REORIENTASI
WACANA PENAFSIRAN
AYAT-AYAT
TENTANG PEREMPUAN
Siti Masykuroh
ABSTRAK
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran
Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara laki-laki maupun perempuan,
dan antara bangsa, suku dan keturunan. Banyak ayat al-Qur’an telah menunjukkan
bahwa laki-laki dan perempuan adalah semartabat sebagai manusia, terutama
secara spiritual. Al-Qur’an menyajikan topik perempuan dalam banyak ayat dan
berbagai surat. Namun yang paling banyak adalah dalam surat an-Nisa’, di samping
itu surat at-Thalaq sebagiannya juga menyajikan masalah perempuan.
Meskipun secara normatif al-Qur’an
memihak pada kesamaan status antara laki-laki dan perempuan, tetapi secara
tekstual al-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu laki-laki daripada
perempuan, akan tetapi dengan mengabaikan konteksnya –sebagaimana dikemukakan
Asghar Ali- tidak ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya
sama sekali. Al-Qur’an adalah kitab suci yang keberadaannya abadi, penafsiran
terhadapnya tidak bisa dihindari sebagai sesuatu yang relatif
Tulisan ini bukanlah merupakan gugatan
terhadap teks-teks suci al-Qur’an itu sendiri, melainkan penafsiran terhadap
teks-teks tersebut yang sangat tekstual, dan kurang mementingkan konteks
sosial, bahkan dalam beberapa hal sangat dipengaruhi oleh bias dominasi
laki-laki terhadap perempuan. Reorientasi terhadap penafsiran yang cenderung
mendiskreditkan perempuan adalah sesuatu yang niscaya karena perempuan bukanlah
makhluk nomor dua yang keberadaannya hanya sekedar sebagai pelengkap kaum
laki-laki.
Pendahuluan
Perempuan
sebagai kenyataan sosial masyarakat Arab di masa Nabi Muhammad saw, adalah
menjadi salah satu concern
yang ingin dibela al-Qur’an, di samping kelompok budak, kaum fakir miskin,
anak-anak yatim, dan sederet kaum lemah lainnya. Bahkan secara khusus al-Qur’an
mendokumentasikannya dalam satu surat khusus yang bernama an-Nisa’. Tentu saja
masih ada beberapa surat lain yang juga secara sporadis membicarakan perempuan
–seperti halnya surat at-thalaq- hanya saja, dibandingkan surat an-Nisa’,
surat-surat lain itu membicarakannya secara pendek.
Surat
an-Nisa’ ini sering menjadi rujukan bagi para aktifis muslim pembela perempuan,
dan sebaliknya ia juga menjadi sandaran para mufassir yang mendeskripsikannya.
Sebab, memang dalam surat ini, ide tentang kepemimpinan rumah tangga, poligami,
warisan dan sebagainya yang menjadi rujukan tentang perempuan dalam pandangan
Islam dapat dilacak. Tentu saja, satu sumber (dalam hal ini al-Qur’an) bisa menghasilkan pemahaman dengan dua
pola (antara yang membela dan yang mendeskripsikannya, dan bahkan bisa ada beberapa pola pemahaman
dalam merespon perempuan). Hal ini bukanlah merupakan suatu yang aneh.
Hal
ini disebabkan karena al-Qur’an (dan juga surat an-Nisa’) diturunkan saat rezim
patriarkhi Arab masih sangat kokoh, dan di sisi lain juga karena ada keinginan
al-Qur’an untuk membebaskan perempuan dari budaya yang mendiskriminasikannya
itu. Dalam situasi seperti ini, penafsir yang setia dengan penindasan
perempuan, dengan cakram patriarkhinya dan tidak memahami konteks sosialnya
akan dengan teguh pula mengutip surat an-Nisa’ dengan tanpa peka atas ide
pembebasan perempuan, bahkan justru digunakan untuk mendiskriminasikannya.
Sedangkan penafsir yang concern
dengan kesetaraan manusia dalam
al-Qur’an dan bisa membaca konteks sosial ayatnya, sebaliknya akan dengan cepat
menangkap ide pembebasan perempuan. Secara sederhana makalah ini akan membahas
persoalan tersebut.
Sebaran Surat-surat Dalam al-Qur’an yang Berbicara
Tentang Perempuan
Perbincangan
tentang perempuan dalam al-Qur’an tidak hanya terdapat dalam surat an-Nisa’,
tetapi juga dalam surat-surat lain yang lebih dari sepuluh surat, meskipun
surat-surat tersebut tidak dinamakan an-Nisa’. An-Nisa’ adalah surat keempat
dalam al-Qur’an yang sering disebut an-Nisa’
al-Kubra, karena paling banyak membicarakan masalah perempuan. Penamaan
ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan surat lain yang juga membicarakan
tentang perempuan dalam banyak ayat-ayatnya, yaitu surat at-Thalaq, sehingga
dinamakan an-Nisa’ ash-Shughra.1 Surat al-Baqarah juga membicarakan
perkara perempuan dalam dua per empat bagian besar (rubu’ain ‘azhimain) ayat-ayatnya.2 Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat
221 diterangkan hukum laki-laki muslim mengawini perempuan musyrikah, dan juga
menerangkan hukum perempuan muslimah kawin dengan laki-laki musyrik.
ولا تنكحوا المشركات حتّى يؤمنّ,
ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم, ملا تنكحوا المشركين حتّى يؤمنوا, ولعبد
مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم, اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنّة
والمغفرة بإذنه و يبيّن آياته للنّاس لعلّهم يتذكّرون
Artinya : “Dan janganlah kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik
daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hati kalian. Dan janganlah
kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin),
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada
laki-laki musyrik, sekalipun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke
neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran”. (QS.al-Baqarah/2:221)
Al-Qur’an
juga tidak membenarkan tradisi membahayakan yang sering dilakukan oleh
orang-orang jahiliyah terhadap kaum perempuan
و بسألونك عن المحيض, قل هو أذى فاعتزلوا النساء فى المحيض,
ولاتقربوهنّ حتّى يطهرن, فإذا تطهّرن فأتوهنّ من حيث أمركم الله, إنّ الله يحبّ
التوّابين و يحبّ المتطهّرين. نساءكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنّى شئتم, وقدّموا
لأنفسكم واتّقوا الله واعلموا أنّكم ملقوه, وبشّر المؤمنين.
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, karakanlah:”haid
itu kotoran”. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari perempuan
di waktu haid. Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci.
Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan
Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Isteri-isteri kalian bagaikan kebun
tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah kebun tempat kalian bercocok
tanam itu, bagaimanapun kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik)
untuk diri kalian. Dan bertakwalah kepada Allah. Dan ketahuilah, bahwa kalian
kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
beriman”. (QS.al-Baqarah/2:222-223)
Al-Qur’an juga tidak membenarkan
mu’amalah orang-orang jahiliyah yang menyakiti kaum perempuan seperti
memperjualbelikan perempuan dan tukar menukar teman tidur. Di samping itu
al-Qur’an menerangkan ţalaq raj’i
(talak yang masih membolehkan suami untuk merujuk kembali isterinya) dan ţalaq ba’in (talak yang tidak
membolehkan suami untuk merujuk kembali isterinya, kecuali setelah ia dinikahi
dan dicerai oleh laki-laki lain). Diterangkan bahwa perempuan mempunyai hak
untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan, kalau memang suami
memperlakukannya dengan buruk dan tidak mau menalaknya. Selain itu, al-Qur’an
menerangkan persamaan perempuan dengan laki-laki dalam menerima dan memberikan
hak bersuami isteri. Al-Qur’an memerintahkan agar suami memperlakukan isterinya
secara baik (ma’ruf) atau
menceraikannya secara baik pula, dan memberikan peringatan kepada orang-orang
yang melarang jandanya kawin, dan bahkan melarang perempuan kawin kepada
orang-orang yang dipandang tamak akan hartanya serta membahayakan dirinya.3 Dalam hal kemitraan suami dan isteri,
masih di dalam surat al-Baqarah dijelaskan bahwa isteri adalah partner suami,
dalam mengurus dan menyusui anak. Suami tidak dibenarkan memutuskan urusan ini secara
sepihak, kecuali bila didasarkan atas musyawarah dan saling meridhoi.
Dalam surat al-Maidah ayat kelima,
al-Qur’an menerangkan tentang halalnya mengawini ahli kitab yang menjaga
kehormatan mereka. Perkawinan seperti ini memberikan hak suami isteri yang sama
dengan hak kaum perempuan mukminat yang menjaga kehormatan mereka.
Masalah perempuan juga dipaparkan
dalam surat an-Nur. Al-Qur’an menerangkan tentang hal-hal yang menyeret kaum
perempuan ke dalam perbuatan yang menodai kehormatan, kemuliaan dan kedudukan
mereka. Juga menjelaskan hukum orang yang berlebihan di dalam menuduh mereka
berbuat keji, baik yang menuduh itu suami atau bukan. Kemudian al-Qur’an juga
mensyari’atkan tatakrama yang wajib diterapkan oleh kaum laki-laki ketika
hendak bertemu dengan kaum perempuan di rumah. Ketentuan ini ditetapkan demi
menjaga agar aurat tidak terlihat, ketika mereka sedang mengenakan pakaian
sehari-hari dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.4
Keterangan ini terdapat dalam surat an-Nur 31-33.
Dalam surat al-Ahzab, Al-Qur’an
menjelaskan perkara kaum perempuan, memecahkan berbagai problem rumah tangga
dan adab-adab yang wajib mereka lakukan. Surat ini telah menjadikan
isteri-isteri Rasulullah sebagai teladan yang hidup dalam hal-hal yang patut
dijadikan landasan hidup utama oleh isteri yang shalehah. Keterangan ini dapat
dilihat dalam ayat 30-59.
Surat al-Mujadalah juga memuat
perkara kaum perempuan. Al-Qur’an memperhatikan pendapat kaum perempuan dan
menetapkannya sebagai landasan tasyri’
yang umum dan abadi. Dengan demikian ayat-ayat zihar
yang merupakan awal surat tersebut, sebagai salah satu pemikiran perempuan
dalam lembaran Ilahi yang abadi dan mencerminkan gambaran penghormatan Islam
terhadap perempuan di sepanjang zaman. Islam tidak seperti yang diduga oleh
sejumlah orientalis yang memusuhi Islam, yang memandang perempuan sebagai
makhluk yang berada di bawah pimpinan pemikiran dan pendapat laki-laki. Islam
memandang perempuan sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan berpendapat,
sedangkan pendapatnya itu mempunyai harga dan timbangannya tersendiri.
Aus bin
Ash-Shamit berkata kepada isterinya, Khaulah binti Tsa’labah : “Bagiku engkau seperti punggung ibuku”.
Menurut kebiasaan yang berlaku pada masa jahiliah, apabila suami mengatakan
perkataan seperti itu kepada isterinya, maka haram bagi suami untuk
mencampurinya lagi. Kemudian Aus memanggil isterinya untuk bercampur dengannya,
namun ia enggan dan berkata :”
Demi Allah yang diri Khaulah berada dalam kekuasaannya, engkau tidak dapat lagi
bercampur denganku, karena engkau telah mengatakan seperti yang telah engkau
katakan itu, sebelum Allah dan Rasul-Nya memberi keputusan”. Kemudian
Khaulah menghadap Rasul seraya berkata : “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Aus telah mengawini aku sewaktu aku masih gadis muda
yang dicintainya, namun tatkala usiaku telah lanjut dan perutku telah
mengendur, dia membiarkan aku seperti ibunya dan membiarkan aku hidup tanpa
orang yang menanggungku. Jika engkau menemukan keringanan bagiku wahai
Rasulullah, katakanlah kepadaku”. Rasulullah bersabda :”Hingga kini aku belum pernah
diperintahkan untuk melakukan sesuatu tentang perkara seperti perkaramu. Aku
hanya berpendapat tentang perkara itu, bahwa kamu telah diharamkan baginya
(Aus)”.
Khaulah
terus menerus membantah dan menyanggah Rasulullah, bahwa yang diucapkan Aus itu
bukan talak, ia berkata : “Bagaimana
mungkin aku diharamkan baginya? Padahal aku mempunyai anak yang masih
kecil-kecil, apabila dia mengambil mereka ke dalam asuhannya niscaya aku akan
kehilangan mereka. Dan apabila aku mengambil mereka ke dalam asuhanku niscaya
mereka akan kelaparan”. Kemudian Khaulah menengadahkan wajahnya ke
langit seraya berdoa: “Ya Allah
sesungguhnya aku mengadu kepadamu”. Selagi Khaulah masih menengadahkan
tangannya, turunlah empat ayat pertama dari surat al-Mujadalah ini.5
Dalam surat at-Tahrim, al-Qur’an menjelaskan
perkara yang berlangsung antara para isteri Rasul, yang juga berlaku bagi
seluruh isteri orang Islam di setiap masa dan tempat. Di dalam surat ini telah
diputuskan, bahwa perempuan mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri
yang terlepas dari tanggung jawab laki-laki; perempuan shalehah tidak akan
terpengaruh oleh kerusakan dan kesemena-menaan laki-laki; begitupun kebaikan
dan ketakwaan laki-laki, tidak akan bermanfaat bagi perempuan yang jahat. Hal
ini dapat kita lihat pada 3 ayat terakhir dari surat at-Tahrim.
Dari
uraian di atas jelas bahwa terdapat banyak ayat dalam berbagai surat dalam
al-Qur’an yang membahas masalah perempuan. Namun pembahasan yang lebih banyak
dan rinci didalam dua suratnya, yaitu an-Nisa’ dan at-Ţalaq. Tidak sedikit kaum
perempuan yang merasa senang dan gembira, karena Allah memuliakan dan
memperhatikan mereka. Yaitu ketika mereka mendengar dan mengetahui bahwa
al-Qur’an menampilkan perkara mereka dalam seluruh surat ini, dan bahwa di
antara surat-surat ini ada surat yang disebut dengan menggunakan nama mereka
(an-Nisa’), dan banyak menganalisis perkara mereka di seluruh fase kehidupan,
sejak masa kanak-kanak sampai masa perkawinan dan masa menjadi ibu.
Sikap
Islam yang telah membangkitkan rasa gembira dalam hati kaum perempuan, ialah
karena Allah memuliakan mereka, hendaknya sikap seperti ini dapat menarik
perhatian orang-orang yang menuduh bahwa Islam merendahkan kehormatan kaum
perempuan. Diharapkan mereka dapat mengetahui kedudukan kaum perempuan
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam. Dengan harapan mereka akan
berhenti menuduh bahwa Islam tidak memberikan perhatian kepada perempuan,
sebagaimana yang telah diberikan oleh kebudayaan moderen.
Reorientasi Tafsir Berperspektif Gender
Dalam
kurun waktu yang sangat panjang, kenyataan sosial dan budaya memperlihatkan
hubungan laki-laki dan perempuan yang timpang. Kaum perempuan masih diposisikan
sebagai bagian dari laki-laki (subordinasi),
dimarjinalkan bahkan didiskriminasikan. Ini dapat dilihat secara nyata dalam
peran-peran mereka, baik dalam sektor domestik (rumah tangga) maupun publik.
Para pemikir feminis mengemukakan bahwa posisi-posisi perempuan yang demikian
itu selain karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak pada laki-laki,
keadaan timpang tersebut boleh jadi juga dijustifikasi oleh pemikiran kaum
agamawan. Hal ini misalnya terlihat pada penafsiran mereka atas ayat al-Qur’an
pada surat an-Nisa’/4: 34
الرجال
قوّامون على النسآء بما فضّل الله بعضهم على بعض وبمآ أنفقوا من أموالهم
...(النسآء 34)
Artinya : “Laki-laki adalah qawwan atas perempuan,
dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan
karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka” (QS.an-Nisa’/4:34)
Sebagaimana
dikutip oleh Husein Muhammad, Para ahli tafsir mengartikan bahwa qawwam berarti pemimpin,
penanggung jawab, pengatur, pendidik dan sebagainya.6
Kategori-kategori ini sebenarnya tidaklah menjadi persoalan yang serius
sepanjang ditempatkan secara adil dan tidak didasari oleh pandangan yang
diskriminatif. Akan tetapi secara umum para ahli tafsir berpendapat bahwa
superioritas laki-laki ini adalah mutlak. Superioritas ini diciptakan Tuhan,
sehingga tidak akan pernah berubah. Kelebihan laki-laki dari perempuan
sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, oleh para penafsir al-Qur’an
dikatakan karena akalnya dan fisiknya. Ar-Razi dalam tafsirnya misalnya
mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi dua hal yaitu ilmu
pengetahuan/pikiran/akal (al-‘ilm)
dan kemampuan (al-qudrah).
Artinya akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal perempuan, dan bahwa untuk
pekerjaaan-pekerjaan berat laki-laki lebih sempurna.7
Pandangan yang hampir sama juga dikemukakan oleh para penafsir lain, seperti
Ibnu Katsir, az-Zamakhsyari, al-Qurthubi, Muhammad Abduh dan lain-lain.
Akan
tetapi, semua superioritas di atas, dewasa ini tidak dapat lagi dipertahankan
sebagai sesuatu yang berlaku umum dan mutlak. Artinya tidak setiap laki-laki
pasti lebih berkualitas daripada perempuan. Hal ini bukan saja karena dipandang
sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan dasar-dasar kemanusiaan
universal, melainkan juga karena fakta-fakta sosial sendiri telah membantahnya.
Ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa diingkari oleh siapapun. Jaman telah
berubah, sekarang telah semakin banyak kaum perempuan yang memiliki potensi dan
bisa melakukan peran-peran yang selama ini dipandang hanya dan harus menjadi
milik laki-laki. Banyak perempuan yang mampu tampil dalam peran kepemimpinan
domestik maupun publik, dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial.
Oleh karena itu, karakteristik yang menjadi dasar
argumen bagi superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku
sepanjang masa. Akan tetapi merupakan produk dari sebuah proses sejarah, yakni
sebuah proses perkembangan yang terus bergerak maju dari badawah (nomaden) menuju hadharah (berkehidupan menetap,
moderen), dari ketertutupan menjadi keterbukaan, dari kebudayaan tradisional
pada kebudayaan rasional, dan dari pemahaman tekstual pada pemahaman
substansial. Semuanya merupakan sebuah proses sejarah yang berlangsung secara
evolutif dan dinamis. Dan mungkin saja pada saatnya nanti sejarah akan kembali
ke siklus awal.
و تلك الأيّام نداولها بين النّاس (آل عمران 140)
Artinya : “Demikianlah hari-hari Kami pergilirkan
di antara manusia” (Ali Imran/3:140)
Kalau
demikian, maka kita memandang surat an-Nisa’ 34 di atas, harus dipahami sebagai
teks yang bersifat sosiologis dan kontekstual. Posisi perempuan yang
ditempatkan sebagai bagian laki-laki dan laki-laki sebagai pemimpin rumah
tangga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patriarkhi atau peradaban
laki-laki, di mana ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam aspek
ekonomi dan keamanan sangat kuat. Pada masyarakat seperti ini, penempatan
posisi perempuan demikian boleh jadi memang tepat sepanjang dalam praktiknya
tetap memperlihatkan prinsip kemaslahatan. Oleh karena itu, redaksi ayat
tersebut datang dalam bentuk narasi (ikhbar)
yang dalam disiplin ushul fiqih hanya sebatas pemberitaan yang tidak
mengindikasikan suatu ajaran (perintah agama).8
Asbab al-nuzul ayat
tersebut juga memperkuat pandangan ini, di mana ia turun untuk memperkecil
penolakan masyarakat patriarkhi saat itu terhadap keputusan Nabi saw yang
memberi kesempatan kepada Habibah binti Zaid yang telah dipukul oleh suaminya
untuk membalas (qişaş)
memukul kembali suaminya. Dengan demikian, penafsiran-penafsiran yang
mengatakan bahwa kepemimpinan hanya hak kaum laki-laki dan bukan hak kaum
perempuan adalah interpretasi yang sarat dengan muatan sosiologis saat itu.
Apabila penafsiran ini bersifat sosiologis dan
kontekstual, maka terbuka suatu kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan.
Dengan kata lain, posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki juga mungkin
diubah mengingat format budayanya yang sudah berubah. Dengan cara demikian,
setidaknya kita dapat memahami bahwa perempuan bukanlah makhluk Tuhan yang
harus selalu dan selamanya dipandang rendah hanya karena dia perempuan,
sebagaimana yang berlaku dalam tradisi dan budaya patriarkhi. Pada saat yang
sama, kita juga tidak harus terus menerus menganggap salah ketika perempuan
menjadi pemimpin, penanggung jawab, pelindung dan pengayom bagi komunitas
laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka kerahmatan, keadilan dan
kemaslahatan, atau demi kepentingan masyarakat luas. Penafsiran dengan paradigma seperti ini bukan
terbatas pada hubungan laki-laki – perempuan dalam ruang domestik
(suami-isteri), tetapi juga berlaku untuk semua masalah hubungan kemanusiaan
yang lebih luas yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya.
Persoalan
paling signifikan dalam hal ini adalah bagaimana mewujudkan prinsip-prinsip
agama dan kemanusiaan atau al-akhlaq
al-karimah dan hak-hak asasi manusia dalam relasi kehidupan laki-laki –
perempuan. Akhlak termanifestasi dalam term-term kesetaraan manusia, kebebasan,
saling menghargai, penegakan keadilan dan kemaslahatan (kebaikan). Memang
term-term ini memiliki arti yang relatif, namun relatifitas ini justru menjadi
dasar bagi kita merumuskan secara bersama-sama persoalan-persoalannya secara
tepat dalam konteks situasi sosial kita masing-masing secara dinamis di bawah
prinsip-prinsip kemanusiaan di atas. Hal ini terlihat jelas pada saat kita
membaca ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan relasi suami-isteri. Di situ
al-Qur’an selalu menyebut kata-kata bi
al-ma’ruf, dengan cara yang baik dan patut. Misalnya : وعاشروهنّ
بالمعروف (النسآء 19) Artinya :
“Dan pergaulilah mereka
(isteri-isterimu) dengan cara yang baik dan patut” (QS. An-Nisa’ /4:19)
Kata
ini jelas terkait dengan dasarnya, yaitu al-‘urf
yang berarti kebiasaan, tradisi. Para ahli menjelaskan bahwa al-ma’ruf adalah adat, kebiasaan
atau tradisi yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan akal sehat, serta tidak
menyimpang dari dasar-dasar agama. Dengan begitu maka ma’ruf merupakan kebaikan berdimensi lokal dan
temporer, atau dalam bahasa populer berdimensi kontekstual. Kalau demikian,
kebaikan jenis ini bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat
ke tempat lain, namun tetap harus berada dalam frame (kerangka) al-akhlaq al-karimah.9
Ayat-ayat
teologis yang sementara ini diinterpretasikan bias gender juga harus dikaji
ulang dan ditafsirkan kembali dengan menggunakan pendekatan kesetaraan dan
keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan (keadilan gender). Karena
prinsip dasar ideal Islam adalah persamaan dan keadilan antara laki-laki dan
perempuan. Seperti ayat-ayat penciptaan (QS.an-Nisa’:1) yang dijadikan dasar
oleh sebagian ulama tafsir untuk menjustifikasi keyakinan bahwa perempuan
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki harus dibaca dan ditafsirkan kembali.
Keyakinan ini adalah warisan tradisi dari bangsa-bangsa sebelumnya (Yahudi dan
Nasrani) yang menjalar di kalangan kaum muslim, karena di dalam al-Qur’an tidak
dijumpai satu ayat pun yang secara eksplisit menyatakan hal demikian. Yang ada
hanyalah interpretasi para ulama yang dianggap memiliki otoritas penuh untuk
menafsirkan teks-teks agama, padahal tafsiran adalah tetap tafsiran yang tidak
menutup kemungkinan adanya keterkaitan dengan perkembangan sosio pengetahuan
yang temporal
يآأيّها الناس اتقوا ربّكم الذي
خلقكم من نفس واحدة, وخلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا كثيرا ونسآء (النساء 1)
Artinya : “Wahau manusia (laki-laki dan perempuan), bertakwalah kamu
sekalian kepada Tuhan kalian, yang menciptakan kalian semua (laki-laki dan
perempuan) dari jiwa yang satu dan menciptakan sama sepertinya pasangannya,
kemudian dari kedua pasang itu Dia menyebarkan laki-laki dan perempaun dalam
jumlah yang banyak” (QS. An-Nisa’4:1)
Ayat
ini mengungkapkan bahwa penciptaan manusia berawal dari penciptaan diri yang
satu (nafs wahidah),
kemudian penciptaan pasangannya yang sejenis dengannya, dari pasangan tersebut
kemudian tercipta laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang banyak. Di dalamnya
tidak ada ungkapan secara eksplisit; apakah diri itu laki-laki atau perempuan
dan apakah pasangannya itu laki-laki atau perempuan, sehingga penafsiran
subordinasi perempuan terhadap laki-laki dengan alasan bahwa yang dimaksud
pasangan adalah perempuan dan yang dimaksud dengan diri adalah laki-laki,
menjadi tidak benar. Semangat ayat tersebut adalah kebersamaan dan
keberpasangan sebagai dasar kehidupan, bukan subordinasi satu pada yang lain,
sehingga untuk kata nafs wahidah
(diri yang satu) dan zaujaha
(pasangannya) dibiarkan tidak jelas, sementara ungkapan selanjutnya sangat
jelas, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari pasangan itu.
Pandangan sepihak bahwa perempuan diciptakan dari
dan untuk kesenangan dan ketenteraman laki-laki juga harus diakhiri, karena
ayat yang digunakan sebagai dasar pandangan tersebut tidak secara eksplisit
menyatakan demikian
ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم
أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودّة ورحمة (الروم 21)
Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya, Dia menciptakan untuk kamu
sekalian (laki-laki dan perempuan) pasangan-pasangan dari jenis (manusia yang
seperti) kalian, agar kalian cenderung dan tenteram kepada mereka, dan Dia
menjadikan di antara kalian (dan pasangan kalian) rasa kasih dan sayang”
(QS.ar-Rum:20-21)
Yang
dinyatakan di dalam ayat ini adalah bahwa di antara tanda keagungan Tuhan
adalah penciptaan manusia secara berpasangan, sehingga tercipta kecenderungan
dan kasih sayang satu kepada yang lain dalam setiap pasangan. Tidak dinyatakan
di dalamnya bahwa perempuan diciptakan secara sepihak dari dan untuk laki-laki.
Akan tetapi manusia diciptakan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan,
laki untuk perempuan dan perempuan untuk laki-laki, laki-laki cenderung kepada
perempuan dan perempuan juga cenderung pada laki-laki. Oleh karena itu,
penafsiran subordinasi perempuan melalui ayat ini menjadi tidak berdasar sama
sekali.
Penutup
Akhirnya
sangat sulit dinafikan bahwa eksistensi kaum perempuan dalam sosio-ekonomi,
politik dan kultural saat ini telah mengalami perubahan dan perkembangan
evolutif seiring dengan berkembangnya kesadaran mereka. Sejarah kontemporer
juga telah membuktikan bahwa sejumlah kaum perempuan memiliki kelebihan yang
sama dengan kaum laki-laki, bahkan sebagian dari mereka melebihi laki-laki,
sehingga pekerjaan atau tugas yang sementara ini dianggap hanya monopoli
laki-laki menjadi terbantah dengan sendirinya. Ini semua membuktikan bahwa
perempuan adalah sama dengan laki-laki. Kenyataan ini semestinya menjadi
keniscayaan, sehingga segala tradisi, ajaran, dan pandangan yang merendahkan,
mendiskriminasi, dan melecehkan kaum perempuan harus dihapuskan. Dengan
demikian, dalam hal teks-teks agama, yang semestinya menjadi pemikiran dasar
tafsiran adalah prinsip-prinsip ideal Islam tentang keadilan, kesetaraan,
kemaslahatan dan kerahmatan untuk semua, tanpa dibatasi perbedaan jenis
kelamin, laki-laki atau perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Abu Syuqqah,Kebebasan Wanita, Jld.2, terj. Khairul Halim,Lc, Jakarta : Gema Insani
Press, 1997
Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi
Ashr al-Risalah, bab vi fasal 5, Kuwait :
Dar al-Qalam, 1991
Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi
Pembebasan, Terj. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1999
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Semarang : CV.Thoha
Putera, 1989.
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai Atas Wacana
Perempuan Dan Gender, Yogyakarta : LkiS,
2001
Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Herry Noer Ali (penerj.), cet.1, Bandung :
Diponegoro, 1990
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Mesir : Dar al-Manar, 1954
Muhammad Salman Ghanim, Kritik
Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah Politik Dan Feminisme, Yogyakarta :
Lkis, 2004
Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki-Laki Dalam
Penafsiran, Yogyakarta : LkiS, 2003
Ar-Razi, at-Tfsir al-Kabir, Beirut : Dar al-Kutub L-Ilmiyah, tt
Sri Mulyati (Ed.), Relasi Suami Isteri
Dalam Islam, Jakarta : PSW UIN Syahida,
2004
1
. Nurjannah Ismail, Perempuan
Dalam Pasungan, Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, Yogyakarta : LkiS,
2003, hlm. 43-44
2
. Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an
al-Karim, Herry Noer Ali (penerj.), cet.1, Bandung : Diponegoro, 1990,
hlm. 323
3
. Nurjannah Ismail, Op.Cit.,
hlm. 45
4
. Ibid., hlm. 46
5
. Ibid.,hlm. 47
6
. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,
Refleksi Kiai Atas Wacana Perempuan Dan Gender, Yogyakarta : LkiS, 2001,
hlm. 20
7
. Ar-Razi, at-Tfsir al-Kabir, Beirut : Dar
al-Kutub L-Ilmiyah, tt, hlm. 88
8
. Husein Muhammad, Op.Cit.,
hlm. 23
9
. Sri Mulyati (Ed.), Relasi Suami
Isteri Dalam Islam, Jakarta : PSW UIN Syahida, 2004, hlm. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar