Sabtu, 17 Maret 2012

SEBAB-SEBAB IKHTILAF ULAMA DALAM MEMAHAMI AL-QUR'AN DAN AL-SUNNAH


SEBAB-SEBAB IKHTILAF ULAMA DALAM MEMAHAMI
AL-QUR'AN DAN AL-SUNNAH


Mahmudin Bunyamin




Abstrak

Rasulullah saw meninggal dunia memenuhi panggilan Rab-Nya dengan meninggalkan sesuatu yang dijadikan pedoman bagi umat-Nya yang berupa Al-Qur'an dan al-Sunnah. Di samping itu beliau saw telah meninggalkan para sahabat yang selalu berinteraksi dengan-Nya dalam setiap kehidupannya, melihat segala prilaku dan tindak-tanduknya, mendengarkan segala sabda-Nya, menyaksikan turunnya wahyu, mempelajari asbab nuzulnya, sehingga memberikan mereka kemampuan untuk memahami dan mempelajari Al-Qur'an dan al-sunnah.

Kata kunci : Perbedaan pendapat merupakan hikmah ilahiyah.

 

PENDAHULUAN


    Boleh jadi terjadi kerancuan pada diri sebagian manusia bahwa perbedaan pendapat dalam Islam timbul akibat tabiat Islam sendiri. Kerancuan seperti ini akan merusak aqidah seorang muslim. Padahal perbedaan pendapat bagi umat Islam merupakan rahmat selama tidak menyentuh aqidah, dan terbatas hanya pada masalah furu'. Perbedaan pendapat merupakan kecenderungan manusia karena perbedaan kondisi, bakat, yang berasal dari naluri kemanusiaannya dan berkaitan dengan hikmah Ilayiyah dalam pengaturan alam.
Bahkan jenis ikhtilaf seperti ini sesuai dengan syari'at samawi yang lain, Allah SWT berfirman:

وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ(78)فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلاَّ ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ (الانبياءظ21: 78-79)

Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya.

Dua nabi ini berselisih dalam satu kasus yang sama, maka Allah memberi keistimewaan salah satu dari keduanya, dan memberikan kepada masing-masing hikmah dan ilmu.
Munculnya perselisihan dalam pengangkatan khalifah adalah perbedaan pertama yang terjadi pada para sahabat setelah nabi Muhammad meninggal dunia. Dan perbedaan ini akan terus berlangsung selama manusia mempunyai pendapat dan akal.[1]
Perbedaan pendapat pada masa Abu Bakar dan Umar sangat sedikit sekali. Karena para sahabat belum berpencar ke penjuru daerah. Mereka selalu meminta fatwa kepada khalifah ketika ada permasalahan. Barulah kemudian perbedaan meluas setelah kepergian mereka berdua, selain karena para sahabat mulai menyebar ke daerah-daerah futuhat, yang mana mereka mengajarkan ajaran Islam sesuai dengan kemampuan dan pemahaman masing-masing.


SEBAB-SEBAB PERBEDAAN DALAM MEMAHAMI NASH

1.      Perbedaan Qira’at
Perbedaan qira’at merupakan salah satu penyebab perbedaan antara para fuqaha dalam memahami nash. Karena akan menimbulkan perubahan makna dan hukum, terlebih apabila berupa qira’at syadzah. Al-Amidi di dalam al-Ihkam fi ushul ahkam mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut :
هو ما نقل إلينا بين دفتي المضحف تواترا

Sedangkan al-Ghazali dalam al-Mustashfa mendefinisikannya sebagai:

هو ما نقل إلينا بين دفتي المضحف على الأحرف السبعة المشهورة متواترا

Terlihat titik point yang jelas bahwa tidak dinamakan Al-Qur'an kecuali apabila diriwayatkan dengan sanad yang mutawatir. Maka apabila tidak demikian maka tidak dianggap sebagai Al-Qur'an.
Tetapi diantara para ulama masih berselisih pendapat tentang ayat yang diriwayatkan tidak dengan sanad yang mutawatir sebagaimana yang terdapat dalam mushaf Ibnu Mas’ud. Apakah layak untuk dijadikan sebagai hujjah atau tidak? Abu Hanifah menganggapnya sebagai riwayat yang layak dan sah dijadikan hujjah. Sedangkan al-Amidi, Ibnu Hajib, Ahmad bin Hambal, dan al-Syafi’i (dalam suatu riwayat) menganggapnya sebagai riwayat yang tidak layak dan sah untuk dijadikan sebagai hujjah. Tetapi dalam riwayat lain yang terdapat dalam mukhtashor al-Buwaithi, al-Syafi’i menganggapnya sebagai hujjah sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan pengikutnya, serta Hanabilah dengan alasan bahwa riwayat qiro’ah syadzah merupakan satu dari dua alternatif, Al-Qur'an atau al-hadits sebagai penjelas. Maka mereka berijtihad dan menganggapnya sebagai Al-Qur'an, sebagai wajib mengamalkannya bagi yang menilainya demikian.[2]
Salah satu contoh perbedaan qira’at pada zaman sahabat adalah perbedaan dalam kefardhuan wudhu apakah membasuh atau mengusap.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ اامَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة:6)

Nafi’, Ibnu Amir, dan Kasa’i membaca kata وَأَرْجُلَكُمْ dengan nasab sedangkan Ibnu Katsir, Abu Amru, dan Hamzah membacanya dengan Jar. Jumhur ulama mengambil pendapat bahwa kata وَأَرْجُلَكُمْ dibaca nasab sehingga kewajiban mencuci kaki dalam berwudhu adalah membasuhnya tanpa mengusap dengan alasan sebagai berikut :
  1. Hadis Rasulullah yang berbunyi:
مارواه عبد الله بن عمرو، قال : تخلف عنا رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ في سفرة، فادر كنا وقد العصر، فجعلنا نتوضا ونمسح على ارجلنا، قال فنادى رَسُوْلُ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ باعلى صوته: نيل للأعقاب من النار مرتين أو ثلاثا. (رواه البخاري) ومعنى أرهقنا العصر: أنهم أخروها فلم يصلو ها إلا في أخر وقتها.

  1. Bahwa sunnah rasulullah dalam mencuci kaki dalam wudhu membasuh kedua kaki atau mengusap khuffain (sepatu)
  2. Bahwa Allah memberi batas kaki sampai mata kaki sebagaimana dalam batas tangan sampai siku, maka menunjukkan persamaan kewajiban membasuh sebagaimana tangan.

2.      Tidak adanya penguasaan terhadap hadis.
Sahabat-sahabat rasulullah SAW tidak mempunyai kemampuan yang merata dalam penguasaan terhadap hadis. Akan tetapi mereka mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, bahkan diantara mereka hanya menguasai satu atau dua hadis saja. Fenomena ini disebabkan hadis, fataw, qadho (pengadilan) yang dilakukan oleh rasulullah SAW hanya dapat disaksikan dan atau diketahui oleh orang yang hadir saja dan orang-orang yang diberi khabar oleh orang yang menyaksikannya langsung. Dalam kesempatan majlis yang lain beliau berdialg atau berfatwa atau mengadili yang disaksikan oleh sahabat yang lain yang tidak menyaksikan sabda beliau yang pertama sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh seorang sahabat belum tentu dimiliki oleh sahabat yang lain. Pendapat dan analisa seorang sahabat belum tentu sama dengan sahabat yang lain. Dan belum ada seorangpun sepanjang pengetahuan penulis yang sampai pada derajat penguasaan terhadap semua hadis rasulullah saw. Hal ini pun juga menimpa sahabat bahkan khulafaurrasyidin yang notabene mengetahui hampir segala aktifitas nabi Muhammad saw.
Abu Bakar yang selalu bersama rasulullah SAW ketika menetap di suatu tempat ataupun ketika bepergian, pada masa khilafahnya pernah bertanya tentang masalah hak waris bagi seorang nenek. Beliau tidak bisa memecahkan persoalan tersebut sampai akhirnya Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin musallamah bersaksi bahwa rasulullah pernah memutuskan memberikan seorang nenek bagian warisannya sebesar seperenam. Umar bin Khattab belum mengetahui bahwa seorang wanita mendapat warisan dari diat suaminya sampai akhirnya al-Dhohhak bin sufyan mengirimnya sepucuk surat – sedangkan beliau adalah duta besar Rasulullah SAW di sebagian pelosok daerah-bahwa Rasulullah SAW memberikan warisan kepada seorang wanita dari diat suaminya. Sehingga Umar mengubah pendiriannya dan berbalik arah.


3.      Keraguan dalam sanad hadis
Para sahabat tidak hanya meneliti kekuatan sanad hadis ketika meriwayatkan dan melaksanakannya bahkan lebih dari itu mereka mengadakan penelitian matan (isi) hadis dengan menyamakan dan membandingkannya dengan nash Al-Qur'an dan qawaid al-din. Apabila bertentangan maka mereka menolaknya.
Imam muslim meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. Mendengar hadis Fathimah binti Qais bahwa suaminya menceraikannya dengan talak tiga sedangkan Rasulullah tidak memberikan keputusan hukum untuk memberikan tempat tinggal dan nafkah. Menanggapi riwayat ini Umar berkomentar bahwa kami tidak meninggalkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya hanya dengan mendengar perkataan seorang anita yang kita tidak mengetahuinya yang boleh jadi ia hafal atau lupa. Karena sesungguhnya dia berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal berdasarkan firman Allah azza wa jalla:

.... لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ... (الطلاق/65 : 1)

Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Aisyah ketika mendengar hadis yang diriwayatkan oleh Umar dan anaknya, Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه (رواه البخاري)

Secara spontan beliau berkomentar bahwa : “Semoga Allah menyayangi Umar, demi Allah Rasulullah saw tidak pernah bersabda bahwa seorang mukmin akan disiksa dalam kubur dengan adanya ratapan dari keluarganya. Akan tetapi beliau bersabda :

إن الله يزيد الكار عذابا ببكاء أهله عليه وقالت حسبكم القرآن (ولا تزر وازرة وزر أخرى)

Sesungguhnya Allah menambah adzab bagi orang kafir dengan adanya ratapan keluarganya untuknya seraya Aisyah berkata: “Cukuplah bagi beliau makna ;Al-Qur'an yang berbunyi: ‘seseorang tidak menanggung beban dosa orang lain’.”

Meskipun pemahaman Aisyah ini dibantah dengan pemahaman bahwa hadis tersebut dimaksudkan bagi orang yang berasiat kepada keluarganya untuk meratapi kematiannya, namun tidak dapat disangkal bahwa para sahabat memang melakukan penyelesaian yang super ketat terhadap periwayatan hadis.[3]


4.      Perbedaan dalam memahami nash dan tafsirnya
Pada saat Al-Qur'an diturunkan, rasul SAW yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai wafatnya Rasulullah saw walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul SAW sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Qur'an.
Kalau pada masa rasul SAW para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur'an kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dai kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, seperti: Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Abbas; muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab; dan al-Hasan al-Bashriy, Amir al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul SAW, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai tafsir bi al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan afsir.
Berlakunya periode pertama tersebut sampai dengan berakhirnya tabi'in sekitar tahun 150, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini, hadits-hadits telah beredar sedemikian pusatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa nabi Muhammad saw, para sahabat, dan tab'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosa kata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang, dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya, keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qur'an, yang keadaannya seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam al-Naba' al-Adhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda memperselisihkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang and lihat."[4]
Muhammad Arkoun, seorang pemikir al-Jazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Qur'an memberi kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain: (a) corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang saster. Sehingga dirasakan sebagai kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini. (b) Corak filsafat dan teologi, akiba penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka, kesemuanya menimbulkanpendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka. (c) Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan danusaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu. (d) Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka tentang ayat hukum. (e) Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau berbagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. (f). bermula pada masa syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M.), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastera budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[5]
Dilain segi, sejarah perkembangan tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushaf.
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Qur'an terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembaca secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Qur'an sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya al-Syathibi (w.1388 M.), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, tafsir Al-Qur'an al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh al-Syathibi tersebut, Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun yang ditempuh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Qur'an dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan  yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode maudhu'iy gaya Muhammad Syaltut di atas.
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Qur'an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Qur'an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Qur'an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Memang, menurut para ulama, penafsiran nabi saw bermacam-macam, baik dari segi cara, motif, maupun hubungan antara penarsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan. Misalnya, ketika menafsirkan sholah al-Wustha dalam QS.2: 238 dengan shalat asar,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوْا للهِ قَانِتِينَ(البقرة/: 238)

Penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan Qs.40: 60, tentang arti perintah berdo'a, beliau menafsirkannya dengan beribadah.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ(المؤمن / 40 :60)

Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS, 13:27

يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللهُ مَا يَشَاءُ(إبراهيم/14 :27)

Kata akhirat ditafsirkan dengan "kubur". Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.
Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan nabi tentang arti ayat-ayat Al-Qur'an tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak, dan sebagainya tidak dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya, tetapi juga "karena nabi sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Qur'an". Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masin-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
Ibnu Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali Allah."[6]
Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Qur'an yang tak dapat diketahui kecuali Allah dan oleh rasul beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Qur'an kepada muhkam dan mutasyabih, dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam ilmu pengetahuannya berkata kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih. (QS. 3:7).[7] Atau (b) ada ayat ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat dialami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
Apapun yang yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan maslah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari nabi saw.
Karena itu, seorang ahli hadis kenamaan, al-Hakim al-Naisaburi, menolak tafsiran sahabat nabi, Abu Hurairah, tentang ayat "neraka saqar adalah pembakar kulit manusia" untuk dinisbatkan kepada Rasul saw.

لاَ تُبْقِي وَلاَ تَذَرُ.  لَوَّاحَةٌ لِلْبَشَرِ(المدثر/74 : 27-29)

Tahukah kamu apa (neraka) saqar itu (QS. 74:27) Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (QS. 74:28)  (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. (QS. 74:29)

Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905), salah seorang ahli tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat samara atau tidak terperinci oleh Al-Qur'an." Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS. 101: 6-7 tentang timbangan amal perbuatan di hari kemudian", Abduh menulis: "Cara tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagai mana sikap yang ditempuh oleh sahabat Umar bin Khattab ketika membaca abba dalam sura Abasa (QS. 80: 32) yang berbicara tentang anekaragam nikmat tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.
Dari segi syarat penafsir, khususnya bagi penafsir yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut : (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu Al-Qur'an, sejarah turunnya, hadis-hadis nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; (d) pengetahuan tentang disipin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Qur'an.
Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi:
  1. Manafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Qur'an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.
Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam tafsir an-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau al-Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir, maka apa yang dilakukannya tidak dapat direstui, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.
  1. Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:
-          Subjektivitas mufassir;
-          Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah;
-          Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
-          Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
-          Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat;
-          Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicara ditujukan.
Karena itu, dewasa ini akibat semakin luasnya ilmu pengetahuan, dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Di samping apa yang telah dikemukakan di atas, yang mengakibatkan adanya pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Qur'an, masih ditemukan pula beberapa perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan, dan bahasa.


5.      Adanya lafadz Isytirak
Lafadz arab mempunyai beberapa pembagian dilihat dari sudut adalah maknanay. Diantaranya adalah lafadz musytarak.
Secara etimologi musytarak mempunyai makna:

المشترك هو اللفظ الموضوع واحد من معنيين فأكثر.

Seperti kata   yang mempunyai makna; mata, sungai mata air, sesuatu yang ada, emas, suatu dzat, dan sebagainya. Kata مولى mempunyai makna; raja, hamba, orang yang membebaskan budak, kerabat dekat, tetangga, dan sebagainya.
Kata isytarak bisa dibentuk dari akar kata yang berupa isim, seperti tersebut di atas, dan boleh berupa fi'il seperti قضى yang berarti mengadili atau memberi keputusan sebagai mana firman Allah:

فَلاََ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا(النساء/4 :26)

Di dalam Al-Qur'an banyak kita jumpai bentuk bentuk musytarak seperti ini yang merupakan penyebab perbedaan dalam memahami nash.[8]


6.      Adanya Kontradiksi Dalil
Diantara penyebab perbedaan dalam memahami nash adalah adanya kontradiksi dalil menurut "pandangan semu kita". Penulis mengatakan "menurut pandangan semu kita" karena pada hakikatnya tidak ada kontradiksi dalil. Sebab dalil-dalil tersebut berasal dari sumber yang sama yaitu Allah SWT sama saja apakah berasal dari Al-Qur'an atau al-Sunnah.
Allah SWT berfirman :

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا(النساء/4 :82)

Adapun mengenai ayat yang dhahirnya terlihat kontradiksi, al-syafi'i mengomentarinya sebagai suatu tata bahasa yang boleh jadi dimaksudkan sebagai ayat am sedangkan yang lain khas, muthlaq dan muqayyad, yang terkadang terlihat kontradiktif karena perubahan illat yang terjadi dan sebagainya. Kontradiksi ayat juga bisa diakibatkan adanya kasus nasikh dan mansukh yang dimunculkan oleh syari'.


PENUTUP

Perbedaan dalam memahami nash merupakan suatu keharusan yang musti terjadi karena perbedaan kecenderungan, bakat, minat, dan problema yang dihadapi. Boleh jadi nash memang memungkinkan untuk dipahami dan ditafsirkan lebih luas sebagai hikmah ilahiyah yang diberikan kepada manusia agar ia lebih leluasa dalam menjalankan kewajiban beribadah yang dibebankan kepadanya. Dalam pengertian ini perbedaan dalam memahami nash merupakan suatu rahmat sesuai dengan maslahat manusia.
Di samping itu, perbedaan sudut pandang juga mempunyai peranan penting dalam memahami nash. Tidak semua perbedaan membawa rahmat ataupun membawa bencana. Terkadang perbedaan ini timbul sebagai akibat keterbatasan manusia dan kekurangan yang terjadi pada dirinya, bahkan kecerobohan yang diakibatkan oleh manusia sendiri. Wallahu a'lam bi al-showab.




REFERENSI

Abdul Wahab Abdul Slam Thowilah, Atsar Al-Lughoh Fi Ikhtilafi Al-Mujtahidin, (Cairo: Darussalam, 1414 H)
Abdullah Darraz, Al-Naba' Al-Adhim, (Mesir: Dar Al-Urubah, 1960)
Adil Muhamad, Muhammad Darwisy, Nadhorot Fi Al-Sunnah Wa Ulum Al-Hadis, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1998)
Imam Muwaffiq Al-Dinabdullah Bin Ahmad Bin Qudamah Al-Maqdisi, Raudhah Al-Nazir Wa Jannatu Al-Munadzir, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994)
Kamil Musa, Al-Mudkhol Ila Al-Tasyri' Al-Islamiy, Beirut: Libanon, 1989, Cet. I,
Musthafa Sa'id Al-Khin, Atsar Al-Ikhtilaf Fi Al-Qawaid Al-Ushuliah Fi Ikhtilafi Al-Fuqaha, (Cairo: Muassasah Al-Risalah, 1982)
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-10
Al-Suyuthi, Al-Jami' Al-Shoghir, (Mesir: Al-Mathba'ah Al-Mishriyyah, 1321 H) Cet.I
Al-Suyuti, Alitqan Fi Ulum Al-Qur'an, (Mesir: Al-Azhar, T.Th), Cet. Ke-2, h.3
Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur'an, (Mesir : Al-Halabiy, 1957), Jilid II,



Penulis adalah dosen IAIN Raden Intan Bandarlampung Fakultas Ushuluddin Prodi Tafsir Hadits. Mengajar mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh. S1nya diselesaikan di Universitas Mu’tah Yordania S2nya di UIN Syahida Jakarta.            
[1] Abdul Wahab Abdul Salam Thowilah, Op.Cit., h.71
[2] Raudhah Al-Nadzir, h.34
[3] Dr. Adil Muhamad, Muhammad Darwisy, Nadhorot Fi Al-Sunnah Wa Ulum Al-Hadis, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1998), h.45
[4] Abdullah Darraz, Al-Naba' Al-Adhim, (Mesir: Dar Al-Urubah, 1960), h.111
[5] Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. Ke-10, h.74
[6] Al-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulum Al-Qur'an, (Mesir : Al-Halabiy, 1957), Jilid II, h.164
[7] Al-Suyuti, Alitqan Fi Ulum Al-Qur'an, (Mesir: Al-Azhar, T.Th), Cet. Ke-2, h.3
[8] Dr. Musthafa Sa'id Al-Khin, Op.Cit., h.70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar