PRO KONTRA HERMENEUTIKA
AL-QUR’AN
Oleh: Ahmad Isnaeni*
Abstrak
Kata Kunci: Hermeneutika,
al-Qur’an
Pendahuluan
Salah satu tema krusial
yang kemudian melahirkan kontroversi di kalangan masyarakat muslim adalah
Hermeneutika. Alasan yang muncul ke permukaan adalah bahwa menurut mereka
istilah ini berasal dari Barat dan merupakan cara menafsirkan bible (injil).
Agak sulit dimengerti jika penolakan terhadap hermeneutika tersebut hanya
didasarkan pada bahwa ia berasal dari Barat. Karena sesungguhnya kita telah
menerima begitu banyak istilah asing, non Arab termasuk dari negeri Barat
seperti demokrasi, pluralitas, nasionalisme dan lain-lain. Istilah-istilah ini
bahkan telah menjadi sistem kehidupan di negeri kita. Pada sisi lain masyarakat
kita juga telah mengkonsumsi produk-produk negara asing tersebut. Akan lebih
arif jika ia dipahami maknanya lebih dulu lalu dikritisi dengan cara-cara yang
lebih santun dan ilmiah.
Argumentasi penolakan
tersebut misalnya, karena hermeneutika yang semula merupakan tradisi
interpretasi Bibel, telah disusupkan secara ilegal dalam tradisi keilmuan Islam
dan diaplikasikan untuk menggantikan metode tafsir Al-Qur`an. Sebaliknya
tradisi Islam yang asli (genuine) seperti metode penafsiran Al-Qur`an
dan tafsir-tafsir klasik menjadi sasaran hujatan dan penistaan serta mau
dibuang begitu saja layaknya sampah. Padahal, hermeneutika semestinya dikaji
dengan cermat, tidak ditelan bulat-bulat tanpa menggunakan otak, atau
menggunakan otak tapi telah tercemar dengan polusi ideologi Barat yang kafir
(kapitalisme-sekular). Karena sebenarnya hermeneutika bukan produk tradisi
keilmuan Islam, melainkan berasal dari tradisi Yahudi/Kristen, yang di kemudian
hari diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modern menjadi metode
interpretasi teks secara umum
Meskipun bermunculan
komentar yang keberatan menjadikan hermeneutika sebagai salah satu sarana
memahami kajian teks dalam Islam, kecenderungan akan "demam"
hermeneutika terus bergulir. Ini seiring dengan ungkapan Amin Abdullah, bahwa
hermeneutika telah menjadi salah satu pemikiran yang laku keras di berbagai
perguruan tinggi Islam, khususnya ketika diedarkan di UIN dan IAIN. Banyak
pelanggan telah mengkonsumsi pemikiran Barat tersebut lalu merasa ketagihan.
Ini dikarenakan hermeneutika menstimulir munculnya rasa bangga lagi hebat pada
jiwa pecandunya, seakan-akan menawarkan sesuatu yang baru, segar, dan
spektakuler. Maka hermeneutika dianggap suatu keniscayaan bagi siapa saja.
Sementara yang tidak berhemeneutika ria, dikecam dengan berbagai stigma
negatif. Misalnya dianggap "mau benarnya sendiri", atau penafsirannya
disudutkan sebagai "kesewenang-wenangan penafsiran" (interpretif
despotism).[1]
Berkaitan dengan
beberapa perbincangan di atas, tulisan ini berusaha menelusuri beberapa pokok
kajian yang berkaitan dengan hermeneutika, dari sisi pandangan masyarakat
muslim yang setuju dan yang menolaknya sebagai sarana pembacaan teks-teks
keislaman – khususnya al-Qur'an dan hadits - dengan berbagai sistem yang ada di
dalamnya. Pembahasan akan diakhiri dengan kesimpulan. Kajian ini diharapkan
dapat menempatkan hermeneutika pada posisi yang sebenarnya.
Apa Hermeneutika Itu?
Hermeneutika secara umum
dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna.[2] Upaya ini memperhitungkan
konteks kata-kata dan bahkan seluruh konteks budaya pemikiran. Kata
hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin,
dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan hermeneutic, yang berarti
menafsirkan, menterjemahkan, dan menginterpretasikan.[3] Dalam kajian Islam, kata
sinonimnya adalah tafsir, takwil, syarh, dan bayan. Ali Harb memberi
kata padanan untuk hermeneutika dengan takwil.[4] Kata bendanya hermeneia.
Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Hermes, yaitu seorang utusan
yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes berperan
mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti
manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli
tafsir Kitab Suci.[5]
Dalam The New
Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi tentang
prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of
the general principal of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika
adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah
interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu : pertama,
literal interpretation (interpretasi sesuai makna yang jelas, mengikuti
aturan tatabahasa dan konteks sejarahnya); kedua, moral
interpretation (interpretasi berdasarkan nilai-nilai etik); ketiga, allegorical
interpretation (interpretasi mengunakan makna alegoris (kiasan), tanpa
mengabaikan makna literalnya, tetapi makna literal dianggap rendah dan perlu
diangkat menuju makna kiasannya); dan keempat; anagogical
interpretation (interpretasi dengan mencoba mencari makna-makna mistis dari
angka-angka dan huruf Hebrew). Dari model-model ini, yang menjadi arus utama
sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch )
dan model alegoris (model Alexandria ).[6]
Sebelumnya, hermeneutika
merujuk pada teori dan praktik penafsiran. Ia adalah sebuah kemahiran dalam
diri seseorang dalam menggunakan instrumen sejarah, filologi,
manuskrip-teologi, dan sebagainya. Kemahiran ini secara tipikal dipergunakan
untuk memahami teks-teks yang terkait dengan waktu, cultural, atau fenomena
sejarah. Pada masa sekarang hermeneutika dijadikan landasan penafsiran terhadap
teks, yang bila dikaji lebih jauh memiliki dua pendekatan yakni linguistic dan
fenomenologi.[7]
Pada awalnya
hemerneutika digunakan oleh mereka yang berhubungan dengan kitab suci (baca
injil) dalam menafsirkan kehendak tuhan kepada manusia. Inilah yang kemudian
dikenal dengan ilmu tentang menginterpretasi kitab suci. Akan tetapi tentunya
hermeneutika tidak hanya digunakan sebatas untuk memahami kandungan kitab suci
semata, tetapi berbagai disiplin keilmuan. Richard E. Palmer, sebagaimana
dikutip oleh Muzairi memetakan hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci,
sebuah metode filologi, ilmu pemahaman linguistic, sebagai pondasi ilmu
kemanusiaan, fenomena das sein dan pemahaman eksistensial, serta sistem
penafsiran.[8]
Perkembangan
selanjutnya, hemerneutika dikenal sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti. Aristoteles pernah menyatakan bahwa kata-kata
yang kita ucapkan adalah symbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang
kita tulis adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana
terdapat kesamaan bahasa tulisan seseorang dengan yang lain, demikian pula
sebaliknya. Akan tetapi pengalaman yang ia simbolkan itu sama seperti yang ada
pada kebanyakan orang, sebagaimana imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu.[9] Jelaslah bahwa
hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa, berbicara,
dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan membuat interpretasi dengan
bahasa. Bahkan semua sisi kehidupan ini tidak terlepas dari bahasa. Sebab
itulah keberadaan hermeneutika tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan
pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya.
Dalam diskursus Islam,
hemermeneutik adalah tafsir, takwil, bayan, syarh dan sebutan
lainnya. Dalam kajian ushul al-fiqh cara atau teori memahami atau menafsirkan
teks-teks al Qur-an, hadits atau sumber lainnya dikenal dengan istilah “al-istidlal
bi al-alfazh”. Di kalangan ulama tafsir telah melahirkan tradisi penafsiran
al-Qur'an yang luar biasa, yang kemudian dikenal dengan ilmu tafsir.
Kecenderungan mereka berkonsentrasi pada pengembangan berbagai kaidah untuk menemukan
kandungan teks berdasarkan masa dan tempat turunnya. Dalam analisis tradisional
yang lebih menekankan pada aspek lafad atau teks.[10] Pada perkembangan
selanjutnya sistem ini selalu terjaga dan dianggap sebagai sebuah pendekatan
yang menghasilkan pemahaman yang benar. Pemahaman ini pada akhirnya dianggap
suatu kebenaran yang absolut (despoteisme). Asumsi inilah belakang
dianggap sebagai suatu penyelewengan dan tidak sesuai dengan logika hukum
Islam. Jika demikian, berarti ia telah mengunci teks dalam makna tertentu,
berarti itu telah merusak integritas pengarang dan teks tersebut sekaligus.
Demikian komentar dari Khaled M. Abou el Fadl, dengan memberikan kesimpulan itu
sebagai bentuk kelaliman.[11]
Kajian hermeneutika
memandang bahwa sebuah kalimat, apapun bentuknya, selalu mengandung tiga hal:
orang yang menyampaikan atau mengatakannya (mutalaffizh/mutakallim,
pengarang), bahasa itu sendiri (teks/'ibarah) dan orang yang diajak
bicara, penerima atau pembaca (mutalaqqi/sami', pembaca). Inilah
prinsip-prinsip yang ada dalam analisis Hermeneutik.[12] Dengan ungkapan lain di
dalam hermeneutika, terdapat tiga unsur yang ikut terlibat di dalamnya, yaitu
unsur author (pengarang), unsur teks dan unsur reader (pembaca).
Unsur-unsur tersebut memiliki peran dan fungsi masing-masing yang tidak dapat
ditinggalkan antara satu dengan lainnya. Bila satu unsur diabaikan dari
lainnya, maka yang terjadi adalah penyelewengan dalam pemahaman. Dalam kaitan
dengan pembacaan teehadap khazanah keislaman – khususnya al-Qurán – maka unsur
teks berarti nash syar’i yakni al-Qur’an dan hadits, unsur pengaranng di sini
adalah Allah dan ‘”Rasululllah”, dan unsur pembaca adalah umat Islam.
Hermenutika terbagi ke
dalam tiga jenis, yaitu teori hermeneutika (hermeneutika theory), filosofi hermeneutika (hermeneutika
philosophy), dan hermeneutika kritis. Hermenutika theory memuat
aturan metodologis untuk mengantarkan kepada pemahaman yang diinginkan
pengarang. Sasarannya ialah untuk meraih makna yang tepat dari teks. Dalam
klasifikasi ini, hermeneutika merupakan acuan yang mengantarkan pada pemahaman
yang akurat dan proporsional. Harapannya ialah pemahaman yang komprehensif
dengan mempertimbangkan konteks. Makna teks dikaji dari berbagai sisi, baik
morfologis, leksiologis, dan sintaksisnya. Keberadaan teks dipertanyakan asal
usul, tujuan, dan kondisi yang melingkupi pengarangnya.
Hermeneutika
philosophy bertujuan untuk menggali asumsi epistemologis dari pemahaman dan
lebih jauh lagi ke dalam aspek sejarah, tidak sekadar pada tataran pemahaman
teks, tetapi juga pengarang dan dunia pembacanya. Fakus perhatian lebih jauh
dari jenis hermeneutika di atas, yakni apa kondisi orang yang memahami teks
itu, baik sisi psikologis, sosiologis, historis, filosofis dan lainnya.
Kecenderungan ini mengarah kepada epistemologi pemahaman. Sedangkan
hermeneutika kritis merupakan pengembangan dari kedua jenis hermeneutika di
atas meskipun kajian obyek formalnya adalah sama. Letak perbedaannya ialah
penekanannya, di mana jenis ketiga ini lebih terfokus kepada determinasi-determinasi
tersebut memunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana termasuk di dalamnya penindasan dalam kehidupan
sosial-budaya-politik akibat pemaksaan pemahaman oleh kelompok tertentu. [13]
Hermeneutika dalam Perspektif
Pemikir Muslim
Hasan Hanafi
dikenal sebagai orang
pertama mengenalkan hermeneutika
dalam dunia Islam dengan karyanya
yang berkaitan dengan metode penafsiran yang bercorak baru. Pengenalan ini pada
awalnya hanya merupakan penggunaan metodologis bersifat uji coba yang terbebas
dari pengaruh positivisme dan kekhasan
hukum Islam serta yurisprudensinya yang ortodoks dan tradisionalis. Ia
memandang bahwa hermeneutika bukan hanya sekadar teori penafsiran dan
pemahaman, akan tetapi merupakan ilmu yang menerangkan penerimaan wahyu sejak
perkataan sampai pada tingkat kenyataan, serta menggambarkan pemikiran Tuhan
kepada kehidupan manusia.[14] Proses pemahaman teks ini
menurut Hasan Hanafi dilakukan setelah melakukan kritik kesejarahan. Kritik
kesejarahan dilakukan untuk menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci dalam
sejarah sebab belum tentu semua teks asli atau tidak mengalami distorsi
kepentingan ideologis maupun politis. Keaslian ini akan mempermudah pemahaman
yang tepat.
Tokoh lain adalah
Nashr Hamid Abu Zaid yang telah banyak
mengkaji hermeneutik dalam tafsir klasik, sebagaimana yang dilakukan oleh 'Abid
al-Jabiri. Abu Zaid banyak memberikan pijakan dasar dalam memahami hermeneutika
khususnya berkaitan dengan al-Qur'an. Bahkan beberapa tulisannya dianggap
sebagai horizon baru dalam hermeneutika al-Qur'an kontemporer. Ia seorang yang
akrab dengan pemikiran para tokoh hermeneutika Barat, seperti Heidegger dengan
teori hermeneutikanya, Hans George Gadamer dengan hermeneutika filosofisnya,
Schleiermacher dengan lingkaran hermeneutikanya, dan lainnya. Akan tetapi ia
tidak meninggalkan kekayaan tradisi Islam yang dapat memelopori pembaharuan dan
pemikiran kritisnya.[15]
Ali Harb merupakan tokoh
yang ikut meramaikan diskusi panjang tentang kritik teks, meskipun ia tidak
sepenuhnya memperhatikan sastra ataupun seni tetapi lebih menekankan kepada
ihwal pemikiran.[16] Sekalipun di dalam melakukan kritik teks dan
pemikirannya banyak menggunakan teori sastra terutama berkenaan dengan teori
teks, di samping filsafat. Permikirannya lebih cenderung kepada permasalahan
keterpurukan umat Islam, khususnya pemikiran di dunia Arab dalam menyikapi
kemajuan. Ia banyak menyoroti pola pemikiran dunia Arab kontemporer yang masih
berkutat dalam kerangka
kultural, nasional, ataupun keagamaan.
Tokoh Islam yang memiliki kemiripan dengan
Ali Harb ialah Muhammad Syahrur dalam hal memandang kemunduran dan
ketertinggalan dunia Arab-Islam dengan Barat karena sistem pemikiran yang
digunakan tidak mampu mengeluarkannya dari kejumudan dan taklid. Hal serupa
disampaikan oleh Khaled M. Abou el-Fadl yang menyoroti para penafsir periode
terdahulu telah melahirkan mateode penafsiran yang cenderung berkonsentrasi
pada upaya pengembangan berbagai kaidah untuk memecahkan makna teks berdasarkan
waktu dan tempat turunnya. Pelaksanaan ini berkutat pada asumsi bahwa setiap
runtutan huruf, kata, dan kalimat merupakan sesuatu yang telah matang dan
benar, tidak mungkin Tuhan salah di dalam peletakaknnya, sehingga pemahamannya
harus berangkat dari susunan kalimat tersebut. Di sinilah letak kekakuan dalam
memberi interpretasi suatu ayat, lebih-lebih berkaitan dengan hukum. Sehingga
hokum yang dihasilkan hanya meliputi maksud asal teks untuk melayani teks,
bukan dalam rangka memberi jawaban persoalan kehidupan dengan berdasarkan teks.[17] Jika demikian maka keberadaan al-Qur'an belum mampu
memberikan hidayahnya kepada umat manusia yang membutuhkan penerangan hukum.
Berikut ini akan dipaparkan dua pandangan
tokoh Islam yang dikelompokkan kepada kiri Islam yakni Nashr Hamid Abu Zaid dan
Muhammad Syahrur tentang hemerneutika. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
mengkhususkan pembahasan.
a. Nash Hamid Abu Zaid
Nashr Hamid Abu Zaid, seorang
Profesor bahasa Arab dan Studi al-Qur’an di Universitas Kairo Mesir. Ia juga
menjadi dosen tamu di Universitas Leiden Belanda, sejak tahun 1995 sampai
sekarang. Intelektual asal Mesir ini berupaya menerapkan metode analisis teks
bahasa-sastra (nahj tahlil an-nushush al-lughawiayyah al-adabiyyah)
ketika mengkaji al-Qur'an. Ia berpendapat metode tersebut satu-satunya yang
dinilai manusiawi dan berarti untuk mengkaji Islam.[18] Menurutnya Peradaban
Islam dapat dikatakan sebagai peradaban teks karena terfokus pada teks
(al-Qur’an) inilah peradaban Islam bergulir. Dengan demikian perlu adanya
dialektika yang kontinu antara teks (al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang
senantiasa berkembang secara pesat.
Paparan
Abu Zaid di atas diperkuat oleh ungkapan Muhammad Arkoun, yang menyatakan bahwa
sebuah tradisi – termasuk Islam yang di dalamnya berlandaskan nilai al-Qur’an –
akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara kontinu melalui
pengkajian ulang sejalan dengan dinamika sosial.[19] Untuk itulah pemahaman
terhadap al-Qur’an dengan berbagai metode sesuai sosial-budaya yang
melingkupinya perlu terus dilakukan sebagai inspirasi pemikiran, pergerakan dan
perilaku keagamaan. Ia menilai para ulama berlebihan di dalam menyikapi teks,
sehingga pada hasilnya membawa pemahaman yang dikotomis antara teks dan
realitas. Penilaian yang sakral terhadap teks berdampak pada penafsiran dan
pemahamannya, sementara realitas yang ada seringkali dilupakan. Ini melahirkan
suatu klaim kebenaran oleh individu, kelompok, atau madzhab tertentu ketika
memahami teks.
Di
dalam pemahaman teks, ia menggunakan dua pendekatan, yakni semiotika dan
hermeneutika. Dua metode pendekatan inilah yang kemudian menghasilkan
kesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (cultural product, al-muntaz
ats-tsaqafi).[20] Inilah yang membuat ia
dinilai sebagai tokoh kontroversial sehingga masyarakat Mesir pada awalnya menolak
dan sempat hendak mengusirnya, atau bahkan menilai kafir. Sebelum memunculkan
kesimpulan tersebut, ia memiliki pandangan tentang dua fase teks al-Qur’an yang
menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial budayanya. Fase tesebut
ialah (a) fase keterbentukan (marhalah at-Tasyakkul), pada fase ini teks
masih mengkonstruksi dirinya secara struktural dalam sistem budaya yang ada;
(b) fase pembentukan (marhalah at-tasykil) Pada fase ini terk al-Qur’an membentuk dan mengkonstruk
ulang budaya dengan sistem bahasa khusus yang berbeda dengan bahasa induknya yang kemudian mempengaruhi
sistem kebudayaan.[21]
Ia
mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika "ngaji" di Universitas
Pennsylvania ,
Philadephia antara tahun 1978-1980. Ia mengakui hermeneutika telah membuka
cakrawala pemikirannya, di mana ia bersentuhan langsung dengan karya filsafat
dan hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks yang ada. Setelah lama berkecimpung dengan literature
hermeneutika Barat , Ia lalu membahas mengenai hakikat teks, yang
merupakan persoalan mendasar dalam kajian hermeneutika.[22]
Al-Qur'an, menurut Abu Zaid adalah
Kalam Allah dalam wujud bahasa manusia, ini sebagai tujuan Allah agar maksud
dan harapannya dapat dimengerti oleh manusia.
Menurutnya, Kalam Allah itu perlu mengadaptasi dengan bahasa manusia,
jika tidak maka manusia tidak akan mampu mengetahui maksud Sang Pemberi Kalam
itu. Dan sebenarnya al-Qur'an merupakan hasil riwayat Nabi Muhammad saw. Teks
al-Qur'an ketika diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Merupakan teks Ilahi
menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi, karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Jadi teks al-Qur'an adalah
pemahaman Rasulullah saw. Atas apa yang diterimanya dari pewahyuan tersebut.[23] Dengan bahasa lain, bahwa
al-Qur'an merupakan produk budaya, budaya Arab kala itu yang dipahami oleh Nabi
Muhammad saw. Dari sini dapat dipahami bagaimana Abu Zaid cukup terpengaruh
dengan apa yang ditemukannya dalam diri Hermes yang berperan mengubah apa yang
di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Dan inilah
yang dikhawatirkan oleh kalangan Muslim lain yang menolak hermeneutika sebagai
metode pemahaman al-Qur'an.
Dengan
demikian teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang sama dengan teks-teks
lain di dalam budaya, sekalipun asalnya dari Allah. Oleh sebab itu untuk
memahaminya tidak diharuskan menggunakan metode khusus dan tertentu yang pada
akhirnya akan melahirkan pengkultusan
terhadap penafsiran. Inilah yang disebutkan oleh Khaled M. Abou el Fadl sebagai
bentuk kelaliman, karena itu akan mengunci teks dalam sebuah makna tertentu.[24] Anggapan inilah yang
merubah paradigma pemahaman al-Qur'an
klasik yang dikritik oleh Abu Zaid dengan istilah teologis-spekulatif
yang disebut sebagai "dialektika turun", yaitu memahami teks
berdasarkan sudut pandang penutur teks, sebagai kebalikan dari paradigma baru
sebagai bentuk "dialektika naik", yaitu mendekati teks dari realitas
empirik serta kulturalnya sehingga lebih obyektif ilmiah.[25]
Abu
Zaid mendirikan bangunan metode pemahaman teks - sebagaimana yang dipaparkan
oleh Sunarwoto – dengan mengkritik pola penafsiran yang dilakukan oleh
Mu'tazilah dengan pendekatan majaz, dan kelompok sufi dengan takwilnya.[26] Pembacaan teks melalui
kedua pola tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial-politik dan budaya penafsir.
Pemahaman semacam ini tetap akan dipengaruhi oleh orang yang menfsirkannya,
baik latar belakang keilmuan maupun tradisi yang berlaku pada dirinya. Abu Zaid
mengalami kegelisahan akademik ketika menyaksikan wacana keagamaan kontemporer
- khususnya di Mesir - dalam menyakapi warisan intelektual keislaman di satu
sisi, dan menghadapi gencarnya pembaruan.
Dalam
konteks ini apa yang dilalui Abu Zaid sebenarnya dilakukan pula oleh Ali Harb
bahwa di kalangan masyarakat Arab-Islam terdapat pola pemahaman yang
kontradiktif. Tipe penalaran itu ia sebut dengan nalar eksklusif ('aql
mughallaq) yang cenderung membelenggu teks dan menetapkan maknanya dan
membatasi metode dari satu sisi saja. Sehingga hasil dari penalarannya dianggap
suatu kepastian (absolut) dan berakibat pada munculnya fanatisme buta.
Sedangkan tipe kedua adalah nalar insklusif ('aql munfatih)[27] yang memandang teks tidak
hanya dinalar melalui satu sisi pandangan semata. Di sinilah akan melahirkan
pemahaman bahwa kebenaran dari penalaran itu banyak variasinya karena
kemungkinan dari hasil nalar teks memang demikian, adapun sesuatu yang benar
tetap satu.
Pemahaman yang
menempatkan teks kepada posisi pasif dan pola penalaran eksklusif akan mengubah
fungsi teks itu sendiri kepada alat untuk melegitimasi kemauan penafsir dengan
berbagai latar belakang dan alirannya, dan menjadikan pemahaman terhadap teks
mengalami kemandegan dan tidak produktif. Untuk menghindarkan yang demikian,
perlu adanya interaksi antara teks dengan sistem budaya yang ada.
Konsep lain yang dimunculkan oleh Abu Zaid
ialah tentang konsep takwil. Takwil bagi Abu Zaid adalah sisi lain dari
teks. Takwil menjadi salah satu
mekanisme cultural dan peradaban yang cukup penting di dalam menghasilkan
pengetahuan.[28]
Jika demikian berarti teks merupakan sumber pengetahuan yang dapat dihasilkan
dari penalaran dan penakwilan, sedangkan takwil lebih merupakan cara untuk
mengeluarkan kandungan pengetahuan yang ada di dalam teks. Takwil dalam
pandangan Abu Zaid,[29] adalah upaya pengungkapan
makna yang tersembunyi di balik teks (istinbat) dan berbeda dengan
tafsir yang dipahami sebagai pengungkapan makna teks berdasarkan pada dalil
atau riwayat yang hanya pada tataran eksternal teks.
Sampai di sini tampaknya Abu Zaid tidak
membedakan makna tafsir dari kebanyakan ulama tafsir yang memahami kata tafsir
sebagai upaya pencarian kandungan teks al-Qur'an berdasarkan tanda atau riwayat
yang ada di dalam teks. Ini kemudian lebih dikenal dengan istilah tafsir bi
al-ma'tsur. Sedangkan takwil adalah lebih cenderung kepada upaya nalar di
dalam memahami kandungan teks al-Qur'an yang disebut tafsir bi ar-ra'yi.
Abu Zaid menawarkan pola pembacaan teks kepada beberapa istilah, yaitu (a) takwil
untuk mengetahui makna di balik teks yang tersembunyi, ini tidak terbatas pada
sisi bahasa, tetapi konteks pemakaiannya serta konstektualitas yang
menyelimutinya; (b) talwin (ideologisasi) atau pembacaan tendensius yang
cenderung menghasilkan subyektifitas pembaca; (c) pembacaan produktif. Agar
pembacaan terhadap teks dapat menghasilkan signifikansi baru dari teks ke dalam
realitas budaya pembaca yakni pemahaman baru sesuai social-budaya st pemahaman
itu dilakukan berdasarkan makna histories teks, maka perlu diperhitungkan pola
pembacaannya, yaitu; (a) teks al-Qur'an dan dinamikanya dalam konteks
historisnya sendiri, dan (b) situasi dan cakrawala pembacaan saat ini sesuai
konteks histories budaya dan ideologisnya.[30]
b. Muhammaad Syahrur
Sebenarnya
apa yang dialami oleh Abu Zaid terdapat kemiripan dengan pengalaman Muhammad
Syahrur, seorang Profesor di jurusan Tehnik Sipil Universitas Damaskus dengan
latar belakang ilmu mekanika tanah dan teknik pondasi. Ia menunjukkan komitmen
dan konsistensinya ketika beralih menekuni studi al-Qur'an. Syahrur –
sebagaimana Abu Zaid – mengkritik kelemahan yang dilakukan para penafsir sebelumnya. Ia menilai para penafsir
terdahulu tidak ada pijakan metode ilmiah obyektif. Ia berguru kepada seorang
ahli linguistik sebagai modal dalam pengkajian al-Qur'an. Pada tahun 1980 ia
bertemu dengan dosen linguistic bernama Ja'far Dak al-Bab dalam sebuah
organisasi etnis di Uni Soviet. Pertemuan itu membawa ketertarikannya pada
studi linguistik, filsafat. Dan studi al-Qur'an. Hasilnya ia mengenal ahli
linguistik di lingkungan pemikir Arab seperti al-Farra, Abu Ali al-Farisi, dan
muridnya Ibnu Jinni serta Abdul Qahir al-Jurjani.
Untuk
menguak pemikiran yang diambil oleh Syahrur dari linguis Arab, Ja'far Dak
al-Bab telah memberikan pengantar dalam penerbitan tulisan perdana Syahrur
yakni al-Kitab wa al-Qur'an. Ja'far menggabungkan teori Ibnu Jinni dan
al-Jurjani, meski tetap dalam jalur linguistik Abu Ali al-Farisi. Pemikiran
utama dari pemikiran tersebut adalah; (1) Penggabungan antara studi diakronik
al-Jurjani dan sinkronik Ibnu Jinni; (2) Teori Ibnu Jinni yang menyatakan bahwa
bahasa tidak terbentuk seketika dan teori al-Jurjani tentang hubungan antara
bahasa dan pertumuhan pemikiran merupakan hal yang saling terkait. Dengan
demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan
pertumbuhan pemikiran manusia. Sedangkan ciri linguistik Abu Ali al-Farisi
dapat disimpulkan; (a) bahasa pada dasarnya adalah sebuah system, (b) bahasa
merupakan fenomena social dan strukturalnya terkait dengan fungsi transmisi
yang melekat pada bahasa tersebut (konteks di mana bahasa itu disampaikan), dan
(c) adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran.[31]
Beberapa
pandangan di atas menunjukkan telah terjadi modernisasi dalam pemikiran
linguistik di Arab, dan keluar dari pemikiran ortodoks yang menyatakan bahwa
bahasa Arab adalah bahasa khusus karena ia adalah bahasa suci, bahasa yang
digunakan Tuhan untuk menyampaikan wahyunya, sehingga bahasa tidak terkait
dengan pemikiran dan struktus social masyarakatnya. Sekalipun aliran-aliran di
atas cukup terkait dengan strukturalisme namun ia telah menunjukkan sikap
kritisnya sehingga unsur-unsur historis diterima dalam linguistic tanpa
menafikan adanya struktur.
Modernisasi
dalam linguistik tersebut membuka peluang bagi Syahrur untuk merumuskan
prinsip-prinsip dalam studi al-Qur'an, yakni:
1.
Memaksimalkan seluruh
potensi karakter linguistik Arab dengan berpijak pada tiga teori pendaulunya,
yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan
Abdul Qahir al-Jurjani dan syair Arab jahiliyyah.
2.
Berdasar pada produk
akhir ilmu linguistic modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak
memiliki karakter sinonim. Sebuah kata dalam koridor historisnya, mengalami dua
alterntif proses yaitu akan mengalami kehancuran atau membawa makna baru selain
makna asalnya.
3.
Jika Islam bersifat
relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga
diturunkan kepada kita yang hidup pada abad dua puluh ini. Kitab-kitab tafsir
dan fiqh yang dihasilkan generasi terdahulu harus dipandang sebagai interaksi mereka
dengan al-Kitab dalam sejarah mereka. Artinya kita perlu merumuskan kembali
kajian tafsir dan pemahaman tekstual keagamaan guna menghasilkan fiqh ‘ala’
modern meskipun tanpa harus melupakan hasil kajian ulama terdahulu.
4.
Allah tidak perlu
memberi petunjuk – berupa al-Kitab – untuk diri-Nya sendiri. Maka Dia
menurunkannya sebagai petunjuk bagi menusia. Oleh karena itu seluruh kandungan
al-Kitab pasti dapat dipahami sesuai dengan kemamuan akal. Al-Kitab diturunkan
dalam sebentuk media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman manusia. Media
tersebut berupa bahasa (linguistic) Arab murni (al-lisan al-Arab al-Mubin).
Tidak ada kontradiksi antara bahasa dan pemikiran, maka tidak ada ayat yang
tidak bisa dipahami dan pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif,
histories, dan temporal. Jika terdapat ayat yang tidak mampu ditembus oleh
pemahaman manusia, maka fungsi al-Kitab sebagai petunjuk belum dapat dirasakan.
5.
Tidak ada pertentangan
akal dan wahyu, dan tidak ada pertentangan wahyu dan realitas yang berupa
kebenaran informasi dan rasionalitas penetapan hukum.
6.
Lebih menghormati
akal pembaca daripada kepentingan
tertentu.[32]
Tawaran
Syahrur di atas mengakibatkan al-Qur’an harus dipahami berdasarkan metodologi
ilmiah. Termasuk di dalamnya adalah pendekatan filsafat dengan berbagai
cabangnya, dan pendekatan kebahasaan. Syahrur membedakan antara konsep
al-Qur’an dengan al-Kitab, menurutnya al-Kitab
bukan hasil teks budaya manusia, tetapi merupakan wujud teks al-Kitab.
Karena al-Kitab merupakan Kalam Allah, dan Allah bersifat absolut, dan memiliki
sifat kesempurnaan, maka Kalam tersebut yang terwujud dalam al-Kitab memiliki
nilai absolut. Ini semua berwujud pada teks berbahasa Arab yang merupakan hasil
budaya manusia yang tidak lepas dari struktur nalar dan kondisi sosial. Dengan
demikian al-Kitab menngandunng unsur absolut ilahiah, sedangkan pemahaman
terhadap teks bersifat relatif. Relatifitas dalam pandangan Syahrur ialah
kerangka hubungan antara pembaca dengan teks al-Kitab yang berbahasa Arab, dan
bukan al-Kitab itu secara hakiki.
Antara
Abu Zaid dan Syahrur
Al-Kitab
– Syahrur membedakannya dengan al-Qur’an – menurut pemikiran Syahrur bukan
merupakan teks budaya dalam pengertian yang dihasilkan oleh manusia, tetapi
wujud teks al-Kitab adalah teks berbahasa Arab. Bahasa Arab merupakan hasil
budaya masyarakat Arab yang terikat dengan struktur nalar dan sosial
masyarakatnya. Sebenarnya sama dengan apa yang disampaikan oleh Abu Zaid yang
menyatakan bahwa al-Qurán adalah produk budaya. Suatu pemikiran yang berseberangan
dengan kesepakatan ulama di kalangan umat Islam dan seakan menghilangkan nilai
kesakralan al-Qur’an. Berbeda dengan Syahrur, Abu Zaid memiliki dalil logika
sendiri yang beralasan bahwa al-Qur’an mengalami dua fase yang menggambarkan
dialektika teks dengan realitas sosial-budayanya.
Syahrur
menyimpulkan bahwa kandungan al-Kitab (al-muhtawa) mengandung unsur
ilahiah yang absolut, namun pada sisi pemahaman terhadapnya bersifat manusiawi
yang relatif. Manusia tidak diberi kemampuan untuk menangkap seluruh kandungan
wahyu yang absolut, untuk itulah Allah telah menurunkan wahyu dengan perantara
yang memungkinkan manusia mampu memahaminya yaitu bahasa. Inilah yang dimaksud
relatifitas dalam kerangka pemikiran Syahrur dalam kaitannya antara pembaca
dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab.
Hubungan
pembaca dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab mewajibkan adanya ilmu bahasa
sebagai sebuah metode penafsiran untuk meyelami makna al-Qur’an. Syahrur
menetapkan pemikiran linguistik kontemporer sebagai landasan. Ini sebagai
bentuk konsistensi Syahrur tentang temporalitas pemahaman. Syahrur mengajak
kita yang hidup di masa kontemporer untuk menggunakan seluruh pemikiran
kontemporer sebagai sarana memahami kandungan al-Qur’an. Tetapi tentunya tidak
semua teori kontemporer bisa digunakan, dalam hal ini harus disesuaikan dengan
kebutuhan.
Syahrur
menyadari akan keberadaan al-Kitab, yakni sepanjang zaman dan tempat, untuk
itulah ia mengajak umat Islam dalam memahami kandungan al-Kitab itu disesuaikan
dengan kondisi zaman dan tempat. Tidak mesti mengekor kepada hasil penafsiran
atau pemahaman di masa Rasulullah. Meskipun ketika mengambil pemahaman tidak
slah bila merujuk kepadanya. Pemahaman yang dilakukan Nabi Muhammad dan para
sahabatnya merupakan contoh hasil pemikiran tentang kandungan al-Qu’an dalam
rangka menyelesaikan permasalahan yang ada kala itu. Persoalan berbeda, tentu
cara penyelesaiannya pun berbeda, meskipun hasil pemahamannya bermuara dari
satu sumber yang sama. Pemikiran Syahrur di atas dapat dikatakan sama dengan
pemaparan Abu Zaid tentang pola pemahaman terhadap al-Qur’an, ia mengajak umat
Islam untuk memahami kandungan al-Qur’an harus mendasarkan pada kondisi
masyarakat dan juga peradaban bangsa Arab. Karena al-Qur’an yang kita baca
sekarang ini – menurut Abu Zaid – merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh
perkembangan peradaban Arab pada saat itu, dan selanjutnya ia menuntun menuju
satu budaya baru yakni budaya Islam. Atas pemikiran ini pula, Abu Zaid telah
dinilai mengingkari aspek sakralitas al-Qur’an, yang menganggapnya sebagai teks
manusia (budaya).
Usaha
yang dilakukan oleh Syahrur dengan hermeneutikanya – seperti yang dilakukan Abu
Zaid, juga menitikberatkan pada linguistik dan hermeneutika, baru kepada
konteks sejarah, budaya, sosial-politik, di dalam memahami teks al-Qur’an-
berkaitan dengan fiqh Islam pada tema gender, ia menggunakan analisis
struktural yang luar biasa terhadap teks al-Qur’an. Ia berbekal linguistik
kontemporer mampu menemukan struktur khas teks al-Qur’an dan memandang tidak ada
satupun yang bernilai sia-sia. Setelah itu ia menggunakan filsafat dan ilmu
pengetahuan kontemporer di dalam menemukan makna totalitas yang dituju oleh
teks. Keilmuan kontemporer di maksud misalnya filsafat, sosiologi, antropologi,
dan politik, yang ditempatkannya dalam dialektika kritis dengan makna teks
untuk menuju pemahaman yang lebih baik. Hasilnya memberi pemahaman bahwa
al-Qur’an tidak pernah bertentangan dengan akal atau teori ilmu pengetahuan
manapun.
Hermeneutik
dalam Perspektif Pengingkarnya
Seiring dengan hegemoni peradaban Barat
atas Dunia Islam, hermeneutika-pun mengalami perkembangan lebih jauh lagi,
yakni diaplikasikan oleh para intelektual muslim liberal terhadap Al-Qur`an.
Pelopornya adalah para modernis (pembaharu) muslim abad ke-19 M, seperti Sayyid
Ahmad Khan, Ameer Ali, Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad Abduh. Pada abad
ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan
karya-karya hermeneutika. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid
Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan
metode hermeneutika[33]
Freidrich Scheiermacher dianggap sebagai
bapak hermeneutika modern yang juga teolog, mengembangkan hermeneutika sebagai
alat untuk mengkaji al-Kitab (Bibel) dengan karyanya Hermeneutics and
Criticism, sebuah karya tentang metodologi kritik teks Perjanjian Baru.[34] Para Sarjana Muslim
kemudian menilai kemunculannya ini merupakan sarana untuk menumbuhkembangkan
gagasan Barat tentang relativisme dan
antikemapanan. Satu hal yang cukup amat penting ilalah bahwa itu sebuah
metodologi yang tidak menghormati nilai kesakralan, sebagaimana ketika
digunakan untuk membongkar Injil, bukan dari sisi pemahamannya saja akan tetapi
terjadi pada teksnya juga.
Hermeneutika,
sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran
yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks,
untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu
saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan
hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema
pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat,
lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas
historisnya.
Fahrudin Faiz
menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulum
Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum Al-Qur`an telah
membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an
dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul,
nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap
aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Tapi, Faiz menyatakan
bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus
ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan
kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel
kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari
masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.[35]
Hermeneutika al-Qur`an
seperti yang diuraikan di atas wajib ditolak berdasarkan beberapa alasan
berikut :
a. Hermeneutika Produk
Orang Kafir
Hermeneutika sebenarnya
sejak awal harus dicurigai, karena bukan berasal dari tradisi keilmuan Islam,
melainkan dari tradisi keilmuan kafir, yaitu kaum Yahudi dan Kristen, yang
digunakan sebagai metode untuk menafsirkan kitab agama mereka (Bible). Allah
SWT berfirman (artinya) : "Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah."
(QS Al-Hasyr [59] : 7)
Mafhum
mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat itu, adalah "apa yang diberikan
selain Rasul kepadamu, maka janganlah kamu terima dia." (wa maa ataakum
min ghairi ar-rasuul fa-laa ta’khudzuuhu).[36] Maka jelaslah bahwa
hermeneutika yang tidak datang dari Rasul, haram hukumnya diterima oleh umat
Islam. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra. pernah memegang selembar
Taurat. Nabi saw. melihatnya lalu bersabda,"Tidakkah aku telah
mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak tercemar dan
tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia tidak bisa
berbuat apa-apa selain mengikuti aku." [37]
Jika lembaran-lembaran
Taurat saja ditolak oleh Islam, maka lebih-lebih lagi (min baabi aula)
metodologi tafsirnya alias hermeneutika. Namun sebagai catatan, Islam
membolehkan kita mengadopsi sesuatu dari orang kafir selama tidak mengandung
muatan pandangan hidup asing (value-free), seperti sains dan teknologi.
Di sinilah makna sabda Nabi saw. : Antum a’lamu bi-umuuri dunyaakum (Kamu
lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR Muslim). Adapun segala ide atau benda
yang mengandung muatan pandangan hidup asing (value-bond/value-laden),
seperti hermeneutika, Islam tidak dapat menerimanya.
Hermeneutika bukan
termasuk sains dan teknologi yang bersifat universal, melainkan termasuk dalam
peradaban (hadharah) yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan kufur yang
bertentangan dengan Islam.
b. Hermeneutika Tidak
Tepat Untuk Menafsirkan Al-Qur`an
Barangkali hermeneutika
memang cocok (compatible) dengan Bible, yang sudah kehilangan nilai
orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti kontradiksi ayat dengan ilmu pengetahuan.
Hermeneutika dapat diumpamakan tongkat untuk orang buta (cacat). Itu memang
cocok dan sudah seharusnya demikian. Contoh, dalam Mazmur (Pasal) 93 ayat 1
tertulis,"Yea, the world is established, it shall never be moved."
Ayat ini menerangan bumi tidak bergerak, yakni sebagai pusat tatasurya (geosentris).
Ayat ini secara literal bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang
menteorikan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Di sinilah
hermeneutika diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris
(kiasan), bukan dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan
pemahaman atau bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin
memang cocok untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya.
Tapi tongkat tidaklah
diperlukan untuk orang yang matanya sehat. Al-Qur`an tidak memerlukan
hermeneutika. Karena Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak
mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible. Allah SWT berfirman
menegaskan di dalam surat
al-Hijr ayat 9 yang menjamin keutuhan dan keamanan al-Qur'an. Jadi menerapkan
hermeneutika untuk menginterpretasikan Al-Qur`an, adalah tidak cocok (incompatible).
Menurut Wan Mohd. Nur
Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dari masalah-masalah
besar, yaitu : (1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh
para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti materiil
teks-teks yang paling awal, (2) tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran
yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, (3)
tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu.
Ketiga masalah besar yang dialami Bible ini, tidak dialami oleh Al-Qur`an.[38]
Sesuatu yang mengerikan
adalah, ada sebagian pemikir liberal yang kemudian mencoba membuktikan bahwa
Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana Bible. Tujuannya supaya penggunaan
hermeneutika menemukan alasannya yang rasional. Mereka menggugat otentisitas
teks Al-Qur`an yang disebut-sebut sebagai hasil dari hegemoni Quraisy, yang
katanya bermotifkan politik belaka. Jelas ini sikap taqlid yang berbahaya. Ini
dapat diumpamakan seperti orang yang sebenarnya bermata sehat, tapi ingin
memakai tongkat untuk orang buta, supaya keren dan terlihat hebat. Akhirnya
orang itu pergi ke rumah sakit untuk membutakan matanya, agar punya alasan kuat
untuk memakai tongkat orang buta.
c. Hermeneutika Menguatkan
Sekularisme
Dalam praktiknya untuk
menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru mengokohkan sesuatu yang seharusnya
dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni sekularisme-liberalisme di Dunia Islam.
Sebagai contoh kasus, ingat kembali kasus draft CLD KHI (Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Draft tersebut
telah menghasilkan beberapa pasal berbahaya dan kontroversial. Misalnya,
mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris laki-laki dan
perempuan (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam waktu tertentu alias
membolehkan kawin kontrak (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama
secara bebas (pasal 54), dan sebagainya.
Pasal-pasal ini lahir
karena metodologi yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an adalah hermeneutika.
Dengan hermeneutika, ayat-ayat Al-Qur`an ditundukkan pada sejumlah prinsip yang
sekaligus merupakan pokok-pokok ide sekularisme. Menurut para penggagas CLD
KHI, sejumlah ide yang menjadi paradigma draft itu adalah : (1) kesetaraan
gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia, dan (4) demokrasi. Dari sini
jelaslah pola kerja hermeneutika dalam memperlakukan ayat Al-Qur`an di satu
sisi, dengan ideologi Barat di sisi lain. Modus hermeneutika tidak lain dan
tidak bukan adalah menyesuaikan Al-Qur`an dengan ideologi Barat, atau praktik
ideologi Barat dalam realitas. Ibaratnya, Al-Qur`an sekedar ’makmum’, sementara
’imamnya’ adalah ideologi kapitalisme-sekular. Apapun gerakan dan doa sang
imam, makmum wajib mengikutinya dengan seksama, tanpa menyelisihinya apalagi
mendahuluinya. Inilah bentuk "sholat jamaah" yang bid’ah dholalah dan
munkar yang menjadi pola kerja khas hermeneutika. Kemungkaran keji inilah yang
sering mereka sebut sebagai "kontekstualisasi Al-Qur`an" untuk
menyesatkan umat Islam.
Hasil akhir dari
aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu saja bukan untuk kepentingan umat
Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru untuk
menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan dominasi
sekularisme di Dunia Islam.
Sebuah Kompromi
Berdasarkan beberapa uraian di atas,
dapat dipahami bahwa
hermeneutika itu tidak lain adalah suatu metode pemahaman, metode
memahami suatu pemahaman yang didasarkan pada beberapa langkah dan ciri
khasnya, sebagai sarana untuk menguak kandungan teks tertentu, termasuk teks
al-Qur’an. Di dalam menyikapi dua kutub umat Islam yang berkomentar tentang
hermeneutika sebenarnya terdapat beberapa cacatan yang dapat diambil, yakni :
1.
Benar bahwa hermeneutika
merupakan produk Barat, sebagai alat memahami Bibel, akan tetapi tentunya tidak
serta-merta harus dicemooh atau dinilai kafir bagi penggunanya, karena
bagaimanapun ia hanya sebatas sarana pemahaman. Sebab hermeneutika saat
diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan,
yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, dalam istilah Ulum
Al-Qur`an telah dibahas secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf
Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul,
nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap
aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Dan di sinilah perlu
ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan
kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel
kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari
masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
2.
Bagi pengguna
heremenutika perlu menyadari bahwa al-Qur’an merupakan suatu Kitab suci yang
memiliki nilai sakral ilahiah yang perlu dijaga. Prinsip hermeneutika yang
mempertanyakan keorisinalitasan al-Qur’an karena ada ayat dinilai berpihak pada
otoritas tertentu, sehingga perlu direduksi – seperti halnya Injil – maka itu
perlu ditinjau kembali. Sebab Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan
tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible.
Penutup
Hermeneutika merupakan suatu pola pemahaman
teks dari hasil pemikiran manusia. Suatu sarana untuk sampai kepada makna yang
terkandung di dalam suatu teks dengan beberapa langkah dan tekniknya. Meskipun
dinilai sebagai produk Barat akan tetapi tidak mesti dinafikan, karena dalam
Islam dituntut mengembangkan kreatifitas pemikiran manusia. Sebagai hasil
kreatifitas pemikiran itu ialah teori hermeneutika yang telah terbukti mampu
melahirkan pemahaman baru yang berdampak pada peradaban yang lebih maju. Dalam
kaitan dengan pemahaman teks al-Qur’an, penggunaan hermeneutika tidak perlu
dikhawatirkan meski akan bermunculan penfasiran berbeda-beda. Ada pepatah mengatakan: “likulli maqal
maqam wa li kulli maqam maqal”. Kesadaran akan kemukjizatan dan
keorisinalitasan al-Qur’an juga harus tetap dijunjung tinggi. Wallahu a’lam.
Daftar Bacaan
Abdullah, M. Amin, 'Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa
Keagamaan' dalam Kholed M. Abou el-Fadl,
Atas Nama Tuhan, Pent. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2004, cet. I.
Bleicher, Joseph, Contemporary Hermeneutics, London : Routledge and
Kegan Paul, 1980.
Abou el-Fadl, Kholed M., Atas
Nama Tuhan, Pent. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qurán; Tema-tema Kontroversial,
Yogyakarta : eLSAQ, 2005.
Fanani, Ahmad Fuad, Islam Madzhab Kritis; Menggagas
Keberagamaan Liberatif, Jakarta
: Kompas, 2004.
Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, Pent. Sunarwoto Dema, Yogyakarta : LKiS, 2003, cet. I.
Howard, Roy J., Hermeneutika, Pengantar Teori-teori Pemahaman
Kontemporer, Pent. Kusmana dan M.S. Nasrullah, Bandung : Nuansa, 2000, cet. I.
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Dominasi Kristen ke
Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta
: Gema Insani Press, 2005.
Khalis S, Mohammad Nur, "Nashr Abu Zaid; Beberapa Pembacan
terhadap Turats Arab" , dalam Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika
Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas
Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, Jakarta : ICIP, 2004,
cet. I.
Mustaqim, Abdul, &
Syamsudin, Sahiron, (Ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru
Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta :
Tiara Wacana Yogya, 2002.
-------, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran
Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta
: Nun Pustaka , 2003.
Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron
Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur'an Madzhab Yogya, Yogyakarta
: Islamika, 2003, .
Sunarwoto, "Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi
Studi-studi al-Qur'an" dalam Sahiron Syamsuddin dkk.
Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah
al-ahali, Damaskus : al-Ahali, 1990.
Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Abu Zaid, Nashr Hamid, Naqd al-Khitab ad-Dini, Kairo : Sina
li an-Nasyr, 1992.
-------, Mafhum an-Nash; Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, Beirut : Markaz
ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994.
-------, Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat at-Ta'wil, Beirut : Markaz
ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994.
------, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan
dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur
dan Khorian Nahdliyin, Jakarta
: ICIP, 2004, cet. I.
* Penulis adalah dosen
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandarlampung, mengajar mata kuliah Hadits.
S1-nya diselesaikan di IAIN Raden Intan Bandarlampung Fakultas Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadits. S2-nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
[1]
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qurán; Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta : eLSAQ,
2005), h. xix.
[2] Joseph
Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London : Routledge and Kegan Paul,
1980), h. 12
[3] Ibid.
[4] Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Pent.
Sunarwoto Dema, (Yogyakarta : LKiS, 2003),
cet. I, h. 2.
[5] E.
Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius,
1999), h. 23.
[6] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari
Dominasi Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), h.
290-292
[7] Roy J.
Howard, Hermeneutika, Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer, Pent.
Kusmana dan M.S. Nasrullah, (Bandung
: Nuansa, 2000), cet. I, h. 15.
[8]
Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika
Al-Qur'an Madzhab Yogya, (Yogyakarta :
Islamika, 2003), Cet. I, H. 54-55.
[9] E. Sumaryono, Op.Cit., h. 24.
[10] Ibid.,
h. 178.
[11] Ibid.,
h. 137.
[12] M. Amin
Abdullah, 'Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan' dalam
Kholed M. Abou el-Fadl, Atas Nama
Tuhan, Pent. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta
: Serambi Ilmu Semesta, 2004), cet. I, h. vii-x.
[13] Fahruddin Faiz, Op.Cit., h. 7-10.
[14]
Muzairi, Op.Cit., h. 60.
[15]
Mohammad Nur Khalis S, "Nashr Abu Zaid; Beberapa Pembacan terhadap Turats
Arab" , dalam Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif,
Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus
Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, (Jakarta : ICIP, 2004), cet. I, h. xv.
[16] Ali
Harb, Op.Cit., h. 3-15.
[17] Khaled
M. Abou el Fadl, Op.Cit., h. 179.
[18] Nashr
Hamid Abu Zaid Mafhum an-Nash; Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, (Beirut :
Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994), h. 27.
[19] Ahmad
Fuad Fanani, Islam Madzhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, ( Jakarta : Kompas, 2004),
h. 92.
[20]
Fahruddin Faiz, Op.Cit., h. 99.
[21] Ibid.,
h. 100.
[22] Nashr
Hamid Abu Zaid, Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat at-Ta'wil, (Beirut :
Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994), h. 13-14.
[23]
Sunarwoto, Op.Cit., h. 108.
[24] Khaled
M. Abou el Fadl, Op.Cit., h. 137.
[25] Nashr
Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nas ……h. 29-30.
[26]
Sunarwoto, "Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-studi
al-Qur'an" dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Op.Cit., h. 104.
[27] Ali
Harb, Op.Cit., h. 15.
[28] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash,
Op.Cit., h. 229-241.
[29] Ibid.,
h. 219-225.
[30] Nashr
Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab ad-Dini, (Kairo : Sina li an-Nasyr,
1992), h. 114.
[31]
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah al-ahali, (Damaskus
: al-Ahali, 1990), h. 21-22. Sunarwoto, Op.Cit., h. 126.
[32] Ibid.,
h. 44-45.
[33] Abdul
Mustaqim, & Sahiron Syamsudin, (Ed),
Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 149-167. Lihat
juga Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an
Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta
: Nun Pustaka , 2003), h. 104-117.
[34]
Kholed M. Abou el-Fadl, Op.Cit., h.
179.
[35]
Fahruddin Faiz, Op.Cit., h. 18..
[36]
Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III, bab Madzhab
Ash-Shahabi.
[37]
Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizb Al-Tahrir.
[38] Adian
Husaini, Op.Cit., h. 304.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar