ISYARAT PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH DALAM AL-QUR’AN: MENCERMATI
PERBEDAAN KRITERIA & METODE PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH DI INDONESIA[1]
Abstrak
Di dalam
al-Qur’an dijelaskan bahwa penentuan awal bulan Kamariah; dalam hal ini awal
bulan Ramadan adalah dengan keberhasilan menyaksikan hilal. Baik secara
langsung melaksanakan rukyatul hilal ataupun berdasarkan perhitungan/ hisab
telah memenuhi kriteria imkanurrukyah. Sistem kalender yang digunakan oleh umat
Islam dinamakan dengan kalender Hijriah. Sistem kalender ini didasarkan pada manzilah-manzilah
(perubahan posisi bulan) atau dikenal juga dengan sebutan tahun Kamariah. Satu tahun terdiri dari dua belas
bulan. Perhitungannya menggunakan patokan patokan peredaran bulan yang
sebanarnya (hisab Hakiki). Dan tidak mengenal adanya tahun Kabisat (tahun
panjang) dan bulan sisipan (Nasi’).
Kata Kunci:
Awal Bulan Kamariah, al-Qur’an
Pendahuluan
Merupakan
keprihatinan kita bersama, di mana sering terjadinya perbedaan dalam penetapan
awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah di kalangan umat Islam di Indonesia.
Dalam mengawali puasa Ramadan terkadang terdapat beberapa hari yang berbeda,
demikian juga ketika melaksanakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka lalu
muncullah istilah lebaran ganda.
Setelah
reformasi di Indonesia, kondisi ini seolah menjadi hal yang lumrah terjadi.
Bahkan walaupun terwujud kesepakatan
para ulama ahli ilmu Falak dari kalangan pesantren dan para ahli astronomi di
Indonesia pada Sidang Isbat dalam penentuan
awal bulan Ramadan, Syawal, dan
Zulhijah tetap saja ada kelompok-kelompok yang berbeda dengan hasil kesepakatan
tersebut.
Sebagian
kelompok tarekat tertentu dan pengikut Kejawen yang menggunakan penanggalan
Aboge atau Asopon memulai puasa Ramadan mereka pada hari yang berbeda dengan
hasil penetapan pemerintah di atas.
Penentuan dan
penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itu menjadi sangat
penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan
apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak
dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat.
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
memberikan arahan tentang bagaimana sistem kalender hijriah tersebut. Ayat-ayat tersebut selanjutnya yang dijadikan
landasan penetapan awal buan Kamariah.
Pensyari’atan
Ibadah Puasa Ramadan
Salah satu ibadah pokok dalam ajaran Islam
adalah puasa di bulan Ramadan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 185
dijelaskan bagaimana cara penentuan awal bulan Ramadan tersebut; yakni dengan
menyaksikan keberadaan hilal pada tanggal 29 bulan Syakban. Jika hilal berhasil
dilihat atau dinyatakan bahwa hilal
berdasarkan perhitungan (hisab) memenuhi
kriteria imkanurrukyah maka ditetapkan
besoknya adalah tanggal satu Ramadan. Adapun jika hilal tidak berhasil
dirukyah atau dinyatakan bahwa hilal
berdasarkan perhitungan (hisab) tidak atau belum memenuhi kriteria imkanurrukyah maka ditetapkan istikmal;
keesokan harinya adalah hari terakhir dari bulan yang sedang berjalan; yakni
tanggal 30 Syakban.
Inilah panduan
secara umum penentuan awal bulan dalam sistem kalender Islam. Berikut ini
petikan QS. Al-Baqarah/ 2:185:
(Beberapa hari
yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu… QS.
Al-Baqarah/ 2:185.
Maka barang siapa di antara kamu hadir pada
bulan itu (yakni Ramadan) yakni berada pada negeri tempat tinggalnya atau
mengetahui munculnya awal bulan Ramadan, sedang ia tidak berhalangan; halangan
yang dibenarkan oleh Syara’, maka hendaklah dia berpuasa. Ada pula yang
mengartikannya maka barang siapa di antara kamu mengetahui kehadiran bulan ini
dengan melihatnya sendiri secara langsung atau melalui informasi yang dapat
dipercaya, maka hendaklah ia berpuasa.
Mengetahui kehadirannya dengan melihat langsung atau melalui perhitungan, bahwa ia dapat
dilihat dengan mata kepala--walaupun secara faktual tidak terlihat karena satu
dan lain hal, misalnya karena awan atau kabut, maka hendak berpuasa. Yang tidak
melihatnya dalam pengertian di atas wajib berpuasa bila ia mengetahui
kehadirannya melalui orang tepercaya.[2]
Penyaksian
hilal dikenal dengan rukyatul hilal. Ia adalah suatu kegiatan atau usaha
melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah
Matahari terbenam menjelang awal bulan baru—khususnya menjelang bulan Ramadan,
Syawal dan Zulhijah—untuk menentukan
kapan bulan baru itu dimulai.[3]
Rukyah yang
dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah
rukyah yang mu’tabar. Yakni rukyah yang dapat dipertangungjawabkan
secara hukum dan ilmiah. Rukyah yang demikian harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
1.
Rukyah
dilaksanakan pada saat Matahari terbenam pada malam tanggal 30 atau akhir 29
nya.
2.
Rukyah dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah tanpa
penghalang antara perukyah dan hilal.
3.
Rukyah
dilaksanakan dalam keadaan posisi hilal positif terhadap ufuk (di atas ufuk)
4.
Rukyah
dilaksanakan dalam keadaan hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)
5.
Hilal
yang dilihat harus berada di antara wilayah titik Barat antara 30 derajat ke
Selatan dan 30 derajat ke Utara[4].
Dalam penanggalan hijriah, awal berlangsungnya
tanggal di mulai pada saat matahari terbenam (ghurub). Sedangkan awal
bulan hijriah bergantung pada posisi hilal saat ghurub tanggal 29 bulan
hijriah bulan yang sedang berjalan, seperti berikut:
1.
Jika
pada saat ghurub tanggal 29, posisi bulan belum mencapai ijtimak, secara
astronomis maka bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari, atau keesokan
harinya masih berada di bulan yang sedang berjalan pada tanggal 30.
- Jika pada saat ghurub tanggal 29
ijtimak sudah terjadi, posisi hilal terhadap Matahari negatif atau hilal
terbenam terlebih dahulu dibanding Matahari, maka umur Bulan yang sedang
berjalan berumur 30 hari
- Jika pada saat ghurub tanggal 29,
ijtimak sudah terjadi sebelum ghurub, posisi hilal positif atau
matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding bulan, maka penentuan awal
bulan berdasarkan kriteria Syari’ah. Keesokan harinya jika memenuhi
kriteria yang dipakai berarti sudah masuk awal bulan atau tanggal 1 bulan
baru hijriah. Jika belum memenuhi kriteria maka besoknya tanggal 30 bulan yang
sedang berjalan.
- Dalam beberapa kasus
tertentu, tinggi hilal sudah positif pada saat ghurub, namun
ijtimak belum terjadi. Secara astronomis dapat diterangkan bahwa hilal
yang berada di atas ufuk tersebut bukan hilal awal bulan melainkan bulan
sabit tua menjelang bulan baru atau bulan mati, sehingga keesokan harinya
berada pada tanggal 30 bulan yang sedang berjalan[5].
Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia
telah dapat merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk
keperluan praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi,
pergerakan benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun telah dapat
ditentukan dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan ini, berkembang pula pemahaman terhadap nash
agama yang membuat observasi/rukyat tidak lagi menjadi satu-satunya metode
dalam penentuan awal bulan[6].
Penjelasan
Tentang Syahr (Konsepsi Tentang Bulan)
Allah berfirman dalam surat
at-Taubah/ 9 ayat 36 sebagai berikut:
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
Maka janganlah kamu menganiaya diri[7]
kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa. QS. At-Taubah/
9:36.
Penjelasan ayat di atas tentang bulan mempunyai
kaitan yang erat dengan pelaksanaan ibadah haji dan kewajiban zakat. Seperti dikemukakan pada ayat
sebelumnya yang mengecam mereka yang enggan membayar zakat (QS at-Taubah/9:
34-35).
Ayat ini juga membicarakan tentang keburukan
kaum musyrikin terkait dengan bilangan bulan dalam setahun yang sering mereka
tambah atau putar balikkan tempatnya. Allah menegaskan bahwa Sesungguhnya batas
yang tidak dapat ditambah atau kurangi menyangkut bilangan bulan di sisi Allah, yakni menurut
perhitungan dan ketetapan-Nya adalah dua belas bulan tidak lebih ataupun
kurang juga diputar balikkan tempatnya.[8]
Nama-nama
bulan-bulan dalam penanggalan Hijriah tersebut, sebagai berikut:
Nama-Nama Bulan Kamariah
Bulan
|
Nama Bulan
|
No
Bulan
|
Nama Bulan
|
1
|
Muharam
|
7
|
Rajab
|
2
|
Safar
|
8
|
Syakban
|
3
|
Rabiul
Awal
|
9
|
Ramadan
|
4
|
Rabiul
Akhir
|
10
|
Syawal
|
5
|
Jumadil
Awal
|
11
|
Zulkaidah
|
6
|
Jumadil
Akhir
|
12
|
Zulhijah
|
Bilangan ini merupakan ketetapan Allah sejak
awal peciptaan langit dan bumi yang atas keberadaannya waktupun tercipta. Di
antara dua belas bulan tersebut, terdapat empat bulan tertentu; bulan-bulan Haram
(agung) itulah ketetapan agama Allah yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya
dirimu di dalamnya. Namun diperbolehkan
memerangi atas penganiayaan orang lain. Dan
perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka memerangi
kamu semuanya kapanpun perang itu harus dilakukan. [9]
Masyarakat Arab
pra Islam mengakui dan sangat mengagungkan bulan-bulan Haram. Dari keempat
bulan Haram itu, tiga di antaranya disepakati yaitu Zulkaidah, Zulhijah, dan
Muharam. Untuk bulan keempat, mayoritas suku bangsa Arab mengagungkan bulan
Rajab, sedangkan suku Rabi’ah mengagungkan bulan Ramadan. Dalam sistem
penanggalan Islam terdapat bulan-bulan Haram. Bulan Haram adalah bulan-bulan
yang dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan.
Bulan-bulan Haram adalah bulan ibadah lagi agung di sisi Allah. Karena itu
beribadah pada masa itu berdampak positif dan mengundang dampak positif dan
pahala di sisi Allah. Demikian juga sebaliknya jika berbuat dosa. [10]
Pengertian bulan yang dimaksud dalam ayat
ini adalah perhitungan bulan menurut
kalender Kamariah; yakni perhitungan waktu menurut peredaran bulan. Perhitungan
bulan Kamariah ini telah digunakan oleh masyarakat Arab sebelum Islam. Ketika
Islam datang, kemudian diadopsi oleh Islam dengan mengembalikannya kepada sistem
Kalender Bulan murni dan menghilangkan bulan tambahan; yang dikenal dengan
istilah Nasi’.
Mengenai Nasi’ ini lebih lanjut dijelaskan
dalam lanjutan ayat sebelumnya, yang
berbunyi:
Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu[11]
adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan
mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan
bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang
buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. QS. At-Taubah/
9:37
Ayat ini mengecam mereka yang menambah-nambah
bilangan bulan dan memutar balikkan waktu-waktu bulan haram; baik dengan
menambah atau mengundur-undurnya.[12]
Masyarakat Jahiliah adalah masyarakat yang mengakui keagungan bulan-bulan
Haram. Namun mereka sangat mengandalkan perburuan dan peperangan. Karena itu mereka
sulit menghentikan perburuan dan peperangan pada bulan-bulan Haram tersebut
secara berturut-turut. Ketika itu boleh jadi peperangan mereka lanjutkan pada
salah satu bulan Haram, misalnya mereka melakukan peperangan pada bulan Muharam
lalu mereka mengundurkan bulan haram itu menjadi bulan Safar. Bahkan jika masih
membutuhkan waktu tambahan untuk berperang, mereka undurkan lagi bulan Haram ke
bulan Rabiul Awal. Demikianlah praktek yang berlaku di tengah-tengah mereka. [13]
Ketika Nabi saw melaksakan haji Wada pada tahun 10 H, barulah beredaran
bulan-bulan kembali atau sesuai dengan keadaan atau perhitungan kalender
Kamariah yang sebenarnya. Dengan demikian pelaksanaan ibadah haji benar-benar
jatuh pada bulan Zulhijah. Rasulullah dalam khutbahnya menyatakan,” Masa telah
beredar (yakni bulan-bulan telah berlalu akibat pegunduran-pengunduran)
sehingga kini telah kembali kepada keadaannya sebagaimana ketika penciptaan
langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan Haram (agung).”[14]
Manzilah-Manzilah
Bulan Merupakan Petunjuk Waktu Bagi
Manusia
Allah berfirman dalam QS. Yunus/10: 5:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.QS. Yunus/ 10: 5
Ayat ini menguraikan tentang kekuasaan, ilmu,
dan hikmah Allah dalam mencipta, menguasai, dan mengatur alam raya. Hal ini untuk mengingatkan matahari dan bulan
saja diatur oleh-Nya apalagi manusia. Bukankah seluruh alam raya ini diciptakan
untuk dimanfaatkan manusia. [15]
Allah menjadikan bagi bulan manzilah-manzilah
yakni tempat-tempat dalam perjalanannya mengitari matahari , setiap malam ada
tempatnya dari saat ke saat sehingga terlihat di bumi ia selalu berbeda sesuai
dengan posisinya terhadap matahari. Inilah
yang menghasilkan perbedaan-perbedaan bentuk bulan dalam pandangan kita di
bumi. Ini jualah yang menjadi acuan penentuan bulan-bulan Kamariah.[16]
Ayat ini merupakan salah satu bukti Keesaan
Allah dalam rububiyat-Nya (pemeliharaan-Nya) terhadap manusia. Ayat ini
menekankan bahwa Allah menciptakan matahari dan bulan sehingga manusia bahkan seluruh makhluk di
bumi memperoleh manfaatnya. Dengan demikian matahari dan bulan bukanlah suatu
kebetulan bukan pula diciptakan tanpa tujuan. Dengan demikian manusia harus
menjadikan dan menggunakannya untuk tujuan yang hak/benar pula. [17]
Pada bagian akhir ayat dinyatakan oleh Allah
bahwa akan tersingkapnya ayat-ayat/tanda Kebesaran-Nya setiap saat secara
berkesinambungan sepanjang masa bagi mereka yang ingin mengetahuinya. Yakni
dengan upaya terus menerus untuk mengetahuinya. Ini juga berarti bahwa
rahasia-rahasia alam masih terus akan terungkap sedikit demi sedikit oleh para
ilmuan dan peneliti yang tekun mempelajarinya.[18]
Penjelasan
Tentang Manzilah
Dan telah kami
tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.[19] QS.
Yasin/ 36:39
Ayat sebelumnya QS. Yasin/ 36: 38 menjelaskan tentang matahari yang
beredar secara amat teratur pada garis edarnya sejak awal penciptaannya.
Peredaran semu matahari ini menyebabkan pergantian siang dan malam. Itulah
pengaturan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [20]
Ayat ini menegaskan bahwa bulanpun demikian pula. Allah menakdirkan bulan
dengan menetapkan kadar dan sistem peredarannya pada manzilah-manzilah sehingga
kamu melihat pada awal kemunculannya berbentuk sabit dan dari waktu ke waktu
semakin membesar hingga purnama lalu secara berangsur-angsur akan kembali
mengecil. Ibarat ini menurut M Quraish Shihab juga menggambarkan perjalan hidup
manusia di pentas bumi ini. [21]
Manzilah yang dapat dijadikan sebagai pertanda
dari penentuan awal bulan, firman Allah:
Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya[22],
akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke
rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
beruntung.
QS. Al-Baqarah/ 2:189
Firman Allah dilatarbelakangi oleh pertanyaan yang
diajukan kepada Rasulullah tentang bulan sabit, mengapa bulan pada mulanya
terlihat seperti sabit, kecil, tetapi dari malam ke malam ia membesar hingga
mencapai purnama. Kemudian kembali mengecil sampai hilang dar pandangan?
Katakanlah bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.[23]
Waktu dalam penggunaan
al-Qur’an adalah batas akhir peluang
untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Ia adalah kadar tertentu dari satu masa.
Dengan keadaan bulan seperti ini manusia dapat mengetahui dan merancang aktivitasnya
sehingga dapat terlaksana sesuai dengan masa penyelesaian (waktu) yang
tersedia, tidak terlambat, apalagi terabaikan dengan berlalunya waktu; dan juga
untuk waktu pelaksanaan ibadah haji. [24]
Allah menjawab pertanyaan di atas
tidak sesuai dengan yang diajukan. Tapi memberikan jawaban yang lebih sesuai
dengan kepentingan mereka. Tujuannya mengingatkan si penanya ada yang lebih
wajar ditanyakan daripada yang telah diajukan. Karena jawaban yang seharusnya
adalah bahwa bulan memantulkan sinar matahari ke bumi melalui permukaannya yang
tampak terang sehingga terbitlah sabit lalu perlahan menjadi purnama untuk
kembali mengecil. Atas dasar ini ditentukan penanggalan dalam Islam—diketahui
permulaan dan akhir pelaksanaan ibadah haji.
Ini menegaskan kembali larangan praktik Nasi’ karena sesungguhanya Nasi’
mengundur-undukan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran (QS at-Taubah/9:
37). [25]
Tanggapan Terhadap Landasan Syar’i Pengikut Wujudul Hilal
Dan Pasang Air
Laut
Allah berfirman
dalam surat Yasin/36 ayat 40 yang berbunyi:
Tidaklah
mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului
siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. QS.
Yasin/ 36:40.
Ayat ini menegaskan bahwa takdir pengaturan
Allah terhadap matahari dan bulan sangat teliti dan konsisten. Matahari tidak
akan dapat menyimpang dari garis edarnya, tidak juga mempercepat atau
memperlambat perjalanannya sehingga mengakibatkannya mendahului dan mendapatkan
bulan. Dan tidak juga malam di mana bulan sering kali tampak dapat mendahului
siang, sehingga menghalangi kemunculannya. Tetapi semuanya telah diatur oleh
Allah silih berganti dan masing-masingnya (matahari dan bulan) bahkan semua
benda-benda langit beredar pada garis edarnya yang telah tentukan Allah dan terus menerus beredar
tidak dapat menyimpang darinya.[26]
Logikanya, tidak mungkin matahari mengejar
bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya matahari mendahului bulan, yaitu
matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, sehingga bulan telah wujud
ketika malam mendahului siang (saat maghrib). Saat mulai wujud itulah yang
dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif. Tidak mungkin mengejar, tetapi
kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan mengada-ada. Ayat tersebut
secara astronomi tidak terkait dengan wujudul hilal, Karena pada akhir ayat
ditegaskan “masing-masing beredar pada garis edarnya”. Ayat tersebut
menjelaskan kondisi fisik sistem bumi, bulan, dan matahari. Walau matahari dan
bulan tampak sama-sama di langit, sesungguhnya orbitnya berbeda. Bulan
mengorbit bumi, sedangkan Matahari mengorbit pusat galaksi. Orbit yang berbeda
itu yang menjelaskan “tidak mungkin matahari mengejar bulan” sampai kapan pun.
Malam dan siang pun silih berganti secara teratur, tidak mungkin tiba-tiba
malam karena malam mendahului siang. Itu disebabkan karena keteraturan bumi
berotasi sambil mengorbit matahari. Bumi juga berbeda garis edarnya dengan
matahari dan bulan. Semuanya beredar (yasbahun) di ruang alam semesta,
tidak ada yang diam.[27]
Apakah penentuan awal bulan dengan menggunakan
tanda-tanda pasang air laut bisa dibenarkan? Tidak benar. Pasang air laut
memang dipengaruhi oleh bulan dan matahari. Pada saat bulan baru pasang air
laut maksimum. Tetapi, bulan baru belum berarti terlihatnya hilal. Lagi pula,
pasang maksimum yang terjadi dua kali sehari tidak memberikan kepastian untuk
menentukan awal bulannya.[28]
Penanggalan Hijriah yang Berdasarkan Hisab Urfi Tidak Bisa Dijadikan Landasan untuk
Ibadah
Dalam sistem
penetapan kalender Urfi didasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran
Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan
itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil/ gasal berumur tiga puluh hari
sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian
bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga
puluh hari. Pada tahun Kabisah, bulan Zulhijah yang merupakan bulan terakhir;
bulan ke-12 ditambahkan satu hari, sehingga berumur tiga puluh hari.
Dalam penetapan
awal bulan yang mengemuka di Indonesia, dalam hal ini penetapan awal Ramadan,
Syawal, dan Zulhijah kadang terdapat perbedaan antara penanggalan berdasarkan
perhitungan secara Urfi dengan hasil putusan pemerintah dalam sidang Isbatnya.
Patokan pemerintah dalam penetapan sidang Isbat adalah posisi hilal yang
sebenarnya sebagai pertanda masuknya awal bulan berdasarkan perhitungan
visibilitas hilal; imkanur rukyah yang dikuatkan dengan hasil rukyatul hilal.
Berdasarkan
hisab Hakiki, ketentuan masuknya awal bulan itu tergantung posisi hilal.
Apabila menurut hasil perhitungan hisab pada tanggal 29 bulan yang sedang
berlangsung, ketinggian hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur
rukyah)—dalam hal ini pemeritah kita
mengikuti kriteria yang disepakati MABIMS (Mentri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yakni ketinggian hilal minimal
2˚, elongasi minimal 3˚, dan umur hilal minimal 8 jam; maka itu pertanda
masuknya awal bulan berikutnya. Esok hari adalah tanggal satu bulan yang baru.
Namun apabila belum memenuhi kriteria tersebut, maka besok harinya merupakan
hari terakhir (tanggal 30) dari bulan
yang sedang berjalan.
Dengan demikian
ketentuan tentang umur suatu bulan sangat bergantung pada visibilitas hilal
awal bulan tersebut. Kenyataannya umur bulan itu tidak mesti berselang-seling
antara 30 dan 29 hari untuk bulan ganjil dan genap. Bisa saja umurnya justru
sebaliknya 29 dan 30 hari. Bisa juga umur bulan itu berturut-turut 29 atau berturut-turut
30 hari.
Itulah
logikanya yang kadang menjadikan perhitungan yang berdasarkan hisab Urfi ini
terkadang berbeda dengan kenyataan; yang didasarkan pada perhitungan yang
berdasarkan hisab Hakiki. Misalnya untuk perhitungan tanggal 1 Syawal, berdasarkan
hisab Urfi Ramadan itu selalu berumur 30 hari (karena merupakan bulan
ganjil—bulan ke-9). Pada hal bisa jadi kenyataannya berdasarkan hisab Hakiki,
umur Ramadan itu 29 hari. Sehingga mereka yang merayakan Idul Fitri berdasarkan
hisab Urfi terlambat satu hari dari ketetapan pemerintah. Atau kejadiannya adalah kebalikan peristiwa di atas, misalnya
dalam penetapan tanggal 1 Ramadan. Berdasarkan hisab Urfi Syakban itu selalu
berumur 29 hari (karena merupakan bulan genap—bulan ke-8). Bisa jadi kenyataannya
dan berdasarkan hisab Hakiki umur Syakban pada waktu itu 30 hari. Sehingga
mereka yang perhitungannya berdasarkan hisab Urfi melaksanakan ibadah puasa
Ramadan sehari mendahului ketetapan pemerintah.
Patut dicatat hisab Urfi sudah
digunakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia dalam masa yang sangat
panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini
kurang akurat digunakan untuk keperluan penentuan waktu ibadah. Penyebabnya
karena perata-rataan peredaran Bulan tidaklah tepat sesuai dengan penampakan
hilal (newmoon) pada awal bulan. [29]
Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak
dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah.[30]
Sistem Hisab
Yang Sesuai Dengan Isyarat Al-Qur’an Tentang Penentuan Awal Bulan Kamariah
Adalah Hisab Hakiki Tahqiqi (Kontemporer)
Hisab hakiki
adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang
sebenarnya. Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak
beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur
bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau
bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut
tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang
sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[31]
Sistem ini
tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem
penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari
peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap,
umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga
puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan
demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur
tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Dalam
penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan
ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu
ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya atau
posisi hilal.
KH
Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman
yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang
sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan
dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain[32]
Dalam
kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi
setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari
terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk
dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari
terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a.
Hilal
sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b.
Hilal
sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
c.
Hilal
belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk
dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah. [33]
Kelompok
yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak
Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali
tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan
kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari
terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam
itulah perhitungan bulan baru dimulai. [34]
Keduanya
sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari
terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk.
Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan
memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.
Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan
apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan
baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari
bulan yang sedang berlangsung. [35]
Selanjutnya
kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang
lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena
yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan
awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang
lebih mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman
pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanurrukyah dalam
penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada
posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka
yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan
adalah telah terjadi ijtimak sebelum
terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas
ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanurrukyah menyatakan bahwa
patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam
Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada
ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam
menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal
berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian
tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan.
Mereka yang berpedoman pada imkanurrukyah menentukan ketinggian tertentu hilal
sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun
dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan
untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu ada
kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak
antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari,
jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya. [36]
Penutup
Demikianlah isyarat al-Qur’an dalam penentuan
awal bulan Kamariah. Semangatnya adalah keberhasilan
menyaksikan hilal ataupun berdasarkan perhitungan/ hisab telah memenuhi
kriteria imkanurrukyah. Sistem kalender ini didasarkan pada Lunar Calendar Perhitungannya menggunakan patokan patokan
peredaran bulan yang sebenarnya, tidak mengenal adanya tahun Kabisat dan Nasi’.
Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.
Daftar Pustaka
Ahmad
SS, Noor, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya
Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta
yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang, 2006.
____________, Risalah
al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa
al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa
al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus:
Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986.
Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi
Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis,
Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader diakses tanggal 4 Maret 2009
Azhari,
Susiknan, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam
Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004)
____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam:
Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I,
2008, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf ,
h.137, diakses tanggal 4 Maret 2009
Depag
RI, Almanak Hisab Rukyat,
Jakarta: Depag RI, 1981
Djamaluddin,
Thomas, http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/07/28/hisab-dan-rukyat-setara-astronomi-menguak-isyarat-lengkap-dalam-al-quran-tentang-penentuan-awal-ramadhan-syawal-dan-dzulhijjah/
diakses pada 15 Agustus 2011
____________,
T Djamaluddin, Redefinisi Hilal
menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com, diakses pada tanggal 06 November 2008
Fathurrohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah,
Yogyakarta, 29-30 Juli 2006
Khazin,
Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana
Pustaka, 2008, Cet.ke-3
Nurwendaya, Cecep, Simulasi Pergerakan
Benda langit Pedoman Rukyatul Hilal, makalah disampaikan pada : Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksana
Rukyat Nahdlatul Ulama, Tanggal 18 Desember 2006 M/ 27 Zulkaidah 1427 H, Di Masjid Agung Semarang – Jawa Tengah.
Setyanto,
Hendro, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa
diakses tanggal 15 November 2008
Shihab,
M Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 1,
Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004
____________, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an Volume 5, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004
____________, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an Volume 6, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004
____________, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an Volume 11, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004
[1] Jayusman,
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung,
http://jayusmanfalak.blogspot.com email:
jay_falak@yahoo.co.id
[2] M Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 1,
Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 404
[3] Muhyiddin
Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008,
Cet.ke-3, hlm. 173. Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset
ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya.
Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu
definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai
berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat
setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan
bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis
cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data
rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab
tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan
beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian
prosen. T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu
Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com, diakses pada tanggal 06 November 2008
[4] Noor Ahmad SS, Menuju Cara Rukyat yang
Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa
Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali
Songo Semarang, 2006.
[5] Cecep Nurwendaya, Simulasi Pergerakan Benda langit Pedoman Rukyatul
Hilal, makalah disampaikan pada :
Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksana Rukyat Nahdlatul Ulama, Tanggal 18 Desember 2006 M/ 27 Zulkaidah 1427 H, Di Masjid Agung Semarang – Jawa Tengah.
[6]
Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem
perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan
rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan
atas data yang ada. Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba.
Sebab, adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang. Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus
diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang
dihisab. Seberapa pun bagus dan baik sebuah metode hisab, jika tidak sesuai
dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar. Demikian juga
halnya dengan rukyat, pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah
sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan
rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan
hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu,
kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu Falak di
Indonesia dapat berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu Falak yang tidak lain
merupakan bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains.
Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar
pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses
pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat
mengakibatkan ilmu Falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk
dipahami. Hendro Setyanto, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa
diakses tanggal 15 November 2008. Untuk itu bisa dikatakan bahwa penggunaan
hisab tanpa rukyat hanya akan melahirkan tukang hisab bukan ahli hisab apalagi
ahli Falak. Begitu juga rukyat tanpa hisab tidak akan memberikan nilai tambah
apapun. Rukyat dan Hisab bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan
yang dalam astronomi dikenal sebagai observasi dan teori (pemodelan) yang mau
dan tidak mau harus dilakukan untuk mencari satu nilai kriteria visibilitas
hilal.
[7] maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu
dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan
itu dengan mengadakan peperangan.
[8] M Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 5,
Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 585-586
[9] Ibid, hlm. 586
[10] Ibid, hlm.
587-588
[11] Bulan Haram adalah bulan-bulan yang dihormati
dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan. Tetapi peraturan
Ini dilanggar oleh mereka dengan mengadakan peperangan di bulan Haram, dan
menjadikan bulan yang lain (yang bukan termasuk bulan Haram) sebagai bulan yang
dihormati untuk penggantinya. Sekalipun bilangan bulan-bulan yang disucikan
yaitu, empat bulan juga. Tetapi dengan perbuatan itu, tata tertib di jazirah
Arab menjadi kacau dan lalu lintas perdagangan terganggu.
[12] Ibid, hlm. 589
[13] Ibid, hlm. 590
[14] Ibid
[15] M Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 6,
Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 19
[16] Ibid, hlm. 20
[17] Ibid, hlm. 21
[18] Ibid
[19] Maksudnya: bulan-bulan itu pada Awal bulan,
kecil berbentuk sabit, Kemudian sesudah menempati
manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, Kemudian pada manzilah terakhir
kelihatan seperti tandan kering yang melengkung.
[20] M Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 11,
Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 540
[21] Ibid, hlm. 542
[22] pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram
di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal Ini
ditanyakan pula oleh para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah
ayat ini.
[23]M Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 1,
Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm.417
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 11, Jakarta: Penerbit Lentera Hati,
2004, hlm. 542-543
[27] T
Djamaluddin, Hisab Dan Rukyat Setara Astronomi Menguak Isyarat Lengkap Dalam
Al-Qur’an Tentang Penentuan Awal Ramadan, Syawal, Dan Zulhijah, http://Tdjamaluddin.Wordpress.Com/2011/07/28/Hisab-Dan-Rukyat-Setara-Astronomi-Menguak-Isyarat-Lengkap-Dalam-Al-Quran-Tentang-Penentuan-Awal-Ramadhan-Syawal-Dan-Dzulhijjah/
diakses pada 15 Agustus 2011
[28] Ibid
[29] Susiknan
Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi
dan Tuntutan
Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf , hlm.137,
diakses tanggal 4 Maret 2009
[30] Syamsul Anwar,
Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat
Terbuka Untuk Pak Darmis, h. 8, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader diakses
tanggal 4 Maret 2009
[31]
Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam
Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm.
30-31
[32]
Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi
Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi
ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986, hlm.
6
[33] Ibid, hlm. 33
[35]
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 109
[36] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih
posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila
Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi
ijtimak. Inilah yang dikenal dengan “wujudul hilal”.Kata “hilal” pada kata
“wujudul hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana
ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual,
yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau
lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh
Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk.
Oman Fathurrohman SW, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada
Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta,
29-30 Juli 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar