Rabu, 14 Maret 2012

ANALISIS KRITIS TERHADAP HADIS-HADIS MISOGINIS: PEREMPUAN HARUS MEMENUHI KEBUTUHAN BIOLOGIS SUAMINYA, BESARNYA HAK SUAMI ATAS ISTRINYA, DAN KEUTAMAAN PEREMPUAN SALAT DI RUMAHNYA (BAGIAN KETIGA)


ANALISIS  KRITIS TERHADAP HADIS-HADIS MISOGINIS: PEREMPUAN HARUS MEMENUHI KEBUTUHAN BIOLOGIS SUAMINYA, BESARNYA HAK SUAMI ATAS ISTRINYA, DAN KEUTAMAAN PEREMPUAN SALAT DI RUMAHNYA
(BAGIAN KETIGA)


Oleh

Muhammad Zaki Syech Abubakar
Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung



  1. Hadis Tentang Perempuan Harus Memenuhi Kebutuhan Biologis Suaminya
Teks hadisnya:
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح  (رواه البخاري وأبوداود والترمذي)
Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu ia tidak menemuinya kemudian marah maka seorang istri akan dilaknat malaikat sampai pagi harinya.” (H.R. Al-Bukhari, Abu Dawud, dan Al-Tirmidzi).


a.       Takhrij dan Kualitas Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, Kitab Bada’ al-Khalq, Bab ke 7; Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, Kitab  Nikah, Bab ke 40; dan al-Tirmidzi dalam Sunan al-Tirmidzi, Kitab Radha’, Bab  ke 10.
Walaupun hanya diriwayatkan dari Abu Hurairah saja tetapi dari lima riwayat yang ada, tiga di antaranya terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, sehingga statusnya cukup kuat. Abu Dawud dan Imam Ahmad juga meriwayatkan. Ulama hadis men-shahih-kan hadis in

b.      Pemahaman Hadis:
Hadis ini diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, dan Imam ahli hadis lainnya yang dipandang terpercaya, lalu timbul pertanyaan, “apa mungkin Nabi membuat suatu perintah yang menimbulkan ketidakadilan terutama bagi pihak perempuan (isteri), padahal beliau selalu mengajarkan mu’asyarah bil ma’ruf, yaitu memperlakukan isteri dengan baik, bijak, dan lemah lembut.
Dalam menanggapi hadis tersebut, banyak ulama  mengarahkan supaya hadis tersebut tidak dipahami secara harfiah atau tekstual.[1] Wahbah Zuhaili, misalnya menyatakan, bahwa laknat dalam hadis tersebut harus diberi catatan, yaitu selagi isteri dalam keadaan longgar dan tidak takut disakiti.[2]  Mustafa Imarah berpendapat bahwa laknat malaikat itu terjadi jika penolakan isteri dilakukan tanpa alasan.  
Al-Syirazi menyatakan, meskipun pada dasarnya isteri wajib melayani permintaan suami, akan tetapi jika memang tidak terangsang untuk melayaninya, ia boleh menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi isteri yang sedang sakit atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang.[3]
Itulah sebabnya mengenai arti laknat itu oleh Shan’ani misalnya, tidak diartikan secara harfiah sebagai “kutukan” melainkan secara majazi, yakni bahwa kutukan itu artinya semacam “suasana tegang di dalam rumah tangga” akibat penolakan hubungan seks oleh salah satu pihak tadi.
Hadis ini tidak bertentangan dengan hadis lainnya atau dalil lain yang lebih kuat. Bahkan jika dikaji secara seksama dengan beberapa pendekatan, akan terungkap kebenaran dan hikmah yang besar  yang dikandungnya. Hadis ini dapat dipahami dengan pendekatan kebahasaan, psikologi dan fisiologi.
Hadis ini mengungkapkan ajakan suami dengan kata “da’a” yang berarti ajakan yang baik, sopan, dan bijaksana serta mengetahui keadaan yang diajak. Sedangkan penolakan istri terhadap panggilan itu diungkapkan dengan kata “abat”, sama dengan kata yang digunakan al-Qur’an ketika menyebut keengganan iblis sujud pada Adam. Selain itu matan hadis menerangkan bahwa penolakan istri menyebabkan suami marah dan kesal. Jadi keengganan istri yang mengakibatkan laknat malaikat hanyalah penolakan yang yang dilakukan tanpa alasan syar’i dan logis yang membuat suami marah dan kesal.
Menurut para ahli psikologi, hasrat seksual laki-laki lebih banyak berkaitan dengan fungsi fisiologisnya, karena laki-laki mengumpulkan sperma ketika hasrat seksualnya meningkat, sehingga menuntut untuk segera disalurkan. Berbeda dengan perempuan, hasrat seksual mereka lebih banyak bersumber dari kebutuhan psikologisnya untuk memperoleh kehangatan dan cumbu rayu dari orang yang dicintainya.
Ada beberapa fakta ilmiah tentang perbedaan seksual laki-laki dan perempuan:
1.                     Gairah seksual perempuan berbeda dari waktu ke waktu yang diakibatkan oleh adanya haid yang disertai dengan perubahan hormon secara fisik. Sebaliknya gairah seksual laki-laki bisa terjadi setiap saat, tidak mengenal waktu.
2.                     Lelaki mudah sekali terangsang bahkan dengan sekedar memikirkan hal-hal berbau seksual. Sedangkan perempuan tidak mudah terangsang kecuali dirayu atau dirangsang, dan suasana batinnya memang menginginkan.

Berdasarkan fakta di atas dapat kita petik hikmahnya, bahwa memenuhi ajakan suami dengan segera adalah demi keutuhan dan keharmonisan keluarga. Keengganan seorang istri melayani suaminya tanpa alasan dapat menyebabkan buruk sangka suami sehingga ia menganggap istrinya tidak setia dan membuka peluang suami melirik perempuan lain. Kebutuhan biologis suami jika selalu tertahan akan menyebabkan suami tertekan dan depresi sehingga mudah menyulut emosi dan ini berdampak buruk bagi keharmonisan keluarga. Seorang istri diperbolehkan menolak secara halus permintaan suaminya karena suatu sebab seperti sakit, haid, terlalu letih, atau dalam keadaan sedih karena tertimpa musibah. 

  1. Hadis Tentang Besarnya Hak Suami atas Istrinya 
Teks hadisnya:

فلا تفعلوا لوكنت أمرا أحدأ أن يسجد لبشر لأمرت النساء أن تسجد ن لأزواجهن لما جعل الله لهم عليهن من الحق  (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد)
Jangan kamu lakukan itu. Sekiranya aku boleh memerintahkan pada seseorang untuk sujud pada manusia maka sungguh akan aku perintahkan kaum perempuan untuk sujud pada suami-suami mereka karena (besarnya) hak mereka terhadap istrinya”. (H.R. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad)

a.       Takhrij dan Kualitas Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad dari sahabat Mu’adz ibn Jabal R.A. Al-Syaukani menilai sebagian riwayat menjadi syahid terhadap riwayat lainnya sehingga saling menguatkan satu sama lain.

b.         Pemahaman Hadis
Kaum feminis menilai hadis tersebut merendahkan martabat kaum perempuan, karena diperintahkan sujud pada suami. Padahal jika dipahami secara kontekstual dengan mengkaji aspek-aspek kebahasaan tidaklah demikian.
 Hadis di atas sebab munculnya (sabab al-wurud), adalah ketika Mu’adz ibn Jabal baru pulang dari Syam ke Madinah. Saat bertemu Nabi SAW  dia langsung sujud, karena di Syam ia melihat orang-orang Yahudi dan Nasrani sujud pada Rabi-Rabi dan Uskup atau Pastor mereka. Mu’adz berpikir, bahwa Nabi SAW lebih berhak untuk mendapatkan penghormatan maka ia sujud pada Nabi SAW. Melihat sikap Mu’adz Nabi SAW langsung menyabdakan hadis tersebut.
Secara bahasa sujud memiliki dua pengertian, pertama sujud dalam arti ibadah atau menyembah. Ini hanya boleh dilakukan pada Allah SWT semata. Kedua, sujud dalam arti penghormatan, sebagaimana perintah Allah pada para malaikat untuk sujud (ponghormatan) pada Nabi Adam AS.
Adapun sujud seorang istri pada suaminya adalah terlarang, meskipun sebagai penghormatan. Dari sisi bahasa kata “law” bertujuan untuk pengandaian atau perumpamaan saja yang sebenarnya tidak terjadi. Nabi SAW mengungkapkan hadis tersebut dengan menggunakan kata “law” mengindikasikan betapa besarnya hak suami atas  istrinya, sampai-sampai jika dibolehkan manusia sujud pada manusia lainnya, tentunya seorang istri lebih patut  untuk sujud pada suaminya, karena besarnya hak suami. Tetapi karena itu hanya sebagai pengandaian, maka  tidak pernah terjadi.


3.      Hadis Tentang Keutamaan Perempuan Salat di Rumahnya.
Teks hadisnya:

Seorang perempuan di zaman Nabi SAW mengatakan, bahwa ia senang salat bersama beliau. Kemudian Nabi SAW bersabda:

وصلاتك في بيتك خير من صلاتك في حجرتك وصلاتك في حجرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك خير من صلاتك في مسجدي (رواه أبوداود و أحمد)
Salatmu di ruang tidurmu lebih baik dari pada salatmu di ruang rumah yang lain, salatmu di ruang rumah yang lain lebih baik dari salatmu di serambi rumahmu, salatmu di serambi rumahmu lebih baik dari salatmu di masjidku.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)

a. Takhrij dan Kualitas Hadis:
            Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitab  Shalat, Bab ke 53; Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-na jilid VI hadis ke 371. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban juga meriwayatkan. Adapun kualitasnya, menurut al-Haitsami periwayatnya terpercaya.  (tsiqah).[4] 

      b. Pemahaman Hadis:
        Salat berjamaah di masjid memang sangat dikuatkan perintahnya bagi kaum laki-laki dan tidak demikian halnya bagi perempuan. Menurut hadis tersebut perempuan lebih utama salat di rumah atau di kamar rumahnya. Bahkan di antara ulama ada yang menambahkan, semakin gelap tempat salatnya dan jauh dari orang-orang semakin utama. Namun demikian tidak ada larangan bagi perempuan untuk pergi ke masjid dan ikut salat berjamaah. Mereka pun akan mendapatkan fadhilah atau pahala salat berjamaah.  Hadis ini jangan sampai membuat suatu kesimpulan hukum, bahwa tidak ada keutamaan perempuan salat di masjid, karena jika kita meneliti hadis-hadis lain yang berkaitan dengan salat perempuan akan terlihat jelas sekali yang menceritakan, banyak kaum perempuan salat bersama Nabi SAW di masjid. Nabi SAW sendiri melarang para suami atau wali mencegah mereka untuk salat di masjid. Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis: ” Apabila salah seorang wanita dari kalian minta izin untuk ke masjid maka janganlah kalian cegah”.[5] Abu Dawud meriwayatkan dangan redaksi: ” Janganlah kalian mencegah wanita-wanita kalian ke masjid, meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.[6]
     M. Al-Ghazali mengkritik hadis tersebut, karena menurutnya bertentangan dengan fakta sejarah berdasarkan hadis-hadis lain yang lebih shahih. Di antara istri-istri Nabi dan wanita muslimah banyak yang salat berjamaah bersama Nabi tanpa ada larangan. Nabi pernah memimpin salat kemudian mempercepat salatnya karena terdengar tangis bayi, khawatir di antara jamaahnya terdapat ibu bayi tersebut. Bahkan di masjid Nabawi ada pintu tersendiri yang dibangun untuk kaum perempuan. Terdapat riwayat yang menerangkan, Nabi menegur para suami yang melarang istrinya untuk salat di masjid. Ibn Hazm, tulis M. al-Ghazali,  menghukumi hadis keutamaan wanita salat di rumah sebagai hadis yang lemah. Alasannya, jika perempuan dilarang ke mesjid maka pasti mereka juga dilarang untuk ke pasar, ke jalan-jalan atau tempat umum. Kenyataannya tidak seorangpun ulama yang melarang.[7]
    Pemahaman yang bijak adalah, salat berjamaah di masjid bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan tidak sebagaimana kaum laki-laki. Namun demikian bukan pula larangan bagi perempuan, bahkan jika perempuan melazimkan salat berjamaah di masjid akan mendapatkan pahala yang sama dengan kaum laki-laki. Kebolehan perempuan salat di masjid juga harus memenuhi persyaratan seperti aman dari fitnah atau godaan, tidak berhias atau menggunakan wangi-wangian, dan tidak melalaikan kewajibannya selaku ibu rumah tangga.


P E N U T U P

Adanya hadis-hadis Nabi SAW yang bernada misoginis dan terkesan bias gender dilatarbelakangi oleh potret sosial keberadaan kaum perempuan ketika itu. Jika diteliti lebih lanjut tidak ada maksud dari hadis tersebut untuk menyudutkan kaum perempuan, karena bertentangan dengan sifat dan sikap Nabi SAW yang sangat menghormati dan menghargai kaum perempuan. Ternyata setelah diteliti, tidak sedikit hadis-hadis yang dianggap misoginis oleh kalangan feminis berkualitas shahih baik secara sanad maupun matan.  Hadis yang secara lahiriahnya bernada misoginis dapat diterima dan dipahami dengan memperhatikan konteks hadis tersebut muncul, dengan kata lain menggunakaan pemahamaan kontekstual. Pemahaman kontekstual yang dimaksud menggunakan pendekatan-pendekatan, seperti kebahasaan, historis, sosio-historis, psikologis, fisiologis, antropologis, dan lain-lain.

Hasil penelitian ini menghasilkan saran dan rekomendasi kepada kaum muslimin untuk tidak secara gegabah menuduhkan, bahwa suatu hadis itu misoginis dan bias gender, tanpa terlebih dahulu meneliti keabsahannya. Hendaknya dalam memahami hadis jangan terfokus pada makna harfiah atau tekstual tanpa memperhatikan konteks kapan dan di mana hadis itu disabdakan. Bagi kalangan akademisi, khususnya pengkaji hadis agar lebih intens melakukan penelitian hadis berikut metode pemahamannya, karena tidak sedikit hadis-hadis yang sampai pada kita dan telah dinilai shahih oleh para ulama ternyata umat mengalami kesulitan unuk memahaminya.




DAFTAR PUSTAKA


Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tabriyatul Aulad, diterjemahkan oleh Jamaluddin Mirri, dengan judul “Pendidikan Anak Dalam Islam”, Jakarta: Pustaka Amani,  1423 H/2002
Abu Ghuddah, Lamahat min Tarikh al-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1417 H
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Nahdah Al-Mihsriyah, Kairo, 1994    
Badriah Fayuni, Perempuan Dalam Hadis, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, editor Ali Munhanif, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Fada Abd al-Razaq al-Qashir, al-Mar’ah al-Muslimah baina al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Adhalil alGharbiyyah, diterjemahkan oleh Mir’atul Makkiyah dengan judul “Wanita Muslimah Antara Syariat Islam dan Budaya Barat”, Yogyakarta: Darussalam, 2004 M.
Fatima Menissi, Ratu-ratu Islam yang terlupakan (tentang The Farqotten Queens of Islam), Penerbit Mizan, Bandung, 1994
Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujain, Jakarta, Kompas, 2005
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, London: George Allen Ltd., 1970M.  
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if,  Beirut, Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1988 M/1408 H
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Beirut: Dar Al-Fikr, 1995
Jalal  al-Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut, Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, t.th.
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004
K. Prent, dkk, Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1969
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Penerbit Mizan, Bandung, 1997
Muhammad ‘Alawi al-Maliki, Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyah, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.
------------------------------------------, Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Malik Fahd, 1423 H.
Muhammad ‘Ali Qasim al-‘Umri, Dirasat fî Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin, Yordania: Dar al-Nafa’is, 1420 H/2000 M
Muhammad Anas Qosim Ja’far,  al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah fi al-Islam wa al-Fikr wa al-Tasyri’, diterjemahkan oleh Mujtaba Hamdi, Mengembalikan Hak-Hak Politik Perempuan, Jakarta: Azan, 2001
Muhammad Musthafa al-A‘zami, Studies in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis: American Trust Publications, 1977 
---------------------------------------------, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn, Riyadh: al-‘Ummariyah, 1982
Muhammad Murtadha al-Husaini al-Zabidi, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Semarang, Toha Putera, 1401 H./1981 M
Muhammad Tahir al-Jawwabi, Juhud al-Muhadditsin fî Naqd  Matn al-Hadits al-Nabawi al-Syarif, Tunisia: Muassasat 'Abd al-Karim 'Abd Allah, 1406 H/1986 M
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan, Dari Cinta Sampai Sek, Dari Nikah Mut’ah, Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Lentera Hati, Jakarta, 2007
Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas hadis Nabi SAW: antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung, 1416 H/1996 M.
Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah al-Munawarah, 1428 H.

Mustafa Muhammad Imazah, Jawahir Al-Bukhari, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya, t.th. 
Musfir ‘Azm Allah al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyadh, t.p., 1984 M/1404                      
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi Muqaddimah Sahih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Richard E. Palmer, Hermeneutics, Evanston, Northwestern Univ. Press, 1969
Sa’id Abd Allah Seif al-Hatimi, Woman in Islam, a Comparative Study, terj. Citra Sebuah Identitas: Wanita dalam Perjalanan Sejarah, Surabaya: Risalah Gusti, 1994 
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, Beirut, Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.
Sayyid Hossein Nasr, Islamic Studies: Essay on Low and Society,  Beirut: Libreirie Du Liban, 1967

Musfir ‘Azm Allah al-Damini, MaqayDari segi sanad, Hadits tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki itu itu bernilai shahih.





[1] Ibid.
[2] Ahmad Amin,  Dhuha Al-Islam, Nahdhah Al-Mihsriyah, Kairo, 1994, Vol.II, hal.195
[3] Ibn Rusyd, 1995, Bidayah Al-Mujtahid, Dar Al-Fikr, Beirut, 1995, Vol.II. hal. 9
[4] Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujain, Jakarta, Kompas, 2005, hal. 239-240
[5] Al-Bukhari, Op.Cit, juz I, hadis nomor 927
[6] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz II, hadis nomor  266
[7] M. al-Ghazali, Op.Cit., hal. 72

Tidak ada komentar:

Posting Komentar