Tasawuf
Akhlaqi Menurut Al-Qur’an
Sebuah Tafsir Sufistik
Andi
Eka Putra
Abstrak
Akhlak tasawuf adalah sesuatu yang menetap
dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
terlebih dahulu. Akhlak tasawuf bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah.
Akhlak adalah "hal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah.
Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan tasawuf sebagai dua dimensi yang tak
mungkin terpisahkan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era
klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John
Dewey dan Emile Durkheim. Al-Ghazali membagi akhlak tasawuf dalam Al-Qur’an
menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat
(buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik sesuai pesan Al-Qur’an adalah
taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal,
cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak
bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta
riya'.
Kata kunci: tasawuf akhlaqi, Al-Qur’an, akhlak tasawuf menurut
Al-Qur’an
I. Pendahuluan
Salah satu di antara khazanah tradisi dan warisan keilmuan
tradisional Islam yang sangat berharga adalah tasawuf. Dalam Al-Qur’an memang
tidak terdapat satu kata pun tentang “tasawuf”, namun seperti akan diuraikan
dalam tulisan ini, dalam Al-Qur’an terdapat pesan-pesan dan kandungan
nilai-nilai tasawuf, tertutama tasawuf akhlak atau akhlak tasawuf.
Tasawuf merupakan suatu konsepsi pengetahuan yang menekankan nilai
batin sebagai metode bagi tercapainya kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup
manusia. Karena berhubungan dengan
dimensi spiritual, tasawuf lebih mengupas segi-segi kehidupan manusia
yang bersifat esoteris dan batiniah, yang menyangkut persepsi hati dan realitas
ketuhanan yang suci dan Absolut (Mutlak tak ada yang menyamai-Nya). Pada awal
pemunculannya, tasawuf merupakan suatu penafsiran lebih lanjut atas
tindakan dan perkataan (sunah) Nabi Muhammad saw. yang sarat dengan dimensi
spiritualitas. Tokoh-tokoh sufi generasi awal banyak mengambil hikmah dari
peristiwa-peristiwa kenabian yang mereka yakini sebagai satu-satunya jalan
terbaik untuk mencapai Tuhan. Selain itu, mereka juga menafsirkan kandungan
ayat-ayat Alquran secara simbolis, sehingga pemahaman atas realitas ketuhanan
menjadi lebih menyeluruh.
Kepentingan akhlak sebagai suatu gagasan bagi menjamin
pembangunan negara yang mampan dan seimbang dinyatakan dengan jelas sebagai
salah satu di antara cabaran Wawasan 2020 yaitu untuk mewujudkan masyarakat
bermoral dan beretika sepenuhnya, yang rakyatnya kuat beragama dan nilai
kerohanian serta disemai dengan nilai etika paling tinggi. Dalam konteks
pembangunan ekonomi dan politik di dalam sebuah negara, pembinaan akhlak tasawuf
versi Al-Qur’an dalam bentuk pembangunan manusia yang seimbang akan menjamin
pembangunan ekonomi yang mampan serta kekuatan politik yang akan menjamin
kelangsungan dan kecemerlangan bangsa.
Dalam konteks sosial, akhlak tasawuf dapat menjadi sendi yang
mengikat kukuh bagi hubungan dalam sebuah masyarakat sehingga dapat menjamin
kewujudan, kestabilan, keamanan dan kesejahteraan di dalam masyarakat tersebut.
Keruntuhan nilai akhlak tasawuf di dalam sesebuah masyarakat bukan saja menjadi
ancaman kepada kesejahteraan mental individu dalam masyarakat malah turut
kepada kemusnahan kerana keruntuhan nilai akhlak akan melemahkan setiap sendi
sesebuah masyarakat.
Walau pun demikian, realitas pada suatu masa telah menunjukkan
kepada kita tanda-tanda dan penanda mengenai jurang yang semakin melebar di
antara idealisme kepentingan akhlak tasawuf dalam konteks pembangunan negara
dengan kemelut sosial yang sedang dihidapi di dalam sesebuah masyarakat. Kesadaran
dan kepekaan pihak-pihak yang ikut bertanggungjawab terhadap kemerosotan nilai akhlak
tasawuf dalam Islam penting untuk terus-menerus melakukan kajian dan memikirkan
jalan keluar bagi masalah ini. Salah satu langkah dan upaya untuk dilakukan
kalangan akademis dan dosen di perguruan tinggi IAIN adalah dengan melakukan
kajian terhadap kandungan Al-Qur’an terhadap akhlak tasawuf.
II. Tasawuf dalam Lintasan Sejarah
Islam
1. Pengertian
Tasawuf
Membicarakan
tasawuf seakan memasuki rimba-raya yang luas sementara kita sendirian di
dalamnya. Meski dari segi istilah, kata tasawuf tidak begitu asing dalam dunia
Islam. Namun, beberapa sarjana berbeda pendapat ketika mengungkap darimana asal
kata tasawuf tersebut. Harun Nasution mengatakan bahwa kata tasawuf ( التصوف
) berasal dari kata sufi ( صوفى ).[1]
Menurut
sejarah, orang pertama yang memakai kata sufi
adalah seorang zahid atau ascetic Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w. 150 H). Untuk
mendifinisikan tasawuf,[2]
dapat dilihat dari dua pendekatan; pendekatan secara etimologi (bahasa)
dan terminologi (istilah). Adapun
secara etimologi, ada beberapa istilah :
1.
Ahl al-Suffah ( أهل الصفة ) orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari
Makkah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan
tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di masjid nabi dan tidur di atas
bangku- bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah.
Inggrisnya sadle-cushion dan kata sofa dalam bahasa Eropa berasal dari
kata suffah ( صفة ). Sungguhpun ahl-suffah miskin, mereka berhati
baik dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik
dan mulia itulah sifat-sifat kaum sufi.
2.
Shaf ( صف) pertama.
Sebagaimana halnya dengan orang yang sembayang di shaf pertama mendapat
kemulian dan pahal, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi pahala.
3.
Sûfi ( صوفى ) dari
kata( صافى ) dan ( صفى )
yaitu suci. Seorang sufi adalah orang-orang yang telah menyucikan dirinya
melalui latihan berat dan lama
4.
Sophos, kata Yunani yang
berarti hikmat. Orang sufi betul ada hubungannya dengan hikmat, hanya kaum sufi
pula yang mengetahui. Pendapat ini banyak yang menolak, karena kata sophos
telah masuk ke dalam kata فلسفة dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan س dan bukan ص seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.
Sûf (صو ف
), atau kain yang dibuat dari bulu wol. Hanya kain wol
yang dipakai kaum sufi adalah wol kasar dan bukan wol halus seperti sekarang.
Memakai wol kasar di waktu itu adalah simbol kesederhanaan. Lawannya ialah kain
sutera, yang banyak dipakai oleh orang-orang kaya. Kaum sufi hidup sederhana
dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian
sutera dan sebagai penggantinya wol kasar.[3]
Dari beberapa istilah di atas, menurut Harun Nasution, dan juga Mir
Valiuddin, kata sûf
(kain wol) merupakan istilah yang paling banyak diterima dan mendekati
ketepatan. Kain wol yang dipakai para sufi merupakan simbol kesederhanaan dan
ciri seorang sufi adalah hidup sederhana.[4]
Beberapa tokoh juga mencoba mendifinisikan tasawuf dari segi
terminologinya. Annemarie Schimmel mendifinisikan tasawuf sebagai kesadaran
terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut kearifan, Cahaya, Cinta atau
Nihil. Definisi semacam ini hanya sekedar petunjuk saja, sebab pada kenyataan
yang menjadi tujuan tasawuf jauh lebih penting dan tak terdefinisikan. Hanya
kearifan gnosis yang bisa mendalami beberapa di antara segi-seginya.[5]
Sementara
Hamka mendefinisikan tasawuf dengan memulai kalimat Ash-Shûfi man shafâ
qalbuhu lilâhi (seorang sufi ialah yang telah bersih hatinya, semata-mata
buat Allah). Hamka merujuk beberapa definisi tasawuf dari berbagai tokoh.
Bardar bin Al-Husain mengatakan bahwa tasawuf atau sufi ialah orang yang telah
memilih Al-Haq (Allah) semata-mata untuk dirinya, dan tidak mendorongnya bekerja
memaksa-maksa dan membuat dengan hanya semata-mata da’wa.
Sementara
Abu ‘Ali Al-Ruzbari, memandang bahwa seorang sufi adalah mereka yang memakai
kain shuf untuk membersihkan jiwa,
memberi makan hawannya dengan kepahitan, meletakkan dunia di bawah tempat
duduknya, dan berjalan (sulûk). Sedangkan
Shal bin ‘Abdullah al-Turturi mengemukakan pandangannya bahwa orang sufi ialah
yang bersih daripada kekeruhan, penuh dengan fikiran, putus dengan manusia
karena menuju Allah, dan sama baginya harga emas dengan harga pasir.
Ma’arûf
Al-Karakhi melihat tasawuf sebagai ajaran mengenai hakikat, dan putus dari apa
yang ada dalam tangan sesama makhluk. Abu Muhammad Al-Jurairai, merumuskan tasawuf sebagai yang masuk ke dalam budi
menurut contoh yang ditinggalkan nabi, dan keluar daripada budi yang rendah. Sedangkan
Ruaim mendesakkan pandangan tentang tasawuf sebagai yang ditegakkan atas tiga
perangai; berpegang teguh dengan kefakiran, membuktikan kesungguhan berkurban
dan meniadakan diri, meninggalkan banyak kepentingan dan banyak pilihan.
Selanjutnya,
Junaid juga mengatakan bahwa tasawuf ialah ingat kepada Allah walau dalam
beramai-ramai, rindu kepada Tuhan dan sudi mendengarkan dan beramai-ramai dalam
lingkungan mengikuti contoh yang ditinggalkan Rasul”.[6]
Dari apa yang dikemukakan di atas, inti tasawuf
adalah beribadah langsung kepada Allah sedekat-dekatnya dan kesadaran akan
adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dan mengosongkan
diri serta berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat
mengambil bentuk ittihâd bersatu dengan Tuhan.[7]
Dari pendapat yang dikutip
secara tidak langsung di atas, nampaknya terdapat benang merah yang
menghubungkan istilah tasawuf dalam Islam merupakan ajaran yang berdimensi
kerohanian yang memiliki pijakan sejarah yang orisinal. Namun mendefiniskan
kata tasawuf dalam arti yang dapat diterima oleh semua pihak adalah sesuatu
yang hampir mustahil, sebab sebagaimana terlihat dari beragam pendapat di atas,
umumnya tasawuf yang dianut oleh para sufi adalah hasil pengalaman batin dalam
melakukan hubungan dengan Tuhan. Jelas
di sini apabila berbicara mengenai
tasawuf, maka faktor
rasa lebih menonjol daripada nalar atau rasio,
bahkan kadang-kadang rasio kurang dapat menangkap kedalaman rasa dan penghayatan.
Namun bukan berarti faktor rasa dan rasio saling bertentangan dan terjadi
dikotomi, justru para sufi belakangan seperti Imam Khomeini mampu memadukan dan
mempertemukan rasa dan rasio atau ajaran tasawuf dengan ajaran filsafat. Kedua
dimensi ajaran Islam ini mendapat porsi yang sama besar dengan ajaran figh dan
syari’at.
2. Tasawuf di Dunia Islam
Dan barangsiapa yang menta'ati
Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang
mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (QS. An Nisaa': 4:69).
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang
didasari oleh Al-Qur'an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma'ruf nahi
munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw. tanda-tanda kesufian sudah ada, namun
nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti
ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu fiqh dan lain sebagainya. Barulah kira-kira
pada tahun 150 H atau abad ke-8 M ilmu tasawuf ini berdiri sebagai ilmu yang
berdiri sendiri yang bersifat keruhanian. Kontribusi tasawuf ini banyak
dibukukan oleh kalangan orang-orang sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu
Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa'id
ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari,
al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain
Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.
Dari
semula, di dunia Islam telah ada kecenderungan-kecenderungan yang dikenal
dengan sebutan tasawuf, dan dari abad IV/X sampai VII/XIV bahkan pernah menjadi
ajaran yang dominan di negara Iran dan Turki. Saat ini dibelahan dunia Islam
terdapat berbagai sekte sufi yang menunjukkan kecenderungan serupa pada masa
awal kelahirannya. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek sejarah, wajar jika
timbul pertanyaan apakah tasawuf memang terdapat dalam ajaran Islam ataukah
diambil dari ajaran agama lain, sehingga apa yang disebut tasawuf di kalangan
umat Islam bukanlah tasawuf Islam sejati?[8]
Dalam
menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagian kalangan menyangkal mutlak
keberadaan tasawuf dalam
ajaran Islam dan menganggapnya sebagai penyimpangan yang harus
ditolak. Kalangan lain berpendapat bahwa tasawuf berasal dari luar konteks
Islam. Sejalan dengan pendapat ini, ada yang berpendapat bahwa tasawuf adalah bid’ah yang bisa diterima dalam Islam,
sebagaimana kerahiban (kehidupan pastoral) dalam ajaran Kristiani.[9]
Harun
Nasution mempunyai penjelasan yang lebih cenderung mengelaborasi sumber tasawuf
bukan berasal dari tradisi Islam. Ada
beberapa argumen Harun Nasution terhadap pendapatnya mengenai asal-usul tasawuf
:
a.
Pengaruh Kristen dengan faham
menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Dalam literatur
Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri
di padang Pasir
Arabia . Lampu yang mereka pasang di malam hari
menjadi petunjuk bagi jalan kafilah yang
lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang
kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi
musafir yang kelaparan…dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan
dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah atas pengaruh cara
hidup rahib-rahib Kristen ini.
b.
Filsafat mistik Pythagoras yang
berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang
asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya
ialah di alam samawi. Untuk memperoleh
senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh, meninggalkan hidup
materi, yaitu zuhd, untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pythagoras
untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, inilah menurut pendapat
sebagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhd dan sufisme dalam
Islam.
c.
Filsafat
emanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang
Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi
dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk kembali ketempat
asalnya roh harus terlebih dulu dibersihkan. Pencucian roh ialah dengan
meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat-dekatnya, kalau bisa bersatu
dengan Tuhan. Dikatkan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap
munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.
d.
Ajaran Budha dengan paham
nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki
hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan
faham nirwana.
e. Ajaran-ajaran Hinduisme yang
juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[10]
Pandangan yang dikutip di atas tentu tidak
sepenuhnya dapat diterima. Meski ada
aspek-aspek yang sama, apakah
karena ada kesamaan, lantas tasawuf dalam Islam bisa disimpulkan berasal
dari ajaran agama lain? Dengan pertanyaan lain, apakah karena ada kemiripan,
atau pengaruh dari eskatisme Kristen lalu dengan begitu dapat diambil
kesimpulan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran agama Kristen?
Dengan begitu, maka kesimpulan akhirnya adalah apa
yang disebut tasawuf bukanlah ajaran Islam yang sejati, melainkan rembesan atau
hasil pengaruh agama lain disebabkan oleh yang satu mempengaruhi yang lain dan
menuduh yang kena pengaruh tidak orisinal.
Dalam menanggapi beberapa pertanyaan di atas,
sebagian kalangan memang ada yang
mendukung bahwa ajaran tasawuf dalam
Islam bersumber dari luar. Namun,
para sarjana modern telah banyak meneliti dan mengkaji tentang asal-usul sufisme
dan menemukan bahwa tasawuf merupakan ajaran Islam yang lahir dari al-Qur’an
dan sunnah.
Kesamaan seperti itu bisa juga ditemukan dalam
hukum-hukum syari’at dalam Islam dan dalam agama-agama Samawi lainnya. Ini juga
bukan berarti bahwa hukum agama yang belakangan muncul diambil dari hukum agama
yang sebelumnya.[11]
Murtahada
Muthahhari dan Fazlur Rahman menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa tasawuf
bukan berasal dari tradisi Islam, melainkan adopsi dan adaptasi dari ajaran
teologi Kristen dan filsafat Barat. Tasawuf justru adalah “jantung” Islam itu
sendiri.[12]
Begitu juga menurut Hamka sebagaimana dalam bukunya yang telah dikutip di
atas, secara khusus permulaan timbulnya kerohanian sebagai asal-usul tasawuf
dalam Islam dimulai dengan perikehidupan Nabi Muhammad sendiri. Mengenai hal
itu Hamka menjelaskan bahwa jika diperhatikan,
tatkala Nabi Muhammad menyisihkan dirinya di gua Hira, menilik keindahan
ciptaan, lalu kita perbandingkan dengan kehidupan orang-orang zahid dan ‘Abid,
yaitu ahli tasawuf yang datang kemudian, dapatlah dengan mudah kita melihat
persamaan mereka dengan kehidupan nabi.
Dan dapatlah kita menyesuaikan jalan yang kita tempuh dengan latihan dan
perjuangannya dan perasaan yang memenuhi jiwanya kepada hidup kerohanian
yang suci, terlepas dari segala pengaruh yang telah dimulai nabi Muhammad.
Kemana jua pun mereka menoleh, tersimbah dihadapan mereka tirai kebenaran.
Mereka mendapatkan kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan apa pun, yaitu
kekayaan ma’rifat, kekayaan kenal akan Tuhan.
Dengan
melacak beberapa argumen dan pendapat beberapa sarjana di atas, dapat dipahami
bahwa tasawuf memiliki akar yang dalam Islam sejak abad pertama Hijriyah.
Mengakui adanya sumber Islam dalam tasawuf tidak berarti lantas mengingkari
pengaruh sumber-sumber asing. Akan tetapi, yang dimaksudkan adalah meletakkan
pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan.
Adalah tidak layak apabila meletakkan sumber-sumber asing saja padahal terdapat
fenomena yang justru lebih dekat kepada semangat Islam terutama dari perspektif
Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula,
merupakan sikap keilmuan yang lebih fair apabila dalam menentukan pengaruh
sumber-sumber asing tidak hanya mengandalkan pengamatan terhadap adanya
“kemiripan”. Tasawuf pada dasarnya adalah “rasa” dan pengalaman, sedangkan jiwa
adalah universal. Oleh karena itu, bisa saja suatu pengalaman ditemukan sama
meski tidak ada kontak satu sama lain.
Jalaluddin
Rakhmat bahkan menegaskan bahwa tasawuf yang bermakna maha luas itu
dipersatukan oleh otoritas wahyu Al-Qur’an dan teladan rasulullah Saw.[13] Pandangan yang cukup moderat mungkin bisa
diwakili oleh apa yang dikatakan oleh Muhammad
Taqi Mishbah Yazdi, meski ada dasar
yang kuat tentang ajaran tasawuf dalam Islam, namun yang bisa dianggap
sebagai ajaran atau keyakinan Islam yang sejati bukanlah sekedar apa yang bisa
kita temukan pada aliran tertentu atau sekelompok orang yang mengatasnamakan
Islam. Karena, jika demikian maka Islam pastinya akan menjadi suatu keyakinan
yang penuh dengan kontradiksi dengan tatanan nilai yang saling bertentangan.
Pada saat yang sama, kita mengakui kesejatian tasawuf Islam, yang derajat
tertingginya diraih oleh nabi Muhammad, namun sulit menyangkal adanya beberapa
elemen asing yang diadopsi oleh para sufi dan cukup banyak pandangan dan
tingkah laku para sufi yang memang diragukan kebenarannya.[14]
Dalam
Al-Qur’an, pribadi Nabi Muhammad disebutkan sebagai teladan yang baik:
Artinya:
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan ) hari kiamat dan
Dia banyak menyebut Allah (QS: Al-Ahzab: 33:21).
III. Perjalanan Menuju Tasawuf
Tasawuf dalam Islam terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berkaitan dengan
pemeliharaan dan pembersihan jiwa. Berhias dengan budi yang luhur lagi
sempurna. Dalam bahasa istilah disebut Ilmu Mu'amalah. Pada bagian ini menjadi titik pusat akhlak
dan ilmu ruhani, bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, orang-orang sufi
adalah guru besar ilmu ruhani di dunia ini, Mereka benar-benar memahami dan
mendalami penyakit ruhani serta pemusnahnya, sehingga berhasil menyingkap hijab
(tabir) penutup ruhani. Sekalipun Eropa
telah menggunakan peralatan moderen di dalam ilmu jiwanya, dan di bawah teori-teorinya
berhasil membuka ikatan-ikatan jiwa, akan tetapi masih saja tidak mampu
mengentasnya dari kebodohan bertingkat atau berganda.
Berbeda dengan orang-orang sufi yang telah menemukan sesuatu yang lebih
mengagumkan dalam persoalan ruhani mereka. Mereka berhasil menggapai
pengetahuan yang sempurna. Mereka bawa terbang tinggi menerobos medan cahaya
yang bersinar terang, menuju fithrah serta teladan yang membangkitkan
kemanusiaan yang mulia nan suci, yang tidak mengenal pertikaian dan saling
mencela, tidak mengenal dengki, marah, dan permusuhan, tidak pula mengenal
kefasikan, perdebatan dan dekadensi moral. Kedua,
berkaitan dengan penggemblengan ruhani, ibadah dan mahabbah (cinta), beserta
segala aktifitasa yang ada dalam ibadah dan mahabbah. Yaitu pribadi yang bersih
bersinar, munculnya ilham dan anugerah ilahi.
Dalam meneliti bagian kedua ini ada beberapa
syarat. Syarat utama ialah mendalami al-Quran dan as-Sunnah. Ia disebut thariq (jalan) dan terdiri dari empat
perjalanan (stations). Pertama, perjalanan
gerak (amaliah) lahir, yaitu perjalanan ibadah dan berpaling dari gemerlap
dunia. Membersihkan diri dari daya tarik dunia. Menyendiri (uzlah) untuk
beribadah, dzikir dan istighfar serta selalu melaksanakan kewajiban yang
menjadi tanggung jawabnya. Kedua, perjalanan amaliah batin dan senantiasa
menelitinya, dengan memurnikan akhlak, menyucikan hati, menyucikan ruh,
mengintai dan menekan nafsu, berhias dengan akhlak dan sifat-sifat yang suci
serta perilaku yang senantiasa memancar dari Nur Muhammad. Ketiga, perjalanan
penggemblengan dan training jiwa.
Dengan ujian yang akbar ini, kekuatan dan
kekuasaan ruh akan semakin bertambah. Jiwa lalu memisah dari debu-debu,
menjadikannya bersih murni, hingga hakikat dan rahasia alam terpateri di
dalamnya. Cahaya Ilahi memancar di dalam hatinya. Nampak keindahan dan
kebesaran alam, kehalusan dan rahasianya. Dengan demikian bangkitlah rasa, yang
kemudian membentuk gerak hidup dalam indera yang umum, yang dapat merasakan
kelezatan yang tinggi. Ilmu yang cemerlang di dalam jiwa ini lalu menjadi sifat
yang tetap, berikut terbukanya tabir penutup secara sedikit demi sedikit
sehingga sampailah keoada ridha dan cahaya utama.
Keempat, perjalanan menuju fana yang sempurna.
Yaitu dengan sampainya ruh kepada tingkat menyaksikan Allah dengan sebenarnya.
Terbuka (kasyaf)nya alam yang samar dan rahasia-rahasia Allah. Kemudian silih
berganti muncul cahaya dan terbukanya tabir, hingga kelezatan jiwa dengan
ketenteraman. Puncaknya adalah bayangan suci di hadapan Ilahi.[15] Perjalanan-perjalanan spiritual itu tidak
dapat di tulis atau diceritakan, karena berada di luar bayangan dan fantasi
manusia, di alam mana Allah SWT Maha Agung dan tercinta dapat dilihat mata
hati. Benar-benar pemandangan yang di luar kerja mata wadak. Tiada pernah didengar
oleh telinga dan tidak sekalipun terbersit di dalam sanubari.
Perjalanan ini merupakan perjalanan yang sangat
berbahaya. Pernah seorang sufi kehilangan keseimbangannya, kehilangan ingatan,
dan akhirnya terjerumus kepada kondisi yang memang sudah menjadi suratan
takdir. Adapun bagi mereka yang telah sampai dan berhasil bertahan di sana.
Sungguh dia telah memperoleh kemantapan beribadah, penyaksian yang luhur,
kenyenyakan yang melelapkan jiwa, tenteram dan menguasai alam.
Begitu pula asumsi dasar yang akan
dikemukan dalam tulisan ini bahwa tasawuf merupakan realitas ketuhanan
yang tidak dapat diketahui melalui metode-metode logis atau rasional. Tuhan
harus didekati melalui cinta. Kehangatan cinta yang membakar ketika berhubungan
dengan Tuhan adalah keadaan yang terus dicari para penempuh jalan spiritual,
dan hanya melalui keagungan dan rahmat Ilahi-lah intimasi bersama-Nya bisa
tercapai.
Dalam sejarahnya, penafsiran kaum sufi
atas Sunnah dan Al-Quran selalu memunculkan kontroversi, di mana sebagian ulama
(fuqaha') dan penguasa, pada waktu itu, menganggap pandangan-pandangan
mistik mereka telah menyebabkan kerancuan (tahafut) dan kebingungan di
kalangan umat Islam, dan karenanya harus segera dienyahkan. Namun terdapat
banyak ajaran akhlak tasawuf yang menekankan akhlak yang mulia di sisi Allah
dalam al-Qur’an. Tentang akhlak tasawuf dalam Al-Qur’an disebutkan:
Artinya:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh maka bagi mereka pahala
yang tiada putus-putusnya” (QS. At.Tin: 4-6).
Berangkat dari pernyataan Al-Qur’an seperti
itu, penulis mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat ajaran tentang tasawuf
berdimensi akhlak atau akhlak tasawuf. Islam adalah agama pembenaran bagi
segenap tindakan "hikmah" atau moralitas. Kehadiran buku-buku akhlak
tasawuf belakangan ini ingin menunjukkan sesuatu yang kurang diperhatikan dan
bahkan diabaikan dalam perbincangan tentang Islam akhir-akhir ini di Indonesia .
Maraknya sejumlah aksi intimidasi, pemaksaan, kekerasan yang membawa nama
Islam, mengukuhkan kenyataan bahwa etika dan moralitas sudah terlepas jauh dari
pengalaman keagamaan umat Islam.
IV. Kandungan
Akhlak Tasawuf dalam Al-Qur’an
Al-Ghazali memberikan kriteria
terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu
muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua
kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan
faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu
menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia
cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian.[16]
Akhlak bukan merupakan
"perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah"
(mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah
"hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan
dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari "
keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah".
Menurut al-Ghazali, ada dua cara dalam
mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan
dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di
ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan
sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan
lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim)
tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.
Kedua, akhlak tersebut
diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada
perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak
berubah dengan pendidikan latihan.[17]
Dalam menguraikan fungsi al-Quran sebagai asas perlembagaan
akhlak, Muhammad Abdullah Darraz (1973) telah menggariskan nilai-nilai akhlak
yang dipetik dari al-Quran dan membahagikannya kepada lima kategori yaitu; nilai akhlak peribadi, nilai akhlak
kekeluargaan, nilai akhlak kemasyarakatan, nilai akhlak kenegaraan dan nilai
akhlak keagamaan.
Dalam pembagian itu al-Ghazali
mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik
dan buruk, yaitu: Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang
terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat,
dan kekuatan keseimbangan (keadilan). Keempat komponen itu merupakan
syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini
dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat dengan
empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat juga
dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah 'tiada diulus kecuali uniuk
menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi).
Dengan meletakkan ilmu sebagai
kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak, al-Ghazali mengkaitkan antara
akhlak dan pengetahuan. Hal ini terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya'
adalah bab tentang keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain ia
akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya.
Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda
dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah
dan madzmumah atau buruk.[18]
Dalam Ihya' al-Ghazali membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab,
akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal).
Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir,
ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan
akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan
kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.
Bila ditinjau pembagian yang merusak
dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif
tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau
kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada
gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.
Ia telah membagi akhlak Islam yang bersumberkan Al-Quran dan
al-Sunnah kepada sembilan kategori utama, yaitu akhlak terhadap Allah, akhlak
terhadap Rasul, akhlak terhadap Al-Quran, akhlak terhadap peribadi (diri),
akhlak kedua orang tua, akhlak terhadap anak, akhlak dalam rumahtangga, akhlak
terhadap sesama manusia dan akhlak terhadap lingkungan hidup. Setiap kategori
utama pula dipecahkan kepada beberapa subkategori yang berkaitan bersandarkan
nas-nas dari Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW.
Jika diteliti kepada konstruk akhlak Al-Quran dan al-Sunnah,
maka dapat dirumuskan bahawa akhlak Islam merangkumi beberapa dimensi psikologis,
yaitu sikap, sifat, tingkah laku dan amalan secara langsung seperti keimanan
kepada Allah dan Rasul (sikap), rela dengan ujian Allah (sifat), berdoa dengan
penuh ketakutan dan mengharap (tingkah laku) dan melakukan salat fardu lima
waktu sehari semalam (amalan secara langsung). Rumusan ini bersesuaian dengan
konsep akhlak seperti yang dinyatakan oleh beberapa tokoh akhlak Islam seperti
Imam al-Ghazali.
Tasawuf dan akhlak adalah dua perkara yang tidak dapat
dipisahkan di antara satu sama lain (Darraz, 1973; Al-Attas, 1978; Syed Ali
Ashraf, 1990; Mohd Sulaiman Yasin, 1992; Bello, 2001). Syed Ali Ashraf (1990)
menegaskan bahawa seseorang tidak boleh menjadi seorang yang bertaqwa tetapi
tidak berakhlak pada masa yang sama. Secara asasnya, sumber-sumber utama bagi
akhlak Islam itu diambil dari dua asas utama Islam itu sendiri iaitu al-Quran
dan al-Sunnah (Abdul Haq Ansari, 1989; Majid Fakhry, 1991; Zakaria, 1999b; Ab.
Halim & Zarin, 2002; Jamiah Abd Manap et al, 2004).
Walaupun demikian, menurut Profesor Abdul Haq Ansari (1989),
satu lagi sumber yang harus diambil sebagai sumber akhlak ialah amalan para
sahabat kerana mereka adalah golongan yang dilatih sendiri oleh Rasulullah SAW
, kehidupan mereka penuh dengan nilai Islam dengan mencontohi Rasulullah SAW
serta telah diiktiraf oleh baginda sebagai golongan terbaik. Mohd Sulaiman
Yasin (1992) pula menjelaskan bahawa nilai-nilai akhlak yang ada pada sesebuah
masyarakat itu adalah warisan dan peninggalan yang dipercontohkan dan
dihidupkan oleh tokoh-tokoh dan pejuang-pejuang akhlak yang dipelopori oleh
para nabi dan rasul.
Syed Ali Ashraf (1990) pula merumuskan bahawa adab merupakan
suatu sistem model tentang bagaimana manusia melaksanakan kehendak ketuhanan di
dalam kehidupan seperti yang diteladani oleh Rasulullah SAW dari
pengajaran-pengajaran yang termaktub di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Oleh
kerana itu, menurut beliau, pendidikan dijelaskan sebagai proses membudayakan
adab dan latihan kesedaran akhlak bersumberkan pembelajaran al-Quran dan
al-Sunnah sekaligus mendidik manusia untuk melaksanakannya di dalam kehidupan
individu dan sosial.
Sebenarnya
terdapat banyak lagi akhlak tasawuf Islam ini. Pada penulis ianya amat luas dan
tidak terkapai dalam tulisan ringkas ini. Terdapat 49 sifat akhlak sufi yang
dihuraikan dalam buku Muhammad Al Ghazali. Begitu juga dengan Professor HAMKA
yang membicarakan sifat Qanaah dan Tawakkal secara mendalam.
Dalam kaitannya
dengan filsafat, tasawuf menurut Jalaluddin Rakhmat bisa disebut sebagai mazhab
etika (akhlak), karena ada kaitannya dengan upaya mengetahui nilai baik dan
buruk.[19]
Dalam Al-Qur’an ditegaskan:
Dalam ayat lain disebutkan:
Kemana mukamu
menghadap, di situlah wajah Allah (QS 2: 115).
V. PENUTUP
Berbicara
akhlak memang sangat sulit, karena akhlak dipandang sebagai suatu implementasi
nilai-nilai Al-Qur’an. Zakiah Darajat berpendapat jika kita ambil ajaran agama,
maka akhlak adalah sanagt penting, bahkan yang tepenting, dimana kejujuran, kebenaran,
keadilan, dan pengabdian adalah diantara sifat-sifat yang terpenting dalam
agama.11
Bagaimana kita menyikapi akhlak kaum muda kita sekarang ini, itu tergantung
siapa yang memandang dan dari sisi mana dia memandang.
Yang
dapat kita lakukan dalam rangka meningkatkan kualitas akhlak adalah pendidikan
pembentukan akhlak yang baik harus dilakukan dengan kompak dan usaha yang
sungguh-sungguh dari semua aspek kehidupan serta mampu menggunakan seluruh
kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Disamping itu kita
sebagai calon-calon tenaga pendidik, harus mampu mengintegrasikan antara
pendidikan dan pengajaran. Jadi tidak hanya transfer pengetahuan (transfer
of knowledge), ketrampilan dan pengalaman yang ditujukan untuk mencerdaskan
akal dan memberikan ketrampilan tetapi juga mampu membentuk kepribadian dan
pola hidup berdasarkan nilai-nilai yang luhur.
Sebagai
akhir dari makalah ini, maka kita semua barharap bahwa nantinya semua orang
akan mempunyai akhlak yang mulia sehingga tercapai kehidupan yang layak, baik
di dunia dan di akhirat. Dan ingatlah pesan dari Lukmanul Hakim yang telah
tertulis dalam Al-Qur’an sebagai perwujudan akhlak yang mulia.
Daftar Pustaka
Ahmad Najib
Burhani (ed), Manusia Modern Mendamba Allah, Renungan Tasawuf Positif, IIMaN Jakarta bekerjasama dengan Al-Hikmah,
2002
Annemarie
Schiemmel, Dimensi-dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Joko Damono
dkk., Mizan, Bandung ,
1986
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Qairo, Mesir, Daar
al-Taqwa, Jidilid 2, tahun 2000
,Bidayah al-Hidayah (terj.), Pustaka Sufi, Yogyakarta ,
2003
Budhy Munawar
Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta , 1994
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Yayasan
Nurul Islam, Jakarta ,
1978
Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta ,
1978
,Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2, UI Press, Jakarta, 1986
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi Al-Fatihah: Mukadimah,
Rosda Karya, Bandung ,
1999
Murthada
Muthahhari, Mengenal Tasawuf: Pengantar Menuju Dunia Irfan, terj.
Mukhsin Ali, Pustaka Zahra, Jakarta ,
2002
Mulla Shadra, Puncak Perjalanan Ruhani, terjemahan
Ilyas Muhammad, Risalah Gusti, Bandung ,
2000
[1]Harun Nasution, Falsafah Dan
Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 56-58
[2]Tentang orang pertama
yang memakai kata sufi, ada pendapat yang mengatakan Abu Hasyim al-Kufi di Irak
( w. 150 H) yang pertama kali memakai istilah itu, dan ini didukung oleh Harun
Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2, (Jakarta:
UI Press, 1986), h. 71. Lihat juga
artikel terbaru Harun Nasution sebelum dia meninggal, “Tasawuf”, dalam
Budhy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1994), h. 161-163. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
Jabir Ibn Hayyan (w. 161 H) sebagai orang pertama yang menerima Laqab sufi.
Lihat, Said Agiel Siradj, “Tasawuf Sebagai Manifestasi Nilai Spiritualitas
Islam dalam Sejarah”, dalam, Ahmad Najib Burhani (ed), Manusia Modern
Mendamba Allah, Renungan Tasawuf Positif (Jakarta: IIMaN bekerjasama dengan
Al-Hikmah, 2002), h. 58.
[3]Kecenderungan tasawuf di dunia Islam memang sudah
lama. Namun, definisi tasawuf yang sebenarnya baru muncul di masa Imam
Ma’ruf al-Kurkhi (nama lengkapnya Abu
Makhfudz Ma’ruf ibn Fairuzzan al Kurkhi, wafat 2000 H, seorang murid Imam Ali Al-Ridha
ibn Musa Al-Kadzim ibn Ja’far Al-Shadiq. Lihat, Said Agil Siradj, h. 61
[4]Harun Nasution, Falsafah
Dan Mistisisme Dalam Islam, h. 58. Lihat juga Mir Valiuddin, The Qur’anic Sufism (Delhi: Matilal
Banarsidass, 1981), h. 1-2
[5]Annemarie Schiemmel, Dimensi-dimensi Mistik Dalam
Islam, terj. Sapardi Joko Damono dkk., (Bandung: Mizan, 1986), h. 2
[6]Hamka, Tasawuf Perkembangan
dan Pemurniannya (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978), h. 82-83
[7]Harun Nasution, Falsafah..., h. 56
[8]Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, “’Irfan dan
Hikmah”, dalam Jurnal Al-Hikmah,
No.9 (Bandung: Mizan, 1992) h. 52
[9] Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Al-Hikmah…,h.
53
[10]Harun Nasution, Falsafah..., h. 58-59
[11]Ayatullah Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi...Al-Hikmah..., h. 53.
[12] Murthada Muthahhari, Mengenal Tasawuf: Pengantar
Menuju Dunia Irfan, terj. Mukhsin Ali (Jakarta : Pustaka Zahra, 2002). Lihat
juga Fazrur Rahman, Islam, terj.
Ahsin Muhammad (Bandung :
Pustaka, 2000).h.188.
[13]Jalaluddin Rakhmat, Tafsir
Sufi Al-Fatihah: Mukadimah (Bandung: Rosda Karya, 1999), h. xvi
[14] Ayatullah Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi...Al-Hikmah”..., h. 53
[15]Mulla Shadra, Puncak Perjalanan Ruhani, terjemahan
Ilyas Muhammad, Risalah Gusti, Bandung ,
2000, h. 4
[16] Al-Ghazali,
Ihya Ulumuddin, Qairo, Mesir, Daar al-Taqwa, Jidilid 2, tahun 2000, 599
[17] Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah (terj.), Pustaka Sufi, Yogyakarta , 2003, h.
72-73
[18]Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta , 1997, h. 103
[19]Jalaluddin Rakhmat, Tasawuf dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, dalam Sukardi (Ed), Kuliah-kuliah
Tasawuf, Pustaka Hidayah, Bvandung, 2000, h. 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar