ANALISIS KRITIS TERHADAP HADIS-HADIS MISOGINIS: PEREMPUAN
HARUS MEMENUHI KEBUTUHAN BIOLOGIS SUAMINYA, BESARNYA HAK SUAMI ATAS ISTRINYA, DAN KEUTAMAAN PEREMPUAN SALAT
DI RUMAHNYA
(BAGIAN KETIGA)
Oleh
Muhammad Zaki
Syech Abubakar
Dosen Fakultas
Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
- Hadis Tentang
Perempuan Harus Memenuhi Kebutuhan Biologis Suaminya
Teks hadisnya:
إذا دعا الرجل امرأته
إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح (رواه البخاري
وأبوداود والترمذي)
”Apabila
seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu ia tidak menemuinya
kemudian marah maka seorang istri akan dilaknat malaikat sampai pagi harinya.”
(H.R. Al-Bukhari, Abu Dawud,
dan Al-Tirmidzi).
a. Takhrij dan Kualitas Hadis:
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya,
Kitab Bada’ al-Khalq, Bab ke 7; Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud, Kitab Nikah, Bab ke 40; dan al-Tirmidzi dalam Sunan
al-Tirmidzi, Kitab Radha’, Bab ke
10.
Walaupun
hanya diriwayatkan dari Abu Hurairah saja tetapi dari lima riwayat yang ada,
tiga di antaranya terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim, sehingga statusnya cukup kuat. Abu Dawud dan Imam Ahmad juga
meriwayatkan. Ulama hadis men-shahih-kan hadis in
b. Pemahaman Hadis:
Hadis
ini diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim, dan Imam ahli hadis lainnya yang
dipandang terpercaya, lalu timbul pertanyaan, “apa mungkin Nabi membuat suatu
perintah yang menimbulkan ketidakadilan terutama bagi pihak perempuan (isteri),
padahal beliau selalu mengajarkan mu’asyarah bil ma’ruf, yaitu
memperlakukan isteri dengan baik, bijak, dan lemah lembut.
Dalam
menanggapi hadis tersebut, banyak ulama
mengarahkan supaya hadis tersebut tidak dipahami secara harfiah atau
tekstual.[1] Wahbah
Zuhaili, misalnya menyatakan, bahwa laknat dalam hadis tersebut harus diberi
catatan, yaitu selagi isteri dalam keadaan longgar dan tidak takut disakiti.[2] Mustafa Imarah berpendapat bahwa laknat
malaikat itu terjadi jika penolakan isteri dilakukan tanpa alasan.
Al-Syirazi
menyatakan, meskipun pada dasarnya isteri wajib melayani permintaan suami, akan
tetapi jika memang tidak terangsang untuk melayaninya, ia boleh menawarnya atau
menangguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi isteri yang sedang sakit atau
tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai
sakitnya hilang.[3]
Itulah
sebabnya mengenai arti laknat itu oleh Shan’ani misalnya, tidak diartikan
secara harfiah sebagai “kutukan” melainkan secara majazi, yakni bahwa
kutukan itu artinya semacam “suasana tegang di dalam rumah tangga” akibat
penolakan hubungan seks oleh salah satu pihak tadi.
Hadis
ini tidak bertentangan dengan hadis lainnya atau dalil lain yang lebih kuat.
Bahkan jika dikaji secara seksama dengan beberapa pendekatan, akan terungkap
kebenaran dan hikmah yang besar yang
dikandungnya. Hadis ini dapat dipahami dengan pendekatan kebahasaan, psikologi
dan fisiologi.
Hadis
ini mengungkapkan ajakan suami dengan kata “da’a” yang berarti ajakan
yang baik, sopan, dan bijaksana serta mengetahui keadaan yang diajak. Sedangkan
penolakan istri terhadap panggilan itu diungkapkan dengan kata “abat”,
sama dengan kata yang digunakan al-Qur’an ketika menyebut keengganan iblis
sujud pada Adam. Selain itu matan hadis menerangkan bahwa penolakan istri
menyebabkan suami marah dan kesal. Jadi keengganan istri yang mengakibatkan
laknat malaikat hanyalah penolakan yang yang dilakukan tanpa alasan syar’i dan
logis yang membuat suami marah dan kesal.
Menurut
para ahli psikologi, hasrat seksual laki-laki lebih banyak berkaitan dengan
fungsi fisiologisnya, karena laki-laki mengumpulkan sperma ketika hasrat
seksualnya meningkat, sehingga menuntut untuk segera disalurkan. Berbeda dengan
perempuan, hasrat seksual mereka lebih banyak bersumber dari kebutuhan
psikologisnya untuk memperoleh kehangatan dan cumbu rayu dari orang yang
dicintainya.
Ada beberapa fakta ilmiah tentang
perbedaan seksual laki-laki dan perempuan:
1.
Gairah seksual perempuan berbeda dari waktu ke waktu
yang diakibatkan oleh adanya haid yang disertai dengan perubahan hormon secara
fisik. Sebaliknya gairah seksual laki-laki bisa terjadi setiap saat, tidak
mengenal waktu.
2.
Lelaki mudah
sekali terangsang bahkan dengan sekedar memikirkan hal-hal berbau seksual.
Sedangkan perempuan tidak mudah terangsang kecuali dirayu atau dirangsang, dan
suasana batinnya memang menginginkan.
Berdasarkan
fakta di atas dapat kita petik hikmahnya, bahwa memenuhi ajakan suami dengan
segera adalah demi keutuhan dan keharmonisan keluarga. Keengganan seorang istri
melayani suaminya tanpa alasan dapat menyebabkan buruk sangka suami sehingga ia
menganggap istrinya tidak setia dan membuka peluang suami melirik perempuan
lain. Kebutuhan biologis suami jika selalu tertahan akan menyebabkan suami
tertekan dan depresi sehingga mudah menyulut emosi dan ini berdampak buruk bagi
keharmonisan keluarga. Seorang istri diperbolehkan menolak secara halus
permintaan suaminya karena suatu sebab seperti sakit, haid, terlalu letih, atau
dalam keadaan sedih karena tertimpa musibah.
- Hadis Tentang Besarnya Hak Suami
atas Istrinya
Teks hadisnya:
فلا تفعلوا لوكنت أمرا أحدأ أن يسجد
لبشر لأمرت النساء أن تسجد ن لأزواجهن لما جعل الله لهم عليهن من الحق (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد)
“Jangan kamu lakukan itu. Sekiranya aku
boleh memerintahkan pada seseorang untuk sujud pada manusia maka sungguh akan
aku perintahkan kaum perempuan untuk sujud pada suami-suami mereka karena
(besarnya) hak mereka terhadap istrinya”. (H.R. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn
Majah, dan Ahmad)
a. Takhrij dan Kualitas Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ahmad dari sahabat Mu’adz ibn Jabal R.A.
Al-Syaukani menilai sebagian riwayat menjadi syahid terhadap riwayat
lainnya sehingga saling menguatkan satu sama lain.
b.
Pemahaman Hadis
Kaum feminis menilai
hadis tersebut merendahkan martabat kaum perempuan, karena diperintahkan sujud
pada suami. Padahal jika dipahami secara kontekstual dengan mengkaji
aspek-aspek kebahasaan tidaklah demikian.
Hadis di atas sebab munculnya (sabab
al-wurud), adalah ketika Mu’adz ibn Jabal baru pulang dari Syam ke Madinah.
Saat bertemu Nabi SAW dia langsung
sujud, karena di Syam ia melihat orang-orang Yahudi dan Nasrani sujud pada
Rabi-Rabi dan Uskup atau Pastor mereka. Mu’adz berpikir, bahwa Nabi SAW lebih
berhak untuk mendapatkan penghormatan maka ia sujud pada Nabi SAW. Melihat
sikap Mu’adz Nabi SAW langsung menyabdakan hadis tersebut.
Secara bahasa sujud
memiliki dua pengertian, pertama sujud dalam arti ibadah atau menyembah. Ini
hanya boleh dilakukan pada Allah SWT semata. Kedua, sujud dalam arti
penghormatan, sebagaimana perintah Allah pada para malaikat untuk sujud
(ponghormatan) pada Nabi Adam AS.
Adapun sujud seorang
istri pada suaminya adalah terlarang, meskipun sebagai penghormatan. Dari sisi
bahasa kata “law” bertujuan untuk pengandaian atau perumpamaan saja yang
sebenarnya tidak terjadi. Nabi SAW mengungkapkan hadis tersebut dengan
menggunakan kata “law” mengindikasikan betapa besarnya hak suami
atas istrinya, sampai-sampai jika
dibolehkan manusia sujud pada manusia lainnya, tentunya seorang istri lebih patut untuk sujud pada suaminya, karena besarnya
hak suami. Tetapi karena itu hanya sebagai pengandaian, maka tidak pernah terjadi.
3.
Hadis Tentang Keutamaan Perempuan Salat di Rumahnya.
Teks hadisnya:
Seorang perempuan di zaman Nabi SAW
mengatakan, bahwa ia senang salat bersama beliau. Kemudian Nabi SAW bersabda:
وصلاتك في
بيتك خير من صلاتك في حجرتك وصلاتك في حجرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك
خير من صلاتك في مسجدي (رواه أبوداود و أحمد)
“Salatmu di ruang
tidurmu lebih baik dari pada salatmu di ruang rumah yang lain, salatmu di ruang
rumah yang lain lebih baik dari salatmu di serambi rumahmu, salatmu di serambi
rumahmu lebih baik dari salatmu di masjidku.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)
a. Takhrij
dan Kualitas Hadis:
Hadis
ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitab
Shalat, Bab ke 53; Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-na jilid VI
hadis ke 371. Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban juga meriwayatkan. Adapun
kualitasnya, menurut al-Haitsami periwayatnya terpercaya. (tsiqah).[4]
b.
Pemahaman Hadis:
Salat
berjamaah di masjid memang sangat dikuatkan perintahnya bagi kaum laki-laki dan
tidak demikian halnya bagi perempuan. Menurut hadis tersebut perempuan lebih
utama salat di rumah atau di kamar rumahnya. Bahkan di antara ulama ada yang
menambahkan, semakin gelap tempat salatnya dan jauh dari orang-orang semakin
utama. Namun demikian tidak ada larangan bagi perempuan untuk pergi ke masjid
dan ikut salat berjamaah. Mereka pun akan mendapatkan fadhilah atau pahala
salat berjamaah. Hadis ini jangan sampai
membuat suatu kesimpulan hukum, bahwa tidak ada keutamaan perempuan salat di
masjid, karena jika kita meneliti hadis-hadis lain yang berkaitan dengan salat
perempuan akan terlihat jelas sekali yang menceritakan, banyak kaum perempuan
salat bersama Nabi SAW di masjid. Nabi SAW sendiri melarang para suami atau
wali mencegah mereka untuk salat di masjid. Al-Bukhari meriwayatkan sebuah
hadis: ” Apabila salah seorang wanita dari kalian minta izin untuk ke masjid
maka janganlah kalian cegah”.[5] Abu Dawud meriwayatkan
dangan redaksi: ” Janganlah kalian mencegah wanita-wanita kalian ke masjid,
meskipun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.[6]
M.
Al-Ghazali mengkritik hadis tersebut, karena menurutnya bertentangan dengan
fakta sejarah berdasarkan hadis-hadis lain yang lebih shahih. Di antara
istri-istri Nabi dan wanita muslimah banyak yang salat berjamaah bersama Nabi
tanpa ada larangan. Nabi pernah memimpin salat kemudian mempercepat salatnya
karena terdengar tangis bayi, khawatir di antara jamaahnya terdapat ibu bayi
tersebut. Bahkan di masjid Nabawi ada pintu tersendiri yang dibangun untuk kaum
perempuan. Terdapat riwayat yang menerangkan, Nabi menegur para suami yang
melarang istrinya untuk salat di masjid. Ibn Hazm, tulis M. al-Ghazali, menghukumi hadis keutamaan wanita salat di
rumah sebagai hadis yang lemah. Alasannya, jika perempuan dilarang ke mesjid
maka pasti mereka juga dilarang untuk ke pasar, ke jalan-jalan atau tempat
umum. Kenyataannya tidak seorangpun ulama yang melarang.[7]
Pemahaman
yang bijak adalah, salat berjamaah di masjid bukanlah suatu kewajiban bagi
perempuan tidak sebagaimana kaum laki-laki. Namun demikian bukan pula larangan
bagi perempuan, bahkan jika perempuan melazimkan salat berjamaah di masjid akan
mendapatkan pahala yang sama dengan kaum laki-laki. Kebolehan perempuan salat
di masjid juga harus memenuhi persyaratan seperti aman dari fitnah atau godaan,
tidak berhias atau menggunakan wangi-wangian, dan tidak melalaikan kewajibannya
selaku ibu rumah tangga.
P E N U T U P
Adanya hadis-hadis Nabi SAW yang bernada misoginis
dan terkesan bias gender dilatarbelakangi oleh potret sosial keberadaan kaum
perempuan ketika itu. Jika diteliti lebih lanjut tidak ada maksud dari hadis
tersebut untuk menyudutkan kaum perempuan, karena bertentangan dengan sifat dan
sikap Nabi SAW yang sangat menghormati dan menghargai kaum perempuan. Ternyata
setelah diteliti, tidak sedikit hadis-hadis yang dianggap misoginis oleh
kalangan feminis berkualitas shahih baik secara sanad maupun matan. Hadis yang secara lahiriahnya bernada
misoginis dapat diterima dan dipahami dengan memperhatikan konteks hadis
tersebut muncul, dengan kata lain menggunakaan pemahamaan kontekstual.
Pemahaman kontekstual yang dimaksud menggunakan pendekatan-pendekatan, seperti
kebahasaan, historis, sosio-historis, psikologis, fisiologis, antropologis, dan
lain-lain.
Hasil penelitian ini menghasilkan saran dan
rekomendasi kepada kaum muslimin untuk tidak secara gegabah menuduhkan, bahwa
suatu hadis itu misoginis dan bias gender, tanpa terlebih dahulu meneliti
keabsahannya. Hendaknya dalam memahami hadis jangan terfokus pada makna harfiah
atau tekstual tanpa memperhatikan konteks kapan dan di mana hadis itu
disabdakan. Bagi kalangan akademisi, khususnya pengkaji hadis agar lebih intens
melakukan penelitian hadis berikut metode pemahamannya, karena tidak sedikit
hadis-hadis yang sampai pada kita dan telah dinilai shahih oleh para
ulama ternyata umat mengalami kesulitan unuk memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah
Nashih ‘Ulwan, Tabriyatul Aulad, diterjemahkan oleh Jamaluddin Mirri,
dengan judul “Pendidikan Anak Dalam Islam”, Jakarta: Pustaka Amani, 1423 H/2002
Abu
Ghuddah, Lamahat min Tarikh al-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Beirut: Dar
al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1417 H
Ahmad
Amin, Dhuha Al-Islam, Nahdah Al-Mihsriyah, Kairo, 1994
Badriah
Fayuni, Perempuan Dalam Hadis, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik,
editor Ali Munhanif, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Fada Abd al-Razaq al-Qashir, al-Mar’ah
al-Muslimah baina al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Adhalil alGharbiyyah,
diterjemahkan oleh Mir’atul Makkiyah dengan judul “Wanita Muslimah Antara
Syariat Islam dan Budaya Barat”, Yogyakarta: Darussalam, 2004 M.
Fatima Menissi, Ratu-ratu Islam yang
terlupakan (tentang The Farqotten Queens of Islam), Penerbit Mizan,
Bandung, 1994
Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang
Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujain, Jakarta, Kompas,
2005
Hans Wehr, A Dictionary of Modern
Written Arabic, London: George Allen Ltd., 1970M.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar
al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if,
Beirut, Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1988 M/1408 H
Ibn Hajar al-Asqalani, al-Maqashid
al-Hasanah fi Bayani Katsir min al-ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah,
Beirut: Dar al-Hijrah, 1406 H/1986 M
Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid,
Beirut: Dar Al-Fikr, 1995
Jalal
al-Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi,
Beirut, Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, t.th.
Al-Khathib al-Baghdadi, al-Kifayah
fi ‘Ilm al-Riwayah, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998
Komaruddin
Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004
K. Prent,
dkk, Kamus Latin-Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1969
Masdar F.
Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Penerbit Mizan,
Bandung, 1997
Muhammad
‘Alawi al-Maliki, Syaraf al-Ummah
al-Muhammadiyah, Jakarta: Dinamika Berkah Utama, t.th.
------------------------------------------,
Adab al-Islam fi Nizham al-Usrah, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Malik
Fahd, 1423 H.
Muhammad
‘Ali Qasim al-‘Umri, Dirasat fî Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin,
Yordania: Dar al-Nafa’is, 1420 H/2000 M
Muhammad
Anas Qosim Ja’far, al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah fi al-Islam wa al-Fikr wa al-Tasyri’,
diterjemahkan oleh Mujtaba Hamdi, Mengembalikan
Hak-Hak Politik Perempuan, Jakarta: Azan, 2001
Muhammad Musthafa al-A‘zami, Studies
in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis: American Trust
Publications, 1977
---------------------------------------------,
Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsîn, Riyadh: al-‘Ummariyah, 1982
Muhammad Murtadha al-Husaini al-Zabidi,
Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari, Semarang, Toha Putera, 1401 H./1981 M
Muhammad Tahir al-Jawwabi, Juhud
al-Muhadditsin fî Naqd Matn al-Hadits
al-Nabawi al-Syarif, Tunisia: Muassasat 'Abd al-Karim 'Abd Allah, 1406
H/1986 M
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan,
Dari Cinta Sampai Sek, Dari Nikah Mut’ah, Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama
Sampai Bias Baru, Lentera Hati, Jakarta, 2007
Muhammad
al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits,
diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas hadis Nabi SAW:
antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung, 1416 H/1996 M.
Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushaf al-Syarif, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Madinah al-Munawarah, 1428 H.
Mustafa
Muhammad Imazah, Jawahir Al-Bukhari, Penerbit Al-Hidayah, Surabaya,
t.th.
Musfir
‘Azm Allah al-Damini, Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, Riyadh, t.p., 1984
M/1404
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi Muqaddimah
Sahih Muslim, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Richard E. Palmer, Hermeneutics,
Evanston, Northwestern Univ. Press, 1969
Sa’id Abd Allah Seif al-Hatimi, Woman in Islam, a Comparative Study,
terj. Citra Sebuah Identitas: Wanita
dalam Perjalanan Sejarah, Surabaya: Risalah Gusti, 1994
Shalah al-Din ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj
Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama’ al-Hadits al-Nabawi, Beirut, Dar al-Afaq
al-Jadidah, t.th.
Sayyid Hossein Nasr, Islamic
Studies: Essay on Low and Society, Beirut: Libreirie Du Liban, 1967
Musfir ‘Azm Allah al-Damini, MaqayDari segi sanad, Hadits tentang
penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki itu itu bernilai shahih.
[1] Ibid.
[2] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Nahdhah Al-Mihsriyah,
Kairo, 1994, Vol.II, hal.195
[3] Ibn Rusyd, 1995, Bidayah Al-Mujtahid,
Dar Al-Fikr, Beirut, 1995, Vol.II. hal. 9
[4] Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang
Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujain, Jakarta, Kompas,
2005, hal. 239-240
[5]
Al-Bukhari, Op.Cit, juz I, hadis nomor 927
[6] Abu
Dawud, Sunan Abi Dawud, juz II, hadis nomor 266
[7] M. al-Ghazali, Op.Cit., hal. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar