Minggu, 18 Maret 2012

Tasawuf Akhlaqi Menurut Al-Qur’an Sebuah Tafsir Sufistik


Tasawuf Akhlaqi Menurut Al-Qur’an
Sebuah Tafsir Sufistik


Andi Eka Putra

 

Abstrak

Akhlak tasawuf adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak tasawuf bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "hal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah. Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan tasawuf sebagai dua dimensi yang tak mungkin terpisahkan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim. Al-Ghazali membagi akhlak tasawuf dalam Al-Qur’an menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik sesuai pesan Al-Qur’an adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'.

Kata kunci: tasawuf akhlaqi, Al-Qur’an, akhlak tasawuf menurut Al-Qur’an


I. Pendahuluan

Salah satu di antara khazanah tradisi dan warisan keilmuan tradisional Islam yang sangat berharga adalah tasawuf. Dalam Al-Qur’an memang tidak terdapat satu kata pun tentang “tasawuf”, namun seperti akan diuraikan dalam tulisan ini, dalam Al-Qur’an terdapat pesan-pesan dan kandungan nilai-nilai tasawuf, tertutama tasawuf akhlak atau akhlak tasawuf.
Tasawuf merupakan suatu konsepsi pengetahuan yang menekankan nilai batin sebagai metode bagi tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup manusia.  Karena berhubungan dengan dimensi spiritual, tasawuf lebih mengupas segi-segi kehidupan manusia yang bersifat esoteris dan batiniah, yang menyangkut persepsi hati dan realitas ketuhanan yang suci dan Absolut (Mutlak tak ada yang menyamai-Nya). Pada awal pemunculannya, tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas tindakan dan perkataan (sunah) Nabi Muhammad saw. yang sarat dengan dimensi spiritualitas. Tokoh-tokoh sufi generasi awal banyak mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa kenabian yang mereka yakini sebagai satu-satunya jalan terbaik untuk mencapai Tuhan. Selain itu, mereka juga menafsirkan kandungan ayat-ayat Alquran secara simbolis, sehingga pemahaman atas realitas ketuhanan menjadi lebih menyeluruh.
Kepentingan akhlak sebagai suatu gagasan bagi menjamin pembangunan negara yang mampan dan seimbang dinyatakan dengan jelas sebagai salah satu di antara cabaran Wawasan 2020 yaitu untuk mewujudkan masyarakat bermoral dan beretika sepenuhnya, yang rakyatnya kuat beragama dan nilai kerohanian serta disemai dengan nilai etika paling tinggi. Dalam konteks pembangunan ekonomi dan politik di dalam sebuah negara, pembinaan akhlak tasawuf versi Al-Qur’an dalam bentuk pembangunan manusia yang seimbang akan menjamin pembangunan ekonomi yang mampan serta kekuatan politik yang akan menjamin kelangsungan dan kecemerlangan bangsa.  
Dalam konteks sosial, akhlak tasawuf dapat menjadi sendi yang mengikat kukuh bagi hubungan dalam sebuah masyarakat sehingga dapat menjamin kewujudan, kestabilan, keamanan dan kesejahteraan di dalam masyarakat tersebut. Keruntuhan nilai akhlak tasawuf di dalam sesebuah masyarakat bukan saja menjadi ancaman kepada kesejahteraan mental individu dalam masyarakat malah turut kepada kemusnahan kerana keruntuhan nilai akhlak akan melemahkan setiap sendi sesebuah masyarakat. 
Walau pun demikian, realitas pada suatu masa telah menunjukkan kepada kita tanda-tanda dan penanda mengenai jurang yang semakin melebar di antara idealisme kepentingan akhlak tasawuf dalam konteks pembangunan negara dengan kemelut sosial yang sedang dihidapi di dalam sesebuah masyarakat. Kesadaran dan kepekaan pihak-pihak yang ikut bertanggungjawab terhadap kemerosotan nilai akhlak tasawuf dalam Islam penting untuk terus-menerus melakukan kajian dan memikirkan jalan keluar bagi masalah ini. Salah satu langkah dan upaya untuk dilakukan kalangan akademis dan dosen di perguruan tinggi IAIN adalah dengan melakukan kajian terhadap kandungan Al-Qur’an terhadap akhlak tasawuf.

II. Tasawuf dalam Lintasan Sejarah Islam
1. Pengertian Tasawuf
Membicarakan tasawuf seakan memasuki rimba-raya yang luas sementara kita sendirian di dalamnya. Meski dari segi istilah, kata tasawuf tidak begitu asing dalam dunia Islam. Namun, beberapa sarjana berbeda pendapat ketika mengungkap darimana asal kata tasawuf tersebut. Harun Nasution mengatakan bahwa kata tasawuf ( التصوف ) berasal dari kata sufi ( صوفى ).[1]

Menurut sejarah, orang pertama yang memakai kata sufi adalah seorang zahid atau ascetic Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150 H). Untuk mendifinisikan tasawuf,[2] dapat dilihat dari dua pendekatan; pendekatan secara etimologi (bahasa) dan terminologi (istilah). Adapun secara etimologi, ada beberapa istilah :
1.      Ahl al-Suffah  ( أهل الصفة ) orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di masjid nabi dan tidur di atas bangku- bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Inggrisnya sadle-cushion dan kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah ( صفة ). Sungguhpun ahl-suffah miskin, mereka berhati baik dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah sifat-sifat kaum sufi.
2.      Shaf ( صف) pertama. Sebagaimana halnya dengan orang yang sembayang di shaf pertama mendapat kemulian dan pahal, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.
3.      Sûfi ( صوفى ) dari kata( صافى )  dan ( صفى ) yaitu suci. Seorang sufi adalah orang-orang yang telah menyucikan dirinya melalui latihan berat dan lama
4.      Sophos, kata Yunani yang berarti hikmat. Orang sufi betul ada hubungannya dengan hikmat, hanya kaum sufi pula yang mengetahui. Pendapat ini banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk ke dalam kata  فلسفة  dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan س  dan bukan ص  seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.      Sûf  (صو ف  ), atau kain yang dibuat dari bulu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar dan bukan wol halus seperti sekarang. Memakai wol kasar di waktu itu adalah simbol kesederhanaan. Lawannya ialah kain sutera, yang banyak dipakai oleh orang-orang kaya. Kaum sufi hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutera dan sebagai penggantinya wol kasar.[3]

Dari beberapa istilah di atas, menurut Harun Nasution, dan juga Mir Valiuddin, kata sûf (kain wol) merupakan istilah yang paling banyak diterima dan mendekati ketepatan. Kain wol yang dipakai para sufi merupakan simbol kesederhanaan dan ciri seorang sufi adalah hidup sederhana.[4]
Beberapa tokoh juga mencoba mendifinisikan tasawuf dari segi terminologinya. Annemarie Schimmel mendifinisikan tasawuf sebagai kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut kearifan, Cahaya, Cinta atau Nihil. Definisi semacam ini hanya sekedar petunjuk saja, sebab pada kenyataan yang menjadi tujuan tasawuf jauh lebih penting dan tak terdefinisikan. Hanya kearifan gnosis yang bisa mendalami beberapa di antara segi-seginya.[5]
Sementara Hamka mendefinisikan tasawuf dengan memulai kalimat Ash-Shûfi man shafâ qalbuhu lilâhi (seorang sufi ialah yang telah bersih hatinya, semata-mata buat Allah). Hamka merujuk beberapa definisi tasawuf dari berbagai tokoh. Bardar bin Al-Husain mengatakan bahwa tasawuf atau sufi ialah orang yang telah memilih Al-Haq (Allah) semata-mata untuk dirinya, dan tidak mendorongnya bekerja memaksa-maksa dan membuat dengan hanya semata-mata da’wa.
Sementara Abu ‘Ali Al-Ruzbari, memandang bahwa seorang sufi adalah mereka yang memakai kain shuf untuk membersihkan jiwa, memberi makan hawannya dengan kepahitan, meletakkan dunia di bawah tempat duduknya, dan berjalan (sulûk).  Sedangkan Shal bin ‘Abdullah al-Turturi mengemukakan pandangannya bahwa orang sufi ialah yang bersih daripada kekeruhan, penuh dengan fikiran, putus dengan manusia karena menuju Allah, dan sama baginya harga emas dengan harga pasir.
Ma’arûf Al-Karakhi melihat tasawuf sebagai ajaran mengenai hakikat, dan putus dari apa yang ada dalam tangan sesama makhluk. Abu Muhammad Al-Jurairai, merumuskan  tasawuf sebagai yang masuk ke dalam budi menurut contoh yang ditinggalkan nabi, dan keluar daripada budi yang rendah. Sedangkan Ruaim mendesakkan pandangan tentang  tasawuf sebagai yang ditegakkan atas tiga perangai; berpegang teguh dengan kefakiran, membuktikan kesungguhan berkurban dan meniadakan diri, meninggalkan banyak kepentingan dan banyak pilihan.
Selanjutnya, Junaid juga mengatakan bahwa tasawuf ialah ingat kepada Allah walau dalam beramai-ramai, rindu kepada Tuhan dan sudi mendengarkan dan beramai-ramai dalam lingkungan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasul”.[6]
Dari apa yang dikemukakan di atas, inti tasawuf adalah beribadah langsung kepada Allah sedekat-dekatnya dan kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dan mengosongkan diri serta berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihâd bersatu dengan Tuhan.[7]
     Dari pendapat yang dikutip secara tidak langsung di atas, nampaknya terdapat benang merah yang menghubungkan istilah tasawuf dalam Islam merupakan ajaran yang berdimensi kerohanian yang memiliki pijakan sejarah yang orisinal. Namun mendefiniskan kata tasawuf dalam arti yang dapat diterima oleh semua pihak adalah sesuatu yang hampir mustahil, sebab sebagaimana terlihat dari beragam pendapat di atas, umumnya tasawuf yang dianut oleh para sufi adalah hasil pengalaman batin dalam melakukan hubungan dengan Tuhan. Jelas di sini apabila  berbicara  mengenai  tasawuf,  maka  faktor  rasa  lebih  menonjol daripada nalar atau rasio, bahkan kadang-kadang rasio kurang dapat menangkap kedalaman rasa dan penghayatan. Namun bukan berarti faktor rasa dan rasio saling bertentangan dan terjadi dikotomi, justru para sufi belakangan seperti Imam Khomeini mampu memadukan dan mempertemukan rasa dan rasio atau ajaran tasawuf dengan ajaran filsafat. Kedua dimensi ajaran Islam ini mendapat porsi yang sama besar dengan ajaran figh dan syari’at.

2. Tasawuf di Dunia Islam
Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS. An Nisaa': 4:69).
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur'an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma'ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw. tanda-tanda kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu fiqh dan lain sebagainya. Barulah kira-kira pada tahun 150 H atau abad ke-8 M ilmu tasawuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat keruhanian. Kontribusi tasawuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa'id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.
Dari semula, di dunia Islam telah ada kecenderungan-kecenderungan yang dikenal dengan sebutan tasawuf, dan dari abad IV/X sampai VII/XIV bahkan pernah menjadi ajaran yang dominan di negara Iran dan Turki. Saat ini dibelahan dunia Islam terdapat berbagai sekte sufi yang menunjukkan kecenderungan serupa pada masa awal kelahirannya. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek sejarah, wajar jika timbul pertanyaan apakah tasawuf memang terdapat dalam ajaran Islam ataukah diambil dari ajaran agama lain, sehingga apa yang disebut tasawuf di kalangan umat Islam bukanlah tasawuf Islam sejati?[8]
Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagian kalangan menyangkal  mutlak  keberadaan  tasawuf  dalam  ajaran Islam  dan  menganggapnya sebagai penyimpangan yang harus ditolak. Kalangan lain berpendapat bahwa tasawuf berasal dari luar konteks Islam. Sejalan dengan pendapat ini, ada yang berpendapat bahwa tasawuf adalah bid’ah yang bisa diterima dalam Islam, sebagaimana kerahiban (kehidupan pastoral) dalam ajaran Kristiani.[9]
Harun Nasution mempunyai penjelasan yang lebih cenderung mengelaborasi sumber tasawuf bukan berasal dari tradisi Islam. Ada beberapa argumen Harun Nasution terhadap pendapatnya mengenai asal-usul tasawuf :

a.    Pengaruh Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang Pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk bagi jalan kafilah yang lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan…dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.
b.   Filsafat mistik Pythagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh, meninggalkan hidup materi, yaitu zuhd, untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, inilah menurut pendapat sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhd dan sufisme dalam Islam.
c.    Filsafat emanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk kembali ketempat asalnya roh harus terlebih dulu dibersihkan. Pencucian roh ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat-dekatnya, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatkan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.

d.   Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham nirwana.
e.    Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[10]

    Pandangan yang dikutip di atas tentu tidak sepenuhnya dapat diterima. Meski ada  aspek-aspek  yang  sama, apakah  karena ada  kesamaan, lantas  tasawuf dalam Islam bisa disimpulkan berasal dari ajaran agama lain? Dengan pertanyaan lain, apakah karena ada kemiripan, atau pengaruh dari eskatisme Kristen lalu dengan begitu dapat diambil kesimpulan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran agama Kristen? 

    Dengan begitu, maka kesimpulan akhirnya adalah apa yang disebut tasawuf bukanlah ajaran Islam yang sejati, melainkan rembesan atau hasil pengaruh agama lain disebabkan oleh yang satu mempengaruhi yang lain dan menuduh yang kena pengaruh tidak orisinal.
Dalam menanggapi beberapa pertanyaan di atas, sebagian kalangan memang ada  yang mendukung bahwa ajaran tasawuf dalam  Islam bersumber  dari luar. Namun, para sarjana modern telah banyak meneliti dan mengkaji tentang asal-usul sufisme dan menemukan bahwa tasawuf merupakan ajaran Islam yang lahir dari al-Qur’an dan sunnah.
Kesamaan seperti itu bisa juga ditemukan dalam hukum-hukum syari’at dalam Islam dan dalam agama-agama Samawi lainnya. Ini juga bukan berarti bahwa hukum agama yang belakangan muncul diambil dari hukum agama yang sebelumnya.[11]
Murtahada Muthahhari dan Fazlur Rahman menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa tasawuf bukan berasal dari tradisi Islam, melainkan adopsi dan adaptasi dari ajaran teologi Kristen dan filsafat Barat. Tasawuf justru adalah “jantung” Islam itu sendiri.[12]
Begitu juga menurut Hamka sebagaimana dalam bukunya yang telah dikutip di atas, secara khusus permulaan timbulnya kerohanian sebagai asal-usul tasawuf dalam Islam dimulai dengan perikehidupan Nabi Muhammad sendiri. Mengenai hal itu Hamka menjelaskan bahwa jika diperhatikan, tatkala Nabi Muhammad menyisihkan dirinya di gua Hira, menilik keindahan ciptaan, lalu kita perbandingkan dengan kehidupan orang-orang zahid dan ‘Abid, yaitu ahli tasawuf yang datang kemudian, dapatlah dengan mudah kita melihat persamaan mereka dengan kehidupan nabi. Dan dapatlah kita menyesuaikan jalan yang kita tempuh dengan latihan  dan  perjuangannya  dan  perasaan yang memenuhi jiwanya kepada hidup kerohanian yang suci, terlepas dari segala pengaruh yang telah dimulai nabi Muhammad. Kemana jua pun mereka menoleh, tersimbah dihadapan mereka tirai kebenaran. Mereka mendapatkan kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan apa pun, yaitu kekayaan ma’rifat, kekayaan kenal akan Tuhan.
Dengan melacak beberapa argumen dan pendapat beberapa sarjana di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf memiliki akar yang dalam Islam sejak abad pertama Hijriyah. Mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf tidak berarti lantas mengingkari pengaruh sumber-sumber asing. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah meletakkan pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan. Adalah tidak layak apabila meletakkan sumber-sumber asing saja padahal terdapat fenomena yang justru lebih dekat kepada semangat Islam terutama dari perspektif Al-Qur’an dan Sunnah.  Demikian pula, merupakan sikap keilmuan yang lebih fair apabila dalam menentukan pengaruh sumber-sumber asing tidak hanya mengandalkan pengamatan terhadap adanya “kemiripan”. Tasawuf pada dasarnya adalah “rasa” dan pengalaman, sedangkan jiwa adalah universal. Oleh karena itu, bisa saja suatu pengalaman ditemukan sama meski tidak ada kontak satu sama lain.
Jalaluddin Rakhmat bahkan menegaskan bahwa tasawuf yang bermakna maha luas itu dipersatukan oleh otoritas wahyu Al-Qur’an dan teladan rasulullah  Saw.[13] Pandangan yang cukup moderat mungkin bisa diwakili oleh apa yang dikatakan oleh Muhammad  Taqi Mishbah Yazdi, meski ada dasar  yang kuat tentang ajaran tasawuf dalam Islam, namun yang bisa dianggap sebagai ajaran atau keyakinan Islam yang sejati bukanlah sekedar apa yang bisa kita temukan pada aliran tertentu atau sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam. Karena, jika demikian maka Islam pastinya akan menjadi suatu keyakinan yang penuh dengan kontradiksi dengan tatanan nilai yang saling bertentangan. Pada saat yang sama, kita mengakui kesejatian tasawuf Islam, yang derajat tertingginya diraih oleh nabi Muhammad, namun sulit menyangkal adanya beberapa elemen asing yang diadopsi oleh para sufi dan cukup banyak pandangan dan tingkah laku para sufi yang memang diragukan kebenarannya.[14]
Dalam Al-Qur’an, pribadi Nabi Muhammad disebutkan sebagai teladan yang baik:
Artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan ) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS: Al-Ahzab: 33:21).


III. Perjalanan Menuju Tasawuf
Tasawuf dalam Islam terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berkaitan dengan pemeliharaan dan pembersihan jiwa. Berhias dengan budi yang luhur lagi sempurna. Dalam bahasa istilah disebut Ilmu Mu'amalah.  Pada bagian ini menjadi titik pusat akhlak dan ilmu ruhani, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, orang-orang sufi adalah guru besar ilmu ruhani di dunia ini, Mereka benar-benar memahami dan mendalami penyakit ruhani serta pemusnahnya, sehingga berhasil menyingkap hijab (tabir) penutup ruhani.  Sekalipun Eropa telah menggunakan peralatan moderen di dalam ilmu jiwanya, dan di bawah teori-teorinya berhasil membuka ikatan-ikatan jiwa, akan tetapi masih saja tidak mampu mengentasnya dari kebodohan bertingkat atau berganda.
Berbeda dengan orang-orang sufi yang telah menemukan sesuatu yang lebih mengagumkan dalam persoalan ruhani mereka. Mereka berhasil menggapai pengetahuan yang sempurna. Mereka bawa terbang tinggi menerobos medan cahaya yang bersinar terang, menuju fithrah serta teladan yang membangkitkan kemanusiaan yang mulia nan suci, yang tidak mengenal pertikaian dan saling mencela, tidak mengenal dengki, marah, dan permusuhan, tidak pula mengenal kefasikan, perdebatan dan dekadensi moral. Kedua, berkaitan dengan penggemblengan ruhani, ibadah dan mahabbah (cinta), beserta segala aktifitasa yang ada dalam ibadah dan mahabbah. Yaitu pribadi yang bersih bersinar, munculnya ilham dan anugerah ilahi.
Dalam meneliti bagian kedua ini ada beberapa syarat. Syarat utama ialah mendalami al-Quran dan as-Sunnah. Ia disebut thariq (jalan) dan terdiri dari empat perjalanan (stations). Pertama, perjalanan gerak (amaliah) lahir, yaitu perjalanan ibadah dan berpaling dari gemerlap dunia. Membersihkan diri dari daya tarik dunia. Menyendiri (uzlah) untuk beribadah, dzikir dan istighfar serta selalu melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya. Kedua, perjalanan amaliah batin dan senantiasa menelitinya, dengan memurnikan akhlak, menyucikan hati, menyucikan ruh, mengintai dan menekan nafsu, berhias dengan akhlak dan sifat-sifat yang suci serta perilaku yang senantiasa memancar dari Nur Muhammad. Ketiga, perjalanan penggemblengan dan training jiwa.
Dengan ujian yang akbar ini, kekuatan dan kekuasaan ruh akan semakin bertambah. Jiwa lalu memisah dari debu-debu, menjadikannya bersih murni, hingga hakikat dan rahasia alam terpateri di dalamnya. Cahaya Ilahi memancar di dalam hatinya. Nampak keindahan dan kebesaran alam, kehalusan dan rahasianya. Dengan demikian bangkitlah rasa, yang kemudian membentuk gerak hidup dalam indera yang umum, yang dapat merasakan kelezatan yang tinggi. Ilmu yang cemerlang di dalam jiwa ini lalu menjadi sifat yang tetap, berikut terbukanya tabir penutup secara sedikit demi sedikit sehingga sampailah keoada ridha dan cahaya utama.
Keempat, perjalanan menuju fana yang sempurna. Yaitu dengan sampainya ruh kepada tingkat menyaksikan Allah dengan sebenarnya. Terbuka (kasyaf)nya alam yang samar dan rahasia-rahasia Allah. Kemudian silih berganti muncul cahaya dan terbukanya tabir, hingga kelezatan jiwa dengan ketenteraman. Puncaknya adalah bayangan suci di hadapan Ilahi.[15]  Perjalanan-perjalanan spiritual itu tidak dapat di tulis atau diceritakan, karena berada di luar bayangan dan fantasi manusia, di alam mana Allah SWT Maha Agung dan tercinta dapat dilihat mata hati. Benar-benar pemandangan yang di luar kerja mata wadak. Tiada pernah didengar oleh telinga dan tidak sekalipun terbersit di dalam sanubari.  
Perjalanan ini merupakan perjalanan yang sangat berbahaya. Pernah seorang sufi kehilangan keseimbangannya, kehilangan ingatan, dan akhirnya terjerumus kepada kondisi yang memang sudah menjadi suratan takdir. Adapun bagi mereka yang telah sampai dan berhasil bertahan di sana. Sungguh dia telah memperoleh kemantapan beribadah, penyaksian yang luhur, kenyenyakan yang melelapkan jiwa, tenteram dan menguasai alam.
Begitu pula asumsi dasar yang akan dikemukan dalam tulisan ini bahwa tasawuf merupakan realitas ketuhanan yang tidak dapat diketahui melalui metode-metode logis atau rasional. Tuhan harus didekati melalui cinta. Kehangatan cinta yang membakar ketika berhubungan dengan Tuhan adalah keadaan yang terus dicari para penempuh jalan spiritual, dan hanya melalui keagungan dan rahmat Ilahi-lah intimasi bersama-Nya bisa tercapai.
Dalam sejarahnya, penafsiran kaum sufi atas Sunnah dan Al-Quran selalu memunculkan kontroversi, di mana sebagian ulama (fuqaha') dan penguasa, pada waktu itu, menganggap pandangan-pandangan mistik mereka telah menyebabkan kerancuan (tahafut) dan kebingungan di kalangan umat Islam, dan karenanya harus segera dienyahkan. Namun terdapat banyak ajaran akhlak tasawuf yang menekankan akhlak yang mulia di sisi Allah dalam al-Qur’an. Tentang akhlak tasawuf dalam Al-Qur’an disebutkan:
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya” (QS. At.Tin: 4-6).

Berangkat dari pernyataan Al-Qur’an seperti itu, penulis mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ajaran tentang tasawuf berdimensi akhlak atau akhlak tasawuf. Islam adalah agama pembenaran bagi segenap tindakan "hikmah" atau moralitas. Kehadiran buku-buku akhlak tasawuf belakangan ini ingin menunjukkan sesuatu yang kurang diperhatikan dan bahkan diabaikan dalam perbincangan tentang Islam akhir-akhir ini di Indonesia. Maraknya sejumlah aksi intimidasi, pemaksaan, kekerasan yang membawa nama Islam, mengukuhkan kenyataan bahwa etika dan moralitas sudah terlepas jauh dari pengalaman keagamaan umat Islam.

IV. Kandungan Akhlak Tasawuf dalam Al-Qur’an

Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian.[16]
 Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah". 
 Menurut al-Ghazali, ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan  pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.
Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan.[17]
Dalam menguraikan fungsi al-Quran sebagai asas perlembagaan akhlak, Muhammad Abdullah Darraz (1973) telah menggariskan nilai-nilai akhlak yang dipetik dari al-Quran dan membahagikannya kepada lima kategori yaitu;  nilai akhlak peribadi, nilai akhlak kekeluargaan, nilai akhlak kemasyarakatan, nilai akhlak kenegaraan dan nilai akhlak keagamaan.
Dalam pembagian itu al-Ghazali mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu: Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan (keadilan). Keempat komponen itu merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat juga dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah 'tiada diulus kecuali uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi).
Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak, al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan. Hal ini terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain ia akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya.
Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah dan madzmumah atau buruk.[18] Dalam Ihya' al-Ghazali membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.
Bila ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.
Ia telah membagi akhlak Islam yang bersumberkan Al-Quran dan al-Sunnah kepada sembilan kategori utama, yaitu akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap Rasul, akhlak terhadap Al-Quran, akhlak terhadap peribadi (diri), akhlak kedua orang tua, akhlak terhadap anak, akhlak dalam rumahtangga, akhlak terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan hidup. Setiap kategori utama pula dipecahkan kepada beberapa subkategori yang berkaitan bersandarkan nas-nas dari Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW.
Jika diteliti kepada konstruk akhlak Al-Quran dan al-Sunnah, maka dapat dirumuskan bahawa akhlak Islam merangkumi beberapa dimensi psikologis, yaitu sikap, sifat, tingkah laku dan amalan secara langsung seperti keimanan kepada Allah dan Rasul (sikap), rela dengan ujian Allah (sifat), berdoa dengan penuh ketakutan dan mengharap (tingkah laku) dan melakukan salat fardu lima waktu sehari semalam (amalan secara langsung). Rumusan ini bersesuaian dengan konsep akhlak seperti yang dinyatakan oleh beberapa tokoh akhlak Islam seperti Imam al-Ghazali.  
Tasawuf dan akhlak adalah dua perkara yang tidak dapat dipisahkan di antara satu sama lain (Darraz, 1973; Al-Attas, 1978; Syed Ali Ashraf, 1990; Mohd Sulaiman Yasin, 1992; Bello, 2001). Syed Ali Ashraf (1990) menegaskan bahawa seseorang tidak boleh menjadi seorang yang bertaqwa tetapi tidak berakhlak pada masa yang sama. Secara asasnya, sumber-sumber utama bagi akhlak Islam itu diambil dari dua asas utama Islam itu sendiri iaitu al-Quran dan al-Sunnah (Abdul Haq Ansari, 1989; Majid Fakhry, 1991; Zakaria, 1999b; Ab. Halim & Zarin, 2002; Jamiah Abd Manap et al, 2004).
Walaupun demikian, menurut Profesor Abdul Haq Ansari (1989), satu lagi sumber yang harus diambil sebagai sumber akhlak ialah amalan para sahabat kerana mereka adalah golongan yang dilatih sendiri oleh Rasulullah SAW , kehidupan mereka penuh dengan nilai Islam dengan mencontohi Rasulullah SAW serta telah diiktiraf oleh baginda sebagai golongan terbaik. Mohd Sulaiman Yasin (1992) pula menjelaskan bahawa nilai-nilai akhlak yang ada pada sesebuah masyarakat itu adalah warisan dan peninggalan yang dipercontohkan dan dihidupkan oleh tokoh-tokoh dan pejuang-pejuang akhlak yang dipelopori oleh para nabi dan rasul.
Syed Ali Ashraf (1990) pula merumuskan bahawa adab merupakan suatu sistem model tentang bagaimana manusia melaksanakan kehendak ketuhanan di dalam kehidupan seperti yang diteladani oleh Rasulullah SAW dari pengajaran-pengajaran yang termaktub di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Oleh kerana itu, menurut beliau, pendidikan dijelaskan sebagai proses membudayakan adab dan latihan kesedaran akhlak bersumberkan pembelajaran al-Quran dan al-Sunnah sekaligus mendidik manusia untuk melaksanakannya di dalam kehidupan individu dan sosial.
Sebenarnya terdapat banyak lagi akhlak tasawuf Islam ini. Pada penulis ianya amat luas dan tidak terkapai dalam tulisan ringkas ini. Terdapat 49 sifat akhlak sufi yang dihuraikan dalam buku Muhammad Al Ghazali. Begitu juga dengan Professor HAMKA yang membicarakan sifat Qanaah dan Tawakkal secara mendalam.
Dalam kaitannya dengan filsafat, tasawuf menurut Jalaluddin Rakhmat bisa disebut sebagai mazhab etika (akhlak), karena ada kaitannya dengan upaya mengetahui nilai baik dan buruk.[19] Dalam Al-Qur’an ditegaskan:

 Artinya: Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lali dari hal lain. Maka kami singkapkan darimu selubung (yang menutupi) matamu sehingga pandanganmu pada hari itu amat tajam (QS 50: 22).

Dalam ayat lain disebutkan:
Kemana mukamu menghadap, di situlah wajah Allah (QS 2: 115).


V. PENUTUP

Berbicara akhlak memang sangat sulit, karena akhlak dipandang sebagai suatu implementasi nilai-nilai Al-Qur’an. Zakiah Darajat berpendapat jika kita ambil ajaran agama, maka akhlak adalah sanagt penting, bahkan yang tepenting, dimana kejujuran, kebenaran, keadilan, dan pengabdian adalah diantara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.11 Bagaimana kita menyikapi akhlak kaum muda kita sekarang ini, itu tergantung siapa yang memandang dan dari sisi mana dia memandang.
Yang dapat kita lakukan dalam rangka meningkatkan kualitas akhlak adalah pendidikan pembentukan akhlak yang baik harus dilakukan dengan kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari semua aspek kehidupan serta mampu menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Disamping itu kita sebagai calon-calon tenaga pendidik, harus mampu mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran. Jadi tidak hanya transfer pengetahuan (transfer of knowledge), ketrampilan dan pengalaman yang ditujukan untuk mencerdaskan akal dan memberikan ketrampilan tetapi juga mampu membentuk kepribadian dan pola hidup berdasarkan nilai-nilai yang luhur.
Sebagai akhir dari makalah ini, maka kita semua barharap bahwa nantinya semua orang akan mempunyai akhlak yang mulia sehingga tercapai kehidupan yang layak, baik di dunia dan di akhirat. Dan ingatlah pesan dari Lukmanul Hakim yang telah tertulis dalam Al-Qur’an sebagai perwujudan akhlak yang mulia.





Daftar Pustaka

 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997

Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia Modern Mendamba Allah, Renungan Tasawuf Positif,  IIMaN Jakarta bekerjasama dengan Al-Hikmah, 2002
  
Annemarie Schiemmel, Dimensi-dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Joko Damono dkk., Mizan, Bandung, 1986

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Qairo, Mesir, Daar al-Taqwa, Jidilid 2, tahun 2000

,Bidayah al-Hidayah (terj.), Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003

Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1994

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1978

Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978

,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2, UI Press, Jakarta, 1986

Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah: Mukadimah, Rosda Karya, Bandung, 1999

Murthada Muthahhari, Mengenal Tasawuf: Pengantar Menuju Dunia Irfan, terj. Mukhsin Ali, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002

Mulla Shadra, Puncak Perjalanan Ruhani, terjemahan Ilyas Muhammad, Risalah Gusti, Bandung, 2000









[1]Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 56-58
[2]Tentang orang pertama yang memakai kata sufi, ada pendapat yang mengatakan Abu Hasyim al-Kufi di Irak ( w. 150 H) yang pertama kali memakai istilah itu, dan ini didukung oleh Harun Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 71. Lihat juga artikel terbaru Harun Nasution sebelum dia meninggal, “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 161-163. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Jabir Ibn Hayyan (w. 161 H) sebagai orang pertama yang menerima Laqab sufi. Lihat, Said Agiel Siradj, “Tasawuf Sebagai Manifestasi Nilai Spiritualitas Islam dalam Sejarah”, dalam, Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia Modern Mendamba Allah, Renungan Tasawuf Positif (Jakarta: IIMaN bekerjasama dengan Al-Hikmah, 2002), h. 58.

[3]Kecenderungan tasawuf di dunia Islam memang sudah lama. Namun, definisi tasawuf yang sebenarnya baru muncul di masa Imam Ma’ruf  al-Kurkhi (nama lengkapnya Abu Makhfudz Ma’ruf ibn Fairuzzan al Kurkhi, wafat 2000 H, seorang murid Imam Ali Al-Ridha ibn Musa Al-Kadzim ibn Ja’far Al-Shadiq. Lihat, Said Agil Siradj,  h. 61
[4]Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, h. 58. Lihat juga Mir Valiuddin, The Qur’anic Sufism (Delhi: Matilal Banarsidass, 1981),  h. 1-2 
[5]Annemarie Schiemmel, Dimensi-dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Joko Damono dkk., (Bandung: Mizan, 1986),  h. 2

[6]Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978), h. 82-83
[7]Harun Nasution, Falsafah...,  h. 56

[8]Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, “’Irfan dan Hikmah”, dalam  Jurnal Al-Hikmah, No.9  (Bandung: Mizan, 1992) h. 52

[9] Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Al-Hikmah…,h. 53

[10]Harun Nasution, Falsafah...,  h. 58-59

[11]Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi...Al-Hikmah..., h. 53.

[12] Murthada Muthahhari, Mengenal Tasawuf: Pengantar Menuju Dunia Irfan, terj. Mukhsin Ali (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002). Lihat juga  Fazrur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 2000).h.188.

[13]Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah: Mukadimah (Bandung: Rosda Karya, 1999), h. xvi 

[14] Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi...Al-Hikmah”..., h. 53

[15]Mulla Shadra, Puncak Perjalanan Ruhani, terjemahan Ilyas Muhammad, Risalah Gusti, Bandung, 2000, h. 4
[16] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Qairo, Mesir, Daar al-Taqwa, Jidilid 2, tahun 2000, 599
[17] Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah (terj.), Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003, h. 72-73
[18]Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, h. 103
[19]Jalaluddin Rakhmat, Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dalam Sukardi (Ed), Kuliah-kuliah Tasawuf, Pustaka Hidayah, Bvandung, 2000, h. 32 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar