ANALISIS KRITIS TERHADAP HADIS-HADIS
MISOGINIS:
PEREMPUAN TIDAK BOLEH JADI PEMIMPIN, WANITA
DICIPTAKAN DARI TULANG RUSUK, DAN PEREMPUAN KURANG
AKAL DAN AGAMANYA (BAGIAN KEDUA)
Oleh
Muhammad Zaki
Syech Abubakar
Dosen Fakultas Syari’ah
IAIN Raden Intan Lampung
Dalam bab ini penulis akan melakukan analisa terhadap hadis-hadis misoginis
menggunakan pendekatan kritik hadis modern. Dalam hal pemahamannya penulis
lebih cenderung menggunakan pemahaman kontekstual dengan pendekatan-pendekatan
yang telah disebutkan sebelumnya. Dari sepuluh hadis yang dicantumkan, diambil
enam buah hadis saja untuk dianalisa yang menurut penulis sangat populer di
masyarakat dan telah dinilai shahih oleh
ulama, yaitu:
- Hadis Tentang
Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin
Teks hadisnya:
لن يفلح قوم
ولو أمر هم امرأة (رواه
البخاري)
”Tidak
akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada kaum perempuan”. (H.R.
Al-Bukhari)
- Takhrij
dan Kualitas Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, Kitab
Maghazi, Bab ke 82 dan Kitab
Fitan, Bab ke 18; al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi,
Kitab Fitan, Bab ke 75; al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i, Kitab
Qudhah, Bab ke 8; dan Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya jilid V
hadis ke 43, 51, 38, dan 47.
Hadis dengan lafal di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari dari sahabat Abu
Bakrah.[1] Hadits
tersebut dinilai shahih oleh mayoritas ulama dan dijadikan pedoman dalam
menentukan pemimpin, sebagaimana yang dikatakan Muhammad Imarah dalam kitabnya Jawahir
al-Bukhari.[2]
- Pemahaman Hadis:
Terdapat dua aliran dalam
memahami hadis di atas. Pertama, aliran tradisional dan tekstual yang tetap
berpegang pada lahiriah teks hadis, bahwa perempuan tidak boleh menjadi
pemimpin atau presiden. Pemahaman ini diperkuat dengan surat al-Nisa ayat
34:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& .
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Pada umumnya mufassirin
menyatakan, bahwa qawam artinya pemimpin, pelindung, penanggung jawab,
pendidik, pengatur, dan lain-lain. Semua itu terdapat pada diri laki-laki tidak
perempuan. Oleh sebab itu mereka menyimpulkan bahwa perempuan tidak layak
menjadi pemimpin. Mereka menafsirkan keunggulan laki-laki itu adalah akal dan
fisiknya. Seperti Ar-Razi berpendapat, bahwa kelebihan akal, ilmu pengetahuan
dan fisik bagi laki-laki adalah untuk pekerjaan keras yang lebih sempurna.[3]
Al-Zamakhsyari, pemikir dan mufassir Mu’tazilah terkemuka berpendapat,
bahwa laki-laki mempunyai kelebihan di bidang akal, kekuatan tekad dan fisik,
kemampuan menulis dan keberaniannya.[4] Hampir
sama dengan para mufassir tersebut, ahli tafsir Syi’ah, Al-Thabathaba’i,
berpendapat bahwa laki-laki mampu mengatasi kesulitan secara cepat, adapun
perempuan lebih sensitif dan emosional.[5]
Pernyataan yang lebih tegas datang dari Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, Muhammad
Abduh, dan lain-lain, bahwa dengan kelebihan dalam hal kekuatan, kemampuan, dan
keberanian pada kaum laki-laki, maka perempuan tidak layak menduduki
posisi-posisi kekuasaan publik dan politik, lebih-lebih kekuasaan kepemimpinan negara.
Dampak
dari teks hadis dan pemahaman para ulama di atas telah menutup kesempatan kaum perempuan tampil di
pentas kepemimpinan. Banyak langkah perempuan yang ingin menjadi pemimpin
terganjal dan akhirnya terhenti. Ada juga yang sudah terlanjur diangkat sebagai
pemimpin kemudian digoyang --seperti yang dialami Sulthanah (para ratu)
yang berkuasa di Aceh (1641-1699)-- oleh lawan politik yang menyatakan
ketidakabsahan kekuasaan mereka, bukan semata-mata ketidakmampuan mereka
memimpin negaranya, tapi adalah karena berjenis kelamin perempuan.[6]
Kedua,
aliran modern atau kontemporer. Kelompok ini memahami hadis dengan melihat
konteks munculnya hadis, karena jika dipahami secara
tekstual hadis tersebut akan bertentangan dengan realitas keberhasilan beberapa
perempuan di pentas kepemimpinan. Hadis tersebut muncul atas respon Nabi SAW
secara spontan ketika mendengar suksesi kepemimpinan di Persia. Realitas sosial
politik bangsa Persia saat itu sedang kacau balau, setelah dikalahkan bangsa
Romawi dan terjadi anarki di masyarakat. Kemudian diangkatlah putri Kaisar yang
masih muda belia dan belum berpengalaman menjadi raja. Padahal dalam suasana
kritis seperti itu diperlukan penguasa yang tangguh dan kuat mengambil alih
kendali kekuasaan. Salah seorang ulama kontemporer, Muhammad al-Ghazali
mengatakan, bahwa sabda Nabi SAW tersebut berbicara tentang realitas bukan
tentang keputusan hukum kepemimpinan perempuan, sehingga tidak bisa dijadikan
dalil untuk melarang perempuan jadi pemimpin.[7]
Oleh karena
itu di antara teks-teks hadis tentang perempuan harus dimaknai dalam bingkai konteks sosialnya. Hadis-hadis
tentang perempuan adalah potret realitas sosio-kultural masyarakat waktu itu
yang harus dipahami dengan logika historis dan
semangat keadilan dan kemaslahatan.
Masdar F.
Mas’udi, memiliki analisis tersendiri dalam memahami hadis di atas, antara lain:[8]
Pertama,
Meskipun dinilai shahih secara sanad,
hadis tersebut statusnya ahad (yang diriwayatkan hanya satu mata
rantai), sehingga tidak dapat dipastikan
otentisitasnya. Kedua, hadits itu baru dikemukakan oleh perawinya Abu Bakrah seorang
diri, kira-kira 23 tahun sesudah Rasulullah wafat. Ketiga, hadis itu
dikemukakan ketika konflik antara kelompok Aisyah dengan kelompok Ali bin Abi Thalib ra. terjadi dan mulai
tampak kekalahan pada pihak Aisyah ra. Keempat, hadits tersebut ada
hubungannya dalam konteks kekaisaran Persia yang mengangkat sebagai raja
seorang perempuan yang lemah tidak memiliki kemampuan.
Tampaknya
dari kedua aliran di atas, pemahaman kontemporer secara kontekstual lebih
relevan untuk diterima dan diterapkan, karena untuk konteks sekarang sudah
banyak perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki, sehingga layak
untuk menjadi pemimpin. Pada era modern ini perempuan sudah banyak yang muncul
dalam melakukan segala hal apalagi yang berhubungan dengan bidang politik
termasuk menjadi pemimpin negara, pemerintahan, partai politik dan profesi lainnya.
Kenyataan itu juga memperlihatkan adanya sebuah proses kebudayaan yang kian
maju. Kebudayaan tidak lagi bergerak dalam kemapanan dan stagnasi. Ada
dialektika sosial yang bergerak terus-menerus dari kebudayaan nomaden ke
berperadaban, dari kerangka berfikir tradisional ke berfikir rasionalis, dari
pandangan tekstualis ke pandangan substansialis, dari ketertutupan pada
keterbukaan, dan sebagainya. Hal ini sudah dibuktikan dalam sejarah, tidak
sedikit pemimpin atau presiden berasal dari kaum perempuan dan berhasil dalam
kepemimpinannya.
2.
Hadis Tentang Wanita Diciptakan Dari Tulang Rusuk
Teks hadisnya:
إستوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة
خلقت من ضلع وإن أعوج شيئ في الضلع أعلاه فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل
أعوج فاستوصوا بالنساء خيرا (رواه البخاري ومسلم)
“Nasihatilah perempuan dengan nasihat yang baik, karena
sesungguhnya ia diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok
adalah yang atas, yang jika engkau meluruskannya dengan paksa maka akan
mematahkannya tetapi jika dibiarkan akan tetap bengkok. Maka nasihatilah
perempuan itu dengan ansihat yang baik.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
a.
Takhrij dan Kualitas Hadis:
Hadis
dengan tema ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab
Anbiya’, Bab pertama; Muslim dalam Shahih-nya, Kitab
Radha’, Bab ke 61 dan 62; Al-Darimi dalam Sunan al-Darimi, Kitab
Nikah, Bab ke 35; dan Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya
jilid V hadis ke 8. Para ulama hadis
menilainya shahih.[9]
b.
Pemahaman Hadis:
Hadis ini dipahami ulama terdahulu secara harfiah,
sehingga menjadi suatu keyakinan yang sudah kuat dan mengakar di masyarakat,
bahwa perempuan diciptakan dari rusuk Nabi Adam.
Untuk memperkuat keyakinan ini, di antara ulama
mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Nisa’ ayat 1: “ Wahai manusia,
bertakwalah pada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam)
dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah
mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah pada Allah
yang dengan namaNya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”.[10]
Menurut mayoritas ahli tafsir, yang di maksud kata “dari
padanya” ialah bagian tubuh (tulang rusuk) Adam, berdasarkan hadis di atas. Ada
pula yang menafsirkan kata “dari padanya” ialah unsur yang serupa, yakni tanah
yang darinya Adam diciptakan.
Namun ada pula ulama kontemporer
memahaminya secara metaforis (majaz), bahkan ada yang menolak
kesahihannya.[11] Mereka menegaskan, tidak ada satupun petunjuk pasti dari
Al-Qur’an dan Sunnah yang mengantar kita pada pemahaman, bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk,
atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki. Rasyid Ridha dalam
tafsirnya “Al-Manar”, menyebutkan, bahwa keyakinan tersebut berasal dari
apa yang tertulis dalam perjanjian lama (kejadian II : 21-22) yang menyatakan,
bahwa “ketika Adam tertidur lelap, maka Allah mengambil sebilah tulang
rusuknya, lalu ditutup tempat itu dengan daging, kemudian dari tulang rusuk Adam itu diciptakanlah seorang perempuan”. Menurut
Rasyid Ridha, seandainya kisah kejadian Adam dan Hawa itu tidak tercatat dalam
kitab perjanjian lama, maka tidak akan terlintas dalam benak seorang muslim,
bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki. [12]
Hadis tentang asal mula penciptaan perempuan ini akan
lebih bermakna jika dipahami secara filosofis. Sebenarnya hadis ini bermaksud
untuk memperingatkan kaum laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana
karena ada sifat dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki,
yang bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk berprilaku
tidak wajar dan kasar. Perempuan secara fisik maupun psikis berbeda dengan
laki-laki. Secara psikis, perasaannya lebih halus dari laki-laki, sehingga
emosi perempuan tidak selalu stabil sebagaimana laki-laki. Oleh sebab itu
menyikapi kaum perempuan harus bijaksana dengan melibatkan perasaan, karena
jika tidak, perempuan sulit untuk ditundukkan. Jika ingin menasihati atau
mendidik kaum perempuan maka berlakulah lemah lembut tidak dengan pemaksaan
atau kekerasan. Oleh sebab itu Nabi SAW mengawali hadisnya ini dengan kalimat:
“ Nasihatilah kaum perempuan secara baik”. Kalau ada pemaksaan atau
kekerasan maka akan berakibat fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang
rusuk yang bengkok. Sesuatu yang keras dan bengkok tidak dapat diluruskan
secara paksa karena akan patah. Meluruskan benda yang keras lagi bengkok harus
dengan ilmu dan tekniknya. Begitu juga jika ingin meluruskan
kesalahan perempuan harus dengan kelemahlembutan dan kebijaksanaan.
- Hadis Tentang
Perempuan Kurang Akal dan Agamanya
Teks hadisnya:
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب
لذي لب منكن قالت امرأة منهن وما نقصان العقل ؟ قال أما نقصان العقل فشهادة
امرأتين تعدل شهادة رجل فهذا من نقصان العقل وتمكث الليالي ما تصلي وتفطر في رمضان
فهذا من نقصان الدين (رواه ابن ماجه)
“Tidak kutemukan orang-orang yang kurang akal dan agamanya
melebihi orang yang punya akal daripada kalian. Seorang perempuan dari mereka
berkata: “Apa yang dimaksud kurang akal itu? Nabi SAW menjawab: “Yang dimaksud
kurang akal adalah persaksian dua orang perempuan sama dengan persaksian
seorang laki-laki, inilah yang maksudnya kurang akal. Wanita melalui malam
tanpa salat dan tidak puasa di bulan Ramadhan, inilah yang dimaksud kurang
agama.” (H.R. Ibn Majah)
- Takhrij
dan Kualitas Hadis:
Hadis dengan tema ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya,
Kitab Haidh, Bab ke 16, Kitab Zakat, Bab ke 44;
Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Iman, Bab ke 132; Abu Dawud
dalam Sunan-nya, Kitab Sunnah, Bab ke 15; Ibn Majah dalam Sunan-nya, Kitab
Fitan, Bab ke 19; Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, jilid
II, hadis ke 67, 373, dan 374. Mayoritas ulama menghukumi hadis ini shahih.
- Pemahaman Hadis:
Hadis ini secara tekstual menerangkan bahwa perempuan itu akalnya kurang
sehingga kesaksiannya hanya separuh dari laki-laki. Agamanya kurang karena
ketika mengalami haid perempuan dilarang salat dan puasa. Hadis ini memiliki
konteks khusus yang tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Nabi SAW
menyampaikannya di saat Idul Fitri sebagai nasihat bukan sebagai doktrin agama
yang isinya mendeskreditkan kaum perempuan.
Secara fisiologis, kaum perempuan memang diciptakan Allah dengan struktur
anatomi tubuh khusus yang berbeda dengan laki-laki. Pada perempuan harus
terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk terjadinya pembuahan dalam rangka
keberlangsungan hidup generasi manusia. Dengan demikian menstruasi atau haid
merupakan sesuatu di luar kehendak kaum perempuan yang sudah menjadi suratan
takdirnya.
Hasil riset biologi dan anatomi menerangkan, bahwa perempuan pada masa
menstruasi mengalami beberapa perubahan sebagai berikut:
1.
Kekuatan
menahan suhu tubuh semakin menurun, sehingga suhu tubuhnya semakin bertambah
dan temperatur tubuhnya merendah.
2.
Denyut
jantung semakin pelan, teknan darah menurun, dan perkembangan selnya berkurang.
3.
Alat
pencernaan terganggu, pita suara mengalami perubahan, dan kekuatan tarikan
nafasnya melemah.
4.
Indera
perasa lemah, anggota tubuh terasa tidak bergairah.
5.
Ingatan
dan kecerdasan berkurang, sementara pemusatan pikiran bertambah. [13]
Semua perubahan itu sangat besar pengaruhnya bagi kejiwaan perempuan,
sehingga wajar saja jika Allah memutuskan hukum tersebut sebagai keringanan
yang harus disyukuri. Adapun ungkapan kurang agamanya karena ketika haid memang
perempuan berkurang amalan ibadahnya seperti salat dan puasa. Oleh sebab itu,
Nabi SAW menganjurkan kaum perempuan agar banyak bersedekah untuk menutupi
kekurangan tersebut. Kalaulah tidak diimbangi dengan ibadah lainnya seperti
sedekah atau ibadah sosial, maka secara logika pahala yang didapat memang
berkurang.
Sebenarnya kaum perempuan itu tidak perlu khawatir atau tersinggung dengan
hadis tersebut, karena ketika Allah memerintahkan sesuatu atau melarangnya
pasti ada hikmah yang besar. Kepatuhan terhadap perintah Allah merupakan
iman yang tertinggi. Bukankah Islam itu sendiri artinya adalah ketundukan,
kepatuhan, dan kepasrahan pada Allah. Orang yang tinggi tingkat kepatuhannya
menandakan kualitas imannya baik.
Adapun ungkapan kurang akalnya, lebih dari pada potret sosial pada waktu
itu di mana kaum perempuan memang belum banyak mendapatkan kesempatan untuk
mengaktualisasikan potensi intelektualnya. Seiring dengan perkembangan zaman,
perempuan mulai memiliki banyak kesempatan untuk ”unjuk” potensi intelektualnya
sehingga tidak kalah dengan kaum laki-laki.
Banyak perempuan yang meriwayatkan hadis dari Nabi seperti istri-istri
beliau antara lain Aisyah, Ummu Salamah, Zainab, Maimunah, Juwairiyah, Ummu
Habibah, Shafiyah, dan Hafshah. Di antara sahabat kecil dan tabi’in ada yang
belajar atau mengambil hadis dari mereka. Menurut
mayoritas ahli hadis, kesaksian satu perempuan diterima dalam periwayatan
hadis.
Sebagai contoh, A’isyah telah meriwayatkan sekitar 2210 hadis dan mampu
ber-istinbath hukum darinya. Aisyah berani berbeda pendapat dengan
sejumlah sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab dan anaknya Abd Allah, dan Abu
Hurairah, dalam beberapa masalah.
Hafshah salah seorang istri Rasulullah yang hafal Al-Qur’an dan memiliki
kemampuan baca tulis yang baik diamanatkan untuk memegang mushaf yang
dikumpulkan di zaman Abu Bakar dan ayahnya Umar bin al-Khathab. Tercatat
sekitar 700 perempuan yang meriwayatkan hadis dari Nabi SAW. Banyak di antara
kaum laki-laki mengambil ilmu atau riwayat dari mereka. Disebutkan, bahwa Ibn
Asakir telah mengambil riwayat dari lebih dari 80 tokoh perempuan.[14]
Bahkan dalam kitab-kitab kritik hadis, jumlah perempuan yang tidak layak
diambil riwayatnya karena majruh amat minim. Al-Dzahabi selaku kritikus
hadis tidak menemukan perawi perempuan yang tertuduh dusta dan ditinggalkan
hadisnya. Mengenai adanya perempuan yang tergolong lemah lebih disebabkan
kurang jelasnya identitas mereka (majhul).[15] Data-data tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan memiliki kecerdasan
yang sama dengan kaum laki-laki.
Jika demikian halnya maka amat tidak pantas untuk menafsirkan perempuan
kurang akalnya dengan kelemahan atau kebodohan. Apalagi jika dilihat dengan
realitas zaman sekarang, banyak kaum perempuan yang memiliki kecerdasan
melebihi kaum laki-laki. Kurang akal yang dimaksud lebih tepat pada bobot untuk
dijadikan saksi, bukan karena kurangnya kecerdasan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
Nashih ‘Ulwan, Tabriyatul Aulad, diterjemahkan oleh Jamaluddin Mirri,
dengan judul “Pendidikan Anak Dalam Islam”, Jakarta: Pustaka Amani, 1423 H/2002
Abu
Ghuddah, Lamahat min Tarikh al-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dar
al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1417 H
Ahmad
Amin, Dhuha Al-Islam, Nahdah Al-Mihsriyah, Kairo, 1994
Badriah
Fayuni, Perempuan Dalam Hadis, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik,
editor Ali Munhanif, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Fada Abd al-Razaq al-Qashir, al-Mar’ah
al-Muslimah baina al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Adhalil alGharbiyyah,
diterjemahkan oleh Mir’atul Makkiyah dengan judul “Wanita Muslimah Antara
Syariat Islam dan Budaya Barat”, Yogyakarta: Darussalam, 2004 M.
Fatima Menissi, Ratu-ratu Islam yang
terlupakan (tentang The Farqotten Queens of Islam), Penerbit Mizan,
Bandung, 1994
Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang
Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujain, Jakarta, Kompas,
2005
Hans Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic, London: George Allen Ltd., 1970M.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar
al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if,
Beirut, Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1988 M/1408 H
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid
al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah,
Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Beirut:
Dar Al-Fikr, 1995
Jalal
al-Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
Beirut, Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, t.th.
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah
fi ‘Ilm al-Riwayah, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998
Komaruddin
Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004
K. Prent,
dkk, Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1969
Masdar F.
Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Penerbit Mizan,
Bandung, 1997
Muhammad
‘Alawi al-Maliki, Syaraf al-Ummah
al-Muhammadiyah, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.
------------------------------------------,
Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Malik
Fahd, 1423 H.
Muhammad
‘Ali Qasim al-‘Umri, Dirasat fî Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin,
Yordania: Dar al-Nafa’is, 1420 H/2000 M
Muhammad
Anas Qosim Ja’far, al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah fi al-Islam wa al-Fikr wa al-Tasyri’,
diterjemahkan oleh Mujtaba Hamdi, Mengembalikan
Hak-Hak Politik Perempuan, Jakarta: Azan, 2001
Muhammad Musthafa al-A‘zami, Studies
in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis: American Trust
Publications, 1977
---------------------------------------------,
Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn, Riyadh: al-‘Ummariyah, 1982
Muhammad Murtadha al-Husaini al-Zabidi,
Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Semarang, Toha Putera, 1401 H./1981 M
Muhammad Tahir al-Jawwabi, Juhud
al-Muhadditsin fî Naqd Matn al-Hadits
al-Nabawi al-Syarif, Tunisia: Muassasat 'Abd al-Karim 'Abd Allah, 1406
H/1986 M
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan,
Dari Cinta Sampai Sek, Dari Nikah Mut’ah, Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama
Sampai Bias Baru, Lentera Hati, Jakarta, 2007
Muhammad
al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits,
diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas hadis Nabi SAW:
antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung, 1416 H/1996 M.
Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Madinah al-Munawarah, 1428 H.
Mustafa
Muhammad Imazah, Jawahir Al-Bukhari, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya,
t.th.
Musfir
‘Azm Allah al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyadh, t.p., 1984
M/1404
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi Muqaddimah
Sahih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Richard E. Palmer, Hermeneutics,
Evanston, Northwestern Univ. Press, 1969
Sa’id Abd Allah Seif al-Hatimi, Woman in Islam, a Comparative Study,
terj. Citra Sebuah Identitas: Wanita
dalam Perjalanan Sejarah, Surabaya: Risalah Gusti, 1994
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj
Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, Beirut, Dar al-Afaq
al-Jadidah, t.th.
Sayyid Hossein Nasr, Islamic
Studies: Essay on Low and Society, Beirut: Libreirie Du Liban, 1967
anad, Hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki itu
itu bernilai shahih.
[1] Muhammad
ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Semarang: Toha Putera, 1401
H/1981 M., juz VIII, hal. 97
[2] Mustafa
Muhammad Imazah, Jawahir Al-Bukhari, Surabaya: Penerbit Al-Hidayah, hal. 367.
[3] Ar-Razi,
At-Tafsir Al-Qur’an-Kabir, Juz X, h. 88.
[4]
Az-Zamakh Syari, Al-Qur’an-Kasysyaf, Juz I, h.523.
[5]
Ath-Thabathaba’i, Tafsir Al-Qur’an-Mizan, Juz IV, h. 351.
[6] Fatima
Menissi, (1994), Ratu-ratu Islam yang terlupakan (tentang The Farqotten
Queens of Islam), Penerbit Mizan, Bandung, h.175
[8]Masdar F. Mas’udi, (1997), Islam dan
Hak-hak Reproduksi Perempuan, Penerbit Mizan, Bandung, 1997, hal. 60
[9] Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid
al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah,
(Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M), hal. 200
[10] Mujamma al-Malik Fahd li al-Thiba’ah, 'Al-Qur’an
dan Terjemahnya, al-Madinah al-Munawwarah, 1428 H, hal. 114
[11] M. Quraish Shihab, Perempuan, Dari
Cinta Sampai Sek, Dari Nikah Mut’ah, Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai
Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2007,
h.165.
[12] Ibid.
[13] Fada Abd al-Razaq al-Qashir, al-Mar’ah
al-Muslimah baina al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Adhalil alGharbiyyah,
diterjemahkan oleh Mir’atul Makkiyah dengan judul “Wanita Muslimah Antara
Syariat Islam dan Budaya Barat”, Yogyakarta: Darussalam, 2004 M, hal.
156-157
[14] Muhammad Alawi al-Maliki, Adab
al-Islam fi Nizham al-Usrah, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Malik Fahd,
1423 H), hal. 128-129
[15] Badriah Fayuni, Perempuan Dalam Hadis,
(Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, editor Ali Munhanif), Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar