PERAN DAN TANGGUNG JAWAB MANUSIA
DALAM AL-QUR’AN
Oleh: Khairullah[1]
Abstrak
Secara garis besar, peran dan tanggungjawab manusia dapat
dibagi kepada tiga peran utama. Pertama,
Manusia sebagai hamba Allah SWT. Barometer peran ini adalah Tauhid. Kedua,
Manusia sebagai makhluk sosial. Barometer peran ini adalah sikap egalitarianisme, tolong menolong, dan
toleransi. Ketiga, peran sebagai khalifah fil-ardl yang merupakan
pengejawantahan dari peran profetik manusia.
Untuk menjalankan kedua peran di atas bukanlah hal yang
mudah. Untuk itu Allah membekali manusia dengan potensi. Dengan bekal potensi
itu manusia bersedia menerima amanat tersebut, sehingga memungkinkannya mampu
mengemban amanat itu. Lebih jaun lagi, potensi yang dimaksud bukan saja potensi
untuk dapat menunaikan amanat tersebut, tetapi potensi yang dapat menunaikan
amanat dengan baik dan bertanggungjawab.
Potensi itu diwujudkan melalui pemahaman serta penguasaan
terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya, kemudian
menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa untuk membentuk wujud baru
dalam alam kebudayaan untuk kemaslahatan umat manusia.
Kata Kunci: Peran, Tanggungjawab, al-Qur’an
PENDAHULUAN
Dalam diri manusia melekat tiga peran
pokok yang harus dimainkan dalam kehidupannya yaitu peran manusia sebagai hamba
Allah SWT, peran manusia sebagai makhluk sosial dan peran manusia sebagai duta
Tuhan di bumi (khalifah fil ardl).
Peran pertama merupakan landasan utama
dalam menjalankan peran yang kedua dan ketiga. Memposisikan Allah SWT sebagai
satu-satunya Tuhan yang harus disembah akan melandasi seluruh perjalanan dalam
melaksanakan perannya sebagai makhluk sosial dan khalifah fil ardl.
Dengan demikian, jika tauhid seseorang sudah benar, maka tidak akan
terjadi seorang manusia menyembah manusia lainnya; manusia mendewakan
makhluk-makhluk lainnya seperti matahari, bulan, bumi; manusia menjadikan harta
benda segala-galanya. Begitu juga ketika melihat orang lain dalam kesulitan,
secara spontanitas ada keinginan untuk membantunya, sikap ini merupakan
dorongan dari nilai-nilaii sosial yang terdapat dalam diri seseorang. Dan dalam hidup dan kehidupannya akan berusaha
semaksimal mungkin untuk dapat mengeksplorasi sumber daya alam agar bermanfaat
bagi orang banyak. Potensi ini merupakan manifestasi dari perannya sebagai khalifah
fil ardl. Dan masih banyak contoh lainnya.
Dalam tulisan ini akan dibahas ketiga
peran manusia di atas dengan mencoba
mengelaborasi ayat-ayat al-Qur’an yang
mengandung topik yang dikaji baik secara eksplisit maupun yang implisit.
TIGA PERAN MANUSIA DALAM AL-QUR’AN
1.
Peran dan Tanggungjawab Manusia
Membincangkan
maslah peran dan tanggungjawab manusia, erat hubungannya dengan istilah khalifah
seperti disebutkan dibeberapa ayat al-Qur’an. Menurut Dawam Raharjo dalam
bukunya Ensiklopedi al-Qur’an, kata khalifah yang cukup dikenal di
Indonesia mengandung makna ganda. Di satu pihak, khalifah dimengerti
sebagai Kepala Negara dalam pemerintahan seperti Kerajaan Islam di masa lalu,
dan di lain pihak pula pengertian khalifah sebagai ‘wakil Tuhan” di muka
bumi.[2]
Yang
dimaksud dengan “wakil Tuhan” itu- masih menurut M. Dawam Raharjo- bisa
mempunyai dua pengertian; Pertama, yang diwujudkan dalam jabatan
pemerintahan seperti kepala negara, kedua, dalam pengertian fungsi
manusia itu sendiri di muka bumi.[3]
Adapun khalifah
dalam tulisan ini lebih condong kepada pengertian khalifah yang kedua
yaitu “wakil Tuhan” yang berhubungan dengan fungsi dan tanggungjawab manusia di
muka bumi yang mengemban amanat Tuhan.
Pembatasan
ini dimaksudkan adalah untuk tidak membatasi fungsi manusia yang hanya tertumpu
kepada kepemimpinan yang formal atau kekuasaan. Sebab dalam mengemban amanat
tidak harus selalu dalam bentuk kekuasaan atau menjadi pemimpin. Pada dasarnya,
semua manusia mempunyai kewajiban untu menyampaikan kebenaran. Landasan kajian
ini adalah berdasar pada Firman Allah yang artinya
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…”.[4]
Dan
ayat yang artinya:
“Sungguh
Kami telah tawarkan amanat kepada langi, bumi dan gunung-gunung. Tapi mereka enggan
memikulnya, karena takut akan mengkhianatinya. Tapi manusia (bersedia)
memikulnya. Ia sungguh zhalim dan bodoh sekali”.[5]
Dari
kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa khalifah adalah sebuah fungsi
yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah. Ke-khalifahan
merupakan amanat atau tugas mengelola bumi secara bertanggungjawab, dan harus
sesuai dengan petunjuk dari yang memberikan tugas tersebut dengan mempergunakan
akal yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Menurut
Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar –mengutip pendapat al-Qurtubi- amanat yang
ditugaskan Allah kepada manusia sungguh berat, hal ini terbukti pada penolakan
langit dan bumi serta gunung-gunung ketika ditawarkan untuk memikulnya dan
mengemban amanat tersebut.[6]
Penawaran
dan penolakan amanat tersebut dipahami oleh banyak ulama dalam arti kiasan atau
majaz. Namun ada juga yang memahami dalam arti yang sesungguhnya. M.
Quraish Shihab menyimpulkan pendapat pertamalah yang lebih kuat.[7]
Dasar
yang dipakai manusia ketika bersedia menerima amanat tersebut adalah karena ia
diberi kemampuan atau potensi oleh Allah yang memungkinkan mampu mengemban
amanat itu. Potensi yang dimaksud bukan saja potensi untuk dapat menunaikan
amanat tersebut, tetapi potensi yang dapat menunaikan amanat dengan baik dan
bertanggungjawab.[8]
Sebab jika Allah mengetahui ketiadaan potensi yang dimiliki oleh manusia,
niscaya Dia tidak akan menyerahkan amanat yang berat tersebut kepadanya. Tidak
ubahnya seperti seorang ayah yang menyerahkan sebilah pisau kepada anak kecil,
atau memerintahkan anak di bawah umur untuk mengemudi kendaraan. Sang ayah yang
bijaksana baru akan menyerahkan hal tersebut jika sang anak sudah mampu dan
mempunyai potensi untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
Dalam
salah satu ayat al-Qur’an, kemampuan atau potensi itu disimbolkan dengan
kemampuan dalam mengeja nama-nama benda seluruhnya. Dengan inderanya, manusia
mengirimkan masukan informasi ke otaknya yang merupakan pusat pengolahan data
dan pengetahuan. Pengetahuan yang demikian ini disebut pengetahuan konseptual.[9]
Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur’an yang artinya:
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-ku
nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar”.[10]
Dengan
melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hokum-hukum kebenaran yang
terkandung dalam ciptaan-Nya –semua yang ada di alam ini- seperti yang
terkandung dalam ayat di atas, maka manusia dapat menyusun konsep-konsep serta
melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan untuk
kemaslahatan umat manusia.[11]
Kemampuan
lain yang diberikan Allah kepada manusia adalah kemampuan untuk membedakan
antara yang baik dan yang buruk, seperti terdapat dalam al-Qur’an yang artinya:
“Demi
jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya) sesungguhnya Allah telah mengilhamkan
kepada jiwa itu (kemampuan untuk membedakan) mana yang salah dan mana yang benar”.[12]
Dalam
ayat di atas dijelaskan bahwa Allah telah memberikan potensi kepada manusia
untuk menelusuri jalan kedurhakaan dan ketakwaannya. Ibn Asyur
seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab memahami kata alhamaha dengan
anugerah Allah yang menjadikan seseorang memahami pengetahuan yang mendasar
serta menjangkau hal-hal yang bersifat aksioma bermula dengan keterdorongan
naluriah kepada hal-hal yang bermanfaat, seperti dorongan untuk menghindari
bahaya.[13]
Berdasar
kedua ayat dia atas, cukup beralasan jika Allah memberikan tanggungjawab kepada
manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Alasan tersebut adalah
adanya kualitas dan kemampuan manusia
dalam berfikir, menangkap, dan mempergunakan simbol-simbol komunikasi.[14]
2.
Peran dan Tanggungjawab Manusia sebagai Hamba Allah dan Makhuk
Sosial
Peran
dan tanggungjawab manusia yang paling utama adalah bagaimana manusia mampu
memposisikan dirinya di hadapan Allah dan kehidupan sosialnya. Untuk mengetahui
hal tersebut perlu dipaparkan terlebih dahulu maksud dan tugas diciptakan
manusia itu, seperti dijelaskan dalam ayat al-Qur’an yang artinya:
“Dan
Aku tidak menciptakan jin and
manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada-Ku”.[15]
Term Abdi dan pengabdian merupakan
kata-kata yang biasa dipergunankan sehari-hari. Tetapi dalam konteks al-Qur’an
kata ‘abd –yang darinya bahasa Indonesia abdi dan pengabdian itu
berasal- mengandung pegertian yang luas dan dalam secara baik secara teologis maupun filosofis.
Namun
demikian, dalam tulisan ini tidak akan dibahas secara detail konsep ‘abdi’ atau
pengabdian secara komprehensif, layaknya
tafsir tematik tentang konsep ‘Abd dalam al-Qur’an. Sub bahasan ini akan
menjelaskan bahwa dalam al-Qur’an pengabdian sebagai bentuk penghambaan tidak
berlaku dalam hubungan selain dengan Tuhan. Prinsip yang terdapat dalam ayat di
atas adalah al-Qur’an tidak mengakui perbudakan atau penghambaan manusia oleh
manusia yang lain, lembaga atau ciptaan-ciptaan Tuhan lainnya. Sebab keengaanan
manusia menghamba kepada uhan, akan mengakibatkan ia menghamba pada dirinya,
hawa nafsunya.
Diantara
bentuk peghambaan selain kepada Allah dapat ditemukan dalam ayat al-Qur’an yang
artinya:
“Ketahuilah,
bahwa sesunggunya kehidupan dunia hanyalah
permainan dan kelengahan, serta perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu
serta berbangga-bangga tentang harta dan anak-anak, ibarat hujan yang
mengagumkan para petani tanam-tanamannya, kemudian ia menjadi kering, lalu
engkau lihat dia menguning kemudian ia menjadi hancur dn di akhirat ada azab
yang keras dan ampunan dari Allah serta keridha’an-Nya. Dan tidaklah kehidupan
dunia kecuali hanyalah kesenangan menipu.[16]
Didapatkan kecenderungan manusia yang
terdapat dalam ayat di atas, yaitu mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari
perbuatan atau pengambaan terhadap gemerlap kehidupan dunia, seperti kebanggaan
atas anak keturunan, berlomba-lomba dalam menumpuk harta, gaya hidup mewah yang
berlebih-lebihan.
Gaya hidup yang dijelaskan dalam ayat di atas
tadi menggunakan pendekatan matsal atau perumpamaan. Metode ini
digunakan agar supaya lebih mengena, mudah dipahami, karena pesan yang
disampaikan sangat dekat dan real dengan apa yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat.
Adapun obyek yang dijadikan perumpamaan dari
gaya hidup demikian adalah “air”. Air tersebut diturunkan dari langit dan
membasahi bumi, kemudian air tersebut menumbuh-suburkan tanaman. Melihat
tanam-tanaman yang tumbuh subur tersebut, para petani senang dan bergembira,
mereka yakin hal itu terjadi karenan jerih payah yang telah mereka lakukan.
Padahal kegembiraan dan kesenangan petani tersebut dapat saja sirna dengan
sekejap mata, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Hal ini disebabkan
karena kegembiraan dan kesenangan para petani tanpa diikuti rasa syukur dan pengakuan
bahwanya kenikmatan tersebut datangnya dari Allah.
Orang yang senantiasa mengejar kesenangan
duniawi pada dasarnya tidak memahami peran dan tanggungjawabnya sebagai hamba
Allah. Dalam terminology teologi Islam beribadah atau penghambaan memiliki dua
arti. Pertama, beribadah dalam arti sempit yang disebut dengan ibadah
mahdhah. Ibadah yang masuk dalam lingkup ini seperti shalat, puasa, haji,
yang mengandung ritus yang mutlak. Kedua, ibadah dalam arti yang luas.
Beribadah dalam arti ini adalah mendedikasikan seluruh sikap dan tindakan
seseorang hanya kepada Allah. Dalam
al-Qur’an disebutkan sebagai berikut, yang artinya:
“......Jangan
kamu mengabdi selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik
kepda manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat……”.[17]
Ayat
ini mengandung dua perintah ibadah yaitu perintah menyembah Allah, dan kedua adalah
konsekuensi-konsekuensi dari beribadah kepada Allah yaitu berbuat baik kepada
kedua orang tua, kerabat, orang miskin, anak yatim, berbuat baik kepada sesame.
Dari
penjelasan tersebut, berarti bentuk ketaatan seseorang kepada Allah dengan
menjalankan ibadah-ibadah vertikal harus senantiasa disertai dengan
ibadah-ibadah sosial horizontal. Tidak cukup jika seorang mukmin yang setiap
hari melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa dan melaksanakan ibadah haji,
tetapi di lain kesempatan ia menyakiti tetangga, menggunjing, menghardik anak
yatim, tidak memberi makan orang miskin, memamerkan kebajikan (QS.al-Ma’un,
2,3,4,6). Perilaku negatif ini juga diperkuat lagi oleh hadits yang menjelaskan
tentang orang muflis (orang yang bangkut) pada hari kiamat nanti yang
berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا
الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ
وَلَا مَتَاعَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّتِي مَنْ
يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاتِهِ وَصِيَامِهِ وَزَكَاتِهِ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ
هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا
وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيَقْعُدُ فَيَقْتَصُّ هَذَا
مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ
أَنْ يُقْتَصَّ مَا عَلَيْهِ مِنْ الْخَطَايَا أُخِذَ
مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ رواه الترمذى) [18]
Artinya: Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah
SAW bersabda: Apakah engkau tahu apa itu orang yang bangkut? Para sahabat
menjawab: Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak mempunyai satu dirham dan
tidak mempunyai perhiasan”, Lalu Rasulullah berkata: “Orang yang bangkrut dari
umatku adalah seseorang yang datang pada hari kiamat dengan pahala shalatnya, puasanya,
zakatnya dan datang dengan dosa menghina, menggunjing, memakan harta orang
lain, membunuh, memukul. Maka orang yang demikian, nilai kebajikannya akan
dipindahkan kepada orang yang disakiti dan dizalimi, dan jika nilai
kebajikannya telah habis, maka dosa mereka yang disakiti dan dizalimi akan
diberikan kepadanya, kemudian ia akan dijebloskan ke dalam neraka.
Dialog antara Rasulullah dengan para
sahabat yang terdapat dalam hadits di atas memberikan pengertian bahwa orang
yang “bangkrut” itu tidak saja terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
praktek ekonomi. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa seseorang yang tidak
mampu berperan dan bertanggungjawab dalam kehidupan sosialnya dengan baik dapat
dikategorikan kepada orang-orang yang “bangkrut”. Sehingga orang yang demikian
tidak akan mempunyai deposito kebajikan sebagai bekal hidup diakhirat kelak.
Dalam
upaya menempatkan proporsi ibadah vertical dan horizontal, Jalaluddin Rahmat
dalam bukunya Islam Alternatif sedikit mengecam seorang muslim yang merasa
puas hanya karena telah melaksanakan shalat, puasa dan ibadah mahdhah
lainya, padahal ibadah-ibadah sosial
masih terbentang luas. Melihat kondisi masyarakat Islam yang demikikan, dalam
buku tersebut diuraikan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an
memberikan quota yang lebih besar kepada ibadah yang bersifat sosial . Bahkan
menurutnya dengan mengutip pendapat Ayatullah Khomeini, dalam al-Hukumah
al-Islamiyah, perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat yang menyangkut
kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus, untuk satu ayat tentang
ibadah, ada seratus ayat yang menjelaskan tentang mu’amalah.[19]
Dalam kehidupan masyarakat beragama pada
umumnya, ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan, seringkali diartikan ketaatan dan
kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama. Ajaran agama itu kemudian dimengerti
sangat formalistic, seperti yang tercermin dalam ketentuan-ketentuan
peribadatan.
Pemahaman yang teramat formalistic
terhadap agama, atau formalisme agama dalam kehidupan masyarakat melahirkan
kepekaan yang teramat kuat terhadap ketentuan-ketentuan formal keagamaan saja,
tetapi mengabaikan kepekaan sosial dan moral. Seakan-akan peribadatan kepada
Tuhannya hanya akan diterima jika seseorang memenuhi ketentuan formalnya,
meskipun realitas sosial dan kepekaan moralnya rendah. Akibatnya peribadatan
terlepas dari kaitan dengan realitas sosial dan moral.
Penjelasan di atas bukan ingin mengatakan
bahwa ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran agama dalam arti formalistic tidak
akan mempunyai dampak etis teologis yaitu pahala dan balasan dari Allah, tetapi
hendaknya selain mempunyai dampak etis dan teologis, ibadah-ibadah tersebut
harus mempunyai dampak sosial dan moral. Seorang yang ahli ibadah kemudian
hidup dengan serba kecukupan, tetapi tidak pernah peduli dengan masyarakat
lingkungannya yang hidup serba kekurangan, dapat saja memberikan peluang
kejahatan kepada orang lain dengan tindak pencurian, perampokan dan bentuk
kejahatan lainnya. Semestinya, perlu dipahami bahwa kepedulian sosial juga
merupakan lahan ibadah yang dapat dilakukan oleh siapapun.
- Peran
dan Tanggungjawab Manusia sebagai Khalifah fil Ardl
Dalam sub bahasan sebelumnya telah dijelaskan
bahwa antara peran dan tanggungjawab manusia sebagai hamba Allah dan makhluk
sosial tidak dapat dipisahkan, keduanya mempunyai hubungan fungsional dan
korelatif. Manusia dalam perannya sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari
perannya sebagai khalifah fil ardl. Firman Allah yang artinya:
“ ….Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…”[20]
Khalifah fil ardl dapat diartikan pengemban amanat yang diberikan Allah kepada
manusia. Tugas manusia dalam rangka mengemban amanat “khalifah fil ardl” yang
terkandung dalam ayat di atas adalah mengelola dan memakmurkan bumi dengan
menggali sumber daya alam yang ia miliki untuk kesejahteraan manusia.
Kesejahteraan yang dimaksud adalah kemampuan manusia untuk mengambil manfaat
dari kekayaan alam yang tersedia. Karena Allah menciptakan kekayaan alam tidak
lain diperuntukkan bagi manusia (QS. Al-Baqarah:29).
Salah satu sumber daya alam yang dapat
dieksplorasi adalah “air”[21].
Secara umum keberadaan air sangat banyak manfaatnya, seperti dapat menyuburkan
tanaman, untuk keperluan hidup manusia seperti makan, dan minum (QS. Yunus:24).
Pada zaman teknologi canggih sekarang ini,
potensi energi air tidak saja terbatas pada fungsi untuk menyuburkan tanaman
dan keperluan hidup domestic manusia. Akan tetapi dengan teknologi modern, air
yang sudah dibendung kemudian terbentuklah waduk yang dapat menghasilkan energi
potensial air. Air dari waduk itu dialirkan ke bawah untuk memutar turbin.
Pemutaran turbin dapat menghasilkan energi listrik. Apa yang terjadi di sini
adalah transformasi energi potensial air menjadi energi listrik.[22]
Selain itu, potensi positif air dapat
dimanfaatkan sebagai pendukung utama sector perikanan seperti budi daya ikan
dan binatang air dan laut lainnya. Manusia juga juga dapat memanfaatkan potensi
air sebagai sarana pariwisata, seperti air terjun, keindahan waduk, pantai dan
lain sebagainya.[23]
Jadi
manusia dapat memanfaatkan potensi sejauh mana ia dapat menggali potensi
positif air tersebut. Air akan mendatangkan kesejahteraan bagi orang banyak
apabila mampu memanfaatkan air sesuai ukurannya. Begitu juga sebaliknya air
dapat mendatangkan malapetaka bagi kehidupan manusia apabila mereka tidak mampu
mengolah air.
Potensi
positif air inilah yang harus ditiru oleh manusia dalam hubungannya
dengan peran dan tanggungjawabnya sebagai khalifah fil ardl. Mandat khalifah
fil ardl yang diamanatkan kepada manusia haruslah bersifat kreatif dan
inovatif, yang memungkinkan manusia dapat mengolah serta mendayagunakan sumber
daya alam yang ada, dan menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Potensi positif air yang dapat diteladani
oleh manusia adalah sejauh mana seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain
sebagaimana manusia yang banyak mengambil manfaat dari air. Bukan sebaliknya
mendatangkan kerusakan, apalagi jika kehadiran kita menjadi beban bagi orang
lain. Katakanlah seorang pemimpin akan selalu mengemban amanat yang diberikan
kepdanya dengan penuh rasa tanggungjawab. Semakin tinggi rasa tanggungjawab
seorang pemimpin, maka akan semakin terasa kesejahteraan rakyat yang
dipimpinnya. Hadits Rasulullah berikut ini dapat dijadikan referensi dalam
memaksimalkan peran dan tanggungjawab manusia sebagai khalifah fil ardl:
عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِي
بَكْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ
مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قَالَ فَأَيُّ
النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ
عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ رواه الترمذى)[24]
Artinya: Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah dari Bapaknya, ada
seorang yang bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, siapakah yang
dikatakan sebaik-baiknya manusia itu?”
Rasulullah menjawab: “Sebaik-baik manusia adalah orang yang diberi umur
panjang dan dipergunakan untuk melakukan amalan yang baik, dan seburuk-buruk
manusia adalah orang yang diberi umur panjang tetapi diisi dengan amalan yang
buruk”.
Selain motivasi optimalisasi peran dan
tanggungjawab manusia sebagai khalifah, hadits di atas dapat juga
dipahami bahwa untuk mengukur seberapa banyak peran seseorang dalam melaksanakan
tugasnya sebagai khalifah fil ardl, dapat dilihat dari bagaimana ia
memanfaatkan nikmat umur (hidup) untuk selalu berbuat kebajikan. Ada bentuk
pertanggungjawaban terhadap apa saja yang telah ia lakukan untuk kesejahteraan
ummat. Begitu juga sebaliknya, seseorang dapat dikatakan tidak melaksanakan
perannya sebagai khalifah fil ardl, selama kehadirannya di dunia ini
tidak mendatangkan manfaat bagi orang lain, bahkan dengan kehadirannya di
tengah-tengah masyarkat menimbulkan keresahan. Jika ia tidak dapat melaksanakan
perannya secara maksimal, maka sudah tentu tidak dapat mempertanggungjawabkan mandat
yang diberikan kepadanya.
Lebih jauh lagi, peran dan tanggungjawab
manusia sebagai khalifah tidak saja terbatas pada kemampuan
mengeksplorasi sumber daya alam, tetapi bagaimana agar hasil dari eksplorasi
tersebut dapat dijadikan bekal atau modal untuk melakukan perubahan dan
pengembangan masyarkat, khususnya masyarakat Islam.
Secara
terminoligis menurut Amrullah Ahmad pengembangan masyarakat Islam adalah suatu
system tindakan nyata yang menawarkan model pemecahan masalah umat dalam bidang
sosial, ekonomi dan lingkungan dalam perspektif Islam.[25]
Dengan demikian, pengembangan masyarakat
Islam merupakan model empiris pengembangan prilaku individual dan kolektif
dalam dimensi amal saleh (karya terbaik), dengan tujuan untuk memecahkan
permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Dari situlah lahir beberapa
perspektif dan alternative (problem solving).
KESIMPULAN
Dari paparan di atas tadi, jelaslah
bahwasanya peran dan tanggungjawab manusia baik sebagai hamba Allah dan makhluk
sosial serta sebagai khalifah fil ardl sangat berat dan dan harus
dipertanggungjawaban. Namun demikian Allah memberikan amanah tersebut kepada
manusia dikarenakan adanaya potensi manusia untuk melaksanakan mandat tersebut.
Sebagai hamba Alllah, manusia sudah dibekali potensi tauhid di dalam
dirinya semenjak ia masih dalam rahim ibunya. Sebagai makhluk sosial, fitrah
manusia tidak bisa hidup sendiri, satu sama lainnya saling membutuhkan. Dan
perannya sebagai khalifah fil ardl, manusia dibekali ilmu pengetahuan
agar dapat mengekspolarasi sumber daya alam untuk kesejahteraan umat, bukan
mengeksploitasinya.
Tolak ukur seseorang telah secara maksimal
melaksanakan ketiga peran dan tanggungjawabnya tersebut, dapat dilihat
bagaimana upayanya dalam memanfaatkan umur (nikmat) untuk senantiasa berbuat
kebajikan, baik hubungannya secara vertikal, maupun sosial horizontal.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, ,Bandung : CV. Diponegoro, 2001.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988,
cet. I, juz XXII.
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung: Mizan,
2003, cet. XI.
M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
Islam, TafsirSosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta:
Paramadina, 2002, cet. II
M. Quraish Shihab, Tafsir
Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002 cet. I.
Musa Asy’ari, Filsafat
Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir, Yogyakarta: LESFI, 2002.
Nanih Machendrawaty
dan Agus Ahmad Syafe’I, Pengembangan Masyarakat Islam,dari Ideologi ,
Strategi sampai Tradisi,Bandung:
Rosda Karya, 2001.
Abu Isa Muhammad
bin Isa bin Surah at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.th., juz III.
Otto Soemarwoto, Ekologi,
Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan, 2001.
[1] Beliau adalah dosen pada Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan
Bandarlampung. S1-nya diselesaikan di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan
Tafsir Hadits dan S2-nya diselesaikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Islam, TafsirSosial
berdasarkan Konsep-konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. II, h.
346.
[3] Ibid.
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung
: CV. Diponegoro, 2001), h. 6.
[5] Departemen Agama RI, Op. Cit.,
h. 341.
[6] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988), cet. I, juz XXII, h. 112.
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. I, Vol. 11, h. 336.
[8] Ibid., h. 332.
[9]Musa Asy’ari, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir, (Yogyakarta:
LESFI, 2002), h. 230.
[10] Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 6
[11] Musa Asy’ari, Op. Cit.
[12] Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 477.
[13] M. Quraish Shihab, Loc. Cit., Vol. XV, h. 298. sebagai
bahan perbandingan dapat dikaji dalam surat Al-Balad:10, dan Al-Insan:3.
[14] M. Dawam Raharjo, Loc. Cit., h. 358.
[15] Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 417.
[16] Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 431
[17] Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 11
[18] Abu Isa Muhammad bin Isa bin SUrah at-Tirmidzi, Sunan
at-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), juz III, h.
341-342. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Birr, dan
Ahmad bin Hambal.
[19]Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan,
2003), cet. XI, h. 48-53.
[20] Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 182.
[21] Dalam sub bahasan ini penulis masih memberikan contoh air
seperti dalam sub bahasan sebelumnya. Namun, terdapat perbedaan stressing
penjelasan. Dalam sub bahasan sebelumnya penulis menjelaskan kehidupan dunia
itu bagaikan air yang diturunkan dari langit dan membasahi bumi, kemudian air
tersebut menumbuh-suburkan tanaman. Tapi dengan kekuasaan Allah kondisi seperti
itu bisa lenyap seketika, sebagaiamana kenikmatan-kenikmatan dunia yang
sifatnya hanya sementara. Sedangkan dalam sub bahasan ini, penulis ingin
menjelaskan potensi sumber daya alam dari air yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia.
[22] Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
(Jakarta: Djambatan, 2001), h. 326.
[23] Ibid.
[24] Abu Isa Muhammad bin Isa bin SUrah at-Tirmidzi, Sunan
at-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), juz III, h.
297-298. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibn Abi
Syaibah dan ad-Darimi.
[25] Amrullah Ahmad dalam Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad
Syafe’I, Pengembangan Masyarakat Islam,dari Ideologi , Strategi sampai Tradisi,(Bandung: Rosda Karya, 2001), h.
29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar