Sabtu, 17 Maret 2012

Tafsir Sufi Nazari Dan Isyari: Studi Tentang Corak dan Karakteristiknya


Tafsir Sufi Nazari Dan Isyari:
Studi Tentang Corak dan Karakteristiknya


Andi Eka Putra, M.A.



Abstrak
Perkembangan tafsir di kalangan kaum sufi cukup beragam. Kini ada dua model tafsir sufi, tafsir sufi nazari dan tafsir sufi isyari. Baik tafsir sufi nazari maupun tafsir sufi isyari keduanya bercorak sufistik, atau tafsir yang sering digunakan kaum sufi untuk memahami Al-Qur’an. Bedanya adalah:  kalau tafsir sufi nazari terlampau menekankan pencarian makna ayat-ayat Al-Qur’an secara batin, dan mengabaikan makna lahir, tafsir sufi isyari justru menggunakan keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik. Secara kontekstual, tampaknya tafsir sufi isyari (atau tafsir yang menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan batin) lebih relevan dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an.   


Kata kunci: tasawuf, metodologi, tafsir nazari, tafsir isyari

                                     
A. Pendahuluan
Al-Qur’an yang merupakan bukti atas kebenaran Nabi Muhammad, dan juga dijadikan sebagai pedoman hidup manusia khususnya umat Islam. Al-Qur’an mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang membedakannya dari kitab-kitab suci lainnya. Para  ulama atau manusia dalam setiap tempat dan waktu dituntut untuk memahami atau menafsirkan al-Qur’an. Usaha-usaha para ulama untuk memahami al-Qur’an tersebut selanjutnya dikenal dengan istilah tafsir.
Tafsir adalah alat atau cara untuk memahami sesuatu. Karena cara untuk memahami sesuatu itu begitu beragam, maka tafsir pun juga sangat beragam. Tafsir bermanfaat sebagai sebuah penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan penafsir itu sendiri, yang merupakan suatu hasil ijtihad yang sifatnya subjektif. Karena sebuah tafsir sangat besar sekali dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mufassirnya, maka tidak sewajarnya mufassir yang satu dengan yang lainnya merasa lebih benar. Semua karya tafsir adalah bersifat relatif dan tafsir yang satu tidak bisa dikatakan lebih baik atau lebih valid dari tafsir yang lainnya apalagi sampai mensakralkan sebuah karya tafsir.
Dalam sejarah perkembangan tafsir,  pada  mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata bahasa Arab. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan penengetahuan.
Adonis pernah mengtakan, kita tidak dapat menangkap hakikat yang tersembunyi hanya melalui akal dan wahyu, sebab hakikat tidak terdapat dalam aspek lahir teks, tetapi harus melalui interpretasi terhadap teks dengn cara mengembalikan pad sumberny dan dengan cara menyingkapkan makna hakikinya. Interpretasi itu sendiri terkait dengan orang yang mengetahui (‘arif), yang mampu menangkap makna yang batin.[1] Oleh karena itu, dari perspektif sufi, agama bergerak kea rah yang tiada batas. Perbedaan antara agama dalam perspektif fiqh-literalis dengan agama dalam perspektif  batini-sufi bagaikan perbedaan antara air yang memancar di bagian dalam laut, atau bagaikan perbedaan antara bayangan dengan asal, dhan dengan batang.[2]
Tafsir adalah alat atau cara untuk mendekati teks. Dalam konteks kitab suci Al-Qur’an, tafsir sufi dapat menjadi sarana untuk memahami pesan dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an karena kitab ini memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak, dengan demikian ayat selalu terbuka untuk ditafsirkan, tidak pernah pasti dan tertutup dalam penafsiran tunggal.[3]   
Namun terdapat beragam corak penafsiran. Adanya corak-corak penafsiran yang beragam merupkan bukti akan kebebasan penafsiran Al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan, dan yang lainnya. 
Dalam tulisan ini akan dibicarakan corak tafsir dalam kajian tasawuf, yaitu dua aliran tafsir sufi yang dikenal dengan istilah tafsir sufi nazari dan tafsir sufi isyari. Di samping itu,  penulis akan mengkaji corak dan karakteristik kedua tafsir sufi itu.


B. Corak Tafsir  Sufi
Sufi adalah nama bagi para pengamal ajaran tasawuf. Tasawuf merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, karena di samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu yang dikenal luas di dunia Timur dan Barat, tasawuf juga mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik.
Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam Al-Qur’an ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.[4] 
Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. [5]
Al-Zahabi membenarkan bahwa praktek tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhud dan ibadah dan yang lainnya, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf. [6]
Pada angkatan berikutnya, yaitu pada abad ke-2 H. dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah sufi adalah Hasyim al-Sufi (w. 150 H.). [7]
Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan para ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam bidang sufistik. Di samping itu, telah banyak bermunculan karya-karya tafsir  produk ulama sufi, namun corak tafsir sufi masih sering dicurigai secara berlebihan oleh para pengikut aliran lain.
Corak tfsir sufi terlampau menekankan makna batin dan sering dianggap mengabaikan makna lahir. Corak tafsir sufi semacam ini lebih dekat dengan tafsir simbolik, yaitu tafsir yang berusaha menguak hakikat dasar sebuah makna di balik teks atau nash. [8]
Di antara karya tafsir ulama sufi yang paling terkenal adalah al-Futuhat karya Ibn al-‘Arabi, Tafsir al-Qur’an al-Azim karya al-Tastari dan Haqaiq al-Tafsir karya al-Salmi.[9]

C.  Karakteristik Tafsir Sufi
Dalam metodologi penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya itu sangat kental dengan bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun karekteristik yang dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dikenal dengan istilah corak (laun). Kata “laun” yang dalam arti dasarnya adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa khusus atau karakter khusus yang yang memberikan pengaruh tersendiri dalam tafsir.
Karakteristik tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.
Dari kecenderungan gerakan tasawuf yang telah disebutkan di atas, telah membawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Qur’an, sehingga muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi nazary dan tafsir sufi Isyari.

1. Tafsir Sufi Nazari
Tafsir Sufi al-Nazari adalah tafsir sufi yang  dibangun untuk mempromosikan  dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir.  Dalam menafsirkannya itu  mufassir menekankan makna yang tidak terikat, terutam jika berkaitan dengan tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam prakteknya adalah pensyarahan Al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa  serta apa yang dimaksudkan oleh syara’. [10] 
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari (nadhory) yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan Al-Qur’an.[11] Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush al-Hikam.[12] 
Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan.[13]
Dalil al-Qur’an tentang paham ini di antaranya: Pertama, Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti doa’ yang lazim kita dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. 
Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
Kedua,  yaitu ayat 115 dari surat Al-Baqarah:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui. Dalam keterangan dijelaskan, kata “disitulah wajah Allah” maksudnya adalah kekuasaan Allah meliputi seluruh alam. Sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.


Kaum sufi yang menganut tafsir sufi nazari menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn ‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah.  Dari pendapatnya itu, al-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.[14]
Tafi menurut Kautsar Azhari Noer dlam disertasinya yang kemudian dibukukan, Ibn ‘Arabi tidak menyimpang. Ia masih dalam garis-garis yang ditetpkan oleh Islam. Bahwa paham wahdat al-wujud-nya sama sekali tidak dimaksudkan untuk mensejajarkan manusia dengan Tuhan.[15] Contoh penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat al- wujud-nya di antaranya:
Ketika menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:
Wadkhuli jannati, menurut tafsirannya adalah masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu adalah diri kamu sediri (manusia). manusia  untuk bisa mengetahui Tuhan yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu juga  adalah Hamba.[16]  
Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nazary yang dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhory sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh tafsir al-Nazari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran  Ibn al-’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :
Tapi menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lapaz makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang). [17]
Kedua, di dalam tafsir al-Nazari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak. Dengan perkataan lain, mengqiyaskan yang gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir. [18]
Kelihatannya apa yang dimaksud tafsir sufi nazari adalah tafsir yang  berdasarkan pada penafsiran takwil, yang berbeda dengan tafsir. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Nazari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir al-Nazari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara eksoterik karena terlampau menekankan yang esoterik. Padahal keseimbangan keduanya amat dibutuhkan, tapi tafsir sufi nazari tampak hanya menekankan makna batin di atas makna lahir.


2. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyarh atau tafsir isyari adalah pentakwilan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.  Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa Al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut. [19]
Menurut Jalaluddin Rakhmat, Al-Sulami dan Ibn Arabi adalah bintang cemerlang dalam dunia tasawuf, tapi dalam hal ini keduanya tampak masih berhaluan nazari. Kedua sufi inilah yang berjasa melahirkan keragaman tafsir sufi beserta corak dan karakteristiknya masing-masing.[20]
Penafsiran nash Al-Qur’an yang hanya melihat zhahirnya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran  yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Keseimbangn ditekankan dalam tafsir ini.
Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’y, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’y atau akal. [21]
Menurut hemat penulis metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah takwil metode isyarat. Isyarah di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya secara batin. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Sementar Jalaluddin Rakhmat sendiri secara tegas membedakan antara tafsir dan takwil. [22]
Semua tafsir Isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.
2.    Harus ada nas lain yang menguatkannya.
3.    Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
4.    Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zahir. [23]

Al-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :
  1. Tafsir sufi nazari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
  2. Dalam tafsir sufi nazari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.[24]

D. Penutup
Corak tafsir sufi yang mempunyai karakteristik khusus, tidak lepas dari epistimogi yang dipakai oleh kaum tasawuf sendiri yaitu epistemologi ‘irfani yang dalam cara kerja epistimologi ini adalah adanya  konsep lahir dan batin. Mereka melihat al-Qur’an sebagai makhluk yang punya segi lahir dan batin. Yang lahir dari al-Qur’an adalah teks al-Qur’an sendiri sedangkan yang batin apa yang ada di balik teks.
Berdasarkan corak dan karakteristik tafsir sufi nazari dan tafsir sufi isyari, tampak keduanya berbeda. Kalau tafsir sufi nazari terlampau menekankan pencarian makna ayat-ayat Al-Qur’an secara batin, dan mengabaikan makna lahir, tafsir sufi isyari justru menggunakan keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik. Secara kontekstual, tampaknya tafsir sufi isyari (atau tafsir yang menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan batin) lebih relevan dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an.   







DAFTAR PUSTAKA



Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Filsafat. Jakarta: Paramadina, 1996.

Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi dan Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta, 1995

Mustaqim, Abdul. Pembuatan Buku Daras Madzahib at-Tafsir. Yogayakarta: Fakultas Ushuliuddin IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2001.

Nasution, Harun. “Tasawuf”, dalam Budhi Munawar Rachman (ed), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam SejarahJakarta: Paramadina, 1995.

--------Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid IIJakarta: UI-Press, 1986.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Jakarta: Mizan, 2002.

Goldziher, Ignaz. Madzahib at-Tafsir, terj.Abdul Halim al-Najar. Baerut Libanon: Da>r Iqra’, 1983 M/1403 H.

Yafie, Alie. “Syariah, Thariqah, Haqiqah dan Ma’rifah”, dalam Budi Munawar Rachman (e.d), Kontektualisai Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

Al-Jabiri, M. Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi.  Baerut: Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990.

Al-Zahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid II. Kairo: Maktabat wa Hibbah, 1995 M/ 1416 H.





[1]Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Volume I, terj. Khairon Nahdiyyin, LKiS, Yogyakarta, 2007, hlm. 132   
[2]Ibid.
[3]Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2002, hlm. 65. Bandingkan juga Muhammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, terj. Afif Muhammad, Pustaka Hidayah, Bndung, 1996, hlm.84
[4]Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjauh dari Berbagai AspeknyaJilid II,  UI-Press, Jakarta,  1986, hlm. 8
[5]Ibid., hlm. 9
[6]Al-Zahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid II. Kairo: Maktabat wa Hibbah, 1995 M/ 1416 H, hlm. 7


[7]Ibid., hlm. 9, bandingkan Harun Nasution, “Tasawuf”, dalam Budhi Munawar Rachman (ed), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam SejarahJakarta: Paramadina, 1995, hlm. 79
[8]Seyyed Hoesin Nasr, Tasawuf  Dulu dan Sekarang, terj.  Abdul Hdi WM, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1984, hlm. 48
[9]Titus Burchardt, Mengenal Ajaran Tasawuf, terj. Bachtiar Effendi dan Azyumardi Azra, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 17
[10]Ignas Goldziher, Madzahib at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar, Baerut Libanon: Dar Iqra’, 1983 M/1403 H, hlm. 31.

[11]Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Baerut: Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990, hlm. 137
[12]Titus Burchardt, Op.Cit. hlm. 129
[13]Kautzar Azhari Noor, Ibn Arabi: Fantaesme dan Wujud, Paramdina, Jakarta, 1995, hlm. 45
[14]Al-Zahabi, Muhammad Husein, Op.Cit, hlm. 108
[15]Kautsar zhari Noer, Ibn Arabi dan Wahdat Al-Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 345
[16]Ibid., hlm. 109
[17]Ibid., hlm. 110
[18]Muhammad Abid Al-Jabiri, Op.Cit., hlm. 66
[19]Jalaluddin rakhmat, Tafsir Sufi Surat l-Fatihah, Rosda Krya, Bandung, 1999, hlm. Vii-xix
[20]Ibid., hlm. viii
[21]Ibid., hlm. vii
[22]Ibid., hlm. 7
[23]Titus Burchard, Op.Cit., hlm. 118
[24]Ibid., hlm. 130-131 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar