Tafsir Sufi Nazari Dan
Isyari:
Studi Tentang Corak dan Karakteristiknya
Andi Eka Putra, M.A.
Abstrak
Perkembangan tafsir di kalangan kaum
sufi cukup beragam. Kini ada dua model tafsir sufi, tafsir sufi nazari dan
tafsir sufi isyari. Baik tafsir sufi nazari maupun tafsir sufi isyari keduanya
bercorak sufistik, atau tafsir yang sering digunakan kaum sufi untuk memahami
Al-Qur’an. Bedanya adalah: kalau tafsir
sufi nazari terlampau menekankan pencarian makna ayat-ayat Al-Qur’an secara
batin, dan mengabaikan makna lahir, tafsir sufi isyari justru menggunakan
keduanya sebagai langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik. Secara
kontekstual, tampaknya tafsir sufi isyari (atau tafsir yang menguraikan
isyarat-isyarat yang terdapat dalam teks secara lahir dan batin) lebih relevan
dan sesuai dengan semangat Al-Qur’an.
Kata
kunci: tasawuf, metodologi, tafsir nazari, tafsir isyari
A. Pendahuluan
Al-Qur’an yang merupakan bukti atas kebenaran Nabi Muhammad,
dan juga dijadikan sebagai pedoman hidup manusia khususnya umat Islam.
Al-Qur’an mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang membedakannya dari
kitab-kitab suci lainnya. Para ulama
atau manusia dalam setiap tempat dan waktu dituntut untuk memahami atau
menafsirkan al-Qur’an. Usaha-usaha para ulama untuk memahami al-Qur’an tersebut
selanjutnya dikenal dengan istilah tafsir.
Tafsir adalah alat atau cara untuk memahami sesuatu. Karena
cara untuk memahami sesuatu itu begitu beragam, maka tafsir pun juga sangat
beragam. Tafsir bermanfaat sebagai sebuah penjelasan tentang arti atau maksud
firman Allah sesuai dengan kemampuan penafsir itu sendiri, yang merupakan suatu
hasil ijtihad yang sifatnya subjektif. Karena sebuah tafsir sangat besar sekali
dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman mufassirnya, maka tidak sewajarnya
mufassir yang satu dengan yang lainnya merasa lebih benar. Semua karya tafsir
adalah bersifat relatif dan tafsir yang satu tidak bisa dikatakan lebih baik
atau lebih valid dari tafsir yang lainnya apalagi sampai mensakralkan sebuah
karya tafsir.
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya
usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit
dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu
kosa-kata bahasa Arab. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan
berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran
al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari
perkembangan zaman dan penengetahuan.
Adonis pernah mengtakan, kita tidak dapat menangkap hakikat
yang tersembunyi hanya melalui akal dan wahyu, sebab hakikat tidak terdapat
dalam aspek lahir teks, tetapi harus melalui interpretasi terhadap teks dengn
cara mengembalikan pad sumberny dan dengan cara menyingkapkan makna hakikinya.
Interpretasi itu sendiri terkait dengan orang yang mengetahui (‘arif), yang mampu menangkap makna yang
batin.[1]
Oleh karena itu, dari perspektif sufi, agama bergerak kea rah yang tiada batas.
Perbedaan antara agama dalam perspektif fiqh-literalis dengan agama dalam
perspektif batini-sufi bagaikan
perbedaan antara air yang memancar di bagian dalam laut, atau bagaikan
perbedaan antara bayangan dengan asal, dhan dengan batang.[2]
Tafsir adalah alat atau cara untuk mendekati teks. Dalam
konteks kitab suci Al-Qur’an, tafsir sufi dapat menjadi sarana untuk memahami
pesan dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an karena kitab ini memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan oleh
ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah
mutlak, dengan demikian ayat selalu terbuka untuk ditafsirkan, tidak pernah
pasti dan tertutup dalam penafsiran tunggal.[3]
Namun terdapat beragam corak penafsiran. Adanya corak-corak
penafsiran yang beragam merupkan bukti akan kebebasan penafsiran Al-Qur’an.
Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak
filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak
sastra budaya dan kemasyarakatan, dan yang lainnya.
Dalam tulisan ini akan dibicarakan corak tafsir dalam kajian
tasawuf, yaitu dua aliran tafsir sufi yang dikenal dengan istilah tafsir sufi
nazari dan tafsir sufi isyari. Di samping itu,
penulis akan mengkaji corak dan karakteristik kedua tafsir sufi itu.
B.
Corak Tafsir Sufi
Sufi adalah nama bagi para pengamal ajaran tasawuf. Tasawuf
merupakan kata yang tidak asing dalam khazanah pengetahuan Islam, karena di
samping telah menjadi suatu disiplin ilmu tertentu yang dikenal luas di dunia
Timur dan Barat, tasawuf juga mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas
berbagai polemik.
Timbulnya tasawuf dalam Islam adalah karena adanya
segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada
Tuhan melalui ibadat, puasa dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi
dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari
keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau
tahta, atau kesenangan dunia lainnya. kecenderungan seperti ini secara umum
terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. [5]
Al-Zahabi membenarkan bahwa praktek tasawuf semacam di atas
telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat yang melakukan
praktik tasawuf yaitu hidup dalam zuhud dan ibadah dan yang lainnya, tetapi
mereka belum mengetahui istilah tasawuf. [6]
Pada angkatan berikutnya, yaitu pada abad ke-2 H. dan
seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi
kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim
yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum sufiyah. Pada masa ini pulalah istilah
tasawuf mulai dikenal. Dan orang yang dianggap pertama kali menggunakan istilah
sufi adalah Hasyim al-Sufi (w. 150 H.). [7]
Sebagimana disiplin ilmu lainnya, tasawuf telah melahirkan
para ahli tasawuf yang telah memberikan atau melahirkan paham-pahamnya dalam
bidang sufistik. Di samping itu, telah banyak bermunculan karya-karya
tafsir produk ulama sufi, namun corak tafsir sufi masih sering dicurigai
secara berlebihan oleh para pengikut aliran lain.
Corak tfsir sufi terlampau menekankan makna batin dan sering
dianggap mengabaikan makna lahir. Corak tafsir sufi semacam ini lebih dekat
dengan tafsir simbolik, yaitu tafsir yang berusaha menguak hakikat dasar sebuah
makna di balik teks atau nash. [8]
Di antara karya tafsir ulama sufi yang paling terkenal adalah
al-Futuhat karya Ibn al-‘Arabi, Tafsir al-Qur’an al-Azim karya
al-Tastari dan Haqaiq al-Tafsir karya
al-Salmi.[9]
C. Karakteristik Tafsir Sufi
Dalam metodologi penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode
tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar
belakang pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya itu sangat kental
dengan bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun karekteristik yang
dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dikenal dengan istilah corak (laun). Kata “laun” yang dalam arti
dasarnya adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa khusus atau
karakter khusus yang yang memberikan pengaruh tersendiri dalam tafsir.
Karakteristik tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari
timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak
terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya
dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut
oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir,
sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu
hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.
Dari kecenderungan gerakan tasawuf yang telah disebutkan di
atas, telah membawa pengaruh besar terhadap penafsiran al-Qur’an, sehingga
muncul darinya apa yang dikenal sebagai tafsir sufi nazary dan tafsir sufi
Isyari.
1. Tafsir Sufi Nazari
Tafsir Sufi al-Nazari adalah tafsir sufi yang dibangun
untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut
mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir menekankan makna yang
tidak terikat, terutam jika berkaitan dengan tujuan utamanya yaitu untuk
kemaslahatan manusia. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam prakteknya
adalah pensyarahan Al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta
apa yang dimaksudkan oleh syara’. [10]
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu
Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari (nadhory) yang meyandarkan bebarapa
teori-teori tasawufnya dengan Al-Qur’an.[11]
Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat
al-Makiyat dan al-Fushush al-Hikam.[12]
Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham
wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya
persatuan antara manusia dengan Tuhan.[13]
Dalil al-Qur’an tentang paham ini di antaranya: Pertama, Al-Qur’an
surat Al-Baqarah
ayat 186:
Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku
adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi
diartikan bukan berdo’a dalam arti doa’ yang lazim kita dipakai. Kata itu bagi
mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan
Tuhan melihat dirinya kepada mereka.
Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka
hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
Kedua, yaitu ayat 115 dari surat Al-Baqarah:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya)
lagi Maha mengetahui. Dalam keterangan dijelaskan, kata “disitulah wajah Allah”
maksudnya adalah kekuasaan Allah meliputi seluruh alam. Sebab itu di mana saja
manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan
dengan Allah.
Kaum sufi yang menganut tafsir sufi nazari menafsirkannya
dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga
untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana
saja dan Dia selalu ada.
Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sangat
dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting
dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas
pahamnya. Al-Zahabi berpendapat bahwa Ibn ‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
telah keluar dari madlul ayat yang
dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, al-Zahabi kelihatan tidak
setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah
ayat.[14]
Tafi menurut Kautsar Azhari Noer dlam disertasinya yang
kemudian dibukukan, Ibn ‘Arabi tidak menyimpang. Ia masih dalam garis-garis
yang ditetpkan oleh Islam. Bahwa paham wahdat al-wujud-nya sama sekali tidak
dimaksudkan untuk mensejajarkan manusia dengan Tuhan.[15]
Contoh penafsiran Ibn al-‘Arabi sebagai landasan untuk memperkuat paham wahdat
al- wujud-nya di antaranya:
Ketika
menafsirkan ayat 29-30 dari surat Al-Fajr yang berbunyi:
Wadkhuli jannati, menurut tafsirannya adalah
masuklah ke dalam diri kamu (manusia) untuk mengetahui Tuhanmu karena Tuhan itu
adalah diri kamu sediri (manusia). manusia untuk bisa mengetahui Tuhan
yang ada pada dirinya adalah dengan menyingkap penutup yang ada pada diri
manusia yaitu nafsu insaniyah. Jika kamu telah masuk ke dalam surga-Nya maka
kamu telah masuk dalam diri kamu, dan mengetahui akan Tuhan yaitu ada dalam
dirimu. Dengan perkataan lain bahwa kamu (manusia) adalah Tuhan dan kamu
juga adalah Hamba.[16]
Selanjutnya al-Zahabi secara lebih panjang lebar menjelaskan
karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nazary yang dapat diringkas
sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhory
sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Al-Zahabi memberikan contoh tafsir
al-Nazari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al-’Arabi
terhadap ayat 57 dari surat
Maryam :
Tapi menurut al-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut
sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lapaz
makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang). [17]
Kedua, di dalam tafsir al-Nazari, hal-hal yang gaib dibawa
ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak. Dengan perkataan lain, mengqiyaskan
yang gaib ke yang nyata. Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah
nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
[18]
Kelihatannya apa yang dimaksud tafsir sufi nazari adalah tafsir
yang berdasarkan pada penafsiran takwil,
yang berbeda dengan tafsir. Dan menurut hemat penulis tafsir al-Nazari pada
hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi
tafsir al-Nazari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang
ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara eksoterik
karena terlampau menekankan yang esoterik. Padahal keseimbangan keduanya amat
dibutuhkan, tapi tafsir sufi nazari tampak hanya menekankan makna batin di atas
makna lahir.
2. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyarh
atau tafsir isyari adalah pentakwilan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dengan
makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme
tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi
asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa Al-Qur’an
mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks
ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna
tersebut. [19]
Menurut Jalaluddin Rakhmat, Al-Sulami dan Ibn Arabi adalah
bintang cemerlang dalam dunia tasawuf, tapi dalam hal ini keduanya tampak masih
berhaluan nazari. Kedua sufi inilah yang berjasa melahirkan keragaman tafsir
sufi beserta corak dan karakteristiknya masing-masing.[20]
Penafsiran nash Al-Qur’an yang hanya melihat zhahirnya,
hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau
penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan
itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Keseimbangn
ditekankan dalam tafsir ini.
Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh
akal atau ra’y, sehingga beliau
sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’y
atau akal. [21]
Menurut hemat penulis metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf
secara umum adalah takwil metode isyarat. Isyarah di sini maksudnya adalah
menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui
hikmah-hikmahnya secara batin. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk
membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal
metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama
dengan takwil. Sementar Jalaluddin Rakhmat sendiri secara tegas membedakan
antara tafsir dan takwil. [22]
Semua tafsir Isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi
harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir.
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna
zhahir.
2.
Harus ada nas lain yang menguatkannya.
3.
Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
4.
Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan
adanya makna lain selain makan zahir. [23]
Al-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara
tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :
- Tafsir sufi nazari dibangun
atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang
kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya.
Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu
sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai
derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.
- Dalam tafsir sufi nazari
seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna
tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi
isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang
ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri
dari makna zahir dan batin.[24]
D. Penutup
Corak tafsir sufi yang mempunyai karakteristik khusus, tidak
lepas dari epistimogi yang dipakai oleh kaum tasawuf sendiri yaitu epistemologi
‘irfani yang dalam cara kerja epistimologi ini adalah adanya konsep lahir
dan batin. Mereka melihat al-Qur’an sebagai makhluk yang punya segi lahir dan
batin. Yang lahir dari al-Qur’an adalah teks al-Qur’an sendiri sedangkan yang
batin apa yang ada di balik teks.
Berdasarkan corak dan karakteristik tafsir sufi nazari dan
tafsir sufi isyari, tampak keduanya berbeda. Kalau tafsir sufi nazari terlampau
menekankan pencarian makna ayat-ayat Al-Qur’an secara batin, dan mengabaikan
makna lahir, tafsir sufi isyari justru menggunakan keduanya sebagai
langkah-langkah untuk memahami teks dengan baik. Secara kontekstual, tampaknya
tafsir sufi isyari (atau tafsir yang menguraikan isyarat-isyarat yang terdapat
dalam teks secara lahir dan batin) lebih relevan dan sesuai dengan semangat
Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian
Filsafat. Jakarta :
Paramadina, 1996.
Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi dan Wahdat al-Wujud dalam
Perdebatan, Paramadina, Jakarta ,
1995
Mustaqim, Abdul. Pembuatan Buku Daras Madzahib at-Tafsir.
Yogayakarta: Fakultas Ushuliuddin IAIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, 2001.
Nasution, Harun. “Tasawuf”, dalam
Budhi Munawar Rachman (ed), Kontektualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta :
Paramadina, 1995.
--------Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid II. Jakarta : UI-Press, 1986.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Jakarta : Mizan, 2002.
Goldziher, Ignaz. Madzahib at-Tafsir, terj.Abdul Halim
al-Najar. Baerut Libanon: Da>r Iqra’, 1983 M/1403 H.
Yafie, Alie. “Syariah, Thariqah,
Haqiqah dan Ma’rifah”, dalam Budi Munawar Rachman (e.d), Kontektualisai Doktrin
Islam dalam Sejarah. Jakarta :
Paramadina, 1995.
Al-Jabiri, M. Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Baerut:
Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990.
Al-Zahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid II.
Kairo: Maktabat wa Hibbah, 1995 M/ 1416 H.
[1]Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Volume I, terj. Khairon
Nahdiyyin, LKiS, Yogyakarta , 2007, hlm. 132
[2]Ibid.
[3]Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung , 2002, hlm. 65.
Bandingkan juga Muhammad Arkoun, Membedah
Pemikiran Islam, terj. Afif Muhammad, Pustaka Hidayah, Bndung, 1996, hlm.84
[4]Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjauh dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II, UI-Press, Jakarta , 1986, hlm. 8
[5]Ibid., hlm. 9
[6]Al-Zahabi, Muhammad Husein. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jilid II. Kairo: Maktabat wa Hibbah,
1995 M/ 1416 H, hlm. 7
[7]Ibid., hlm. 9, bandingkan Harun
Nasution, “Tasawuf”, dalam Budhi Munawar Rachman (ed), Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.
Jakarta :
Paramadina, 1995, hlm. 79
[8]Seyyed Hoesin Nasr, Tasawuf
Dulu dan Sekarang, terj. Abdul
Hdi WM, Pustaka Firdaus, Jakarta ,
1984, hlm. 48
[9]Titus Burchardt, Mengenal Ajaran Tasawuf, terj. Bachtiar
Effendi dan Azyumardi Azra, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 17
[10]Ignas Goldziher, Madzahib
at-Tafsir, terj. Abdul Halim al-Najar, Baerut Libanon: Dar Iqra’, 1983
M/1403 H, hlm. 31.
[11]Muhammad
Abid Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi,
Baerut: Markaz Dirasat al-Wahdat al-Arabiyah, 1990, hlm. 137
[12]Titus Burchardt, Op.Cit. hlm. 129
[13]Kautzar Azhari Noor, Ibn Arabi: Fantaesme dan Wujud, Paramdina, Jakarta , 1995, hlm. 45
[14]Al-Zahabi,
Muhammad Husein, Op.Cit, hlm. 108
[15]Kautsar zhari Noer, Ibn Arabi dan Wahdat Al-Wujud dalam
Perdebatan, Paramadina, Jakarta ,
1995, hlm. 345
[16]Ibid., hlm. 109
[17]Ibid., hlm. 110
[18]Muhammad
Abid Al-Jabiri, Op.Cit., hlm. 66
[19]Jalaluddin rakhmat, Tafsir Sufi Surat
l-Fatihah, Rosda Krya, Bandung ,
1999, hlm. Vii-xix
[20]Ibid., hlm. viii
[21]Ibid., hlm. vii
[22]Ibid., hlm. 7
[23]Titus Burchard, Op.Cit., hlm. 118
[24]Ibid., hlm. 130-131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar