijoyo. Isi dari buku ini merupakan tulisan-tulisan
Syu’bah Asa dalam majalah Panji Masyarakat.
Buku ini terdiri dari tujuh bagian,
masing-masing bagian diberi judul di bawah judul ini terdiri dari sub judul,
sub judul ini terdiri lagi dari sub-sub judul.
Untuk judul tiap-tiap bagian terambil dari sub judul pertama kecuali
bagian ke lima dari ke tujuh. Sebagai
contoh bagian ke empat dengan judul “Tali Allah dan Tali Manusia”. Dalam bagian keempat ini terdiri dari
sembilan sub judul sebagai sub judul yang pertama Tali Allah dan Tali
Manusia. Sub judul ini terdiri dari enam
sub-sub judul; Pembasmian Hitler, Pembentukan Israel, Horisontal-Vertikal,
Desakan Bersembahyang, Yang menggantikan Agama, dan Penutupan Teater. Pada akhir setiap sub judul dituliskan
tanggal, tanggal ini adalah tanggal setiap tulisan ini dimuat dalam majalah
Panji Masyarakat.
Pada bagian akhir buku ini dimuat
indeks, rujudkan kunci (tafsir rujukan), batu bata demi batu bata, yang
berisikan secara ringkas tentang biografi penulis. Khusus mengenai rujukan yang tercantum dalam
tafsir ini, ada sebanayk 30 kitab rujukan.
Dengan rincian tafsir berbahasa Arab yang tergolong tafsir klasik dan
modern 18 buah, tafsir Indonesia berbahasa Arab, Indonesia dan Jawa 7 buah,
terjemahan al-Qur’an bahasa Indonesia 3 buah dan terjemahan al-Qur’an berbahasa
Inggris 2 buah.
Penilaian dan Komentar
Berikut ini penilaian dan komentar
para tokoh terhadap tafsir Syu’bah Asa yang dimuat dalam bukunya dan nama
mereka diurut berdasarkan abjad sebagai berikut :
Azyumardi Azra (Rektor IAIN Jakarta)
menilai dan mengomentari “Ini tafsir yang unik, metodologis, substantif, dan
menawarkan pendekatan tafsir maudhu’i yang kontektual, berangkat dari hal-hal
yang faktual dan aktual; meramu penafsiran klasik dan kontemporer, dan secara
substantif memberikan horison lain: kelugasan dalam mengungkapkan fakta
sejarah, yang terkadang terlalu pahit untuk ditelan kaum muslimin sendiri. Pengungkapan semacam ini penting bukan hanya
sebagai tamsil, tetapi lebih-lebih untuk menjadi titik tolak “rekayasa”
historis hari ini dan masa depan”.
Ahmad
Muflih Saefuddin (Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan), “Menggambarkan
pemikiran Syu’bah Asa yang inovatif dalam menyentuh perkembangan zaman, karya
kontekstual ini patut menjadi rujukan kalangan pesantren dan kampus, bahkan
pejabat negara, agar lebih arif dalam mengambil tindakan dan keputusan. Sebagai santri modern Syu’bah Asa berhasil
menarik benang merah antar nilai-nilai vertikal dan horizontal.
K.H. M. Cholil Bisri (Khadim Ma’had
Raudhatul Thalibin, Rembang, Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa), “Munculnya
saudaraku Syu’bah Asa sebagai perhimpunan dan penafsir ayat-ayat ijtima’iyah tentu mengundang decak, sebab
masih banyak ulama berpendirian bahwa al-Qur’an yang Kalmullah itu ditempatkan
pada posisi yang tidak boleh disentuh.
Mudah-mudahan akan bermunculan tanggapan adil-kritis dari kiai-kiai
muda, yang pasti akan memperlengkap temuan.
Adalah awal kepentingan ahli ilmi untuk menggagas restrukturisasi
pemahaman ke-Islaman umat ke depan.”
Dawam Raharjo (Penulis Ensiklopedi
al-Qur’an, Ketua DPP Partai Amanat Nasional), “Banyak kelebihan buku ini, tapi
yang menonjol adalah kombinasi kualitasnya antara analisis kebahasaan yang
canggih, refrensi bahan-bahan hadits yang kaya, serta informasi kehidupan yang
aktual dan detatil. Kesemuanya ditulis
dengan bahasa yang segar seorang jurnalis dan kedalam penghayatan hidup seorang
sastrawan. Buku ini penuh pesona sastra,
sekaligus mencerahkan.”
Mochtar Buchori (DPP PDI
Perjuangan), “Rasanya seperti belajar mengaji kembali. Buku ini mengajak kita mencari kebijaksanaan
menghadapi berbagai peristiwa sehari-hari.
Dan jenis kebijakan yang dicari ialah yang ditarik pemahaman ayat-ayat
al-Qur’an. Jadi buku ini mengajak kita
memahami al-Qur’an dalam konteks kehidupan masa kini.”
Nur Mahmud Ismail (Presiden Partai
Keadilan), “Inilah karya seorang muslim
yang senantiasa berupaya menyadarkan umatnya kembali kepada al-Qur’an, sehingga
diharapkan lahirnya keyakinan bahwa untuk mengatasi seluruh problematika
kehidupan ini, al-Qur’an adalah satu-satunya solusi.”
Menurut Kutowijoyo dalam pengantar
buku tafsir ini, bahwa tafsir ini tergolong tematik (maudhu’i), tetapi cara penyajiannya tergolong unik. Karena dalam teorinya tafsir tematik terdiri
dari satu tema yang menghimpun sejumlah ayat yang semakna atau relevan dengan
tersebut kemudian baru dijelaskan maksudnya, atau cara lainnya adalah denan
mengambil satu surat dengan tema hal yang menonjol dalam surat tersebut.
Sedangkan Syu’bah setiap bab memulai
dengan menyebutkan satu ayat yang relevan dengan topik bahasan kemudian kata
kunci dari ayat tersebut diuraikan menurut beberapa mufasir baik yang berupa
klasik, modern, sunni, syi’i, Indonesia maupun non Indonesia. Bahkan diberbagai tempat ia juga menyebutkan
penafsiran Ahmadiah (Lahore).
Pendekatan lain dari tafsir ini
adalah pendekatan historis, menyatu dengan waktu dan tempat. Setiap ayat yang disampaikan disesuaikan
dengan kejadian pada waktu itu (tafsir ini dimuat dalam majalah Panji
Masyarakat). Setiap ayat yang
dikemukakan merespon kejadian pada masa itu.
Lebih jauh Kuntowijoyo mengatakan bahwa setiap ayat yang dikemukakan
adalah cahaya yang menyoroti kejadian-kejadian yang sedang populer. Sehingga ia menyebut tafsir ini sesuai dengan
zamannya (zeitgeist) pada periode
reformasi.
Jika dibandingkan dengan
tafsir-tafsir lain yang tidak terikat dengan kontek zamannya, sehingga tafsir
itu tanpa diketahui kontek zaman penulisnya bisa dipahami, tetapi tafsir ini
akan sulit dipahami jika masalahnya sudah lewat apalagi bagi orang yang tidak
tahu dengan kontek historisnya.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa tafsir
historis semacam ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Tafsir ini sangat cocok dan dijadikan rujukan
pada zamannya karena mengacu kepada kejadian-kejadian yang faktual pada saat
itu.. Kekurangan dari tafsir ini adalah
tidak tahan zaman artinya bila masa dan konteksnya sudah hilang atau lewat maka
tafsir ini hanyalah berupa dokumen-dokumen yang mati.
Sistematika dan Tinjauan terhadap Ayat-ayat
yang Ditafsirkan
Setiap
sub judul dari buku ini Syu’bah Asa mengemukakan satu ayat yang relevan dengan
sub judul tersebut, sebagai contoh pada bagian pertama dengan sub judul “Kepada
Bangsa-bangsa” ayat yang dikemukakan adalah surat al-Hujurat ayat 13 setelah
mengemukakan ayat, Syu’bah mencoba mengkorelasikan ayat ini dengan konteks
kekinian atau permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi pada saat tafsir
tersebut ditulis terutama masalah sosial dan politik. Untuk ayat ini ia mengkorelasikan tentang
masalah rasial yang terjadi di Indonesia saat itu yaitu masalah etnik Cina pada
1 Juni 1988.
Jika dicermati secara keseluruhan
tafsir ini, maka akan terlihat bahwa Syu’bah Asa dalam menafsirkan al-Qur’an
tidak terlepas dari koridor Ulumul al-Qur’an seperti membahas tentang persoalan
bahasa (nahwu, sharf dan balaghah), masalah qiraat asbab al-nuzul, munasabah
ayt dan lainnya. Hanya saja ia tidak selalu
konsisten atau memakai sistematika yang baku untuk setiap ayat yang
ditafsirkannya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian mufasir lain seperti
hanya Wahbah al-Zuhaili dalam tafsir al-Munir
atau al-Shabuni dalam tafsir Ahkam-nya. Dimana mereka memakai sistematika penafsiran
yang sudah rapi dan menerapkan pada setiap kelompok ayat yang
ditafsirkannya. Seperti memulai dengan
mengemukakan sejumlah ayat, kemudian menyebutkan makna mufradat, bahasa, asbab
al-nuzul, qiraat, syarah ayat, kandungan ayat, hukum atau hikmah tasyriyah.
Syu’bah Asa akan membahas
komponen-komponen ulum al-Qur’an ini jika hal itu ia perlukan. Misalkan untuk masalah bahasa sebagai contoh
dapat dilihat ketika ia menafsir surat al-Tahrim ayat 8; dengan sub judul
“Tobat, juga untuk Pejabat”. Persoalan
bahasa yang dikupas adalah masalahb “taubatan
nashuha”. Dikatakan oleh Syu’bah
bahwa tobat yang tulus dalam teks asli ayat dibaca sebagai taubatan nashuha,
dalam tata bahasa Arab ia dibunyikan dengan fathah
pada suku terakhir kedua kata, sebaliknya dalam kedudukan otonom atau
sebagai subjek ia akan dibaca dengan dhammah
menjadi taubatun nashuhun.. Jadi
kalau serapannya sebagai kosa kata Indonesia diinginkan serupa aslinya maka
seharusnya taubat nashuh.
Nashuh
adalah superlatif nashih artinya
sungguh-sungguh nashih. Seperti orang
yang sangat penyabar (shaabir)
disebut shabuur atau sangat pandai
beryukur syakir disebut syakuur. Adapun nashih (tulus) berasal dari nush (ketulusan). Tapi juga dikatakan asalnya nashahah yang berati kemurnian, demikian
pula murninya kata-kata nashih yang
bebas dari tipuan. Masalah ini dikutip
oleh Syu’bah dari (Burusawi, X : 61-62), sedangkan menurut al-Baidhawi, tulus
itu merupakan sifat dari pelaku taubat itu sendiri, yang dijadikan sebagai
sifat taubat dengan jalan isnad majazi yang sendirinya sudah mengandung
superlatif. Demikian masalah kebahasaan
yang diungkap Syu’bah Asa dalam menafsirkan ayat ini.
Dalam menafsirkan ayat, Syu’bah juga
mengamukakan asbab al-nuzul dari
ayat. Diantaranya dapat ditemukan ketika
ia menafsirkan surat al-Baqarah ayat 188 dengan sub judul “Harta Haram dan
Mafioso”. Ayat tersebut -artinya- : “Dan janganlah kalian saling memakan harta
kalian dengan kebathilan dan menunjukkan kepada hakim-hakim agar kalian bisa
memakan sebagian harta orang dengan dosa, padahal kamu tahu”.
Riwayat tentang asbab al-Nuzul ayat
ini dikatakan sebagai riwayat yang disampaikan oleh Abu Hatim dari Said Ibn
Jubair, bahwa Abdullah Ibnuy al-Asywa’al-Hadrami bersiteru dengan Imrul Qais
ibnu ‘Abis mengenai sebidang tanah, tanpa ada bukti di tangan
masing-masing. Rasulullah kemudian
memerintahkan Im5rul bersumpah sebab dialah yang dituduh, sehubungan dengan
kejadian ini maka turunlah ayat di atas.
Sebab turun ayat ini dikutip oleh Syu’bah dari tafsir Rasyid Ridha.
Riwayat lainnya dikutip oleh Syu’bah
dari tafsir al-Baidhawi. Dalam riwayat
ini dikatakan bahwa lawan Imrul Qais itu Abdan al-Hadrami. Imrul sendiri bersedia bersumpah, lalu
Rasulullah membaca ayat di atas.
Kritik dan Analisa
Kehidupan duniawi manusia sangat
ditentukan oleh manusia itu sendiri sebagaimana firman Allah Q.S : 13:11
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka sendiri
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Al-Qur’an sebagai mukjizat tidak memberikan
informasi secara detail tentang seluruh aspek kehidupan manusia, oleh karena
itu perlu adanya penafsiran aktual dalam konteks kekinian seiring dengan adanya
dinamika dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Menurut Quraish Shihab kendatipun demikian sering dirasakan adanya
“pemaksan-pemaksaan” dalam penafsiran tersebut yang antara lain diakibatkan
oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui al-Qur’an.
Disisi lain manusia diciptakan Tuhan
dalam bentuk dinamis maka untuk menghadapi masyarakat demikian Tuhan juga
menurunkan ayat-ayat yang mengandung prinsip-prinsip dasar bukan
peraturan-peraturan yang terperinci, sehingga dinamika manusia tidak terikat,
tetapi senantiasa berkembang dan berubah sesuai dengan zaman dan tempat. Lebih jauh dari itu masalah sosial lebih
banyak mengarah pada persoalan-persoalan dunia sekalipun akan bermuara pada
persoalan agama (akhirat). Yang lebih
penting adalah dalam menghadapai kehidupan masyarakat, hanyalah prinsip-prinsip
yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits yang dapat mengatasi. Diatas prinsip-prinsip inilah manusia
mengatur dan menyesuaikan hidup bermasyarakatnya dengan kebutuhan zaman dan
tempat. Demikian pula halnya masalah
politik jika dikaitkan dengan perspektif keagamaan khususnya dengan ayat-ayat
al-Qur’an pada umumnya.
Jika pernyataan di atas dihubungkan
dengan karya Syu’bah Asa, maka tafsir ini secara umum dapat diterima sebagai
sebuah karya tafsir. Meskipun ada
beberapa catatan yang harus dicermati dari karya ini.
Dengan melihat pendidikan Syu’bah
Asa yang dikatakan 99 % madrasah, tidak diragukan lagi kepiawaiannya merujuk
pada berbagai kitab tafsir. Ia juga
mempunyai kemampuan yang baik dalam mengkomparasikan beragai kitab tafsir yang
kadangkala ia melakukan pentarjihan dan pada kali yang lain ia membiarkan saja
pendapat-pendapat berbagai mufasir tersebut tanpa ada tarjih dan ta’liq. Sekalipun ia banyak berkecimpung di bidang
seni, buday dan sastra, bahkan ia lebih cenderung disebut sebagai seorang
seniman dari pada seorang ulama apalagi seorang musafir.
Karya tafsir ini memang kaya dengan
berbagai referensi dan bahan-bahan hadits, sebagaimana dikatakan oleh Dawam
Raharjo, banayk sekali ia mengutip berbagai atsar. Menurut penulis kekurangannya dalam menukil
hadits ini tidak merujuk pada sumber primernya dan tidak menyebutkan tingkat
validitas riwayat yang dikutipnya.
Syu’bah hanya mengutip riwayat-riwayat yang sudah terdapat dalam sebuah
karya tafsir. Demikian pula masalah
analisa kebahasaan ia tidak banyak menganalisa sendiri tetapi lebih banyak
mengutip dari karya-karya tafsir Baidhawiy dan Zamakhsyari.
Mengani bahasa buku ini, bagi
sebagian orang sulit untuk dipahami dan bahkan sedikit menimbulakan kejenuhan,
karena Syu’bah banyak memakai bahasa seniman dengan gaya bahasa yang
beragam. Sub-sub judul yang ditampilkan
sering memakai gaya bahasa yang “komersial”.
Dikarenakan tafsir ini merupakan
tanggapan atau menyoroti terhadap peristiwa, suasana, atau kebutuhan yang
sifatnya temporal, maka ada benarnya apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo bahwa
tafsir bentuk ini tidak tahan zaman dan akan menjadi dokumen mati. Sekalipun demikian pesan-pesan moral dalam
tafsir ini masih bisa bertahan.
Sesuatu yang baru dari tafsir ini
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa tafsir ini
tergolong unik dan bisa mengungkap fakta-fakta historis kemudian dihubungkan
dengan maksud yang esensial dari ayat kemudian direlevansikan dengan konteks
kekiniannya. Selain itu dalam penjelasan
tafsirnya ia sering menghubungkan dengan karya seni apakah itu berupa film,
teater, atau karya-karya sastra lainnya, antara lain dapat dilihat dalam
tulisannya dengan judul “Perang untuk kemerdekaan”.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa tafsir karya
Syu’bah Asa ini merupakan salah satu usaha yang besar dengan
terobosan-terobosan pemikiran tafsir, sekalipun ia melakukan pendobrakan
terhadap makna tafsir yang dipegangi selama ini serta memberikan interpretasi
yang semakin meluas, namun Syu’bah masih berjalan dalam koridor ilmu tafsir dan
ilmu al-Qur’an, hanya saja yang jadi pertimbangan disini apakah paradigma dan
pengertian dari tafsir itu lebih diperluas lagi, begitu juga dengan
sumber-sumber penafsiran yang selama ini hanya berupa ma’tsur, ra’yi dan isyari
bisa dikembangkan atau ditambahkan dengan sumber lain.
Apabila dicermati karya tafsir ini
dimana sering mengkorelasikan ayat al-Qur’an dengan kejadian-kejadian atau
momen-momen yang sedang terjadi, maka bisa dianalogikan bahwa karya tafsir ini
sama cara kerjanya dengan asbab al-nuzul.
Jika terjadi suatu peristiwa maka turun ayat, jika ada suatu momen,
peristiwa atau fenomena sosial maka lahirlah penafsiran terhadap suatu ayat.
Wallahu a’lam bi al-sawab.
Daftar Pustaka
Syu’bah Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, Jakarta :
Gramedia, 2000.
Thameen Ushama, Metodologis of the Quranic Exegesis, Kuala Lumpur : Syarikat
R&S, 1995.
*
Ahmad Bastari adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin Prodi Tafsir Hadits.
Sarjananya diselesaikan di IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, S2 nya di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Sekarang dalam proses penyelesaian program doktor di
perguruan tinggi yang sama. Beliau mengajar mata kuliah Hadits dan Ulumul
Hadits.
[1]Thameen
Ushama, Metodologis of the Quranic
Exegesis, (Kuala Lumpur : Syarikat R&S, 1995), hlm. 106.
[2]Syu’bah
Asa, Dalam Cahaya al-Qur’an Tafsir
Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta : Gramedia, 2000), hlm. xvii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar