SEBAB-SEBAB
IKHTILAF ULAMA DALAM MEMAHAMI
AL-QUR'AN DAN AL-SUNNAH
Mahmudin Bunyamin
Abstrak
Rasulullah saw
meninggal dunia memenuhi panggilan Rab-Nya dengan meninggalkan sesuatu yang
dijadikan pedoman bagi umat-Nya yang berupa Al-Qur'an dan al-Sunnah. Di samping
itu beliau saw telah meninggalkan para sahabat yang selalu berinteraksi
dengan-Nya dalam setiap kehidupannya, melihat segala prilaku dan
tindak-tanduknya, mendengarkan segala sabda-Nya, menyaksikan turunnya wahyu,
mempelajari asbab nuzulnya, sehingga memberikan mereka kemampuan untuk memahami
dan mempelajari Al-Qur'an dan al-sunnah.
Kata kunci
: Perbedaan pendapat merupakan hikmah ilahiyah.
PENDAHULUAN
Boleh jadi terjadi kerancuan pada diri
sebagian manusia bahwa perbedaan pendapat dalam Islam timbul akibat tabiat
Islam sendiri. Kerancuan seperti ini akan merusak aqidah seorang muslim.
Padahal perbedaan pendapat bagi umat Islam merupakan rahmat selama tidak
menyentuh aqidah, dan terbatas hanya pada masalah furu'. Perbedaan pendapat
merupakan kecenderungan manusia karena perbedaan kondisi, bakat, yang berasal
dari naluri kemanusiaannya dan berkaitan dengan hikmah Ilayiyah dalam
pengaturan alam.
Bahkan
jenis ikhtilaf seperti ini sesuai dengan syari'at samawi yang lain, Allah SWT
berfirman:
وَدَاوُدَ
وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ
الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ(78)فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ
وَكُلاَّ ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ
يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ (الانبياءظ21: 78-79)
Dan
(ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan
mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan
kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami
telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat);
dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah
Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud.
Dan Kamilah yang melakukannya.
Dua
nabi ini berselisih dalam satu kasus yang sama, maka Allah memberi keistimewaan
salah satu dari keduanya, dan memberikan kepada masing-masing hikmah dan ilmu.
Munculnya
perselisihan dalam pengangkatan khalifah adalah perbedaan pertama yang terjadi
pada para sahabat setelah nabi Muhammad meninggal dunia. Dan perbedaan ini akan
terus berlangsung selama manusia mempunyai pendapat dan akal.[1]
Perbedaan
pendapat pada masa Abu Bakar dan Umar sangat sedikit sekali. Karena para
sahabat belum berpencar ke penjuru daerah. Mereka selalu meminta fatwa kepada
khalifah ketika ada permasalahan. Barulah kemudian perbedaan meluas setelah
kepergian mereka berdua, selain karena para sahabat mulai menyebar ke
daerah-daerah futuhat, yang mana mereka mengajarkan ajaran Islam sesuai
dengan kemampuan dan pemahaman masing-masing.
SEBAB-SEBAB
PERBEDAAN DALAM MEMAHAMI NASH
1.
Perbedaan
Qira’at
Perbedaan
qira’at merupakan salah satu penyebab perbedaan antara para fuqaha dalam
memahami nash. Karena akan menimbulkan perubahan makna dan hukum, terlebih
apabila berupa qira’at syadzah. Al-Amidi di dalam al-Ihkam fi ushul ahkam
mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut :
هو
ما نقل إلينا بين دفتي المضحف تواترا
Sedangkan
al-Ghazali dalam al-Mustashfa mendefinisikannya sebagai:
هو
ما نقل إلينا بين دفتي المضحف على الأحرف السبعة المشهورة متواترا
Terlihat
titik point yang jelas bahwa tidak dinamakan Al-Qur'an kecuali apabila diriwayatkan
dengan sanad yang mutawatir. Maka apabila tidak demikian maka tidak dianggap
sebagai Al-Qur'an.
Tetapi
diantara para ulama masih berselisih pendapat tentang ayat yang diriwayatkan
tidak dengan sanad yang mutawatir sebagaimana yang terdapat dalam mushaf Ibnu
Mas’ud. Apakah layak untuk dijadikan sebagai hujjah atau tidak? Abu Hanifah
menganggapnya sebagai riwayat yang layak dan sah dijadikan hujjah. Sedangkan
al-Amidi, Ibnu Hajib, Ahmad bin Hambal, dan al-Syafi’i (dalam suatu riwayat)
menganggapnya sebagai riwayat yang tidak layak dan sah untuk dijadikan sebagai
hujjah. Tetapi dalam riwayat lain yang terdapat dalam mukhtashor al-Buwaithi,
al-Syafi’i menganggapnya sebagai hujjah sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan
pengikutnya, serta Hanabilah dengan alasan bahwa riwayat qiro’ah syadzah
merupakan satu dari dua alternatif, Al-Qur'an atau al-hadits sebagai penjelas.
Maka mereka berijtihad dan menganggapnya sebagai Al-Qur'an, sebagai wajib
mengamalkannya bagi yang menilainya demikian.[2]
Salah
satu contoh perbedaan qira’at pada zaman sahabat adalah perbedaan dalam
kefardhuan wudhu apakah membasuh atau mengusap.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ اامَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة:6)
Nafi’,
Ibnu Amir, dan Kasa’i membaca kata وَأَرْجُلَكُمْ dengan nasab sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amru, dan Hamzah
membacanya dengan Jar. Jumhur ulama mengambil pendapat bahwa kata وَأَرْجُلَكُمْ dibaca nasab sehingga
kewajiban mencuci kaki dalam berwudhu adalah membasuhnya tanpa mengusap dengan
alasan sebagai berikut :
- Hadis
Rasulullah yang berbunyi:
مارواه عبد الله بن عمرو، قال : تخلف عنا رَسُوْلُ الله ِصَلَّى
الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ في سفرة، فادر كنا وقد العصر، فجعلنا نتوضا ونمسح على
ارجلنا، قال فنادى رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ باعلى صوته:
نيل للأعقاب من النار مرتين أو ثلاثا. (رواه البخاري) ومعنى أرهقنا العصر: أنهم
أخروها فلم يصلو ها إلا في أخر وقتها.
- Bahwa
sunnah rasulullah dalam mencuci kaki dalam wudhu membasuh kedua kaki atau
mengusap khuffain (sepatu)
- Bahwa Allah memberi batas kaki sampai mata kaki sebagaimana dalam batas tangan sampai siku, maka menunjukkan persamaan kewajiban membasuh sebagaimana tangan.
2.
Tidak
adanya penguasaan terhadap hadis.
Sahabat-sahabat
rasulullah SAW tidak mempunyai kemampuan yang merata dalam penguasaan terhadap
hadis. Akan tetapi mereka mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, bahkan
diantara mereka hanya menguasai satu atau dua hadis saja. Fenomena ini disebabkan
hadis, fataw, qadho (pengadilan) yang dilakukan oleh rasulullah SAW hanya dapat
disaksikan dan atau diketahui oleh orang yang hadir saja dan orang-orang yang
diberi khabar oleh orang yang menyaksikannya langsung. Dalam kesempatan majlis
yang lain beliau berdialg atau berfatwa atau mengadili yang disaksikan oleh
sahabat yang lain yang tidak menyaksikan sabda beliau yang pertama sehingga
pengetahuan yang dimiliki oleh seorang sahabat belum tentu dimiliki oleh
sahabat yang lain. Pendapat dan analisa seorang sahabat belum tentu sama dengan
sahabat yang lain. Dan belum ada seorangpun sepanjang pengetahuan penulis yang
sampai pada derajat penguasaan terhadap semua hadis rasulullah saw. Hal ini pun
juga menimpa sahabat bahkan khulafaurrasyidin yang notabene mengetahui hampir
segala aktifitas nabi Muhammad saw.
Abu
Bakar yang selalu bersama rasulullah SAW ketika menetap di suatu tempat ataupun
ketika bepergian, pada masa khilafahnya pernah bertanya tentang masalah hak
waris bagi seorang nenek. Beliau tidak bisa memecahkan persoalan tersebut
sampai akhirnya Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin musallamah bersaksi bahwa
rasulullah pernah memutuskan memberikan seorang nenek bagian warisannya sebesar
seperenam. Umar bin Khattab belum mengetahui bahwa seorang wanita mendapat
warisan dari diat suaminya sampai akhirnya al-Dhohhak bin sufyan mengirimnya
sepucuk surat – sedangkan beliau adalah duta besar Rasulullah SAW di sebagian
pelosok daerah-bahwa Rasulullah SAW memberikan warisan kepada seorang wanita
dari diat suaminya. Sehingga Umar mengubah pendiriannya dan berbalik arah.
3.
Keraguan
dalam sanad hadis
Para
sahabat tidak hanya meneliti kekuatan sanad hadis ketika meriwayatkan dan
melaksanakannya bahkan lebih dari itu mereka mengadakan penelitian matan (isi)
hadis dengan menyamakan dan membandingkannya dengan nash Al-Qur'an dan qawaid
al-din. Apabila bertentangan maka mereka menolaknya.
Imam
muslim meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. Mendengar hadis Fathimah binti
Qais bahwa suaminya menceraikannya dengan talak tiga sedangkan Rasulullah tidak
memberikan keputusan hukum untuk memberikan tempat tinggal dan nafkah.
Menanggapi riwayat ini Umar berkomentar bahwa kami tidak meninggalkan
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya hanya dengan mendengar perkataan seorang anita
yang kita tidak mengetahuinya yang boleh jadi ia hafal atau lupa. Karena
sesungguhnya dia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal berdasarkan firman
Allah azza wa jalla:
.... لاَ
تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ... (الطلاق/65 : 1)
Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Aisyah
ketika mendengar hadis yang diriwayatkan oleh Umar dan anaknya, Abdullah bin
Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إن
الميت ليعذب ببكاء أهله عليه (رواه البخاري)
Secara
spontan beliau berkomentar bahwa : “Semoga Allah menyayangi Umar, demi Allah
Rasulullah saw tidak pernah bersabda bahwa seorang mukmin akan disiksa dalam
kubur dengan adanya ratapan dari keluarganya. Akan tetapi beliau bersabda :
إن
الله يزيد الكار عذابا ببكاء أهله عليه وقالت حسبكم القرآن (ولا تزر وازرة وزر
أخرى)
Sesungguhnya Allah menambah adzab bagi
orang kafir dengan adanya ratapan keluarganya untuknya seraya Aisyah berkata:
“Cukuplah bagi beliau makna ;Al-Qur'an yang berbunyi: ‘seseorang tidak
menanggung beban dosa orang lain’.”
Meskipun
pemahaman Aisyah ini dibantah dengan pemahaman bahwa hadis tersebut dimaksudkan
bagi orang yang berasiat kepada keluarganya untuk meratapi kematiannya, namun
tidak dapat disangkal bahwa para sahabat memang melakukan penyelesaian yang
super ketat terhadap periwayatan hadis.[3]
4.
Perbedaan
dalam memahami nash dan tafsirnya
Pada
saat Al-Qur'an diturunkan, rasul SAW yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan
Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar
artinya. Keadaan ini berlangsung sampai wafatnya Rasulullah saw walaupun harus
diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak
sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul SAW sendiri tidak
menjelaskan semua kandungan Al-Qur'an.
Kalau
pada masa rasul SAW para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak
jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Sementara
sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi
atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur'an kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab
yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan
lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya israiliyat.
Di
samping itu, para tokoh tafsir dai kalangan sahabat yang disebutkan di atas
mempunyai murid-murid dari para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal.
Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota
tersebut, seperti: Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika
itu berguru kepada Abdullah bin Abbas; muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di
Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab; dan al-Hasan
al-Bashriy, Amir al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah
bin Mas’ud.
Gabungan
dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul SAW, penafsiran
sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok
yang dinamai tafsir bi al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama
dari perkembangan afsir.
Berlakunya
periode pertama tersebut sampai dengan berakhirnya tabi'in sekitar tahun 150,
merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada
periode kedua ini, hadits-hadits telah beredar sedemikian pusatnya, dan
bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat.
Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa
persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa nabi Muhammad
saw, para sahabat, dan tab'in.
Pada
mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan ijtihad masih sangat
terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung
oleh satu kosa kata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat,
berkembang, dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam
penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau
penafsiran yang beraneka ragam coraknya, keragaman tersebut ditunjang pula oleh
Al-Qur'an, yang keadaannya seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam
al-Naba' al-Adhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya
yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak
mustahil jika anda memperselisihkan orang lain memandangnya, maka ia akan
melihat lebih banyak dari apa yang and lihat."[4]
Muhammad
Arkoun, seorang pemikir al-Jazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Qur'an
memberi kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah
mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Corak-corak
penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) corak sastra bahasa, yang
timbul akibat banyaknya orang non Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang saster. Sehingga dirasakan
sebagai kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan
kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini. (b) Corak filsafat dan
teologi, akiba penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak,
serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan
sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama
mereka, kesemuanya menimbulkanpendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin
dalam penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu
pengetahuan danusaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an sejalan
dengan perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu
fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan
kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka tentang ayat
hukum. (e) Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi
dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau berbagai kompensasi
terhadap kelemahan yang dirasakan. (f). bermula pada masa syaikh Muhammad Abduh
(1849-1905 M.), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak
tertuju kepada corak sastera budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir
yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung
dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat,
dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti
tapi indah didengar.[5]
Dilain
segi, sejarah perkembangan tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode
penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang
berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat
diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai
tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara ayat demi
ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushaf.
Penafsiran
yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Qur'an
terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembaca secara utuh dan
menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Qur'an sering dikemukakan secara
terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan
dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari
pula oleh para ulama, khususnya al-Syathibi (w.1388 M.), bahwa setiap surat,
walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral
yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada
bulan Januari 1960, syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, tafsir
Al-Qur'an al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh
al-Syathibi tersebut, Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi
membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat,
kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat
tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun
yang ditempuh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Qur'an
dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu
masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk
menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan
satu dengan yang lain, dan menafsirkan
secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad
Sayyid al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya
merupakan kelanjutan dari metode maudhu'iy gaya Muhammad Syaltut di atas.
Dengan
demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran
menyangkut satu surat dalam Al-Qur'an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya
secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan
persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya
dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua,
penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas satu
masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Qur'an dan yang sedapat
mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Qur'an secara utuh
tentang masalah yang dibahas itu.
Memang,
menurut para ulama, penafsiran nabi saw bermacam-macam, baik dari segi cara,
motif, maupun hubungan antara penarsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan.
Misalnya, ketika menafsirkan sholah al-Wustha dalam QS.2: 238 dengan shalat
asar,
حَافِظُوا
عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوْا للهِ قَانِتِينَ(البقرة/:
238)
Penafsiran
itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan yang
ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan Qs.40: 60, tentang arti perintah
berdo'a, beliau menafsirkannya dengan beribadah.
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ
عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ(المؤمن / 40 :60)
Penafsiran
ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah,
dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS,
13:27
يُثَبِّتُ
اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي اْلآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللهُ مَا
يَشَاءُ(إبراهيم/14 :27)
Kata
akhirat ditafsirkan dengan "kubur". Penafsiran semacam ini
dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.
Harus
digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan nabi tentang arti ayat-ayat
Al-Qur'an tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena
riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak
banyak, dan sebagainya tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi
juga "karena nabi sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Qur'an".
Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat
Al-Qur'an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan
kemampuan, setelah masin-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Ibnu
Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat nabi yang paling mengetahui
maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama,
yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang arab berdasarkan
pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang
untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh
ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali Allah."[6]
Dari
pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi
ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian
ketiga).
Dari
segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur'an yang tak dapat diketahui
kecuali Allah dan oleh rasul beliau menerima penjelasan dari Allah.
Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada
ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang,
seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada
firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Qur'an kepada muhkam dan mutasyabih, dan
bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang
orang-orang yang dalam ilmu pengetahuannya berkata kami beriman kepada
ayat-ayat mutasyabih. (QS. 3:7).[7]
Atau (b) ada ayat ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai
dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat dialami maksudnya, seperti
masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang
tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
Apapun
yang yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para
ulama bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran
terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan maslah-masalah metafisika
atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia.
Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila
penjelasan tersebut diduga bersumber dari nabi saw.
Karena
itu, seorang ahli hadis kenamaan, al-Hakim al-Naisaburi, menolak tafsiran sahabat
nabi, Abu Hurairah, tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit
manusia" untuk dinisbatkan kepada Rasul saw.
لاَ
تُبْقِي وَلاَ تَذَرُ. لَوَّاحَةٌ
لِلْبَشَرِ(المدثر/74 : 27-29)
Tahukah
kamu apa (neraka) saqar itu (QS. 74:27) Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak
membiarkan. (QS. 74:28) (Neraka Saqar)
adalah pembakar kulit manusia. (QS. 74:29)
Syaikh
Muhammad Abduh (1849-1905), salah seorang ahli tafsir yang paling mengandalkan
akal, menganut prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya
tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat samara atau tidak
terperinci oleh Al-Qur'an." Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS. 101:
6-7 tentang timbangan amal perbuatan di hari kemudian", Abduh menulis:
"Cara tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima
sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui
oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah Abduh
terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan
menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagai mana sikap yang ditempuh
oleh sahabat Umar bin Khattab ketika membaca abba dalam sura Abasa (QS. 80: 32)
yang berbicara tentang anekaragam nikmat tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.
Dari
segi syarat penafsir, khususnya bagi penafsir yang mendalam dan menyeluruh,
ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai
berikut : (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b)
pengetahuan tentang ilmu Al-Qur'an, sejarah turunnya, hadis-hadis nabi, dan
ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; (d)
pengetahuan tentang disipin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka
yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan
Al-Qur'an.
Dalam
hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi:
- Manafsirkan
berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat
Al-Qur'an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak
berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang
dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi
syarat di atas.
Seorang
mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam tafsir an-Nur karya Prof. Hasby
As-Shiddiqie, atau al-Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan
kesimpulan tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat.
Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi
apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir,
maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia
akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.
- Faktor-faktor
yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:
-
Subjektivitas
mufassir;
-
Kekeliruan
dalam menerapkan metode atau kaidah;
-
Kedangkalan
dalam ilmu-ilmu alat;
-
Kedangkalan
pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
-
Tidak
memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi
sosial masyarakat;
-
Tidak
memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicara ditujukan.
Karena
itu, dewasa ini akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama
para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an.
Di
samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya
pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Qur'an, masih ditemukan pula beberapa
perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahasa.
5.
Adanya
lafadz Isytirak
Lafadz
arab mempunyai beberapa pembagian dilihat dari sudut adalah maknanay.
Diantaranya adalah lafadz musytarak.
Secara
etimologi musytarak mempunyai makna:
المشترك
هو اللفظ الموضوع واحد من معنيين فأكثر.
Seperti
kata yang mempunyai makna; mata, sungai
mata air, sesuatu yang ada, emas, suatu dzat, dan sebagainya. Kata مولى mempunyai makna;
raja, hamba, orang yang membebaskan budak, kerabat dekat, tetangga, dan
sebagainya.
Kata
isytarak bisa dibentuk dari akar kata yang berupa isim, seperti tersebut di
atas, dan boleh berupa fi'il seperti قضى yang berarti mengadili atau memberi keputusan sebagai mana
firman Allah:
فَلاََ
وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا(النساء/4 :26)
Di
dalam Al-Qur'an banyak kita jumpai bentuk bentuk musytarak seperti ini yang
merupakan penyebab perbedaan dalam memahami nash.[8]
6.
Adanya
Kontradiksi Dalil
Diantara
penyebab perbedaan dalam memahami nash adalah adanya kontradiksi dalil menurut
"pandangan semu kita". Penulis mengatakan "menurut pandangan
semu kita" karena pada hakikatnya tidak ada kontradiksi dalil. Sebab
dalil-dalil tersebut berasal dari sumber yang sama yaitu Allah SWT sama saja
apakah berasal dari Al-Qur'an atau al-Sunnah.
Allah
SWT berfirman :
أَفَلاَ
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا(النساء/4 :82)
Adapun
mengenai ayat yang dhahirnya terlihat kontradiksi, al-syafi'i mengomentarinya
sebagai suatu tata bahasa yang boleh jadi dimaksudkan sebagai ayat am sedangkan
yang lain khas, muthlaq dan muqayyad, yang terkadang terlihat kontradiktif
karena perubahan illat yang terjadi dan sebagainya. Kontradiksi ayat juga bisa
diakibatkan adanya kasus nasikh dan mansukh yang dimunculkan oleh syari'.
PENUTUP
Perbedaan
dalam memahami nash merupakan suatu keharusan yang musti terjadi karena
perbedaan kecenderungan, bakat, minat, dan problema yang dihadapi. Boleh jadi
nash memang memungkinkan untuk dipahami dan ditafsirkan lebih luas sebagai
hikmah ilahiyah yang diberikan kepada manusia agar ia lebih leluasa dalam
menjalankan kewajiban beribadah yang dibebankan kepadanya. Dalam pengertian ini
perbedaan dalam memahami nash merupakan suatu rahmat sesuai dengan maslahat
manusia.
Di
samping itu, perbedaan sudut pandang juga mempunyai peranan penting dalam
memahami nash. Tidak semua perbedaan membawa rahmat ataupun membawa bencana.
Terkadang perbedaan ini timbul sebagai akibat keterbatasan manusia dan
kekurangan yang terjadi pada dirinya, bahkan kecerobohan yang diakibatkan oleh
manusia sendiri. Wallahu a'lam bi al-showab.
REFERENSI
Abdul Wahab Abdul Slam Thowilah, Atsar
Al-Lughoh Fi Ikhtilafi Al-Mujtahidin, (Cairo: Darussalam, 1414 H)
Abdullah Darraz, Al-Naba' Al-Adhim, (Mesir:
Dar Al-Urubah, 1960)
Adil Muhamad, Muhammad Darwisy, Nadhorot
Fi Al-Sunnah Wa Ulum Al-Hadis, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1998)
Imam Muwaffiq Al-Dinabdullah Bin Ahmad Bin
Qudamah Al-Maqdisi, Raudhah Al-Nazir Wa Jannatu Al-Munadzir, (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994)
Kamil Musa, Al-Mudkhol Ila Al-Tasyri'
Al-Islamiy, Beirut: Libanon, 1989, Cet. I,
Musthafa Sa'id Al-Khin, Atsar
Al-Ikhtilaf Fi Al-Qawaid Al-Ushuliah Fi Ikhtilafi Al-Fuqaha, (Cairo:
Muassasah Al-Risalah, 1982)
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an,
(Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-10
Al-Suyuthi, Al-Jami' Al-Shoghir,
(Mesir: Al-Mathba'ah Al-Mishriyyah, 1321 H) Cet.I
Al-Suyuti, Alitqan Fi Ulum Al-Qur'an, (Mesir:
Al-Azhar, T.Th), Cet. Ke-2, h.3
Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur'an,
(Mesir : Al-Halabiy, 1957), Jilid II,
Penulis adalah dosen IAIN Raden Intan Bandarlampung Fakultas Ushuluddin Prodi
Tafsir Hadits. Mengajar mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh. S1nya diselesaikan di
Universitas Mu’tah Yordania S2nya di UIN Syahida Jakarta.
[1] Abdul
Wahab Abdul Salam Thowilah, Op.Cit., h.71
[2]
Raudhah Al-Nadzir, h.34
[3]
Dr. Adil Muhamad, Muhammad Darwisy, Nadhorot Fi Al-Sunnah Wa Ulum Al-Hadis, (Jakarta:
Tanpa Penerbit, 1998), h.45
[4] Abdullah
Darraz, Al-Naba' Al-Adhim, (Mesir: Dar Al-Urubah, 1960), h.111
[5] Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1995),
Cet. Ke-10, h.74
[6] Al-Zarkasyi,
Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur'an, (Mesir : Al-Halabiy, 1957), Jilid II, h.164
[7] Al-Suyuti,
Alitqan Fi Ulum Al-Qur'an, (Mesir: Al-Azhar, T.Th), Cet. Ke-2, h.3
[8] Dr.
Musthafa Sa'id Al-Khin, Op.Cit., h.70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar