Rabu, 14 Maret 2012

ANALISIS KRITIS TERHADAP HADIS-HADIS MISOGINIS: PEREMPUAN TIDAK BOLEH JADI PEMIMPIN, WANITA DICIPTAKAN DARI TULANG RUSUK, DAN PEREMPUAN KURANG AKAL DAN AGAMANYA (BAGIAN KEDUA)


ANALISIS  KRITIS TERHADAP HADIS-HADIS
MISOGINIS:  PEREMPUAN TIDAK BOLEH JADI PEMIMPIN, WANITA DICIPTAKAN DARI TULANG RUSUK, DAN PEREMPUAN KURANG AKAL DAN AGAMANYA (BAGIAN KEDUA)


Oleh

Muhammad Zaki Syech Abubakar
Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung


Dalam bab ini penulis akan melakukan analisa terhadap hadis-hadis misoginis menggunakan pendekatan kritik hadis modern. Dalam hal pemahamannya penulis lebih cenderung menggunakan pemahaman kontekstual dengan pendekatan-pendekatan yang telah disebutkan sebelumnya. Dari sepuluh hadis yang dicantumkan, diambil enam buah hadis saja untuk dianalisa yang menurut penulis sangat populer di masyarakat dan telah dinilai shahih oleh  ulama, yaitu:

  1. Hadis Tentang Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin
Teks hadisnya:

لن يفلح قوم ولو أمر هم امرأة  (رواه البخاري)
Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada kaum perempuan”. (H.R. Al-Bukhari)


  1. Takhrij dan Kualitas Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari, Kitab Maghazi, Bab ke 82 dan  Kitab Fitan, Bab ke 18; al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi, Kitab Fitan, Bab ke 75; al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i, Kitab Qudhah, Bab ke 8; dan Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya jilid V hadis ke 43, 51, 38, dan 47.
Hadis dengan lafal di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari dari sahabat Abu Bakrah.[1] Hadits tersebut dinilai shahih oleh mayoritas ulama dan dijadikan pedoman dalam menentukan pemimpin, sebagaimana yang dikatakan Muhammad Imarah dalam kitabnya Jawahir al-Bukhari.[2]

  1. Pemahaman Hadis:
                 Terdapat dua aliran dalam memahami hadis di atas. Pertama, aliran tradisional dan tekstual yang tetap berpegang pada lahiriah teks hadis, bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin atau presiden. Pemahaman ini diperkuat dengan surat al-Nisa ayat 34:  
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& .  
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

      Pada umumnya mufassirin menyatakan, bahwa qawam artinya pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain. Semua itu terdapat pada diri laki-laki tidak perempuan. Oleh sebab itu mereka menyimpulkan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Mereka menafsirkan keunggulan laki-laki itu adalah akal dan fisiknya. Seperti Ar-Razi berpendapat, bahwa kelebihan akal, ilmu pengetahuan dan fisik bagi laki-laki adalah untuk pekerjaan keras yang lebih sempurna.[3] Al-Zamakhsyari, pemikir dan mufassir Mu’tazilah terkemuka berpendapat, bahwa laki-laki mempunyai kelebihan di bidang akal, kekuatan tekad dan fisik, kemampuan menulis dan keberaniannya.[4] Hampir sama dengan para mufassir tersebut, ahli tafsir Syi’ah, Al-Thabathaba’i, berpendapat bahwa laki-laki mampu mengatasi kesulitan secara cepat, adapun perempuan lebih sensitif dan emosional.[5] Pernyataan yang lebih tegas datang dari Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, Muhammad Abduh, dan lain-lain, bahwa dengan kelebihan dalam hal kekuatan, kemampuan, dan keberanian pada kaum laki-laki, maka perempuan tidak layak menduduki posisi-posisi kekuasaan publik dan politik, lebih-lebih kekuasaan  kepemimpinan negara.
   Dampak dari teks hadis dan pemahaman para ulama di atas telah  menutup kesempatan kaum perempuan tampil di pentas kepemimpinan. Banyak langkah perempuan yang ingin menjadi pemimpin terganjal dan akhirnya terhenti. Ada juga yang sudah terlanjur diangkat sebagai pemimpin kemudian digoyang --seperti yang dialami Sulthanah (para ratu) yang berkuasa di Aceh (1641-1699)-- oleh lawan politik yang menyatakan ketidakabsahan kekuasaan mereka, bukan semata-mata ketidakmampuan mereka memimpin negaranya, tapi adalah karena berjenis kelamin perempuan.[6]
     Kedua, aliran modern atau kontemporer. Kelompok ini memahami hadis dengan melihat konteks munculnya hadis, karena jika dipahami secara tekstual hadis tersebut akan bertentangan dengan realitas keberhasilan beberapa perempuan di pentas kepemimpinan. Hadis tersebut muncul atas respon Nabi SAW secara spontan ketika mendengar suksesi kepemimpinan di Persia. Realitas sosial politik bangsa Persia saat itu sedang kacau balau, setelah dikalahkan bangsa Romawi dan terjadi anarki di masyarakat. Kemudian diangkatlah putri Kaisar yang masih muda belia dan belum berpengalaman menjadi raja. Padahal dalam suasana kritis seperti itu diperlukan penguasa yang tangguh dan kuat mengambil alih kendali kekuasaan. Salah seorang ulama kontemporer, Muhammad al-Ghazali mengatakan, bahwa sabda Nabi SAW tersebut berbicara tentang realitas bukan tentang keputusan hukum kepemimpinan perempuan, sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang perempuan jadi pemimpin.[7]
      Oleh karena itu di antara teks-teks hadis tentang perempuan harus dimaknai dalam  bingkai konteks sosialnya. Hadis-hadis tentang perempuan adalah potret realitas sosio-kultural masyarakat waktu itu yang harus dipahami dengan logika historis dan  semangat keadilan dan kemaslahatan.
   Masdar F. Mas’udi, memiliki analisis tersendiri dalam memahami  hadis di atas, antara lain:[8]
  Pertama, Meskipun dinilai shahih secara sanad,  hadis tersebut statusnya ahad (yang diriwayatkan hanya satu mata rantai), sehingga tidak dapat dipastikan  otentisitasnya. Kedua, hadits itu baru  dikemukakan oleh perawinya Abu Bakrah seorang diri, kira-kira 23 tahun sesudah Rasulullah wafat. Ketiga, hadis itu dikemukakan ketika konflik antara kelompok Aisyah dengan kelompok  Ali bin Abi Thalib ra. terjadi dan mulai tampak kekalahan pada pihak Aisyah ra. Keempat, hadits tersebut ada hubungannya dalam konteks kekaisaran Persia yang mengangkat sebagai raja seorang perempuan yang lemah tidak memiliki kemampuan.
   Tampaknya dari kedua aliran di atas, pemahaman kontemporer secara kontekstual lebih relevan untuk diterima dan diterapkan, karena untuk konteks sekarang sudah banyak perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki, sehingga layak untuk menjadi pemimpin. Pada era modern ini perempuan sudah banyak yang muncul dalam melakukan segala hal apalagi yang berhubungan dengan bidang politik termasuk menjadi pemimpin negara, pemerintahan, partai politik dan profesi lainnya. Kenyataan itu juga memperlihatkan adanya sebuah proses kebudayaan yang kian maju. Kebudayaan tidak lagi bergerak dalam kemapanan dan stagnasi. Ada dialektika sosial yang bergerak terus-menerus dari kebudayaan nomaden ke berperadaban, dari kerangka berfikir tradisional ke berfikir rasionalis, dari pandangan tekstualis ke pandangan substansialis, dari ketertutupan pada keterbukaan, dan sebagainya. Hal ini sudah dibuktikan dalam sejarah, tidak sedikit pemimpin atau presiden berasal dari kaum perempuan dan berhasil dalam kepemimpinannya.


2.      Hadis Tentang Wanita Diciptakan Dari Tulang Rusuk
Teks hadisnya:

إستوصوا بالنساء خيرا فإن المرأة خلقت من ضلع وإن أعوج شيئ في الضلع أعلاه فإن ذهبت تقيمه كسرته وإن تركته لم يزل أعوج فاستوصوا بالنساء خيرا (رواه البخاري ومسلم)
Nasihatilah perempuan dengan nasihat yang baik, karena sesungguhnya ia diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang atas, yang jika engkau meluruskannya dengan paksa maka akan mematahkannya tetapi jika dibiarkan akan tetap bengkok. Maka nasihatilah perempuan itu dengan ansihat yang baik.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)


a.       Takhrij dan Kualitas Hadis:

    Hadis dengan tema ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Anbiya’, Bab pertama; Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Radha’, Bab ke 61 dan 62; Al-Darimi dalam Sunan al-Darimi, Kitab Nikah, Bab ke 35; dan Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya jilid V hadis ke 8.  Para ulama hadis menilainya shahih.[9]

  
b.      Pemahaman Hadis:

Hadis ini dipahami ulama terdahulu secara harfiah, sehingga menjadi suatu keyakinan yang sudah kuat dan mengakar di masyarakat, bahwa perempuan diciptakan dari rusuk Nabi Adam.
Untuk memperkuat keyakinan ini, di antara ulama mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Nisa’ ayat 1: “ Wahai manusia, bertakwalah pada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah pada Allah yang dengan namaNya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”.[10]
Menurut mayoritas ahli tafsir, yang di maksud kata “dari padanya” ialah bagian tubuh (tulang rusuk) Adam, berdasarkan hadis di atas. Ada pula yang menafsirkan kata “dari padanya” ialah unsur yang serupa, yakni tanah yang darinya Adam diciptakan.
  Namun ada pula ulama kontemporer memahaminya secara metaforis (majaz), bahkan ada yang menolak kesahihannya.[11]  Mereka menegaskan,  tidak ada satupun petunjuk pasti dari Al-Qur’an dan Sunnah yang mengantar kita pada pemahaman,  bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur penciptaannya berbeda dengan laki-laki. Rasyid Ridha dalam tafsirnya “Al-Manar”, menyebutkan, bahwa keyakinan tersebut berasal dari apa yang tertulis dalam perjanjian lama (kejadian II : 21-22) yang menyatakan, bahwa “ketika Adam tertidur lelap, maka Allah mengambil sebilah tulang rusuknya, lalu ditutup tempat itu dengan daging, kemudian dari tulang rusuk  Adam itu diciptakanlah seorang perempuan”. Menurut Rasyid Ridha, seandainya kisah kejadian Adam dan Hawa itu tidak tercatat dalam kitab perjanjian lama, maka tidak akan terlintas dalam benak seorang muslim, bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki. [12]
Hadis tentang asal mula penciptaan perempuan ini akan lebih bermakna jika dipahami secara filosofis. Sebenarnya hadis ini bermaksud untuk memperingatkan kaum laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana karena ada sifat dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, yang bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk berprilaku tidak wajar dan kasar. Perempuan secara fisik maupun psikis berbeda dengan laki-laki. Secara psikis, perasaannya lebih halus dari laki-laki, sehingga emosi perempuan tidak selalu stabil sebagaimana laki-laki. Oleh sebab itu menyikapi kaum perempuan harus bijaksana dengan melibatkan perasaan, karena jika tidak, perempuan sulit untuk ditundukkan. Jika ingin menasihati atau mendidik kaum perempuan maka berlakulah lemah lembut tidak dengan pemaksaan atau kekerasan. Oleh sebab itu Nabi SAW mengawali hadisnya ini dengan kalimat: “ Nasihatilah kaum perempuan secara baik”. Kalau ada pemaksaan atau kekerasan maka akan berakibat fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Sesuatu yang keras dan bengkok tidak dapat diluruskan secara paksa karena akan patah. Meluruskan benda yang keras lagi bengkok harus dengan ilmu dan tekniknya. Begitu juga jika ingin meluruskan kesalahan perempuan harus dengan kelemahlembutan dan kebijaksanaan.


  1. Hadis Tentang Perempuan Kurang Akal dan Agamanya
Teks hadisnya:

ما رأيت من ناقصات عقل ودين أغلب لذي لب منكن قالت امرأة منهن وما نقصان العقل ؟ قال أما نقصان العقل فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل فهذا من نقصان العقل وتمكث الليالي ما تصلي وتفطر في رمضان فهذا من نقصان الدين (رواه ابن ماجه)

Tidak kutemukan orang-orang yang kurang akal dan agamanya melebihi orang yang punya akal daripada kalian. Seorang perempuan dari mereka berkata: “Apa yang dimaksud kurang akal itu? Nabi SAW menjawab: “Yang dimaksud kurang akal adalah persaksian dua orang perempuan sama dengan persaksian seorang laki-laki, inilah yang maksudnya kurang akal. Wanita melalui malam tanpa salat dan tidak puasa di bulan Ramadhan, inilah yang dimaksud kurang agama.(H.R. Ibn Majah)

  1. Takhrij dan Kualitas Hadis:
Hadis dengan tema ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Haidh, Bab ke 16, Kitab Zakat, Bab ke 44; Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Iman, Bab ke 132; Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitab Sunnah, Bab ke 15;  Ibn Majah dalam Sunan-nya, Kitab Fitan, Bab ke 19; Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, jilid II, hadis ke 67, 373, dan 374. Mayoritas ulama menghukumi hadis ini shahih.

  1. Pemahaman Hadis:
Hadis ini secara tekstual menerangkan bahwa perempuan itu akalnya kurang sehingga kesaksiannya hanya separuh dari laki-laki. Agamanya kurang karena ketika mengalami haid perempuan dilarang salat dan puasa. Hadis ini memiliki konteks khusus yang tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Nabi SAW menyampaikannya di saat Idul Fitri sebagai nasihat bukan sebagai doktrin agama yang isinya mendeskreditkan kaum perempuan.
Secara fisiologis, kaum perempuan memang diciptakan Allah dengan struktur anatomi tubuh khusus yang berbeda dengan laki-laki. Pada perempuan harus terjadi proses pendarahan sebagai lahan untuk terjadinya pembuahan dalam rangka keberlangsungan hidup generasi manusia. Dengan demikian menstruasi atau haid merupakan sesuatu di luar kehendak kaum perempuan yang sudah menjadi suratan takdirnya.
Hasil riset biologi dan anatomi menerangkan, bahwa perempuan pada masa menstruasi mengalami beberapa perubahan sebagai berikut:
1.      Kekuatan menahan suhu tubuh semakin menurun, sehingga suhu tubuhnya semakin bertambah dan temperatur tubuhnya merendah.
2.      Denyut jantung semakin pelan, teknan darah menurun, dan perkembangan selnya berkurang.
3.      Alat pencernaan terganggu, pita suara mengalami perubahan, dan kekuatan tarikan nafasnya melemah.
4.      Indera perasa lemah, anggota tubuh terasa tidak bergairah.
5.      Ingatan dan kecerdasan berkurang, sementara pemusatan pikiran bertambah. [13]
Semua perubahan itu sangat besar pengaruhnya bagi kejiwaan perempuan, sehingga wajar saja jika Allah memutuskan hukum tersebut sebagai keringanan yang harus disyukuri. Adapun ungkapan kurang agamanya karena ketika haid memang perempuan berkurang amalan ibadahnya seperti salat dan puasa. Oleh sebab itu, Nabi SAW menganjurkan kaum perempuan agar banyak bersedekah untuk menutupi kekurangan tersebut. Kalaulah tidak diimbangi dengan ibadah lainnya seperti sedekah atau ibadah sosial, maka secara logika pahala yang didapat memang berkurang.
Sebenarnya kaum perempuan itu tidak perlu khawatir atau tersinggung dengan hadis tersebut, karena ketika Allah memerintahkan sesuatu atau melarangnya pasti  ada hikmah yang besar.  Kepatuhan terhadap perintah Allah merupakan iman yang tertinggi. Bukankah Islam itu sendiri artinya adalah ketundukan, kepatuhan, dan kepasrahan pada Allah. Orang yang tinggi tingkat kepatuhannya menandakan kualitas imannya baik.
Adapun ungkapan kurang akalnya, lebih dari pada potret sosial pada waktu itu di mana kaum perempuan memang belum banyak mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi intelektualnya. Seiring dengan perkembangan zaman, perempuan mulai memiliki banyak kesempatan untuk ”unjuk” potensi intelektualnya sehingga tidak kalah dengan kaum laki-laki.
Banyak perempuan yang meriwayatkan hadis dari Nabi seperti istri-istri beliau antara lain Aisyah, Ummu Salamah, Zainab, Maimunah, Juwairiyah, Ummu Habibah, Shafiyah, dan Hafshah. Di antara sahabat kecil dan tabi’in ada yang belajar atau mengambil hadis dari mereka. Menurut mayoritas ahli hadis, kesaksian satu perempuan diterima dalam periwayatan hadis.
Sebagai contoh, A’isyah telah meriwayatkan sekitar 2210 hadis dan mampu ber-istinbath hukum darinya. Aisyah berani berbeda pendapat dengan sejumlah sahabat, seperti Umar ibn al-Khathab dan anaknya Abd Allah, dan Abu Hurairah,  dalam beberapa masalah. Hafshah salah seorang istri Rasulullah yang hafal Al-Qur’an dan memiliki kemampuan baca tulis yang baik diamanatkan untuk memegang mushaf yang dikumpulkan di zaman Abu Bakar dan ayahnya Umar bin al-Khathab. Tercatat sekitar 700 perempuan yang meriwayatkan hadis dari Nabi SAW. Banyak di antara kaum laki-laki mengambil ilmu atau riwayat dari mereka. Disebutkan, bahwa Ibn Asakir telah mengambil riwayat dari lebih dari 80 tokoh perempuan.[14]
Bahkan dalam kitab-kitab kritik hadis, jumlah perempuan yang tidak layak diambil riwayatnya karena majruh amat minim. Al-Dzahabi selaku kritikus hadis tidak menemukan perawi perempuan yang tertuduh dusta dan ditinggalkan hadisnya. Mengenai adanya perempuan yang tergolong lemah lebih disebabkan kurang jelasnya identitas mereka (majhul).[15] Data-data tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan memiliki kecerdasan yang sama dengan kaum laki-laki.
Jika demikian halnya maka amat tidak pantas untuk menafsirkan perempuan kurang akalnya dengan kelemahan atau kebodohan. Apalagi jika dilihat dengan realitas zaman sekarang, banyak kaum perempuan yang memiliki kecerdasan melebihi kaum laki-laki. Kurang akal yang dimaksud lebih tepat pada bobot untuk dijadikan saksi, bukan karena kurangnya kecerdasan.




DAFTAR PUSTAKA


Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tabriyatul Aulad, diterjemahkan oleh Jamaluddin Mirri, dengan judul “Pendidikan Anak Dalam Islam”, Jakarta: Pustaka Amani,  1423 H/2002
Abu Ghuddah, Lamahat min Tarikh al-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1417 H
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Nahdah Al-Mihsriyah, Kairo, 1994    
Badriah Fayuni, Perempuan Dalam Hadis, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, editor Ali Munhanif, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Fada Abd al-Razaq al-Qashir, al-Mar’ah al-Muslimah baina al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Adhalil alGharbiyyah, diterjemahkan oleh Mir’atul Makkiyah dengan judul “Wanita Muslimah Antara Syariat Islam dan Budaya Barat”, Yogyakarta: Darussalam, 2004 M.
Fatima Menissi, Ratu-ratu Islam yang terlupakan (tentang The Farqotten Queens of Islam), Penerbit Mizan, Bandung, 1994
Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujain, Jakarta, Kompas, 2005
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, London: George Allen Ltd., 1970M.  
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if,  Beirut, Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1988 M/1408 H
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Beirut: Dar Al-Fikr, 1995
Jalal  al-Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut, Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, t.th.
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004
K. Prent, dkk, Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1969
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Penerbit Mizan, Bandung, 1997
Muhammad ‘Alawi al-Maliki, Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyah, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.
------------------------------------------, Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Malik Fahd, 1423 H.
Muhammad ‘Ali Qasim al-‘Umri, Dirasat fî Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin, Yordania: Dar al-Nafa’is, 1420 H/2000 M
Muhammad Anas Qosim Ja’far,  al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah fi al-Islam wa al-Fikr wa al-Tasyri’, diterjemahkan oleh Mujtaba Hamdi, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, Jakarta: Azan, 2001
Muhammad Musthafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis: American Trust Publications, 1977 
---------------------------------------------, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn, Riyadh: al-‘Ummariyah, 1982
Muhammad Murtadha al-Husaini al-Zabidi, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Semarang, Toha Putera, 1401 H./1981 M
Muhammad Tahir al-Jawwabi, Juhud al-Muhadditsin fî Naqd  Matn al-Hadits al-Nabawi al-Syarif, Tunisia: Muassasat 'Abd al-Karim 'Abd Allah, 1406 H/1986 M
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, Dari Cinta Sampai Sek, Dari Nikah Mut’ah, Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Lentera Hati, Jakarta, 2007
Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas hadis Nabi SAW: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung, 1416 H/1996 M.
Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah al-Munawarah, 1428 H.

Mustafa Muhammad Imazah, Jawahir Al-Bukhari, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya, t.th. 
Musfir ‘Azm Allah al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyadh, t.p., 1984 M/1404                      
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi Muqaddimah Sahih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Richard E. Palmer, Hermeneutics, Evanston, Northwestern Univ. Press, 1969
Sa’id Abd Allah Seif al-Hatimi, Woman in Islam, a Comparative Study, terj. Citra Sebuah Identitas: Wanita dalam Perjalanan Sejarah, Surabaya: Risalah Gusti, 1994 
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, Beirut, Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.
Sayyid Hossein Nasr, Islamic Studies: Essay on Low and Society,  Beirut: Libreirie Du Liban, 1967
anad, Hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki itu itu bernilai shahih.





[1] Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Semarang: Toha Putera, 1401 H/1981 M.,  juz VIII, hal. 97
[2] Mustafa Muhammad Imazah, Jawahir Al-Bukhari, Surabaya: Penerbit Al-Hidayah,  hal. 367.
[3] Ar-Razi, At-Tafsir Al-Qur’an-Kabir, Juz X, h. 88.
[4] Az-Zamakh Syari, Al-Qur’an-Kasysyaf, Juz I, h.523.
[5] Ath-Thabathaba’i, Tafsir Al-Qur’an-Mizan, Juz IV, h. 351.
[6] Fatima Menissi, (1994), Ratu-ratu Islam yang terlupakan (tentang The Farqotten Queens of Islam), Penerbit Mizan, Bandung, h.175
            [7]Muhammad Al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, diterjemahkanoleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas hadis Nabi SAW: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung, 1416 H/1996 M. hal. 65
[8]Masdar F. Mas’udi, (1997), Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Penerbit Mizan, Bandung, 1997,  hal. 60
[9] Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M), hal. 200
[10] Mujamma al-Malik Fahd li al-Thiba’ah, 'Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Madinah al-Munawwarah, 1428 H, hal. 114
[11] M. Quraish Shihab, Perempuan, Dari Cinta Sampai Sek, Dari Nikah Mut’ah, Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2007,  h.165.
[12] Ibid.
[13] Fada Abd al-Razaq al-Qashir, al-Mar’ah al-Muslimah baina al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Adhalil alGharbiyyah, diterjemahkan oleh Mir’atul Makkiyah dengan judul “Wanita Muslimah Antara Syariat Islam dan Budaya Barat”, Yogyakarta: Darussalam, 2004 M, hal. 156-157
[14] Muhammad Alawi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Malik Fahd, 1423 H), hal. 128-129
[15] Badriah Fayuni, Perempuan Dalam Hadis, (Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, editor Ali Munhanif), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar