AMTSAL AL-QUR’AN
(Analisis Pendekatan Pemahaman terhadap
Ayat-ayat Metafora)
Khairullah*
Abstrak
Keistimewaan
bentuk perumpamaan al-Qur’an (Sighah matsal Qur’ani) ialah bahwa bentuk dan
isinya tidak menukil dari peristiwa atau kejadian fiktif yang diulang-ulang.
Matsal Qur’ani diciptakan tanpa meniru, dan ia belum pernah ada sebelumnya,
bersifat artistic, unik dan kontemporer, sehingga ia memiliki bentuk tersendiri
dalam pengungkapan, penyusunan dan pengisyaratan. Perumpamaan dalam al-Qur’an
bukanlah perumpamaan terminologis dan bukan pula bagian yang bertolak ukur
hanya pada kata dan arti kata semata. Sehingga dapat dibedakan antara Matsal
al-Qur’an dan Matsal yang berkembang pada masyarakat Arab.
Kata Kunci: Amtsal, Tasybih,
Abstrak, Kongkrit.
PENDAHULUAN
Al-Qur'an adalah kitab
yang diwahyukan Allah untuk memberi petunjuk kepada orang yang berkebajikan,
untuk membawa berita tentang penyelamatan kepada orang-orang saleh dan
peringatan tentang azab bagi para pelaku kejahatan[1].
Dalam mentransformasikan
pesan-pesan Ilahi tersebut, baik berupa kabar gembira ataupun peringatan,
melalui al-Qur'an Allah menggunakan beberapa media atau metode, Pertama, dengan
mengisahkan suatu qishshah atau peristiwa[2].
Metode ini bertujuan agar manusia dapat mengambil pelajaran dari suatu
peristiwa. Kedua, dengan menggunakan qasam atau sumpah. Metode
ini digunakan untuk mengukuhkan dan meyakinkan pesan yang akan disampaikan.[3]
Metode yang ketiga, dengan metode jadal, yaitu berdebat
dengan memberikan argumentasi-argumentasi yang tidak dapat dibantah lagi
kebenarannya.[4]
Dan metode keempat, dengan menggunakan amtsal, yaitu dengan
memberikan perumpamaan-perumpamaan agar
pesan yang disampaikan lebih mudah
dipahami, dan diresapi,[5]
Keempat metode
transformasi pesan di atas digunakan untuk mengantisipasi kesiapan jiwa setiap
individu dalam menerima kebenaran ajaran al-Qur'an. Sebab dalam mengapresiasi
pesan al-Qur'an tersebut terdapat kecenderungan yang berbeda-beda. Ada orang
yang mudah menerima pesan yang disampaikan dan ada juga yang sulit untuk
menerimanya,, bahkan ada juga yang enggan menerima kebenaran ajaran al-Qur'an.
Adapun Penggunaan metode
keempat yaitu amtsdl atau matsal bertujuan untuk mendapatkan
hakikat-hakikat yang tinggi makna, karena
dituangkan dalam kerangka
ucapan yang baik
dan mendekatkan kepada pemahaman.[6]
Lebih lanjut, amtsdl merupakan salah satu medium yang dapat
menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap dalam pikiran,
dengan cara menyerupakan sesuatu yang ghaib dengan yang hadir, yang abstrak
dengan yang kongkrit dan dengan menganalogikan sesuatu dengan yang serupa.
Itulah sebabnya maka amtsal sangat efektif dalam mendorong jiwa untuk
menerima apa yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas.[7]
Bahkan menurut Muhammad Rasyid Ridla (1865 M-1935 M) dalam tafsirnya Al-Manar
digunakannya uslub matsal dikarenakan mampu memberikan bekas dan
mengaktifkan kemauan berbuat, seolah-olah membisikkan dengan sangat mantap ke
telinga si-penerima, sehingga kesan menembus hati, bahkan sampai menyentuh
bagian jiwa yang paling dalam.[8]
Amtsal (teori analogi)
juga termasuk salah satu dari instrumen al-bayan yang merupakan salah satu
model dalam menjelaskan kisah dalam al-Qur’an di samping model sejarah, dan
model legenda atau mitos.[9]
Dengan demikian untuk
dapat memahaminya secara baik dan benar memerlukan penguasaan linguistik yang
memadai.[10]
Dari sinilah akhirnya dapat dipahami manfaat pengetahuan dan pemahaman terhadap
amtsal, macam-macam serta keistimewaannya.
TEORI AMTSAL AL-QUR'AN
1. Pengertian Amtsal Al-Qur' an
Sebelum lebih jauh
mengkaji pengertian amtsdl al-Qur'an, perlu kiranya dijelaskan pengetian amtsdl itu sendiri. Kata أمثال merupakan bentuk jamak dari مثل secara bahasa mempunyai arti yang cukup variatif
sesuai dengan bentuk
pola/wazan kata tersebut. Diantaranya adalah ماثل yang
berarti menyerupai, (مثل ) yang berarti menyerupakan, mencontohkan, menggambarkan, (تمثل) yang
berarti tergambar, terbayang, menjadi contoh, مثل atau مثل yang
berarti sama, serupa, contoh, teladan, tipe dan مثال yang berarti model, tipe.[11]
Secara istilah amtsal
atau matsal terdapat beberapa pendapat ulama yaitu :
Abu al-Wafa' Muhammad Darwis memberikan pengertian amtsal sebagai
berikut :
المثل قول فى شيء يسبه قولا أخر فى شيء أخر بينهما مسابهة
ليبين أحدهما الآخر ويصوره [12]
Artinya:
"Matsal adalah perkataan terhadap sesuatu yang menyerupai perkataan
lain pada sesuatu lain yang antara keduanya terdapat persamaan agar salah
satunya menjelaskan yang lain atau menggambarkannya".
Yang dikatakan dengan amtsal
apabila di dalamnya ada keserupaan antara dua obyek. Kemudian obyek yang
datang kemudian (musyabbah bih) menjelaskan sifat-sifat yang terdapat
dalam musyabbah.
Ahmad Iskandari dan Musthafa 'Inani Bey
menjelaskan definisi amtsal
sebagai berikut :
المثل
قول محكى سائر يقصدمنه تشبيه حال الذى حكى فيه بحال الذى قيل لأجله [13]
Artinya:
Matsal adalah cerita (ucapan) yang sudah menjadi suatu ungkapan yang tersiar
(umum) yang tujuannya mempersamakan keadaan sesuatu yang tengah dibicarakan
dengan keadaan sesuatu yang pernah dibicarakan orang.
Definisi di atas
memberikan persyaratan amtsal, yaitu musyabbah atau sesuatu
yang dijadikan obyek
perumpamaan yang berupa perkataan atau ungkapan haruslah sudah
dikenal umum oleh orang banyak. Kemudian antara kedua obyek musyabbah dan musyabbah bihnya harus
ada persamaan.
Definisi selanjutnya
seperti dijelaskan oleh mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi ( 1888 M-1952
M) yaitu :
المثل و المثل
والمثيل كالشيه والشبه والشبيه وزنا ومعنا ثم استعمل فى بيان حال شيء وصفته التى توضحه وتبين حاله كقوله : ولله المثل الأعلى[14]
Artinya:
"Al-Matsal, al-Mistl, dan al-Matsil bobot dan maknanya sama dengan
kata-kata Syabah, syibh, dan syabih. Kata iersebut kemudian digunakan dalam
rangka menjelaskan keadaan sesuatu dan sifat-sifatnya yang menjelaskan hal
ihwalnya, sebagaimana firman Allah : "Bagi Allah sifat Maha Tinggi".
Dari definisi di atas,
Al-Maraghi tidak membedakan antara tamtstl dengan tasybih. Kedua-duanya
— tamtsil dan tasybih - berupaya menjelaskan keadaan gesuatu atau
sifat yang melekat pada suatu obyek,
Mufassir
lainnya yang memberikan definisi amtsal adalah Muhammad
Rasyid Ridha yaitu :
ومثل الشيئ – بالتحريك-
صفته التى توضحه وتكشف عن حقيقته او يراد بيانه
معناه واحواله, ويكون حقيقة ومجازا وابلغه: تمثيل المعانى المعقولة بالصور الحسية وعكسه
ومنه الأمثال المضروبة وتسمى الأمثال السائرة ومنه ما يسميه البيانيون الإستعارة التمثيلية
وهو خاص بالمجاز. والتمثيل أمثل أساليب البلاغة وأشدها تأثيرا وإقناعا للعقل[15]
Artinya:
Perumpamaan sesuatu —dengan fatha pada huruf tsa'- yaitu sifat dari sesautu
yang menjelaskan maksudnya yang hakiki. Maksud yang dikehendaki penjelasannya
dengan menyebutkan sifatnya dan keadaannya. Matsal itu ada kalanya bersifat
"majaz” (figuratif, dipakai sebagai kata pinjaman). Majaz yang paling
baligh (mantap dalam memberikan kesan) ialah majaz yang mampu menggambarkan
arti yang terdapat dalam pikiran menjadi gambaran yang inderawi, dan
sebaliknya. Diantaranya ialah "al-matsal al-madlrubah", yang
dinamakan matsal yang tersiar luas. Dan ada pula yang diberi nama oleh para
ahli ilmu bayan "al-isti'arah at-tamtsiliyah "yang khusus bersumber
dari majaz. Adapun at-tamtsil adalah uslub balaghah yang paling tepat, paling
kuat dalam memberi bekas dan paling kena menurut akal.
Definisi di atas
membuktikan bahwa Rasyid Ridla sangat menghargai amtsal, sebab
memberikan penjelasan dengan menggunakan amtsal, figuratif (majaz.) yang
disampaikan akan lebih mudah ditangkap oleh akal daripada tanpa amtsal . Selain
itu pula matsal memberikan kesan yang amat mendalam.
Selanjutnya menurut
Az-Zamkahsyari (467 H-538 H) lafazh matsal pada dasarnya berarri mitsl,
yakni al-Nazhir yang bermakna sebanding atau sama. Al-Matsal
digunakan untuk mengekspresikan :
a. perumpamaan, gambaran, atau penyerupaan;
b. Kisah atau cerita jika keadaannya asing atau sesuatu yang abstrak;
c. Sifat, keadaan atau tingkah laku yang mengherankan.[16]
Berdasar definisi di
atas, menurut Az-Zamakhsyari matsal mempunyai beberapa ciri yaitu adanya
keserupaan antara kedua obyek, mengkongkretkan sesuatu yang masih abstrak, dan
menjelaskan sifat atau keadaan yang masih remang-remang.
Selain definisi-definisi
yang telah diuraikan di atas, terdapat pendapat lain yang mcngatakan bahwa amtsal
adalah menonjolkan sesuatu makna (yang abstrak) dalam bentuk yang inderawi
agar menjadi indah, menarik, padat serta mempunyai pengaruh yang mendalam
terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas atau bukan tasybih.
Dengan pengertian ini maka matsal tidak disyaratkan harus mempunyai maurid
sebagaimana disyaratkan pula harus berupa majaz murakkab,[17]
Dari beberapa definisi matsal
baik menurut ahli bahasa maupun menurut ahli tafsir di atas dapat
disimpulkan bahwa matsal merupakan segala bentuk ungkapan perkataan yang
dikemukakan dengan maksud menyerupakan keadaan, sifat sesuatu obyek dengan
sesuatu yang dijadikan perumpamaannya. Susunan kalimat yang ringkas dan menarik
atau menimbulkan kekaguman dalam jiwa diharapkan membantu untuk memudahkan
pemahaman seseorang dalam menggali keadaan atau sifat yang melekat pada
sesuatu, baik itu berupa seseorang maupun keadaan dengan mencarikan sesuatu
yang mempunyai kesamaan atau keserupaan dengan tujuan agar salah satunya
menjelaskan yang lain atau menggambarkannya.
Jika diperhatikan dari
beberapa definisi matsal di atas terlihat secara literal terdapat
kesamaan antara matsal dengan tasybih. Sebagai bahan perbandingan
perlu kiranya dijelaskan definisi tasybih dalam ilmu al-balaqhah.
Secara terminologi ada
beberapa pendapat pakar yang memberikan definisi tasybth seperti dikutip
oleh as-Suyuthi[18]
yaitu :
Menurut Al-Sikkaki tasybih adalah:
الدلالة على مشاركة
أمر فى معنى
“Ungkapan yang menunjukkan kesamaan makna sesuatu dengan sesuatu
yang lain”
Ibn Abi al-Ishaba berpendapat bahwa tasybih adalah :
إخراج الأغمض إلى
الأظهر
“Upaya menjelaskan hal yang _amara atau rumit agar menjadi jelas
atau konkret”
Ulama lain mendifinisikan :
أن تثبت للمشبه
حكما من أحكم المشبه به
"Mengukuhkan salah satu karakter atau hukum musyabbah bih kepada
musyabbahnya”.
Ketiga pendapat di atas
pada dasarnya sependapt mengenai definisi tasybih. Upaya mencari sisi
persamaan dari dua obyek (musyabbah dan musyabbah bih) seperti
pendapat as-Sikaki adalah sama halnya berupaya menjelaskan hal yang masih samar
atau rumit menjadi jelas maknanya. Namun demikian definisi tasybih yang
paling dekat dengan definisi tamtsil adalah sebagaimana pendapat Ibn Abi
al-Ishaba.
Selanjutnya jika kita
bandingkan pengertian matsal dan pengertian tasybih di atas tadi,
maka terdapat kesamaan maksud dan tujuannya.
Kedua-duanya berusaha mencari
titik kesamaan atau keserupaan
sifat atau keadaan antara dua obyek.
Namun demikian, dari
definisi tasyblh di atas, terdapat celah untuk dapat membedakan antara Tasybih
dan Tamtsil. Secara redaksional
kedua-duanya menunjukkan upaya untuk menyerupakan, mencontohkan atau
menggambarkan sesuatu dengan hal atau obyek lain yang memiliki sifat dan
karaktcr yang mirip atau sama dan setara dengan sesuatu itu. Tetapi, tidak
satupun dari definisi tasybih terscbut yang menjelaskan tujuan yang
lebih substansial dari proses penyerupaan atau perumpamaan yang dilakukan.
Sedangkan matsal, selain mencari titik kesamaan atau kemiripan antara
kedua obyek, terdapat tujuan substansial yang diinginkan, yaitu kesamaan atau
kemiripan sifat atau keadaan yang terdapat pada sesuatu yang dijadikan
perumpamaan (musyabbab) dapat dijadikan pelajaran atau hikmah yang
tersirat di dalamnya. Apabila sifat atau keadaan yang dimiiiki oleh musyabbah
merupakan hal-hal yang negatif, maka diharapkan untuk tidak diikuti. Begitu
pula, jika sifat atau keadaan yang dimiiiki oleh musyabbah merupakan
hal-hal yang positif, mengandung pesan kebajikan, maka diharapakan dapat
diikuti dan diteladani.
Adapun matsal atau
amtsal dalam al-Qur'an sebagaitnana pendapat Abd. Ar-Rahman Hasan
al-Maidani adalah pcnyebutan satu contoh atau lebih untuk menggambarkan sesuatu
yang bermacam-macam, baik berupa perbuatan atau ketetapan Allah dengan
memperhatikan adanya unsur persamaan yang ada.[19]
Ibn al-Qayyim mengatakan
bahwa matsal dalam al-Qur'an adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu
dalam hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak dalam bentuk kongkrit,
atau sesuatu yang kongkrit dengan sesuatu yang kongkrit.[20]
Dengan demikian wajar
jika Manna' Khalil al-Qaththan berpendapat bahwa matsal al-Qur'an tidak
dapat diartikan dengan arti etimologis yaitu asy-syabih dan an-nazir.
Juga tidak tepat diartikan dengan pengcrtian yang disebutkan dalam
kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para penggubah matsal-matsal, sebab
matsal al-Qur'an bukanlah perkataan-perkataan yang dipcrgunakan untuk
menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak dapat
diartikan dengan arti matsal menurut ulama Bayan, karena di antara matsal
al-Qur'an ada yang bukan isti'arah dan penggunaannya pun tidak
begitu popular. Di sini pula letak perbedaan antara matsal dan tasybih,
yaitu kalau matsal tidak sebatas mempersamakan sesuatu dengan
sesuatu yang lain, tetapi pengaruh yang mendalam terhadap jiwa. Sedang tasybih,
tidaklah mempunyai tujuan yang sedemikian berpengaruh terhadap jiwa.
Al-Jurjani memberikan pembedaan antara tasybih dan matsal. Tasybih bersifat
umum, sedangkan tamtsil adalah khusus, setiap tamtsil adalah tasybih,
tetapi setiap tasybih belum tentu tamtsil. Berbeda dengan
Abd. Fattah Lasyin yang secara tidak langsung menyamakan tasybih dengan tamtsil.
Menurutnya dikatakan tasbyih apabila ayat al-Qur'an memberikan
perumpamaan dalam bentuk sederhana[21].
Contoh:
والقمر قدرناه منازل حتى عاد كالعرجون القديم[22]
Artinya:
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilab dia sebagai bentuk
tandan yang tua.[23]
Adapun Tamtsil apabila
ayat al-Qur'an itu memberikan perumpamaan dalam gambaran luas (rumit), yang
diistilahkan dengan tasybih tamtsil.[24]
Contoh :
واضرب اهم مثل الحيوة الدنيا كماء انزلناه من السماء فاختلط به
نبات الارض فاصبح هشيما تذروه الرياح وكان الله على كل شيئ مقتدرا[25]
Artinya :
Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia
adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur
karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi
kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Dari pengertian di atas
dapat dipahami bahwa matsal dalam al-Qur'an adalah ayat-ayat al-Qur'an
yang mengandung ungkapan suatu makna dalam bentuk yang ringkas dan menarik atau
menimbulkan kekaguman dalam jiwa, baik melalui gaya bahasa tasybih ataupun
perkataan mursal, sehingga yang abstrak bisa menjadi jelas dan yang
kongkrit bisa lebih jelas lagi.
2.
Macam-macam Matsal al-Qur'an
Imam al-Suyuthi (849 H-911 H) membagi matsal al-Qur'an
menjadi dua macam
yaitu ظاهر مصرح به danكامن لاذكر للمثل فيه [26]sedang
Manna' Khalil al-Qaththan membagi matsal al-Qur'an kepada tiga macam yaitu الأمثال المكنية, الأمثل المصرحة dan الأمثال المرسلة [27]
Dengan demikian terdapat
perbedaan pendapat dalam membagi matsal al-Qur'an. Untuk mengetahui
sejauh mana perbedaan pandangan tersebut perlu dijelaskan sepcrti apa definisi
kedua ulama al-Qur'an tersebut.
1.2. al-Matsal
al-Musharrahah atau Zahir Musharrah
وهي ما صرح فيها بلفظ المثل , أو ما يدل على التشبييه [28]
Artinya:
Matsal musharrahah atau Zahir Musharrah adalah matsal yang
di dalamnya dijelaskan dengan lafazh matsal atau sesuatu yang
menunjukkan tasybih.
Term Matsal
musarrahah digunakan oleh Manna' Khalil al-Qaththan, sedang Matsal Zahir
Musharrah istilah yang digunakan oleh Imam al-Suyuthi. Jenis matsal seperti
ini sangat mudah diketahui dan banyak terdapat dalam al-Qur'an seperti ayat
yang berbunyi sebagai berikut :
مثلكم كمثل الذي
استوقد نارا فلما اضائت ما حوله ذهب الله بنورهم وتركهم في ظلمات لا يبصرون صم بكم
عمي فهم لا يرجعون او كصيب من السماء فيه ظلمات ورعد وبرق يجعلون اصابعهم في اذانهم
من الصوائق حذر الموت والله محيط بالكافرين.[29]
Artinya:
"Perumpamaan (matsal) mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah
menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam
kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah
mereka akan kembali (ke jalan yang benar), Atau seperti (orang-orang yang
menimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka
menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab
takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir.
Dalam ayat-ayat di atas
Allah memberikan perumpamaan orang-orang munafiq dalam menerima petunjuk Allah
dengan dua perumpamaan. Pertama, orang-orang munafiq sama halnya orang-orang
yang sedang menyalakan api. Semestinya dengan adanya api akan menimbulkan
cahaya dan akan menerangi kehidupan mereka, tetapi karena mereka munafiq cahaya
itu tidak bermanfaat bagi mereka. Bahkan yang akan mereka dapatkan adalah
panasnya api yang mereka nyalakan sendiri yang akan membakar diri dan jiwa
mereka. Dengan kata lain mereka tetap dalam kegelapan walaupun di hadapan
mereka terdapat api yang menerangi mereka. Dikarenakan mereka tidak
memanfaatkan potensi yang telah diberikan Allah, mereka tuli tidak
mendengar petunjuk, bisu tidak mengucapkan kalimat yang benar, dan buta tidak melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Perumpamaan
kedua yaitu kondisi kejiwaan orang-orang munafiq bagaikan hujan lebat yang
disertai dengan gelap gulita, guntur, dan kilat. Keengganan mereka dalam
menerima kebenaran dan Allah yang dilukiskan dengan menggunakan jari-jari untuk
menutup telinga, tidaklah beralasan. Hujan lebat yang tercurah langsung dari
langit, merupakan gambaran bahwa petunjuk yang tcrdapat dalam al-Qur'an yang
diterima langsung oleh Nabi Muhammad SAW bersumber dari Allah SWT, bukan hasil
pengalaman atau nalar manusia. Dan hujan lebat yang disertai dengan gelap
gulita, guntur, dan kilat memberikan gambaran bahwa turunnya ayat-ayat
al-Qur'an yang mengandung kritik dan kecaman dalam rangka menyembuhkan
penyakit-pcnyakit jiwa manusia.[30]
Menurut Mutawali
asy-Sya'rawi seperti dikutip oleh M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa air hujan
yang dimaksud dalam ayat di atas adalah petunjuk Ilahi. Dengan petunjuk itu
akan dapat menumbuhkan suburkan hati mereka, sebagaimana hujan
menumbuhkankembangkan tumbuh-tumbuhan.[31]
2.2. al-Matsal al-Kaminah
هى التي لم يصرح فيها بلفظ التمثيل, ولكنها تدل على معان رائعة فى إيجاز, يكون
لها وقعها اذا نقلت الى ما يشبهها[32]
Artinya:
Matsal Kaminah adalah matsal yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas
lafaz tamtsil (permisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah,
menarik dalam kepadatan redaksinya.
Jadi matsal ini
bersifat maknawai bukan lafzhi atau mengandung matsal yang
samar-samar,.Untuk memudahkan dalam
mengetahui uslub matsal kaminah dalam
suatu ayat para
ulama menggunakan pendekatan perbandingan atau analogi dengan
syair-syair orang-orang arab atau
kata-kata bijak. Berikut
ini ada beberapa
contoh perbandingan yang dimaksud :
a. Ungkapan yang mempunyai
kandungan "خير الامور
أوسطها ”
(sebaik-baik urusan adalah
yang pcrtengahan atau
tidak berlebihan), seperti dijelaskan dalam ayat berikut ini:
ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا[33]
Dalam ayat di atas
dijelaskan tentang larangan mengeluarkan suara yang terlalu keras pada waktu
shalat, dan tidak pula terlalu merendahkannya. Mengeraskan suara yang
berlebihan di waktu shalat bisa jadi mengganggu kekhusyu'an orang lain yang
sedang melaksanakan shalat. Sedang terlalu merendahkan suara mengakibatkan
makmum yang ada dibelakang imam tidak mendengarkan bacaan imam. Cara yang harus
ditempuh dalam shalat adalah mencari jalan tengah, tidak terlalu keras dan juga
tidak terlalu rendah.
Menurut al-Baidhwai
sikap mencari jalan tengah tersebut hendaknya tidak saja terbatas pada ketika
melaksanakan ibadah shalat, tetapi merambah ke segala aspek kehidupan.[34]Inilah
tujuan substansi matsal yang sesungguhnya.
b. Ungkapan yang mempunyai
kandungan " " ليس الخبر كالمعاينة
(kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri), seperti ayat
yang berbunyi:
اولم تؤمن قال بلى ولكن ليطمئن قلبي ...... [35]
Apakah kamu belum percaya ? Ibrahim menjawab : Saya telah percaya,
akan tetapi agar bertambah tetap hati saya atau mantap.
Pelajaran yang dapat
dipetik dalam ayat ini adalah mengenai substansi iman. Pada tahap-tahap
pertama, selalu diliputi oleh aneka tanda tanya. Keadaan orang yang baru
beriman ketika itu bagaikan seorang yang sedang mendayung di lautan Iepas yang
sedang dilanda ombak dan gelombang. Di hadapannya yang jauh terlihat olehnya
sebuah pulau harapan. Serta merta bergejolak dalam hatinya kecemasan, apakah
gelombang itu akan menelannya dan mampu mendayung sehingga selamat. Pada saat
yang sama jiwanya dipenuhi oleh harapan yang mencapai pulau idaman. Dcmikian
iman pada tahap-tahap pertama, dan karena itu, aneka pertanyaan seringkali
muncul dalam benak seseorang, baik karena keterbatasan pengetahuan, maupun oleh
godaan setan.[36]
c. Ayat yang senada dengan
ungkapan : “ " كما تدين تدان
(Sebagaimana kamu telah memberi hutang, maka kamu akan dibayar):
terdapat dalam ayat berikut ini:
...... من يعمل سوئا يجز
به ....[37]
Artinya:
Barang siapa yang melakukan
suatu kejahatan maka
dia akan mendapatkan balasannya.
Ayat menjelaskan
perumpamaan pahala atau balasan bagi orang yang melakukan suatu perbuatan. Jika
perbuatan itu baik, maka ia akan mendapatkan kebaikan di sisi Allah, begitu
juga sebaliknya, apabila perbuatan itu tidak baik, seperti merugikan orang
lain, mengerjakan larangan-larangan Allah, ia
akan mendapatkan siksaan Allah.
Menurut M. Quraish
Shihab ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak nemiliki wewenang dalam
penetapan sanksi dan ganjaran. Angan-angan dan keinginan manusia tidak ada
kaitannya sedikitpun dengan kedua hal tersebut, tetapi keduanya semata-mata
adalah atas dasar ketentuan Allah.32 Sebab yang menentukan sesuatu
itu baik atau buruk adalah Allah. Belum tentu sesuatu yang dianggap baik oleh
manusia baik pula baginya, begitu juga sebaliknya sesuatu yang dianggap buruk
belum tentu tidak bermanfaat bagi dirinya.
3.2. al-Matsal al-Mursalah
هى جمل ارسلت إرسالا من غبر
تصريح بلفظ التشبيه فهى آيات جارية مجرى الأمثال[38]
al-Matsal al-Mursalah adalah kalimat-kalimat bebas yang tidak
menggunakan Iafal tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku
sebagai matsal.
Berikut beberapa contoh ayat al-Qur’an yang dapat penulis
kemukakan :
قل كل يعمل على شاكلته......... [39]
Artinya :
Katakanlah : "Katakanlah ! Tiap-tiap orang berbuat menrutt keadaannya
masing-masing.
Sekilas untuk
mendapatkan uslub matsal dalam ayat di atas tidak terdapat
indikator-indikatornya atau ciri-cirinya. Namun setelah diperhatikan secara
jeli dan hati-hati temyata dapat kita temukan atau eksplorasi uslub matsalnya.
Ayat dl atas menjelaskan tentang aktifitas kehidupan manusia yang beraneka
ragam. Dengan adanya berbagai macam lapangan pckerjaan diharapkan manusia dapat
mengekspresikan dirinya sesuai dengan bakat dan minat yang ia miliki. Dengan
demikian akan muncul tanggungjawab dari masing-masing individu terhadap apa
yang ia kerjakan.
Penjelasan ini mendukung
pendapat Sayyid Quthub sebagaimana yang dikuti oleh M. Quraish Shihab ketika
menafsirkan kata syakilah. Sayyid Quthub
memahaminya dalam arti
cara dan kecenderungan. Setiap
manusia mempunyai kecenderungan, potensi dan
pembawaan yang berbeda-beda yang
menjadi pendorong aktivitasnya.[40]
Contoh lainnya seperti yang tersebut dalam ayat berikut ini
ö[41]وعسى ان تكرهوا شيئا فهو خير لكم
وعسى ان تحبوا شيئا وهو شر لكم
Artinya :
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
Ayat di atas menjelaskan
bahwa dalam mencintai dan membenci sesuatu itu tidak boleh berlebihan. Sebab
kecintaan dan kebencian menurut pandangan manusia tidak pasti sama dengan
pandangan Allah. Sesuatu yang menurut kita baik, belum tentu akan mendatangkan
kebaikan baginya. Begitu sebaliknya, sesuatu yang menurut kita tidak baik belum
tentu mendatangkan kehancuran atau kegagalan kita.
Perumpamaan yang dapat
kita petik dalam ayat di atas adalah keseimbangan sikap dalam hidup dengan
tidak menghilangkan optimisme dalam menghadapi segala sesuatu.[42]
Motifasi guna membangun optimisme yang benar menurut ajaran Islam adalah
mencintai dan membenci sesuatu karena wujud kecintaan seorang hamba kepada
Allah. Banyak hal yang sangat kita cintai seperti harta, keturunan, perhiasan,
kedudukan, pangkat dan lain sebagainya. Tetapi sepanjang kita tidak mampu
mengendalikan hawa nafsu, seluruh kesenangan dan kenikmatan yang kita miliki
dapat membinasakan si-empunya.
3. Rukun dan Ciri-ciri Matsal aI-Qur’an
Para Pakar bahasa arab
mengatakan bahwa amtsal atau matsal itu harus memenuhi beberapa
kriteria yaitu kalimatnya ringkas, maksud perumpamaan, susunan kalimatnya
bagus, menarik, dan kalimatnya berupa sindiran.[43]
Sepintas lalu susunan uslub tasybih memiliki persamaan
dengan susunan uslub matsai Dengan demikian unsur tasybih dapat
diderivasikan dengan unsur matsal walaupun tidak secara keseluruhan.
Sebagaimana halnya di dalam tasybih, di dalam matsal harus
terdapat empat unsur sebagai berikut :
a. adanya obyek yang akan diserupakan (mumatstsal);
b. adanya obyek yang diserupai (mumatstsal bih);
c. adanya segi kesamaan antara kedua obyek yang diperumpamakan(wajh
at-tamtsil);
d. adanya huruf atau kata yang menyatakan pcnyerupaan ('adat
at-tamtsil), Seperti huruf ك , atau kata مثل.
Keempat unsur di atas hanya berlaku bagi matsal musharrahah atau
matsal sharih atau zahir, sebab dalam jenis matsal sharih
atau musharrahah terdapat keempat unsur itu secara ekslpisit, seperti dapat
detemukan dalam surat al-Jumu'ah ayat ke-5. Dalam ayat itu Allah mempersamakan
orang-orang membawa atau memegang Kitab Taurat tetapi tidak mengamalkan isinya
dengan seekor keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Bunyi ayat tersebut
adalah sebagai berikut:
مثل الذين حملوا التوراة ثم لم يحملوها كمثل الحمار يحمل
اسفارا بئس مثل القوم الذين كذبوا بايات الله والله لا يهدي القوم الظالمين[44]
Artinya:
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian
mereka tiada memilkulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang
tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan
A.llah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim.
Ayat ini memberi contoh kepada kita bahwa ada sekelompok umat
manusia yang diutus kepada mereka Rasul serta dianugerahi kitab suci tetapi
mereka tidak memanfaatkannya. Mereka adalah orang-orang Yahudi dengan kitab
Tauratnya. Dalam ayat di atas Allah mengecam mereka sebagai peringatan bagi
umat Islam agar tidak melakukan apa yang mereka lakukan.[45]
Dengan demikian unsur-unsur amtsal dalam ayat ini
sangat jelas. Orang-orang Yahudi yang membawa atau memegang kitab Taurat tetapi
tidak mengerti dan mengamalkan isinya berkedudukan sebagai mumatstsal. Sedang
seekor keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal sebagai mumatstsal bih. Unsur
'adat at-tamtsil dalam ayat di atas sangat jelas yaitu kata ك dan مثل . Adapun wajh tamtstilnya atau letak keserupaan dan
kesamaan adalah orang-orang Yahudi yang membawa kitab Taurat tetapi tidak dapat
atau mau mengambil manfaat sama halnya dengan keledai yang hanya nampu membawa
kitab-kitab yang tebal tetapi ia tidak mengerti apa yang dibawanya.
4. Tujuan dan Urgensi
Matsal al-Qur’an
Ada beberapa tujuan dan matsal
al-Qur'an di antaranya :
1. Menampakkan sesuatu yang hanya bisa dijangkau oleh akal pikiran
(ma'qul) ke dalam bentuk konkrit (mahsus) yang dapat dirasakan oleh indera
manusia, sehingga akal mudah menerimanya, sebab makna-makna yang abstrak
tidaklah tertanam dalam benak kecuali ia dituangkan dalam bentuk inderawi yang
dekat dengan pemahaman.
2. Mendorong orang untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika
hal itu merupakan sesuatu yang positif.
3. Menjauhkan orang dari berbuat sesuai dengan isi matsal, jika
isi matsal'ttu. berupa sesuatu yang dipandang negatif.
4. Untuk memuji orang yang diberi matsal
5.
Untuk menggambarkan
(dengan matsal itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk
oleh orang banyak.
6. Matsal lebih berpengaruhi kepada jiwa, lebih efektif dalam memberikan
nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati.[46]
Imam az-Zarkasyi
menjelaskan ada beberapa
tujuan dan kegunaan matsal yaitu
:
فى ضرب الأمثال من تقرير المقصود
ما لا يخفى, إذ الغرض من المثل تشبيه الخفى بالجلى, والشاهد بالغائب. والمرغب فى الايمان
اذا مثل له بالنور تأكد فى قلبه المقصود, والمزهد فى الكفر اذا مثل له بالظلمة تأكد
قبيحه فى مفسه [47]
Artinya:
Kegunaan Matsal adalah untuk menegaskan maksud yang masih samar. Oleh karena
itu tujuan matsal adalah mengumpamakan sesuatu yang samar dmgan sesuatu yang
terang atau jelas, yang abstrak, dengan yang konkret. Seseorang yang ingin
beriman, bila iman itu diumpamakan dengan cahaya, niscaya hatinya akan semakin
bulat bertekad, dan orang ingin menjauhi kekafiran, bila diumpamakan dengan
kegelapan, niscaya akan terasa di hatinya betapa buruknya kekafiran itu.
Dalam hal ini Imam
az-Zarkasyi ingin menjelaskan bahwa dengan metode matsal lebih
mendekatkan pada percepatan pemahaman dan dorongan untuk berbuat seseorang
terhadap sesuatu.
Sedang Abdul Qohir
al-Jurjani seperti dikutip oleh Muhammad Rasyid Ridla[48]
menjelaskan beberapa kegunaan matsal yaitu :
- فإن كان مدحا
كان أبهى وأفخم وأجلب للفرح
“Apabila
ia sebagai pujian, maka dapat membawa orang kepada perasaan yang paling agung
dan paling tinggi, dan pujian itu paling kena untuk membawa orang kepada rasa
gembira”
- وإن كان ذما كان مسه أوجع وميسمه ألذع
"Apabila
ia sebagai cacian, maka sentuhannya amat menyakitkan, dan ketajaman sengatannya
amat terasa pedasnya"
- وإن كان حجاجا كان برهانه أنور, وسلطانه
أقهر
"Apabila ia sebagai argumen, maka ia berupa pembuktian yang amat jelas, dan pengaruhnya
tak dapat dibantah"
- وإن كان إفتخارا كان شأوه أبعد
"Apabila ia
digunakan untuk bermegah-megahan, maka
ruang lingkupnya menjadi amat luas dan jauh"
- وإن كان إعتذارا كان الى القبول أقرب
"Apabila
digunakan untuk meminta maaf, maka pemaafan itu dapat diperoleh dengan mudah"
- وإن كان وعظا كان أشفى للصدر
"Apabila
ia sebagai nasehat, maka matsal paling
baik untuk mengobati (membuat lega) hati yang sedang bimbang dan ragu"
Dari beberapa tujuan matsal
al-Qur'an sebagaimana pendapat para ulama di atas secara tidak langsung
menjelaskan pula betapa penting atau urgennya kajian matsal al-Qur'an.
Yaitu dengan melalui pendekatan matsal, pesan yang disampaikan lebih
mudah dipahami, diresapi, lebih berpengaruh dalam hati atau membekas, sehingga
metode ini dapat dikatakan lebih efektif.
PENGGUNAAN MATSAL BAGI ORANG ARAB
Dalam sejarah sastera
Arab, jauh sebelum datangnya Islam, bangsa Arab senantiasa berlomba-lomba
tentang kepiawaian mereka dalam sastera baik berupa natsar (prosa) maupun
sya'ir (puisi). Dari peninggalan natsr al-jahily terdapat adanya bentuk sastera
yang dinamakan hikam (kata mutiara) atau matsal (kata pepatah,
perumpamaan, atau peribahasa). Bentuk sastera yang terdapat pada matsal dan
hikmah ini bisa berupa syair atau prosa. Akan tetapi dalam bentuk prosa
lebih banyak dibanding dengan bentuk puisi. .
Menurut Ibrahim Ali Abu
al-Khasyab dalam kitabnya Turatsuna al-Adaby[49]
mengatakan bahwa munculnya ungkapan matsal & kalangan masyarakat
Arab setelah adanya terjadi sebab peristiwa, sehingga kata matsal tersebut
menjadi terkenal di masyarakat, misalnya ungkapan matsal Arab berikut
ini :
الصبف
ضبعت اللبن
Sumber cerita matsal ini
adalah seperti terjadi pada seorang
perempuan yang menikah dengan seorang tua bangka tetapi kaya raya.Kemudian
perempuan ini meminta untuk diceraikan. Tidak lama kemudian perempuan tadi
menikah lagi dengan pemuda yang masih muda belia tetapi miskin. Ketika datang
musim dingin perempuan itu mendatangi si-tua bangka tadi guna meminta susu.
Mendengar permintaan itu si-tua bangka berkata : "Pada musim panas engkau
boroskan pemakaian air susu". Maksud musim panas adalah musim paceklik
atau krisis, sedang air susu dimaksudkan dengan bahan makanan. Pesan yang dapat
diambil dari matsal di atas adalah pada masa-masa krisis atau paceklik
janganlah memboroskan bahan makanan, sebab jika bersikap boros maka akan
menyesal kemudian. Penyesalan yang demikian tidaklah ada artinya atau gunanya.
Dapat juga mengandung pesan ketika ada kesempatan disia-siakan, padahal
kesempatan tidak pernah datang untuk kedua kali, yang ada adalah penyesalan.
Contoh matsal yang
lain seperti ungkapan berikut :
رب رمية من غير رام
Arti dari matsal ini adalah "betapa banyak lemparan
panah yang mengena tanpa sengaja". Matsal ini muncul diawali oleh
adanya peristiwa, bahwa ada seseorang pemanah yang setiap kali ia memanah tidak
pernah mengenai sasaran. Tapi entah mengapa pada suatu waktu si-pemanah
tersebut lembarannya mengenai sasaran. Kejadian inilah yang melatar belakangi
ucapan matsal tersebut di atas. Matsal ini berlaku bagi orang yang
biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar.
Dari beberapa
contoh matsal yang berkembang pada masyarakat arab di atas, dapat kita
pahami bahwa bagi orang Arab jahiliyyah terbentuknya matsal meluncur
begitu saja tanpa peraturan tertentu. Para Ahli sastra membagi matsal arab
menjadi dua macam: pertama, Matsal Haqiqi,, yaitu ungkapan matsal yang
timbul dari suatu sebab kejadian yang dialami masyarakat. Kedua, Matsal
Iftiradhi, yaitu ungkapan matsal yang timbul dari alam khayal
mereka.[50]
Begitulah
sekilas gambaran matsal yang berkembang di kalangan masyarakat Arab masa
lalu. Maka kemudian al-Qur’’an dating dengan kemukjizatan bahasa yang tidak ada
tandingannya.
Kesimpulan
Amtsal atau matsal merupakan salah satu medium yang dapat
menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup dan mantap dalam pikiran,
dengan cara menyerupakan sesuatu yang ghaib dengan yang hadir, yang abstrak
dengan yang kongkrit dan dengan menganalogikan sesuatu dengan yang serupa.
Itulah sebabnya maka amtsal sangat efektif dalam mendorong jiwa untuk
menerima apa yang dimaksudkan dan membuat akal merasa puas, Uslub matsal juga
mampu memberikan bekas dan mengaktifkan kemauan berbuat, seolah-olah
membisikkan dengan sangat mantap ke telinga si-penerima, sehingga kesan
menembus hati, bahkan sampai menyentuh bagian jiwa yang paling dalam
Susunan kalimat (Uslub
matsal) harus ringkas dan menarik atau menimbulkan kekaguman dalam jiwa
diharapkan membantu untuk memudahkan pemahaman seseorang dalam menggali keadaan
atau sifat yang melekat pada sesuatu. Wallahu A’lam bi ash-shawab.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad Warson, AI-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997.
Abu
al-Wafa' Muhammad Darwis, Min Matsal al-Qur'an, Bilbis : Al-Maktabah
al-Islamiah, 1988.
Abd. Ar-Rahman
Hasan al-Maidani, Al-Matsal al-Qur'aniyah, Beirut : Dar al-Qalam, 1980,
Cet. I.
Abd.
Al- Wahhab Abd. Al-Latif, Mausu'ah
Al-Amtsal al-Qur’aniyah, Cairo : Maktabah al-Adab, 1994, J. I
Abd. Fattah Lasyin,
Al-Bayan fi Dhau’i Asalib al-Qur'an, Mesir : Dar al-Ma'arif, 1985.
Ahmad
Iskandari dan Musthafa 'Inani , Al-Wasith fi Adab al-Arab wa Tarikhihi, Cairo
: Dar al-Ma'arif, 1978.
Ahmad
Musthafa al-Maraghi, Tafslr al-Maraghi, Beirut : Dar al-Fikr, 1365
Badruddin Muhammad
az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur'an,Beirut : Dar al-Fikr, 1998.
Faruq
Sherif, Al-Qur’an Menurut al-Quran, penterj. H.M. Assegaf dan Nur
Hidayah, Jakarta : Serambi, 2001.
Ibrahim Ali Abu
Khasyab, Turatsuna al-Adaby, Cairo :
Dar at-Tiba'ah al-Muhammadiyyah, t.th.
Jalaluddin Abd.
Ar-Rahman as-Suyuthi, Al-ltqan fi Ulum al-Qur'an, Beirut :Dar Ibn
al-Katsir, 1987, juz II.
Khadim al-Haramain
asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya,t.t.p., t.th.
Manna'
Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, Beirut: Mu'assasah
ar-Risalah, 1985.
Muhammad Rasyid
Ridla, Tafsir ad-Manar, Beirut : Dar al-Fikr, tth.
Muhammad A
Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah, penterj. Zuhairi Misrawi dan
Anis Maftukhin, Jakarta: Paramadina, 2002
M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta : Lentera Had,
2000, cet I.
Muhammad Ahmad Ma'bad,
Nafahat min ‘Ulum al-Qur'an, T.t.p. : Dar as-Salam,1996
Nashiruddin Abi
Sa'id Abdullah ibn Umar ibn Muhammad asy-Syairazi Al-Baidhawi, Tafsir
al-Baidhawi, t.t.p.: Dar al-Fikr, tth. Juz III.
Ibn
al-Qasim Jar Allah Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, Tafsir AlKasysyaf, ttp.:
Dar al-Fikr, 1977, cet. II J. I.
Sachiko Murata, The
Tao of Islam, Penterj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, Bandung : Mizan,
1996, cet. II.
* Penulis adalah
dosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Bandarlampung. S1-nya diselesaikan di
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits.
S2-nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Faruq Sherif, Al-Qur’an Menurut al-Quran, penterj.
H.M. Assegaf dan Nur Hidayah, (Jakarta : Serambi, 2001), h. 59. Bandingkan
dengan QS. Al-Baqarah : 2.
[2] Manna' Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur'an, (Beirut:
Mu'assasah ar-Risalah, 1985), h. 305,
[3] Ibid., h-
291, lihat juga Jalaluddin Abd. Ar-Rahman as-Suyuthi, (Al-ltqan fi Ulum
al-Qur'an, Beirut :Dar Ibn al-Katsir, 1987), juz II, h. 259.
[4] Manna' Khalil
al-Qaththan, Ibid., h. 298.
[5] Amtsal dapat dibagi
menjadi tiga macam. Pertama, Amtsal Musharrahah, yaitu amtsal yang
di dalamnya dijelaskan dengan lafazh matsal atau sesuatu yang
menunjukkan tasybih (penyerupaan), Kedua, Amtsal Kaminah, yaitu amtsal
yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafazh amtsal (permisalan),
tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan
redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang
serupa dengannya. Dan yang Ketiga Amtsal Mursalah yaitu kalimat-kalimat
bebas yang tidak menggunakan kalimat tasybih secara jelas. Tetapi
kalimat-kalimat itu berlaku sebagai amtsal. Manna’ Khalil al-Qaththan, Ibid.,
h. 284-286.
[6] Ibid., h. 281
[7] Ibid,, h.
281. Lihat juga Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir ad-Manar, (Beirut : Dar
al-Fikr, tth.), j. I, h. 236.
[8] Muhammad Rasyid Ridla, Ibid., j. I, h. 236.
[9] Muhammad A
Khalafullah, Al-Qur’an bukan Kitab Sejarah, penterj. Zuhairi Misrawi dan
Anis Maftukhin, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 99.
[10] Ibid., h.
130.
[11] Ahmad Warson, AI-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), h. 1309-1310.
[12] Abu al-Wafa' Muhammad Darwis, Min Matsal al-Qur'an, (Bilbis
: Al-Maktabah al-Islamiah, 1988), h. 5.
[13] Ahmad Iskandari dan Musthafa 'Inani , Al-Wasith fi Adab
al-Arab wa Tarikhihi, (Cairo : Dar al-Ma'arif, 1978), h. 16.
[14] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafslr al-Maraghi, (Beirut
: Dar al-Fikr, 1365), h. 57.
[15] Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, {Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.), j. I,, h. 167.
[16] Ibn al-Qasim Jar Allah Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, Tafsir
AlKasysyaf, (ttp.: Dar al-Fikr, 1977), cet. II J. I, h. 195.
[17] Dalam Manna' Khalil
al-Qaththan, Mababits Fi Ulum al-Qur’an.
[18] Jalaluddin Abd. Ar-Rahman as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum
al-Qur'an, (Beirut: Dar Ibn al-Katsir, 1987), h. 773.
[19] Abd. Ar-Rahman
Hasan al-Maidani, Al-Matsal al-Qur'aniyah, (Beirut : Dar al-Qalam,
1980), Cet. I, h. 7.
[20] Dalam Abd. Al- Wahhab Abd. Al-Latif, Mausu'ah Al-Amtsal al-Qur’aniyah, (Cairo
: Maktabah al-Adab, 1994), J. I, h. 178.
[21]Abd. Fattah Lasyin, Al-Bayan
fi Dhau’i Asalib al-Qur'an, (Mesir : Dar al-Ma'arif, 1985), h. 34.
[22] QS. Yasin, 36:39.
[23]Khadim al-Haramain
asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (t.t.p., t.th.), h. 710.
Seluruh terjemah ayat-ayat al-Qur'an yang dikutip bersumber dari kitab
Al-Qur'an dan terjemah ini.
[24] Abd. Fattah Lasyin, Al-Bayan ......h. 34.
[25] QS.Al-Kahfi, 18:45.
[26] as-Suyuthi, Al-ltqan....,.., h. 1042-1043.
[27] Manna' KhaM al-Qaththan, Mabahits ....... h. 284.
[28] Ibid., h. 284.
[29]
QS.AI-Baqarah,2:17-19.
[30] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta : Lentera Had,
2000), cet I., Vol. I., h. 110-111.
[31] Ibid, Vol. I., h.
112-113.
[32] Manna' Khadim al-Qaththan, Mabahits ,..., h. 285.
[33] QS.Al-Isra', 17:110.
[34] Nashiruddin Abi
Sa'id Abdullah ibn Umar ibn Muhammad asy-Syairazi Al-Baidhawi, Tafsir
al-Baidhawi, (t.t.p.: Dar al-Fikr, tth.), Juz III, h. 214.
[35] QS. Al-Baqarah, 2: 260.
[36] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah...... Vol. I.,
h. 525-526.
[37] QS. An-nisa',
4:123.
[38] Manna' Khali1 al-Qaththan, Mabhiits..... h.
286.
[39] QS. Al-Isra',
17:84.
[40] Dalam M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah..,....,Vol. VII., h. 536.
[41] QS. Al-Baqarah,
2:216.
[42] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah....... Vol. I., h.430.
[43] AI-Maidani dalam
Abd. Al- Wahhab Abd- Al-Latif, Mausu'ah ...... I. 1, h.
[44] QS. Al-Jumu’ah,
62:5.
[45] M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah........ Vol. 14, h. 224-225.
[46] Manna’ Khali1 al-Qaththan, Mabahits...... h.
287-289, dan bandingkan dengan Muhammad Ahmad Ma'bad, Nafahat min ‘Ulum
al-Qur'an, (T.t.p. : Dar as-Salam,1996), h. 112-113. Lihat Juga Sachiko
Murata, The Tao of Islam, Penterj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah,
(Bandung : Mizan, 1996), cet. II, h. 178. Muhammad Rasyid Ridla juga
menjelaskan bahwa di samping dapat mengetuk hati untuk berbuat, matsal juga
mampu menyentuh bagian jiwa yang paling dalam. Lihat Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir
al-Manar, (Beirut ; Dar al-Fikr, t.th.), j. I, h. 236.
[47] Badruddin Muhammad
az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur'an, (Beirut : Dar al-Fikr, 1998),
h. 573.
[48]Muhammad Rasyid
Ridla, Tafsir al-Manar, j. I, h. 237-238.
[49] Ibrahim Ali Abu
Khasyab, Turatsuna al-Adaby, (Cairo : Dar at-Tiba'ah al-Muhammadiyyah,
t.th,}, h. 85.
[50] Ibid., h. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar