MENYELAMI
MAKNA DUNIA BAGI KEHIDUPAN MANUSIA
( Kajian
Tafsir Maudhu’i )
Septiawadi
Abstrak
Petunjuk Allah dalam Alquran
mengenai dunia tempat manusia menjalani kehidupan menuju kehidupan akhirat bisa
dikatakan sebagai informasi dan juga dapat dianggap sebagai konfirmasi. Kajian
ini menyorot penggambaran Alquran tentang dunia serta bentuk prilaku manusia
ketika menjalani hidup di dunia dengan merujuk pada kronologi ayat. Isyarat Alquran dapat menjadi konfirmasi bila
manusia tidak terperdaya dengan kehidupan dunia yang melalaikan, sebaliknya
petunjuk Alquran ini bisa berupa informasi penting bagi mereka yang sering
mengabaikan aturan Allah karena sibuk melayani urusan dunia.
Kata
kunci : kehidupan dunia
Pendahuluan
Diantara 2 ungkapan yang sering ditemukan
dalam Alquran secara beriringan yang mengandung makna bertolak belakang yaitu
dunia dan akhirat. Allah menjadikan 2 kehidupan ini yang masing – masing saling
terkait. Untuk menuju hidup akhirat, Allah sudah menentukan bahwa manusia harus
melewati rangkaian kehidupan dunia[1]
dengan berbagai kegiatan, ibadah dan sebagainya guna mempersiapkan bekal hidup
sesudah ini.
Dalam rangka menginformasikan dan
mengkonfirmasikan segala hal yang berhubungan dengan dunia ini, Allah telah
menyatakan dalam Alquran dengan berbagai ungkapan.
Wahyu Allah yang disebut juga dengan
ayat yang berarti tanda. Manusia dituntut untuk memahami tanda, simbol,
perlambang itu lewat wahyu bahkan ditemukan juga ayat Alquran yang jelas –
jelas berupa tamtsilan (perumpamaan) yang kesemuanya membutuhkan penafsiran. Salah satu tanda (ayat)
itu adalah istilah dunia. Apa saja bentuk informasi Allah mengenai dunia lalu
bagaimana pula seharusnya manusia berprilaku dalam kehidupan di dunia ini ?
Barangkali demikian persoalan yang akan penulis coba uraikan dalam tulisan
sederhana ini dengan tinjauan penafsiran maudhu’i.
1. Pengertian tentang Dunia
Ungkapan dunia sebenarnya tidak
asing bagi kita karena sudah menjadi bahasa serapan dalam bahasa Indonesia.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dunia disebut sebagai lawan
dari kata akhirat.[2]
Dikatakan juga sebagai tempat manusia hidup sebelum mati atau dapat berarti
bumi yang didiami manusia.[3]
Menurut Lisanul Arab, kata dunia berasal dari dana– dunuwwan, danawah semakna dengan qaruba yang berarti
dekat. Dinamakan dunia karena dekat posisinya dengan tempat kita bahkan kita
inipun berada dalam dekapan dunia. Maka ada ungkapan as-Sama’ ad-Dunya
artinya langit yang dekat dengan keberadaan kita. Selain itu dunia dikenal juga
dengan nama kehidupan yang dijalani sekarang karena jauh dari akhirat.
Terkadang kata dunia terambil juga dari kata daniy – danayah, dinayah
jadi ya disini sebagai ganti
waw yang bermakna kelemahan, jatuh ( terhina ).[4]
Ada baiknya kita kemukakan juga pendapat ulama Indonesia bahwa dunia berasal
dari dana - yadnu-dunuwwan, danawah yang dapat juga berasal dari daniya –
yadna – danayah yang bermaksud rendah, hina, sempit.[5]
Beberapa penelusuran dari kata dunia dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
dunia adalah tempat yang kita diami sekarang termasuk langit atau jagat raya
yang memang dekat sesuai maknanya ( dekat ) dari pandangan dibanding
akhirat yang tak dapat tercium sama sekali. Dapat juga diartikan sebagai
kehidupan sekarang yang sangat rendah, hina, tidak abadi.
2. Identifikasi Ayat Alquran tentang
Dunia
Berdasarkan akar kata dunia ( ) dengan berbagai shighat
– bentuknya dijumpai dalam Alquran sebanyak 133 kali[6]
dengan rincian sebagai berikut;
Dana
sebanyak 1 kali
Yudnina sebanyak 1 kali
Danin sebanyak 1 kali
Daniyah sebanyak 3
kali
Adna sebanyak 12 kali
Ad-Dunya sebanyak 115 kali
Sedangkan kata yang semakna dengan ad-Dunya
yaitu al-ula ( ) juga
terlihat pengulangannya dalam Alquran sebanyak 17 kali,[7]
diantaranya yang menunjukkan arti dunia hanya 8 tempat. Dari 8 ini yang
diiringi dengan kata akhirat ada 5 sisanya al-ula ( ) berdiri sendiri. Jenis terakhir
ini terdapat dalam;
As-Shaffat
( 37 ) : 59
Ad-Dukhan
( 44 ) : 35
Ad-Dukhan
( 44 ) : 56
Ketiganya
menjelaskan tentang jenis kematian yang terjadi hanya di dunia saja lalu
setelah manusia dibangkitkan kembali tidak pernah merasakan mati lagi. Adapun 5
ayat yang terhubung dengan kata akhirat berbicara mengenai 2 hal pertama
terkait dengan keutamaan akhirat dari dunia, kedua berhubungan dengan
keberadaan Allah.
Dalam
makalah ini penulis memfokuskan bahasan menyangkut ungkapan ad-dunya disamping
akan diperhatikan juga makna derivasinya. Berbicara tentang dunia dalam
tinjauan Alquran, paling tidak ada 2 hal yang sangat menonjol dalam
penjelasannya yaitu dunia yang dikaitkan dengan al-hayah ( ) dan dunia yang selalu
digandengkan dengan kata akhirat. Tampaknya 2 hal ini tidak dapat dilepaskan
ketika mengkaji dunia. Sedangkan kata ad-dunya ( ) yang tidak terhubung dengan 2
kata diatas terulang sebanyak 17 kali.[8]
Adapun
kata ad-dunya – dari 115 kali terulang -
yang dihubungkan dengan al-hayah ditemukan 68 kali,[9]
yang beriringan penyebutannya dengan akhirat dalam satu ayat ditemukan
42 kali.[10]
Ditemukan juga ungkapan ad-dunya dan akhirat bersamaan yang didahului
oleh kata al-hayah sebanyak 2 kali yaitu; Yunus : 64 dan
Fushshilat : 31.
3.
Perihal tentang Dunia
Untuk mengenali dunia tempat kita
beraktifitas ini ada perlunya diperhatikan ayat 5 surat al-Mulk ( 67 ).
Dinyatakan disini bahwa langit dunia ( jagat raya ) dihiasi Allah dengan
bintang – binatang yang dijadikan sebagai pelempar setan. Di tempat lain ( as-Shaffat
: 6 ) diterangkan bahwa langit dunia yang diberi atribut itu kami pelihara dari
gangguan setan yang durhaka. Ditegaskan, setan tidak dapat mendengar
pembicaraan alam malaikat ( di langit ) bahkan gugusan bintang itu dijadikan
untuk mengusir mereka ( sebagai pagar ). Siapa yang mendekat akan tersambar
sinar bintang yang tajam. Hal senada dijumpai pula pada fushshilat : 12.[11]
Dalam tafsir Ibnu Katsir terungkap
riwayat yang bersumber dari Qatadah serta
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir bersama Ibnu Abi Hatim bahwa gugusan
bintang itu diciptakan dengan 3 tujuan; Pertama untuk menghiasi langit, kedua
sebagai alat pengusir setan ketiga sebagai radar yang mengawasi gangguan. Di
nyatakan juga bahwa siapa yang mencari takwil dari maksud ayat berdasarkan ra’yunya
akan cenderung salah maka berhati – hatilah.[12]
Bila diperhatikan masing – masing
ayat diatas terlihat bahwa rangkaian
ayatnya berbicara dalam tema yang sama yaitu tentang kejadian alam ( langit,
bumi dan seisinya ). Dua tempat ( al-Mulk dan fushshilat )
dinyatakan bahwa Allah menciptakan 7 langit berlapis – lapis lalu pada langit
yang terdekat ( ad-dunya ) dihiasi dengan gugusan bintang. Dunia yang
kita tempati ini dibatasi oleh 1 langit ( langit yang terdekat dengan kita )
sedang langit inipun merupakan ancaman pula bagi setan yang dia sendiri tak
sanggup menghampirinya atau mengintip / mendekat ke sana sebab sudah dibentengi
dengan pagar bintang – bintang yang siap menyambar. Apalagi untuk menuju ke
langit yang lain.
Ditambahkan oleh az- Zuhaili bahwa
cahaya bintang – bintang di langit tersebut sampai menembus bumi laksana
sorotan lampu terhadap sesuatu.[13]
Dengan penjelasan diatas membuktikan bahwa dunia ini memang dekat sesuai dengan
namanya. Langit – langit yang lain tidak dapat kita ketahui[14]
apalagi akhirat yang terbilang sangat jauh dari dunia. Dengan demikian
keberadaan dunia ialah yang kita diami dan yang dekat dengan kita termasuk
langit. Memang tidak ditemukan ayat Alquran yang menerangkan wujud dunia
itu sendiri artinya kata dunia seringkali menjadi penyifatan sesuatu seperti
langit dunia ( yang dekat ). Jadi dunia berupa penamaan yang dilekatkan
dengan sesuatu. Hakikat dunia inipun hanya satu ( kata mufrad / tunggal
) lawan dari akhirat dan tidak ada berbentuk jamak terungkap.[15]
Dalam bahasa kita saja yang menyebut seperti dunia barat, dunia timur tapi
pengertianya tidak persis sama dengan yang dimaksud ayat Alquran.
4. Hakikat Kehidupan Dunia
Pada
uraian dimuka terungkap bahwa ketika Alquran membicarakan dunia sering kali
dikaitkan dengan al-hayah ( kehidupan ) yang mengindikasikan bahwa dunia
bagi manusia adalah tempat berkarya dan beragam aktifitas kehidupan artinya
usaha manusia didunia sebagai penentu nasib ketika meninggalkan dunia fana
ini.
Alquran
memberikan gambaran tentang arti kehidupan dunia dengan bermacam ungkapan,
seperti terlihat dalam uraian berikut.
- Mata’ (
mata’ al-ghurur )
Beberapa
ayat Alquran hampir senada mengatakan bahwa sifat kehidupan dunia hanyalah sementara. Dalam
surat al-Mukmin ( 40 ) : 39 disebutkan, kehidupan dunia sebagai
kesenangan ( mata’
), dalam terjemahan depag diartikan sebagai kesenangan sementara.[16]
Selain itu dijelaskan bahwa kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan ( mata’ al-ghurur
). Ayat ini
membicarakan tentang kematian yang pasti dirasakan oleh setiap jiwa dan nanti
pada hari kiamat semua pahala akan disempurnakan. Diceritakan bahwa orang yang
beruntung adalah yang merasakan kesenangan yang sesungguhnya yaitu berada dalam
surga. Sebaliknya siapa yang larut dalam kesenangan dunia tanpa mempedulikan
aturan Allah ( agama ) maka kesenangan yang diperoleh itu hanya nisbi.[17]
Sejalan dengan keterangan akhir ini surat
al-Hadid : 20.[18]
Zuhaili memahami ayat 185 diatas
sebagai kehidupan menyenangkan yang mengandung penipuan seperti sering terjadi
dalam praktek jual beli. Kehidupan dunia yang enak kita rasakan seperti enak
makan, minum, hubungan seksual, bahkan kemegahan, popularitas, jabatan itu
tidak lain seperti kesenangan penjual yang menipu. Inilah orang yang
mengutamakan dunia dari akhirat.[19]
Maksud ayat 185 menurut Ibnu Katsir,
untuk ( merendahkan) mengecilkan dunia sebab dunia itu akan fana. Tetapi orang
masih mementingkan kehidupan dunia dari akhirat padahal akhirat lebih baik dan
lebih kekal ( al-A’la ( 87 ) : 16-17 ). Dalam suatu hadis pernah terungkap
bahwa ; dunia dibandingkan akhirat bagaikan seseorang mencelupkan jari ke laut
dan diangkat lalu perhatikan berapa air yang menetes lagi ke laut. Menurut
Qatadah seperti dikutip Ibnu Katsir mengartikan kesenangan dengan kesenangan
yang melalaikan. Maka manfaatkan kesenangan itu demi taat kepada Allah.[20] Ditambahkan as-Shabuni bahwa dunia adalah
kampung yang fana dari itu bersenang – senang di dunia tanpa peduli hari akhirat
itulah orang pandir lagi tertipu.[21] Kesenangan di dunia tidak ada yang abadi maka
dari itu manusia diperingatkan agar berhati – hati dalam menikmatinya, jangan
sampai lupa mengingat Allah. Kesenangan dalam beribadahpun belum seberapa bila
dihadapkan balasan di akhirat.
- la’ib wa
lahw
Adapun wujud lain dari kehidupan
dunia dinyatakan Alquran yaitu sebagai permainan – senda gurau ( la’ib wa
lahw ). Ada
4 kali ayat yang mengungkap hal ini yaitu surat
al-Ankabut ( 29 ) : 64, al-An’am
( 6 ) : 32, al-Hadid ( 57 ) : 20
dan Muhammad ( 47 ) : 36.
Dalam
ayat 29 al-Ankabut ditegaskan bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah
negeri akhirat sedangkan kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.
Lalu siapa yang lalai terhadap Tuhan dan mementingkan kesenangan duniawi, yang
sesungguhnya hanyalah permainan, nanti di akhirat mereka termasuk orang yang
merugi; sedangkan bagi yang bertaqwa akhirat itu lebih baik dari kehidupan
dunia.[22] Karena itu jika kamu ( manusia ) beriman dan
bertaqwa kepada Allah[23]
maka akan diberikan pahala yang sangat besar dan Dia tidak akan meminta harta
yang kamu kumpulkan.[24] Disamping bentuk kehidupan dunia diatas
ditambahkan makna yang lain yaitu sebagai perhiasan, berbangga diri dan
kemegahan.[25]
Mengenai ayat 32 al-An’am dijelaskan
oleh al-Maraghi, menurut orang kafir tidak ada lagi kehidupan setelah dunia
ini,[26] karena itu mereka melakukan apa saja baik itu
berfaedah walau sesaat atau tidak ada faedah dan mereka tidak memikirkan
harapan setelah mati, bahakan mereka tidak bisa menerima cobaan hidup.
Ditegaskan oleh al-Maraghi bahwa kelezatan dunia sangat nisbi sama halnya
dengan makanan yang tidak tertarik / tiada rasa lagi bila perut kenyang.[27] Dengan kata lain kehidupan ini dikatakan
permainan karena singkat waktunya adan cepat hilang kenikmatannya.[28]
Sementara itu terkait dengan kata la’ib
wa lahw, Shihab menjelaskan la’ib
sebagai aktifitas yang sia – sia dan tanpa tujuan. Apa yang dihasilkan tidak
lain hanyalah hal – hal yang menyenangkan hati tetapi menghabiskan waktu.
Selain itu kehidupan berarti juga kelengahan lahw yaitu melakukan
kegiatan yang menyenangkan hati tetapi tidak / kurang penting sehingga
melengahkan pelakunya dari hal – hal yang penting / lebih penting.[29]
- Zinah
Wujud
kehidupan dunia juga dikatakan sebagai perhiasan ( zinah ).[30] Sejalan dengan pengertian ini ayat 46 al-Kahfi kiranya dapat dijadikan penjelas makna
perhiasan tersebut. Disebutkan diantara perhiasan kehidupan dunia adalah harta
dan anak.[31] Memang harta dan anak dapat menjadikan hidup
indah, bahagia namun itupun hanya sesaat bahkan harta dan anak pun terkadang
cepat berlalu pula dari pemiliknya. Malahan harta dan anak meruapakan amanah
dan harus dipelihara, jangan sampai disia – siakan dan seharusnya dapat
dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diingat,
harta dan anak adalah ujian ( fitnah ) dari Allah.[32]
- Tafakhur dan
takatsur
Kehidupan
dunia dinyatakan juga sebagai tafakhur ( berbangga diri ) dan takatsur
( kemegahan ).[33] Kata tafakhur dalam Alquran hanya
sekali terungkap yaitu dalam ayat ini.[34] Umumnya kata asli fakhar diterjemahkan
kebanggaan yang dipadankan dengan kesombongan ( seperti dalam terjemahan depag
). Dengan demikian tafakhur berarti saling membangga – banggakan yang
terselip juga didalamnya sifat kesombongan. Menurut as- Shabuni makna “
membanggakan “ dapat juga tinggi hati membesarkan diri dengan menjauh ( tidak
bergaul ) dari kerabat, tetangga sebab ia merasa lebih dari yang lain.[35]
Kalau masing – masing orang merasa dirinya lebih dari yang lain maka muncullah
ingin membanggakan apa yang dimiliki. Beginilah kehidupan dunia yang semu tak
obahnya seperti semu nya kebanggaan. Seperti penjelasan tadi, orang itu tidak
perlu sombong sebab ia hanya merasa besar yang artinya bukan besar.
Sedangkan
kata takatsur ( kemegahan ),
dipahami sebagai cerminan dari kehidupan dunia. Kata ini terulang hanya 2 kali
( 1 lagi dalam surat at-Takatsur ) dalam Alquran. Kata ini terambil dari
akar kata katsura yang berarti banyak. Adapun takatsur disini
mengindikasikan ada jumlah ( yang banyak ) yang ditonjolkan. Kalau diperhatikan
dalam ayat dipahami bahwa manusia berlomba – lomba dengan adanya harta dan
anak. Padahal harta dan anak hanya titipan justru manusia sering lalai dan
terikat dengan hal itu sampai lupa beribadah.[36]
Bentuk serupa ini termasuk hakikat kehidupan dunia yang ditegaskan Allah dalam
ayatnya.
Dalam
menjelaskan bentuk kehidupan dunia Alquran memperkenalkan juga dengan ungkapan majazi
( kiasan ). Kehidupan dunia
digambarkan seperti air hujan yang membasahi bumi lalu tanaman menjadi subur
dan siap dipanen yang menggembirakan pemiliknya. Kemudian selang beberapa
waktu, tiba – tiba tanaman tersebut sudah seperti disabit dan seakan – akan tak
pernah ada sebelumnya.[37]
Ayat ini merupakan tamtsilan kehidupan dunia yang utuh dalam satu ayat
dan termasuk ayat makkiyah. Sedangkan ayat lain[38]
turun di madinah, tamtsilan dunia dalam ayat itu hanya disisipkan saja.
Uraian
tentang hakikat kehidupan dunia yang ditegaskan Allah dapat dipahami sebagai
informasi bagi siapa menganggap
kehidupan dunia adalah sangat substansi ( tidak bersifat permainan dan
seterusnya ) dan juga sebagai konfirmasi bagi siapa yang berpikir dan merasakan
bahwa di dunia ini tidak ada kelanggengan dan ada kesudahan. Pada dasarnya
begitulah ( sebagai konfirmasi dari Allah ) realita kehidupan dunia yang
senantiasa sering membuat lalai kepada Allah.
Namun kehidupan dunia yang
digambarkan demikian jangan pula kita merasa pesimis menghadapi hidup ini,
justeru sebaliknya optimisme kuat yang bangkit. Manusia silakan menikmati dunia
asal tidak membuat lupa diri dan lupa kepada Allah. Bagaimanapun apa yang kita
peroleh dan rasakan yang pasti ia tidak kekal karena semua akan hancur dan
tidak dibawa mati. Hanya implikasi amal didunialah yang akan diterima
ganjarannya. Sebagaimana terlihat diatas bahwa runtutan peringatan Allah sangat
jelas, pertama al-Ankabut : 64 / makkiyah yang
ditegaskan bahwa hidup yang sesungguhnya adalah di akhirat.[39]
Kalau di dunia ada kedinamisan hidup, perobahan waktu, fisik pendeknya bersifat
material sedangkan diakhirat kehidupan non material, permanen ( dara -
yadiru – daur = tidak berkesudahan seperti lingkaran ) apalagi dengan
melihat Allah yang immateri. Selanjutnya
al-An’am : 32 / makkiyah, diberikan pilihan secara
tidak langsung yang mencirikan akan kualitas manusia yang bisa berpikir logis.
Bahkan ditambah dengan bahasa kiasan seperti al-Hadid : 20 / madaniyah.
Terakhir surat Muhammad : 36 / madaniyah, Alquran tidak lagi
mendikte tapi cukup dengan peringatan halus dan mengajak manusia agar punya
kesadaran diri. Disini sangat tampak bahwa Allah tidak butuh sebenarnya dengan
sikap manusia yang tidak mau mengerti.
5.
Macam – macam Kesenangan Dunia
Informasi tentang kesenangan hidup
dunia yang dijelaskan Alquran didasarkan pada kata mata’ ( dzalika
mata’ ).[40]
Seperti terungkap bahwa suatu kesenangan dunia dapat dihasilkan dari berbuat
zalim yaitu melakukan perbuatan yang melanggar aturan Allah. Diceritakan,
ketika mereka mendapatkan kesulitan lalu diselamatkan oleh Allah kemudian
mereka berlaku zalim kembali. Itulah kesenangan hidup di dunia.[41]
Bahkan secara umum dikatakan segala macam bentuk kehidupan dunia merupakan
kesenangan nisbi.[42]
Juga disebutkan bahwa disamping sebagai kesenangan, dapat pula berarti sebagai
perhiasan.[43]
Ibnu Katsir ketika menyinggung ayat
60 al-Qasas diatas menyebutkan
bahwa kesenangan hidup dan perhiasan dunia merupakan anugerah Allah yang
semuanya nanti akan sirna sebaliknya kesenangan yang disediakan bagi hamba yang
saleh di akhirat itulah kesenangan yang abadi.[44]
Anugerah itu dapat berwujud material atau non material seperti kenikmatan yang
dirasakan.
Berkenaan dengan kesenangan hidup
dunia diuraikan dalam surat Ali Imran ( 3 ) : 14 yaitu senang pada
pasangan hidup ( suami –isteri ), anak – anak, harta yang banyak ( berupa emas, perak ), kuda terlatih, ternak
dan kebon ( ladang ). Kesenangan ini disifatkan dengan syahawat (
syahwat ) yang berarti kecintaan yang kuat atau kecendrungan hati yang lebih
dan kesenangan tersebut membawa
kelezatan ibarat makan. Jadi merupakan dorongan kuat dalam jiwa dan
menjadi indah menurut pandangan mata serta kehendak hati. Dengan demikian
jangan larut dalam mencintai sesuatu supaya dapat menjaga keseimbangan diri
bila yang dicintai itu luput. Syahwat diciptakan Allah bertujuan untuk menguji
manusia, al- Kahfi ( 18 ) : 7.[45]
Bila diperhatikan tahapan pewahyuan
tentang kesenangan hidup ini terlihat, ketika di Makah Alquran mengingatkan
secara umum bahwa kesenangan hidup ada yang diperoleh dari perbuatan zalim,
kebohongan ( contoh ketauhidan yaitu Allah dianggap punya Allah ). Bahkan dalam
beberapa ayat diberitakan bahwa hidup ini termasuk kesenangan dunia.
Pada periode Madinah hanya 1 ayat
yang menyinggung bentuk kesenangan dunia dan disebutkan jenisnya. Sekalipun
kesenangan tersebut sangat hebat tapi tetap sesaat. Demikian penjelasan ayat.
Satu hal lagi perlu dikemukakan disini bahwa dari beberapa ayat yang
menjelaskan tentang kesenangan dunia hanya 3 ayat yang membandingkan dengan
tegas bahwa kesenangan tersebut sangat kecil dibanding di akhirat.[46] Ayat –ayat itupun diturunkan di Madinah
artinya setelah Allah menjelaskan macam –macam kenikmatan dunia dan
faktor-faktornya lalu Allah mengajak manusia untuk berpikir jernih agar punya
perhatian masa depan ( akhirat ).
6.
Kehidupan Dunia yang Melenakan Manusia
Allah
sudah memperingatkan bahwa dunia ini hanyalah tempat sementara untuk menuju
akhirat yang sekaligus melihat hasil amal selama dalam perjalanan ( dunia ).
Maka dari itu jangan sampai kemewahan dunia yang diraih membuat manusia berlaku
zalim dimuka bumi.[47]
Alquran mensinyalir bahwa diantara
orang yang ditipu oleh kehidupan dunia ( gharrat humul hayatud dunya - ) yaitu mereka yang menjadikan agama hanya
sebagai bahan main –main serta banyak melanggar aturannya. Selanjutnya
ditegaskan bahwa orang yang mempermainkan agama ( Islam ) jangan diikuti ( ikut
terpengaruh ), bahkan Alquran menyarankan untuk menyadarkan mereka yang
terlanjur keliru tersebut.[48] Malahan mereka ini dianggap telah kafir
karena mengingkari ayat – ayat Allah. Diakhirat nanti – jelas Alquran - mereka akan sadar dari perbuatannya.[49]
Mengenai ayat 70 al – An’am
diatas, al-Maraghi menjelaskan maksud dari
“orang yang menjadikan agama sebagai permainan “ berarti Ia mengerjakan
sesuatu yang tidak membersihkan jiwanya, tidak menyucikan hatinya dan juga
tidak memperbaiki akhlaknya. Pada dasarnya perbuatan tersebut tidak direstui
oleh Allah. Ia hanya menghabiskan waktu pada hal –hal yang tidak berguna atau
hanya sibuk mengurus urusan dunia.[50]
Barangkali dapat disejajarkan dengan orang yang mencari kelemahan prinsip
ajaran agar orang lain menjadi ragu atau mencari penafsiran yang hanya
berdasarkan nilai historis tanpa memandang substansi ajaran. Dengan kata lain,
ingin menyesuaikan dengan perkembangan zaman tapi mengorbankan inti ajaran. Ingin
menggunakan baju model baru yang terpajang tapi baju yang dipakai sudah dibuang
terlebih dahulu.
7.
Ganjaran di Dunia sebagian dari Akhirat
Tindak
laku dan tingkah tanduk manusia di dunia
sangat menentukan bagaimana kehidupan di akhirat kelak. Banyak ayat – ayta yang
menginformasikan bahwa apa saja yang diperbuat sekarang pasti akan diterima
akibatnya. Seperti terlihat dalam al-Qasas ( 28 ) : 42 yang dinyatakan
bahwa laknat Allah yang berlaku kepada
orang durhaka di dunia maka pada hari kiamat mereka akan terjauh dari rahmat
Allah. Ayat ini menggambarkan tentang hukuman dunia yang dialami Fir’aun dan
pengikutnya yang tidak mentaati perintah Allah dan nabi Musa sedang di akhirat
nanti keadaan mereka lebih tercela lagi.[51]
Sementara itu ganjaran seperti
keberkahan dalam hidup, ketenangan jiwa, kebaikan di dunia[52]
juga ditampakkan sebagai bagian dari nikmat yang akan diterima secara penuh,
sempurna di akhirat. Sekarang yang diterima itu baru berupa panjar dari Allah.
Dengan demikian siapa yang berbuat baik di dunia dan dirasakan manfaatnya (
balasannya ) sedangkan diakhirat akan memperoleh lebih baik lagi.[53]
Siapa yang meningkatkan kualitas amalnya di dunia maka Allah akan membaguskan
amalnya di dunia dan akhirat. Kebaikan di akhirat tidak dapat diukur dengan
segenap kebaikan di dunia.[54]
8.
Keseimbangan Dunia – Akhirat
Memang banyak ayat – ayat kita
temukan yang mengecam kehidupan dunia dan prilaku manusianya yang sering
direndahkan seperti kesenangan dunia yang banyak tipuan, kehidupan dunia yang
dianggap sandiwara[55] (
la’ib wa lahw ) dan banyak lagi predikat yang dinisbahkan pada dunia.
Kalau diperhatikan gambaran tentang dunia atau keberadaan dunia tersebut bukan
untuk menjauhkan dunia dari kita tapi peringatan bagaimana seharusnya beramal
di dunia dalam rangka menuju hidup di akhirat. Sebab dunia inilah satu –
satunya sarana yang mengantarkan ke akhirat mak harus dijalani.
Oleh sebab itu manusia dituntut
untuk dapat menyesuaikan dan meyeimbangkan antara kehidupan dunia agar bahagia
dan enak pula nanti di akhirat. Sangat tepat bahwa Alquran sering mengaitkan
kehidupan dunia dengan akhirat. Bahkan manusia disuruh berdoa untuk dapat
meraih kebahagiaan hidup kedua – duanya. Justeru Allah mencela terhadap orang yang
berdoa untuk mencapai kebahagiaan dunia saja.[56]
Dijelaskan
oleh Ibnu Katsir, contoh mereka yang mementingkan dunia saja yaitu pada masa
dahulu sekelompok masyarakat Arab ketika berkumpul di Arafah seraya berdoa
memohon kepada Allah agar senantiasa menjadikan musim hujan, tanah yang subur
serta anak – anak yang kuat / sehat. Mereka tidak memikirkan sehubungan dengan
kehidupan di akhirat.[57]
Kemudian datang rombongan berikut yang berdoa untuk kebaikan di dunia dan di
akhirat. Lalu Allah memuji kelompok ini yang meyeimbangkan keperluan dunia dan
kepentingan akhirat. Mereka ( sebagaimana janji Allah ) akan mendapatkan bagian
kedua – duanya dari apa yang mereka usahakan di dunia.[58]
Diantara
kebaikan dunia adalah kesehatan jasmani – rohani, rumah ( kediaman ) yang
kondusif, pasangan hidup yang baik, rizki yang luas sedangkan kebaikan akhirat
yaitu aman dari ketakutan yang luar biasa ( seperti hari berbangkit ),
memudahkan hisab, masuk surga dan memandang wajah Allah.[59]
Apalagi
cara yang ditempuh sangat tidak disukai Allah seperti ingin mendapatkan harta (
rampasan perang ) dengan berpaling dari musuh demi kesenangan duniawi malahan
menghancurkan diri sendiri.[60]
Kalau mereka menang dalam pertempuran dan dapat harta rampasan maka berarti ia
sudah mendapat 2 pahala ( ganjaran ) yaitu pahala di dunia berupa hal tersebut
sedangkan pahala di akhirat adalah lebih besar lagi dari itu.[61]
Kalau begitu dengan beramal untuk mengharapkan pahala akhirat dengan serta
merta akan memperoleh juga pahala di akhirat, bukan sebaliknya.
Inilah contoh amal yang berimplikasi
kepada kehidupan akhirat. Kalau beramal untuk tujuan dunia saja dapat juga
diraih atau dipenuhi Allah namun di akhirat ia termasuk orang yang merugi.
Sementara itu disaat manusia disuruh
mempersiapkan bekal menuju kebahagiaan akhirat langsung dibarengi dengan
pernyataan larangan jangan sampai mengabaikan kesejahteraan dunia (tidak mencari karunia Allah / nasib di
dunia).[62] Tema ayat ini sangat berkaitan dengan ayat
sebelumnya yang bercerita tentang keangkuhan Qarun yang bergelimang harta
sehingga melupakan amal untuk kepentingan akhirat. Melihat kenyataan prilaku
Qarun diatas wajar sekali ada penekanan ayat yang terkesan memprioritaskan
akhirat[63]
dengan mendahulukan penyebutannya dari dunia.
Diterangkan oleh Ibnu Katsir bahwa
seharusnya karunia yang dianugerahkan Allah kepada manusia supaya dimanfaatkan
dalam rangka menambah ketaatan dan ketundukan kepadaNya. Dengan rezki yang
didapat itu, juga diharapkan dapat menghasilkan tsawab (pahala) dunia
dan akhirat. Disamping itu manusia harus dapat memahami kategori hak –hak
seperti hak Allah, hak diri sendiri, hak keluarga. Maka dari itu wajiblah
baginya untuk melaksanakan seluruh hak –hak tersebut.[64]
Penutup
Beberapa
ayat yang berbicara tentang kehidupan dunia, ada diantaranya yang tegas
menyatakan bahwa wujud kehidupan dunia itu adalah kesenangan nisbi, permainan,
sebagai perhiasan, saling unjuk kemegahan serta saling unjuk kemewahan dengan
kesombongan.
Bahasa
Alquran senantiasa gradual ketika menetapkan sesuatu perkara yang tidak
terkecuali dalam menjelaskan kedudukan dunia bagi kehidupan manusia. Dari 4
ayat yang sangat terkait dengan kehidupan dunia kita jumpai bahwa 2 ayat
makiyah ( al- Ankabut dan al-An’am ) dikemukakan dengan
pernyataan tegas bahwa akhirat lebih penting. Sedangkan 2 ayat madaniyah ( al-Hadid
dan Muhammad )gambaran kehidupan dunia diungkapkan secara halus agar
manusia dapat berpikir dan sadar akan kehidupan yang dijalani.
Untuk
menghadapi hidup di dunia ini berkaryalah dengan nilai – nilai yang bermanfaat
baik untuk diri sendiri atau orang lain. Isilah kehidupan dunia ini dengan
proporsional antara kesuksesan dunia dapat diraih yang juga bisa mengantarkan
kebahagiaan akhirat.
Allah
menginformasikan dunia seperti penjelasan diatas adalah untuk peringatan
menghadapi hidup setelah di dunia ini. Artinya bukan mematahkan semangat untuk
hidup tetapi memotivasi supaya memanfaatkan hidup di dunia yang sesaat demi
mempersiapkan bekal menuju akhirat. Allah mengecam orang – orang yang terlena
dengan segala kenikmatan dan gemerlapan dunia.
Wa Allahu a’lam,
KEPUSTAKAAN
As-Shabuni, M. Ali, Shafwah at-Tafasir,
Beirut : Dar al-Quran al-Karim, 1981 / 1401, jilid 1, Cet. Ke- 2,
Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd, Al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfaz al-Quran, Indonesia : Maktabah Dahlan, tth,
Al-Fairuzzabadi,
Majduddin Muhammad bin Ya’kub, Al-Qamus al-Muhith, Beirut : Darul Jail,
t.th, juz 4
Ibnu
Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Beirut : Darul Fikri, 1992 / 1412,
jilid 4
Ibnu
Manzhur, Lisanul Arab, Kairo : Darul Ma’arif, t.th, jilid 2
Al-Maraghi,Ahmad
Mushthafa, Tafsir al-Maraghi, tt : 1974 / 1394, juz 7, Cet. Ke- 3
Munawwir, Ahmad
Warson, Kamus al-Munawwir Arab –
Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997, Cet. Ke- 14
Shihab,
Quraisy, Tafsir al-Misbah,
Jakarta : Lentera Hati, 2002, Vol, 14 , Cet. Ke- 1
Zain, JS. Badudu
dan Sutan Muhammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 2000, Cet. Ke – 4
Zakaria, Abi
al-Husain bin Faris bin, Al-Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah,
Beirut : Darul Fikri, 1994 / 1415, Cet. Ke- 1
Az-Zuhaili,
Wahbah, At-Tafsir al-Munir,
Beirut : Darul Fikri, 1991 / 1411, juz 23, Cet. Ke- 1
[1]
Pada umumnya manusia menjalani kehidupan di alam rahim (kandungan), terlahir ke
dunia nyata ini sebagai bayi lalu menjadi remaja terus dewasa berangkat tua,
jompo sampai berpisahnya roh dari badan ( jasad ) kemudian bermuqim di
alam kubur sambil menunggu kedatangan hari kiamat.
[2]
Kata ini pun telah menjadi bahasa sehari – hari kita.
[3]
JS. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 2000, Cet. Ke – 4, h. 363
[4]
Asal kata dunya adalah ad-Dunwa
sebagai muannats tafdhil lalu diganti waw menjadi ya.
Seperti dalam hadis tentang haji; al-Jamrah ad-Dunya ( ) artinya yang dekat dari
Mina ( al-Qaribah ila Mina - ). Lihat, Ibnu
Manzhur, Lisanul Arab, Kairo : Darul Ma’arif, t.th, jilid 2, h. 1435-7.
Senada dengan ini terungkap dalam Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah,
karangan Abi al-Husain bin Faris bin Zakaria, Beirut : Darul Fikri, 1994 /
1415, Cet. Ke- 1, h. 366. Ditambahkan oleh Majduddin Muhammad bin Ya’kub
al-Fairuzzabadi bahwa ad-dunya ( ) jamaknya dunna-a ( ), padanannya adalah al-Qurba-a
( ). Periksa, Al-Fairuzzabadi,
Al-Qamus al-Muhith, Beirut : Darul Jail, t.th, juz 4, h. 330.
[5]
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab – Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 1997, Cet. Ke- 14,
h. 426.
[6]
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Quran,
Indonesia : Maktabah Dahlan, t.th, h. 332-5.
[7]
Al- Baqi, Ibid, h. 126
[8]
Ada yang berbicara tentang keberadaan dunia, siksa dunia dan sebagainya.
[9]
Termasuk sisipan dhamir kaf ( ) sebanyak 3 kali
serta dhamir kum (
) sebanyak 1 kali.
[10]
Umumnya ungkapan ad-dunya disebut diawal, hanya 2 kali penyebutan
akhirat mendahului kata ad-dunya yaitu; al-Mukminun : 33 dan al-Qasas
: 77.
[11]
Mengenai hal diatas hanya 3 tempat yang membicarakannya dalam Alquran terkait
dengan tema ini.
[12]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, Beirut : Darul Fikri, 1992 /
1412, jilid 4, h. 477
[13]
Wahbah az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, Beirut : Darul Fikri, 1991 /
1411, juz 23, Cet. Ke- 1, h. 198.
[14]
Setan saja yang punya tenaga hebat dibanding manusia dan bersifat gaib seperti
malaikat tidak sanggup mencapainya apalagi kita yang sangat lemah ini.
[15]
Beda dengan alam. Kata ini ada terungkap dalam bentuk jamak maka dapat disebut;
alam dunia, akhirat, alam kubur dan seterusnya.
[16]
Ayat ini berbicara mengenai dakwah Musa kepada Fir’aun. Musa menghimbau, supaya
umatnya jangan sampai tertipu dengan kemewahan Fir’aun serta kaumnya. Sebab
kesenangan mereka dilandasi kedurhakaan kepada Allah. Lalu Musa menegaskan
bahwa akhirat itulah negeri yang kekal.
[17]
Ali Imran : 185
[18]
Di awal ayatnya dinyatakan tentang kehidupan sebagai permainan dan dicantumkan
kiasan seperti bunga yang segar lalu layu dan hancur. Kemudian di ujung ayat
dijelaskan yang demikian adalah kesenangan yang menipu.
[19]
Az-Zuhaili, juz 2, op. cit., h.
191 dan 193
[20]
Ibnu Katsir, ibid., jilid 1, h. 249
[21]
M. Ali as-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, Beirut : Dar al-Quran al-Karim,
1981 / 1401, jilid 1, Cet. Ke- 2, h. 249.
[22]
Al-An’am ( 6 ) : 32
[23]
Tidak terpesona dengan kehidupan yang melalaikan ini.
[24]
Muhammad ( 47 ) : 36
[25]
Lihat, al-Hadid ( 57 ) : 20
[26]
Padahal hidup yang sangat mereka cintai ini hanyalah permainan ( tidak abadi ).
[27]
Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, tt : 1974 / 1394, juz 7,
Cet. Ke- 3, h. 86
[28]
As- Shabuni, op. cit., h. 386
[29]
Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2002, Vol, 14
, Cet. Ke- 1, h. 37.
[30]
Lihat, al-Hadid ( 57 ) : 20
[31]
Al-Kahfi : 46
[32]
Lihat, at-Taghabun ( 64 ) : 15, al-Anfal
( 8 ) : 28, Harta dapat menjadi ujian dalam ayat ini disejajarkan dengan anak.
Boleh jadi karena anak, seorang berusaha mengumpulkan harta. Artinya
secara umum harta sangat menjadi ujian
ketika seseorang sudah berkeluarga.
[33]
Lihat, al-Hadid ( 57 ) : 20
[34]
Sedangkan derivasi kata ini ada 6 kali ditemukan yaitu ; tafakhur
sendiri = 1 kali , fakhur = 4
kali , fakhkhar = 1 kali.
[35]
As-Shabuni, op. cit., h. 275
[36]
Kuatnya dorongan untuk memamerkan harta dan berusaha menimbunnya sampai ajal
menjemput. Lihat, at-Takatsur 1-2.
[37]
Yunus ( 10 ) : 24, senada dengan ini lihat,
al-Kahfi ( 18 ) : 45. Jadi ada 2 ayat yang utuh memuat tamtsilan dunia.
[38]
Al-Hadid ( 57 ) : 20
[39]
Ada keunikan dalam proses pewahyuan terkait dengan lahw dan laib.
Pada masa permulaan turun kata lahw disebutkan terdahulu, masa berikutnya
kata la’ib yang didahulukan. Selain itu ada penegasan isim isyarah “
hadzihi “, seperti terungkap diatas. Begitu pula ketika proses pewahyuan
tentang menyebutkan kehidupan sebagai kesenangan ( mata’ ), pertama
disebutkan mata’ saja baru kemudian ditambahkan dengan al-ghurur.
[40]
Maksudnya menerangkan “ itulah beberapa kesenangan dunia “.
[41]
Yunus : 23
[42]
Al - Mukmin : 39
[43]
Al – Qasas : 60
[44]
Ibnu Katsir, op. cit., juz 3, h. 480
[45]
Az – Zuhaili, op. cit., h. 165
[46]
Lihat, ar-Ra’ad ( 13 ) : 26,
an- Nisa’ ( 4 ) : 77, at – Taubah ( 9 ) : 38. Surat ar- Ra’ad
berbicara tentang perbedaan rezki yang diraih manusia yang membawa si kaya lupa
diri. Sedangkan an- Nisa’ menjelaskan tentang sifat munafik yang takut berperang dan memilih kesenangan
dunia, senada juga dengan ini at – Taubah dimana Allah mencela orang
yang enggan berperang.
[47]
Tidak lagi memperhatikan hak orang lain, tidak peduli dengan sesama dan lalai
dari beramal untuk akhirat.
[48]
Perhatikan, a l - An’am ( 6 ) : 70
[49]
Al – A’raf ( 7 ) : 51
[50]
Al – Maraghi, op. cit., h. 161
[51]
Di dunia sudah tampak akibat jelek yang diterimanya maka di akhirat tentu lebih
buruk dari itu. Perhatikan juga Ali Imran ( 3 ) : 56, al – Maidah
( 5 ) : 33, 41 yang berbicara mengenai siksa dunia dan akhirat.
[52]
Sebagai realisasi dari doa fid dunya hasanah fi al-akhirah hasanah.
[53]
An – Nahl ( 16 ) : 30
[54]
Ibnu Katsir, op. cit., juz II, h. 691
[55]
Analogi ini ada benarnya. Sebagai kata kunci disini adalah, tiadanya keabadian
atau peran yang tetap bagi aktor / pelaku – manusia – itu sendiri. Dalam
sandiwara ( sinetron, film dan sebagainya )
sering peran pemainnya berobah – robah / tidak langgeng. Contoh,
sekarang berperan sebagai anak, besok sebagai bapak / ibu lalu pada lain waktu
sebagai pembantu majikan dan seterusnya. Kedua, peran yang ditampilkan itu
adalah palsu artinya tidak sesuai yang aslinya.
Misal, seseorang berperan sebagai pembunuh padahal ia tidak pernah
membunuh sama sekali, nanti kesempatan lain sebagai oarng baik lagi dan
seterusnya. Begitulah kehidupan dunia ini, pertama kita kecil, lalu tumbuh
besar, remaja, dewasa sampai masuk kubur. Berarti peran kita senantiasa
berganti dan tidak mungkin seseorang muda terus atau tua terus dan sebagainya.
[56]
Lihat, al-Baqarah ( 2 ) : 200 - 201
[57]
Hadis bersumber dari Ibnu Abbas.
[58]
Ibnu Katsir, op. cit., juz 1, h. 303
[59]
As-Shabuni, op. cit., juz 1, h. 130
[60]
Lacak. Ali Imaran ( 3 ) : 152
[61]
Ali Imran (3 ) : 148
[62]
Al – Qasas ( 28 ) : 77
[63]
Ayat diatas merupakan 1 diantara 2 ayat
yang yang dijumpai dalam Alquran dengan
mendahulukan kata akhirat dari kata dunia. Ayat terdapat dalam al – Mukminun (
23 ) : 33 yang menerangkan tentang tindakan para pemuka kafir ditengah kaumnya
yang mendustakan hari akhirat dan memang mereka sedang merasakan kemewahan
dunia.
[64]
Ibnu Katsir, op. cit.,juz 3, h. 484
Tidak ada komentar:
Posting Komentar