Kamis, 15 Maret 2012

PRO KONTRA HERMENEUTIKA AL-QUR’AN


PRO KONTRA HERMENEUTIKA AL-QUR’AN

Oleh: Ahmad Isnaeni*

Abstrak

Para ilmuan atau ulama tidak banyak mempertentangkan bahwa "ilmu itu bebas nilai". Makna dari ungkapan ini paling tidak menyimpulkan akan kenetralan sutu ilmu, teori, metodologi atau seperangkat pengetahuan lainnya. Kebenaran tidak pernah memihak, hanya obyektifitaslah yang dituntut di dalamnya. Hal ini tampaknya, tidak sepenuhnya berlaku bagi hermeneutika, yang tidak lain sebagai metodologi untuk memahami suatu teks –termasuk teks keagamaan. Banyak pertentangan yang mengemuka ketika hermeneutika hendak digunakan dalam memahami teks keagaman khususnya terhadap teks keagamaan Islam. Gelombang penolakan itu muncul dari kalangan Islam yang memandang hermeneutika sebagai produk non-muslim atau orang kafir dan merupakan alat untuk memahami Bibel dan tradisi intelektual Kristen. Problema ini lebih menarik lagi, ketika dibandingkan dengan filsafat –yang konon berasal dari Yunani, yang notebene Kristen atau Barat. Tetapi perjalanan filsafat untuk masuk ke dunia pemikiran Islam tidak sesulit hermeneutik.

Kata Kunci: Hermeneutika, al-Qur’an


Pendahuluan
Salah satu tema krusial yang kemudian melahirkan kontroversi di kalangan masyarakat muslim adalah Hermeneutika. Alasan yang muncul ke permukaan adalah bahwa menurut mereka istilah ini berasal dari Barat dan merupakan cara menafsirkan bible (injil). Agak sulit dimengerti jika penolakan terhadap hermeneutika tersebut hanya didasarkan pada bahwa ia berasal dari Barat. Karena sesungguhnya kita telah menerima begitu banyak istilah asing, non Arab termasuk dari negeri Barat seperti demokrasi, pluralitas, nasionalisme dan lain-lain. Istilah-istilah ini bahkan telah menjadi sistem kehidupan di negeri kita. Pada sisi lain masyarakat kita juga telah mengkonsumsi produk-produk negara asing tersebut. Akan lebih arif jika ia dipahami maknanya lebih dulu lalu dikritisi dengan cara-cara yang lebih santun dan ilmiah.
Argumentasi penolakan tersebut misalnya, karena hermeneutika yang semula merupakan tradisi interpretasi Bibel, telah disusupkan secara ilegal dalam tradisi keilmuan Islam dan diaplikasikan untuk menggantikan metode tafsir Al-Qur`an. Sebaliknya tradisi Islam yang asli (genuine) seperti metode penafsiran Al-Qur`an dan tafsir-tafsir klasik menjadi sasaran hujatan dan penistaan serta mau dibuang begitu saja layaknya sampah. Padahal, hermeneutika semestinya dikaji dengan cermat, tidak ditelan bulat-bulat tanpa menggunakan otak, atau menggunakan otak tapi telah tercemar dengan polusi ideologi Barat yang kafir (kapitalisme-sekular). Karena sebenarnya hermeneutika bukan produk tradisi keilmuan Islam, melainkan berasal dari tradisi Yahudi/Kristen, yang di kemudian hari diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modern menjadi metode interpretasi teks secara umum
Meskipun bermunculan komentar yang keberatan menjadikan hermeneutika sebagai salah satu sarana memahami kajian teks dalam Islam, kecenderungan akan "demam" hermeneutika terus bergulir. Ini seiring dengan ungkapan Amin Abdullah, bahwa hermeneutika telah menjadi salah satu pemikiran yang laku keras di berbagai perguruan tinggi Islam, khususnya ketika diedarkan di UIN dan IAIN. Banyak pelanggan telah mengkonsumsi pemikiran Barat tersebut lalu merasa ketagihan. Ini dikarenakan hermeneutika menstimulir munculnya rasa bangga lagi hebat pada jiwa pecandunya, seakan-akan menawarkan sesuatu yang baru, segar, dan spektakuler. Maka hermeneutika dianggap suatu keniscayaan bagi siapa saja. Sementara yang tidak berhemeneutika ria, dikecam dengan berbagai stigma negatif. Misalnya dianggap "mau benarnya sendiri", atau penafsirannya disudutkan sebagai "kesewenang-wenangan penafsiran" (interpretif despotism).[1]
Berkaitan dengan beberapa perbincangan di atas, tulisan ini berusaha menelusuri beberapa pokok kajian yang berkaitan dengan hermeneutika, dari sisi pandangan masyarakat muslim yang setuju dan yang menolaknya sebagai sarana pembacaan teks-teks keislaman – khususnya al-Qur'an dan hadits - dengan berbagai sistem yang ada di dalamnya. Pembahasan akan diakhiri dengan kesimpulan. Kajian ini diharapkan dapat menempatkan hermeneutika pada posisi yang sebenarnya.


Apa Hermeneutika Itu?
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna.[2] Upaya ini memperhitungkan konteks kata-kata dan bahkan seluruh konteks budaya pemikiran. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin, dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan hermeneutic, yang berarti menafsirkan, menterjemahkan, dan menginterpretasikan.[3] Dalam kajian Islam, kata sinonimnya adalah tafsir, takwil, syarh, dan bayan. Ali Harb memberi kata padanan untuk hermeneutika dengan takwil.[4] Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani yakni Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli tafsir Kitab Suci.[5]
Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of the general principal of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu : pertama, literal interpretation (interpretasi sesuai makna yang jelas, mengikuti aturan tatabahasa dan konteks sejarahnya); kedua, moral interpretation (interpretasi berdasarkan nilai-nilai etik); ketiga, allegorical interpretation (interpretasi mengunakan makna alegoris (kiasan), tanpa mengabaikan makna literalnya, tetapi makna literal dianggap rendah dan perlu diangkat menuju makna kiasannya); dan keempat; anagogical interpretation (interpretasi dengan mencoba mencari makna-makna mistis dari angka-angka dan huruf Hebrew). Dari model-model ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria).[6]
Sebelumnya, hermeneutika merujuk pada teori dan praktik penafsiran. Ia adalah sebuah kemahiran dalam diri seseorang dalam menggunakan instrumen sejarah, filologi, manuskrip-teologi, dan sebagainya. Kemahiran ini secara tipikal dipergunakan untuk memahami teks-teks yang terkait dengan waktu, cultural, atau fenomena sejarah. Pada masa sekarang hermeneutika dijadikan landasan penafsiran terhadap teks, yang bila dikaji lebih jauh memiliki dua pendekatan yakni linguistic dan fenomenologi.[7] 
Pada awalnya hemerneutika digunakan oleh mereka yang berhubungan dengan kitab suci (baca injil) dalam menafsirkan kehendak tuhan kepada manusia. Inilah yang kemudian dikenal dengan ilmu tentang menginterpretasi kitab suci. Akan tetapi tentunya hermeneutika tidak hanya digunakan sebatas untuk memahami kandungan kitab suci semata, tetapi berbagai disiplin keilmuan. Richard E. Palmer, sebagaimana dikutip oleh Muzairi memetakan hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci, sebuah metode filologi, ilmu pemahaman linguistic, sebagai pondasi ilmu kemanusiaan, fenomena das sein dan pemahaman eksistensial, serta sistem penafsiran.[8]
Perkembangan selanjutnya, hemerneutika dikenal sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Aristoteles pernah menyatakan bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah symbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana terdapat kesamaan bahasa tulisan seseorang dengan yang lain, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi pengalaman yang ia simbolkan itu sama seperti yang ada pada kebanyakan orang, sebagaimana imajinasi kita  untuk menggambarkan sesuatu.[9] Jelaslah bahwa hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui bahasa, berbicara, dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan membuat interpretasi dengan bahasa. Bahkan semua sisi kehidupan ini tidak terlepas dari bahasa. Sebab itulah keberadaan hermeneutika tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya.
Dalam diskursus Islam, hemermeneutik adalah tafsir, takwil, bayan, syarh dan sebutan lainnya. Dalam kajian ushul al-fiqh cara atau teori memahami atau menafsirkan teks-teks al Qur-an, hadits atau sumber lainnya dikenal dengan istilah “al-istidlal bi al-alfazh”. Di kalangan ulama tafsir telah melahirkan tradisi penafsiran al-Qur'an yang luar biasa, yang kemudian dikenal dengan ilmu tafsir. Kecenderungan mereka berkonsentrasi pada pengembangan berbagai kaidah untuk menemukan kandungan teks berdasarkan masa dan tempat turunnya. Dalam analisis tradisional yang lebih menekankan pada aspek lafad atau teks.[10] Pada perkembangan selanjutnya sistem ini selalu terjaga dan dianggap sebagai sebuah pendekatan yang menghasilkan pemahaman yang benar. Pemahaman ini pada akhirnya dianggap suatu kebenaran yang absolut (despoteisme). Asumsi inilah belakang dianggap sebagai suatu penyelewengan dan tidak sesuai dengan logika hukum Islam. Jika demikian, berarti ia telah mengunci teks dalam makna tertentu, berarti itu telah merusak integritas pengarang dan teks tersebut sekaligus. Demikian komentar dari Khaled M. Abou el Fadl, dengan memberikan kesimpulan itu sebagai bentuk kelaliman.[11]
Kajian hermeneutika memandang bahwa sebuah kalimat, apapun bentuknya, selalu mengandung tiga hal: orang yang menyampaikan atau mengatakannya (mutalaffizh/mutakallim, pengarang), bahasa itu sendiri (teks/'ibarah) dan orang yang diajak bicara, penerima atau pembaca (mutalaqqi/sami', pembaca). Inilah prinsip-prinsip yang ada dalam analisis Hermeneutik.[12] Dengan ungkapan lain di dalam hermeneutika, terdapat tiga unsur yang ikut terlibat di dalamnya, yaitu unsur author (pengarang), unsur teks dan unsur reader (pembaca). Unsur-unsur tersebut memiliki peran dan fungsi masing-masing yang tidak dapat ditinggalkan antara satu dengan lainnya. Bila satu unsur diabaikan dari lainnya, maka yang terjadi adalah penyelewengan dalam pemahaman. Dalam kaitan dengan pembacaan teehadap khazanah keislaman – khususnya al-Qurán – maka unsur teks berarti nash syar’i yakni al-Qur’an dan hadits, unsur pengaranng di sini adalah Allah dan ‘”Rasululllah”, dan unsur pembaca adalah umat Islam.
Hermenutika terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu teori hermeneutika (hermeneutika theory),  filosofi hermeneutika (hermeneutika philosophy), dan hermeneutika kritis. Hermenutika theory memuat aturan metodologis untuk mengantarkan kepada pemahaman yang diinginkan pengarang. Sasarannya ialah untuk meraih makna yang tepat dari teks. Dalam klasifikasi ini, hermeneutika merupakan acuan yang mengantarkan pada pemahaman yang akurat dan proporsional. Harapannya ialah pemahaman yang komprehensif dengan mempertimbangkan konteks. Makna teks dikaji dari berbagai sisi, baik morfologis, leksiologis, dan sintaksisnya. Keberadaan teks dipertanyakan asal usul, tujuan, dan kondisi yang melingkupi pengarangnya.
Hermeneutika philosophy bertujuan untuk menggali asumsi epistemologis dari pemahaman dan lebih jauh lagi ke dalam aspek sejarah, tidak sekadar pada tataran pemahaman teks, tetapi juga pengarang dan dunia pembacanya. Fakus perhatian lebih jauh dari jenis hermeneutika di atas, yakni apa kondisi orang yang memahami teks itu, baik sisi psikologis, sosiologis, historis, filosofis dan lainnya. Kecenderungan ini mengarah kepada epistemologi pemahaman. Sedangkan hermeneutika kritis merupakan pengembangan dari kedua jenis hermeneutika di atas meskipun kajian obyek formalnya adalah sama. Letak perbedaannya ialah penekanannya, di mana jenis ketiga ini lebih terfokus kepada determinasi-determinasi tersebut memunculkan alienasi, diskriminasi dan hegemoni wacana termasuk  di dalamnya penindasan dalam kehidupan sosial-budaya-politik akibat pemaksaan pemahaman oleh kelompok tertentu. [13]


Hermeneutika dalam Perspektif Pemikir Muslim
Hasan Hanafi dikenal  sebagai  orang  pertama  mengenalkan  hermeneutika  dalam  dunia Islam dengan karyanya yang berkaitan dengan metode penafsiran yang bercorak baru. Pengenalan ini pada awalnya hanya merupakan penggunaan metodologis bersifat uji coba yang terbebas dari pengaruh positivisme  dan kekhasan hukum Islam serta yurisprudensinya yang ortodoks dan tradisionalis. Ia memandang bahwa hermeneutika bukan hanya sekadar teori penafsiran dan pemahaman, akan tetapi merupakan ilmu yang menerangkan penerimaan wahyu sejak perkataan sampai pada tingkat kenyataan, serta menggambarkan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[14] Proses pemahaman teks ini menurut Hasan Hanafi dilakukan setelah melakukan kritik kesejarahan. Kritik kesejarahan dilakukan untuk menjamin keaslian sebuah teks atau kitab suci dalam sejarah sebab belum tentu semua teks asli atau tidak mengalami distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Keaslian ini akan mempermudah pemahaman yang tepat.
Tokoh lain adalah Nashr  Hamid Abu Zaid yang telah banyak mengkaji hermeneutik dalam tafsir klasik, sebagaimana yang dilakukan oleh 'Abid al-Jabiri. Abu Zaid banyak memberikan pijakan dasar dalam memahami hermeneutika khususnya berkaitan dengan al-Qur'an. Bahkan beberapa tulisannya dianggap sebagai horizon baru dalam hermeneutika al-Qur'an kontemporer. Ia seorang yang akrab dengan pemikiran para tokoh hermeneutika Barat, seperti Heidegger dengan teori hermeneutikanya, Hans George Gadamer dengan hermeneutika filosofisnya, Schleiermacher dengan lingkaran hermeneutikanya, dan lainnya. Akan tetapi ia tidak meninggalkan kekayaan tradisi Islam yang dapat memelopori pembaharuan dan pemikiran kritisnya.[15]
Ali Harb merupakan tokoh yang ikut meramaikan diskusi panjang tentang kritik teks, meskipun ia tidak sepenuhnya memperhatikan sastra ataupun seni tetapi lebih menekankan kepada ihwal pemikiran.[16]  Sekalipun di dalam melakukan kritik teks dan pemikirannya banyak menggunakan teori sastra terutama berkenaan dengan teori teks, di samping filsafat. Permikirannya lebih cenderung kepada permasalahan keterpurukan umat Islam, khususnya pemikiran di dunia Arab dalam menyikapi kemajuan. Ia banyak menyoroti pola pemikiran dunia Arab kontemporer yang masih berkutat  dalam  kerangka  kultural,  nasional,  ataupun keagamaan.
Tokoh Islam yang memiliki kemiripan dengan Ali Harb ialah Muhammad Syahrur dalam hal memandang kemunduran dan ketertinggalan dunia Arab-Islam dengan Barat karena sistem pemikiran yang digunakan tidak mampu mengeluarkannya dari kejumudan dan taklid. Hal serupa disampaikan oleh Khaled M. Abou el-Fadl yang menyoroti para penafsir periode terdahulu telah melahirkan mateode penafsiran yang cenderung berkonsentrasi pada upaya pengembangan berbagai kaidah untuk memecahkan makna teks berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Pelaksanaan ini berkutat pada asumsi bahwa setiap runtutan huruf, kata, dan kalimat merupakan sesuatu yang telah matang dan benar, tidak mungkin Tuhan salah di dalam peletakaknnya, sehingga pemahamannya harus berangkat dari susunan kalimat tersebut. Di sinilah letak kekakuan dalam memberi interpretasi suatu ayat, lebih-lebih berkaitan dengan hukum. Sehingga hokum yang dihasilkan hanya meliputi maksud asal teks untuk melayani teks, bukan dalam rangka memberi jawaban persoalan kehidupan dengan berdasarkan teks.[17] Jika demikian  maka keberadaan al-Qur'an belum mampu memberikan hidayahnya kepada umat manusia yang membutuhkan penerangan hukum.
Berikut ini akan dipaparkan dua pandangan tokoh Islam yang dikelompokkan kepada kiri Islam yakni Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Syahrur tentang hemerneutika. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengkhususkan pembahasan.


a. Nash Hamid Abu Zaid
            Nashr Hamid Abu Zaid, seorang Profesor bahasa Arab dan Studi al-Qur’an di Universitas Kairo Mesir. Ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Leiden Belanda, sejak tahun 1995 sampai sekarang. Intelektual asal Mesir ini berupaya menerapkan metode analisis teks bahasa-sastra (nahj tahlil an-nushush al-lughawiayyah al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Qur'an. Ia berpendapat metode tersebut satu-satunya yang dinilai manusiawi dan berarti untuk mengkaji Islam.[18] Menurutnya Peradaban Islam dapat dikatakan sebagai peradaban teks karena terfokus pada teks (al-Qur’an) inilah peradaban Islam bergulir. Dengan demikian perlu adanya dialektika yang kontinu antara teks (al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat.
Paparan Abu Zaid di atas diperkuat oleh ungkapan Muhammad Arkoun, yang menyatakan bahwa sebuah tradisi – termasuk Islam yang di dalamnya berlandaskan nilai al-Qur’an – akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara kontinu melalui pengkajian ulang sejalan dengan dinamika sosial.[19] Untuk itulah pemahaman terhadap al-Qur’an dengan berbagai metode sesuai sosial-budaya yang melingkupinya perlu terus dilakukan sebagai inspirasi pemikiran, pergerakan dan perilaku keagamaan. Ia menilai para ulama berlebihan di dalam menyikapi teks, sehingga pada hasilnya membawa pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas. Penilaian yang sakral terhadap teks berdampak pada penafsiran dan pemahamannya, sementara realitas yang ada seringkali dilupakan. Ini melahirkan suatu klaim kebenaran oleh individu, kelompok, atau madzhab tertentu ketika memahami teks.
Di dalam pemahaman teks, ia menggunakan dua pendekatan, yakni semiotika dan hermeneutika. Dua metode pendekatan inilah yang kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (cultural product, al-muntaz ats-tsaqafi).[20] Inilah yang membuat ia dinilai sebagai tokoh kontroversial sehingga masyarakat Mesir pada awalnya menolak dan sempat hendak mengusirnya, atau bahkan menilai kafir. Sebelum memunculkan kesimpulan tersebut, ia memiliki pandangan tentang dua fase teks al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial budayanya. Fase tesebut ialah (a) fase keterbentukan (marhalah at-Tasyakkul), pada fase ini teks masih mengkonstruksi dirinya secara struktural dalam sistem budaya yang ada; (b) fase pembentukan (marhalah at-tasykil) Pada fase ini  terk al-Qur’an membentuk dan mengkonstruk ulang budaya dengan sistem bahasa khusus yang berbeda dengan  bahasa induknya yang kemudian mempengaruhi sistem kebudayaan.[21]
Ia mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika "ngaji" di Universitas Pennsylvania, Philadephia antara tahun 1978-1980. Ia mengakui hermeneutika telah membuka cakrawala pemikirannya, di mana ia bersentuhan langsung dengan karya filsafat dan hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks yang ada.  Setelah lama berkecimpung dengan literature hermeneutika Barat, Ia lalu membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam kajian hermeneutika.[22]
            Al-Qur'an, menurut Abu Zaid adalah Kalam Allah dalam wujud bahasa manusia, ini sebagai tujuan Allah agar maksud dan harapannya dapat dimengerti oleh manusia.  Menurutnya, Kalam Allah itu perlu mengadaptasi dengan bahasa manusia, jika tidak maka manusia tidak akan mampu mengetahui maksud Sang Pemberi Kalam itu. Dan sebenarnya al-Qur'an merupakan hasil riwayat Nabi Muhammad saw. Teks al-Qur'an ketika diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Merupakan teks Ilahi menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi, karena ia berubah dari tanzil  menjadi takwil. Jadi teks al-Qur'an adalah pemahaman Rasulullah saw. Atas apa yang diterimanya dari pewahyuan tersebut.[23] Dengan bahasa lain, bahwa al-Qur'an merupakan produk budaya, budaya Arab kala itu yang dipahami oleh Nabi Muhammad saw. Dari sini dapat dipahami bagaimana Abu Zaid cukup terpengaruh dengan apa yang ditemukannya dalam diri Hermes yang berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Dan inilah yang dikhawatirkan oleh kalangan Muslim lain yang menolak hermeneutika sebagai metode pemahaman al-Qur'an.
Dengan demikian teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang sama dengan teks-teks lain di dalam budaya, sekalipun asalnya dari Allah. Oleh sebab itu untuk memahaminya tidak diharuskan menggunakan metode khusus dan tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan  pengkultusan terhadap penafsiran. Inilah yang disebutkan oleh Khaled M. Abou el Fadl sebagai bentuk kelaliman, karena itu akan mengunci teks dalam sebuah makna tertentu.[24] Anggapan inilah yang merubah paradigma pemahaman al-Qur'an  klasik yang dikritik oleh Abu Zaid dengan istilah teologis-spekulatif yang disebut sebagai "dialektika turun", yaitu memahami teks berdasarkan sudut pandang penutur teks, sebagai kebalikan dari paradigma baru sebagai bentuk "dialektika naik", yaitu mendekati teks dari realitas empirik serta kulturalnya sehingga lebih obyektif ilmiah.[25]
Abu Zaid mendirikan bangunan metode pemahaman teks - sebagaimana yang dipaparkan oleh Sunarwoto – dengan mengkritik pola penafsiran yang dilakukan oleh Mu'tazilah dengan pendekatan majaz, dan kelompok sufi dengan takwilnya.[26] Pembacaan teks melalui kedua pola tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial-politik dan budaya penafsir. Pemahaman semacam ini tetap akan dipengaruhi oleh orang yang menfsirkannya, baik latar belakang keilmuan maupun tradisi yang berlaku pada dirinya. Abu Zaid mengalami kegelisahan akademik ketika menyaksikan wacana keagamaan kontemporer - khususnya di Mesir - dalam menyakapi warisan intelektual keislaman di satu sisi, dan menghadapi gencarnya pembaruan.
Dalam konteks ini apa yang dilalui Abu Zaid sebenarnya dilakukan pula oleh Ali Harb bahwa di kalangan masyarakat Arab-Islam terdapat pola pemahaman yang kontradiktif. Tipe penalaran itu ia sebut dengan nalar eksklusif ('aql mughallaq) yang cenderung membelenggu teks dan menetapkan maknanya dan membatasi metode dari satu sisi saja. Sehingga hasil dari penalarannya dianggap suatu kepastian (absolut) dan berakibat pada munculnya fanatisme buta. Sedangkan tipe kedua adalah nalar insklusif ('aql munfatih)[27] yang memandang teks tidak hanya dinalar melalui satu sisi pandangan semata. Di sinilah akan melahirkan pemahaman bahwa kebenaran dari penalaran itu banyak variasinya karena kemungkinan dari hasil nalar teks memang demikian, adapun sesuatu yang benar tetap satu.
    Pemahaman yang menempatkan teks kepada posisi pasif dan pola penalaran eksklusif akan mengubah fungsi teks itu sendiri kepada alat untuk melegitimasi kemauan penafsir dengan berbagai latar belakang dan alirannya, dan menjadikan pemahaman terhadap teks mengalami kemandegan dan tidak produktif. Untuk menghindarkan yang demikian, perlu adanya interaksi antara teks dengan sistem budaya yang ada.
Konsep lain yang dimunculkan oleh Abu Zaid ialah tentang konsep takwil. Takwil bagi Abu Zaid adalah sisi lain dari teks.  Takwil menjadi salah satu mekanisme cultural dan peradaban yang cukup penting di dalam menghasilkan pengetahuan.[28] Jika demikian berarti teks merupakan sumber pengetahuan yang dapat dihasilkan dari penalaran dan penakwilan, sedangkan takwil lebih merupakan cara untuk mengeluarkan kandungan pengetahuan yang ada di dalam teks. Takwil dalam pandangan  Abu Zaid,[29] adalah upaya pengungkapan makna yang tersembunyi di balik teks (istinbat) dan berbeda dengan tafsir yang dipahami sebagai pengungkapan makna teks berdasarkan pada dalil atau riwayat yang hanya pada tataran eksternal teks.
Sampai di sini tampaknya Abu Zaid tidak membedakan makna tafsir dari kebanyakan ulama tafsir yang memahami kata tafsir sebagai upaya pencarian kandungan teks al-Qur'an berdasarkan tanda atau riwayat yang ada di dalam teks. Ini kemudian lebih dikenal dengan istilah tafsir bi al-ma'tsur. Sedangkan takwil adalah lebih cenderung kepada upaya nalar di dalam memahami kandungan teks al-Qur'an yang disebut tafsir bi ar-ra'yi. Abu Zaid menawarkan pola pembacaan teks kepada beberapa istilah, yaitu (a) takwil untuk mengetahui makna di balik teks yang tersembunyi, ini tidak terbatas pada sisi bahasa, tetapi konteks pemakaiannya serta konstektualitas yang menyelimutinya; (b) talwin (ideologisasi) atau pembacaan tendensius yang cenderung menghasilkan subyektifitas pembaca; (c) pembacaan produktif. Agar pembacaan terhadap teks dapat menghasilkan signifikansi baru dari teks ke dalam realitas budaya pembaca yakni pemahaman baru sesuai social-budaya st pemahaman itu dilakukan berdasarkan makna histories teks, maka perlu diperhitungkan pola pembacaannya, yaitu; (a) teks al-Qur'an dan dinamikanya dalam konteks historisnya sendiri, dan (b) situasi dan cakrawala pembacaan saat ini sesuai konteks histories budaya dan ideologisnya.[30]


b. Muhammaad Syahrur
Sebenarnya apa yang dialami oleh Abu Zaid terdapat kemiripan dengan pengalaman Muhammad Syahrur, seorang Profesor di jurusan Tehnik Sipil Universitas Damaskus dengan latar belakang ilmu mekanika tanah dan teknik pondasi. Ia menunjukkan komitmen dan konsistensinya ketika beralih menekuni studi al-Qur'an. Syahrur – sebagaimana Abu Zaid – mengkritik kelemahan yang dilakukan para penafsir  sebelumnya. Ia menilai para penafsir terdahulu tidak ada pijakan metode ilmiah obyektif. Ia berguru kepada seorang ahli linguistik sebagai modal dalam pengkajian al-Qur'an. Pada tahun 1980 ia bertemu dengan dosen linguistic bernama Ja'far Dak al-Bab dalam sebuah organisasi etnis di Uni Soviet. Pertemuan itu membawa ketertarikannya pada studi linguistik, filsafat. Dan studi al-Qur'an. Hasilnya ia mengenal ahli linguistik di lingkungan pemikir Arab seperti al-Farra, Abu Ali al-Farisi, dan muridnya Ibnu Jinni serta Abdul Qahir al-Jurjani.
Untuk menguak pemikiran yang diambil oleh Syahrur dari linguis Arab, Ja'far Dak al-Bab telah memberikan pengantar dalam penerbitan tulisan perdana Syahrur yakni al-Kitab wa al-Qur'an. Ja'far menggabungkan teori Ibnu Jinni dan al-Jurjani, meski tetap dalam jalur linguistik Abu Ali al-Farisi. Pemikiran utama dari pemikiran tersebut adalah; (1) Penggabungan antara studi diakronik al-Jurjani dan sinkronik Ibnu Jinni; (2) Teori Ibnu Jinni yang menyatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika dan teori al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa dan pertumuhan pemikiran merupakan hal yang saling terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Sedangkan ciri linguistik Abu Ali al-Farisi dapat disimpulkan; (a) bahasa pada dasarnya adalah sebuah system, (b) bahasa merupakan fenomena social dan strukturalnya terkait dengan fungsi transmisi yang melekat pada bahasa tersebut (konteks di mana bahasa itu disampaikan), dan (c) adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran.[31]
Beberapa pandangan di atas menunjukkan telah terjadi modernisasi dalam pemikiran linguistik di Arab, dan keluar dari pemikiran ortodoks yang menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa khusus karena ia adalah bahasa suci, bahasa yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan wahyunya, sehingga bahasa tidak terkait dengan pemikiran dan struktus social masyarakatnya. Sekalipun aliran-aliran di atas cukup terkait dengan strukturalisme namun ia telah menunjukkan sikap kritisnya sehingga unsur-unsur historis diterima dalam linguistic tanpa menafikan adanya struktur.
Modernisasi dalam linguistik tersebut membuka peluang bagi Syahrur untuk merumuskan prinsip-prinsip dalam studi al-Qur'an, yakni:
1.      Memaksimalkan seluruh potensi karakter linguistik Arab dengan berpijak pada tiga teori pendaulunya, yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qahir al-Jurjani dan syair Arab jahiliyyah.
2.      Berdasar pada produk akhir ilmu linguistic modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter sinonim. Sebuah kata dalam koridor historisnya, mengalami dua alterntif proses yaitu akan mengalami kehancuran atau membawa makna baru selain makna asalnya.
3.      Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang hidup pada abad dua puluh ini. Kitab-kitab tafsir dan fiqh yang dihasilkan generasi terdahulu harus dipandang sebagai interaksi mereka dengan al-Kitab dalam sejarah mereka. Artinya kita perlu merumuskan kembali kajian tafsir dan pemahaman tekstual keagamaan guna menghasilkan fiqh ‘ala’ modern meskipun tanpa harus melupakan hasil kajian ulama terdahulu.
4.      Allah tidak perlu memberi petunjuk – berupa al-Kitab – untuk diri-Nya sendiri. Maka Dia menurunkannya sebagai petunjuk bagi menusia. Oleh karena itu seluruh kandungan al-Kitab pasti dapat dipahami sesuai dengan kemamuan akal. Al-Kitab diturunkan dalam sebentuk media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman manusia. Media tersebut berupa bahasa (linguistic) Arab murni (al-lisan al-Arab al-Mubin). Tidak ada kontradiksi antara bahasa dan pemikiran, maka tidak ada ayat yang tidak bisa dipahami dan pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif, histories, dan temporal. Jika terdapat ayat yang tidak mampu ditembus oleh pemahaman manusia, maka fungsi al-Kitab sebagai petunjuk belum dapat dirasakan.
5.      Tidak ada pertentangan akal dan wahyu, dan tidak ada pertentangan wahyu dan realitas yang berupa kebenaran informasi dan rasionalitas penetapan hukum.
6.      Lebih menghormati akal  pembaca daripada kepentingan tertentu.[32]
Tawaran Syahrur di atas mengakibatkan al-Qur’an harus dipahami berdasarkan metodologi ilmiah. Termasuk di dalamnya adalah pendekatan filsafat dengan berbagai cabangnya, dan pendekatan kebahasaan. Syahrur membedakan antara konsep al-Qur’an dengan al-Kitab, menurutnya al-Kitab  bukan hasil teks budaya manusia, tetapi merupakan wujud teks al-Kitab. Karena al-Kitab merupakan Kalam Allah, dan Allah bersifat absolut, dan memiliki sifat kesempurnaan, maka Kalam tersebut yang terwujud dalam al-Kitab memiliki nilai absolut. Ini semua berwujud pada teks berbahasa Arab yang merupakan hasil budaya manusia yang tidak lepas dari struktur nalar dan kondisi sosial. Dengan demikian al-Kitab menngandunng unsur absolut ilahiah, sedangkan pemahaman terhadap teks bersifat relatif. Relatifitas dalam pandangan Syahrur ialah kerangka hubungan antara pembaca dengan teks al-Kitab yang berbahasa Arab, dan bukan al-Kitab itu secara hakiki.


Antara Abu Zaid dan Syahrur
Al-Kitab – Syahrur membedakannya dengan al-Qur’an – menurut pemikiran Syahrur bukan merupakan teks budaya dalam pengertian yang dihasilkan oleh manusia, tetapi wujud teks al-Kitab adalah teks berbahasa Arab. Bahasa Arab merupakan hasil budaya masyarakat Arab yang terikat dengan struktur nalar dan sosial masyarakatnya. Sebenarnya sama dengan apa yang disampaikan oleh Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Qurán adalah produk budaya. Suatu pemikiran yang berseberangan dengan kesepakatan ulama di kalangan umat Islam dan seakan menghilangkan nilai kesakralan al-Qur’an. Berbeda dengan Syahrur, Abu Zaid memiliki dalil logika sendiri yang beralasan bahwa al-Qur’an mengalami dua fase yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial-budayanya.
Syahrur menyimpulkan bahwa kandungan al-Kitab (al-muhtawa) mengandung unsur ilahiah yang absolut, namun pada sisi pemahaman terhadapnya bersifat manusiawi yang relatif. Manusia tidak diberi kemampuan untuk menangkap seluruh kandungan wahyu yang absolut, untuk itulah Allah telah menurunkan wahyu dengan perantara yang memungkinkan manusia mampu memahaminya yaitu bahasa. Inilah yang dimaksud relatifitas dalam kerangka pemikiran Syahrur dalam kaitannya antara pembaca dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab.
Hubungan pembaca dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab mewajibkan adanya ilmu bahasa sebagai sebuah metode penafsiran untuk meyelami makna al-Qur’an. Syahrur menetapkan pemikiran linguistik kontemporer sebagai landasan. Ini sebagai bentuk konsistensi Syahrur tentang temporalitas pemahaman. Syahrur mengajak kita yang hidup di masa kontemporer untuk menggunakan seluruh pemikiran kontemporer sebagai sarana memahami kandungan al-Qur’an. Tetapi tentunya tidak semua teori kontemporer bisa digunakan, dalam hal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan.
Syahrur menyadari akan keberadaan al-Kitab, yakni sepanjang zaman dan tempat, untuk itulah ia mengajak umat Islam dalam memahami kandungan al-Kitab itu disesuaikan dengan kondisi zaman dan tempat. Tidak mesti mengekor kepada hasil penafsiran atau pemahaman di masa Rasulullah. Meskipun ketika mengambil pemahaman tidak slah bila merujuk kepadanya. Pemahaman yang dilakukan Nabi Muhammad dan para sahabatnya merupakan contoh hasil pemikiran tentang kandungan al-Qu’an dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang ada kala itu. Persoalan berbeda, tentu cara penyelesaiannya pun berbeda, meskipun hasil pemahamannya bermuara dari satu sumber yang sama. Pemikiran Syahrur di atas dapat dikatakan sama dengan pemaparan Abu Zaid tentang pola pemahaman terhadap al-Qur’an, ia mengajak umat Islam untuk memahami kandungan al-Qur’an harus mendasarkan pada kondisi masyarakat dan juga peradaban bangsa Arab. Karena al-Qur’an yang kita baca sekarang ini – menurut Abu Zaid – merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh perkembangan peradaban Arab pada saat itu, dan selanjutnya ia menuntun menuju satu budaya baru yakni budaya Islam. Atas pemikiran ini pula, Abu Zaid telah dinilai mengingkari aspek sakralitas al-Qur’an, yang menganggapnya sebagai teks manusia (budaya).
Usaha yang dilakukan oleh Syahrur dengan hermeneutikanya – seperti yang dilakukan Abu Zaid, juga menitikberatkan pada linguistik dan hermeneutika, baru kepada konteks sejarah, budaya, sosial-politik, di dalam memahami teks al-Qur’an- berkaitan dengan fiqh Islam pada tema gender, ia menggunakan analisis struktural yang luar biasa terhadap teks al-Qur’an. Ia berbekal linguistik kontemporer mampu menemukan struktur khas teks al-Qur’an dan memandang tidak ada satupun yang bernilai sia-sia. Setelah itu ia menggunakan filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer di dalam menemukan makna totalitas yang dituju oleh teks. Keilmuan kontemporer di maksud misalnya filsafat, sosiologi, antropologi, dan politik, yang ditempatkannya dalam dialektika kritis dengan makna teks untuk menuju pemahaman yang lebih baik. Hasilnya memberi pemahaman bahwa al-Qur’an tidak pernah bertentangan dengan akal atau teori ilmu pengetahuan manapun.


Hermeneutik dalam Perspektif Pengingkarnya
Seiring dengan hegemoni peradaban Barat atas Dunia Islam, hermeneutika-pun mengalami perkembangan lebih jauh lagi, yakni diaplikasikan oleh para intelektual muslim liberal terhadap Al-Qur`an. Pelopornya adalah para modernis (pembaharu) muslim abad ke-19 M, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad Abduh. Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh dengan karya-karya hermeneutika. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an dengan metode hermeneutika[33]
Freidrich Scheiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern yang juga teolog, mengembangkan hermeneutika sebagai alat untuk mengkaji al-Kitab (Bibel) dengan karyanya Hermeneutics and Criticism, sebuah karya tentang metodologi kritik teks Perjanjian Baru.[34] Para Sarjana Muslim kemudian menilai kemunculannya ini merupakan sarana untuk menumbuhkembangkan gagasan  Barat tentang relativisme dan antikemapanan. Satu hal yang cukup amat penting ilalah bahwa itu sebuah metodologi yang tidak menghormati nilai kesakralan, sebagaimana ketika digunakan untuk membongkar Injil, bukan dari sisi pemahamannya saja akan tetapi terjadi pada teksnya juga.
Hermeneutika, sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks, untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.
Fahrudin Faiz menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum Al-Qur`an telah membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Tapi, Faiz menyatakan bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.[35]
Hermeneutika al-Qur`an seperti yang diuraikan di atas wajib ditolak berdasarkan beberapa alasan berikut :


a. Hermeneutika Produk Orang Kafir
Hermeneutika sebenarnya sejak awal harus dicurigai, karena bukan berasal dari tradisi keilmuan Islam, melainkan dari tradisi keilmuan kafir, yaitu kaum Yahudi dan Kristen, yang digunakan sebagai metode untuk menafsirkan kitab agama mereka (Bible). Allah SWT berfirman (artinya) : "Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS Al-Hasyr [59] : 7)
Mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat itu, adalah "apa yang diberikan selain Rasul kepadamu, maka janganlah kamu terima dia." (wa maa ataakum min ghairi ar-rasuul fa-laa ta’khudzuuhu).[36] Maka jelaslah bahwa hermeneutika yang tidak datang dari Rasul, haram hukumnya diterima oleh umat Islam. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra. pernah memegang selembar Taurat. Nabi saw. melihatnya lalu bersabda,"Tidakkah aku telah mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak tercemar dan tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti aku." [37]
Jika lembaran-lembaran Taurat saja ditolak oleh Islam, maka lebih-lebih lagi (min baabi aula) metodologi tafsirnya alias hermeneutika. Namun sebagai catatan, Islam membolehkan kita mengadopsi sesuatu dari orang kafir selama tidak mengandung muatan pandangan hidup asing (value-free), seperti sains dan teknologi. Di sinilah makna sabda Nabi saw. : Antum a’lamu bi-umuuri dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR Muslim). Adapun segala ide atau benda yang mengandung muatan pandangan hidup asing (value-bond/value-laden), seperti hermeneutika, Islam tidak dapat menerimanya.
Hermeneutika bukan termasuk sains dan teknologi yang bersifat universal, melainkan termasuk dalam peradaban (hadharah) yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan kufur yang bertentangan dengan Islam.


b. Hermeneutika Tidak Tepat Untuk Menafsirkan Al-Qur`an
Barangkali hermeneutika memang cocok (compatible) dengan Bible, yang sudah kehilangan nilai orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti kontradiksi ayat dengan ilmu pengetahuan. Hermeneutika dapat diumpamakan tongkat untuk orang buta (cacat). Itu memang cocok dan sudah seharusnya demikian. Contoh, dalam Mazmur (Pasal) 93 ayat 1 tertulis,"Yea, the world is established, it shall never be moved." Ayat ini menerangan bumi tidak bergerak, yakni sebagai pusat tatasurya (geosentris). Ayat ini secara literal bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang menteorikan matahari sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Di sinilah hermeneutika diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris (kiasan), bukan dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan pemahaman atau bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin memang cocok untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya.
Tapi tongkat tidaklah diperlukan untuk orang yang matanya sehat. Al-Qur`an tidak memerlukan hermeneutika. Karena Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible. Allah SWT berfirman menegaskan di dalam surat al-Hijr ayat 9 yang menjamin keutuhan dan keamanan al-Qur'an. Jadi menerapkan hermeneutika untuk menginterpretasikan Al-Qur`an, adalah tidak cocok (incompatible).
Menurut Wan Mohd. Nur Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dari masalah-masalah besar, yaitu : (1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti materiil teks-teks yang paling awal, (2) tidak adanya laporan-laporan tentang tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’, (3) tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang itu. Ketiga masalah besar yang dialami Bible ini, tidak dialami oleh Al-Qur`an.[38] 
Sesuatu yang mengerikan adalah, ada sebagian pemikir liberal yang kemudian mencoba membuktikan bahwa Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana Bible. Tujuannya supaya penggunaan hermeneutika menemukan alasannya yang rasional. Mereka menggugat otentisitas teks Al-Qur`an yang disebut-sebut sebagai hasil dari hegemoni Quraisy, yang katanya bermotifkan politik belaka. Jelas ini sikap taqlid yang berbahaya. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang sebenarnya bermata sehat, tapi ingin memakai tongkat untuk orang buta, supaya keren dan terlihat hebat. Akhirnya orang itu pergi ke rumah sakit untuk membutakan matanya, agar punya alasan kuat untuk memakai tongkat orang buta.


c. Hermeneutika Menguatkan Sekularisme
Dalam praktiknya untuk menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru mengokohkan sesuatu yang seharusnya dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni sekularisme-liberalisme di Dunia Islam. Sebagai contoh kasus, ingat kembali kasus draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia. Draft tersebut telah menghasilkan beberapa pasal berbahaya dan kontroversial. Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris laki-laki dan perempuan (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam waktu tertentu alias membolehkan kawin kontrak (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya.
Pasal-pasal ini lahir karena metodologi yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an adalah hermeneutika. Dengan hermeneutika, ayat-ayat Al-Qur`an ditundukkan pada sejumlah prinsip yang sekaligus merupakan pokok-pokok ide sekularisme. Menurut para penggagas CLD KHI, sejumlah ide yang menjadi paradigma draft itu adalah : (1) kesetaraan gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia, dan (4) demokrasi. Dari sini jelaslah pola kerja hermeneutika dalam memperlakukan ayat Al-Qur`an di satu sisi, dengan ideologi Barat di sisi lain. Modus hermeneutika tidak lain dan tidak bukan adalah menyesuaikan Al-Qur`an dengan ideologi Barat, atau praktik ideologi Barat dalam realitas. Ibaratnya, Al-Qur`an sekedar ’makmum’, sementara ’imamnya’ adalah ideologi kapitalisme-sekular. Apapun gerakan dan doa sang imam, makmum wajib mengikutinya dengan seksama, tanpa menyelisihinya apalagi mendahuluinya. Inilah bentuk "sholat jamaah" yang bid’ah dholalah dan munkar yang menjadi pola kerja khas hermeneutika. Kemungkaran keji inilah yang sering mereka sebut sebagai "kontekstualisasi Al-Qur`an" untuk menyesatkan umat Islam.
Hasil akhir dari aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu saja bukan untuk kepentingan umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan dominasi sekularisme di Dunia Islam.


Sebuah Kompromi
            Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat  dipahami  bahwa  hermeneutika itu  tidak  lain adalah suatu metode pemahaman, metode memahami suatu pemahaman yang didasarkan pada beberapa langkah dan ciri khasnya, sebagai sarana untuk menguak kandungan teks tertentu, termasuk teks al-Qur’an. Di dalam menyikapi dua kutub umat Islam yang berkomentar tentang hermeneutika sebenarnya terdapat beberapa cacatan yang dapat diambil, yakni :
1.                  Benar bahwa hermeneutika merupakan produk Barat, sebagai alat memahami Bibel, akan tetapi tentunya tidak serta-merta harus dicemooh atau dinilai kafir bagi penggunanya, karena bagaimanapun ia hanya sebatas sarana pemahaman. Sebab hermeneutika saat diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks, dalam istilah Ulum Al-Qur`an telah dibahas secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Dan di sinilah perlu ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.
2.                  Bagi pengguna heremenutika perlu menyadari bahwa al-Qur’an merupakan suatu Kitab suci yang memiliki nilai sakral ilahiah yang perlu dijaga. Prinsip hermeneutika yang mempertanyakan keorisinalitasan al-Qur’an karena ada ayat dinilai berpihak pada otoritas tertentu, sehingga perlu direduksi – seperti halnya Injil – maka itu perlu ditinjau kembali. Sebab Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible.


Penutup
            Hermeneutika merupakan suatu pola pemahaman teks dari hasil pemikiran manusia. Suatu sarana untuk sampai kepada makna yang terkandung di dalam suatu teks dengan beberapa langkah dan tekniknya. Meskipun dinilai sebagai produk Barat akan tetapi tidak mesti dinafikan, karena dalam Islam dituntut mengembangkan kreatifitas pemikiran manusia. Sebagai hasil kreatifitas pemikiran itu ialah teori hermeneutika yang telah terbukti mampu melahirkan pemahaman baru yang berdampak pada peradaban yang lebih maju. Dalam kaitan dengan pemahaman teks al-Qur’an, penggunaan hermeneutika tidak perlu dikhawatirkan meski akan bermunculan penfasiran berbeda-beda. Ada pepatah mengatakan: “likulli maqal maqam wa li kulli maqam maqal”. Kesadaran akan kemukjizatan dan keorisinalitasan al-Qur’an juga harus tetap dijunjung tinggi. Wallahu a’lam.

Daftar Bacaan

Abdullah, M. Amin, 'Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan' dalam Kholed  M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, Pent. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2004, cet. I.            

Bleicher, Joseph, Contemporary Hermeneutics, London : Routledge and Kegan Paul, 1980.

Abou el-Fadl, Kholed  M., Atas Nama Tuhan, Pent. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2004.

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qurán; Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta : eLSAQ, 2005.

Fanani, Ahmad Fuad, Islam Madzhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, Jakarta : Kompas, 2004.

Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, Pent. Sunarwoto Dema, Yogyakarta : LKiS, 2003, cet. I.

Howard, Roy J., Hermeneutika, Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer, Pent. Kusmana dan M.S. Nasrullah, Bandung : Nuansa, 2000, cet. I.

Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Dominasi Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta : Gema Insani Press, 2005.

Khalis S, Mohammad Nur, "Nashr Abu Zaid; Beberapa Pembacan terhadap Turats Arab" , dalam Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, Jakarta : ICIP, 2004, cet. I.

Mustaqim, Abdul, &  Syamsudin, Sahiron, (Ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2002.

-------, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta : Nun Pustaka , 2003.

Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur'an Madzhab Yogya, Yogyakarta : Islamika, 2003, .

Sunarwoto, "Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur'an" dalam Sahiron Syamsuddin dkk.

Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah al-ahali, Damaskus :  al-Ahali, 1990.

Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1999.

Abu Zaid, Nashr Hamid, Naqd al-Khitab ad-Dini, Kairo : Sina li an-Nasyr, 1992.

-------, Mafhum an-Nash; Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994.

-------, Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat at-Ta'wil, Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994.

------, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, Jakarta : ICIP, 2004, cet. I.



* Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandarlampung, mengajar mata kuliah Hadits. S1-nya diselesaikan di IAIN Raden Intan Bandarlampung Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits. S2-nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qurán; Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta : eLSAQ,
2005),  h. xix.
[2] Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London : Routledge and Kegan Paul, 1980), h. 12
[3] Ibid.
[4]  Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Pent. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta : LKiS, 2003), cet. I, h. 2.
[5] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), h. 23.
[6]  Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Dominasi Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), h. 290-292
[7] Roy J. Howard, Hermeneutika, Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer, Pent. Kusmana dan M.S. Nasrullah, (Bandung : Nuansa, 2000), cet. I, h. 15.
[8] Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur'an Madzhab Yogya, (Yogyakarta : Islamika, 2003), Cet. I, H. 54-55.
[9]  E. Sumaryono, Op.Cit., h. 24.
[10] Ibid., h. 178.
[11] Ibid., h. 137.
[12] M. Amin Abdullah, 'Pendekatan Hermeneutik dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan' dalam Kholed  M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, Pent. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2004), cet. I, h. vii-x.
[13]  Fahruddin Faiz, Op.Cit., h. 7-10.
[14] Muzairi, Op.Cit., h. 60.
[15] Mohammad Nur Khalis S, "Nashr Abu Zaid; Beberapa Pembacan terhadap Turats Arab" , dalam Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, (Jakarta : ICIP, 2004), cet. I, h. xv.
[16] Ali Harb, Op.Cit., h. 3-15.
[17] Khaled M. Abou el Fadl, Op.Cit., h. 179.
[18] Nashr Hamid Abu Zaid Mafhum an-Nash; Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, (Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994), h. 27.
[19] Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, ( Jakarta : Kompas, 2004), h. 92.
[20] Fahruddin Faiz, Op.Cit., h. 99.
[21] Ibid., h. 100.
[22] Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat at-Ta'wil, (Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994), h. 13-14.
[23] Sunarwoto, Op.Cit., h. 108.
[24] Khaled M. Abou el Fadl, Op.Cit.,  h. 137.
[25] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nas ……h. 29-30.
[26] Sunarwoto, "Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur'an" dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Op.Cit., h. 104.
[27] Ali Harb, Op.Cit., h. 15.
[28]  Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash, Op.Cit., h. 229-241.
[29] Ibid., h. 219-225.
[30] Nashr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab ad-Dini, (Kairo : Sina li an-Nasyr, 1992), h. 114.
[31] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah al-ahali, (Damaskus :  al-Ahali, 1990),  h. 21-22. Sunarwoto, Op.Cit., h. 126.
[32] Ibid., h. 44-45.
[33] Abdul Mustaqim, & Sahiron  Syamsudin, (Ed), Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 149-167. Lihat juga Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta : Nun Pustaka , 2003), h. 104-117.
[34] Kholed  M. Abou el-Fadl, Op.Cit., h. 179.
[35] Fahruddin Faiz, Op.Cit., h. 18..
[36] Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III, bab Madzhab Ash-Shahabi.
[37] Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizb Al-Tahrir.
[38] Adian Husaini, Op.Cit., h. 304. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar