METODE BUKHARI DALAM AL-JAMI’
AL-SHAHIH
(Tela’ah atas Tashhih dan Tadh’if
menurut Bukhari)
Masrukhin
Muhsin[1]
Abstrak
Bukhari adalah satu-satunya ahli hadits yang sangat
hati-hati dalam menerima hadits, karena ia dikenal sangat teliti dan ketat
dalam menverikasi hadits (al-Tashih wa al-Tadh’if). Baginya tidak cukup
dikatakan sebuah hadits itu shahih jika tidak menjumpai langsung (al-Liqa’)
dengan sumber asalnya (rawi atau gurunya). Metode yang dikembangkan Bukhari
demikian menjadikan karya tulisnya al-Jami’ al-Shahih ditempatkan pada
peringkat pertama dari kitab-kitab hadits lainnya. Metode yang dikembangkan
Imam Bukhari dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, dilihat dari penamaan
kitabnya al-Jami’ al-Shahih, dan Kedua, langkah-langkah Bukhari dalam melakukan
kajian dan penelitian (al-Istiqra) terhadap hadits. Bukhari hanya mengambil
para perawi tingkatan pertama dari lima
tingkatan murid al-Zuhri untuk diambil haditsnya. Dengan demikian baik syarat
(syuruth al-Shihhah) hadits maupun tingkatan perawinya Bukhari tampaknya selalu
mengambil kriteria yang tertinggi.
Kata
Kunci: Isytirath al-Liqa’
PENDAHULUAN
Dalam kajian hadits, studi sanad
hadits menjadi salah satu obyek kajian dan penelitian yang sangat penting,
karena kedudukannya yang menentukan otensitas dan tingkat sebuah hadits. Sebab
untuk menerima sebuah hadits tidak cukup hanya dengan pengakuan bahwa hadits
yang diriwayatkan itu adalah otentik, berasal dari Nabi SAW. Di samping itu,
seberapa jauh tingkat kualifikasi seorang perawi hadits, apakah dilihat dari ‘adalah,
dhabith, tsiqahnya atau dilihat dari tingkat ketakwaannya, akan sangat
menentukan derajat hadits itu sendiri, apakah shahih, hasan atau dha’if.
Muhadditsin
selanjutnya melakukan kajian-kajian kritik hadits melalui studi al-Jarh wa
al-Ta’dil dan melakukan verifikasi hadits dengan al-Tashih wa al-Tadh’if
terhadap semua hadits dan sanadnya. Namun mereka berbeda pendapat dalam
memberikan kriteria atau syarat bagi perawi hadits untuk dinilai apakah
hadits-hadits yang diriwayatkannya dapat diterima atau tidak. Langkah itu
dimaksudkan sebagai tindakan preventif terhadap upaya pemalsuan hadits atau
menjaga otensitas hadits nabi itu sendiri.
Bukhari adalah seorang ahli hadits
ternama yang memiliki reputasi yang tinggi. Tidak saja karena ia menulis kitab
hadits al-Jami’ al-Shahih, sebuah karya monumental yang pertama kitab
hadits yang memuat hadits-hadits shahih. Namun lebih dari itu Bukhari
adalah satu-satunya ahli hadits yang sangat hati-hati dalam menerima hadits,
karena ia dikenal sangat teliti dan ketat dalam menverikasi hadits (al-Tashih
wa al-Tadh’if). Baginya tidak cukup dikatakan sebuah hadits itu shahih jika
tidak menjumpai langsung (al-Liqa’) dengan sumber asalnya (rawi atau
gurunya). Metode yang dikembangkan Bukhari demikian menjadikan karya tulisnya al-Jami’
al-Shahih ditempatkan pada peringkat pertama dari kitab-kitab hadits
lainnya.
Persoalannya
adalah bagaimana langkah-langkah Bukhari dalam melakukan verifikasi hadits
dengan al-Tashhih wa al-Tadh’if-nya itu. Apakah cukup dengan metode al-Liqa’
yang dimaksud di atas, atau melakukan al-Jarh wa al-Ta’dil pula.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba melakukan penelitian singkat atas metode tashhih
dan tadh’if yang dikembangkan Bukhari dalam kitab al-Jami’
al-Shahih.
BIOGRAFI
BUKHARI
Nama lengkapnya
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ju’fi.
Beliau dilahirkan hari Jum’at, 13 Syawal 194 H di Bukhara. Ayahnya, Isma’il,
adalah seorang ulama hadits pula yang berguru pada sejumlah ulama termasyhur,
seperti Malik bin Anas, Hammad bin Zaid dan Ibn Mubarak. Ia meninggal ketika
Bukhari masih kecil. Riwayat hidupnya ditulis oleh Ibn Hibban dalam kitab al-Tsiqah
dan oleh putranya, Imam Bukhari dalam kitab al-Tarikh al-Kabir.[2]
Bukhari
tergolong hidup dalam keluarga terpandang. Di samping beliau anak dari seorang
ulama yang disegani, secara ekonomis beliau juga tergolong anak orang kaya.
Namun saat Bukhari remaja orang tuanya meninggal dunia.
Imam
Bukhari mulai belajar hadits pada saat beliau masih sangat remaja, bahkan belum
mencapai usia sepuluh tahun. Sebelum mencapai usia 16 tahun, Bukhari telah
berhasil menghafalkan beberapa buah buku ulama, seperti Ibn Mubarak, Waqi’ dan
lain-lain. Beliau tidak hanya menghafal
matan hadits atau buku ulama terdahulu, tetapi juga mengenal betul biografi
para perawi yang mengambil bagian dan penukilan sejumlah hadits, baik data
tanggal dan tempat lahir, tanggal dan tempat meninggal dan sebagainya. Beliau
menetap di Hijaz selama enam tahun untuk mempelajari hadits dan mengembara ke Baghdad
sebanyak delapan kali. Suatu saat ulama Baghdad menguji kekuatan daya hafalan
Imam Bukhari, yang konon pada waktu itu kemasyhuran hafalan beliau
mengguncangkan banyak ulama. Mereka menunjuk sepuluh ulama untuk menguji
hafalan Bukhari. Setiap ulama tersebut mengganti sanad hadits satu dan
menempatkannya pada hadits lain secara acak pada matan yang berbeda. Satu demi
satu penanya menyampaikan pertanyannya. Dan setelah semua penanya selesai
membacakan dan menyampaikan pertanyaan, Imam Bukhari secara sistematis
menerangkan kepada mereka sanad mana yang tepat untuk matan hadits yang mereka
bacakan dan tanyakan.
Pada
masa akhir hidupnya, Imam Bukhari banyak mengalami kekerasan dan dipaksa oleh
pemerintah untuk meninggalkan negara-nya. Dan pada tahun 256 H, tepatnya
tanggal 30 Ramadhan (malam ‘Idul Fitri), Imam Bukhari dipanggil keharibaan
Allah SWT. Beliau wafat di daerah Khirtand, yaitu suatu daerah tidak jauh dari
Samarkand.
GURU-GURU
IMAM BUKHARI
Imam
Bukhari belajar dan mengambil hadits dari sejumlah ulama dari berbagai daerah,
seperti guru beliau di Makkah adalah Abu al-Walid Ahmad bin Muhammad al-Azraqi,
Abdullah bin Yazid al-Muqri, Ismail bin Salim al-Shaigh dan Abu Bakar
al-Humaidi Abdullah bin al-Zubair al-Qurasyi. Di Madinah, beliau berguru pada Ibrahim
bin al-Mundzir al-Hazami, Muthraf bin Abdullah bin Hamzah, Abu Tsabit Muhammad
bin Abdillah, Abdul Aziz bin Abdillah dan Yahya bin Qaz’ah. Di Baghdad, di
antaranya, Muhammad bin Isa al-Thiba’i, Muhammad bin Sabiq, Suraih dan Ahmad
bin Hambal dan lain-lain. Dan masih banyak lagi guru-guru Imam Bukhari di
berbagai kota, seperti Bashrah, Kufah, Mesir, Bukhara, dan kota-kota lainnya.
Karena itu, Imam al-Hakim menyebutkan bahwa Imam Bukhari setiap kali singgah di
sebuah kota menyempatkan belajar kepada guru-guru yang ada di kota tersebut.[3]
KARYA-KARYA
IMAM BUKHARI
Imam
Bukhari menulis banyak kitab dalam berbagai disiplin ilmu, namun yang terbanyak
adalah kitab-kitab yang terkait dengan kajian hadits. Karya beliau yang paling
masyhur adalah Shahih Bukhari. Judul lengkap kitab ini adalah al-Jami’
al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillah wa Sunnatihi wa Ayyamihi.
Beberapa
kitab karya Imam Bukhari lainnya adalah sebagai berikut: Qadhaya
al-Shahabah, Raf’al Yadain, al-Tafsir al-Kabir, al-Musnad al-Kabir, Tarikh
Shaghir, Tarikh Ausath, Tarikh Kabir, al-Adab al-Mufrad, Birrul Walidain,
al-Dhu’afa’, al-Jami’ al-Kabir, al-Asyribah, Asma’ al-Shahabah, al-Wuhdan,
al-Mabsuth, al-‘Ilal, al-Kuna, al-Fawa’id.[4]
METODE
IMAM BUKHARI
Ibn
Hajar, dalam kitabnya al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-Shalah, memberikan
uraian singkat tentang metode Bukhari. Ia menyebutkan bahwa metode yang
dikembangkan Imam Bukhari dapat dilihat dari dua sisi:[5]
Pertama, dilihat dari penamaan kitabnya al-Jami’
al-Shahih, dan
Kedua, langkah-langkah Bukhari dalam melakukan kajian
dan penelitian (al-Istiqra) terhadap hadits.
Oleh
karena itu, untuk memperoleh gambaran utuh tentang metode Bukhari maka kajian
terhadap kitab al-Jami’ al-Shahih dan langkah-langkah tashhih dan
tadh’if-nya merupakan suatu keniscayaan.
MENGENAL
AL-JAMI’ AL-SHAHIH
Nama lengkap kitab Bukhari adalah al-Jami’
al-Shahih al-Musnad al-Mukhtashar min Umur Rasulillah SAW wa Sunnatihi wa
Ayyamihi.
Kata al-Jami’
dalam ilmu hadits mengandung pengertian bahwa kitab tersebut menghimpun
hadits dari berbagai bidang, seperti aqidah, hukum, tafsir, tarikh dan
sebagainya. Dalam kitab al-Jami’ al-Shahih, Bukhari memasukkan semua
hadits shahih yang berkaitan dengan al-Ahkam, al-Fadha’il, al-Akhbar masa
lalu dan masa yang akan dating dan sebagainya.[6]
Sedangkan
kata al-Shahih mengandung maksud bahwa Bukhari tidak memasukkan
hadits-hadits dha’if kecuali hadits shahih. Bahkan ia menegaskan dengan
pernyataan “Ma Adkhaltu fi al-Jami’ Illa Ma Shahha”.
Adapun
yang dimaksud dengan al-Musnad dalam penamaan kitab tersebut adalah
bahwa Bukhari tidak memasukkan ke dalam kitabnya selain dari hadits yang
sanadnya bersambung (muttashil) melalui sahabat sampai ke Rasulullah
SAW, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir. Sedangkan selain itu ia
jadikan sebagai pendukung (mutabi’) dan pembanding, bukan prinsip (ashl)
dan tujuan utama.[7]
Dengan demikian, menurut penilaian Bukhari, hadits-hadits yang terdapat pada al-Jami’
al-Shahih adalah muttashil kepada Nabi SAW, dan karenanya dapat
dipertanggungjawabkan otensitasnya.
Kitab
ini mulai ditulis ketika Bukhari berada di Masjid al-Haram Makkah, dan berakhir
ketika ia berada di Masjid Nabawi Madinah. Proses penulisan kitab ini memakan
waktu 16 tahun. Dan untuk setiap hadits yang beliau seleksi dan masukkan ke dalam
kitab shahihnya, Imam Bukhari selalu mandi dan berwudlu kemudian melakukan
shalat nafilah dan beristikharah. Hal tersebut dilakukan sebagai
tindakan kehati-hatian dan untuk memperoleh pertolongan Allah, karena obsesi
Bukhari terhadap kitabnya sebagai hujjah antara dirinya dengan Allah SWT.
Sebagaimana dikutip ‘Ajjaj al-Khathib, Bukhari mengatakan: “Ja’altuhu
Hujjatan Baini wa Bainallah”.[8]
Kitab al-Jami’
al-Shahih merupakan kitab pertama yang hanya menghimpun hadits-hadits shahih
saja. Di dalam kitab ini, menurut sebuah pendapat, terdapat 9082 buah
hadits, disertai pengulangan, yang terseleksi dari sekitar 600000 hadits.[9]
Adapun jika tidak diulang, menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani, sebagaimana dikutip
oleh Abu Syu’bah, jumlah keseluruhannya sebanyak 2602 hadits. Muhammad Shadiq
Najmi menyebutkan bahwa dalam kitab al-Jami’ terdapat 7275 hadits
disertai pengulangan, dan jika tanpa pengulangan jumlah keseluruhan haditsnya
adalah 4000 hadits.
Menurut
Muhibbudin al-Khathib, sebagaimana dikutip Muham-mad ‘Ajjaj al-Khathib,
perhitungan paling akurat terhadap hadits shahih Bukhari adalah sebagaimana
yang dilakukan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi. Menurutnya, jumlah hadits dalam Shahih
Bukhari disertai pengulangan sebanyak 7563, selain ta’liq, muttabi’,
mauquf dan munqathi’. Sedangkan jika tanpa pengulangan jumlah
keseluruhan haditsnya sebanyak 2607.[10]
SISTEMATIKA PENULISAN KITAB AL-JAMI’ AL-MUSNAD AL-SHAHIH
KARYA IMAM AL-BUKHARI
Dengan
usaha kerasnya dalam mengumpulkan dan meneliti hadits guna memastikan kesahihannya,
akhirnya tersusunlah sebuah kitab hadits sebagaimana yang dikenal saat ini.
Usaha kerasnya ini tergambar dalam sebuah pernyataannya “Aku menyusun kitab
al-Jami’ al-Musnad al-Sahih ini adalah hasil seleksi dari 600.000 buah hadits
selama 16 tahun.”[11]
Dalam
rangka menyusun kitabnya ini, dan guna memastikan kesahihan sebuah hadits, di
samping berusaha secara fisik ternyata ia juga tidak meninggalkan non fisik.
Dari informasi yang disampaikan salah seorang muridnya yang bernama al-Firbari
bahwa ia pernah mendengar Muhammad bin Isma’il al-Bukhari berkata: “Aku
menyusun al-Jami’ al-Musnad al-Shahih ini di Masjid al-Haram, aku tidak
memasukkan sebuah hadits pun ke dalam kitab itu sebelum aku shalat istikharah
dua rakaat setelah itu aku baru betul-betul merasa yakin bahwa hadits tersebut
adalah hadits shahih.”[12]
Dalam
hal penulisan sebuah kitab hadits dikenal ada empat macam sistematika, pertama
adalah sistematika kitab shahih dan sunan, yaitu sebuah kitab yang disusun
dengan cara membagi menjadi beberapa kitab dan tiap-tiap kitab dibagi menjadi
babarapa bab. Kedua, Sistem Musnad, yaitu sebuah kitab hadits yang disusun
menurut nama periwayat pertama yang menerima dari Rasul SAW, seperti sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar diletakkan di bawah nama Abu Bakar.[13]
Ketiga, sebuah kitab hadits yang disusun berdasarkan lima bagian-bagian
tertentu yaitu bagian hadits yang berisi perintah, berisi larangan, berisi
khabar, berisi ibadah dan bagian yang berisi tentang af’al secara umum.
Keempat, kitab yang disusun menurut sistematika kamus.[14]
Kitab
hadits karya Bukhari disusun dengan memakai sistematika model pertama, yaitu
dengan membagi menjadi beberapa judul tertentu dengan istilah Kitab berjumlah
97 Kitab. Istilah Kitab dibagi menjadi beberapa sub judul dengan istilah Bab
berjumlah 4550 bab,[15]
dimulai dengan bab Bad’u al-Wahy kemudian disusul kitab al-Iman, kitab al-‘Ilm,
Kitab Wudlu’ dan seterusnya dengan jumlah hadits secara keseluruhan 7275 buah
hadits termasuk yang terulang atau sebanyak 4000 buah hadits tanpa pengulangan.[16]
METODE
TASHHIH DAN TADH’IF MENURUT BUKHARI
Di
kalangan Muhadditsin maratib hadits berbeda-beda dilihat dari aspek kuat
dan lemahnya sanad hadits. Mahmud Thahhan, misalnya, membagi hadits dari segi
kuat dan lemahnya sanad hadits kepada dua bagian; hadits maqbul dan
hadits mardud. Dari keduanya dibagi kepada martabat-martabat hadits
lain. Di samping itu, pembagian tersebut juga akan mempunyai implikasi terhadap
kekuatan hujjah hadits.
Imam Bukhari adalah seorang
muhaddits yang dikenal ketat dalam memasukkan haditsnya. Hal tersebut karena
Imam Bukhari menetapkan hadits shahih dengan tingkat kriteria sanad yang
tinggi. Beliau tidak begitu mudah menerima sebuah hadits tanpa melakukan
kroscek dan penelitian yang mendalam terhadap sanad hadits itu. Dalam melakukan
penelitian terhadap hadits tersebut selanjutnya Bukhari menentukan kriteria dan
kategorisasi hadits, baik sanad maupun matannya.
SYARAT-SYARAT
KESHAHIHAN HADITS MENURUT BUKHARI
Dalam
konteks ini, Bukhari menggariskan beberapa syarat yang tegas untuk hadits
shahih:
- Perawi
harus ‘adil, dhabith, tsiqah, tidak mudallis (berdusta)
- Sanadnya
bersambung (Muttashil), tidak mursal, munqathi’, atau mu’dhal.
- Matan
hadits tidak janggal dan tidak cacat.
Berkenaan dengan syarat ittishal yang
ditetapkan Bukhari, al-Husaini, mengutip keterangan Ibn Hajar, menjelaskan
bahwa maksud dari ittishal adalah bahwa seorang perawi tidak saja harus
sezaman (mu’asharah) dengan marwi ‘anhu (orang yang diriwayatkan
haditsnya oleh perawi), tetapi harus juga bertemu (liqa’)meskipun hanya
sekali.[17]
Oleh karena itu, maka ulama mengatakan bahwa Bukhari memiliki dua syarat;
syarat mu’asharah dan syarat liqa’.
Di samping beberapa syarat di atas,
Bukhari juga menetapkan kriteria tingkat perawi (thabaqat al-Ruwat)
dalam haditsnya. Hammam Abdurrahim menjelaskan thabaqat al-Ruwat menurut
Bukhari sebagai berikut:[18]
- Tingkatan
pertama adalah para perawi yang terkenal ‘adil, dhabith, dan lama
bersama gurunya.
- Tingkatan
kedua adalah para perawi yang terkenal ‘adil, dhabith, tetapi sebentar
bersama gurunya.
- Tingkatan
ketiga adalah para perawi yang lama bersama gurunya, tetapi kurang kedhabithannya.
- Tingkatan
Keempat adalah para perawi yang sebentar bersama gurunya dan kurang kedhabithannya.
- Tingkatan
kelima adalah para perawi yang terdapat cacat atau cela pada dirinya.
Dari kelima tingkatan perawi (Thabaqat al-Ruwat)
di atas, Bukhari mengambil tingkatan pertama dari para perawi hadits untuk
diambil hadits darinya. Dengan demikian baik syarat (syuruth al-Shihhah)
hadits maupun tingkatan perawinya Bukhari tampaknya selalu mengambil kriteria
yang tertinggi.
LANGKAH-LANGKAH
TASHHIH WA TADH’IF BUKHARI
Pada dasarnya Bukhari tidak
mengajukan syarat-syarat tertentu yang dipakai untuk menetapkan keshahihan
hadits secara jelas. Karena persyaratan tersebut di atas diketahui melalui
penilaian terhadap kitabnya. Menurut kesimpulan para ulama, Bukhari dalam kitab
shahihnya selalu berpegang pada tingkat keshahihan yang paling
tinggi, kecuali bagi beberapa hadits yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.[19]
Para perawi itu berbeda-beda dalam
menerima hadits dari para guru-gurunya. Ada yang kuat hafalannya dan ada yang
lemah, ada yang lama belajarnya dan ada pula yang hanya sebentar. Mereka juga
berbeda-beda sifat ‘adil dan kejujurannya. Dalam hal ini, Bukhari hanya
berpegang pada perawi yang paling tinggi derajatnya. Sebagai contoh murid
al-Zuhri dapat digolongkan menjadi lima tingkatan. Masing-masing tingkat
mempunyai keistimewaan lebih tinggi dari tingkatan sesudahnya. Tingkat pertama
adalah yang memiliki sifat ‘adil, kuat hafalan, teliti, jujur dan lama
mengikuti al-Zuhri, seperti Imam Malik dan Sufyan bin ‘Uyainah. Perawi inilah
yang dipakai oleh Bukhari dalam kitab shahihnya. Sedangkan tingkat
selainnya Bukhari tidak mengambilnya kecuali sedikit hadits dari tingkat kedua.
Berdasarkan syarat keshahihan
hadits di atas, maka Bukhari hanya menerima riwayat hadits yang jelas ketsiqahan
perawinya hingga sahabat yang masyhur, serta muttashil sanadnya, bukan munqathi’.
Karenanya jika seorang sahabat terdapat dua perawi atau lebih maka ia dinilai
hasan, tapi jika hanya terdapat satu perawi namun shahih sanadnya, maka Bukhari
tetap mengambilnya. Namun demikian, ketika status perawi itu tidak jelas (syubhat),
maka Bukhari juga tetap meninggalkannya, berbeda dengan imam Muslim yang
mengambil-nya.[20]
Seperti Hammad bin Salamah, Suhail bin Abi Shalih, Daud bin Abi Hind, Abi
al-Zubair dan al-‘ala bin Abdurrahman, mereka dinilai oleh Bukhari sebagai
perawi yang syubhat, status periwayatannya masih diperselisihkan oleh beberapa
kalangan, maka Bukhari tetap meninggalkan hadits mereka, meskipun mereka adil
dan tsiqah.[21]
Bukhari mencontohkan bahwa Suhail bin Abi Shalih adalah perawi yang tsiqah,
tetapi diragukan periwayatannya (sima’) dari orang tuanya. Oleh karena itu,
Bukhari hanya mengambil haditsnya, dari jalur selain ayahnya. demikian pula
hammad bin Salamah, ketika banyak kalangan mengatkan bahwa dalam hadits Hammad
terdapat sisipan yang bukan hadits dari para pendusta, maka Bukhari tidak
meriwayatkan haditsnya, meskipun Bukhari sendiri mengetahui bahwa Hammad adalah
seorang perawi yang tsiqah.[22]
Dengan demikian, Bukhari hanya
menilai shahih sebuah hadits jika sanad hadits tersebut benar-benar shahih dan
tidak ada kemungkinan cacat, walaupun diriwayatkan oleh banyak periwayat.
Karena, menurutnya, yang menjadi pertimbangan adalah keshahihan sanad bukan
jumlah sanadnya.[23]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Imam
Bukhari adalah seorang yang memiliki reputasi yang tinggi dalam bidang hadits.
Ia tidak hanya mempunyai kemampuan hafalan yang tinggi, namun kajian dan
penelitiannya terhadap hadits membedakan antara dirinya dengan yang lain.
2.
Kitab al-Jami’
al-Shahih merupakan karya monumental dalam bidang hadits. Di dalamnya
memuat hadits-hadits shahih.
3.
Metode
Bukhari dapat dilihat dari dua hal, pertama: Dalam tulisan kitabnya, al-Jami’
al-Shahih, dan kedua, dari segi kajian dan penelitiannya yang dikenal ketat
dan teliti, di mana ia menggunakan standarisasi dalam menentukan shahih atau
tidaknya sebuah hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Muhammad bin Musa
al-Hazimi, Syuruth al-A’immah al-Khamsah, Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, al-Imam
al-Bukhari Muhadditsan wa Faqihan,Kairo: Dar al-Qaumiyyah, t.t.
Hammam Abdurrahim, al-Fikr
al-Manhaji ‘Inda al-Muhadditsin, Qathar: Kitab al-Ummah, 1408.
Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Ibn Hajar, al-Nukat ‘ala Kitab
Ibn Shalah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.
Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn
Shalah, Mesir: 1326 H
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul
al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Mahmud Thahhan, Taisir Mushthalah
al-Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Muhammad bin Thahir al-Muqaddasi, Syuruth
al-A’immah al-Sittah, Beirut, Dar al-Fikr, 1984.
Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab
al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah, Kairo: Majma’ al-Buhuts
al-Ilmiyyah, 1981.
Mahrus Ridwan Abdul Aziz, Dirasat
fi Manahij al-Muhadditsin, Kairo: al-Fajr al-Jadid, 1992.
[2]
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah
al-Sittah, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1981), h. 37.
[3]
Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, al-Imam al-Bukhari Muhadditsan wa Faqihan, (Kairo:
al-Dar al-Quumiyyah, t.t), h. 32-36.
[4]
Mahrus Ridwan Abd Aziz, Dirasat fi Manahij al-Muhadditsin, (Kairo:
al-Fajr al-Jadid, 1992), h. 127.
[5]
Ibn Hajar, al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-Shalah,(Beirut: Dar al-Kutub
al-ilmiyah, 1993), Lihat juga Muhammad Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits,
h. 313.
[6]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1989, 1989), h. 313.
[7]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits…., Ibid.
[8]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits…., Ibid. h. 312.
[9]
Ibn shalah, Muqaddimah Ibn Shalah, (Mesir: ttp., 1326 H), h.4
[10]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits…., Ibid. h. 312.
[11]
Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihhah al-Sittah, ttp: Majma’
al-Buhuts al-Islamiyyah, 1969.
[12]
Yang dimaksud dengan disusun di Masjid al-Haram adalah Bukhari mulai menyusun
draft kitab tersebut di Masjid al-Haram kemudian menulis pendahuluan di
Raudlah, setelah itu ia mengumpulkan dan menyeleksi hadits serta menempatkannya
di bawah bab-bab atau topik-topik tertentu. Ibid., 58-59.
[13]
Untuk mencari sebuah hadits dalam kitab ini sangat sulit, tetapi dapat
dipermudah dengan adanya buku Miftah Kunuz al-Sunnah yang memuat 12 buah kitab
hadits dan al-Mu’jam al-Mufahras memuat 9 buah kitab hadits.
[14]
Hasbi ash-shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang,
1980.
[15]
Menurut Hasbi ash-Shiddiqi bab-babnya berjumlah 3521. Pokok-pokok Ilmu
Dirayah Hadits, Jilid I. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 208-211.
[16]
Menurut perhitungan Ibn Shalah, dikutip oleh ‘Abd al-Muhsin bin Hammad
al-‘Abbad, ‘Isyruna Haditsan min Shahih al-Bukhari, (Madinah:
al-Salafiyah, 1980), 15.
[17]
Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, al-Imam al-Bukhari, Muhadditsan wa Faqihan, (Kairo:
Dar al-Qaumiyyah, ttp), h. 28-29.
[18]
Hammam Abdurrahim, al-Fikr al-Manhaji ‘Inda al-Muhadditsin, (Qathar:
Kitab al-Ummat, 1408), h. 119.
[19]
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah
al-Sittah, (Kairo: Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, 1981), h. 48.
[20]
Imam Muslim tetap mengambil hadits yang ditinggalkan oleh Bukhari sete;ah ia
menghilangkan subhat yang ada pada perawi hadits tersebut. Seperti, menurut
Imam Muslim, Suhail bin Abi Shalih meriwayatkan hadits tidak hanya dari
ayahnya, ia juga meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar dari ayahnya, saat lain
dari al-A’masy dari ayahnya, dan pada saat lain pula ia meriwayatkan dari
saudaranya dari ayahnya. dengan demikian kesyubhatan riwayat dari ayahnya dapat
dihilangkan dengan adanya jalur periwayatan selain dari ayahnya. demikian pula
dengan Hammad bin Salamah, Imam Muslim mengambil haditsnya karena alas an bahwa
semua riwayat haditsnya hampir diriwayatkan oleh kalangan yang masyhur, seperti
Tsabit al-Bannani dan Ayub al-Sijistani.
[21]
Muhammad bin Thahir al-Muqaddasi, Syuruth al-A’immah al-Sittah, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1984), h. 17-18.
[22]
Menurut al-Dzahabi, sebenarnya Bukhari juga meriwayatkan hadits-hadits mereka,
tetapi itu sebatas keperluan sebagai penguat (istisyhad), di samping
Bukhari juga ingin menunjukkan bahwa pada dasarnya mereka adalah tsiqah.
Langkah meninggalkan yang dilakukan oleh Bukhari terhadap hadits mereka lebih
pada latar belakang keraguan tentang periwayatan hadits mereka. Lihat catatan
kak Muhammad bin thahir al-Muqaddisi, Syuruth al-A’immah al-Sittah, , (Beirut:
Dar al-Fikr, 1984), h. 61.
[23]
Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syuruth al-A’immah al-Khamsah,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar