Jumat, 16 Maret 2012


AL-DZIKR  DALAM KAJIAN HADITS MAUDHU’I

M. Afif Anshori*


Abstrak
Biasanya, perilaku dzikir diperlihatkan orang hanya dalam bentuk “renungan” sambil duduk mengucapkan lafadz-lafadz Allah.  Akan tetapi, sebenarnya Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa dzikir itu bukan hanya ekspresi daya ingatan yang ditampilkan dengan komat-kamitnya mulut sambil duduk merenung, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam pelbagai variasi yang aktif dan kreatif. Dari uraian di atas terlihat, bahwa al-dzikr merupakan solusi yang sangat tepat dalam mengatasi perlbagai problema kehidupan modern. Terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan pejabat yang merugikan rakyat,  tindak kriminalitas yang semakin meningkat, penyalahgunaan narkoba, dan semua penyakit sosial, adalah diakibatkan  manusia sudah  jauh dari nilai-nilai Ketuhanan, orientasi hidupnya hanya kepada dunia materi. Oleh karena itu, untuk mengembalikan jiwa manusia kepada jati dirinya yang suci, dzikrullah merupakan solusi yang paling tepat.

Kata Kunci: Dzikr, “komat-kamit”
 

Iftitâh
  Abad modern yang dimulai pada akhir abad ke-XV, semula adalah merupakan revolusi ilmu pengetahuan yang ditandai dengan kemenangan rasionalisme dan empirisme terhadap dogmatisme agama di barat.[1] Perpaduan rasionalisme dan empirisme dalam satu paket epistemologi, melahirkan apa yang disebut  dengan metode ilmiah. Dengan metode ini, kebenaran pengetahuan hanya diukur dari kebenaran koherensi dan kebenaran korespondensi.[2] Pengetahuan diakui dari sudut ilmiah apabila secara logik bersifat koheren (runtut) dengan kebenaran sebelumnya dan didukung oleh fakta empiris (koresponden).
Kepercayaan yang sangat tinggi terhadap ilmiah yang demikian ini, nampaknya membawa kesadaran yang kurang atau bahkan tidak apresiatif terhadap pengetahuan yang berada di luar lingkup pengujian ilmiah, termasuk pengetahuan dan nilai-nilai religius. Inilah salah satu ciri modernisme, yakni memisahkan antara pengetahuan ilmiah, dengan pengetahuan yang bersumber dari nilai-nilai religius. Secara umum, yang dirasakan sebagai kelemahan pola berfikir keilmuan modern adalah kepercayaan yang berlebihan terhadap akal dengan mengkesampingkan dimensi spiritual dan nilai-nilai keagamaan.[3]
Secara sosiologis, ekses yang ditimbulkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat luar biasa, yakni terjadinya perobahan sosial yang sangat drastis di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari bebapa indikator, sebagaimana dikemukakan Zakiah Darajat. Pertama, meningkatnya kebutuhan hidup, kedua, meningkatnya rasa individualistis dan egois, dan ketiga, meningkatnya persaingan dalam hidup.[4]
Berbagai ketimpangan hidup yang dialami masyarakat modern di atas, mengakibatkan semakin maraknya upaya pencarian makna intinsik sebagai upaya penyeimbang (balance) hidup. Sebagai contoh, berbagai kelompok ahli yoga, dukun-dukun kebatinan serta organisasi-organisasi kerohanian mulai memperoleh pasaran di dunia barat[5], satu hal yang sangat kontradiktif dari kehidupan rasionalisme.
Uraian di atas menunjukkan bahwa manusia mengalami alienasi diri (self alienation) lantaran orientasi hidupnya diarahkan kepada dunia materi. Dapat dikatakan, bukan manusia yang menguasai materi, melainkan materi yang menguasainya. Menurut Waheed Akhtar, solusi kehidupan sufi tentang problema ini merupakan hal  yang relevan dengan masyarakat modern, yang telah menjadi masyarakat teralienasi.[6] Kehidupan sufi yang dimaksud adalah senantiasa mengorientasikan diri sepenuhnya kepada Allah dengan selalu melanggengkan dzikir.
Paper ini akan mencoba menelusuri konsep al-dzikr menurut ajaran kaum sufi melalui kajian hadits, sehingga dapat dijadikan suluh kehidupan manusia modern, minimal bagi penulis sendiri.


Batasan Pengertian
Secara lughawi (etimologis), perkataan   dzikir     berakar   pada kata dzakara  (ذكر- يذكر- ذكرا) artinya menyebut, mengucapkan (asma Allah)[7], mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti, ingatan[8].  Namun dalam pengertian di sini, perkataan dzikir yang dimaksud adalah dzikr Allah, atau mengingat Allah. Dalam al-Qur’an akan banyak dijumpai ungkapan-ungkapan yang menganjurkan untuk berdzikir[9].
    Secara istilahi (terminologis), dzikir yang dimaksud sebagaimana yang biasa dilakukan kalangan penganut Sufi atau tarekat, yang merupakan bagian dari aktivitas mereka. Biasanya, perilaku dzikir diperlihatkan orang hanya dalam bentuk “renungan” sambil duduk mengucapkan lafadz-lafadz Allah.  Akan tetapi, sebenarnya Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa dzikir itu bukan hanya ekspresi daya ingatan yang ditampilkan dengan komat-kamitnya mulut sambil duduk merenung, tetapi lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam pelbagai variasi yang aktif dan kreatif. Al-Qur’an telah menyebutkan:
الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموت والارض  ربنا ماخلقت هـــذا باطلا  سبحانك فقنا عذاب النار  (ال عمران:)

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.[10]
Nampaknya, pengertian ayat ini serasa menimbulkan dikotomi pengertian antara dzikir dengan tafakkur, kendati pun keduanya merupakan fungsi intelektual. Tetapi, sesungguhnya ada perbedaan pengertian antara keduanya. Yang pertama, terasa lebih menonjolkan segi estetika atau rasa keindahan, yang dalam hal ini adalah hub al-jamal (cinta kepada Zat Yang Maha Indah) yakni Allah  SWT. Sedangkan yang kedua, adalah penonjolan terhadap penggunaan daya pikir untuk membaca gejala-gejala alam yang diciptakan Allah[11]. Dalam keterangan lain, tafakkur merupakan tingkatan dzikir yang tertinggi, yaitu tafakur tentang makhluk-makhluk Allah yang ada di sekitar kita. Karena itulah, orang-orang arif (orang yang benar-benar kenal akan Khaliqnya) disebut orang berdzikir setiap situasi dan kondisi, orang yang berdzikir pada setiap waktu[12]. Tapi sesungguhnya, bagi orang yang beriman, kedua-duanya harus dilaksanakan secara seimbang bersama-sama.
     Sementara itu, H. Aboe Bakar Atjeh, salah seorang ulama Indonesia yang paham dengan masalah ini, memberikan pengertian dzikir sebagai:
   Ucapan jang dilakukan dengan lidah atau mengingat akan Tuhan dengan hati, dengan utjapan atau ingatan jang mempersutjikan Tuhan dan membersihkannja dari sifat-sifat jang tidak lajak untukNja, selandjutnja memudji dengan pudji-pudjian dan sandjungan-sandjungan dengan sifat-sifat jang sempurna, sifat-sifat jang menundjukkan kebesaran dan kemurnian[13].
Bahkan, lebih tegas lagi Al-Kalabadzi[14] memberikan pengertian bahwa “zikir yang sesungguhnya adalah melupakan semuanya, kecuali Yang Esa”[15]. Juga  Hasan Al-Bana, seorang tokoh Ikhwan al-Muslimin dari Mesir, menyatakan bahwa “semua apa saja yang mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah) dan semua ingatan yang menjadikan diri kita dekat dengan Tuhan adalah zikir”[16]. Dari pengertian tadi, agaknya, dzikir baru merupakan  bentuk komunikasi sepihak, antara makhluk (manusia), dengan Khalik saja. Akan tetapi, lebih dari itu, dzikr Allah bersifat aktif dan kreatif, karena komunikasi tersebut bukan hanya sepihak, melainkan bersifat timbal balik. Seperti yang dikatakan oleh Abu Hamid Al-Ghazali[17] (w. 1111), “dzikrullah berarti ingatnya seseorang bahwa Allah mengamati seluruh tindakan dan pikirannya”[18].
    Dengan demikian, implikasi dari adanya perilaku dzikir, yakni mengingat, memperhatikan, mengenang dan merasa bahwa dirinya senantiasa diawasi oleh Tuhan, akan berpengaruh kuat terhadap jiwa dan kesadaran, yang kemudian diaktualisasikan ke dalam bentuk pola pemikiran dan tingkah laku. Memang, antara mengingat, menyadari atau berfikir dengan tingkah laku manusia itu saling berkait dan tidak dapat dipisahkan. Seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Muller Freinfels,[19] bahwa:
    Ingatan dan kesadaran itu timbul disebabkan oleh pacuan yang datang dari luar, namun bisa juga timbul dalam pikiran (jiwa) sebagai hasil suatu reproduksi terhadap pengalaman panca indera. Dari hasil reproduksi muncullah tanggapan, tanggapan yang satu bergabung dengan yang lain, menghasilkan suatu susunan ingatan dan kesadaran.
    Jadi, dzikr Allah bukan hanya sekedar mengingat suatu peristiwa, namun mengingat dengan sepenuh keyakinan akan kebesaran Tuhan dengan segala sifat-Nya serta menyadari bahwa dirinya senantiasa berada dalam pengawasan Allah, seraya menyebut Asma Allah dalam hati dan atau lisan.


Dzikir dan Implementasinya
1.      Perintah Berdzikir
Secara eksplisit, dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu berdzikir kepada Allah. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak memutuskan komunikasinya dengan Sang Pencipta, dan senantiasa menyadari bahwa dirinya selaku diawasi, sehingga seluruh gerak dan perilaku manusia akan terkontrol. Perintah berdzikir ini dinyatakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 41:
ياايها الذين أمنوا  اذكروا الله ذكرا كثيرا  (الاحزاب:)
   “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya”.
Dari ayat ini, Rasulullah SAW, memperkuat lagi dengan statemennya:  

 حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ الطُّفَيْلِ بْنِ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ ثُلُثَا اللَّيْلِ قَامَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا اللَّهَ اذْكُرُوا اللَّهَ جَاءَتْ الرَّاجِفَةُ تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ جَاءَ الْمَوْتُ بِمَا فِيهِ قَالَ أُبَيٌّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي فَقَالَ مَا شِئْتَ قَالَ قُلْتُ الرُّبُعَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ النِّصْفَ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ قَالَ مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قُلْتُ أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا قَالَ إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ (الترمذى باب صفة القيامة والرقائق) .[20]

Hadits ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada setiap manusia untuk selalu berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sesuai  kemampuan masing-masing, kendatipun hanya berbentuk bacaan shalawat Nabi, karena dengan demikian dapat menghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan.
Selain perintah tersebut, Rasulullah SAW. sendiri telah memberikan contoh, betapa beliau setiap waktu senantiasa berdzikir kepada Allah. Informasi ini diperoleh dari hadits berikut :

    حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْمُحَارِبِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ الْبَهِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ يَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ وَالْبَهِيُّ اسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ(الترمذى فى كتاب الدعوات عن الرسول الله[21]


2.      Larangan banyak bicara sampai melupakan dzikir.
Begitu urgennya dzikrullah bagi kehidupan manusia, sampai Rasulullah melarang orang untuk banyak bicara sampai melupakan dzikir, karena jika ini dilakukan akan dapat menutup hati sehingga akan jauh dari Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي ثَلْجٍ الْبَغْدَادِيُّ صَاحِبُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاطِبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ وَإِنَّ أَبْعَد النَّاسِ مِنْ اللَّهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي حَدَّثَنَا َ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي النَّضْرِ حَدَّثَنِي أَبُو النَّضْرِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاطِبٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ بِمَعْنَاهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَاطِب ٍ (متن الترمذى فى كتاب الزهد عن رسول الله) [22]

  
3.      Dzikir bermakna do’a dan shalat.
Jika pengertian dzikir diperluas lagi, ternyata meliputi juga do’a dan shalat (sembahyang), karena di dalamnya unsur “ingat” terasa sangat dominan. Dengan demikian, terlalu sempitlah jika mengartikan dzikir dengan mewiridkan bacaan-bacaan sambil duduk berjam-jam. Akan tetapi, antara dzikir, do’a dan sembahyang, merupakan satu pengertian bentuk komunikasi antara manusia dengan Tuhannya, meskipun dengan corak dan tata cara tersendiri. Tata cara sembahyang akan berbeda dengan berdo’a atau berdzikir, namun dapat pula dirangkaikan antara ketiganya. Misalnya, seusai orang melakukan shalat, disunnahkan untuk berdzikir dan berdo’a. Dzikir sehabis shalat ini sepanjang ajaran Rasulullah SAW. adalah membaca  tasbih[23], tahmid[24], takbir[25], dengan bilangan tertentu, serta ditambah dengan istighfar, tahlil[26] dan doa’-doa[27]. Selain itu, pengertian bahwa shalat sama dengan dzikir, diperoleh dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy, yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda:

 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ بَزِيعٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ شَيْبَانَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْأَقْمَرِ عَنْ الْأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَيْقَظَ مِنْ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا مِنْ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ (سنن ابو داود فى كتاب الصلاة)

       “Barangsiapa yang  membangunkan isterinya pada malam hari, maka mereka lalu melaksanakan shalat dua raka’at secara berjamaah, ditulislah mereka berdua pada golongan orang-orang yang berdzikir banyak kepada Allah”

Pada hadits lain yang senada disebutkan:[28]
حدثتا إبن كثير,  حدثتا سفيان عن مسعر, عن على بن الاقمرح, وحدثنا محمد بن حاتم بن يريع, حدثنا عبيدالله بن موسى عن شيبان, عن الاعمش, عن على بن الأقمر المعنى, عن الأغر,  عن أبى سعيد وأبى هريرة قال: قال رسولالله صلى الله عليه وسلم : إذا أيقظالرجل أهله من الليل فصليا أو صلى ركعتين جميعا كتب (كتبا) فى الذاكرين و (أو) الذاكرات. رواه أبو داود        
Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa shalat pun merupakan salah satu bentuk dzikir kepada Allah, bahkan selanjutnya harus diikuti dengan dzikir yang lain pula. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Nisa’, 4:103:
  فإذاقضيتم الصللاة فاذكروا الله قياما وقعودا وعلى جنوبكم    (النساء:   (
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring”[29].

   4. Dzikir yang paling utama
Dari sekian banyak jenis dzikir, yang paling utama adalah ucapan lâ ilâha illa Allâh. Ini didasarkan pada hadits Nabi SAW.[30]:
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شِمْرِ بْنِ عَطِيَّةَ عَنِ أَشْيَاخِهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ إِذَا عَمِلْتَ سَيِّئَةً فَأَتْبِعْهَا حَسَنَةً تَمْحُهَا قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِنْ الْحَسَنَاتِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ هِيَ أَفْضَلُ الْحَسَنَات  )مسند أحمد : الكتاب مسند الانصارى  باب حديث أبى ذر الغفارى)
Pada hadits lain yang senada juga disebutkan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ كَثِيرِ بْنِ بَشِيرِ بْنِ الْفَاكِهِ قَالَ سَمِعْتُ طَلْحَةَ بْنَ خِرَاشٍ ابْنَ عَمِّ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الْحَمْدُ لِلَّهِ (سنن ابن ماجه   [31]
            Bagi kalangan ahli tasawuf atau tarekat, dzikir semacam itulah yang senantiasa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan tidak meninggalkan ibadah-ibadah lainnya, dalam rangka membersihkan jiwa dari nafsu-nafsu yang dapat merusakkan iman.

5.      Urgensi Berdzikir.
Salah satu motivasi orang berdzikir, adalah karena dapat menyelamatkanya dari siksaan api neraka, seminimal apapun dzikir tersebut. Ini dapat dilihat pada hadits berikut:

 حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِيمَانٍ مَكَانَ مِنْ خَيْرٍ(صحيح البخارى  باب الدعوات)  [32]

Bagi kalangan pengamal tasawuf,  berdzikir tidak akan dilakukan secara minimal, melainkan berusaha untuk memperbanyak sebanyak-banyaknya, karena berapapun jumlah bacaan dzikir akan dihitung sebagai nilai kebaikan di sisi Allah, seperti disebutkan pada hadits berikut:

   حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُمَيٍّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ إِلَّا رَجُلٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْهُ  (صحيح البخارى  بَاب فَضْلِ التَّهْلِيلِ) [33]
           
Itulah sebab mengapa para sufi senantiasa menyibukkan diri dengan dzikirnya dalam setiap saat tanpa putus, baik secara sirr maupun secara jahar. Mereka selalu mengorientasikan dirinya hanya kepada Allah, sebab bagi mereka Allah merupakan suatu obsesi yang luhur dan agung, dan dunia dipandang hanya sebatas sebagai media perjalanan menuju Tuhan. Prinsip ini selanjutnya melahirkan teori tentang zuhud, yakni meninggalkan orientasi dunia material berpindah ke orientasi Ketuhanan. Apalagi hal ini termotivasi adanya hadits  berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ الْمُكْتِبُ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتِ بْنِ ثَوْبَانَ قَال سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ قُرَّةَ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ ضَمْرَةَ قَال سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلَا إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيب (سنن الترمذى باب الزهد)  [34]

Dalam Hadits di atas, kaum sufi berpandangan bahwa dunia materi merupakan penghambat jalan menuju Tuhan, karena  dunia dipandang sebagai sesuatu yang terkutuk/ terlaknat, kecuali bagi mereka yang dzikir kepada Allah, orang yang berilmu atau orang yang mencari ilmu. Dengan demikian terlihat, bahwa dzikir merupakan penyeimbang dalam menghadapi kehidupan material, dalam arti tidak meninggalkan dunia sama sekali dan tidak terikat sepenuhnya kepada materi.
Pada hadits lain Rasulullah menggambarkan perbedaan antara orang yang berdzikir dengan yang tidak, bagaikan orang hidup dengan orang mati. Artinya, orang yang berdzikir hatinya selalu diliputi oleh semangat antusiasme optimis di bawah bimbingan Ilahi dan inilah yang sebenarnya orang hidup; sedangkan sebaliknya orang yang tidak berdzikir, hatinya mati, yang dipikirkan hanyalah kehidupan sesaat, tanpa memperdulikan norma dan hukum agama. Sebagaimana dikatakan:
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ (صحيح البخارى) [35]

Jiwa yang hidup oleh bimbingan Tuhan itulah sebenarnya yang dicari para sufi, karena diyakini bahwa Allah senantiasa bersamanya dan bahkan berada dalam dirinya. Kunci bagaimana agar Tuhan selalu berada dalam diri manusia, adalah dengan selalu berdzikir, sebagaimana tersimpul pada hadits berikut:

  حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَاللَّفْظُ لِأَبِي كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإِنْ اقْتَرَبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ اقْتَرَبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا اقْتَرَبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً (صحيح مسلم بَاب فَضْلِ الذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ وَالتَّقَرُّبِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى)  [36]

  1. Dzikir dan Syukur
 Sesungguhnya orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah, pada hakikatnya merupakan implementasi dari ungkapan rasa syukur kepada Allah atas berbagai nikmat yang telah diberikan. Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) pernah membuat klasifikasi syukur menjadi tiga [37]: pertama, al-syukru bi al-‘ilmi, yakni mengungkapkan perasaan syukurnya  dengan ilmunya lantaran meyakini  serta menyadari bahwa semua nikmat datangnya dari Allah, sehingga bibirnya mengucapkan dzikrullah. Kedua, al-syukru bi al-hâl, yakni mengungkapkan perasaan syukur dengan keadaan seperti memperbanyak amal shalih dan amal sosial (sedekah, zakat, infaq, wakaf) dalam kondisi apapun dan ketiga, al-syukru bi al-af’al, yaitu mengungkapkan perasaan syukur dengan tindakan dan perilaku, seperti menjaga kehormatan diri, memperbanyak ibadah, tidak merusak lingkungan dan lain-lain. Kaitan antara  dzikir dan syukur ini dinyatakan Rasulullah sebagai berikut :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أُبْلِيَ بَلَاءً فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ (ابو داود باب الادب) [38]
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ أُنْزِلَ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ مَا أُنْزِلَ لَوْ عَلِمْنَا أَيُّ الْمَالِ خَيْرٌ فَنَتَّخِذَهُ فَقَالَ أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ سَأَلْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ فَقُلْتُ لَهُ سَالِمُ بْنُ أَبِي الْجَعْدِ سَمِعَ مِنْ ثَوْبَانَ فَقَالَ لَا فَقُلْتُ لَهُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَمِعَ مِنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَذَكَرَ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   (الترمذى) [39]

Pernyataan Nabi tersebut memperkuat firman Allah:
فاذكرونى اذكركم واشكروالى ولا تكفرون  (البقرة:)

7.      Etika Berdzikir.
Di kalangan kaum sufi, terutama penganut tarekat, terdapat dua macam pandangan cara membaca dzikir: dibaca keras (jahar) dan pelan/ dalam hati (sirr). Pembacaan dzikir secara jahar ini, menurut para ahli tarekat, didasarkan pada firman Allah:

فى بيوت اذن الله ان ترفع ويذكر فيها اسمه يسبح له فيها بالغدو والاصال (النور:)

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid  yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang”
Lafadz  wa yudzkara fîhâsmuhu pada ayat di atas, mempunyai pengertian “berdzikir sambil mengucapkan/ menyebut nama Allah dengan bersuara”, atau dengan kata lain, dibaca secara keras (jahar).  Sebaliknya, mengenai dzikir sirr (rahasia), biasanya disebut pula dengan dzikir khafi (samar), dalam  teknis pelaksanaanya, bermula dari mulut berdzikir mengucapkan lafadz ismudzat diikuti hati, kemudian lidah berdzikir sendiri sampai lancar, dengan konsentrasi penuh, dan ingatan semata-mata hanya kepada Allah SWT. dan akhirnya seolah-olah seluruh badan dipenuhi oleh dzikir.[40] Para ulama tarekat mendasarkan dzikir ini pada  firman Allah:

واذكر ربك فى نفسك تضرعا زخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والاصال ولا تكن من الغافليــن  (الاعراف:)

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”.

Selain itu, dalam sebuah hadits pun Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang mengeraskan suaranya ketika menyebut nama Allah (dengan takbir), dengan mengatakan bahwa  Allah itu tidak buta, tidak jauh, melainkan Mahamendengar dan sangat dekat dengan manusia, sebagaimana hadits berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ قَالَ وَأَنَا خَلْفَهُ وَأَنَا أَقُولُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُلْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ جَمِيعًا عَنْ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ عَنْ عَاصِمٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ   بَاب اسْتِحْبَابِ خَفْضِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ(صحيح مسلم)   [41]

  1. Menjaga konstanitas dzikir.
Mengingat begitu urgennya dzikir bagi kehidupan manusia, para pengamal tasawuf akan senantiasa melanggengkan dzikirnya, karena hal ini berkaitan erat dengan kondisi keimanan seseorang, yang bergerak bagaikan grafik : kadang menunjukkan kurva menaik, dan kadang menurun, sebagaimana disebutkan dalam sebuah adagium yang terkenal : al-imânu yazîd wa yanqush.
Salah satu cara untuk menjaga konstanitas/ keajegan, atau bahkan menambah keimanannya itu, menurut kalangan sufi, adalah dengan melanggengkan dzikir, mulâzamat fî al-dzikr, atau terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membawa akibat lupa kepada Allah, dengan cara banyak berdzikir. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits berikut :

 حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ يَعْنِي الطَّيَالِسِيَّ حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى السُّلَمِيُّ الدَّقِيقِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ عَنْ شُتَيْرِ بْنِ نَهَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَبُّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ لَوْ أَنَّ عِبَادِي أَطَاعُونِي لَأَسْقَيْتُهُمْ الْمَطَرَ بِاللَّيْلِ وَأَطْلَعْتُ عَلَيْهِمْ الشَّمْسَ بِالنَّهَارِ وَلَمَا أَسْمَعْتُهُمْ صَوْتَ الرَّعْدِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ حُسْنِ عِبَادَةِ اللَّهِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ  (مسند  أحمد)  [42]
Pengaruh yang ditimbulkan dari berdzikir secara konstan ini, akan mampu mengontrol perilaku seseorang  dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang melupakan dzikir atau lupa  kepada Tuhan, kadang-kadang tanpa sadar dapat saja berbuat maksiat. Namun, manakala ingat kepada Allah, kemudian mengucapkan dzikir, kesadaran akan dirinya sebagai hamba Tuhan akan segera muncul kembali.


Ikhtitâm
Dari uraian di atas terlihat, bahwa al-dzikr merupakan solusi yang sangat tepat dalam mengatasi perlbagai problema kehidupan modern. Terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan pejabat yang merugikan rakyat,  tindak kriminalitas yang semakin meningkat,            penyalahgunaan narkoba, dan semua penyakit sosial, adalah diakibatkan  manusia sudah  jauh dari nilai-nilai Ketuhanan, orientasi hidupnya hanya kepada dunia materi. Oleh karena itu, untuk mengembalikan jiwa manusia kepada jati dirinya yang suci, dzikrullah merupakan solusi yang paling tepat.
والله أعلم بالصواب



DAFTAR MARAJI’

Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar Fikr),  1994   , Juz  I   

---------------, Sunan Abu Daud, (Kairo: Dar al-Hadits), 1988, Juz IV,

Ahmad Ibn Hanbal,
            1992     Musnad Ahmad, juz III (Beirut: Dar al-Fikr. 1992).

al-Albani, M. Nashiruddin , Sunan Ibn Majah,  (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif), 1977   juz III,

al-Anshâry, Jamal al-Dîn Muhammad ibn Makram, Lisân al-‘Arab libn Mandhûr, (Kairo: Muassasat al-Mishriyyat al-‘Âmmat  litta’lîf  wa al-Anbâ’ wa al-Nasyr),  t.t.    juz V

al-Bukhâry, Al-Imâm, Shahîh  al-Bukhâry, (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-‘Araby), t.t.   Juz VIII

al-Dimasyqy, Syeikh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy,
              706 H  Mau’idhat  al-Mu’minin min Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz I, (Beirut: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra) 

al-Ghazali, Bidayat al-Hidayat, trans. H.M.As’ad El Hafidy, (Bandung: Mizan), 1985

-------------, Kimia al-Sa’âdah, trans. Haidar Bagir (Bandung: Mizan),      1984  

al-Kalabadzi, Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Ya’qub al-Bukhari Ajaran Kaum Sufi, trans. Rahmani Astuti (Bandung, Mizan), 1985   

Al-Nawawi, Shahîh Muslim Syarh al-Nawawi, Juz IX,  (Beirut: Dâr al-Fikr.), t.t.  

al-Shan’any, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syawkani al-Yamani, Tuhfat al-Dzakirin, (T.tp.: Dâr al-Kitab al-‘Alamiyyat,)  t.t.     

al-Tirmidzi, Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrat, Al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidzi, Juz IV (Beirut: Beirut: Dâr al-Fikr) 1994.

Asj’ari, Sukmadjaja – Rosy Yusuf, Indeks Al-Qur’an  (Bandung: Pustaka Salman ITB), 1984   

Atjeh, H. Aboe Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), (Djakarta: F.A. H.M. Tawi &  Song Bag. Penerbitan), 1966

Burnham, F.B.,Post Modern Theology (San Fransisco: Harper & Row Publisher), 1989

Darajat, Zakiah, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung), 1982

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, Pelita IV/ tahun I), 1984/1985    

Effendi, Djohan, Sufisme dan Masa Depan Agama (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1993

Faqih, H.M.A. Shodiqin, Dialog Tentang Ajaran Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah (Bandung: Orba Shakti), 1985

Haddad, Allamah Sayid Abdullah, Thariqah Menuju Kebahagiaan, trans. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan), 1986

Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab, juz V (Kairo: Muassasat al-Mishriyyat al-‘Âmmat  litta’lîf  wa al-Anbâ’ wa al-Nasyr), t.t.  

Masaryk, T.G. Modern Man and Religion, (Westport, Connecticut : Greenwood Press Publisher), 1970

Mufid, Ahmad Syafi’i, Zikir Sebagai Pembina Kesehatan Jiwa, (Surabaya: PT Bina Ilmu), 1985

Munawir, Ahmad Warson , 1989  Kamus al-Munawir: Arab – Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak).

Nasr , Sayyed Hossein, Living Sufism (London: George Allen & Unwinn Ltd.), 1980 

Suhrowardi, Syihabuddin, Bidayat al-Sâlikîn, (T.tp.: tp.), t.t. 

Suriasumantri, Jujun S. Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: PT. Gramedia), 1983  

Usman, K.H.M.Ali, H.A.A.Dahlan, H.M.D.Dahlan, Hadits Qudsi, (Bandung:CV. Diponegoro), 1985 
























* Penulis adalah dosen tetap Prodi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Mengajar mata kuliah Ilmu Tasawuf. S1 nya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, S2 nya di IAIN Sumatera Utara dan S3 nya diselesaikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1]F.B. Burnham, Post Modern Theology (San Fransisco: Harper & Row Publisher, 1989), hal. ix.
[2]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hal. 10.
[3]T.G. Masaryk, Modern Man and Religion, (Westport, Connecticut : Greenwood Press Publisher, 1970), hal. 55.
[4] Zakiah Darajat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 10-14.
[5]Sayyed Hossein Nasr, Living Sufism (London: George Allen & Unwinn Ltd. 1980),  hal. 152.
[6]Lihat: Djohan Effendi,  Sufisme dan Masa Depan Agama (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hal. 91.
[7]Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir: Arab – Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989), hal. 482.
[8] Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab, juz V (Kairo: Muassasat al-Mishriyyat al-‘Âmmat  litta’lîf  wa al-Anbâ’ wa al-Nasyr, t.t..), hal. 395.
[9]Lihat misalnya, Q.S. 3: 135; 5:91; 7:201; 11:114, dsb. Periksa: Sukmadjaja Asj’ari – Rosy Yusuf, Indeks Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1904 H – 1984 M), hal. 79.
[10] Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Pelita IV/ tahun I/ 1984/1985), hal. 110.
 [11] Ahmad Syafi’i Mufid, Zikir Sebagai Pembina Kesehatan Jiwa, (Surabaya: PT Bina Ilmu,  1985) ,  hal. 14.
 [12]Lihat: K.H.M.Ali Usman, H.A.A.Dahlan, H.M.D.Dahlan, Hadits Qudsi, (Bandung:CV. Diponegoro, 1985), hal.240, tentang uraian “Berdzikir Dalam Masjid”.
 [13]H. Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), (Djakarta: F.A. H.M. Tawi &  Song Bag. Penerbitan,  1966),  hal.262.
[14]Nama lengkapnya adalah  Ibn Abi Ishaq Muhammad Ibn Ibrahim ibn Ya’qub al-Bukhari al-Kalabadzi, ……………………
[15] al-Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, trans. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1985), hal. cet. I,hal. 125.
[16]Ahmad Syafi’I Mufid, Op.cit., hal. 15
[17]Para penulis Arab sering menyebutnya dengan nama Abu Hamid (kunyah), dan laqab dengan Zainuddin. Namanya sendiri adalah Muhammad bin Muhammad al Tusi, lahir tahun 1058 M (450 H) di Gazalah suatu kota kecil yang terletak di dekat Tus Khurasan (Iran) .
[18] Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, trans. Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1984), cet.II, hal. 80.
[19]Ahmad Syafi’i Mufid, Loc.cit. 
[20]Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrat al-Tirmidzi, Al-Jâmi’ al-Shahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidzi, Juz IV (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), hal. 297-298.
[21] Ibid., juz  V, hal. 249.
[22]Ibid.
[23]Tasbih, ucapan mensucikan Allah berupa bacaan subhanallah                                              
[24]Tahmid, ucapan untuk memuji Allah berupa bacaan  alhamdulillah .                 
[25]Takbir, ucapan untuk menyatakan kemahabesaran Allah berupa bacaan Allahu Akbar .                         
[26]Tahlil, disebut juga lafadz nafi isbat atau kalimat tauhid berupa bacaan la ilaha illa’llah.
[27]Lihat: Allamah Sayid Abdullah Haddad, Thariqah Menuju Kebahagiaan, trans. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan,  1986) cet.I, hal. 114-117. Cf. Al-Ghazali, Bidayat al-Hidayat, trans. H.M.As’ad El Hafidy, (Bandung: Mizan, 1985),  hal.45-50.
[28] Abi Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abu Daud, Jilid I (Beirut: Dar Fikr, 1994), hal. 488.

[29]Departemen Agama RI., Op.cit.,  hal.138. Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan , “waktu malam, siang, di darat, di laut, dalam perjalanan atau tidak, dalam keadaan kaya, miskin, sakit, sehat, secara rahasia atau terang-terangan”. Lihat, Syeikh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy al-Dimasyqy, Mau’idhat  al-Mu’minin min Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz I, (Beirut: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra,  706 H), ‘Bab Kitab al-Adzkar wa al-Da’awat’, hal.85.
                [30]Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Juz III,  Bab Hadits Abi Dzar al-Ghifari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992); Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syawkani al-Yamani al-Shan’any, dalam kitab Tuhfat al-Dzkirin, (T.tp.: Dâr al-Kitab al-‘Alamiyyat, t.t.), hal.230, mencatat matan sebagai berikut: لااله إلاالله أقضل الذكر وهى أقضل الحسنات . رواه الترمذى وأحمد

[31] M. Nashiruddin al-Albani, Sunan Ibn Majah, Bab Fadl al-Hamidin  (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1997), juz III, hal. 245.
[32]Al-Imâm al-Bukhâry, Shahîh  al-Bukhâry, Juz VIII (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-“Araby, t.t.) . 106
[33]Al-Imâm al-Bukhâry, Shahîh al-Bukhâry, Juz IV (Beirut: Maktabah al-Ashriyah, 1977), hal. 2010.
[34]Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrat al-Tirmidzi, Op.cit. hal.
[35]Al-Imâm al-Bukhâry, Op.cit., hal. 107,
[36]Al-Nawawi, Shahîh Muslim Syarh al-Nawawi, Juz IX,  (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), hal. 12.
[37]Syeikh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimy al-Dimasyqy, Mau’idhat  al-Mu’minin min Ihya’ ‘Ulum al-Din, Juz I, (Beirut: Al-Maktabat al-Tijariyat al-Kubra,  706 H), ‘Bab Kitab al-Syukr”. 
[38]Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz IV, (Kairo: Dar al-Hadits, 1988), hal. 257.
[39] Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Sawrat al-Tirmidzi, Op.cit. hal.

[40]H.M.A. Shodiqin Faqih, Dialog Tentang Ajaran Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah (Bandung: Orba Shakti, 1985), hal. 19. Cf. Spencer Trimingham, Op.cit., hal. 202; Syihabuddin Suhrowardi,  Bidayat al-Sâlikîn, (T.tp.: tp., t.t. ) hal. 40.
[41]Al-Nawawi, Op.cit., hal. 25.
[42]Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, juz III (Beirut: Dar al-Fikr. 1992), hal. 8717. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar