Sabtu, 17 Maret 2012

MENGENAL KITAB SYARH AL-ZARQANIY‘ ALA MAWATTHA’ AL-IMAM MALIK


MENGENAL KITAB
SYARH AL-ZARQANIY‘ ALA MAWATTHA’
AL-IMAM MALIK

Muhammad Tauhid


Abstrak

Kitab hadits al-Muwattha’ cukup mendapat perhatian yang besar dari para pensyarah kitab-kitab hadits. Menurut data yang diungkapkan oleh Abd al-Wahhab Abd al-Lathif tatkala mentahqiq kitab Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy bahwa terdapat sekitar 92 orang yang mensyarah kitab hadits al-Muwattha’, namun yang terkenal di antara mereka hanya dua belas orang dan al-Zarqaniy tarmasuk urutan nomor sembilan.
Ada tiga alasan sederhana yang menjadi sebab pensyarahan tersebut, Pertama bahwa kitab-kitab syarah sebelumnya tidak banyak terdapat di negerinya,[2] kedua supaya ada kitab syarah al-Muwattha’ lebih sederhana, tidak pendek dan tidak juga panjang, dan ketiga dalam pendlabitan cocok dan cukup untuk orang yang terbatas seperti dia.


I. Muqaddimah.
     Perhatian ulama terhadap al-hadits- sebagai sumber ajaran Islam yang kedua- tidak pernah berhenti dari masa ke masa. Tidak saja dalam mencarinya,   mengumpulkan dan menjaganya seperti yang terjadi di masa shahabat, dan tabi’in, tetapi usaha memahami isi kandungan al-haditspun  tidak pernah berhenati pada suatu zaman tertentu.
  Al-Hadits, dalam sejarahnya yang panjang,  sejak masa Rasulullah SAW hingga kini masih tetap relevan dengan keadaan zaman  dan terus di kaji, di gali dan dipahami isi kandungannya oleh ummat Islam.
Dalam usaha menggali dan memahami isi kandungan al- Hadits  secara dalam dan detail, di berbagai belahan dunia, khususnya di belahan dunia Islam terus bemunculan para syarih (pensyarah) kitab hadits, dan dengan demikian  berbagai kitab syarh al-hadits yang mereka terbitkan dengan berbagai metode dan coraknya masing-masing.
     Salah satu kitab syarh al-hadits yang beredar di tengah masyarakat Islam dan cukup terkenal di dunia penggemar ilmu-ilmu al-Hadits adalah syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik, yang merupakan salah satu kitab-kitab syarh al-hadits dari kitab hadits Muwattha’ karya Imam Malik.
     Dalam lembaran berikut ini insya Allah penulis akan mencoba melihat dan mengenal secara singkat sejarah kehidupan penulis syarh al-hadits tesebut di atas dan kitab syarh yang ditulisnya.  beranjak dari beberapa pokok pembahasan berikut; sekilas tentang biografi al-Zarqaniy dan Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik.dan metodenya.

II. PEMBAHASAN.
A. Sekilas tentang biografi al-Zarqaniy. 1  
1.                  Nama lengkap al-Zarqaniy..
Nama lengkap al-Zarqaniy adalah Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin Syihab al-Din bin Muhammad al-Zarqaniy al-Maliki. Nama ini   beliau tulis sendiri oleh al-Zarqaniy dalam kitabnya Syarh al-Zarqaniy[3]. Namun berbeda dengan yang ditulis oleh al-Kattaniy, menurutnya nama dan nasab al-Zarqaniy adalah Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Ulwan al-Zarqaniy.[4] Dari dua perbedaan yang cukup significant ini tentu saja bermuara pada akurasi data dan fakta. Tentu saja apa yang di tulis sendiri oleh al-Zarqaniy adalah sebuah data yang lebih akuirat dari yang lainnya. Tidak penulis ketahui kapan dan dimana beliau dilahirkan, termasuk al-Kattaniy,[5] juga CD al-Maktabah al-Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah[6] hanya menyebutkan tahun wafat beliau yakni  pada tahun 1122 H. 

  2. Pendidikan dan karya-karya ilmiyah al-Zarqaniy.
Belum penulis ketahui di mana, kapan dan bagaimana Al-Zarqaniy mengenyam pendidikan, kecuali sekilas yang diungkapkan oleh al-Kattaniy bahwa pertama kali al-Zarqaniy mendengar hadits al-Awwaliyah dari orang tuanya sendiri, dan tatkala ia meng-ikhtishar Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah li al-Sakhawi atas dorongan orang tuanya agar kitab tersebut dapat bermanfaat secara umum.[7] Dari ungkapan al-Kattaniy  di atas  dapat di pahami bahwa al-Zarqaniy dibesarkan  dan dididik pertama kalinya  di dalam lingkungan keluarga yang ‘alim yang tidak saja cinta ilmu tapi juga senang menyebarkan dan mengamalkannya. Sangat wajar bila al-Zarqaniy kemudian menjadi seorang ulama besar dan banyak orang menggali ilmu dari padanya, di antara murid-murid nya adalah al-Syabrawiy, dan  al-Jabritiy. [8]

  3. al-Zarqaniy seorang ulama besar yang tawaddlu’.
al-Zarqaniy adalah  seorang ulama besar di masanya, hal ini dapat dilihat dari beberapa karya ilmiyah yang beliau wariskan, seperti yang diungkapkan oleh al-Kattaniy diantaranya sebagai berikut:
1.      Syarh al-Mawahib. (dicetak pertama kali pada tahun 1278 H)
2.      Syarh al-Muwattha’. (dicetak pertama kali pada tahun 1280 H)
3.      Syarh al-Baiquniyah fi al-Isthilah (dicetak pertama kali pada tahun 1305 H)
4.      Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah li al-Sakhawiy,
5.      Mukhtashar Mukhtashar al-Maqashid al-Hasanah li al-Sakhawiy
6.      Ikhtishar Ta’lif al-Sakhawiy fi al-Khishal al-Mujibah li al-dlalal, dan lain-lain.[9]
Al-Zarqaniy sebagai ulama basar tidak saja dapat dilihat dan dinilaidari karya-karya besar yang ia tinggalkan,  tapi juga dapat diyakini dari “gelar” yang di berikan oleh murid-muridnya. Beliau di beri gelar oleh muridnya al-Syabrawiy dengan gelar “Khatimah al-Huffadh”  dan  al-Jabritiy memberinya dengan gelar “Khatimah al-Muhadditsin”.[10] bahkan seperti yang tertera dalam cover kitabnya beliau  di beri gelar “al-Imam al-‘Arif, Khatimah al-Muhaqqiqin”.[11]
Sesungguhnya, al-Zarqaniy seorang ulama besar yang memiliki sifat tawaddlu’, mukhlis, hati dan perkataannya selalu terkait dengan Allah SWT dan memiliki bahasa dan ungkapan yang indah. Penilaian  ini dapat di cermati dalam setiap kalimat yang diungkapkan dalam kitabnya tersebut.
al-Zarqaniy tidak pernah menyebut tentang dirinya sebagai seorang yang terkesan lebih ‘alim dari yang lain, seperti yang tertera dalam cover kitabnya dan yang diungkapkan oleh murid-muridnya tersebut di atas, akan tetapi ia adalah seorang ulama yang tawaddlu’. Ia ungkapkan tentang dirinya sebagai  “al-‘Ajiz al-Dla’if al-Faniy[12] bahkan pada akhir penulisan kitabnya beliau mengatakan “Jama’ahu al-‘Abd al-Faqir al-Haqir[13],  Artinya semua apa yang ia lakukan al-Zarqaniy dalam kitabnya tersebut tidak lebih dari sebuah usaha seoarang hamba yang “lemah” hanya mengumpulkan pendapat-pendapat orang sebelumnya.
Pada awal[14] juga pada akhir[15] penulisan kitabnya tersebut keterkaitan hati ikhlas al-Zarqaniy dengan Allah SWT dan memohon ridlaNya dengan ungkapan yang indah untuk menggapai kebahagian hidupnya di akhirat sengat nampak jelas bagi yang membaca kitab tersebut. Ternyata hal itu tidak hanya dilakukannya pada kitab syarh tersebut, akan tetapi pada kitab lainpun demikian. Al-Kattaniy mengungkapkan kata-kata al-Zarqaniy pada akhir salah satu kitabnya sebagai berikut:

وكم صغى لي , وسمع ما أقول وكتب أنقالي ,
وحثني على اختصار ما أراه من النقول إذا رأى ملالي , ولم أزل عنده بالمحل الأرفع العالي ,
والله أعلم أني لم أقل ذلك للفخر , وأي فخر لمن لايعلم حاله في القبر , بل امتثالا للأمر ,
بالتحدث بالنعمة , كشف الله عني كل غمة .   [16]

B. Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik dan metodenya.      
1.      Profil kitab syarh al-Zarqaniy.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa kitab Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik yang ditulis oleh Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin Syihab al-Din bin Muhammad al-Zarqaniy al-Maliki merupakan  kitab syarh al-hadits dari kitab hadits al-Muwattha’ karya Imam Malik bin Anas (93-179H).
Kitab hadits al-Muwattha’ cukup mendapat perhatian yang besar dari para pensyarah kitab-kitab hadits. Menurut data yang diungkapkan oleh Abd al-Wahhab Abd al-Lathif tatkala mentahqiq kitab Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy bahwa terdapat sekitar 92 orang yang mensyarah kitab hadits al-Muwattha’, namun yang terkenal di antara mereka hanya dua belas orang dan al-Zarqaniy tarmasuk urutan nomor sembilan.[17]
Al-Zarqaniy sendiri sesungguhnya tahu dan mengakui bahwa kitab hadits al-Muwattha’ tersebut sudah banyak yang mensyarahkannya[18] bahkan beliau tidak sedikit menukil pendapat para pensyarah sebelumnya.[19] Seperti yang diungkapkan oleh al-Zarqaniy  dalam kitabnya syarah al-Zarqniy bahwa berkat anugerah Allah SWT yang diberikan kepadanya ia dapat membaca kitab al-Muwattha’ di halaman al-Azhar, di mulai pada tanggal 10 Jumadi al- Ula 1109 H,[20] dan selesai pada waktu adzan shalat Ashar, hari Senin, tanggal, 11 Dzu al-Hijjah 1112 H[21]. Dalam jenjang waktu lebih dari tiga tahun setengah itu, al-Zarqaniy dapat mensyarahkan kitab al-Muwattha’ dalam empat ( 4 ) jilid besar menurut terbitan Dar al-Ma’rifah, Bairut tahun 1978 M/ 1398 H. Tidak diketahui secara jelas siapa yang memberi nama  kitabnya ini dengan nama Syarh al-Zarqaniy, al-Zarqaniy sendiri nampaknya tidak memberi nama syarh hadits tersebut, kecuali pernyataanya bahwa syarh tersebut tulisannya sendiri.[22]


2.    Sebab dan Motivasi al-Zarqaniy dalam mensyarah al-Muwattha’.
  Tidak diketahui secara jelas apa sebab dan motivasi al-Zarqaniy mensyarah kitab al-Muwattha’, seiring dengan banyaknya pensyarah sebelumnya. Kecuali ada sekelumit goresan pada awal penulisan syarah al-Zarqaniy yang dapat dipahami bahwa ada tiga alasan sederhana yang menjadi sebab pensyarahan tersebut, Pertama bahwa kitab-kitab syarah sebelumnya tidak banyak terdapat di negerinya,[23] kedua supaya ada kitab syarah al-Muwattha’ lebih sederhana, tidak pendek dan tidak juga panjang, dan ketiga dalam pendlabitan cocok dan cukup untuk orang yang terbatas seperti dia.[24] Namun demikian ia mengakui bahwa apa yang ia  lakukan tidak berarti terhindar dari kekeliruan dan kesalahan bahkan hal itu cukup banyak,  apa lagi bagi pakar di zaman sekarang.[25]

3.                Sistematika penulisan syarh al-Zarqaniy.
Kitab hadits al-Muwattha’ syarh al-Zarqaniy yang terdiri dari empat jilid besar tersusun sesuai dengan susunan yang ada dalam kitab hadits Muwattha’.yakni diawali dari basmalah, bab wuqut al-shalat diakhiri dengan bab Asma al-nabiy SAW. Teks hadits al-Muwattha’ dipisahkan. dari teks syarh al-Zarqaniy oleh garis lurus, teks hadits al-Muwattha’ di atas garis dan syarh al-Zarqaniy di bawah garis, dengan gambaran sebagai berikut:
 Pada jilid pertama diawali dengan menggoreskan lafadh basmalah, tahmid dan taslim serta muqaddimah. Kemudian  mensyarahkan apa yang tertera dalam kitab al-Muwattha’ diawali dari mensyarahkan lafadh basmalah, bab wuqut al-shalat dan diakhiri dengan bab ma ja’a fi al-qiblat.   Pada jilid kedua,  pensyarahan diawli dari bab ma ja’a fi masjid al-Nabawiy SAW dan diakhiri dengan  bab Shiyam al-tamattu’. Pada jilid ketiga pensyarahan diawali dari Kitab Jihad bab al-Targhib fi al-jihad dan diakhiri dengan  bab  al-qadla’ fi syahadat al-shibyan.  Pada jilid keempat pensyarahan diawali dari bab ma ja’a fi al-hantsi ‘ala minbar al-nabiy SAW dan diakhiri dengan bab Asma al-nabiy SAW.

   4. Langkah -langkah al-Zarqaniy dalam mensyarah hadits.

Adapun langkah-langkah yang ditempuh oleh al-Zarqaniy dalam mensyarahkan hadits al-Muwattha’ sebagai berikut:
a. Pada jilid pertama, pensyarahan diawali al-Zarqaniy dengan menggoreskan lafadh ( بسم الله الرحمن الرحيم   ), tahmid dan taslim, selanjutnya berisi penegasannya dalam menulis syarah ini, termasuk sebab yang melatar belakanginya. Pada bagian ini dapat kita disebut sebagai prolog (tamhid).
b. Menulis sebuah muqaddimah ( مقدمة  ). Di dalam muqaddimah setebal tujuh halaman setengah ini al-Zarqaniy menjelaskan tentang biografi Imam Malik- penulis al-Muwattha’-, usaha dan langkah beliau dalam menyebarkan hadits Rasulullah SAW, sikap dan pandangan ulama-ulama, termasuk murid-muridnya, terhadapnya dan terhadap kitab hadits al-Muwattha’yang ditulisnya tersebut. Di samping itu ia menjelaskan orang yang pertama kali peduli terhadap hadits dalam bentuk pembukuan dan juga menjelaskan perkembangan pembukuan berikutnya secara resmi.
c. Mensyarah hadits al-Muwattha’ secara berurutan, diawali dari mensyarahkan lafadh basmalah, bab wuqut al-shalat dan diakhiri dengan bab ma ja’a fi al-qiblat, kemudian diteruskan pada jilid kedua, ketiga dan  keempat.   Pensyarahan diawli dari bab-bab yang tersusun sesuai dengan susunan bab-bab yang terdapat dalam hadits al-Muwattha’. Namun terkadang Imam Malik menulis kitab Muwattha’nya dengan diawali suatu Kitab baru kemudian menyebutkan bab.
e. Menganalisis dan menjelaskan  suatu ungkapan, bab atau kitab yang dipaparkan oleh Imam Malik, seperti teks بسم الله الرحمن الرحيم وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه      

yang tidak menyebutkan hamdalah. Hal ini  menurut analisis al-Zarqaniy adalah pertama Imam Malik mengikuti pola mayoritas orang-orang  terdahulu, meskipun ia tahu dasar yang kuat dan jelas tentang manfaat menggunakan basmalah dan tasyhhud. Kedua beliau mengakui adanya hamdalah, akan tetapi lafadh tersebut tidak ditentukan apakah harus keduanya  diucapkan dan ditulis, atau salah satunya saja,  karena itu beliau berpegang pada ucapan dan tidak perlu ditulis, cukup dengan ditulisnya basmalah. Kemudian beliau ungkapkan alasan-alasan yang memperkuat sikapnya serta perbedaan pendapat dalam hal  tersebut[26]. Seperti halnya ia menganalisis dan menjelaskan rahasia Imam Malik mendahulukan bab wuqut al-shalat dari pada bab yang lainnya. Menurutnya “waktu shalat” adalah pokok dari kewajiban shalat dan shalat adalah suatu ibadah yang dibatasi oleh waktu.[27]
d. Menerangkan riwayat hidup setiap perawi hadits yang terdapat dalam silsilah sanad hadits yang akan disyarahkannya.   Dimulai  dari nama perawi yang pertama kalinya muncul dalam silsilah sanad hadits tersebut dengn memberi tanda dalam kurung ( ……),  diterangkan nama, nasab, kwalitas ilmiyah dan kedudukannya di tengah masyarakat, serta derajat dan kedudukannya dalam periwayatan hadits tersebut juga disebutkan tahun wafatnya. Sehingga dengan demikian nampak  jelas derajat haditrs tersebut dari sisi sanadnya.
Penjelasan tentang riwayat hidup setiap perawi hadits tersebut pada umumnya cukup lengkap dan panjang, namun apabila nama yang sama muncul lagi dalam silsilah sanad hadits berukutnya, maka nama tersebut tidak diterangkan lagi, akan tetapi terus menerangkan nama perawi yang belum diterangkan. Suatu contoh, dalam  silsilah sanad hadits pertama dari hadits al-Muwattha’ada Yahya bin Yahya al-Laitsiy dan Malik bin Anas …, dan dalam silsilah sanad hadits kedua, dua nama itu muncul lagi, maka dalam pensyarahan hadits kedua tidak dijelaskannya dua nama itu, ia cukupkan dengan penjelasan yang pertama.[28]
Dalam menjelaskan nama perawai yang rentan dengan kekeliruan dan kesalahan dalam membacanya  beliau buat tata cara membacanya. Seperti rawi hadits berikut     (عن عطاء بن يسار ) بخفة السين المهملة بلفظ ضد يمين تقدما  (وعن  بسر بن سعيد) بضم الموحدة وإسكان السين المهملة آخره   [29]  

e. Menjelaskan setiap kalimat dalam matan hadits yang diberinya tanda kurung (…….), dalam penjelasan tersebut beliau menggunakan dalil dari hadits-hadits lain seperti dari  ruwat kutub al-sittah dan lain-lain, serta tidak jarang beliau menetukan keshahihan atau kedla’ifan riwayat suatu hadits yang dijadikan syahid, juga mengungkapkan pendapat-pendapat ulama bahkan mengungkapkan dari kitab yang dijadikannya sebagai rujukan. Ada perbedaan yang jelas dari  dua pola pengungkapan tersebut, bila hal itu dari sebuah kitab ia sebutkan nama kitabnya[30], dan bila hanya pendapatnya saja tidak  disebutkan nama kitabnya.
f. Tidak masuk ke dalam pembahasan khilafiyah fiqhiyah. Dalam menjelaskan matan hadits yang mengandung khilafiyah, meskipun diakuinya sendiri bahwa ia bermazhab maliki, namun ia tidak membahas masalah fiqhiyah dari kaca mata mazhab akan tetapi hanya memaparkan pendapat-pendapat ahli hadits dan lebih menekankan pada pemahaman hadits atau yang disebut dengan fiqh al-hadits atau fiqh al-sunnah.

4.                sumber-sumber pensyarahan al-Zarqaniy. 
Dari langkah perjalanan pensyarahan hadits al-Muwattha’, al-Zarqaniy dapat dikatakan tidak pernah menyentuh sumber-sumber ilmiyah di luar para ahli hadits, karena itu sumber-sumber kitab syarh al-Zarqaniy adalah kitab-kitab hadits dan para ahli hadits seperti, ashhab kutub al-sittah, musnad Imam Ahmad, sunan al-Darimiy, sunan dar al-Quthniy, mu’jam al-Thabraniy, syarh al-Musnad li al-Rafi’I, al-Nihayah, al-Suyuthi, Ibn al-Hajar al-Asqallaniy, Ibn abd al-Bar dan ulama-ulama hadits. lain-lainnya.

5.                Corak syarh al-Zarqaniy.
Sejalan dengan isi kitab hadits al-Muwattha’ yang disusun berdasarkan hadits-hadits ‘ala al-abwab al-fiqhiyah, dan sumber-sumber yang dijadikan rujukan oleh al-Zarqaniy dalam pensyarahannya adalah hadits-hadits serta pendapat para ahli hadits serta langkah-langkah yang ditempuhnya berkisar pada memahami hadits yang telah dilakukan oleh para ahli hadits, maka sudah dapat dipastikan bahwa corak syarh al-Zarqaniy adalah corak fiqhiy dengan pemahaman ahli hadits yang  disebut dengan fiqh al-hadits atau fiqh al-sunnah bukan fiqh mazhab.

 
6.         Sikap al-Zarqaniy dalam masalah kebahasaan.

a.             Menggunakan sya’ir.
   Al-Zarqaniy dalam syarahnya sangat arif dalam menggunakan bahasa. Bahasa yang dipergunakan cukup sederhana dan dapat dengan mudah dipahami, meskipun beliau sendiri memiliki uslub bahasa yang sangat indah, seperti yang beliau ungkapkan pada awal dan akhir penulisan kitab syarahnya. Namun demikian dalam beberapa kesempatan ia menggunakan syai’ir dalam rangka menjelaskan makna hadits yang gharib. Suatu contoh, tatkala beliau menjelaskan hadits ;
عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليصلي الصبح فينصرف النساء متلفعات بمروطهن ما يعرفن من الغلس [31]
lafadh متلفعات  dalam hadits tersebut beliau jelaskan maknanya yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh. Makna itu beliau perkuat dengan menggunakan sya’ir sebagai berikut:  كيف يرجون سقاطى بعدما – لفع الرأس مشيب وصلع  [32], lafadh بمروطهن  artinya pakaian dari kulit kambing, makna itu beliau perkuat dengan sya’ir sebagai berikut; تساهم ثوباها ففي الدرع دارة – وفي المرط لفوان ردفهما عبل  [33]
lafadh الغلس gelap di akhir malam, makna itu diperkuat dengan sya’ir sebagai berikut ; كذبتك عينك أم رأيت بواسط – غلس الظلام من الرباب خيالا    [34]

b.                 Menggunakan Nahwu.
Dalam  beberapa kesempatan beliau mensyarhkan hadits tersebut dangan Nahwu. Suatu contoh tatkala menjelaskan lafadh hadits من الغلس  beliau katakan min adalah ibtida’ al-ghayah,[35] dan banyak lagi contoh lainnya.

III. Khatimah.
                 Dari uraian di atas dapat dipetik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Muhammad al-Zarqaniy adalah salah seorang ulama besar yang banyak mewariskan  karya ilmiyah dalam bidang hadits. Salah satu karyanya adalah Syarh al-Zarqaniy ‘ala Muwattha’ Iamam Malik, yang juga merupakan salah satu  kitab dari sekian banyak  syarh hadits al-Muwattha’.
2.      Pensyarahan hadits diawali oleh al-Zarqaniy  dengan menjelaskan setiap nama perawi dalam silsilah sanad hadits tersebut secara lengkap, panjang dan mendalam, termasuk menjelaskan kedudukan dan kualitasnya. Dari sisi matan, pensyarahan dilakukan oleh al-Zarqaniy dengan menggunakan hadits-hadits lain sebagai penjelas, serta mengmbil dan merujuk pendapat para ahli hadits termasuk merujuk kitab-kitab mereka. Di samping itu al-Zarqaniy menggunakan sya’ir juga nahwu dalam rangka memperjelas dan mempertegas pemahaman makna hadits.
3.      Kecenderungan, arah dan sumber-sumber serta rujukan  yang dominan dalam mensyarah hadits al-Muwattha’ tersebut adalah hadits, pendapat para ahli hadits menjadikan syarh al-Zarqaniy memiliki sebuah corak yang jelas, dengan kata lain bahwa kitab Syarh al-Zarqaniy bercorak fiqh sunnah atau fiqh al-hadits. Wallahu a’lam bi al-shawab.


Daftar Pustaka

Abd al-Lathif, Abd al-Wahhab (ed) “Muqaddimah” dalam  Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy, al-Jumhuriyah al-Arabiyah al-Muttahidah, al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, Lajnah Ihya’ al-Turats al-Islamiy, 1967

CD al-Maktabah al-Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah, diterbitkan oleh al-Turats di al-Urdun, 1999.

al-Kattaniy, Abd al-Hayy bin Abd al-Kabir, Fahras al-Faharis wa al-Atsbat wa Mu’jam, al-Ma’ajim wa al-Masyikhat wa al-Musalsalat, Bairut: Dar al-Gharb al-Islamiy, Cet. II, 1982

al-Zarqaniy; Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin Syihab al-Din bin Muhammad al-Zarqaniy al-Maliki, Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik , Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1978
           


Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandarlampung. Mengampu mata kuliah Ulumul Qur’an. Pria kelahiran Mesuji ini menyelesaikan S1 nya di Madinah, S2 nya di Pakistan dan sekarang dalam tahap penyelesaian S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.        
[2] tidak jelas apa yang dimaksud dengan di negerinya tersebut, dan di mana, yang pasti beliau memulai menulis syarahnya di al-Azhar, Mesir. Lihat Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
1Sampai makalah ini di sajikan, dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang penulis miliki, belum ditemukan tulisan baik berbentuk kitab atau pembahasan yang singkat tentang biografi al-Zarqaniy, kecuali sedikit yang dipaparkan oleh Abd al-Hayy bin Abd al-Kabir al-Kattaniy dalam bukunya Fahras al-Faharis wa al-Atsbat wa Mu’jam, al-Ma’ajim wa al-Masyikhat wa al-Musalsalat, yang ditebitkan oleh: Dar al-Gharb al-Islamiy Bairut, Cet. II, 1982  (selanjutnya disebut al-Kattaniy) juga sedikit yang dipaparkan oleh Muhammad Abd al-Baqiy bin Yusuf bin Ahmad bin Syihab al-Din bin Muhammad al-Zarqaniy al-Maliki sendiri dalam kitabnya yang kita kaji ini yakni Syarh al-Zarqaniy ’ala Muwattha’ Imam Malik yang diterbitkan oleh Dar al-Ma’rifah Bairut 1978. (selanjutnya disebut Syarh al-Zarqaniy)
[3] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2 dan jilid IV, h. 436
[4] al-Kattaniy,  Ibid, Jilid I, H. 456
[5] al-Katttaniy, Ibid, h. 456
[6] CD al-Maktabah al-Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyah, diterbitkan oleh al-Turats di al-Urdun 1999
[7] al-Katttaniy, Op. Cit, h. 456
[8] al-Katttaniy, Ibid, h. 456
[9] al-Katttaniy, Ibid, h. 456-457
[10] al-Katttaniy, Ibid, h. 456
[11] belum diketahui siapa yang memberi beliau dengan gelar tersebut, lihat cover Syarh al-Zarqaniy, cetatkan Dar al- Ma’rifah Bairut, 1978.
[12] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, Jilid I, h. 2
[13] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, Jilid IV, h. 436
[14] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
[15] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid IV, h.436
[16] al-Katttaniy, Op.Cit,  h. 457
[17] Abd al-Wahhab Abd al-Lathif (ed) “Muqaddimah” dalam  Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy Muwttha’ al-Imam Malik Riwayat Muhammad bin al-Hasan al-Syibaniy, al-Jumhuriyah al-Arabiyah al-Muttahidah, al-Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, Lajnah Ihya’ al-Turats al-Islamiy, 1967, h. 21
[18] Syarh al-Zarqaniy, Op. Cit, jilid I, h. 2, lihat juga h. 9
[19] sebagai contoh beliau menukil pendapat Ibnu al-Sayyid fi Syarh al-Muwattha’, lihat Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 12
[20]Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
[21] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid IV, h. 436
[22] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid IV, h. 436
[23] tidak jelas apa yang dimaksud dengan di negerinya tersebut, dan di mana, yang pasti beliau memulai menulis syarahnya di al-Azhar, Mesir. Lihat Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
[24] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
[25] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 2
[26]  Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 10
[27]Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 11
[28] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 11 dan 17
[29] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 20
[30]suatu contoh tatkala menjelaskan hadits pertama disaat menukil pendapat dari sebuah kitab ia sebutkan قال  الرافعي في شرح المسند  ,كذا قاله ابن السيد في شرح الموطأ ,    dan lain-lain, Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 12 dan 14
[31] al-Muwattha’ bab wuqut al-shalat, Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 18
[32] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 19
[33] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 19
[34] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 23
[35] Syarh al-Zarqaniy, Ibid, jilid I, h. 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar