MENGENAL
KITAB
SYARH
AL-ZARQANIY‘ ALA MAWATTHA’
AL-IMAM
MALIK
Muhammad Tauhid
Abstrak
Kitab hadits al-Muwattha’ cukup mendapat perhatian yang
besar dari para pensyarah kitab-kitab hadits. Menurut data yang diungkapkan
oleh Abd al-Wahhab Abd al-Lathif tatkala mentahqiq kitab Muwttha’ al-Imam Malik
Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy bahwa terdapat sekitar 92 orang yang
mensyarah kitab hadits al-Muwattha’, namun yang terkenal di antara mereka hanya
dua belas orang dan al-Zarqaniy tarmasuk urutan nomor sembilan.
Ada tiga alasan sederhana yang menjadi sebab pensyarahan
tersebut, Pertama bahwa kitab-kitab
syarah sebelumnya tidak banyak terdapat di negerinya,[2] kedua supaya ada kitab syarah al-Muwattha’
lebih sederhana, tidak pendek dan tidak juga panjang, dan ketiga dalam pendlabitan
cocok dan cukup untuk orang yang terbatas seperti dia.
I.
Muqaddimah.
Perhatian
ulama terhadap al-hadits- sebagai sumber ajaran Islam yang kedua- tidak pernah
berhenti dari masa ke masa. Tidak saja dalam mencarinya, mengumpulkan dan menjaganya seperti yang
terjadi di masa shahabat, dan tabi’in, tetapi usaha memahami isi kandungan
al-haditspun tidak pernah berhenati pada
suatu zaman tertentu.
Al-Hadits, dalam sejarahnya yang
panjang, sejak masa Rasulullah SAW
hingga kini masih tetap relevan dengan keadaan zaman dan terus di kaji, di gali dan dipahami isi
kandungannya oleh ummat Islam.
Dalam
usaha menggali dan memahami isi kandungan al- Hadits secara dalam dan detail, di berbagai belahan
dunia, khususnya di belahan dunia Islam terus bemunculan para syarih
(pensyarah) kitab hadits, dan dengan demikian
berbagai kitab syarh al-hadits yang mereka terbitkan dengan berbagai
metode dan coraknya masing-masing.
Salah
satu kitab syarh al-hadits yang beredar di tengah masyarakat Islam dan
cukup terkenal di dunia penggemar ilmu-ilmu al-Hadits adalah syarh
al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik, yang merupakan salah satu
kitab-kitab syarh al-hadits dari kitab hadits Muwattha’ karya Imam
Malik.
Dalam
lembaran berikut ini insya Allah penulis akan mencoba melihat dan mengenal
secara singkat sejarah kehidupan penulis syarh al-hadits tesebut di atas
dan kitab syarh yang ditulisnya.
beranjak dari beberapa pokok pembahasan berikut; sekilas tentang
biografi al-Zarqaniy dan Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik.dan
metodenya.
II.
PEMBAHASAN.
A. Sekilas tentang biografi al-Zarqaniy. 1
1.
Nama
lengkap al-Zarqaniy..
Nama
lengkap al-Zarqaniy adalah Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin Syihab
al-Din bin Muhammad al-Zarqaniy al-Maliki. Nama ini beliau tulis sendiri oleh al-Zarqaniy dalam
kitabnya Syarh al-Zarqaniy[3].
Namun berbeda dengan yang ditulis oleh al-Kattaniy, menurutnya nama dan nasab
al-Zarqaniy adalah Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Ulwan
al-Zarqaniy.[4]
Dari dua perbedaan yang cukup significant ini tentu saja bermuara pada
akurasi data dan fakta. Tentu saja apa yang di tulis sendiri oleh al-Zarqaniy
adalah sebuah data yang lebih akuirat dari yang lainnya. Tidak penulis ketahui
kapan dan dimana beliau dilahirkan, termasuk al-Kattaniy,[5]
juga CD al-Maktabah al-Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah[6]
hanya menyebutkan tahun wafat beliau yakni
pada tahun 1122 H.
2. Pendidikan dan karya-karya ilmiyah
al-Zarqaniy.
Belum
penulis ketahui di mana, kapan dan bagaimana Al-Zarqaniy mengenyam pendidikan,
kecuali sekilas yang diungkapkan oleh al-Kattaniy bahwa pertama kali
al-Zarqaniy mendengar hadits al-Awwaliyah dari orang tuanya sendiri, dan
tatkala ia meng-ikhtishar Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah li al-Sakhawi
atas dorongan orang tuanya agar kitab tersebut dapat bermanfaat secara umum.[7]
Dari ungkapan al-Kattaniy di atas dapat di pahami bahwa al-Zarqaniy
dibesarkan dan dididik pertama kalinya di dalam lingkungan keluarga yang ‘alim yang
tidak saja cinta ilmu tapi juga senang menyebarkan dan mengamalkannya. Sangat
wajar bila al-Zarqaniy kemudian menjadi seorang ulama besar dan banyak orang
menggali ilmu dari padanya, di antara murid-murid nya adalah al-Syabrawiy,
dan al-Jabritiy. [8]
3. al-Zarqaniy seorang ulama besar yang
tawaddlu’.
al-Zarqaniy
adalah seorang ulama besar di masanya,
hal ini dapat dilihat dari beberapa karya ilmiyah yang beliau wariskan, seperti
yang diungkapkan oleh al-Kattaniy diantaranya sebagai berikut:
1.
Syarh
al-Mawahib. (dicetak pertama kali pada tahun 1278 H)
2.
Syarh
al-Muwattha’. (dicetak pertama kali pada tahun 1280 H)
3.
Syarh
al-Baiquniyah fi al-Isthilah (dicetak pertama kali pada tahun 1305 H)
4.
Mukhtashar
al-Maqashid al-Hasanah li al-Sakhawiy,
5.
Mukhtashar
Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah li al-Sakhawiy
6. Ikhtishar Ta’lif al-Sakhawiy fi al-Khishal
al-Mujibah li al-dlalal, dan lain-lain.[9]
Al-Zarqaniy
sebagai ulama basar tidak saja dapat dilihat dan dinilaidari karya-karya besar
yang ia tinggalkan, tapi juga dapat
diyakini dari “gelar” yang di berikan oleh murid-muridnya. Beliau di beri gelar
oleh muridnya al-Syabrawiy dengan gelar “Khatimah al-Huffadh” dan
al-Jabritiy memberinya dengan gelar “Khatimah al-Muhadditsin”.[10]
bahkan seperti yang tertera dalam cover kitabnya beliau di beri gelar “al-Imam al-‘Arif, Khatimah
al-Muhaqqiqin”.[11]
Sesungguhnya,
al-Zarqaniy seorang ulama besar yang memiliki sifat tawaddlu’, mukhlis, hati
dan perkataannya selalu terkait dengan Allah SWT dan memiliki bahasa dan
ungkapan yang indah. Penilaian ini dapat
di cermati dalam setiap kalimat yang diungkapkan dalam kitabnya tersebut.
al-Zarqaniy
tidak pernah menyebut tentang dirinya sebagai seorang yang terkesan lebih ‘alim
dari yang lain, seperti yang tertera dalam cover kitabnya dan yang diungkapkan
oleh murid-muridnya tersebut di atas, akan tetapi ia adalah seorang ulama yang
tawaddlu’. Ia ungkapkan tentang dirinya sebagai
“al-‘Ajiz al-Dla’if al-Faniy”[12]
bahkan pada akhir penulisan kitabnya beliau mengatakan “Jama’ahu al-‘Abd
al-Faqir al-Haqir”[13], Artinya semua apa yang ia lakukan al-Zarqaniy
dalam kitabnya tersebut tidak lebih dari sebuah usaha seoarang hamba yang
“lemah” hanya mengumpulkan pendapat-pendapat orang sebelumnya.
Pada awal[14]
juga pada akhir[15]
penulisan kitabnya tersebut keterkaitan hati ikhlas al-Zarqaniy dengan Allah
SWT dan memohon ridlaNya dengan ungkapan yang indah untuk menggapai kebahagian
hidupnya di akhirat sengat nampak jelas bagi yang membaca kitab tersebut.
Ternyata hal itu tidak hanya dilakukannya pada kitab syarh tersebut, akan tetapi
pada kitab lainpun demikian. Al-Kattaniy mengungkapkan kata-kata al-Zarqaniy
pada akhir salah satu kitabnya sebagai berikut:
وكم صغى لي , وسمع ما أقول وكتب أنقالي ,
وحثني على اختصار ما أراه من النقول إذا
رأى ملالي , ولم أزل عنده بالمحل الأرفع العالي ,
والله أعلم أني لم أقل ذلك للفخر , وأي فخر
لمن لايعلم حاله في القبر , بل امتثالا للأمر ,
بالتحدث بالنعمة , كشف الله عني كل غمة
. [16]
B. Syarh al-Zarqaniy ’ala
Muwattha’ Imam Malik dan metodenya.
1. Profil kitab syarh al-Zarqaniy.
Sebagaimana yang
telah diungkapkan di atas bahwa kitab Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam
Malik yang ditulis oleh Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin
Syihab al-Din bin Muhammad al-Zarqaniy al-Maliki merupakan kitab syarh al-hadits dari kitab
hadits al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas (93-179H).
Kitab hadits
al-Muwattha’ cukup mendapat perhatian yang besar dari para pensyarah
kitab-kitab hadits. Menurut data yang diungkapkan oleh Abd al-Wahhab Abd
al-Lathif tatkala mentahqiq kitab Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat
Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy bahwa terdapat sekitar 92 orang yang
mensyarah kitab hadits al-Muwattha’, namun yang terkenal di antara mereka hanya
dua belas orang dan al-Zarqaniy tarmasuk urutan nomor sembilan.[17]
Al-Zarqaniy
sendiri sesungguhnya tahu dan mengakui bahwa kitab hadits al-Muwattha’ tersebut
sudah banyak yang mensyarahkannya[18]
bahkan beliau tidak sedikit menukil pendapat para pensyarah sebelumnya.[19]
Seperti yang diungkapkan oleh al-Zarqaniy
dalam kitabnya syarah al-Zarqniy bahwa berkat anugerah Allah SWT
yang diberikan kepadanya ia dapat membaca kitab al-Muwattha’ di halaman
al-Azhar, di mulai pada tanggal 10 Jumadi al- Ula 1109 H,[20]
dan selesai pada waktu adzan shalat Ashar, hari Senin, tanggal, 11 Dzu
al-Hijjah 1112 H[21].
Dalam jenjang waktu lebih dari tiga tahun setengah itu, al-Zarqaniy dapat
mensyarahkan kitab al-Muwattha’ dalam empat ( 4 ) jilid besar menurut terbitan
Dar al-Ma’rifah, Bairut tahun 1978 M/ 1398 H. Tidak diketahui secara jelas
siapa yang memberi nama kitabnya ini
dengan nama Syarh al-Zarqaniy, al-Zarqaniy sendiri nampaknya tidak
memberi nama syarh hadits tersebut, kecuali pernyataanya bahwa syarh tersebut
tulisannya sendiri.[22]
2. Sebab dan Motivasi al-Zarqaniy dalam
mensyarah al-Muwattha’.
Tidak diketahui
secara jelas apa sebab dan motivasi al-Zarqaniy mensyarah kitab
al-Muwattha’, seiring dengan banyaknya pensyarah sebelumnya. Kecuali ada
sekelumit goresan pada awal penulisan syarah al-Zarqaniy yang dapat
dipahami bahwa ada tiga alasan sederhana yang menjadi sebab pensyarahan tersebut,
Pertama bahwa kitab-kitab syarah sebelumnya tidak banyak terdapat di
negerinya,[23]
kedua supaya ada kitab syarah al-Muwattha’ lebih sederhana, tidak pendek
dan tidak juga panjang, dan ketiga dalam pendlabitan cocok dan
cukup untuk orang yang terbatas seperti dia.[24]
Namun demikian ia mengakui bahwa apa yang ia
lakukan tidak berarti terhindar dari kekeliruan dan kesalahan bahkan hal
itu cukup banyak, apa lagi bagi pakar di
zaman sekarang.[25]
3.
Sistematika
penulisan syarh al-Zarqaniy.
Kitab hadits
al-Muwattha’ syarh al-Zarqaniy yang terdiri dari empat jilid besar
tersusun sesuai dengan susunan yang ada dalam kitab hadits Muwattha’.yakni
diawali dari basmalah, bab wuqut
al-shalat diakhiri dengan bab Asma al-nabiy SAW. Teks hadits
al-Muwattha’ dipisahkan. dari teks syarh al-Zarqaniy oleh garis lurus,
teks hadits al-Muwattha’ di atas garis dan syarh al-Zarqaniy di bawah
garis, dengan gambaran sebagai berikut:
Pada
jilid pertama diawali dengan menggoreskan lafadh basmalah, tahmid dan
taslim serta muqaddimah. Kemudian
mensyarahkan apa yang tertera dalam kitab al-Muwattha’ diawali dari
mensyarahkan lafadh basmalah, bab wuqut al-shalat dan diakhiri
dengan bab ma ja’a fi al-qiblat.
Pada jilid kedua,
pensyarahan diawli dari bab ma ja’a fi masjid al-Nabawiy SAW dan
diakhiri dengan bab Shiyam
al-tamattu’. Pada jilid ketiga pensyarahan diawali dari Kitab
Jihad bab al-Targhib fi al-jihad dan diakhiri dengan bab al-qadla’
fi syahadat al-shibyan. Pada jilid
keempat pensyarahan diawali dari bab ma ja’a fi al-hantsi ‘ala minbar
al-nabiy SAW dan diakhiri dengan bab Asma al-nabiy SAW.
4. Langkah -langkah al-Zarqaniy dalam
mensyarah hadits.
Adapun
langkah-langkah yang ditempuh oleh al-Zarqaniy dalam mensyarahkan hadits
al-Muwattha’ sebagai berikut:
a. Pada jilid
pertama, pensyarahan diawali al-Zarqaniy dengan menggoreskan lafadh ( بسم
الله الرحمن الرحيم ), tahmid dan taslim,
selanjutnya berisi penegasannya dalam menulis syarah ini, termasuk sebab yang
melatar belakanginya. Pada bagian ini dapat kita disebut sebagai prolog
(tamhid).
b. Menulis sebuah muqaddimah ( مقدمة
). Di dalam muqaddimah
setebal tujuh halaman setengah ini al-Zarqaniy menjelaskan tentang biografi
Imam Malik- penulis al-Muwattha’-, usaha dan langkah beliau dalam menyebarkan
hadits Rasulullah SAW, sikap dan pandangan ulama-ulama, termasuk
murid-muridnya, terhadapnya dan terhadap kitab hadits al-Muwattha’yang
ditulisnya tersebut. Di samping itu ia menjelaskan orang yang pertama kali
peduli terhadap hadits dalam bentuk pembukuan dan juga menjelaskan perkembangan
pembukuan berikutnya secara resmi.
c. Mensyarah hadits al-Muwattha’ secara
berurutan, diawali dari mensyarahkan lafadh basmalah, bab wuqut
al-shalat dan diakhiri dengan bab ma ja’a fi al-qiblat, kemudian
diteruskan pada jilid kedua, ketiga dan
keempat. Pensyarahan diawli dari
bab-bab yang tersusun sesuai dengan susunan bab-bab yang terdapat dalam hadits
al-Muwattha’. Namun terkadang Imam Malik menulis kitab
Muwattha’nya dengan diawali suatu Kitab baru kemudian menyebutkan bab.
e. Menganalisis
dan menjelaskan suatu ungkapan, bab atau
kitab yang dipaparkan oleh Imam Malik, seperti teks بسم
الله الرحمن الرحيم وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه
yang tidak menyebutkan hamdalah. Hal ini menurut analisis al-Zarqaniy adalah
pertama Imam Malik mengikuti pola mayoritas orang-orang terdahulu, meskipun ia tahu dasar yang kuat
dan jelas tentang manfaat menggunakan basmalah dan tasyhhud. Kedua
beliau mengakui adanya hamdalah,
akan tetapi lafadh tersebut tidak ditentukan apakah harus keduanya diucapkan dan ditulis, atau salah satunya
saja, karena itu beliau berpegang pada
ucapan dan tidak perlu ditulis, cukup dengan ditulisnya basmalah.
Kemudian beliau ungkapkan alasan-alasan yang memperkuat sikapnya serta
perbedaan pendapat dalam hal tersebut[26].
Seperti halnya ia menganalisis dan menjelaskan rahasia Imam Malik mendahulukan
bab wuqut al-shalat dari pada bab yang lainnya. Menurutnya “waktu
shalat” adalah pokok dari kewajiban shalat dan shalat adalah suatu ibadah yang
dibatasi oleh waktu.[27]
d. Menerangkan
riwayat hidup setiap perawi hadits yang terdapat dalam silsilah sanad hadits
yang akan disyarahkannya. Dimulai dari nama perawi yang pertama kalinya muncul
dalam silsilah sanad hadits tersebut dengn memberi tanda dalam kurung ( ……), diterangkan nama, nasab, kwalitas ilmiyah dan
kedudukannya di tengah masyarakat, serta derajat dan kedudukannya dalam
periwayatan hadits tersebut juga disebutkan tahun wafatnya. Sehingga dengan
demikian nampak jelas derajat haditrs
tersebut dari sisi sanadnya.
Penjelasan
tentang riwayat hidup setiap perawi hadits tersebut pada umumnya cukup lengkap
dan panjang, namun apabila nama yang sama muncul lagi dalam silsilah sanad
hadits berukutnya, maka nama tersebut tidak diterangkan lagi, akan tetapi terus
menerangkan nama perawi yang belum diterangkan. Suatu contoh, dalam silsilah sanad hadits pertama dari hadits
al-Muwattha’ada Yahya bin Yahya al-Laitsiy dan Malik bin Anas …,
dan dalam silsilah sanad hadits kedua, dua nama itu muncul lagi, maka dalam
pensyarahan hadits kedua tidak dijelaskannya dua nama itu, ia cukupkan dengan
penjelasan yang pertama.[28]
Dalam
menjelaskan nama perawai yang rentan dengan kekeliruan dan kesalahan dalam
membacanya beliau buat tata cara
membacanya. Seperti rawi hadits berikut
(عن عطاء بن يسار )
بخفة السين المهملة بلفظ ضد يمين تقدما
(وعن بسر بن سعيد) بضم الموحدة
وإسكان السين المهملة آخره [29]
e. Menjelaskan
setiap kalimat dalam matan hadits yang diberinya tanda kurung (…….),
dalam penjelasan tersebut beliau menggunakan dalil dari hadits-hadits lain
seperti dari ruwat kutub al-sittah dan
lain-lain, serta tidak jarang beliau menetukan keshahihan atau kedla’ifan
riwayat suatu hadits yang dijadikan syahid, juga mengungkapkan
pendapat-pendapat ulama bahkan mengungkapkan dari kitab yang dijadikannya
sebagai rujukan. Ada perbedaan yang jelas dari
dua pola pengungkapan tersebut, bila hal itu dari sebuah kitab ia
sebutkan nama kitabnya[30],
dan bila hanya pendapatnya saja tidak
disebutkan nama kitabnya.
f. Tidak masuk ke
dalam pembahasan khilafiyah fiqhiyah. Dalam menjelaskan matan hadits
yang mengandung khilafiyah, meskipun diakuinya sendiri bahwa ia bermazhab
maliki, namun ia tidak membahas masalah fiqhiyah dari kaca mata mazhab akan
tetapi hanya memaparkan pendapat-pendapat ahli hadits dan lebih menekankan pada
pemahaman hadits atau yang disebut dengan fiqh al-hadits atau fiqh al-sunnah.
4.
sumber-sumber
pensyarahan al-Zarqaniy.
Dari langkah
perjalanan pensyarahan hadits al-Muwattha’, al-Zarqaniy dapat dikatakan tidak
pernah menyentuh sumber-sumber ilmiyah di luar para ahli hadits, karena itu
sumber-sumber kitab syarh al-Zarqaniy adalah kitab-kitab hadits dan para
ahli hadits seperti, ashhab kutub al-sittah, musnad Imam Ahmad, sunan
al-Darimiy, sunan dar al-Quthniy, mu’jam al-Thabraniy, syarh al-Musnad li
al-Rafi’I, al-Nihayah, al-Suyuthi, Ibn al-Hajar al-Asqallaniy, Ibn abd al-Bar dan
ulama-ulama hadits. lain-lainnya.
5.
Corak
syarh al-Zarqaniy.
Sejalan dengan
isi kitab hadits al-Muwattha’ yang disusun berdasarkan hadits-hadits ‘ala
al-abwab al-fiqhiyah, dan sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh
al-Zarqaniy dalam pensyarahannya adalah hadits-hadits serta pendapat para ahli
hadits serta langkah-langkah yang ditempuhnya berkisar pada memahami hadits
yang telah dilakukan oleh para ahli hadits, maka sudah dapat dipastikan bahwa
corak syarh al-Zarqaniy adalah corak fiqhiy dengan pemahaman ahli hadits
yang disebut dengan fiqh al-hadits
atau fiqh al-sunnah bukan fiqh mazhab.
6. Sikap
al-Zarqaniy dalam masalah kebahasaan.
a.
Menggunakan
sya’ir.
Al-Zarqaniy dalam syarahnya sangat arif
dalam menggunakan bahasa. Bahasa yang dipergunakan cukup sederhana dan dapat
dengan mudah dipahami, meskipun beliau sendiri memiliki uslub bahasa yang
sangat indah, seperti yang beliau ungkapkan pada awal dan akhir penulisan kitab
syarahnya. Namun demikian dalam beberapa kesempatan ia menggunakan syai’ir
dalam rangka menjelaskan makna hadits yang gharib. Suatu contoh, tatkala
beliau menjelaskan hadits ;
عن عائشة زوج النبي صلى
الله عليه وسلم أنها قالت إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليصلي الصبح فينصرف
النساء متلفعات بمروطهن ما يعرفن من الغلس [31]
lafadh متلفعات dalam hadits tersebut
beliau jelaskan maknanya yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh. Makna itu
beliau perkuat dengan menggunakan sya’ir sebagai berikut: كيف
يرجون سقاطى بعدما – لفع الرأس مشيب وصلع [32], lafadh بمروطهن
artinya pakaian dari kulit kambing, makna itu beliau perkuat dengan
sya’ir sebagai berikut; تساهم ثوباها ففي الدرع
دارة – وفي المرط لفوان ردفهما عبل [33]
lafadh الغلس gelap di akhir
malam, makna itu diperkuat dengan sya’ir sebagai berikut ; كذبتك عينك أم رأيت بواسط – غلس الظلام من
الرباب خيالا [34]
b.
Menggunakan Nahwu.
Dalam beberapa kesempatan beliau mensyarhkan hadits
tersebut dangan Nahwu. Suatu contoh tatkala menjelaskan lafadh hadits من الغلس beliau katakan min adalah ibtida’
al-ghayah,[35]
dan banyak lagi contoh lainnya.
III. Khatimah.
Dari uraian di atas dapat dipetik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Muhammad
al-Zarqaniy adalah salah seorang ulama besar yang banyak mewariskan karya ilmiyah dalam bidang hadits. Salah satu
karyanya adalah Syarh al-Zarqaniy ‘ala Muwattha’ Iamam Malik, yang juga
merupakan salah satu kitab dari sekian
banyak syarh hadits al-Muwattha’.
2. Pensyarahan
hadits diawali oleh al-Zarqaniy dengan
menjelaskan setiap nama perawi dalam silsilah sanad hadits tersebut secara
lengkap, panjang dan mendalam, termasuk menjelaskan kedudukan dan kualitasnya.
Dari sisi matan, pensyarahan dilakukan oleh al-Zarqaniy dengan menggunakan
hadits-hadits lain sebagai penjelas, serta mengmbil dan merujuk pendapat para
ahli hadits termasuk merujuk kitab-kitab mereka. Di samping itu al-Zarqaniy
menggunakan sya’ir juga nahwu dalam rangka memperjelas dan mempertegas pemahaman
makna hadits.
3. Kecenderungan,
arah dan sumber-sumber serta rujukan
yang dominan dalam mensyarah hadits al-Muwattha’ tersebut adalah hadits,
pendapat para ahli hadits menjadikan syarh al-Zarqaniy memiliki sebuah
corak yang jelas, dengan kata lain bahwa kitab Syarh al-Zarqaniy
bercorak fiqh sunnah atau fiqh al-hadits. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Daftar
Pustaka
Abd al-Lathif, Abd
al-Wahhab (ed) “Muqaddimah” dalam Muwttha’
al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy Muwttha’ al-Imam Malik
Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy, al-Jumhuriyah al-Arabiyah
al-Muttahidah, al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, Lajnah Ihya’
al-Turats al-Islamiy, 1967
CD al-Maktabah
al-Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah, diterbitkan oleh al-Turats di al-Urdun,
1999.
al-Kattaniy, Abd
al-Hayy bin Abd al-Kabir, Fahras al-Faharis wa al-Atsbat wa Mu’jam,
al-Ma’ajim wa al-Masyikhat wa al-Musalsalat, Bairut: Dar al-Gharb
al-Islamiy, Cet. II, 1982
al-Zarqaniy; Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad
bin Syihab al-Din bin Muhammad al-Zarqaniy al-Maliki, Syarh al-Zarqaniy ’ala
Muwattha’ Imam Malik , Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1978
Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandarlampung.
Mengampu mata kuliah Ulumul Qur’an. Pria kelahiran Mesuji ini menyelesaikan S1
nya di Madinah, S2 nya di Pakistan dan sekarang dalam tahap penyelesaian S3 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] tidak jelas apa yang dimaksud dengan di
negerinya tersebut, dan di mana, yang pasti beliau memulai menulis syarahnya di
al-Azhar, Mesir. Lihat Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
1Sampai
makalah ini di sajikan, dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang penulis
miliki, belum ditemukan tulisan baik berbentuk kitab atau pembahasan yang
singkat tentang biografi al-Zarqaniy, kecuali sedikit yang dipaparkan oleh Abd
al-Hayy bin Abd al-Kabir al-Kattaniy dalam bukunya Fahras al-Faharis wa al-Atsbat
wa Mu’jam, al-Ma’ajim wa al-Masyikhat wa al-Musalsalat, yang ditebitkan
oleh: Dar al-Gharb al-Islamiy Bairut, Cet. II, 1982 (selanjutnya disebut al-Kattaniy) juga
sedikit yang dipaparkan oleh Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin
Syihab al-Din bin Muhammad al-Zarqaniy al-Maliki sendiri dalam kitabnya yang
kita kaji ini yakni Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik yang
diterbitkan oleh Dar al-Ma’rifah Bairut 1978. (selanjutnya disebut Syarh
al-Zarqaniy)
[3] Syarh al-Zarqaniy,
Ibid, jilid I, h. 2 dan jilid IV, h. 436
[4] al-Kattaniy, Ibid, Jilid I, H. 456
[5] al-Katttaniy, Ibid, h. 456
[6] CD al-Maktabah al-Alfiyah li al-Sunnah
al-Nabawiyah, diterbitkan oleh al-Turats di al-Urdun 1999
[7] al-Katttaniy, Op. Cit, h. 456
[8] al-Katttaniy, Ibid, h. 456
[9] al-Katttaniy, Ibid, h. 456-457
[10] al-Katttaniy, Ibid, h. 456
[11] belum diketahui siapa
yang memberi beliau dengan gelar tersebut, lihat cover Syarh al-Zarqaniy,
cetatkan Dar al- Ma’rifah Bairut, 1978.
[12] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
Jilid I, h. 2
[13] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
Jilid IV, h. 436
[14] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 2
[15] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid IV, h.436
[16] al-Katttaniy, Op.Cit, h. 457
[17] Abd al-Wahhab Abd al-Lathif (ed)
“Muqaddimah” dalam Muwttha’ al-Imam
Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat
Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy, al-Jumhuriyah al-Arabiyah al-Muttahidah,
al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, Lajnah Ihya’ al-Turats al-Islamiy,
1967, h. 21
[18] Syarh al-Zarqaniy, Op. Cit,
jilid I, h. 2, lihat juga h. 9
[19] sebagai contoh beliau menukil pendapat Ibnu
al-Sayyid fi Syarh al-Muwattha’, lihat Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 12
[20]Syarh
al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
[21] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid IV, h. 436
[22] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid IV, h. 436
[23] tidak jelas apa yang dimaksud dengan di
negerinya tersebut, dan di mana, yang pasti beliau memulai menulis syarahnya di
al-Azhar, Mesir. Lihat Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
[24] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 2
[25] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 2
[26] Syarh
al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 10
[27]Syarh
al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 11
[28] Syarh
al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 11 dan 17
[29] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 20
[30]suatu
contoh tatkala menjelaskan hadits pertama disaat menukil pendapat dari sebuah
kitab ia sebutkan قال الرافعي في شرح المسند ,كذا قاله ابن السيد في شرح الموطأ , dan lain-lain, Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 12 dan 14
[31] al-Muwattha’ bab wuqut al-shalat, Syarh
al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 18
[32] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 19
[33] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 19
[34] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 23
[35] Syarh al-Zarqaniy, Ibid,
jilid I, h. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar