AL-DZIKR DALAM KAJIAN HADITS MAUDHU’I
M.
Afif Anshori*
Abstrak
Biasanya,
perilaku dzikir diperlihatkan orang hanya dalam bentuk “renungan” sambil duduk
mengucapkan lafadz-lafadz Allah. Akan
tetapi, sebenarnya Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa dzikir itu bukan hanya
ekspresi daya ingatan yang ditampilkan dengan komat-kamitnya mulut sambil duduk
merenung, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam pelbagai
variasi yang aktif dan kreatif. Dari uraian di atas terlihat, bahwa al-dzikr merupakan
solusi yang sangat tepat dalam mengatasi perlbagai problema kehidupan modern.
Terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan pejabat yang merugikan
rakyat, tindak kriminalitas yang semakin
meningkat, penyalahgunaan narkoba, dan semua penyakit sosial, adalah
diakibatkan manusia sudah jauh dari nilai-nilai Ketuhanan, orientasi
hidupnya hanya kepada dunia materi. Oleh karena itu, untuk mengembalikan jiwa
manusia kepada jati dirinya yang suci, dzikrullah merupakan solusi yang paling
tepat.
Kata
Kunci: Dzikr, “komat-kamit”
Iftitâh
Abad
modern yang dimulai pada akhir abad ke-XV, semula adalah merupakan revolusi
ilmu pengetahuan yang ditandai dengan kemenangan rasionalisme dan empirisme
terhadap dogmatisme agama di barat.[1]
Perpaduan rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi, melahirkan
apa yang disebut dengan metode ilmiah.
Dengan metode ini, kebenaran pengetahuan hanya diukur dari kebenaran koherensi
dan kebenaran korespondensi.[2]
Pengetahuan diakui dari sudut ilmiah apabila secara logik bersifat koheren
(runtut) dengan kebenaran sebelumnya dan didukung oleh fakta empiris
(koresponden).
Kepercayaan yang sangat tinggi terhadap ilmiah yang
demikian ini, nampaknya membawa kesadaran yang kurang atau bahkan tidak
apresiatif terhadap pengetahuan yang berada di luar lingkup pengujian ilmiah,
termasuk pengetahuan dan nilai-nilai religius. Inilah salah satu ciri
modernisme, yakni memisahkan antara pengetahuan ilmiah, dengan pengetahuan yang
bersumber dari nilai-nilai religius. Secara umum, yang dirasakan sebagai
kelemahan pola berfikir keilmuan modern adalah kepercayaan yang berlebihan
terhadap akal dengan mengkesampingkan dimensi spiritual dan nilai-nilai
keagamaan.[3]
Secara sosiologis, ekses yang ditimbulkan dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat luar biasa, yakni terjadinya
perobahan sosial yang sangat drastis di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari
bebapa indikator, sebagaimana dikemukakan Zakiah Darajat. Pertama,
meningkatnya kebutuhan hidup, kedua, meningkatnya rasa individualistis
dan egois, dan ketiga, meningkatnya persaingan dalam hidup.[4]
Berbagai ketimpangan hidup yang dialami masyarakat
modern di atas, mengakibatkan semakin maraknya upaya pencarian makna intinsik
sebagai upaya penyeimbang (balance) hidup. Sebagai contoh, berbagai kelompok
ahli yoga, dukun-dukun kebatinan serta organisasi-organisasi kerohanian mulai
memperoleh pasaran di dunia barat[5],
satu hal yang sangat kontradiktif dari kehidupan rasionalisme.
Uraian di atas menunjukkan bahwa manusia mengalami
alienasi diri (self alienation) lantaran orientasi hidupnya diarahkan
kepada dunia materi. Dapat dikatakan, bukan manusia yang menguasai materi,
melainkan materi yang menguasainya. Menurut Waheed Akhtar, solusi kehidupan
sufi tentang problema ini merupakan hal yang relevan dengan masyarakat modern, yang
telah menjadi masyarakat teralienasi.[6]
Kehidupan sufi yang dimaksud adalah senantiasa mengorientasikan diri sepenuhnya
kepada Allah dengan selalu melanggengkan dzikir.
Paper ini akan mencoba menelusuri konsep al-dzikr
menurut ajaran kaum sufi melalui kajian hadits, sehingga dapat dijadikan suluh
kehidupan manusia modern, minimal bagi penulis sendiri.
Batasan
Pengertian
Secara lughawi (etimologis), perkataan dzikir
berakar pada kata dzakara (ذكر- يذكر- ذكرا) artinya menyebut, mengucapkan (asma
Allah)[7],
mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau
mengerti, ingatan[8]. Namun dalam pengertian di sini, perkataan
dzikir yang dimaksud adalah dzikr Allah,
atau mengingat Allah. Dalam al-Qur’an akan banyak dijumpai ungkapan-ungkapan
yang menganjurkan untuk berdzikir[9].
Secara istilahi
(terminologis), dzikir yang dimaksud sebagaimana yang biasa dilakukan kalangan
penganut Sufi atau tarekat, yang merupakan bagian dari aktivitas mereka. Biasanya,
perilaku dzikir diperlihatkan orang hanya dalam bentuk “renungan” sambil duduk
mengucapkan lafadz-lafadz Allah. Akan
tetapi, sebenarnya Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa dzikir itu bukan hanya
ekspresi daya ingatan yang ditampilkan dengan komat-kamitnya mulut sambil duduk
merenung, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam pelbagai
variasi yang aktif dan kreatif. Al-Qur’an telah menyebutkan:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا
وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموت والارض
ربنا ماخلقت هـــذا باطلا سبحانك
فقنا عذاب النار (ال عمران:)
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.[10]
Nampaknya, pengertian ayat ini serasa menimbulkan
dikotomi pengertian antara dzikir dengan
tafakkur, kendati pun keduanya
merupakan fungsi intelektual. Tetapi, sesungguhnya ada perbedaan pengertian
antara keduanya. Yang pertama, terasa lebih menonjolkan segi estetika atau rasa
keindahan, yang dalam hal ini adalah hub
al-jamal (cinta kepada Zat Yang Maha Indah) yakni Allah SWT. Sedangkan yang kedua, adalah penonjolan
terhadap penggunaan daya pikir untuk membaca gejala-gejala alam yang diciptakan
Allah[11].
Dalam keterangan lain, tafakkur merupakan tingkatan dzikir yang
tertinggi, yaitu tafakur tentang makhluk-makhluk Allah yang ada di sekitar
kita. Karena itulah, orang-orang arif (orang yang benar-benar kenal akan
Khaliqnya) disebut orang berdzikir setiap situasi dan kondisi, orang yang
berdzikir pada setiap waktu[12].
Tapi sesungguhnya, bagi orang yang beriman, kedua-duanya harus dilaksanakan
secara seimbang bersama-sama.
Sementara itu, H. Aboe Bakar Atjeh,
salah seorang ulama Indonesia yang paham dengan masalah ini, memberikan
pengertian dzikir sebagai:
Ucapan jang dilakukan dengan lidah atau
mengingat akan Tuhan dengan hati, dengan utjapan atau ingatan jang
mempersutjikan Tuhan dan membersihkannja dari sifat-sifat jang tidak lajak
untukNja, selandjutnja memudji dengan pudji-pudjian dan sandjungan-sandjungan
dengan sifat-sifat jang sempurna, sifat-sifat jang menundjukkan kebesaran dan
kemurnian[13].
Bahkan,
lebih tegas lagi Al-Kalabadzi[14]
memberikan pengertian bahwa “zikir yang sesungguhnya adalah melupakan semuanya,
kecuali Yang Esa”[15].
Juga Hasan Al-Bana, seorang tokoh Ikhwan
al-Muslimin dari Mesir, menyatakan bahwa “semua apa saja yang mendekatkan diri
kepada Tuhan (Allah) dan semua ingatan yang menjadikan diri kita dekat dengan
Tuhan adalah zikir”[16].
Dari pengertian tadi, agaknya, dzikir baru merupakan bentuk komunikasi sepihak, antara makhluk
(manusia), dengan Khalik saja. Akan tetapi, lebih dari itu, dzikr Allah bersifat aktif dan kreatif,
karena komunikasi tersebut bukan hanya sepihak, melainkan bersifat timbal
balik. Seperti yang dikatakan oleh Abu Hamid Al-Ghazali[17]
(w. 1111), “dzikrullah berarti ingatnya seseorang bahwa Allah mengamati seluruh
tindakan dan pikirannya”[18].
Dengan demikian, implikasi dari
adanya perilaku dzikir, yakni mengingat, memperhatikan, mengenang dan merasa
bahwa dirinya senantiasa diawasi oleh Tuhan, akan berpengaruh kuat terhadap
jiwa dan kesadaran, yang kemudian diaktualisasikan ke dalam bentuk pola pemikiran
dan tingkah laku. Memang, antara mengingat, menyadari atau berfikir dengan
tingkah laku manusia itu saling berkait dan tidak dapat dipisahkan. Seperti
dikatakan oleh Prof. Dr. Muller Freinfels,[19]
bahwa:
Ingatan
dan kesadaran itu timbul disebabkan oleh pacuan yang datang dari luar, namun
bisa juga timbul dalam pikiran (jiwa) sebagai hasil suatu reproduksi terhadap
pengalaman panca indera. Dari hasil reproduksi muncullah tanggapan, tanggapan
yang satu bergabung dengan yang lain, menghasilkan suatu susunan ingatan dan
kesadaran.
Jadi, dzikr Allah bukan hanya sekedar mengingat suatu peristiwa, namun
mengingat dengan sepenuh keyakinan akan kebesaran Tuhan dengan segala sifat-Nya
serta menyadari bahwa dirinya senantiasa berada dalam pengawasan Allah, seraya
menyebut Asma Allah dalam hati dan
atau lisan.
Dzikir dan Implementasinya
1.
Perintah
Berdzikir
Secara
eksplisit, dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk
selalu berdzikir kepada Allah. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak memutuskan
komunikasinya dengan Sang Pencipta, dan senantiasa menyadari bahwa dirinya
selaku diawasi, sehingga seluruh gerak dan perilaku manusia akan terkontrol.
Perintah berdzikir ini dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 41:
ياايها الذين أمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا (الاحزاب:)
“Hai
orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya”.
Dari ayat
ini, Rasulullah SAW, memperkuat lagi dengan statemennya:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ الطُّفَيْلِ بْنِ
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ ثُلُثَا اللَّيْلِ قَامَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اذْكُرُوا اللَّهَ اذْكُرُوا اللَّهَ جَاءَتْ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا
الرَّادِفَةُ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ قَالَ
أُبَيٌّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ
أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي فَقَالَ مَا شِئْتَ قَالَ قُلْتُ الرُّبُعَ قَالَ مَا
شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ النِّصْفَ قَالَ مَا شِئْتَ
فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ قَالَ مَا شِئْتَ
فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ
إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ (الترمذى باب صفة القيامة والرقائق) .[20]
Hadits ini
mengisyaratkan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada setiap manusia untuk
selalu berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan masing-masing, kendatipun hanya
berbentuk bacaan shalawat Nabi, karena dengan demikian dapat menghapus
dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Selain
perintah tersebut, Rasulullah SAW. sendiri telah memberikan contoh, betapa
beliau setiap waktu senantiasa berdzikir kepada Allah. Informasi ini diperoleh dari hadits berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ
عُبَيْدٍ الْمُحَارِبِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي
زَائِدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ الْبَهِيِّ عَنْ عُرْوَةَ
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ يَحْيَى
بْنِ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ وَالْبَهِيُّ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ(الترمذى
فى كتاب الدعوات عن الرسول الله) [21]
2. Larangan
banyak bicara sampai melupakan dzikir.
Begitu
urgennya dzikrullah bagi kehidupan manusia, sampai Rasulullah melarang orang
untuk banyak bicara sampai melupakan dzikir, karena jika ini dilakukan akan
dapat menutup hati sehingga akan jauh dari Allah. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits:
حَدَّثَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي ثَلْجٍ الْبَغْدَادِيُّ صَاحِبُ
أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاطِبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ
بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ أَبْعَد النَّاسِ مِنْ
اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي حَدَّثَنَا َ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي النَّضْرِ
حَدَّثَنِي أَبُو النَّضْرِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاطِبٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ بِمَعْنَاهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا
نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاطِب ٍ (متن الترمذى فى كتاب الزهد عن رسول
الله) [22]
3.
Dzikir
bermakna do’a dan shalat.
Jika pengertian dzikir diperluas lagi, ternyata
meliputi juga do’a dan shalat (sembahyang), karena di dalamnya unsur “ingat”
terasa sangat dominan. Dengan demikian, terlalu sempitlah jika mengartikan
dzikir dengan mewiridkan bacaan-bacaan sambil duduk berjam-jam. Akan tetapi,
antara dzikir, do’a dan sembahyang, merupakan satu pengertian bentuk komunikasi
antara manusia dengan Tuhannya, meskipun dengan corak dan tata cara tersendiri.
Tata cara sembahyang akan berbeda dengan berdo’a atau berdzikir, namun dapat
pula dirangkaikan antara ketiganya. Misalnya, seusai orang melakukan shalat,
disunnahkan untuk berdzikir dan berdo’a. Dzikir sehabis shalat ini sepanjang
ajaran Rasulullah SAW. adalah membaca tasbih[23], tahmid[24], takbir[25], dengan
bilangan tertentu, serta ditambah dengan istighfar,
tahlil[26] dan
doa’-doa[27].
Selain itu, pengertian bahwa shalat sama dengan dzikir, diperoleh dari hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy, yang menyatakan bahwa Rasulullah
SAW. telah bersabda:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
حَاتِمِ بْنِ بَزِيعٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ شَيْبَانَ
عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ عَنْ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ
امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ
كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ (سنن ابو داود فى كتاب
الصلاة)
“Barangsiapa yang membangunkan isterinya pada malam hari, maka
mereka lalu melaksanakan shalat dua raka’at secara berjamaah, ditulislah mereka
berdua pada golongan orang-orang yang berdzikir banyak kepada Allah”
Pada hadits lain yang senada disebutkan:[28]
حدثتا إبن كثير, حدثتا سفيان عن مسعر, عن على بن الاقمرح,
وحدثنا محمد بن حاتم بن يريع, حدثنا عبيدالله بن موسى عن شيبان, عن الاعمش, عن على
بن الأقمر المعنى, عن الأغر, عن أبى سعيد
وأبى هريرة قال: قال رسولالله صلى الله عليه وسلم : إذا أيقظالرجل أهله من الليل
فصليا أو صلى ركعتين جميعا كتب (كتبا) فى الذاكرين و (أو) الذاكرات. رواه أبو داود
Dari
hadits ini dapat dipahami, bahwa shalat pun merupakan salah satu bentuk dzikir
kepada Allah, bahkan selanjutnya harus diikuti dengan dzikir yang lain pula.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Nisa’, 4:103:
فإذاقضيتم الصللاة فاذكروا الله قياما وقعودا وعلى
جنوبكم (النساء: (
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah
Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring”[29].
4. Dzikir yang paling utama
Dari
sekian banyak jenis dzikir, yang paling utama adalah ucapan lâ ilâha illa Allâh. Ini didasarkan pada
hadits Nabi SAW.[30]:
حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شِمْرِ بْنِ عَطِيَّةَ عَنِ
أَشْيَاخِهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ
إِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً فَأَتْبِعْهَا حَسَنَةً تَمْحُهَا قَالَ قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَمِنْ الْحَسَنَاتِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ هِيَ
أَفْضَلُ الْحَسَنَات )مسند
أحمد : الكتاب مسند الانصارى باب حديث أبى
ذر الغفارى)
Pada hadits lain yang senada juga disebutkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ كَثِيرِ بْنِ بَشِيرِ بْنِ الْفَاكِهِ
قَالَ سَمِعْتُ طَلْحَةَ بْنَ خِرَاشٍ ابْنَ عَمِّ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ
بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ
الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ (سنن ابن ماجه
[31]
Bagi kalangan ahli tasawuf atau
tarekat, dzikir semacam itulah yang senantiasa diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari, dengan tidak meninggalkan ibadah-ibadah lainnya, dalam rangka
membersihkan jiwa dari nafsu-nafsu yang dapat merusakkan iman.
5.
Urgensi
Berdzikir.
Salah
satu motivasi orang berdzikir, adalah karena dapat menyelamatkanya dari siksaan
api neraka, seminimal apapun dzikir tersebut. Ini dapat dilihat pada hadits berikut:
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ
وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ
وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ قَالَ أَبُو عَبْد
اللَّهِ قَالَ أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِيمَانٍ مَكَانَ مِنْ خَيْرٍ(صحيح
البخارى باب الدعوات) [32]
Bagi
kalangan pengamal tasawuf, berdzikir
tidak akan dilakukan secara minimal, melainkan berusaha untuk memperbanyak
sebanyak-banyaknya, karena berapapun jumlah bacaan dzikir akan dihitung sebagai
nilai kebaikan di sisi Allah, seperti disebutkan pada hadits berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُمَيٍّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ
وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ
كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ
عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ
ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ إِلَّا
رَجُلٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْهُ (صحيح
البخارى بَاب فَضْلِ التَّهْلِيلِ) [33]
Itulah sebab mengapa para
sufi senantiasa menyibukkan diri dengan dzikirnya dalam setiap saat tanpa
putus, baik secara sirr maupun secara jahar. Mereka selalu
mengorientasikan dirinya hanya kepada Allah, sebab bagi mereka Allah merupakan
suatu obsesi yang luhur dan agung, dan dunia dipandang hanya sebatas sebagai
media perjalanan menuju Tuhan. Prinsip ini selanjutnya melahirkan teori tentang
zuhud, yakni meninggalkan orientasi dunia material berpindah ke orientasi
Ketuhanan. Apalagi hal ini termotivasi adanya hadits berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ
الْمُكْتِبُ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ قَال سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ قُرَّةَ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ ضَمْرَةَ قَال سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا
مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ
أَوْ مُتَعَلِّمٌ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيب (سنن الترمذى
باب الزهد) [34]
Dalam Hadits di atas, kaum sufi berpandangan bahwa
dunia materi merupakan penghambat jalan menuju Tuhan, karena dunia dipandang sebagai sesuatu yang
terkutuk/ terlaknat, kecuali bagi mereka yang dzikir kepada Allah, orang yang
berilmu atau orang yang mencari ilmu. Dengan demikian terlihat, bahwa dzikir
merupakan penyeimbang dalam menghadapi kehidupan material, dalam arti tidak
meninggalkan dunia sama sekali dan tidak terikat sepenuhnya kepada materi.
Pada
hadits lain Rasulullah menggambarkan perbedaan antara orang yang berdzikir
dengan yang tidak, bagaikan orang hidup dengan orang mati. Artinya, orang yang
berdzikir hatinya selalu diliputi oleh semangat antusiasme optimis di bawah
bimbingan Ilahi dan inilah yang sebenarnya orang hidup; sedangkan sebaliknya
orang yang tidak berdzikir, hatinya mati, yang dipikirkan hanyalah kehidupan
sesaat, tanpa memperdulikan norma dan hukum agama. Sebagaimana dikatakan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ
مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ (صحيح البخارى) [35]
Jiwa yang
hidup oleh bimbingan Tuhan itulah sebenarnya yang dicari para sufi, karena
diyakini bahwa Allah senantiasa bersamanya dan bahkan berada dalam dirinya.
Kunci bagaimana agar Tuhan selalu berada dalam diri manusia, adalah dengan
selalu berdzikir, sebagaimana tersimpul pada hadits berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي كُرَيْبٍ قَالَا
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ
يَذْكُرُنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي
فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإِنْ اقْتَرَبَ إِلَيَّ شِبْرًا
تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ اقْتَرَبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا اقْتَرَبْتُ
إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً (صحيح مسلم بَاب
فَضْلِ الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ وَالتَّقَرُّبِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى) [36]
- Dzikir dan
Syukur
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي
سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ أُبْلِيَ بَلَاءً فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ
كَفَرَهُ (ابو داود باب الادب) [38]
حَدَّثَنَا
عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ
عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَمَّا
نَزَلَتْ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ قَالَ كُنَّا مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَقَالَ
بَعْضُ أَصْحَابِهِ أُنْزِلَ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ مَا أُنْزِلَ لَوْ
عَلِمْنَا أَيُّ الْمَالِ خَيْرٌ فَنَتَّخِذَهُ فَقَالَ أَفْضَلُهُ لِسَانٌ
ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ قَالَ
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ سَأَلْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ فَقُلْتُ لَهُ سَالِمُ
بْنُ أَبِي الْجَعْدِ سَمِعَ مِنْ ثَوْبَانَ فَقَالَ لَا فَقُلْتُ لَهُ مِمَّنْ
سَمِعَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَمِعَ
مِنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَذَكَرَ غَيْرَ وَاحِدٍ
مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الترمذى) [39]
Pernyataan Nabi tersebut memperkuat firman Allah:
فاذكرونى اذكركم واشكروالى
ولا تكفرون (البقرة:)
7.
Etika
Berdzikir.
Di
kalangan kaum sufi, terutama penganut tarekat, terdapat dua macam pandangan
cara membaca dzikir: dibaca keras (jahar) dan pelan/ dalam hati (sirr).
Pembacaan dzikir secara jahar ini, menurut para ahli tarekat, didasarkan pada
firman Allah:
فى بيوت اذن الله ان ترفع
ويذكر فيها اسمه يسبح له فيها بالغدو والاصال (النور:)
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang”
Lafadz
wa yudzkara fîhâsmuhu pada ayat di atas, mempunyai pengertian “berdzikir sambil
mengucapkan/ menyebut nama Allah dengan bersuara”, atau dengan kata lain,
dibaca secara keras (jahar). Sebaliknya,
mengenai dzikir sirr (rahasia), biasanya disebut pula dengan dzikir
khafi (samar), dalam teknis
pelaksanaanya, bermula dari mulut berdzikir mengucapkan lafadz ismudzat
diikuti hati, kemudian lidah berdzikir sendiri sampai lancar, dengan
konsentrasi penuh, dan ingatan semata-mata hanya kepada Allah SWT. dan akhirnya
seolah-olah seluruh badan dipenuhi oleh dzikir.[40] Para ulama tarekat mendasarkan dzikir
ini pada firman Allah:
واذكر ربك فى نفسك تضرعا
زخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والاصال ولا تكن من الغافليــن (الاعراف:)
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan
diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.
Selain itu, dalam sebuah hadits pun
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang mengeraskan suaranya ketika
menyebut nama Allah (dengan takbir), dengan mengatakan bahwa Allah itu tidak buta, tidak jauh, melainkan
Mahamendengar dan sangat dekat dengan manusia, sebagaimana hadits berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ عَاصِمٍ
عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا
إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ قَالَ وَأَنَا خَلْفَهُ
وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ
إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى
كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُلْ
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَإِسْحَقُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ جَمِيعًا عَنْ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ
عَنْ عَاصِمٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
بَاب اسْتِحْبَابِ خَفْضِ الصَّوْتِ
بِالذِّكْرِ(صحيح مسلم) [41]
- Menjaga
konstanitas dzikir.
Mengingat begitu urgennya dzikir bagi kehidupan manusia,
para pengamal tasawuf akan senantiasa melanggengkan dzikirnya, karena hal ini
berkaitan erat dengan kondisi keimanan seseorang, yang bergerak bagaikan
grafik : kadang menunjukkan kurva menaik, dan kadang menurun, sebagaimana
disebutkan dalam sebuah adagium yang terkenal : al-imânu yazîd wa
yanqush.
Salah satu cara untuk menjaga konstanitas/ keajegan, atau
bahkan menambah keimanannya itu, menurut kalangan sufi, adalah dengan
melanggengkan dzikir, mulâzamat fî al-dzikr, atau terus menerus menghindarkan
diri dari segala sesuatu yang dapat membawa akibat lupa kepada Allah, dengan
cara banyak berdzikir. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits
berikut :
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ دَاوُدَ يَعْنِي الطَّيَالِسِيَّ حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى السُّلَمِيُّ
الدَّقِيقِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ عَنْ شُتَيْرِ بْنِ نَهَارٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ
رَبُّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ لَوْ أَنَّ عِبَادِي أَطَاعُونِي لَأَسْقَيْتُهُمْ
الْمَطَرَ بِاللَّيْلِ وَأَطْلَعْتُ عَلَيْهِمْ الشَّمْسَ بِالنَّهَارِ وَلَمَا
أَسْمَعْتُهُمْ صَوْتَ الرَّعْدِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ حُسْنِ عِبَادَةِ
اللَّهِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَدِّدُوا
إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ
أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (مسند
أحمد) [42]
Pengaruh yang
ditimbulkan dari berdzikir secara konstan ini, akan mampu mengontrol perilaku
seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang melupakan dzikir atau lupa
kepada Tuhan, kadang-kadang tanpa sadar dapat saja berbuat maksiat.
Namun, manakala ingat kepada Allah, kemudian mengucapkan dzikir, kesadaran akan
dirinya sebagai hamba Tuhan akan segera muncul kembali.
Ikhtitâm
Dari
uraian di atas terlihat, bahwa al-dzikr merupakan solusi yang sangat tepat
dalam mengatasi perlbagai problema kehidupan modern. Terjadinya korupsi, kolusi
dan nepotisme di kalangan pejabat yang merugikan rakyat, tindak kriminalitas yang semakin meningkat, penyalahgunaan narkoba, dan semua
penyakit sosial, adalah diakibatkan
manusia sudah jauh dari
nilai-nilai Ketuhanan, orientasi hidupnya hanya kepada dunia materi. Oleh
karena itu, untuk mengembalikan jiwa manusia kepada jati dirinya yang suci,
dzikrullah merupakan solusi yang paling tepat.
والله أعلم بالصواب
DAFTAR MARAJI’
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar
Fikr), 1994 , Juz
I
---------------, Sunan Abu Daud, (Kairo:
Dar al-Hadits), 1988, Juz IV,
Ahmad
Ibn Hanbal,
1992 Musnad Ahmad, juz III (Beirut: Dar
al-Fikr. 1992).
al-Albani,
M. Nashiruddin , Sunan Ibn Majah, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif), 1977 juz III,
al-Anshâry,
Jamal al-Dîn Muhammad ibn Makram, Lisân al-‘Arab libn Mandhûr, (Kairo:
Muassasat al-Mishriyyat al-‘Âmmat litta’lîf
wa al-Anbâ’ wa al-Nasyr),
t.t. juz V
al-Bukhâry,
Al-Imâm, Shahîh
al-Bukhâry, (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-‘Araby),
t.t. Juz VIII
al-Dimasyqy, Syeikh Muhammad
Jamal al-Din al-Qasimy,
706
H
Mau’idhat al-Mu’minin min Ihya’
‘Ulum al-Din,
Juz I, (Beirut: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra)
al-Ghazali,
Bidayat al-Hidayat, trans.
H.M.As’ad El Hafidy, (Bandung: Mizan), 1985
-------------,
Kimia al-Sa’âdah, trans. Haidar Bagir (Bandung: Mizan), 1984
al-Kalabadzi,
Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ya’qub al-Bukhari Ajaran Kaum Sufi,
trans. Rahmani Astuti (Bandung, Mizan), 1985
Al-Nawawi,
Shahîh Muslim Syarh al-Nawawi, Juz IX, (Beirut: Dâr al-Fikr.), t.t.
al-Shan’any, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syawkani al-Yamani, Tuhfat al-Dzakirin, (T.tp.: Dâr
al-Kitab al-‘Alamiyyat,) t.t.
al-Tirmidzi,
Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrat, Al-Jâmi’ al-Shahîh
wa Huwa Sunan al-Tirmidzi, Juz IV (Beirut: Beirut: Dâr al-Fikr) 1994.
Asj’ari,
Sukmadjaja – Rosy Yusuf, Indeks Al-Qur’an
(Bandung: Pustaka Salman ITB), 1984
Atjeh, H. Aboe Bakar, Pengantar
Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), (Djakarta: F.A. H.M. Tawi & Song Bag. Penerbitan), 1966
Burnham, F.B.,Post Modern
Theology (San Fransisco: Harper & Row Publisher), 1989
Darajat,
Zakiah, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung),
1982
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta :
Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, Pelita IV/ tahun I), 1984/1985
Effendi,
Djohan, Sufisme dan Masa Depan Agama (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1993
Faqih,
H.M.A. Shodiqin, Dialog Tentang Ajaran Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah
(Bandung: Orba Shakti), 1985
Haddad, Allamah Sayid Abdullah,
Thariqah Menuju Kebahagiaan, trans. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan), 1986
Ibn
Mandhûr, Lisân al-‘Arab, juz V (Kairo: Muassasat al-Mishriyyat
al-‘Âmmat litta’lîf wa al-Anbâ’ wa al-Nasyr), t.t.
Masaryk,
T.G. Modern Man and Religion, (Westport, Connecticut : Greenwood
Press Publisher), 1970
Mufid,
Ahmad Syafi’i, Zikir Sebagai Pembina
Kesehatan Jiwa, (Surabaya: PT Bina Ilmu), 1985
Munawir, Ahmad Warson ,
1989 Kamus al-Munawir: Arab –
Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak).
Nasr
, Sayyed Hossein, Living Sufism (London: George Allen & Unwinn
Ltd.), 1980
Suhrowardi, Syihabuddin, Bidayat
al-Sâlikîn, (T.tp.: tp.), t.t.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif
(Jakarta: PT. Gramedia), 1983
Usman, K.H.M.Ali, H.A.A.Dahlan, H.M.D.Dahlan, Hadits Qudsi, (Bandung:CV. Diponegoro), 1985
* Penulis adalah dosen tetap
Prodi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung.
Mengajar mata kuliah Ilmu Tasawuf. S1 nya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, S2
nya di IAIN Sumatera Utara dan S3 nya diselesaikan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
[1]F.B. Burnham, Post Modern
Theology (San Fransisco: Harper & Row Publisher, 1989), hal. ix.
[2]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
Dalam Perspektif (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hal. 10.
[3]T.G. Masaryk, Modern Man
and Religion, (Westport, Connecticut : Greenwood Press Publisher,
1970), hal. 55.
[4] Zakiah Darajat, Peranan
Agama Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 10-14.
[5]Sayyed Hossein Nasr, Living
Sufism (London: George Allen & Unwinn Ltd. 1980), hal. 152.
[6]Lihat: Djohan Effendi, Sufisme dan Masa Depan Agama (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993), hal. 91.
[7]Ahmad Warson Munawir, Kamus
al-Munawir: Arab – Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989),
hal. 482.
[8] Ibn Mandhûr, Lisân
al-‘Arab, juz V (Kairo: Muassasat al-Mishriyyat al-‘Âmmat litta’lîf
wa al-Anbâ’ wa al-Nasyr, t.t..), hal. 395.
[9]Lihat misalnya, Q.S. 3: 135; 5:91; 7:201; 11:114, dsb. Periksa: Sukmadjaja
Asj’ari – Rosy Yusuf, Indeks Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1904 H –
1984 M), hal. 79.
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Pelita IV/ tahun
I/ 1984/1985), hal. 110.
[14]Nama lengkapnya adalah Ibn Abi Ishaq
Muhammad Ibn Ibrahim ibn Ya’qub al-Bukhari al-Kalabadzi, ……………………
[16]Ahmad Syafi’I Mufid, Op.cit., hal. 15
[17]Para penulis Arab sering menyebutnya dengan nama Abu Hamid (kunyah), dan laqab dengan
Zainuddin. Namanya sendiri adalah Muhammad bin Muhammad al Tusi, lahir tahun
1058 M (450 H) di Gazalah suatu kota kecil yang terletak di dekat Tus Khurasan
(Iran) .
[18] Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, trans. Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1984), cet.II, hal.
80.
[19]Ahmad Syafi’i Mufid, Loc.cit.
[20]Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrat al-Tirmidzi, Al-Jâmi’
al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidzi, Juz IV (Beirut: Dâr al-Fikr,
1994), hal. 297-298.
[21] Ibid., juz
V, hal. 249.
[22]Ibid.
[23]Tasbih, ucapan
mensucikan Allah berupa bacaan subhanallah
[24]Tahmid, ucapan
untuk memuji Allah berupa bacaan alhamdulillah .
[25]Takbir, ucapan untuk menyatakan kemahabesaran Allah berupa bacaan Allahu Akbar .
[26]Tahlil, disebut juga lafadz nafi isbat
atau kalimat tauhid berupa bacaan la
ilaha illa’llah.
[27]Lihat: Allamah Sayid Abdullah Haddad,
Thariqah Menuju Kebahagiaan, trans. Muhammad al-Baqir, (Bandung:
Mizan, 1986) cet.I, hal. 114-117. Cf.
Al-Ghazali, Bidayat al-Hidayat,
trans. H.M.As’ad El Hafidy, (Bandung: Mizan, 1985), hal.45-50.
[28] Abi Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abu Daud,
Jilid I (Beirut: Dar Fikr, 1994), hal. 488.
[29]Departemen Agama RI., Op.cit., hal.138. Ibn Abbas menafsirkan ayat ini
dengan , “waktu malam, siang, di darat, di laut, dalam perjalanan atau tidak,
dalam keadaan kaya, miskin, sakit, sehat, secara rahasia atau terang-terangan”.
Lihat, Syeikh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy al-Dimasyqy, Mau’idhat al-Mu’minin min Ihya’
‘Ulum al-Din, Juz I, (Beirut: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra, 706 H), ‘Bab
Kitab al-Adzkar wa al-Da’awat’, hal.85.
[30]Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Juz III, Bab Hadits Abi Dzar al-Ghifari,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1992); Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syawkani
al-Yamani al-Shan’any, dalam kitab Tuhfat
al-Dzkirin, (T.tp.: Dâr al-Kitab al-‘Alamiyyat, t.t.), hal.230, mencatat
matan sebagai berikut: لااله إلاالله
أقضل الذكر
وهى أقضل الحسنات . رواه الترمذى وأحمد
[31] M. Nashiruddin al-Albani, Sunan Ibn Majah, Bab Fadl al-Hamidin (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1997), juz III,
hal. 245.
[32]Al-Imâm al-Bukhâry, Shahîh
al-Bukhâry, Juz VIII (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâts
al-“Araby, t.t.) . 106
[33]Al-Imâm al-Bukhâry, Shahîh al-Bukhâry, Juz IV (Beirut:
Maktabah al-Ashriyah, 1977), hal. 2010.
[34]Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrat al-Tirmidzi, Op.cit.
hal.
[35]Al-Imâm al-Bukhâry, Op.cit., hal. 107,
[36]Al-Nawawi, Shahîh Muslim Syarh al-Nawawi, Juz IX, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), hal. 12.
[37]Syeikh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy al-Dimasyqy, Mau’idhat al-Mu’minin min Ihya’
‘Ulum al-Din, Juz I, (Beirut: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra, 706 H), ‘Bab
Kitab al-Syukr”.
[38]Abu Dawud, Sunan Abu Dawud,
Juz IV, (Kairo: Dar al-Hadits, 1988), hal. 257.
[39] Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa
ibn Sawrat al-Tirmidzi, Op.cit. hal.
[40]H.M.A. Shodiqin Faqih, Dialog
Tentang Ajaran Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah (Bandung: Orba Shakti, 1985),
hal. 19. Cf. Spencer Trimingham, Op.cit., hal. 202; Syihabuddin
Suhrowardi, Bidayat al-Sâlikîn,
(T.tp.: tp., t.t. ) hal. 40.
[41]Al-Nawawi, Op.cit., hal. 25.
[42]Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, juz III (Beirut: Dar al-Fikr. 1992), hal. 8717.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar