KONTROVERSI
DI SEKITAR TAFSIR SUFI
MA. Achlami HS*
Abstrak
Tafsir
sepanjamg sejarahnya mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik mengenai metodologi maupun coraknya.
Perkembangan itu meluas sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
filsafat di dunia Islam sebagai konsekuensi dari ekspansi Islam ke wilayah di
luar Arab. Kecuali itu, berkembangnya aliran-aliran dalam Islam juga turut
mewarnai penafsiran mereka terhadap al-Qur`an. Tafsir sufi yang dikenal dengan
tafsîr isyârî adalah salah satu corak tafsir yang telah mengisi lembaran
sejarah tafsir. Namun kemunculan tafsir sufi mengundang kontroversi di kalangan
ulama, terutama menurut kacamata fuqahâ`. Hal itu terjadi, tidak saja karena
tafsirnya yang lebih menekankan pada isyarat makna batin dari lafazh al-Qur`an,
tetapi eksistensi para sufi dan tasawuf itu sendiri sering dituduh sebagai
ajaran yang membawa kepada paham zindik dan mulhid. Oleh karena itu, analisis
ilmiah terhadap tafsir sufi penting untuk dihadirkan dalam tulisan ini sebagai
jawaban apakah memang benar demikian.
Kata Kunci: al-Qur`an, tafsir, tafsir sufi, tafsir isyari,
kontroversi.
Pendahuluan
Al-Qur`an
adalah Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan
berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu, dan pembeda antara yang haq dan yang bâthil.[1]
Petunjuk al-Qur`an itu lebih khusus lagi ditujukan kepada orang-orang yang
bertaqwa. Sebab, hanya orang-orang yang bertaqwalah yang beriman kepada
al-Qur`an dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur`an[2].
Sebagai
kitab petunjuk, al-Qur`an harus dimengerti dan dipahami oleh umat manusia agar
dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar al-Qur`an dapat dimengerti,
dipahami, dan diamalkan, maka diperlukan penjelasan-penjelasan mengenai
pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya. Lebih-lebih al-Qur`an diturunkan
dengan berbahasa Arab, sementara al-Qur`an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi
umat manusia itu, mereka memiliki bahasa yang beragam. Karenanya, pesan-pesan
al-Qur`an diperlukan penjelasan. Penjelasan-penjelasan mengenai
isi kandungan al-Qur`an itu disebut tafsîr. Sebab, tafsir diperlukan
untuk mengetahui dan memahami pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalam
al-Qur`an. Dengan tafsir pemahaman makna ayat-ayat al-Qur`an, hukum-hukum yang dikandungnya, hikmah-hikmah
yang disyari’atkan dari hukum tersebut, ajaran akhlak, dan petunjuk-petunjuk
lainnya dapat dijelaskan.[3]
Tafsir
sepanjang sejarahnya, mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sejak masa Nabi
Saw., sahabat, tâbi’în, tâbi’i al-tâbi’în, dan seterusnya sampai
ke para mufassir berikutnya. Pada setiap zaman dan kurun waktu serta di
berbagai tempat muncul para mufassîr dengan kitab tafsirnya
masing-masing.
Metodologi tafsir pun terus berkembang dengan
corak penafsiran yang berbeda-beda. Dalam metode tafsir dikenal Metode Ijmâlî
(Global), Metode Tahlîlî (Analitik), Metode Muqârin (Komparatif), dan
Metode Maudhû’î (Tematik).[4]
Dalam Ilmu Tafsir dikenal juga bentuk penafsiran bi al-ma`tsur dan
bentuk penafsiran bi al-ra`y. Dalam bentuk penafsiran yang disebut
terakhir ini muncul corak tafsir, seperti tafsir fiqhi, tafsir
‘ilmî, tafsir falsafî, tafsir adabî ijtimâ’î, tafsir
shûfî (isyârî), dan lain-lain. Sebab, tafsir bi al-ra`y yang
menggunakan metode analitik (tahlîlî), para mufassir
relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom dalam
memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur`an, selama masih dalam
batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar.[5]
Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra`y dengan
metode analitik (tahlîlî) dapat melahirkan corak penafsiran yang
beragam.[6]
Di
antara corak penafsiran dalam bentuk bi al-ra`y yang nampak mengundang kontroversi adalah tafsîr shûfî
atau tafsîr isyârî. Corak tafsir ini mengundang kontroversi
karena penafsirannya yang dipandang mengedepankan makna batin daripada makna
lahir, bahkan dipandang terlalu jauh dari makna lafzhi ayat-ayat al-Qur`an.
Kecuali itu, kelahiran tasawuf sendiri dalam Islam telah terjadi kontroversi,
apakah tasawuf lahir dari ajaran Islam sendiri atau ada pengaruh dari luar
Islam, bahkan tasawuf sering dituduh sebagai ajaran yang membawa kemunduran
umat Islam dan ajaran sesat.
Persoalan
kontroversi tafsîr shûfî atau tafsîr isyârî nampaknya
perlu diangkat dalam tulisan ini. Sebab, sebagian ulama menerima corak tafsir
ini dengan kriteria dan persyaratan tertentu, dan sebagian ulama lainnya
menolaknya. Masalah yang akan angkat dalam tulisan ini ialah mengapa kemunculan
tafsir shûfî atau tafsir isyârî menimbulkan
kontroversi? Tulisan ini cukup penting dan signifikan untuk mengungkap
persoalan kontroversi di sekitar tafsir sufistik (tafsir shûfî).
Pengertian Tafsir Sufi
Dalam
kajian Ilmu. Tafsir, istilah Tafsîr Shûfî lebih dikenal dengan sebutan Tafsîr Isyârî.. Menurut
Shubhî al-Shâlih dalam bukunya Mabâhits fî ‘Ulûm
al-Qur`ân, Tafsîr Isyârî ialah tafsir yang menta`wilkan
ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak melihat lafazh secara lahirnya saja, tetapi
disertakan usaha menghubungkan lafazh yang lahir dengan makna batinnya.[7]
Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Zarqani, bahwa Tafsîr Shûfî
atau Tafsîr Isyârî adalah ta`wil al-Qur`an tanpa mengambil makna
lahirnya untuk menyingkapkan petunjuk yang tersembunyi menurut para pelaku
suluk dan ahli tasawuf.[8]
Lafazh yang lahir ialah lafazh yang dapat segera dipahami oleh akal pikiran,
sedangkan yang batin dapat dipahami melalui isyarat-isyarat yang tersembunyi.[9]
Dengan demikian, Tafsir Isyari merupakan penafsiran al-Qur`an yang dilakukan
oleh kaum sufi melalui jalan ta`wil, yakni memalingkan ayat dari makna
lahirnya.[10]
Sebetulnya dalam Tafsîr Isyârî dimungkinkan juga untuk
menggabungkan kedua makna itu, yang lahir dan yang batin.
Menurut
Abdul Jalal, Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî ialah sebuah tafsir al-Qur`an yang beraliran
tasawuf atau kebatinan, yakni sebuah penafsiran yang difokuskan kepada bidang
tasawuf atau kebatinan.[11]
Hasbi As-Shiddidie mengartikan tafsir sufi sebagai penafsiran yang
menitik-beratkan kepada isyarat al-Qur`an yang berpautan dengan ilmu suluk.[12] Dengan melakukan latihan kejiwaan (riyâdhah),
para mufassir di kalangan sufi berusaha mencapai ma’rifah (pengetahuan)
mengenai makna al-Qur`an sehingga terbukalah bagi mereka isyarat dari makna
yang tersembunyi. Ma’rifah menurut para sufi berarti pengetahuan yang langsung
terbuka dari sisi Allah Swt., bukan dari hasil penalaran akal pikiran manusia.
Dengan demikian, penafsiran
ayat-ayat al-Qur`an dalam konteks Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî
adalah penafsiran yang tidak cukup
dengan hanya melihat makna lahiriahnya saja, tetapi penafsiran itu harus juga
melihat makna batiniahnya. Jadi, penta`wilan ayat-ayat al-Qur`an itu didasarkan
pada penggabungan antara makna yang nyata dan makna yang tersembunyi.[13]
Memang sebagai watak metodologis dan epistemologi tasawuf, kajian sufistik
lebih menekankan pada pendekatan esoterik (batin) dari pada pendekatan
eksoterik (lahir) di dalam memaknai ajaran agama. Oleh karena itu wajar jika Tafsîr
Shûfî atau Tafsîr Isyârî lebih menekankan pada makna ayat-ayat
al-Qur`an dari aspek isyarat yang tersembunyi di dalamnya daripada makna
lahirnya.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
inti dari Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî dalam konteks kajian tafsir nampaknya tertumpu
pada persoalan ta`wil. Menurut pengertian etimologis, pengertian tafsir dan
ta`wil sebenarnya merupakan kata padanan (murâdif), yaitu menerangkan
dan menjelaskan (al-bayân wa al-îdhâh) terhadap makna-makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur`an.[14]
Hanya saja pengertian tafsir lebih umum dari pada pengertian ta`wil.[15]
Tafsir menerangkan arti lafazh dengan jalan riwâyah, sedangkan ta`wil
menerangkan arti lafazh dengan jalan dirâyah. Tafsir menetapkan dengan
jalan yakin bahwasanya demikianlah maksud yang dikehendaki Allah, sedangkan
ta`wil mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima oleh lafazh, tanpa
menetapkan bahwa itulah yang dimaksud dengan secara yakin.[16]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa pengertian Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî adalah sebuah corak tafsir yang tidak terikat
hanya dengan makna lafzhiyyah secara lahir saja, tetapi cenderung
menangkap isyarat-isyarat makna bathiniyyah dari ayat-ayat al-Qur`an
melalui jalan ta`wil. Tentu saja isyarat-isyarat makna itu diarahkan kepada
konsep dan pengalaman sufistik yang diperoleh dengan jalan ma’rifah dari
penafsirnya, karena memang mufassirnya adalah seorang sufi.
Sejarah
dan Perkembangan Tafsir Sufi
Perkenbangan
Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî tentu saja tidak terlepas dari sejarah
perkembangan tafsir pada umumnya. Pada masa Rasulullah Saw, penafsiran
al-Qur`an menjadi otoritas beliau. Rasulullah Saw adalah seorang mufssir
pertama (al-Mufassir al-Awwal) bagi al-Qur`an.
Rasulullah
Saw setiap kali menerima ayat-ayat al-Qur`an, langsung menyampaikannya kepada
para sahabat serta menafsirkannya mana ayat-ayat yang perlu ditafsirkan.
Penafsiran Rasulullah Saw itu adakalanya dengan sunnah qauliyyah,
adakalanya dengan sunnah fi’liyyah, dan adakalanya sunnah taqririyyah.[17]
Beliaulah yang menerangkan maksud ayat-ayat al-Qur`an yang diturunkan
kepadanya. Para sahabat tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur`an ketika Rasulullah Saw masih hidup, dan memang
belum perlu bagi mereka melakukan penafsiran karena segala persoalan menyangkut
pemahaman al-Qur`an dapat ditanyakan langsung kepada Rasulullah Saw.
Setelah
Rasulullah Saw wafat, barulah para sahabat yang alim dan mengetahui
rahasia-rahasia al-Qur`an serta mendapat petunjuk dari Nabi sendiri merasa
perlu menafsirkan al-Qur`an. Mereka merasa perlu menerangkan apa yang mereka
ketahui dan menjelaskan apa yang mereka pahami tentang maksud-maksud al-Qur`an.
Para
sahabatpun tidak sederajat dalam memahami al-Qur`an dan mengetahui makna mufradât
dan tarkîb-nya. Ada di antara mereka yang memahaminya secara global (ijmâl) dan ada yang memahaminya
secara rinci (tafshîl).[18] Hal itu disebabkan karena latar belakang
tingkat pengetahuan para sahabat berbeda. Ada di antara mereka yang selalu
menyertai Nabi sehingga mereka dapat mengetahui sebab turunnya al-Qur`an dan
penjelasan-penjelasannya. Demikian pula ada di antara mereka yang memiliki
pengetahuan luas tentang sastra jahiliyah dan adat istiadat bangsa Arab dalam
pemakaian bahasa, dan ada yang tidak.
Pada masa
sahabat belum dilakukakan penulisan tafsir atau hadis-hadis tafsir, bahkan pada
umumnya mereka tidak menulis Hadis, karena mereka khawatir akan terjadi
bercampur baur antara al-Qur`an dan Hadis atau al-Qur`an dan hadis-hadis
tafsir.
Pembukuan
kitab-kitab tafsir dimulai pada akhir memerintahan Daulah Bani Umayah dan pada
masa permulaan Daulah Bani Abbasiyah. Berbarengan dengan suasana lahir dan terbentuknya
berbagai disiplin ilmu di dunia Islam, maka tafsir mulai berkembang menjadi
suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari Hadis.[19]
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan filsafat di dunia Islam turut mewarnai perkembangan dan
corak tafsir. Demikian pula munculnya aliran-aliran dan mazhab-mazhab dalam
Islam, seperti aliran kalam, aliran filsafat, mazhab fiqh, corak tasawuf juga
membuat para mufassir dari latar belakang masing-masing disiplin ilmu, aliran,
dan mazhabnya berpengaruh terhadap penafsiran mereka terhadap al-Qur`an.
Di antara
kitab-kitab tafsir yang disebut dengan tafsir sufi adalah sebagai berikut: Tafsîr
al-Qur`ân al-‘Azhîm yang dikarang oleh Imam al-Tusturi ( w. 383 H); Haqâ`iq
al-Tafsîr karya al-‘Allamah al-Sulami (w. 412 H); ‘Arâ`is al-Bayân fî Haqâ`iq
al-Qur`ân karya Imam al-Syirazi (w. 606 H).[20]
Hasbi ash-Shiddieqy menambahkan dengan tafsir Ibnu Arabi (w. 683 H) dan tafsir
al-Alusi (w. 1270 H).[21]
Demikian
sekilas tentang perkembangan tafsir sepanjang sejarahnya, dan perkembangan
tafsir itu tampaknya terus berlangsung sampai sekarang, bahkan sepanjang masa.
Sehingga pada setiap kurun waktu dan di berbagai negeri muncul para mufassir dan kitab-kitab tafsir.
Macam-macam Tafsir Sufi
Sebagaimana
aliran-aliran lainnya dalam Islam, para sufi pun banyak melakukan kajian
terhadap al-Qur`an dan memiliki beberapa kitab tafsir yang tersimpan di
perpustakaan-perpustakaan Islam, baik yang baru maupun yang lama. Kajian-kajian
dan uraian-uraian mereka terhadap al-Qur`an berorientasi pada tasawuf. Dalam
hal ini tampak jelas pengaruh-pengaruh tasawuf, baik tasawuf teoritis maupun
tasawuf praktis di dalam penafsiran al-Qur`an.
Mengenai
pembahasan macam-macam Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî, Muhammad
Husein al-Dzahabi menjelaskan ada dua macam orientasi para sufi dalam
menafsirkan al-Qur`an. Pertama, orientasi teoritis (ittijâh
al-nazharî) yang didasarkan atas hasil pembahasan dan studi. Orientasi
teoritis ini dapat dipahami sebagai penafsiran al-Qur`an yang didasarkan kepada
konsep-konsep tasawuf yang dibawakan oleh kaum sufi sesuai dengan konsep mereka
masing-masing. Kedua, orientasi
praktis (ittijâh al-‘amalî) yang didasarkan atas
kegiatan penyiksaan diri (takâsyuf), asketisisme (zuhud), dan
menghanyutkan diri secara berlebih-lebihan dalam kegiatan beribadah kepada
Allah.[22]
Nampaknya yang dimaksud oleh al-Dzahabi dengan penyiksaan diri (takâsyuf)
dan menghanyutkan diri secara berlebih-lebihan dalam kegiatan beribadah kepada
Allah adalah latihan rohani (riyâdhah) untuk memperoleh pengetahuan (ma’rifah) sampai kaum sufi mencapai
suatu tingkat yang disebut dengan kasyaf.
Orientasi
teoritis berarti penafsiran kaum sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang
dipengaruhi oleh tasawuf teoritis (al-tashawwuf al-nazharî), yang
didasarkan atas pemikiran-pemikiran ilmiah para tokoh sufi dan kemudian
dicarikan justifikasinya dari al-Qur`an. Sedangkan orientasi praktis berarti
penafsiran kaum sufi terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang dipengaruhi oleh tasawuf
praktis (al-tashawwuf al-‘amalî), yang didasarkan atas latihan
rohani (riyâdhah) untuk memperoleh pengetahuan (ma’rifah) sampai mencapai suatu
tingkat yang disebut dengan kasyaf,
dimana isyarat-isyarat suci itu tampak dan memberikan pengetahuan-pengetahuan rabbanî
ke dalam hati mereka, dan pengetahuan itulah yang digunakan oleh mereka untuk
menafsirkan makna al-Qur`an.
Dari
kedua macam orientasi kaum sufi dalam menafsirkan al-Qur`an sebagaimana
dikemukakan di atas, sebenarnya harus dipahami secara arif dan bijaksana,
karena kedua orientasi tersebut bagi kaum sufi adalah berdasar pada
epistemologi dan metodologi Ilmu Tasawuf. Sehingga apa yang mereka tempuh dalam
memahami al-Qur`an pun mereka menggunakan kerangka epistemologi dan metodologi
Ilmu Tasawuf tersebut.
Apabila
dianalisa dan dicermati mengenai perkembangan Tafsîr Shûfî atau Tafsîr
Isyârî, dan inti dari penafsiran sufistik itu dalam konteks ilmu tafsir,
terfokus pada ta`wîl dalam upaya mencari makna batin dari lafazh
al-Qur`an, maka paling tidak ada dua macam Tafsîr Shûfî atau Tafsîr
Isyârî. Pertama; Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî
yang menggunakan ta`wîl yang masih berdekatan dengan makna lahir dari
lafazh al-Qur`an (ta`wîl qarîb). Kedua; Tafsîr Shûfî atau Tafsîr
Isyârî yang menggunakan ta`wîl yang terlalu jauh dari makna
lafazhnya (ta`wîl ba’îd).
Dua
versi macam-macam tafsir sufi sebagaimana dikemukakan di atas dapat
diformulasikan bahwa tafsir sufi dilihat dari orientasinya dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu tafsir sufi yang berorientasi pada
tasawuf teoritis (al-tashawwuf al-nazharî), dan tafsir sufi yang
berorientasi pada tasawuf praktis (al-tashawwuf al-‘amalî).
Sedangkan dilihat dari metode penafsirannya yang menggunakan ta`wil dapat
diklasifikasikan menjadi dua macam juga, yaitu tafsir sufi yang menggunakan
ta`wil yang dekat dengan makna lafazhnya (ta`wîl qarîb), dan tafsir sufi
yang menggunakan ta`wil yang jauh dari makna lafazhnya (ta`wîl ba’îd).
Syarat-syarat Tafsir Sufi
Muhammad Husein al-Dzahabi mengemukakan beberapa
kriteria tafsir sufi atau tafsir isyari yang dapat diterima (maqbûl)
sebagai berikut:
1.
Tidak
menyimpang atau bertentangan dengan makna lahir ayat-ayat al-Qur`an
2.
Didukung
oleh argumen rasional atau bukti yang kuat dari syari’at
3.
Tidak
bertentangan dengan syari’at atau akal sehat
4.
Tidak
mengklaim bahwa tafsir isyari adalah satu-satunya yang dimaksudkan Allah di
dalam ayat itu, sebaliknya mufassir mengakui adanya makna lahir ayat, baru
kemudian menjelaskan makna batinnya.[23]
Syarat-syarat tafsir sufi yang dapat diterima (maqbûl)
sebagaimana dikemukakan oleh al-Dzahabi di atas menunjukkan bahwa dia
menaruh perhatian yang sangat kuat
terhadap kekhawatiran akan penyimpangan penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang
dilakukan oleh kaum sufi.
Al-Dzahabi mensyaratkan tafsir sufi tidak boleh
menyimpang dari makna lahir ayat-ayat al-Qur`an, karena memang
kaum sufi lebih menekankan pada makna batin dari ayat-ayat al-Qur`an
dalam penafsirannya daripada makna lahir. Sehingga dikhawatirkan kaum sufi
terlalu jauh dalam menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an, bahkan mungkin tidak
mengindahkan makna lahir dalam penafsirannya itu.
Demikian pula syarat lain, seperti didukung oleh
argumen rasional atau bukti yang kuat dari syari’at, tidak bertentangan dengan
syari’at atau akal sehat, dan tidak mengklaim bahwa tafsir sufi atau isyari
adalah satu-satunya yang dimaksudkan Allah di dalam ayat tersebut.
Syarat-syarat tersebut menunjukkan perlunya rambu-rambu dalam penafsiran
al-Qur`an. Syarat argumen rasional atau akal sehat, dan tidak bertentangan
dengan syari’at, nampaknya untuk memberi
rambu-rambu kepada kaum sufi yang terkadang mengabaikan argumen rasional, dan
bahkan mengabaikan syari’at.
Syarat agar kaum sufi tidak mengklaim bahwa penafsiran
mereka itulah satu-satunya penafsiran yang dimaksud oleh Allah Swt. adalah
sebagai rambu-rambu agar mereka tidak fanatik terhadap penafsirannya, sehingga
mereka bersikap eksklusif dan menolak penafsiran orang lain yang tidak sesuai
dengan penafsiran mereka.
Kontroversi
Tafsir Sufi
Di antara
tokoh-tokoh tasawuf terdapat ulama yang mencurahkan perhatiannya untuk
meneliti, mengkaji, dan mendalami al-Qur`an sesuai dengan sudut pandang
teori-teori tasawuf mereka. Mereka dipandang telah menta’wilkan ayat-ayat
al-Qur`an dengan tidak mengikuti pengertian tekstual yang telah dikenal dan
didukung oleh dalil syar’i berdasarkan kaidah bahasa Arab.
Imam
al-Alusi sebagaimana dikutip oleh ‘Ali Hasan al-‘Aridh mengemukakan bahwa apa
yang dijelaskan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur`an adalah termasuk ke
dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil
diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk
sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan
pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki.[24]
Lebih lanjut al-Alusi mengatakan: “Mereka berkeyakinan bahwa pengertian
tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki. Keyakinan mereka yang demikian
secara ekstrim, sehingga mereka menafikan syari’at secara keseluruhan”.[25]
Namun
demikian, kata al-Alusi, tokoh-tokoh sufi kita (sufi sunnî, pen.)
tidaklah mungkin sampai bersikap demikian, oleh karena mereka menganjurkan agar
tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: Pada tahap
pertama harus dilakukan dan diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab
tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin dari suatu
ayat sebelum penafsiran dan pengertian
tekstualnya terlebih dahulu diketahui. Barangsiapa mengaku dapat memahami
rahasia-rahasia al-Qur`an sebelum mengetaahui penafsiran dan pengertian
tekstualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagaian dalam
Ka’bah sebelum ia melewati pintunya.[26]
Lebih
lanjut al-Alusi mengatakan: ”Tidaklah seyogyanya bagi orang yang kemampuannya
terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa al-Qur`an mempunyai
bagian-bagian batin yang dilimpahkan
oleh Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah kepada batin-batin hamba-Nya
yang dikehendaki”.[27]
Muhammad
Husein al-Dzahabi melihat dari sudut yang berbeda dari al-Alusi, menurut al-Dzahabi,
Tafsir Sufi al-Nazhari pada umumnya menyimpangkan makna al-Qur`an dari maksud
dan tujuan yang dikehendaki sebenarnya. Al-Qur`an dengan nash-nash dan
ayat-ayatnya mempunyai maksud-maksud tertentu, tetapi orang-orang sufi
menyimpangkannya kepada maksud-maksud lain yang sesuai dengan
pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran mereka. Kadang-kadang ada kesenjangan dan
kontradiksi di antara kedua tujuan atau maksud tersebut.[28]
Lebih
lanjut al-Dzahabi mencontohkan bahwa Ibnu ‘Arabi cenderung menafsirkan ayat-ayat
al-Qur`an agar sejalan dengan pendapatnya tentang konsep wahdat
al-wujûd, demikian juga Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, dll. Pendapat
inilah yang menyebabkan seperti al-Hallaj berani berkata: “Ana al-Haq”
dan juga Ibnu ‘Arabi yang mengatakan bahwa anak sapi yang disembah oleh Bani
Israil merupakan salah satu manifestasi (tajallî) Allah dan yang
sekaligus dijadikan sebagai tempat (hulûl) bagi-Nya.[29]
Penyimpangan
lain oleh Ibnu “Arabi, sebagaimana dikemukakan oleh al-Dzahabi adalah
penafsiran terhadap firman Allah Surat al-Baqarah ayat 163 yang berbunyi: و الهكم اله واحد . Ibnu ‘Arabi mengatakan: Dalam ayat ini Allah berbicara dengan
kaum muslimin bahwa orang-orang yang menyembah benda-benda selain Allah dalam
rangka mendekatkan diri dengan-Nya, sebenarnya sama dengan menyembah Allah
juga. Ingatlah ketika mereka mengatakan: “Sebenarnya kami menyembah benda-benda
ini hanya untuk lebih mendekatkan kami kepada Allah”, sambil mengemukakan
alasan mereka. Kemudian Allah pun berfirman kepada kita bahwa sesungguhnya
Tuhanmu dan Tuhan yang disembah oleh orang-orang musyrik, dengan perantaraan
benda-benda sesembahan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, adalah sama;
karena itu sebenarnya kamu semua tidak berbeda dalam pengakuanmu terhadap Tuhan
yang Maha Esa itu”.[30]
Bila
dicermati penafsiran Ibnu ‘Arabi di atas jelas akan mengundang kontroversi,
sebab penafsiran seperti itu akan merusak aqidah umat Islam pada umumnya, yang
selama ini mereka meyakini bahwa sesembahan selain kepada Allah, dengan alasan
apapun termasuk syirk, dan syirk adalah kezhaliman yang amat
besar.
Jalaluddin
Rakhmat mengemukakan beberapa penyebab keberatan kebanyakan orang terhadap
tafsir sufi yang menekankan pada tafsir batiniah dari ayat-ayat al-Qur`an.[31] Pertama,
mereka kuatir dengan hanya mengambil makna batiniah, tafsir sufi mengabaikan
makna lahiriah. Akibatnya, syari’at bisa dilecehkan atau ditinggalkan sama
sekali. Karena menerima ta`wîl akhirnya orang meninggalkan tanzîl
Kedua, pengambilan makna batiniah sering kali mengabaikan hukum-hukum
bahasa Arab. Makna denotatif dari berbagai kata ditundukkan pada makna
konotatif, yang diperoleh seseorang dari pengalaman rohaniahnya. Pengalaman
rohaniah pada gilirannya sangat subyektif dan irasional atau suprarasional yang
sulit untuk diverifikasi. Ketiga, tafsir sufi dicurigai karena tasawuf
dianggap sebagai ajaran yang menyimpang dari al-Qur`an dan Sunnah, atau lebih
buruk lagi, sebagai ajaran kaum musyrikin yang dimasukkan ke dalam ajaran
Islam.
Selanjutnya
Jalaluddin Rakhmat mengomentari persoalan yang diarahkan kepada tafsir sufi di
atas. Menurut dia, tasawuf memang menunjukkan makna yang luas, dan dijalankan
di berbagai negeri yang berbeda bahasa dan kebudayaan, tetapi dipersatukan oleh
otoritas wahyu al-Qur`an dan teladan Rasulullah Saw.[32]
Berkenaan
dengan persoalan ta’wil, lebih lanjut Jalaluddin Rakhmat mengatakan: “Para
pengkritik tampaknya tidak dapat membedakan antara ta`wil yang sesat dengan
ta`wil yang benar. Seringkali tafsir tidak cukup –dan karenanya- kita
memerlukan ta`wil. Berhenti pada tafsir akan membawa kita justru pada kesesatan
dan keraguan. Ta`wil atau menyingkap makna batiniah tidak dengan sendirinya
mengabaikan makna lahiriah. Ta`wil dilakukan guna menggali berbagai dimensi
makna al-Qur`an. Membatasi al-Qur`an hanya dengan makna lahiriah saja, akan
mendangkalkan samudera ilahiah yang dalamnya dan luasnya tidak terhingga”.[33]
Uraian dan
komentar di atas menunjukkan bahwa tafsir sufi sangat tergantung kepada
orientasi dan penggunaan ta`wil dari para penafsirnya. Jika orientasi mufassir
hanya untuk menguatkan konsep ajarannya, tanpa memperhatikan dalil-dalil syar’i
yang mu’tamad dan mu’tabar, maka akan terlihat pemaksaan terhadap
penafsiran al-Qur`an. Demikian pula penggunaan ta`wil yang terlalu jauh dari
prinsip-prinsip ajaran Islam, jelas akan membawa kesesatan. Teapi sebaliknya,
menggali mutiara makna al-Qur`an dari samudera ilahiah yang sangat dalam dan
luas itu akan menambah tinggi kemukjizatan al-Qur`an. Karena syarat-syarat
tafsir isyari yang dikemukakan oleh al-Dzahabi di atas dapat dijadikan pedoman.
Kesimpulan
Dari
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Tafsîr Shûfî atau Tafsîr Isyârî ialah tafsir
yang menta`wilkan ayat-ayat al-Qur`an dengan tidak melihat lafazh secara
lahirnya saja, tetapi disertakan usaha menghubungkan lafazh yang lahir
dengan makna batinnya. Lafazh yang lahir
ialah lafazh yang dapat segera dipahami oleh akal pikiran, sedangkan yang batin
dapat dipahami melalui isyarat-isyarat yang tersembunyi. Dengan demikian,
Tafsir Isyari merupakan penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh kaum sufi
melalui jalan ta`wil, yakni memalingkan ayat dari makna lahirnya.
Orientasi
dan ta`wil yang digunakan oleh para sufi dapat berbeda-beda sesuai dengan jaran
tasawuf yang dikembangkannya. Karenanya, selama orientasi konsep ajaran tasawuf
dan ta`wil yang digunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, maka
tafsir sufi dapat diterima.
Mudah-mudahan
tulisan ini bermanfa’at untuk menambah informasi ilmiah di seputar khazanah
tafsir. Amin.
DAFTAR BACAAN
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir
Mawdhu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Jamrah, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996.
Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i
Pada Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta, 1990.
Ahmad
al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur`an, Terj. Zufran Rahman, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1996.
Ali Hasan al-‘Aridh, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Cet. II, 1994.
Hasbi al-Shiddiqi, Ilmu-ilmu al-Qur`an,
Bulan Bintang, Jakarta, 1967, hal. 190-191.
Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkyyah,
Juz IV, Dâr al-Fikr, Beirut, t.th.
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi
al-Fatihah: Muqaddimah, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.
Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS, PT. Lentera Antar Nusa, Jakarta,
1992.
Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil
al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, ‘Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakahu, Kairo,
t.th.
Muhammad bin Alwi al-Maliki, Zubdat
al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-Syurûq, Mekah.
--------------------, Sejarah dan
Pengantar Ilmu al-Qur`an./Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1954.
Nashiruddin Baidan, Metodologi
Penafsiran al-Qur`an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998.
Shubhi al-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm
al-Qur`ân, Dâr al-‘Ilm Lilmalâyîn, Beirut, 1977.
* Penulis adalah dosen IAIN Raden Intan
Bandarlampung Fakulktas Ushuluddin Prodi Tafsir Hadits. Mengajar mata kuliah
Ilmu Tasawuf. S1, S2 dan S3nya diselesaikan pada perguruan tinggi yang sama,
yakni UIN Syahida Jakarta.
[1]
Lihat: Q.S. 2 : 185.
[2]
Lihat: Q.S. 2: 2-4.
[3]
Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Kalam Mulia,
Jakarta, 1990, hal. 15.
[4]
Lihat: Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1998, hal. 13-151.
[5]
Ibid., hal. 50
[6]
Ibid.
[7]
Shubhi al-Shalih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Dâr al-‘Ilm Lilmalâyîn,
Beirut, 1977, hal. 296.
[8]
Muhammad Abd al-‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân,
‘Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakahu, Kairo, t.th., hal 278.
[9]
Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an, Terj. Mudzakir AS,
PT. Lentera Antar Nusa, Jakarta, 1992, hal. 489.
[10]
Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur`an, Terj. Zufran Rahman,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996, hal. 133.
[11]
Abdul Jalal, op.cit., hal. 76.
[12]
Hasbi As-Shiddiqie,
[13]
Shubhi al-Shalih loc.cit.
[14]
Hasbi al-Shiddiqi, Ilmu-ilmu al-Qur`an, Bulan Bintang, Jakarta, 1967,
hal. 190-191.
[15]
Muhammad bin Alwi al-Maliki, Zubdat al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân,
Dâr al-Syurûq, Mekah, hal. 146.
[16]
Ibid.
[17]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur`an./Tafsir, Bulan
Bintang, Jakarta, 1954, hal. 205.
[18]
Ibid., hal. 208.
[19]
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i: Suatu Pengantar, Terj.
Suryan A. Jamrah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 4.
[20]
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dâr Kutub al-Hadîtsah,
Kairo, Jilid III, Cet. I, 1962, hal. 43
[21]
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah… op.cit., hal. 238.
[22]
Muhammad Husein al-Dzahabi, Al-Ittijâhât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur`ân
al-Karîm: Dawâfi’uhâ wa Daf’uhâ, Dâr al-I’tishâm, Kairo, 1978, 92.
[23]
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr…, Jilid II, hal. 43-44.
[24]
.Ali Hasan al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. II, 1994, hal. 55.
[25]
Ibid. hal, 55-56.
[26]
Ibid., hal. 56.
[27]
Ibid.
[28]
Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Ittijâhât… op.cit., hal. 92-93.
[29]
Ibid., hal. 95-96.
[30]
Ibid. Lihat: Ibnu ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkyyah, Juz IV, Dâr
al-Fikr, Beirut, t.th., hal. 160.
[31]
Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Sufi al-Fatihah: Muqaddimah, PT. Remaja Rosda
Karya, Bandung, hal. xv.
[32]
Ibid., hal. xvi
[33]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar