Rabu, 14 Maret 2012

ISYARAT PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH DALAM AL-QUR’AN: MENCERMATI PERBEDAAN KRITERIA & METODE PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH DI INDONESIA


ISYARAT PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH DALAM AL-QUR’AN: MENCERMATI PERBEDAAN KRITERIA & METODE PENETAPAN AWAL BULAN KAMARIAH DI INDONESIA[1]


Abstrak
Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa penentuan awal bulan Kamariah; dalam hal ini awal bulan Ramadan adalah dengan keberhasilan menyaksikan hilal. Baik secara langsung melaksanakan rukyatul hilal ataupun berdasarkan perhitungan/ hisab telah memenuhi kriteria imkanurrukyah. Sistem kalender yang digunakan oleh umat Islam dinamakan dengan kalender Hijriah. Sistem kalender ini didasarkan pada manzilah-manzilah (perubahan posisi bulan) atau dikenal juga dengan sebutan tahun  Kamariah. Satu tahun terdiri dari dua belas bulan. Perhitungannya menggunakan patokan patokan peredaran bulan yang sebanarnya (hisab Hakiki). Dan tidak mengenal adanya tahun Kabisat (tahun panjang) dan bulan sisipan (Nasi’).

Kata Kunci: Awal Bulan Kamariah, al-Qur’an


Pendahuluan
Merupakan keprihatinan kita bersama, di mana sering terjadinya perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam mengawali puasa Ramadan terkadang terdapat beberapa hari yang berbeda, demikian juga ketika melaksanakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka lalu muncullah istilah lebaran ganda.
Setelah reformasi di Indonesia, kondisi ini seolah menjadi hal yang lumrah terjadi. Bahkan walaupun terwujud  kesepakatan para ulama ahli ilmu Falak dari kalangan pesantren dan para ahli astronomi di Indonesia pada Sidang Isbat dalam penentuan  awal bulan  Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tetap saja ada kelompok-kelompok yang berbeda dengan hasil kesepakatan tersebut.
Sebagian kelompok tarekat tertentu dan pengikut Kejawen yang menggunakan penanggalan Aboge atau Asopon memulai puasa Ramadan mereka pada hari yang berbeda dengan hasil penetapan pemerintah di atas.
Penentuan dan penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itu menjadi sangat penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang memberikan arahan tentang bagaimana sistem kalender  hijriah tersebut.  Ayat-ayat tersebut selanjutnya yang dijadikan landasan penetapan awal buan Kamariah.


Pensyari’atan Ibadah Puasa Ramadan
Salah satu ibadah pokok dalam ajaran Islam adalah puasa di bulan Ramadan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 185 dijelaskan bagaimana cara penentuan awal bulan Ramadan tersebut; yakni dengan menyaksikan keberadaan hilal pada tanggal 29 bulan Syakban. Jika hilal berhasil dilihat atau dinyatakan bahwa hilal  berdasarkan perhitungan (hisab) memenuhi  kriteria imkanurrukyah maka ditetapkan  besoknya adalah tanggal satu Ramadan. Adapun jika hilal tidak berhasil dirukyah atau dinyatakan bahwa hilal  berdasarkan perhitungan (hisab) tidak atau belum memenuhi  kriteria imkanurrukyah maka ditetapkan istikmal; keesokan harinya adalah hari terakhir dari bulan yang sedang berjalan; yakni tanggal 30 Syakban.
 Inilah panduan secara umum penentuan awal bulan dalam sistem kalender Islam. Berikut ini petikan  QS. Al-Baqarah/  2:185:

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu… QS. Al-Baqarah/  2:185.

Maka barang siapa di antara kamu hadir pada bulan itu (yakni Ramadan) yakni berada pada negeri tempat tinggalnya atau mengetahui munculnya awal bulan Ramadan, sedang ia tidak berhalangan; halangan yang dibenarkan oleh Syara’, maka hendaklah dia berpuasa. Ada pula yang mengartikannya maka barang siapa di antara kamu mengetahui kehadiran bulan ini dengan melihatnya sendiri secara langsung atau melalui informasi yang dapat dipercaya, maka hendaklah ia berpuasa.
Mengetahui kehadirannya dengan melihat  langsung atau melalui perhitungan, bahwa ia dapat dilihat dengan mata kepala--walaupun secara faktual tidak terlihat karena satu dan lain hal, misalnya karena awan atau kabut, maka hendak berpuasa. Yang tidak melihatnya dalam pengertian di atas wajib berpuasa bila ia mengetahui kehadirannya melalui orang tepercaya.[2]
Penyaksian hilal dikenal dengan rukyatul hilal. Ia adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru—khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah—untuk menentukan  kapan bulan baru itu dimulai.[3]
Rukyah yang dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah rukyah yang mu’tabar. Yakni rukyah yang dapat dipertangungjawabkan secara hukum dan ilmiah. Rukyah yang demikian harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Rukyah dilaksanakan pada saat Matahari terbenam pada malam tanggal 30 atau akhir 29 nya.
2.      Rukyah  dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah tanpa penghalang antara perukyah dan hilal.
3.      Rukyah dilaksanakan dalam keadaan posisi hilal positif terhadap ufuk (di atas ufuk)
4.      Rukyah dilaksanakan dalam keadaan hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)
5.      Hilal yang dilihat harus berada di antara wilayah titik Barat antara 30 derajat ke Selatan dan 30 derajat ke Utara[4].

Dalam penanggalan hijriah, awal berlangsungnya tanggal di mulai pada saat matahari terbenam (ghurub). Sedangkan awal bulan hijriah bergantung pada posisi hilal saat ghurub tanggal 29 bulan hijriah bulan yang sedang berjalan, seperti berikut:
1.      Jika pada saat ghurub tanggal 29, posisi bulan belum mencapai ijtimak, secara astronomis maka bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari, atau keesokan harinya masih berada di bulan yang sedang berjalan pada tanggal 30.
  1. Jika pada saat ghurub tanggal 29 ijtimak sudah terjadi, posisi hilal terhadap Matahari negatif atau hilal terbenam terlebih dahulu dibanding Matahari, maka umur Bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari
  2. Jika pada saat ghurub tanggal 29, ijtimak sudah terjadi sebelum ghurub, posisi hilal positif atau matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding bulan, maka penentuan awal bulan berdasarkan kriteria Syari’ah. Keesokan harinya jika memenuhi kriteria yang dipakai berarti sudah masuk awal bulan atau tanggal 1 bulan baru hijriah. Jika belum memenuhi kriteria maka besoknya tanggal 30 bulan yang sedang berjalan.
  3. Dalam beberapa kasus tertentu, tinggi hilal sudah positif pada saat ghurub, namun ijtimak belum terjadi. Secara astronomis dapat diterangkan bahwa hilal yang berada di atas ufuk tersebut bukan hilal awal bulan melainkan bulan sabit tua menjelang bulan baru atau bulan mati, sehingga keesokan harinya berada pada tanggal 30 bulan yang sedang berjalan[5].  

Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia telah dapat merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk keperluan praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi, pergerakan benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun telah dapat ditentukan dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini, berkembang pula pemahaman terhadap nash agama yang membuat observasi/rukyat tidak lagi menjadi satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan[6].


Penjelasan Tentang Syahr (Konsepsi Tentang Bulan)
           
    Allah berfirman dalam surat at-Taubah/ 9 ayat 36 sebagai berikut:

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri[7] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. QS. At-Taubah/  9:36.

Penjelasan ayat di atas tentang bulan mempunyai kaitan yang erat dengan pelaksanaan ibadah haji dan kewajiban  zakat. Seperti dikemukakan pada ayat sebelumnya yang mengecam mereka yang enggan membayar zakat (QS at-Taubah/9: 34-35).
Ayat ini juga membicarakan tentang keburukan kaum musyrikin terkait dengan bilangan bulan dalam setahun yang sering mereka tambah atau putar balikkan tempatnya. Allah menegaskan bahwa Sesungguhnya batas yang tidak dapat ditambah atau kurangi menyangkut  bilangan bulan di sisi Allah, yakni menurut perhitungan dan ketetapan-Nya adalah dua belas bulan tidak lebih ataupun kurang juga diputar balikkan tempatnya.[8]
Nama-nama bulan-bulan dalam penanggalan Hijriah tersebut, sebagai berikut:
Nama-Nama Bulan Kamariah

Bulan
Nama Bulan
No
Bulan
Nama Bulan
1
Muharam
7
Rajab
2
Safar
8
Syakban
3
Rabiul Awal
9
Ramadan
4
Rabiul Akhir
10
Syawal
5
Jumadil Awal
11
Zulkaidah
6
Jumadil Akhir
12
Zulhijah










Bilangan ini merupakan ketetapan Allah sejak awal peciptaan langit dan bumi yang atas keberadaannya waktupun tercipta. Di antara dua belas bulan tersebut, terdapat empat bulan tertentu; bulan-bulan Haram (agung) itulah ketetapan agama Allah yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya dirimu di dalamnya.  Namun diperbolehkan memerangi atas penganiayaan orang lain. Dan  perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya kapanpun perang itu harus dilakukan. [9]
Masyarakat Arab pra Islam mengakui dan sangat mengagungkan bulan-bulan Haram. Dari keempat bulan Haram itu, tiga di antaranya disepakati yaitu Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam. Untuk bulan keempat, mayoritas suku bangsa Arab mengagungkan bulan Rajab, sedangkan suku Rabi’ah mengagungkan bulan Ramadan. Dalam sistem penanggalan Islam terdapat bulan-bulan Haram. Bulan Haram adalah bulan-bulan yang dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan. Bulan-bulan Haram adalah bulan ibadah lagi agung di sisi Allah. Karena itu beribadah pada masa itu berdampak positif dan mengundang dampak positif dan pahala di sisi Allah. Demikian juga sebaliknya jika berbuat dosa. [10]
Pengertian bulan yang dimaksud dalam ayat ini  adalah perhitungan bulan menurut kalender Kamariah; yakni perhitungan waktu menurut peredaran bulan. Perhitungan bulan Kamariah ini telah digunakan oleh masyarakat Arab sebelum Islam. Ketika Islam datang, kemudian diadopsi oleh Islam dengan mengembalikannya kepada sistem Kalender Bulan murni dan menghilangkan bulan tambahan; yang dikenal dengan istilah Nasi’.
Mengenai Nasi’ ini lebih lanjut dijelaskan dalam lanjutan ayat  sebelumnya, yang
berbunyi:

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu[11] adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. QS. At-Taubah/  9:37

Ayat ini mengecam mereka yang menambah-nambah bilangan bulan dan memutar balikkan waktu-waktu bulan haram; baik dengan menambah atau mengundur-undurnya.[12] Masyarakat Jahiliah adalah masyarakat yang mengakui keagungan bulan-bulan Haram. Namun mereka sangat mengandalkan perburuan dan peperangan. Karena itu mereka sulit menghentikan perburuan dan peperangan pada bulan-bulan Haram tersebut secara berturut-turut. Ketika itu boleh jadi peperangan mereka lanjutkan pada salah satu bulan Haram, misalnya mereka melakukan peperangan pada bulan Muharam lalu mereka mengundurkan bulan haram itu menjadi bulan Safar. Bahkan jika masih membutuhkan waktu tambahan untuk berperang, mereka undurkan lagi bulan Haram ke bulan Rabiul Awal. Demikianlah praktek yang berlaku di tengah-tengah mereka. [13]
Ketika Nabi saw melaksakan haji Wada  pada tahun 10 H, barulah beredaran bulan-bulan kembali atau sesuai dengan keadaan atau perhitungan kalender Kamariah yang sebenarnya. Dengan demikian pelaksanaan ibadah haji benar-benar jatuh pada bulan Zulhijah. Rasulullah dalam khutbahnya menyatakan,” Masa telah beredar (yakni bulan-bulan telah berlalu akibat pegunduran-pengunduran) sehingga kini telah kembali kepada keadaannya sebagaimana ketika penciptaan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan Haram (agung).”[14]


Manzilah-Manzilah Bulan Merupakan Petunjuk Waktu  Bagi Manusia
Allah berfirman dalam QS. Yunus/10: 5:

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.QS. Yunus/ 10: 5

Ayat ini menguraikan tentang kekuasaan, ilmu, dan hikmah Allah dalam mencipta, menguasai, dan mengatur alam raya.  Hal ini untuk mengingatkan matahari dan bulan saja diatur oleh-Nya apalagi manusia. Bukankah seluruh alam raya ini diciptakan untuk dimanfaatkan manusia. [15]
Allah menjadikan bagi bulan manzilah-manzilah yakni tempat-tempat dalam perjalanannya mengitari matahari , setiap malam ada tempatnya dari saat ke saat sehingga terlihat di bumi ia selalu berbeda sesuai dengan posisinya terhadap matahari.  Inilah yang menghasilkan perbedaan-perbedaan bentuk bulan dalam pandangan kita di bumi. Ini jualah yang menjadi acuan penentuan bulan-bulan Kamariah.[16]
Ayat ini merupakan salah satu bukti Keesaan Allah dalam rububiyat-Nya (pemeliharaan-Nya) terhadap manusia. Ayat ini menekankan bahwa Allah menciptakan matahari dan bulan  sehingga manusia bahkan seluruh makhluk di bumi memperoleh manfaatnya. Dengan demikian matahari dan bulan bukanlah suatu kebetulan bukan pula diciptakan tanpa tujuan. Dengan demikian manusia harus menjadikan dan menggunakannya untuk tujuan yang hak/benar pula. [17]
Pada bagian akhir ayat dinyatakan oleh Allah bahwa akan tersingkapnya ayat-ayat/tanda Kebesaran-Nya setiap saat secara berkesinambungan sepanjang masa bagi mereka yang ingin mengetahuinya. Yakni dengan upaya terus menerus untuk mengetahuinya. Ini juga berarti bahwa rahasia-rahasia alam masih terus akan terungkap sedikit demi sedikit oleh para ilmuan dan peneliti yang tekun mempelajarinya.[18]


Penjelasan Tentang Manzilah

Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.[19] QS. Yasin/  36:39
           
    Ayat sebelumnya QS. Yasin/  36: 38 menjelaskan tentang matahari yang beredar secara amat teratur pada garis edarnya sejak awal penciptaannya. Peredaran semu matahari ini menyebabkan pergantian siang dan malam. Itulah pengaturan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [20] Ayat ini menegaskan bahwa bulanpun demikian pula. Allah menakdirkan bulan dengan menetapkan kadar dan sistem peredarannya pada manzilah-manzilah sehingga kamu melihat pada awal kemunculannya berbentuk sabit dan dari waktu ke waktu semakin membesar hingga purnama lalu secara berangsur-angsur akan kembali mengecil. Ibarat ini menurut M Quraish Shihab juga menggambarkan perjalan hidup manusia di pentas bumi ini. [21]
Manzilah yang dapat dijadikan sebagai pertanda dari penentuan awal bulan, firman Allah:

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[22], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. QS. Al-Baqarah/  2:189

   Firman  Allah dilatarbelakangi oleh pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah tentang bulan sabit, mengapa bulan pada mulanya terlihat seperti sabit, kecil, tetapi dari malam ke malam ia membesar hingga mencapai purnama. Kemudian kembali mengecil sampai hilang dar pandangan? Katakanlah bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia.[23]
    Waktu dalam penggunaan al-Qur’an  adalah batas akhir peluang untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Ia adalah kadar tertentu dari satu masa. Dengan keadaan bulan seperti ini manusia dapat mengetahui dan merancang aktivitasnya sehingga dapat terlaksana sesuai dengan masa penyelesaian (waktu) yang tersedia, tidak terlambat, apalagi terabaikan dengan berlalunya waktu; dan juga untuk waktu pelaksanaan ibadah haji. [24]
    Allah menjawab pertanyaan di atas tidak sesuai dengan yang diajukan. Tapi memberikan jawaban yang lebih sesuai dengan kepentingan mereka. Tujuannya mengingatkan si penanya ada yang lebih wajar ditanyakan daripada yang telah diajukan. Karena jawaban yang seharusnya adalah bahwa bulan memantulkan sinar matahari ke bumi melalui permukaannya yang tampak terang sehingga terbitlah sabit lalu perlahan menjadi purnama untuk kembali mengecil. Atas dasar ini ditentukan penanggalan dalam Islam—diketahui permulaan dan akhir pelaksanaan ibadah haji.  Ini menegaskan kembali larangan praktik Nasi’ karena sesungguhanya Nasi’ mengundur-undukan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran (QS at-Taubah/9: 37). [25]


Tanggapan Terhadap Landasan Syar’i  Pengikut Wujudul Hilal
Dan Pasang Air Laut

Allah berfirman dalam surat Yasin/36 ayat 40 yang berbunyi:
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya. QS. Yasin/  36:40.

Ayat ini menegaskan bahwa takdir pengaturan Allah terhadap matahari dan bulan sangat teliti dan konsisten. Matahari tidak akan dapat menyimpang dari garis edarnya, tidak juga mempercepat atau memperlambat perjalanannya sehingga mengakibatkannya mendahului dan mendapatkan bulan. Dan tidak juga malam di mana bulan sering kali tampak dapat mendahului siang, sehingga menghalangi kemunculannya. Tetapi semuanya telah diatur oleh Allah silih berganti dan masing-masingnya (matahari dan bulan) bahkan semua benda-benda langit beredar pada garis edarnya yang telah  tentukan Allah dan terus menerus beredar tidak dapat menyimpang darinya.[26]
Logikanya, tidak mungkin matahari mengejar bulan. Tetapi mereka berpendapat ada saatnya matahari mendahului bulan, yaitu matahari terbenam terlebih dahulu daripada bulan, sehingga bulan telah wujud ketika malam mendahului siang (saat maghrib). Saat mulai wujud itulah yang dianggap awal bulan. Tetapi itu kontradiktif. Tidak mungkin mengejar, tetapi kok bisa mendahului. Logika seperti itu terkesan mengada-ada. Ayat tersebut secara astronomi tidak terkait dengan wujudul hilal, Karena pada akhir ayat ditegaskan “masing-masing beredar pada garis edarnya”. Ayat tersebut menjelaskan kondisi fisik sistem bumi, bulan, dan matahari. Walau matahari dan bulan tampak sama-sama di langit, sesungguhnya orbitnya berbeda. Bulan mengorbit bumi, sedangkan Matahari mengorbit pusat galaksi. Orbit yang berbeda itu yang menjelaskan “tidak mungkin matahari mengejar bulan” sampai kapan pun. Malam dan siang pun silih berganti secara teratur, tidak mungkin tiba-tiba malam karena malam mendahului siang. Itu disebabkan karena keteraturan bumi berotasi sambil mengorbit matahari. Bumi juga berbeda garis edarnya dengan matahari dan bulan. Semuanya beredar (yasbahun) di ruang alam semesta, tidak ada yang diam.[27]
Apakah penentuan awal bulan dengan menggunakan tanda-tanda pasang air laut bisa dibenarkan? Tidak benar. Pasang air laut memang dipengaruhi oleh bulan dan matahari. Pada saat bulan baru pasang air laut maksimum. Tetapi, bulan baru belum berarti terlihatnya hilal. Lagi pula, pasang maksimum yang terjadi dua kali sehari tidak memberikan kepastian untuk menentukan awal bulannya.[28]


Penanggalan Hijriah yang Berdasarkan Hisab Urfi Tidak Bisa Dijadikan Landasan untuk Ibadah
Dalam sistem penetapan kalender Urfi didasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil/ gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada tahun Kabisah, bulan Zulhijah yang merupakan bulan terakhir; bulan ke-12 ditambahkan satu hari, sehingga berumur tiga puluh hari.
Dalam penetapan awal bulan yang mengemuka di Indonesia, dalam hal ini penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah kadang terdapat perbedaan antara penanggalan berdasarkan perhitungan secara Urfi dengan hasil putusan pemerintah dalam sidang Isbatnya. Patokan pemerintah dalam penetapan sidang Isbat adalah posisi hilal yang sebenarnya sebagai pertanda masuknya awal bulan berdasarkan perhitungan visibilitas hilal; imkanur rukyah yang dikuatkan dengan hasil rukyatul hilal.
Berdasarkan hisab Hakiki, ketentuan masuknya awal bulan itu tergantung posisi hilal. Apabila menurut hasil perhitungan hisab pada tanggal 29 bulan yang sedang berlangsung, ketinggian hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)—dalam hal ini pemeritah kita  mengikuti kriteria yang disepakati MABIMS (Mentri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yakni ketinggian hilal minimal 2˚, elongasi minimal 3˚, dan umur hilal minimal 8 jam; maka itu pertanda masuknya awal bulan berikutnya. Esok hari adalah tanggal satu bulan yang baru. Namun apabila belum memenuhi kriteria tersebut, maka besok harinya merupakan hari terakhir (tanggal 30)  dari bulan yang sedang berjalan.
Dengan demikian ketentuan tentang umur suatu bulan sangat bergantung pada visibilitas hilal awal bulan tersebut. Kenyataannya umur bulan itu tidak mesti berselang-seling antara 30 dan 29 hari untuk bulan ganjil dan genap. Bisa saja umurnya justru sebaliknya 29 dan 30 hari. Bisa juga umur bulan itu berturut-turut 29 atau berturut-turut 30 hari. 
Itulah logikanya yang kadang menjadikan perhitungan yang berdasarkan hisab Urfi ini terkadang berbeda dengan kenyataan; yang didasarkan pada perhitungan yang berdasarkan hisab Hakiki. Misalnya untuk perhitungan tanggal 1 Syawal, berdasarkan hisab Urfi Ramadan itu selalu berumur 30 hari (karena merupakan bulan ganjil—bulan ke-9). Pada hal bisa jadi kenyataannya berdasarkan hisab Hakiki, umur Ramadan itu 29 hari. Sehingga mereka yang merayakan Idul Fitri berdasarkan hisab Urfi terlambat satu hari dari ketetapan pemerintah. Atau kejadiannya  adalah kebalikan peristiwa di atas, misalnya dalam penetapan tanggal 1 Ramadan. Berdasarkan hisab Urfi Syakban itu selalu berumur 29 hari (karena merupakan bulan genap—bulan ke-8). Bisa jadi kenyataannya dan berdasarkan hisab Hakiki umur Syakban pada waktu itu 30 hari. Sehingga mereka yang perhitungannya berdasarkan hisab Urfi melaksanakan ibadah puasa Ramadan sehari mendahului ketetapan pemerintah.
Patut dicatat hisab Urfi sudah digunakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat digunakan untuk keperluan penentuan waktu ibadah. Penyebabnya karena perata-rataan peredaran Bulan tidaklah tepat sesuai dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan. [29] Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah.[30]


Sistem Hisab Yang Sesuai Dengan Isyarat Al-Qur’an Tentang Penentuan Awal Bulan Kamariah Adalah Hisab Hakiki Tahqiqi (Kontemporer)

Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[31]
Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya atau posisi hilal.
KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak  dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak  an-nayyirain[32]
Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:
a.       Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.
b.      Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah
c.       Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk  dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah. [33]
Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak  terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.
Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai. [34]
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. [35]
Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams.  Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Selanjutnya akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanurrukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.
Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak  sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanurrukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.
Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkanurrukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan  bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya. [36]


Penutup
Demikianlah isyarat al-Qur’an dalam penentuan awal bulan Kamariah.  Semangatnya adalah keberhasilan menyaksikan hilal ataupun berdasarkan perhitungan/ hisab telah memenuhi kriteria imkanurrukyah. Sistem kalender ini didasarkan pada Lunar Calendar  Perhitungannya menggunakan patokan patokan peredaran bulan yang sebenarnya, tidak mengenal adanya tahun Kabisat dan Nasi’. Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.

Daftar Pustaka

Ahmad SS, Noor, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang, 2006.

____________, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf  wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986.
Anwar,  Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader diakses tanggal 4 Maret 2009

Azhari, Susiknan, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004)

____________  dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf , h.137, diakses tanggal 4 Maret 2009


Depag RI,  Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1981


____________, T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com, diakses pada tanggal 06 November 2008

Fathurrohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta,  29-30 Juli 2006

Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, Cet.ke-3

Nurwendaya, Cecep, Simulasi Pergerakan Benda langit Pedoman Rukyatul Hilal, makalah disampaikan pada :  Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksana Rukyat Nahdlatul Ulama, Tanggal 18 Desember 2006 M/ 27 Zulkaidah 1427 H, Di Masjid Agung Semarang – Jawa Tengah.

Setyanto, Hendro, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa diakses tanggal 15 November 2008

Shihab, M Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 1, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004

____________,  Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 5, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004

____________,  Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 6, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004

____________,  Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 11, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004


[1] Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http://jayusmanfalak.blogspot.com  email: jay_falak@yahoo.co.id
[2] M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 1, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 404
[3] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, Cet.ke-3, hlm. 173. Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen. T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com, diakses pada tanggal 06 November 2008
[4]  Noor Ahmad SS, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang, 2006.
[5] Cecep Nurwendaya, Simulasi Pergerakan Benda langit Pedoman Rukyatul Hilal, makalah disampaikan pada :  Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksana Rukyat Nahdlatul Ulama, Tanggal 18 Desember 2006 M/ 27 Zulkaidah 1427 H, Di Masjid Agung Semarang – Jawa Tengah.
[6] Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada. Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang.  Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Seberapa pun bagus dan baik sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar. Demikian juga halnya dengan rukyat, pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu Falak di Indonesia dapat berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu Falak yang tidak lain merupakan bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains. Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan ilmu Falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk dipahami. Hendro Setyanto, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa diakses tanggal 15 November 2008. Untuk itu bisa dikatakan bahwa penggunaan hisab tanpa rukyat hanya akan melahirkan tukang hisab bukan ahli hisab apalagi ahli Falak. Begitu juga rukyat tanpa hisab tidak akan memberikan nilai tambah apapun. Rukyat dan Hisab bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan yang dalam astronomi dikenal sebagai observasi dan teori (pemodelan) yang mau dan tidak mau harus dilakukan untuk mencari satu nilai kriteria visibilitas hilal.
[7] maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.
[8] M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 5, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 585-586
[9] Ibid, hlm. 586
[10] Ibid, hlm. 587-588
[11] Bulan Haram adalah bulan-bulan yang dihormati dan dalam bulan-bulan tersebut tidak boleh diadakan peperangan. Tetapi peraturan Ini dilanggar oleh mereka dengan mengadakan peperangan di bulan Haram, dan menjadikan bulan yang lain (yang bukan termasuk bulan Haram) sebagai bulan yang dihormati untuk penggantinya. Sekalipun bilangan bulan-bulan yang disucikan yaitu, empat bulan juga. Tetapi dengan perbuatan itu, tata tertib di jazirah Arab menjadi kacau dan lalu lintas perdagangan terganggu.
[12] Ibid, hlm. 589
[13] Ibid, hlm. 590
[14] Ibid
[15] M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 6, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 19
[16] Ibid, hlm. 20
[17] Ibid, hlm. 21
[18] Ibid
[19] Maksudnya: bulan-bulan itu pada Awal bulan, kecil berbentuk sabit, Kemudian sesudah  menempati manzilah-manzilah, dia menjadi purnama, Kemudian pada manzilah terakhir kelihatan seperti tandan kering yang melengkung.
[20] M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 11, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 540
[21] Ibid, hlm. 542
[22] pada masa Jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal Ini ditanyakan pula oleh para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini.
[23]M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 1, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm.417
[24] Ibid
[25] Ibid
[26]  M Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an Volume 11, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2004, hlm. 542-543
[27] T Djamaluddin, Hisab Dan Rukyat Setara Astronomi Menguak Isyarat Lengkap Dalam Al-Qur’an Tentang Penentuan Awal Ramadan, Syawal, Dan Zulhijah, http://Tdjamaluddin.Wordpress.Com/2011/07/28/Hisab-Dan-Rukyat-Setara-Astronomi-Menguak-Isyarat-Lengkap-Dalam-Al-Quran-Tentang-Penentuan-Awal-Ramadhan-Syawal-Dan-Dzulhijjah/ diakses pada 15 Agustus 2011
[28] Ibid
[29] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi
dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, http://ern.pendis.kemenag.go.id/DokPdf/jurnal/07-susiknan.pdf , hlm.137, diakses tanggal 4 Maret 2009
[30] Syamsul Anwar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, h. 8, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader diakses tanggal 4 Maret 2009
[31] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-31
[32] Noor Ahmad SS, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf  wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986, hlm. 6
[33] Ibid, hlm. 33
                [34] Depag RI,  Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Depag RI, 1981), hlm. 99
[35] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 109
[36] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan “wujudul hilal”.Kata “hilal” pada kata “wujudul hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurrohman SW, Kalender Muhammadiyah, Power point disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta,  29-30 Juli 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar