Sabtu, 17 Maret 2012

REORIENTASI WACANA PENAFSIRAN AYAT-AYAT TENTANG PEREMPUAN


REORIENTASI WACANA PENAFSIRAN
AYAT-AYAT TENTANG PEREMPUAN
 
Siti Masykuroh
 
ABSTRAK
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara laki-laki maupun perempuan, dan antara bangsa, suku dan keturunan. Banyak ayat al-Qur’an telah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah semartabat sebagai manusia, terutama secara spiritual. Al-Qur’an menyajikan topik perempuan dalam banyak ayat dan berbagai surat. Namun yang paling banyak adalah dalam surat an-Nisa’, di samping itu surat at-Thalaq sebagiannya juga menyajikan masalah perempuan.
Meskipun secara normatif al-Qur’an memihak pada kesamaan status antara laki-laki dan perempuan, tetapi secara tekstual al-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu laki-laki daripada perempuan, akan tetapi dengan mengabaikan konteksnya –sebagaimana dikemukakan Asghar Ali- tidak ada kitab suci yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali. Al-Qur’an adalah kitab suci yang keberadaannya abadi, penafsiran terhadapnya tidak bisa dihindari sebagai sesuatu yang relatif
Tulisan ini bukanlah merupakan gugatan terhadap teks-teks suci al-Qur’an itu sendiri, melainkan penafsiran terhadap teks-teks tersebut yang sangat tekstual, dan kurang mementingkan konteks sosial, bahkan dalam beberapa hal sangat dipengaruhi oleh bias dominasi laki-laki terhadap perempuan. Reorientasi terhadap penafsiran yang cenderung mendiskreditkan perempuan adalah sesuatu yang niscaya karena perempuan bukanlah makhluk nomor dua yang keberadaannya hanya sekedar sebagai pelengkap kaum laki-laki.


Pendahuluan

Perempuan sebagai kenyataan sosial masyarakat Arab di masa Nabi Muhammad saw, adalah menjadi salah satu concern yang ingin dibela al-Qur’an, di samping kelompok budak, kaum fakir miskin, anak-anak yatim, dan sederet kaum lemah lainnya. Bahkan secara khusus al-Qur’an mendokumentasikannya dalam satu surat khusus yang bernama an-Nisa’. Tentu saja masih ada beberapa surat lain yang juga secara sporadis membicarakan perempuan –seperti halnya surat at-thalaq- hanya saja, dibandingkan surat an-Nisa’, surat-surat lain itu membicarakannya secara pendek.
Surat an-Nisa’ ini sering menjadi rujukan bagi para aktifis muslim pembela perempuan, dan sebaliknya ia juga menjadi sandaran para mufassir yang mendeskripsikannya. Sebab, memang dalam surat ini, ide tentang kepemimpinan rumah tangga, poligami, warisan dan sebagainya yang menjadi rujukan tentang perempuan dalam pandangan Islam dapat dilacak. Tentu saja, satu sumber (dalam hal ini al-Qur’an) bisa menghasilkan pemahaman dengan dua pola (antara yang membela dan yang mendeskripsikannya, dan bahkan bisa ada beberapa pola pemahaman dalam merespon perempuan). Hal ini bukanlah merupakan suatu yang aneh.
Hal ini disebabkan karena al-Qur’an (dan juga surat an-Nisa’) diturunkan saat rezim patriarkhi Arab masih sangat kokoh, dan di sisi lain juga karena ada keinginan al-Qur’an untuk membebaskan perempuan dari budaya yang mendiskriminasikannya itu. Dalam situasi seperti ini, penafsir yang setia dengan penindasan perempuan, dengan cakram patriarkhinya dan tidak memahami konteks sosialnya akan dengan teguh pula mengutip surat an-Nisa’ dengan tanpa peka atas ide pembebasan perempuan, bahkan justru digunakan untuk mendiskriminasikannya. Sedangkan penafsir yang concern dengan  kesetaraan manusia dalam al-Qur’an dan bisa membaca konteks sosial ayatnya, sebaliknya akan dengan cepat menangkap ide pembebasan perempuan. Secara sederhana makalah ini akan membahas persoalan tersebut.

Sebaran Surat-surat Dalam al-Qur’an yang Berbicara Tentang Perempuan


Perbincangan tentang perempuan dalam al-Qur’an tidak hanya terdapat dalam surat an-Nisa’, tetapi juga dalam surat-surat lain yang lebih dari sepuluh surat, meskipun surat-surat tersebut tidak dinamakan an-Nisa’. An-Nisa’ adalah surat keempat dalam al-Qur’an yang sering disebut an-Nisa’ al-Kubra, karena paling banyak membicarakan masalah perempuan. Penamaan ini dimaksudkan untuk membedakannya dengan surat lain yang juga membicarakan tentang perempuan dalam banyak ayat-ayatnya, yaitu surat at-Thalaq, sehingga dinamakan an-Nisa’ ash-Shughra.1 Surat al-Baqarah juga membicarakan perkara perempuan dalam dua per empat bagian besar (rubu’ain ‘azhimain) ayat-ayatnya.2 Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 221 diterangkan hukum laki-laki muslim mengawini perempuan musyrikah, dan juga menerangkan hukum perempuan muslimah kawin dengan laki-laki musyrik.

ولا تنكحوا المشركات حتّى يؤمنّ, ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم, ملا تنكحوا المشركين حتّى يؤمنوا, ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم, اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنّة والمغفرة بإذنه و يبيّن آياته للنّاس لعلّهم يتذكّرون

Artinya : “Dan janganlah kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin), sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada laki-laki musyrik, sekalipun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS.al-Baqarah/2:221)

     Al-Qur’an juga tidak membenarkan tradisi membahayakan yang sering dilakukan oleh orang-orang jahiliyah terhadap kaum perempuan

و بسألونك عن المحيض, قل هو أذى فاعتزلوا النساء فى المحيض, ولاتقربوهنّ حتّى يطهرن, فإذا تطهّرن فأتوهنّ من حيث أمركم الله, إنّ الله يحبّ التوّابين و يحبّ المتطهّرين. نساءكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنّى شئتم, وقدّموا لأنفسكم واتّقوا الله واعلموا أنّكم ملقوه, وبشّر المؤمنين.

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid, karakanlah:”haid itu kotoran”. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid. Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Isteri-isteri kalian bagaikan kebun tempat kalian bercocok tanam, maka datangilah kebun tempat kalian bercocok tanam itu, bagaimanapun kalian kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk diri kalian. Dan bertakwalah kepada Allah. Dan ketahuilah, bahwa kalian kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman”. (QS.al-Baqarah/2:222-223)

    Al-Qur’an juga tidak membenarkan mu’amalah orang-orang jahiliyah yang menyakiti kaum perempuan seperti memperjualbelikan perempuan dan tukar menukar teman tidur. Di samping itu al-Qur’an menerangkan ţalaq raj’i (talak yang masih membolehkan suami untuk merujuk kembali isterinya) dan ţalaq ba’in (talak yang tidak membolehkan suami untuk merujuk kembali isterinya, kecuali setelah ia dinikahi dan dicerai oleh laki-laki lain). Diterangkan bahwa perempuan mempunyai hak untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan, kalau memang suami memperlakukannya dengan buruk dan tidak mau menalaknya. Selain itu, al-Qur’an menerangkan persamaan perempuan dengan laki-laki dalam menerima dan memberikan hak bersuami isteri. Al-Qur’an memerintahkan agar suami memperlakukan isterinya secara baik (ma’ruf) atau menceraikannya secara baik pula, dan memberikan peringatan kepada orang-orang yang melarang jandanya kawin, dan bahkan melarang perempuan kawin kepada orang-orang yang dipandang tamak akan hartanya serta membahayakan dirinya.3 Dalam hal kemitraan suami dan isteri, masih di dalam surat al-Baqarah dijelaskan bahwa isteri adalah partner suami, dalam mengurus dan menyusui anak. Suami tidak dibenarkan memutuskan urusan ini secara sepihak, kecuali bila didasarkan atas musyawarah dan saling meridhoi.
     Dalam surat al-Maidah ayat kelima, al-Qur’an menerangkan tentang halalnya mengawini ahli kitab yang menjaga kehormatan mereka. Perkawinan seperti ini memberikan hak suami isteri yang sama dengan hak kaum perempuan mukminat yang menjaga kehormatan mereka.
     Masalah perempuan juga dipaparkan dalam surat an-Nur. Al-Qur’an menerangkan tentang hal-hal yang menyeret kaum perempuan ke dalam perbuatan yang menodai kehormatan, kemuliaan dan kedudukan mereka. Juga menjelaskan hukum orang yang berlebihan di dalam menuduh mereka berbuat keji, baik yang menuduh itu suami atau bukan. Kemudian al-Qur’an juga mensyari’atkan tatakrama yang wajib diterapkan oleh kaum laki-laki ketika hendak bertemu dengan kaum perempuan di rumah. Ketentuan ini ditetapkan demi menjaga agar aurat tidak terlihat, ketika mereka sedang mengenakan pakaian sehari-hari dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.4 Keterangan ini terdapat dalam surat an-Nur 31-33.
    Dalam surat al-Ahzab, Al-Qur’an menjelaskan perkara kaum perempuan, memecahkan berbagai problem rumah tangga dan adab-adab yang wajib mereka lakukan. Surat ini telah menjadikan isteri-isteri Rasulullah sebagai teladan yang hidup dalam hal-hal yang patut dijadikan landasan hidup utama oleh isteri yang shalehah. Keterangan ini dapat dilihat dalam ayat 30-59.
     Surat al-Mujadalah juga memuat perkara kaum perempuan. Al-Qur’an memperhatikan pendapat kaum perempuan dan menetapkannya sebagai landasan tasyri’ yang umum dan abadi. Dengan demikian ayat-ayat zihar yang merupakan awal surat tersebut, sebagai salah satu pemikiran perempuan dalam lembaran Ilahi yang abadi dan mencerminkan gambaran penghormatan Islam terhadap perempuan di sepanjang zaman. Islam tidak seperti yang diduga oleh sejumlah orientalis yang memusuhi Islam, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang berada di bawah pimpinan pemikiran dan pendapat laki-laki. Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan berpendapat, sedangkan pendapatnya itu mempunyai harga dan timbangannya tersendiri.
Aus bin Ash-Shamit berkata kepada isterinya, Khaulah binti Tsa’labah : “Bagiku engkau seperti punggung ibuku”. Menurut kebiasaan yang berlaku pada masa jahiliah, apabila suami mengatakan perkataan seperti itu kepada isterinya, maka haram bagi suami untuk mencampurinya lagi. Kemudian Aus memanggil isterinya untuk bercampur dengannya, namun ia enggan dan berkata :” Demi Allah yang diri Khaulah berada dalam kekuasaannya, engkau tidak dapat lagi bercampur denganku, karena engkau telah mengatakan seperti yang telah engkau katakan itu, sebelum Allah dan Rasul-Nya memberi keputusan”. Kemudian Khaulah menghadap Rasul seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aus telah mengawini aku sewaktu aku masih gadis muda yang dicintainya, namun tatkala usiaku telah lanjut dan perutku telah mengendur, dia membiarkan aku seperti ibunya dan membiarkan aku hidup tanpa orang yang menanggungku. Jika engkau menemukan keringanan bagiku wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku”. Rasulullah bersabda :”Hingga kini aku belum pernah diperintahkan untuk melakukan sesuatu tentang perkara seperti perkaramu. Aku hanya berpendapat tentang perkara itu, bahwa kamu telah diharamkan baginya (Aus)”.
    Khaulah terus menerus membantah dan menyanggah Rasulullah, bahwa yang diucapkan Aus itu bukan talak, ia berkata : “Bagaimana mungkin aku diharamkan baginya? Padahal aku mempunyai anak yang masih kecil-kecil, apabila dia mengambil mereka ke dalam asuhannya niscaya aku akan kehilangan mereka. Dan apabila aku mengambil mereka ke dalam asuhanku niscaya mereka akan kelaparan”. Kemudian Khaulah menengadahkan wajahnya ke langit seraya berdoa: “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepadamu”. Selagi Khaulah masih menengadahkan tangannya, turunlah empat ayat pertama dari surat al-Mujadalah ini.5

Dalam surat at-Tahrim, al-Qur’an menjelaskan perkara yang berlangsung antara para isteri Rasul, yang juga berlaku bagi seluruh isteri orang Islam di setiap masa dan tempat. Di dalam surat ini telah diputuskan, bahwa perempuan mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya sendiri yang terlepas dari tanggung jawab laki-laki; perempuan shalehah tidak akan terpengaruh oleh kerusakan dan kesemena-menaan laki-laki; begitupun kebaikan dan ketakwaan laki-laki, tidak akan bermanfaat bagi perempuan yang jahat. Hal ini dapat kita lihat pada 3 ayat terakhir dari surat at-Tahrim.
Dari uraian di atas jelas bahwa terdapat banyak ayat dalam berbagai surat dalam al-Qur’an yang membahas masalah perempuan. Namun pembahasan yang lebih banyak dan rinci didalam dua suratnya, yaitu an-Nisa’ dan at-Ţalaq. Tidak sedikit kaum perempuan yang merasa senang dan gembira, karena Allah memuliakan dan memperhatikan mereka. Yaitu ketika mereka mendengar dan mengetahui bahwa al-Qur’an menampilkan perkara mereka dalam seluruh surat ini, dan bahwa di antara surat-surat ini ada surat yang disebut dengan menggunakan nama mereka (an-Nisa’), dan banyak menganalisis perkara mereka di seluruh fase kehidupan, sejak masa kanak-kanak sampai masa perkawinan dan masa menjadi ibu.
Sikap Islam yang telah membangkitkan rasa gembira dalam hati kaum perempuan, ialah karena Allah memuliakan mereka, hendaknya sikap seperti ini dapat menarik perhatian orang-orang yang menuduh bahwa Islam merendahkan kehormatan kaum perempuan. Diharapkan mereka dapat mengetahui kedudukan kaum perempuan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam. Dengan harapan mereka akan berhenti menuduh bahwa Islam tidak memberikan perhatian kepada perempuan, sebagaimana yang telah diberikan oleh kebudayaan moderen.

Reorientasi Tafsir Berperspektif Gender


Dalam kurun waktu yang sangat panjang, kenyataan sosial dan budaya memperlihatkan hubungan laki-laki dan perempuan yang timpang. Kaum perempuan masih diposisikan sebagai bagian dari laki-laki (subordinasi), dimarjinalkan bahkan didiskriminasikan. Ini dapat dilihat secara nyata dalam peran-peran mereka, baik dalam sektor domestik (rumah tangga) maupun publik. Para pemikir feminis mengemukakan bahwa posisi-posisi perempuan yang demikian itu selain karena faktor-faktor ideologi dan budaya yang memihak pada laki-laki, keadaan timpang tersebut boleh jadi juga dijustifikasi oleh pemikiran kaum agamawan. Hal ini misalnya terlihat pada penafsiran mereka atas ayat al-Qur’an pada surat an-Nisa’/4: 34

الرجال قوّامون على النسآء بما فضّل الله بعضهم على بعض وبمآ أنفقوا من أموالهم ...(النسآء 34)

Artinya : “Laki-laki adalah qawwan atas perempuan, dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka”   (QS.an-Nisa’/4:34)

Sebagaimana dikutip oleh Husein Muhammad, Para ahli tafsir mengartikan bahwa qawwam berarti pemimpin, penanggung jawab, pengatur, pendidik dan sebagainya.6 Kategori-kategori ini sebenarnya tidaklah menjadi persoalan yang serius sepanjang ditempatkan secara adil dan tidak didasari oleh pandangan yang diskriminatif. Akan tetapi secara umum para ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas laki-laki ini adalah mutlak. Superioritas ini diciptakan Tuhan, sehingga tidak akan pernah berubah. Kelebihan laki-laki dari perempuan sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, oleh para penafsir al-Qur’an dikatakan karena akalnya dan fisiknya. Ar-Razi dalam tafsirnya misalnya mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi dua hal yaitu ilmu pengetahuan/pikiran/akal (al-‘ilm) dan kemampuan (al-qudrah). Artinya akal dan pengetahuan laki-laki melebihi akal perempuan, dan bahwa untuk pekerjaaan-pekerjaan berat laki-laki lebih sempurna.7 Pandangan yang hampir sama juga dikemukakan oleh para penafsir lain, seperti Ibnu Katsir, az-Zamakhsyari, al-Qurthubi, Muhammad Abduh dan lain-lain.
Akan tetapi, semua superioritas di atas, dewasa ini tidak dapat lagi dipertahankan sebagai sesuatu yang berlaku umum dan mutlak. Artinya tidak setiap laki-laki pasti lebih berkualitas daripada perempuan. Hal ini bukan saja karena dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang tidak sejalan dengan dasar-dasar kemanusiaan universal, melainkan juga karena fakta-fakta sosial sendiri telah membantahnya. Ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa diingkari oleh siapapun. Jaman telah berubah, sekarang telah semakin banyak kaum perempuan yang memiliki potensi dan bisa melakukan peran-peran yang selama ini dipandang hanya dan harus menjadi milik laki-laki. Banyak perempuan yang mampu tampil dalam peran kepemimpinan domestik maupun publik, dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial.
Oleh karena itu, karakteristik yang menjadi dasar argumen bagi superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi merupakan produk dari sebuah proses sejarah, yakni sebuah proses perkembangan yang terus bergerak maju dari badawah (nomaden) menuju hadharah (berkehidupan menetap, moderen), dari ketertutupan menjadi keterbukaan, dari kebudayaan tradisional pada kebudayaan rasional, dan dari pemahaman tekstual pada pemahaman substansial. Semuanya merupakan sebuah proses sejarah yang berlangsung secara evolutif dan dinamis. Dan mungkin saja pada saatnya nanti sejarah akan kembali ke siklus awal.
و تلك الأيّام نداولها بين النّاس (آل عمران 140)

Artinya : “Demikianlah hari-hari Kami pergilirkan di antara manusia” (Ali Imran/3:140)

Kalau demikian, maka kita memandang surat an-Nisa’ 34 di atas, harus dipahami sebagai teks yang bersifat sosiologis dan kontekstual. Posisi perempuan yang ditempatkan sebagai bagian laki-laki dan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patriarkhi atau peradaban laki-laki, di mana ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam aspek ekonomi dan keamanan sangat kuat. Pada masyarakat seperti ini, penempatan posisi perempuan demikian boleh jadi memang tepat sepanjang dalam praktiknya tetap memperlihatkan prinsip kemaslahatan. Oleh karena itu, redaksi ayat tersebut datang dalam bentuk narasi (ikhbar) yang dalam disiplin ushul fiqih hanya sebatas pemberitaan yang tidak mengindikasikan suatu ajaran (perintah agama).8 Asbab al-nuzul ayat tersebut juga memperkuat pandangan ini, di mana ia turun untuk memperkecil penolakan masyarakat patriarkhi saat itu terhadap keputusan Nabi saw yang memberi kesempatan kepada Habibah binti Zaid yang telah dipukul oleh suaminya untuk membalas (qişaş) memukul kembali suaminya. Dengan demikian, penafsiran-penafsiran yang mengatakan bahwa kepemimpinan hanya hak kaum laki-laki dan bukan hak kaum perempuan adalah interpretasi yang sarat dengan muatan sosiologis saat itu.
Apabila penafsiran ini bersifat sosiologis dan kontekstual, maka terbuka suatu kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan. Dengan kata lain, posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki juga mungkin diubah mengingat format budayanya yang sudah berubah. Dengan cara demikian, setidaknya kita dapat memahami bahwa perempuan bukanlah makhluk Tuhan yang harus selalu dan selamanya dipandang rendah hanya karena dia perempuan, sebagaimana yang berlaku dalam tradisi dan budaya patriarkhi. Pada saat yang sama, kita juga tidak harus terus menerus menganggap salah ketika perempuan menjadi pemimpin, penanggung jawab, pelindung dan pengayom bagi komunitas laki-laki, sepanjang hal itu tetap dalam kerangka kerahmatan, keadilan dan kemaslahatan, atau demi kepentingan masyarakat luas.  Penafsiran dengan paradigma seperti ini bukan terbatas pada hubungan laki-laki – perempuan dalam ruang domestik (suami-isteri), tetapi juga berlaku untuk semua masalah hubungan kemanusiaan yang lebih luas yang terkait dengan dinamika sosial dan budaya.
Persoalan paling signifikan dalam hal ini adalah bagaimana mewujudkan prinsip-prinsip agama dan kemanusiaan atau al-akhlaq al-karimah dan hak-hak asasi manusia dalam relasi kehidupan laki-laki – perempuan. Akhlak termanifestasi dalam term-term kesetaraan manusia, kebebasan, saling menghargai, penegakan keadilan dan kemaslahatan (kebaikan). Memang term-term ini memiliki arti yang relatif, namun relatifitas ini justru menjadi dasar bagi kita merumuskan secara bersama-sama persoalan-persoalannya secara tepat dalam konteks situasi sosial kita masing-masing secara dinamis di bawah prinsip-prinsip kemanusiaan di atas. Hal ini terlihat jelas pada saat kita membaca ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan relasi suami-isteri. Di situ al-Qur’an selalu menyebut kata-kata bi al-ma’ruf, dengan cara yang baik dan patut. Misalnya : وعاشروهنّ بالمعروف (النسآء 19) Artinya : “Dan pergaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara yang baik dan patut” (QS. An-Nisa’ /4:19)
Kata ini jelas terkait dengan dasarnya, yaitu al-‘urf yang berarti kebiasaan, tradisi. Para ahli menjelaskan bahwa al-ma’ruf adalah adat, kebiasaan atau tradisi yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan akal sehat, serta tidak menyimpang dari dasar-dasar agama. Dengan begitu maka ma’ruf merupakan kebaikan berdimensi lokal dan temporer, atau dalam bahasa populer berdimensi kontekstual. Kalau demikian, kebaikan jenis ini bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain, namun tetap harus berada dalam frame (kerangka) al-akhlaq al-karimah.9
Ayat-ayat teologis yang sementara ini diinterpretasikan bias gender juga harus dikaji ulang dan ditafsirkan kembali dengan menggunakan pendekatan kesetaraan dan keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan (keadilan gender). Karena prinsip dasar ideal Islam adalah persamaan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan. Seperti ayat-ayat penciptaan (QS.an-Nisa’:1) yang dijadikan dasar oleh sebagian ulama tafsir untuk menjustifikasi keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki harus dibaca dan ditafsirkan kembali. Keyakinan ini adalah warisan tradisi dari bangsa-bangsa sebelumnya (Yahudi dan Nasrani) yang menjalar di kalangan kaum muslim, karena di dalam al-Qur’an tidak dijumpai satu ayat pun yang secara eksplisit menyatakan hal demikian. Yang ada hanyalah interpretasi para ulama yang dianggap memiliki otoritas penuh untuk menafsirkan teks-teks agama, padahal tafsiran adalah tetap tafsiran yang tidak menutup kemungkinan adanya keterkaitan dengan perkembangan sosio pengetahuan yang temporal

يآأيّها الناس اتقوا ربّكم الذي خلقكم من نفس واحدة, وخلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا كثيرا ونسآء (النساء 1)

Artinya : “Wahau manusia (laki-laki dan perempuan), bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhan kalian, yang menciptakan kalian semua (laki-laki dan perempuan) dari jiwa yang satu dan menciptakan sama sepertinya pasangannya, kemudian dari kedua pasang itu Dia menyebarkan laki-laki dan perempaun dalam jumlah yang banyak” (QS. An-Nisa’4:1)

Ayat ini mengungkapkan bahwa penciptaan manusia berawal dari penciptaan diri yang satu (nafs wahidah), kemudian penciptaan pasangannya yang sejenis dengannya, dari pasangan tersebut kemudian tercipta laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang banyak. Di dalamnya tidak ada ungkapan secara eksplisit; apakah diri itu laki-laki atau perempuan dan apakah pasangannya itu laki-laki atau perempuan, sehingga penafsiran subordinasi perempuan terhadap laki-laki dengan alasan bahwa yang dimaksud pasangan adalah perempuan dan yang dimaksud dengan diri adalah laki-laki, menjadi tidak benar. Semangat ayat tersebut adalah kebersamaan dan keberpasangan sebagai dasar kehidupan, bukan subordinasi satu pada yang lain, sehingga untuk kata nafs wahidah (diri yang satu) dan zaujaha (pasangannya) dibiarkan tidak jelas, sementara ungkapan selanjutnya sangat jelas, yaitu bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari  pasangan itu.
Pandangan sepihak bahwa perempuan diciptakan dari dan untuk kesenangan dan ketenteraman laki-laki juga harus diakhiri, karena ayat yang digunakan sebagai dasar pandangan tersebut tidak secara eksplisit menyatakan demikian

ومن آياته ان خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودّة ورحمة (الروم 21)

Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya, Dia menciptakan untuk kamu sekalian (laki-laki dan perempuan) pasangan-pasangan dari jenis (manusia yang seperti) kalian, agar kalian cenderung dan tenteram kepada mereka, dan Dia menjadikan di antara kalian (dan pasangan kalian) rasa kasih dan sayang” (QS.ar-Rum:20-21)

Yang dinyatakan di dalam ayat ini adalah bahwa di antara tanda keagungan Tuhan adalah penciptaan manusia secara berpasangan, sehingga tercipta kecenderungan dan kasih sayang satu kepada yang lain dalam setiap pasangan. Tidak dinyatakan di dalamnya bahwa perempuan diciptakan secara sepihak dari dan untuk laki-laki. Akan tetapi manusia diciptakan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan, laki untuk perempuan dan perempuan untuk laki-laki, laki-laki cenderung kepada perempuan dan perempuan juga cenderung pada laki-laki. Oleh karena itu, penafsiran subordinasi perempuan melalui ayat ini menjadi tidak berdasar sama sekali.

Penutup


Akhirnya sangat sulit dinafikan bahwa eksistensi kaum perempuan dalam sosio-ekonomi, politik dan kultural saat ini telah mengalami perubahan dan perkembangan evolutif seiring dengan berkembangnya kesadaran mereka. Sejarah kontemporer juga telah membuktikan bahwa sejumlah kaum perempuan memiliki kelebihan yang sama dengan kaum laki-laki, bahkan sebagian dari mereka melebihi laki-laki, sehingga pekerjaan atau tugas yang sementara ini dianggap hanya monopoli laki-laki menjadi terbantah dengan sendirinya. Ini semua membuktikan bahwa perempuan adalah sama dengan laki-laki. Kenyataan ini semestinya menjadi keniscayaan, sehingga segala tradisi, ajaran, dan pandangan yang merendahkan, mendiskriminasi, dan melecehkan kaum perempuan harus dihapuskan. Dengan demikian, dalam hal teks-teks agama, yang semestinya menjadi pemikiran dasar tafsiran adalah prinsip-prinsip ideal Islam tentang keadilan, kesetaraan, kemaslahatan dan kerahmatan untuk semua, tanpa dibatasi perbedaan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Abu Syuqqah,Kebebasan Wanita, Jld.2, terj. Khairul Halim,Lc, Jakarta : Gema Insani Press, 1997
Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi Ashr al-Risalah, bab vi fasal 5, Kuwait : Dar al-Qalam, 1991
Asghar Ali Engineer, Islam Dan Teologi Pembebasan, Terj. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang : CV.Thoha Putera, 1989.
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai Atas Wacana Perempuan Dan Gender, Yogyakarta : LkiS, 2001
Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Herry Noer Ali (penerj.), cet.1, Bandung : Diponegoro, 1990

Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Mesir : Dar al-Manar, 1954

Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah Politik Dan Feminisme, Yogyakarta : Lkis, 2004
Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, Yogyakarta : LkiS, 2003
Ar-Razi,  at-Tfsir al-Kabir, Beirut : Dar al-Kutub L-Ilmiyah, tt

Sri Mulyati (Ed.), Relasi Suami Isteri Dalam Islam, Jakarta : PSW UIN Syahida, 2004








1 . Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran, Yogyakarta : LkiS, 2003, hlm. 43-44
2 . Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Herry Noer Ali (penerj.), cet.1, Bandung : Diponegoro, 1990, hlm. 323
3 . Nurjannah Ismail, Op.Cit., hlm. 45
4 . Ibid., hlm. 46
5 . Ibid.,hlm. 47
6 . Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai Atas Wacana Perempuan Dan Gender, Yogyakarta : LkiS, 2001, hlm. 20
7 . Ar-Razi,  at-Tfsir al-Kabir, Beirut : Dar al-Kutub L-Ilmiyah, tt, hlm. 88
8 . Husein Muhammad, Op.Cit., hlm. 23
9 . Sri Mulyati (Ed.), Relasi Suami Isteri Dalam Islam, Jakarta : PSW UIN Syahida, 2004, hlm. 48 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar