Sabtu, 17 Maret 2012

KONTROVERSI DI SEKITAR TAFSIR SUFI


KONTROVERSI DI SEKITAR TAFSIR SUFI


MA. Achlami HS*



Abstrak

Tafsir sepanjamg sejarahnya mengalami perkembangan yang cukup pesat,  baik mengenai metodologi maupun coraknya. Perkembangan itu meluas sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam sebagai konsekuensi dari ekspansi Islam ke wilayah di luar Arab. Kecuali itu, berkembangnya aliran-aliran dalam Islam juga turut mewarnai penafsiran mereka terhadap al-Qur`an. Tafsir sufi yang dikenal dengan tafsîr isyârî adalah salah satu corak tafsir yang telah mengisi lembaran sejarah tafsir. Namun kemunculan tafsir sufi mengundang kontroversi di kalangan ulama, terutama menurut kacamata fuqahâ`. Hal itu terjadi, tidak saja karena tafsirnya yang lebih menekankan pada isyarat makna batin dari lafazh al-Qur`an, tetapi eksistensi para sufi dan tasawuf itu sendiri sering dituduh sebagai ajaran yang membawa kepada paham zindik dan mulhid. Oleh karena itu, analisis ilmiah terhadap tafsir sufi penting untuk dihadirkan dalam tulisan ini sebagai jawaban apakah memang benar demikian.

Kata Kunci: al-Qur`an, tafsir, tafsir sufi, tafsir isyari, kontroversi.

 

Pendahuluan

Al-Qur`an adalah Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda antara yang haq dan yang bâthil.[1] Petunjuk al-Qur`an itu lebih khusus lagi ditujukan kepada orang-orang yang bertaqwa. Sebab, hanya orang-orang yang bertaqwalah yang beriman kepada al-Qur`an dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur`an[2].
Sebagai kitab petunjuk, al-Qur`an harus dimengerti dan dipahami oleh umat manusia agar dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar al-Qur`an dapat dimengerti, dipahami, dan diamalkan, maka diperlukan penjelasan-penjelasan mengenai pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya. Lebih-lebih al-Qur`an diturunkan dengan berbahasa Arab, sementara al-Qur`an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia itu, mereka memiliki bahasa yang beragam. Karenanya, pesan-pesan al-Qur`an  diperlukan  penjelasan. Penjelasan-penjelasan mengenai isi kandungan al-Qur`an itu disebut tafsîr. Sebab, tafsir diperlukan untuk mengetahui dan memahami pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalam al-Qur`an. Dengan tafsir pemahaman makna ayat-ayat al-Qur`an,  hukum-hukum yang dikandungnya, hikmah-hikmah yang disyari’atkan dari hukum tersebut, ajaran akhlak, dan petunjuk-petunjuk lainnya dapat dijelaskan.[3]  
Tafsir sepanjang sejarahnya, mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sejak masa Nabi Saw., sahabat, tâbi’în, tâbi’i al-tâbi’în, dan seterusnya sampai ke para mufassir berikutnya. Pada setiap zaman dan kurun waktu serta di berbagai tempat muncul para mufassîr dengan kitab tafsirnya masing-masing.
 Metodologi tafsir pun terus berkembang dengan corak penafsiran yang berbeda-beda. Dalam metode tafsir dikenal Metode Ijmâlî (Global), Metode Tahlîlî (Analitik),  Metode Muqârin (Komparatif), dan Metode Maudhû’î (Tematik).[4] Dalam Ilmu Tafsir dikenal juga bentuk penafsiran bi al-ma`tsur dan bentuk penafsiran bi al-ra`y. Dalam bentuk penafsiran yang disebut terakhir ini muncul corak tafsir, seperti tafsir fiqhi, tafsir ‘ilmî, tafsir falsafî, tafsir adabî ijtimâ’î, tafsir shûfî (isyârî), dan lain-lain. Sebab, tafsir bi al-ra`y yang menggunakan metode analitik (tahlîlî), para mufassir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur`an, selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar.[5] Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra`y dengan metode analitik (tahlîlî) dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam.[6]
Di antara corak penafsiran dalam bentuk bi al-ra`y yang nampak  mengundang kontroversi adalah tafsîr shûfî atau tafsîr isyârî. Corak tafsir ini mengundang kontroversi karena penafsirannya yang dipandang mengedepankan makna batin daripada makna lahir, bahkan dipandang terlalu jauh dari makna lafzhi ayat-ayat al-Qur`an. Kecuali itu, kelahiran tasawuf sendiri dalam Islam telah terjadi kontroversi, apakah tasawuf lahir dari ajaran Islam sendiri atau ada pengaruh dari luar Islam, bahkan tasawuf sering dituduh sebagai ajaran yang membawa kemunduran umat Islam dan ajaran sesat.
Persoalan kontroversi tafsîr shûfî atau tafsîr isyârî nampaknya perlu diangkat dalam tulisan ini. Sebab, sebagian ulama menerima corak tafsir ini dengan kriteria dan persyaratan tertentu, dan sebagian ulama lainnya menolaknya. Masalah yang akan angkat dalam tulisan ini ialah mengapa kemunculan tafsir shûfî atau tafsir isyârî menimbulkan kontroversi? Tulisan ini cukup penting dan signifikan untuk mengungkap persoalan kontroversi di sekitar tafsir sufistik (tafsir shûfî).

Pengertian Tafsir Sufi

Dalam kajian Ilmu. Tafsir, istilah Tafsîr Shûfî lebih dikenal dengan  sebutan Tafsîr Isyârî.. Menurut Shubhî al-Shâlih dalam bukunya Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Tafsîr Isyârî ialah tafsir yang menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak melihat lafazh secara lahirnya saja, tetapi disertakan usaha menghubungkan lafazh yang lahir dengan  makna batinnya.[7] Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Zarqani, bahwa Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî adalah ta`wil al-Qur`an tanpa mengambil makna lahirnya untuk menyingkapkan petunjuk yang tersembunyi menurut para pelaku suluk dan ahli tasawuf.[8] Lafazh yang lahir ialah lafazh yang dapat segera dipahami oleh akal pikiran, sedangkan yang batin dapat dipahami melalui isyarat-isyarat yang tersembunyi.[9] Dengan demikian, Tafsir Isyari merupakan penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh kaum sufi melalui jalan ta`wil, yakni memalingkan ayat dari makna lahirnya.[10] Sebetulnya dalam Tafsîr Isyârî dimungkinkan juga untuk menggabungkan kedua makna itu, yang lahir dan yang batin.
Menurut Abdul Jalal, Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî  ialah sebuah tafsir al-Qur`an yang beraliran tasawuf atau kebatinan, yakni sebuah penafsiran yang difokuskan kepada bidang tasawuf atau kebatinan.[11] Hasbi As-Shiddidie mengartikan tafsir sufi sebagai penafsiran yang menitik-beratkan kepada isyarat al-Qur`an yang berpautan dengan ilmu suluk.[12]  Dengan melakukan latihan kejiwaan (riyâdhah), para mufassir di kalangan sufi berusaha mencapai ma’rifah (pengetahuan) mengenai makna al-Qur`an sehingga terbukalah bagi mereka isyarat dari makna yang tersembunyi. Ma’rifah menurut para sufi berarti pengetahuan yang langsung terbuka dari sisi Allah Swt., bukan dari hasil penalaran akal pikiran manusia.
     Dengan demikian, penafsiran ayat-ayat al-Qur`an dalam konteks Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî  adalah penafsiran yang tidak cukup dengan hanya melihat makna lahiriahnya saja, tetapi penafsiran itu harus juga melihat makna batiniahnya. Jadi, penta`wilan ayat-ayat al-Qur`an itu didasarkan pada penggabungan antara makna yang nyata dan makna yang tersembunyi.[13] Memang sebagai watak metodologis dan epistemologi tasawuf, kajian sufistik lebih menekankan pada pendekatan esoterik (batin) dari pada pendekatan eksoterik (lahir) di dalam memaknai ajaran agama. Oleh karena itu wajar jika Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî lebih menekankan pada makna ayat-ayat al-Qur`an dari aspek isyarat yang tersembunyi di dalamnya daripada makna lahirnya.
     Penjelasan di atas menunjukkan bahwa inti dari Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî  dalam konteks kajian tafsir nampaknya tertumpu pada persoalan ta`wil. Menurut pengertian etimologis, pengertian tafsir dan ta`wil sebenarnya merupakan kata padanan (murâdif), yaitu menerangkan dan menjelaskan (al-bayân wa al-îdhâh) terhadap makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur`an.[14] Hanya saja pengertian tafsir lebih umum dari pada  pengertian ta`wil.[15] Tafsir menerangkan arti lafazh dengan jalan riwâyah, sedangkan ta`wil menerangkan arti lafazh dengan jalan dirâyah. Tafsir menetapkan dengan jalan yakin bahwasanya demikianlah maksud yang dikehendaki Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima oleh lafazh, tanpa menetapkan bahwa itulah yang dimaksud dengan secara yakin.[16]
    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî  adalah sebuah corak tafsir yang tidak terikat hanya dengan makna lafzhiyyah secara lahir saja, tetapi cenderung menangkap isyarat-isyarat makna bathiniyyah dari ayat-ayat al-Qur`an melalui jalan ta`wil. Tentu saja isyarat-isyarat makna itu diarahkan kepada konsep dan pengalaman sufistik yang diperoleh dengan jalan ma’rifah dari penafsirnya, karena memang mufassirnya adalah seorang sufi.

Sejarah dan Perkembangan Tafsir Sufi

Perkenbangan Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî  tentu saja tidak terlepas dari sejarah perkembangan tafsir pada umumnya. Pada masa Rasulullah Saw, penafsiran al-Qur`an menjadi otoritas beliau. Rasulullah Saw adalah seorang mufssir pertama (al-Mufassir al-Awwal) bagi al-Qur`an.
Rasulullah Saw setiap kali menerima ayat-ayat al-Qur`an, langsung menyampaikannya kepada para sahabat serta menafsirkannya mana ayat-ayat yang perlu ditafsirkan. Penafsiran Rasulullah Saw itu adakalanya dengan sunnah qauliyyah, adakalanya dengan sunnah fi’liyyah, dan adakalanya sunnah taqririyyah.[17] Beliaulah yang menerangkan maksud ayat-ayat al-Qur`an yang diturunkan kepadanya. Para sahabat tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur`an  ketika Rasulullah Saw masih hidup, dan memang belum perlu bagi mereka melakukan penafsiran karena segala persoalan menyangkut pemahaman al-Qur`an dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah Saw.
Setelah Rasulullah Saw wafat, barulah para sahabat yang alim dan mengetahui rahasia-rahasia al-Qur`an serta mendapat petunjuk dari Nabi sendiri merasa perlu menafsirkan al-Qur`an. Mereka merasa perlu menerangkan apa yang mereka ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud al-Qur`an.
Para sahabatpun tidak sederajat dalam memahami al-Qur`an dan mengetahui makna mufradât dan tarkîb-nya. Ada di antara mereka yang memahaminya secara global  (ijmâl) dan ada yang memahaminya secara rinci (tafshîl).[18]  Hal itu disebabkan karena latar belakang tingkat pengetahuan para sahabat berbeda. Ada di antara mereka yang selalu menyertai Nabi sehingga mereka dapat mengetahui sebab turunnya al-Qur`an dan penjelasan-penjelasannya. Demikian pula ada di antara mereka yang memiliki pengetahuan luas tentang sastra jahiliyah dan adat istiadat bangsa Arab dalam pemakaian bahasa, dan ada yang tidak.
Pada masa sahabat belum dilakukakan penulisan tafsir atau hadis-hadis tafsir, bahkan pada umumnya mereka tidak menulis Hadis, karena mereka khawatir akan terjadi bercampur baur antara al-Qur`an dan Hadis atau al-Qur`an dan hadis-hadis tafsir.
Pembukuan kitab-kitab tafsir dimulai pada akhir memerintahan Daulah Bani Umayah dan pada masa permulaan Daulah Bani Abbasiyah. Berbarengan  dengan suasana lahir dan terbentuknya berbagai disiplin ilmu di dunia Islam, maka tafsir mulai berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari Hadis.[19]
Perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam turut mewarnai perkembangan dan corak tafsir. Demikian pula munculnya aliran-aliran dan mazhab-mazhab dalam Islam, seperti aliran kalam, aliran filsafat, mazhab fiqh, corak tasawuf juga membuat para mufassir dari latar belakang masing-masing disiplin ilmu, aliran, dan mazhabnya berpengaruh terhadap penafsiran mereka terhadap al-Qur`an.
Di antara kitab-kitab tafsir yang disebut dengan tafsir sufi adalah sebagai berikut: Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm yang dikarang oleh Imam al-Tusturi ( w. 383 H); Haqâ`iq al-Tafsîr karya al-‘Allamah al-Sulami (w. 412 H); ‘Arâ`is al-Bayân fî Haqâ`iq al-Qur`ân karya Imam al-Syirazi (w. 606 H).[20] Hasbi ash-Shiddieqy menambahkan dengan tafsir Ibnu Arabi (w. 683 H) dan tafsir al-Alusi (w. 1270 H).[21]
Demikian sekilas tentang perkembangan tafsir sepanjang sejarahnya, dan perkembangan tafsir itu tampaknya terus berlangsung sampai sekarang, bahkan sepanjang masa. Sehingga pada setiap kurun waktu dan di berbagai negeri muncul  para mufassir dan kitab-kitab tafsir.

Macam-macam Tafsir Sufi

Sebagaimana aliran-aliran lainnya dalam Islam, para sufi pun banyak melakukan kajian terhadap al-Qur`an dan memiliki beberapa kitab tafsir yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan Islam, baik yang baru maupun yang lama. Kajian-kajian dan uraian-uraian mereka terhadap al-Qur`an berorientasi pada tasawuf. Dalam hal ini tampak jelas pengaruh-pengaruh tasawuf, baik tasawuf teoritis maupun tasawuf praktis di dalam penafsiran al-Qur`an.
Mengenai pembahasan macam-macam Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî, Muhammad Husein al-Dzahabi menjelaskan ada dua macam orientasi para sufi dalam menafsirkan al-Qur`an. Pertama, orientasi teoritis (ittijâh al-nazharî) yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi. Orientasi teoritis ini dapat dipahami sebagai penafsiran al-Qur`an yang didasarkan kepada konsep-konsep tasawuf yang dibawakan oleh kaum sufi sesuai dengan konsep mereka masing-masing. Kedua, orientasi  praktis (ittijâh al-amalî) yang didasarkan atas kegiatan penyiksaan diri (takâsyuf), asketisisme (zuhud), dan menghanyutkan diri secara berlebih-lebihan dalam kegiatan beribadah kepada Allah.[22] Nampaknya yang dimaksud oleh al-Dzahabi dengan penyiksaan diri (takâsyuf) dan menghanyutkan diri secara berlebih-lebihan dalam kegiatan beribadah kepada Allah adalah latihan rohani (riyâdhah) untuk memperoleh pengetahuan  (ma’rifah) sampai kaum sufi mencapai suatu tingkat yang disebut  dengan kasyaf.
Orientasi teoritis berarti penafsiran kaum sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang dipengaruhi oleh tasawuf teoritis (al-tashawwuf al-nazharî), yang didasarkan atas pemikiran-pemikiran ilmiah para tokoh sufi dan kemudian dicarikan justifikasinya dari al-Qur`an. Sedangkan orientasi praktis berarti penafsiran kaum sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang dipengaruhi oleh tasawuf praktis (al-tashawwuf al-amalî), yang didasarkan atas latihan rohani (riyâdhah) untuk memperoleh pengetahuan  (ma’rifah) sampai mencapai suatu tingkat yang disebut  dengan kasyaf, dimana isyarat-isyarat suci itu tampak dan memberikan pengetahuan-pengetahuan rabbanî ke dalam hati mereka, dan pengetahuan itulah yang digunakan oleh mereka untuk menafsirkan makna al-Qur`an.
Dari kedua macam orientasi kaum sufi dalam menafsirkan al-Qur`an sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya harus dipahami secara arif dan bijaksana, karena kedua orientasi tersebut bagi kaum sufi adalah berdasar pada epistemologi dan metodologi Ilmu Tasawuf. Sehingga apa yang mereka tempuh dalam memahami al-Qur`an pun mereka menggunakan kerangka epistemologi dan metodologi Ilmu Tasawuf tersebut.
Apabila dianalisa dan dicermati mengenai perkembangan Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî, dan inti dari penafsiran sufistik itu dalam konteks ilmu tafsir, terfokus pada ta`wîl dalam upaya mencari makna batin dari lafazh al-Qur`an, maka paling tidak ada dua macam Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî. Pertama; Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî yang menggunakan ta`wîl yang masih berdekatan dengan makna lahir dari lafazh al-Qur`an (ta`wîl qarîb). Kedua; Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî yang menggunakan ta`wîl yang terlalu jauh dari makna lafazhnya (ta`wîl ba’îd).
Dua versi macam-macam tafsir sufi sebagaimana dikemukakan di atas dapat diformulasikan bahwa tafsir sufi dilihat dari orientasinya dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu tafsir sufi yang berorientasi pada tasawuf teoritis (al-tashawwuf al-nazharî), dan tafsir sufi yang berorientasi pada tasawuf praktis (al-tashawwuf al-amalî). Sedangkan dilihat dari metode penafsirannya yang menggunakan ta`wil dapat diklasifikasikan menjadi dua macam juga, yaitu tafsir sufi yang menggunakan ta`wil yang dekat dengan makna lafazhnya (ta`wîl qarîb), dan tafsir sufi yang menggunakan ta`wil yang jauh dari makna lafazhnya (ta`wîl ba’îd).

Syarat-syarat Tafsir Sufi

Muhammad Husein al-Dzahabi mengemukakan beberapa kriteria tafsir sufi atau tafsir isyari yang dapat diterima (maqbûl) sebagai berikut:
1.      Tidak menyimpang atau bertentangan dengan makna lahir ayat-ayat al-Qur`an
2.      Didukung oleh argumen rasional atau bukti yang kuat dari syari’at
3.      Tidak bertentangan dengan syari’at atau akal sehat
4.      Tidak mengklaim bahwa tafsir isyari adalah satu-satunya yang dimaksudkan Allah di dalam ayat itu, sebaliknya mufassir mengakui adanya makna lahir ayat, baru kemudian menjelaskan makna batinnya.[23]

Syarat-syarat tafsir sufi yang dapat diterima (maqbûl) sebagaimana dikemukakan oleh al-Dzahabi di atas menunjukkan bahwa dia menaruh   perhatian yang sangat kuat terhadap kekhawatiran akan penyimpangan penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang dilakukan oleh kaum sufi.
Al-Dzahabi mensyaratkan tafsir sufi tidak boleh menyimpang dari makna lahir ayat-ayat al-Qur`an,  karena memang  kaum sufi lebih menekankan pada makna batin dari ayat-ayat al-Qur`an dalam penafsirannya daripada makna lahir. Sehingga dikhawatirkan kaum sufi terlalu jauh dalam menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an, bahkan mungkin tidak mengindahkan makna lahir dalam penafsirannya itu.
Demikian pula syarat lain, seperti didukung oleh argumen rasional atau bukti yang kuat dari syari’at, tidak bertentangan dengan syari’at atau akal sehat, dan tidak mengklaim bahwa tafsir sufi atau isyari adalah satu-satunya yang dimaksudkan Allah di dalam ayat tersebut. Syarat-syarat tersebut menunjukkan perlunya rambu-rambu dalam penafsiran al-Qur`an. Syarat argumen rasional atau akal sehat, dan tidak bertentangan dengan syari’at,  nampaknya untuk memberi rambu-rambu kepada kaum sufi yang terkadang mengabaikan argumen rasional, dan bahkan mengabaikan syari’at.
Syarat agar kaum sufi tidak mengklaim bahwa penafsiran mereka itulah satu-satunya penafsiran yang dimaksud oleh Allah Swt. adalah sebagai rambu-rambu agar mereka tidak fanatik terhadap penafsirannya, sehingga mereka bersikap eksklusif dan menolak penafsiran orang lain yang tidak sesuai dengan penafsiran mereka.

Kontroversi Tafsir Sufi
Di antara tokoh-tokoh tasawuf terdapat ulama yang mencurahkan perhatiannya untuk meneliti, mengkaji, dan mendalami al-Qur`an sesuai dengan sudut pandang teori-teori tasawuf mereka. Mereka dipandang telah menta’wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak mengikuti pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil syar’i berdasarkan kaidah bahasa Arab.
Imam al-Alusi sebagaimana dikutip oleh ‘Ali Hasan al-‘Aridh mengemukakan bahwa apa yang dijelaskan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur`an adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki.[24] Lebih lanjut al-Alusi mengatakan: “Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki. Keyakinan mereka yang demikian secara ekstrim, sehingga mereka menafikan syari’at secara keseluruhan”.[25]
Namun demikian, kata al-Alusi, tokoh-tokoh sufi kita (sufi sunnî, pen.) tidaklah mungkin sampai bersikap demikian, oleh karena mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: Pada tahap pertama harus dilakukan dan diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin dari suatu ayat sebelum  penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui. Barangsiapa mengaku dapat memahami rahasia-rahasia al-Qur`an sebelum mengetaahui penafsiran dan pengertian tekstualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagaian dalam Ka’bah sebelum ia melewati pintunya.[26]
Lebih lanjut al-Alusi mengatakan: ”Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa al-Qur`an mempunyai bagian-bagian batin yang  dilimpahkan oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah kepada batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki”.[27]
Muhammad Husein al-Dzahabi melihat dari sudut yang berbeda dari al-Alusi, menurut al-Dzahabi, Tafsir Sufi al-Nazhari pada umumnya menyimpangkan makna al-Qur`an dari maksud dan tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Al-Qur`an dengan nash-nash dan ayat-ayatnya mempunyai maksud-maksud tertentu, tetapi orang-orang sufi menyimpangkannya kepada maksud-maksud lain yang sesuai dengan pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran mereka. Kadang-kadang ada kesenjangan dan kontradiksi di antara kedua tujuan atau maksud tersebut.[28]
Lebih lanjut al-Dzahabi mencontohkan bahwa Ibnu ‘Arabi cenderung menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an agar sejalan dengan pendapatnya tentang konsep wahdat al-wujûd, demikian juga Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, dll. Pendapat inilah yang menyebabkan seperti al-Hallaj berani berkata: “Ana al-Haq” dan juga Ibnu ‘Arabi yang mengatakan bahwa anak sapi yang disembah oleh Bani Israil merupakan salah satu manifestasi (tajallî) Allah dan yang sekaligus dijadikan sebagai tempat (hulûl) bagi-Nya.[29]
Penyimpangan lain oleh Ibnu “Arabi, sebagaimana dikemukakan oleh al-Dzahabi adalah penafsiran terhadap firman Allah Surat al-Baqarah ayat 163 yang berbunyi: و الهكم اله واحد   . Ibnu ‘Arabi mengatakan: Dalam ayat ini Allah berbicara dengan kaum muslimin bahwa orang-orang yang menyembah benda-benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri dengan-Nya, sebenarnya sama dengan menyembah Allah juga. Ingatlah ketika mereka mengatakan: “Sebenarnya kami menyembah benda-benda ini hanya untuk lebih mendekatkan kami kepada Allah”, sambil mengemukakan alasan mereka. Kemudian Allah pun berfirman kepada kita bahwa sesungguhnya Tuhanmu dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang musyrik, dengan perantaraan benda-benda sesembahan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, adalah sama; karena itu sebenarnya kamu semua tidak berbeda dalam pengakuanmu terhadap Tuhan yang Maha Esa itu”.[30]
Bila dicermati penafsiran Ibnu ‘Arabi di atas jelas akan mengundang kontroversi, sebab penafsiran seperti itu akan merusak aqidah umat Islam pada umumnya, yang selama ini mereka meyakini bahwa sesembahan selain kepada Allah, dengan alasan apapun termasuk syirk, dan syirk adalah kezhaliman yang amat besar.
Jalaluddin Rakhmat mengemukakan beberapa penyebab keberatan kebanyakan orang terhadap tafsir sufi yang menekankan pada tafsir batiniah dari ayat-ayat al-Qur`an.[31] Pertama, mereka kuatir dengan hanya mengambil makna batiniah, tafsir sufi mengabaikan makna lahiriah. Akibatnya, syari’at bisa dilecehkan atau ditinggalkan sama sekali. Karena menerima ta`wîl akhirnya orang meninggalkan tanzîl Kedua, pengambilan makna batiniah sering kali mengabaikan hukum-hukum bahasa Arab. Makna denotatif dari berbagai kata ditundukkan pada makna konotatif, yang diperoleh seseorang dari pengalaman rohaniahnya. Pengalaman rohaniah pada gilirannya sangat subyektif dan irasional atau suprarasional yang sulit untuk diverifikasi. Ketiga, tafsir sufi dicurigai karena tasawuf dianggap sebagai ajaran yang menyimpang dari al-Qur`an dan Sunnah, atau lebih buruk lagi, sebagai ajaran kaum musyrikin yang dimasukkan ke dalam ajaran Islam.
Selanjutnya Jalaluddin Rakhmat mengomentari persoalan yang diarahkan kepada tafsir sufi di atas. Menurut dia, tasawuf memang menunjukkan makna yang luas, dan dijalankan di berbagai negeri yang berbeda bahasa dan kebudayaan, tetapi dipersatukan oleh otoritas wahyu al-Qur`an dan teladan Rasulullah Saw.[32]
Berkenaan dengan persoalan ta’wil, lebih lanjut Jalaluddin Rakhmat mengatakan: “Para pengkritik tampaknya tidak dapat membedakan antara ta`wil yang sesat dengan ta`wil yang benar. Seringkali tafsir tidak cukup –dan karenanya- kita memerlukan ta`wil. Berhenti pada tafsir akan membawa kita justru pada kesesatan dan keraguan. Ta`wil atau menyingkap makna batiniah tidak dengan sendirinya mengabaikan makna lahiriah. Ta`wil dilakukan guna menggali berbagai dimensi makna al-Qur`an. Membatasi al-Qur`an hanya dengan makna lahiriah saja, akan mendangkalkan samudera ilahiah yang dalamnya dan luasnya tidak terhingga”.[33]
Uraian dan komentar di atas menunjukkan bahwa tafsir sufi sangat tergantung kepada orientasi dan penggunaan ta`wil dari para penafsirnya. Jika orientasi mufassir hanya untuk menguatkan konsep ajarannya, tanpa memperhatikan dalil-dalil syar’i yang mu’tamad dan mu’tabar, maka akan terlihat pemaksaan terhadap penafsiran al-Qur`an. Demikian pula penggunaan ta`wil yang terlalu jauh dari prinsip-prinsip ajaran Islam, jelas akan membawa kesesatan. Teapi sebaliknya, menggali mutiara makna al-Qur`an dari samudera ilahiah yang sangat dalam dan luas itu akan menambah tinggi kemukjizatan al-Qur`an. Karena syarat-syarat tafsir isyari yang dikemukakan oleh al-Dzahabi di atas dapat dijadikan pedoman.


Kesimpulan
Dari Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Tafsîr Shûfî  atau Tafsîr Isyârî ialah tafsir yang menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak melihat lafazh secara lahirnya saja, tetapi disertakan usaha menghubungkan lafazh yang lahir dengan  makna batinnya. Lafazh yang lahir ialah lafazh yang dapat segera dipahami oleh akal pikiran, sedangkan yang batin dapat dipahami melalui isyarat-isyarat yang tersembunyi. Dengan demikian, Tafsir Isyari merupakan penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh kaum sufi melalui jalan ta`wil, yakni memalingkan ayat dari makna lahirnya.
Orientasi dan ta`wil yang digunakan oleh para sufi dapat berbeda-beda sesuai dengan jaran tasawuf yang dikembangkannya. Karenanya, selama orientasi konsep ajaran tasawuf dan ta`wil yang digunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka tafsir sufi dapat diterima.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfa’at untuk menambah informasi ilmiah di seputar khazanah tafsir. Amin.


DAFTAR BACAAN

Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Jamrah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.

Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990.

Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur`an, Terj. Zufran Rahman, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996.

Ali Hasan al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. II, 1994.

Hasbi al-Shiddiqi, Ilmu-ilmu al-Qur`an, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal. 190-191.

Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkyyah, Juz IV, Dâr al-Fikr, Beirut, t.th.

Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah: Muqaddimah, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.

Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, PT. Lentera Antar Nusa, Jakarta, 1992.

Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, ‘Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakahu, Kairo, t.th.

Muhammad bin Alwi al-Maliki, Zubdat al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-Syurûq, Mekah.
--------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur`an./Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1954.

Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.

Shubhi al-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-‘Ilm Lilmalâyîn, Beirut, 1977.







 

           
             


* Penulis adalah dosen IAIN Raden Intan Bandarlampung Fakulktas Ushuluddin Prodi Tafsir Hadits. Mengajar mata kuliah Ilmu Tasawuf. S1, S2 dan S3nya diselesaikan pada perguruan tinggi yang sama, yakni UIN Syahida Jakarta.
[1] Lihat:  Q.S. 2 : 185.
[2] Lihat: Q.S. 2: 2-4.
[3] Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990, hal. 15.
[4] Lihat: Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hal. 13-151.
[5] Ibid., hal. 50
[6] Ibid.
[7] Shubhi al-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-‘Ilm Lilmalâyîn, Beirut, 1977, hal. 296.
[8] Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, ‘Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakahu, Kairo, t.th., hal 278.
[9] Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, PT. Lentera Antar Nusa, Jakarta, 1992, hal. 489.
[10] Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur`an, Terj. Zufran Rahman, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996, hal. 133.
[11] Abdul Jalal, op.cit.,  hal. 76.
[12] Hasbi As-Shiddiqie,
[13] Shubhi al-Shalih  loc.cit.
[14] Hasbi al-Shiddiqi, Ilmu-ilmu al-Qur`an, Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal. 190-191.
[15] Muhammad bin Alwi al-Maliki, Zubdat al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-Syurûq, Mekah, hal. 146.
[16] Ibid.
[17] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur`an./Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1954, hal. 205.
[18] Ibid., hal. 208.
[19] Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Jamrah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 4.
[20] Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dâr Kutub al-Hadîtsah, Kairo, Jilid III, Cet. I, 1962, hal. 43
[21] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah… op.cit., hal. 238.
[22] Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm: Dawâfi’uhâ wa Daf’uhâ, Dâr al-I’tishâm, Kairo, 1978, 92.
[23] Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr…, Jilid II,  hal. 43-44.
[24] .Ali Hasan al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. II, 1994, hal. 55.
[25] Ibid. hal, 55-56.
[26] Ibid., hal. 56.
[27] Ibid.
[28] Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Ittijâhâtop.cit., hal. 92-93.
[29] Ibid., hal. 95-96.
[30] Ibid. Lihat: Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkyyah, Juz IV, Dâr al-Fikr, Beirut, t.th., hal. 160.
[31] Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah: Muqaddimah, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. xv.
[32] Ibid., hal. xvi
[33] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar