Al Mushafahah Dalam
Perspektif Hadits
Oleh:
Ahmad Bastari
Abstrak
Masalah mushafahah
(berjabat tangan) tetap menjadi actual untuk didiskusikan, karena masih banyak
sikap kaum muslimin yang belum sesuai dengan tuntutan atau apa yang dicontohkan
Rasulullah SAW. Ada sebagian masyarakat yang enggan berjabat tangan bila
berjumpa dengan kaum muslimin lainnya, karena menganggap hal demikian terlalu
bersikap formal dan latah atau tertular kebiasaan barat. Sebaliknya di sisi
lain ada sebagian muslim yang beranggapan boleh berjabat tangan dengan siapa
saja, baik antara pria dengan pria, antara wanita dengan wanita maupun wanita
pria dengan wanita yang bukan mahramnya. Hikmah mushafahah adalah untuk
mempererat silaturahim atau memperkokoh persaudaraan, menghilangkan rasa
dengki, untuk mengakhiri pertikaian, persengketaan, sebagai simbolik telah
saling memaafkan. Allah SWT. Mengampuni dosa-dosa kaum muslimin yang melakukan
mushafahah bila dilakukan dengan penuh ketulusan demi melaksanakan anjuran
Allah SWT. Dan rasulNya
Kata
Kunci: Al
Mushafahah, Etika, Hadits
Pendahuluan
Hadits
sebagai sumber hukum yang kedua dalam Islam yakni setelah al-Qur'an sebagai
hukum pertama, bukan hanya membicarakan aqidah dan ibadah mahdhah, tetpai juga
membicarakan masalah muamalah atau urusan kemasyarakatan umat Islam secara
menyeluruh dan universal, baik antara individu, antara individu dengan
masyarakat, antara masyarakat serta sebaliknya. Dalam mengokohkan kehidupan bermasyarakat,
banyak hadits mengajarkan prinsipmoral atau lebih khusus bagi disebut akhlak.
Karena memang salah satu misi / risalah Nabi Muhammad adalah li utammima
makaarimal akhlak. Di antara prinsip-prinsip akhlak tersebut adalah masalah :
ukhuwah, silat al rahim, as salam, al mushafahah dan sebagainya.
Khusus
masalah mushafahah (berjabat tangan) tetap menjadi actual untuk didiskusikan,
karena masih banyak sikap kaum muslimin yang belum sesuai dengan tuntutan atau
apa yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ada sebagian masyarakat yang enggan
berjabat tangan bila berjumpa dengan kaum muslimin lainnya, karena menganggap
hal demikian terlalu bersikap formal dan latah atau tertular kebiasaan barat.
Sebaliknya di sisi lain ada sebagian muslim yang beranggapan boleh berjabat
tangan dengan siapa saja, baik antara pria dengan pria, antara wanita dengan
wanita maupun wanita pria dengan wanita yang bukan mahramnya.
Malah
sebagian kelompok tersebut ada yang sampai meremehkan saudaranya sesame kaum
muslimin yang tidak prinsipil dengan mereka dengan ejekan : kuno, ortodok,
ketinggalan zaman, sok suci, tidak supel, ekstrim, bahkan fundamentalis. Lebih
fatal lagi kelompok itu melakukannya, tidak sekedar berjabat tangan dengan
tangan, tapi sudah berjabat pipi dengan pipi, sambil merapatkan tubuh bakan
berangkulan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya, seperti yang sering
terlihat di pesawat televise.
Paper
ini bertujuan mengungkapkan dan menganalisis, bagaimana tuntunan Rasulullah
SAW. (dalam hadits-haditsnya) tentang al-mushafahah?. Tujuan pokok tersebut
dijabarkan dalam tiga sub, yaitu : (1) bagaimana mushafahah yang disunnahkan
rasululah?, (2) bagaimana mushafahah yang tidak dilakukan atau dianjurkan
Rasulullah SAW.? (3) apa hikmah mushafahah menurut Rasulullah SAW.? Untuk
mencapai tujuan tersebut, sistematika paper ini disusun sebagai berikut : (1)
pendahuluan, (2) pengertian al mushafahah, (3) koleksi dan kualitas
hadits-hadits mushafahah, yang disunnahkan Rasulullah SAW., (4) mushafahah yang
tidak dilakukan atau tidak dianjurkan Rasulullah SAW., (5) hikmah mushafahah,
(6) kesimpulan.
Pengertian
al mushafahah
Secara
etiologis kata al mushafahah berasal dari bahasa arab yaitu bentuk dasar dari
kata kerja artinya menurut ibnu Munzir al Afiqi al Misri yang dikutip dari bnu
al Atir adalah menempelkan telapak tangan dengan telapak tangan orang lain.[1] Sedangkan menurut
sub antusiasnya artinya adalah berpaling atau meninggalkan dosa seseorang yang
memaafkannya.[2] Dalam bahasa
Indonesia, secara harfiah kata ini menurut Mahmud Yunus diartikan, ‘berjabat
tangan dengan tangan, atau bersalaman”.[3] Sedangkan secara
terminologis, pengertian menurut ibn Hajar al Asqalani adalah : “Perbuatan
membentangkan atau melapangkan tangan ke tangan lain”.[4]
Pengertian
yang agak lebih jelas, yaitu bagian yang mana dari tangan yang dimaksud, serta
apa tujuannya, dikemukakan Imam Nawawi dalam definisi berikut :
الافضاء بصفحة اليد الى صفحة اليد هو يؤكد المحبة
Artinya:
membentangkan permukaan tangan ke permukaan tangan (orang) lain, dengan tujuan
memperkokoh kasih sayang.[5]
Sementara
Muhammad ibn Ahmad Ismail mendeskripsikan secara lebih tegas lagi, yaitu
seorang (pria) meletakkan telapak tangannya kepada tangan temannya (Pria)
sehingga kedua telapak tangan itu saling menempel”.[6]
Dengan
memperhatikan pengertian / definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa yang
dimaksud dengan al mushafahah (berjabat tangan), adalah perbuatan seseorang
menempelkan telapak tangannya dengan telapak tangan temannya,[7] guna mengokohkan
kasih sayang dan persahabatan.
Di
samping untuk mengokohkan kasih sayang dan persahabatan (bagi yang tidak
terputus atau terganggu), mushafahah juga merupakan simbolik dari menyambung
kembali persahabatan atau kasih sayang yang sempat terputus, atau terganggu
karena kemarahan atau pertikaian. Dalam hal ini, ia merupakan wujud dari
pengamalan dari perintah Allah SWT. Dalam al-Qur'an ashafahu walyashfahu, yang
banyak tempat didahului oleh a’fu, walya’fu, di antaranya seperti terdapat pada
:
1. Surah
al Nur : 22
“Hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada”[8]
2. Surat
al Taghabun : 14
“dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah SWT. Maha pengampun
lagi maha penyayang”
3. Surat
al Maidah : 13
“maafkan dan biarkan mereka”
4. Surat
al Baqarah : 109
“maka maafkan dan biarkan mereka”
Sebab
seperti diterangkan terdahulu, pengertian mushafahah adalah “berpaling atau
meninggalkan dosa seseorang dan memaafkannya”, maka perbuatan itu hanya mungkin
dilakukan setelah terlebih dahulu di lubuk hati yang bersangkutan tertanam
keinginan memberi maaf orang yang telah bersalah atau orang yang dengannya
terjadi konflik atau ketegangan tersebut. Agaknya itulah sebanya, perintah
ashfahu atau yashfahu pada banyak ayat dalam al-Qur'an itu didahului oleh kata
a’fu atau ya’fu.
Hadits-hadits
yang menganjurkan mushafahah
Hadits
yang menganjurkan mushafahah jumlahnya cukup banyak, melalui CD Muqaddam
Mausu’ah al Hadits al Syarif al Kutub al Tis’ah, dengan menggunakan tema (المصافحة) ditemukan 7 hadits dalam
4 kitab / bab, seperti tertera pada table berikut :
No
urut
|
Perawi
|
Kitab
/ bab
|
No.
hadits
|
1.
|
Bukhari
|
Al Isti’dzan
|
5792
|
2.
|
Tirmizy
|
Al Isti’dzan wa
al Adab
|
2653
|
3.
|
Tirmidzy
|
Sda
|
2655
|
4.
|
Abu Daud
|
Al Mushafahah
|
4537
|
5.
|
Ahmad
|
Baqiya Musnad al
Muksirin
|
12.122
|
6.
|
Ahmad
|
Sda
|
12.855
|
7.
|
Ahmad
|
Sda
|
21.207
|
Sedangkan
menggunakan tema juga ditemukan 7 hadits dalam 4 kitab / bab, yakni :
No
urut
|
Perawi
|
Kitab
/ bab
|
Tema
yang dipakai
|
No.
hadits
|
1.
|
Bukhary
|
Al Isti’dzan
|
صافحنى
|
|
2.
|
Tirmidzy
|
Al isti’dzan wa
al adab
|
يتصافحتانى
|
2651
|
3.
|
Tirmidzy
|
Sda
|
يصافحه
|
2652
|
4.
|
Abu Daud
|
Al Mushafahah
|
تصافحا
|
4535
|
5.
|
Abu Daud
|
Sda
|
تصافحانى
|
4536
|
6.
|
Ibn Majah
|
Al adab
|
تصافحوا
|
3692
|
7.
|
Ibn Majah
|
Sda
|
يتصافحانى
|
3693
|
Di
samping menggunakan tema المصافحة
beserta derivasinya
disebut juga terdapat penggunaan frase lain yang menunjukkan makna المصافحة yakni frase اخذ بيد, yang terdapat pada kitab shahih Bukhary bab
al Isti’dzan, yaitu hadits 5793, serta dengan frase yang terdapat dalam kitab
Sunan al Tirmidzi, bab I Isti’dzan wa al Adab, yaitu pada hadits no. 2654.
Selain
dari yang telah dijelaskan di atas, Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim
juga agak menyinggung tentang berjabat tangan (al mushafahah), tetapi bukan
dalam kitab al Mushafahah melainkan dalam konteks bai’at kaum wanita. Demikian
juga dalam kitab majma’ zawaid, yang disusun oleh Ali ibn Abi Bakar al
Haitsami, ditemukan pula beberapa buah hadits berkenaan dengan Mushafahah :
1. Nabi
dan sahabatnya memberi teladan bermushafahah.
“Ibnu
Mas’ud, Nabi saw telah mengajariku tasyahud dan Ka’bu ibn Malik berkata, aku
memasuki masjid bersama Rasulullah SAW., maka Thalhah ibn Ubaidillah segera
berdiri menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku”
Hadits
ini diriwayatkan Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari juz VII bab Isti’dzan.
Dengan demikian, tingkatan hadits ini shahih dan dapat dijadikan sebagai sumber
bahwa berjabat tangan itu hukumnya sunnah.
Ada
dua hadits lagi yang diriwayatkan Bukhari tentang disunnahkannya bermushafahah
tersebut, yakni
حدثنا عمرو بن عاصم حدثنا همام عن قتادة قال قلت لانس كانت المصافحة
فى اصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال نعم
Artinya:
Amr bin Ashim memberitahu kami, Hamman memberitahukan kami dari Qatadah ia
berkata (bertanya) kepada anas, Adakah para sahabat Nabi bermushafahah,
jawabnya : “ya”
Imam
Tirmidzi dalam kitabnya Sunan al Tirmidzi (hadits No. 2653), juga meriwayatkan
hadits di atas dengan matan yang sama, tapi sanadnya berbeda dari Hammam dan
sanad selanjutnya sama dengan hadits Bukhari.[9]
Hadits
yang diriwayatkan Bukhari di atas (6263), tingkatannya adalah shahih, sedangkan
yang diriwayatkan Tirmidzi (hadits no. 2653) kualitas sanadnya menurut Abu Isa
adalah Hasan Shahih.[10] Karena itu baik
hadits Bukhari 6263, maupun hadits Tirmidzi 2653 dapat dijadikan Hujjah bahwa
mushafahah itu hukumnya sunnat dan telah dipraktekkan oleh sahabat Nabi.
Lebih
tegas lagi bahwa praktek mushafahah itu telah diberi keteladanannya oleh
Rasulullah SAW., dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari sebagai
berikut :
حدثنا يحي بن سليمان قال حدثنى ابن وهب قال اخبرنى حيوة قال حدثنى
ابو عقيل زهرة بن معبد سمع جده عبد الله بن هشام قال كنا مع النبي صلى الله عليه سلم
وهو اخذ بيد عمر بن الخطاب
Artinya:
“Yahya ibn Sulaiman memberi tahu kami, ia berkata : Ibn Wahab telah
memberitahuku, ia berkata : Haiwah telah mengabarkan kepadaku, ia berkata : Abu
‘Aqli Zuhwah ibn Ma’bad telah mendengar kakaknya Abdullah ibn Hasyim berkata :
adalah kami bersama Rasulullah SAW. Dan ia menjabat tangan Umar ibn Khattab”.
Selain
dari hadits berbentuk fi’liyah nabawiyah juga terdapat hadits nabawiyah lainnya
tentang mushafahah dalam bentuk qauliyah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
dalam kitab sunnahnya, dengan nomor 2652 :
حدثنا سويد اخبرنا عبد الله اخبرنا حنظلة بن عبيد الله عن أنس بن مالك
قال قال رجل يا رسول الله الرجل منا يلقى اخاه او صديقه اينحنى له قال افيلتزمه ويقبله
قال لا قال افيأخذ بيده ويصافحه قال نعم
Artinya:
“Suwaidun telah memberitahu kami, Abdullah telah mengabarkan kepada kami,
Khanzalah ibn Abdullah telah mengabarkan kepada kami ditermanya dari Anas ibn
Malik, berkata ia : seseorang (pria) bertanya : “ya Rasulullah SAW., seorang
(pria) dari kami berjumpa dengan saudaranya atau sahabatnya, apakah ia
menundukkan (kepala) terhadap saudaranya itu. Nabi bersabda, “tidak”, orang
tersebut bertanya lagi, apakah ia mengambil tangannya dan berjabat tangan
dengannya”. Jawab Nabi, “ya”
Meskipun
kualitas sanad hadits ini menurut abu Isa adalah hasan shahih,[11] tapi menurut hemat
pemakalah, dapat dijadikan hujjah bahwa mushafahah itu dianjurkan atau hukumnya
sunnat, pertama, karena hadits hasan untuk kelebihan amal atau pekerjaan sunnat
dapat dijadikan hujjah, kedua,karena telah ada hadits lainya dengan makna yang
sama (substansi pekerjaan yang sama) yang berkualitas shahih sepertipada hadits
Bukhari terdahulu.
Dari
beberapa hadits yang dikemukakan terdahulu, jelas bagi kita bahwa mushafahah
adalah anjuran dari Rasulullah SAW. Sebagai penjabaran yang aplikatif dari
perintah Allah SWT. A’fu washfahu, atau walya’fu walyasfahu. Karena itu pengamalannya
sunnat, yaitu pahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya. Karena
itu persepsi yang menganggap mushafahah sikap latah yang meniru budaya barat
adalah suatu kekeliruan. Persoalan adanya kesamaan budaya, itu adalah persoalan
lain. Demikian juga persepsi yang mengatakan bahwa mushafahah adalah sikap yang
terlalu formal juga adalah tidak mendasar. Agaknya barang kali anggapan
demikian timbul adalah karena belum terbiasa mengamalkannya, atau melihat
pengamalannya yang agak lebih merata.
2. Mushafahah
adalah kesempurnaan dalam dan menjenguk orang sakit
Hal ini dapat dilihat dari hadits
riwayat Tirmidzi :
حدثنا
سويد بن نصر أخبرنا عبد الله اخبرنا يحي بن ايوب عن عبيد الله بن زحر عن على بن يزيد
عن القاسم ابى عبد الرحمن عن أبي أمامة رضى الله عنهم ان رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال تمام عيادة المريض ان يضع احدكم يده على جبهته او قال على يد فيسأله كيف هو وتمام
تحياتكم بينكم المصافحة
Artinya:
“Suaidun ibn Nashar memberi tahu kami, Abdullah mengabarkan kepada kami,
Yahya bin Ayyub mengabarkan kepad akami dari Abdullah ibn Zahrin dari Ali ibn
Yazid dari Qasim Abi al Rahman dari Abi Umamah ra, bahwa sesungguhnya
Rasulullah SAW. Berkata : “kesempurnaan menjenguk (membesuk) orang sakit adalah
meletakkan tangan ke atas tangannya, lalu bertanya kepadanya, “bagaimana
keadaanya”, dan kesempurnaan salam kamu di antara kamu adalah berjabat tangan”.
Kualitas
isnad hadits ini menurut Abu Isa tidak kuat, menurut Muhammad dan Abdullah ibn
Zahr, “tsiqah”, dan menurut Ali bin Yazid “dhaif”, dan Qasim ibn Abd al Rahman
… bapak Abd al Rahman adalah Maula Abd al Rahman ibn Khalid ibn Yazir ibn
Muawiyah adalah “tsaqah”. Dengan demikian hadits ini dapat dijadikan hujjah
karena cukup banyak mengatakan “tsiqah”.[12]
Imam
Ahmad dalam sanadnya dengan nomor hadits 21207, juga meriwayatkan hadits dengan
matan yang sama dengan hadits tirmidzi di atas. Bedanya adalah terletak pada
dua thuruqnya di permulaan sanadnya, yaitu dari Khafal ibn al Walid yang
diterimanya dari Ibn Ayyub. Selanjutnya dari Yahya ibn Ayyub sanadnya sama
dengan Hadits Tirmidzi hingga Rasulullah SAW.[13]
Beberapa
Etika Mushafahah
Di
antara etika yang disunnahkan dalam proses mushafahah dari hadits Nabi yang
diriwayatkan Abu dawud berikut :
Artinya:
Amru ibn Aun memberi tahu kami, telah mengkhabarkan kepada kami Husyaim dari
Abi Balj dari Yazid Abi al Hakam al Anaziy dari al Bara’ ibn Azib berkata ia,
Rasulullah SAW. Bersabda, apabila bertemu dua orang muslim, lalu berjabat
tangan seraya keduanya bertahmid dan memohon ampun, maka dosa keduanya diampuni
Allah SWT.
Penjelasan
yang agak lengkap lagi tentang tata cara atau etika mushafahah dijumpai dalam
hadits yang diriwayatkan al Thabrani yang diterima dari Abu Dawud, berikut :
وروى الطبرانى عن أبى داود وهو نفيع الأعمى قال لقنى البراء ابن عازب
فأخذ بيدى وصافحنى وصحبك فى وجهى ثم قال : اتدري لم أخذت بيدك؟ قالت لا الا أننى ظننت
انك لم تفعله الا لخير قال : ان النبي صلى الله عليه وسلم لقينى ففعل بى ذلك ثم قال
: اتدري لما فعلت بك ذلك. قلت لا قال النبي صلى الله عليه وسلم ان المسلمين اذا التقيا
وتصافحا وصحك كل منهما فى وجه صاحبه لا يفعلان ذالك الا الله لم يتفرقا حتى يغفرلهما
Artinya:
“diriwayatkan oleh Tabrani dari Abu DAud, ia berkata : Aku pernah bertemu
dengan al Bara’ ibn Azib, lalu ia mengambil tanganku untuk berjabat tangan dan
ia pun tersenyum padaku, kemudian berkata, tahukah engkau mengapa aku mengambil
tanganmu? Aku menjawab : tidak, kecuali aku melihat engkau melakukannya untuk
satu kebaikan. Maka ia menjawab : sesungguhnya Rasulullah SAW. Pernah bertemu
denganku. Ia berbuat kepadaku seperti yang telah aku perbuat terhadapmu.
Kemudian Rasulullah SAW. Berkata kepadaku, tahukah engkau mengapa aku berbuat
seperti seperti yang aku lakukan kepadamu? Aku menjawab, tidak, Nabi saw
bersabda : sesungguhnya dua orang muslim apabila bertemu dan saling berjabat
tangan, masing-masing menampakkan muka yang ceria terhadap temannya, keduanya
tidaklah melakukan demkian kecuali karena Allah SWT., keduanya tidak akan
berpisah sehingga diampuni Allah SWT., keduanya.
Di
samping tatacara di atas, dalam hadits lain dijumpai tambahan etika mushafahah,
yaitu mengucapkan shalawat kepada Nabi saw., seperti yang terdapat hadits
berikut :
عن انس رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم واله وسلم قال من
عبدين متحابين فى الله يستقبل احدهما صاحبها فيصلين على النبي صلى الله عليه وسلم واله
وسلم الا لم يتفرقا حتى تعفو ذنوبهم ما تقدم وما تأخر
Artinya:
“dari Anas ra, Nabi beliau bersabda : “Tidaklah dua orang hamba Allah SWT.
yang saling mengasihi semata karena Allah SWT., … baik dosanya yang telah lewat
maupun yang akan datang”
Berdasarkan
ketiga hadits di atas, dapat dirumuskan bahwa tatacara atau etika mushafahah
adalah : (1) mengucapkan salam, (2) mengucapkan tahmid, (3) mengucapkan
istighfar atau meminta ampun kepada Allah SWT., (4) menampakkan muka yang manis
dan ceria, (5) mengucapkan shalawat kepada Nabi saw.
Hikmah
Mushafahah
1. Diampuni
Allah SWT. Dosa-dosa orang yang bermushafahah
Orang
yang melakukan mushafahah dengan penuh ketulusan demi mematuhi ajaran Allah
SWT. Dan rasulNya, Allah SWT. Akan mengampuni dosa keduanya, baik yang
terdahulu, maupun masa yang akan datang, seperti terdapat dalam hadits yang
diriwayatkan Abu Dawud (kutipan no. 17) dan hadits al Thabrani seperti yang
telah ditampilan terdahulu. Menurut hemat penulis, dosa-dosa yang dimaksudkan
ketiga hadits tersebut agaknya adalah sebatas dosa-dosa kecil, bukan termasuk
dosa besar, karena untuk dosa besar ada mekanismenya tersendiri.
2. Memperoleh
100 Rahmat
رواه البزار وفيه مصعب بن ثابت وثقه ابن حبان وضعفه الجمهور وعنه قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان المسلمين الا التقا فتصافحا وتسايلا انزل الله
بينهما مائة رحمة تسعة وتسعون لأبشهما وأطلقها وأبرهما وأحسنهماسابلة بامنيه رواه الطبرانى
فى الأوسط وفيه الحسن بن كثير بن عدى ولم اعرفه وبفية رجاله رجاله الصحيح
3. Menghilangkan
rasa dengki dan permusuhan
وحدثنى عن مالك عن عطاء بن أبى مسلم عبد الله
الخراسانى قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم تصافحوا يذهب الغل وتهادوا تحابو
وتذهب الشحناء
Artinya:
Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Atha’ al Khurasani berkata
dia Rasulullah SAW. Bersabda, “berjabat tanganlah kamu, niscaya akan hilang
rasa dengki dan saling berhadiahlah, niscaya kamu akan saling mencintai dan
terhindar dari rasa permusuhan”.
Dari
beberapa hadits yang dikutipkan di atas, jelas bagi kita bahwa ditinjau dari
sisi rahmat Allah SWT., hikmat berjabat tangan adalah diampuninya dosa-dosa
yang akan datang, yaitu dosa-dosa kecil mereka. Di samping itu, Allah SWT.
menjanjikan memberikan rahmat bagi keduanya 100 rahmat, yaitu 90 rahmat unutk
yang menyalami dan 10 untuk yang disalami.
Sedangkan
dari sudut hubungan antar manusia, mushafahah dapat menghilangkan rasa benci
dan permusuhan, serta saling mencintai atau kasih sayang di antara sesama
manusia.
Mushafahah
yang tidak dilakukan Nabi
Hadits-hadits
yang dikemukakan terdahulu, secara implicit adalah hadits-hadits yang
menganjurkan (disunnatkan) mushafahah berjabat tangan antara pria dan wanita?
Berdasarkan
penelitian pemakalah tidak satupun ayat-ayat al-Qur'an yang secara qath’I yang
melarang antara pria dan wanita berjabat tangan. Yang ada hanya – itupun
pemahamanya juga controversial – ayat yang mengatakan persentuhan antara
laki-laki dengan perempuan menyebabkan lepasnya wudhu, sehingga harus berwudhu
kembali danjika tidak ditemukan air maka boleh dilakukan tayamum, yaitu ayat 6
surat al maidah.
Sedangkan
tentang hadits Rasulullah SAW., tidak ditemukan adanya matan hadits yang secara
eksplisit yang melarang berjabat tangan antara pria dan wanita. Yang banyak
ditemukan hanyalah hadits yang mengatakan bahwa Nabi tidak berjabat tangan atau
salaman dengan wanita. Di antara hadits-hadits tersebut adalah :
قال النبي صلى الله عليه وسلم : انى لا اصافح
النساء رواه الترمذى والنسائى عن اميمة بن رقيقة (حديث صحيح)
Artinya:
Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita. Diriwayatkan oleh at
Turmudzi, an Nasa’I dan Umaimah binti Ruqaiqah, hadits ini adalah shahih.
Menurut
ibn Hajar al Asqalani, penegasan Nabi ini dinyatakan kepada Umaimah binti
Ruqaiqah, ketika Umaimah datang bersama wanita-wanita lainnya untuk mengikuti
acara bai’at terhadap Rasulullah SAW. Penegasan serupa, juga ditemukan dalam
hadits yang diriwayatkan Imam Ahamd, dan at Thabrani dari Asma binti Yazid,
berikut :
قال النبي صلى الله عليه وسلم : انى لا اصافح النساء ولكن اخذ عليهن
ما اخذ الله عليهن (رواه احمد بن حنبل والطبرانى عن اسماء بنت يزيد)
Artinya:
Nabi saw berkata, sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan kaum
wanita, tetapi saya mengambil bai’at atas mereka sebagai bai’at Allah SWT.
Diriwayatkan oleh Imam ibn At Thabrani dari Asma binti Yazid.
Penegasan
bahwa Nabi tidak berjabat tangan dengan wanita, juga ditemui dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim yang sanadnya dari Urwah bin Zubair dari Aisyah ra :
ولا والله ما مست يد رسول الله صلى الله عليه وسلم يد امرأة انه يبايعهن
بالكلام قالت عائشة والله ما اخذ رسول الله صلى الله وسلم على النساء قط الا بما أمره
الله تعالى وما مست كف رسول الله صلى الله وسلم كف امرأة قط يقول لهن اذا اخذ عليهن
قد بايعتكن كلاما
Menurut
al Hafidz ibn Hajar, maksud ucapan Nabi tersebut (benar-benar aku telah
membai’at kamu dengan ucapan) adalah bahwa Nabi membai’at para wanita itu hanya
dengan ucpaan artinya tidak diiringi dengan berjabat tangan sebagaimana yang
telah dilakukan Nabi saat membai’at kaum pria. Lebih menegaskan lagi tentang
hal itu ibn Hajar mengutip hadits dari yang lain, Aisyah ra, tentang Nabi saw :
لا والله ما مست يده يد امرأة قط فى المبايعة
Artinya:
“Tidak, demi Allah SWT., tidak penah tangan Rasulullah SAW. Menyentuh tangan
seorang perempuan sama sekali dalam pembai’atan”.
Berdasarkan
keempat hadits tersebut, jelas eksplisit Nabi saw tidak berjabat tangan dengan
wanita yang bukan mahramnya, baik ketika membaiat para wanita, maupun pada
kesempatan lain. Selain dari keempat hadits di atas, juga ditemukan hadits
semakna dan dengan matan yang berbeda pada kitab shahih Bukhari bab Thalaq
nomor hadits 4879, dalam sunan Tirmidzi fi Tafsir al-Qur'an, hadits nomor 3228,
dan pada kitab sunan Ibn Majah bab Jihad nomor 2866, seta Musnad Ahmad bab Baqi
Musnad al Anshar nomor 23685.[14] Kebenaran fakta
ini tampknya tidak menjadi perselisihan di kalangan umat Islam, yang terdapat
perselisihan atau hal yang controversial di kalangan umat Islam adalah
implementasinya dalam kehidupan.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa mushafahah atau berjabat tangan antara pria dan wanita
yang bukan mahramnya tidak dibolehkan, bahkan ada yang berpendapat haram. Hal
itu adalah untuk mengikuti Rasulullah SAW., sebab Rasulullah SAW. Sebagaimana
telah dijelaskan Allah SWT. Dalam al-Qur'an adalah suri tauladan yang baik.
Jika
Rasulullah SAW. Tidak berjabat tangan dengan wanita, sekalipun untuk peristiwa
yang teramat penting seperti peristiwa pembai’atan, maka umat Islam yang
mengaku sebagai umat Muhammad, tentulah harus mengikutinya. Bukankah Allah SWT.
Telah mengingatkan umat manusia untuk mengikuti apa yang diperbuat oleh Nabi.
قل ان كنتم تحبون الله فاتبعونى
Artinya:
Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah SWT., ikutilah aku.
Pendapat
ini secara fenomenal dipegang teguh oleh sebagian anggotanya tersebut yang
menikah dan mengadakan acara walimah, mereka tidak berkenan menerima ucapan
selamat dalam bentuk jabat tangan dari sahabat atau kenalan yang berbeda jenis
(kelamin). Fenomena ini juga dilihat pada upacara wisuda sarjana atau
seremonial lainnya, para wisudawati tidak mau berjabat tangan dengan rector,
dekan atau dosen mereka (yang berbeda jenis), kendatipun pada hakekatnya jabat
tangan itu adalah ucapan selamat atas keberhasilan mereka sendiri.
Tetapi
di sisi lain, ada sebagian ulama atau kalangan lain uamt Islam yang berpendapat
sebaliknya, atau berjabat tangan atau bersalaman antara pria dan wanita
tidaklah terlarang atau haram. Kalangan ini tidak membantah bahwa Nabi tidak
berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, sekalipununtuk peristiwa
yang sangat penting seperti acara pembaiatan. Tetapi mereka menganggap hal ini
merupakan kebiasaan Nabi dalam pergaulan social atau kebiasaan Nabi dalam
memelihara diri, tetapi Nabi tidak memberi ketegasan agar jangan dilakukan,
apalagi haram melakukannya.
Alas
an kelopmok ini adalah Hadits Tirmidzi no. 2652 seperti dikutip terdahulu
(kutipan no. 13) adalah bersifat umum (am), berlaku untuk semua umat Islam;
pria dan wanita. Tidak ada atau belum ditemukan hadits Nabi yang melarang kaum
pria dan wanita berjabat tangan kalau memang terlarang pria dan wanita berjabat
tatangan atau hukumnya haram, tentu Nabi akan mengemukakan secara lugas bahwa
hal tersebut terlarang atau haram.
Karena
tidak ada larangan yang tegas itu, maka mereka berpegang kepada kaidah fiqhiyah
:
والاصل فى الأشياء الاباحة الا دل عليه دليل على حرامه
Artinya:
“prinsip dalam sesuatu persoalan adalah boleh, kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”.[15]
Di
samping itu, ada pula yang berpendapat, bahwa karena tidak adanya dalil yang
tegas – baik ayat al-Qur'an atau hadits Nabi – yang melarang bersalaman pria
dengan wanita tersebut, maka mereka berpendapat, kenyataannya Nabi tidak
melakukannya itu adalah sebagai suatu kebiasaan Nabi dalam pergaulan, atau
system social arab. Karena itu kalangan ini berpendapat, kebiasaan Nabi tidak
bersalaman dengan wanita itu, bukanlah sunnah bukan tasyri’ tetapi sunnah bukan
tasyri’. Seperti diketahui dalam ilmu ushul fiqh, sunah bukan tasyri’ adalah
sunah yang tidak berdaya hukum yaitu sunnah yang tidak berdaya hukum artinya
sunnah yang tidak harus diikuti oleh umat dan oleh karenanya tidak mengikat.[16]
Menurut
hemat penulis, sikap Nabi tidak bersalaman dengan wanita bukanlah karena system
social arab – kendati tidak menutup kemungkinan adanya persamaan system social
arab dengan system social Islam – tetapi adalah merupakan suatu keteladanan
dalam ihtiyat (bersikaphati-hati) dari Nabi dalam memelihara diri dalam pergaulan
dengan wanita sehingga tidak terjerumus kepada tingkah pola yang tidak terpuji.
Mengapa
dikatakan ubkan karena system social arab? Sebab pembicaraan tentang system
social masyarakat, tentu tidak ada hubungannya dengan hikmah mushafahah yang
dpaat menghapus dosa, paling-paling system atau etika social hanya berkisar
baik dan buruk, pantas – tidak pantas, terpuji atau tercela; bukan persoalan
dosa atau pahala jelas merupakan salah satu persoalan syari’at, yaitu sisi
laind ari sah atau tidak sah, boleh tidak boleh, wajib, sunnah, ibadah, makruh
dan haram, sedangkan dalam pembicaraan hikmah, jelas dikatakan mushafahah yang
memenuhi tatacara yang ditentukan dapat menyebabkan diampuni dosa kedua belah
pihak yang melakukannya.
Tentang
adanya fakta bahwa Nabi tidak melakukan bersalaman dengan wanita, di sisi lain
tidak ada pula hadits yang menyatakan bahwa melakukan pekerjaan mushafahah
antara pria dan wanita terlarang atau haram. Menurut hemat penulis tuntutan
tersebut dapat diklasifikasikan kepada sesuatu yang tidak disenangi atau
sesuatu yang dijauhi Nabi. Dalam ilmu ushul fiqh disebut karahah dan perbuatan
yang dilarang secara tidak pasti itu disebut makruh. Menurut Amir Syarifuddin,[17] pada dasarnya
makruh itu adalah sesuatu yang dilarang, tetapi larangannya itu disertai
sesuatu yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan larangan itu bukanlah
haram, sesuai dengan kaidah ushul fiqh :
ما يثاب على تاركه ولا يعاقبه على فاعله
Artinya:
“sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa
kepada orang yang melakukannya”
Dalam
hal ini sikap kaum muslimin adalah meneladani sikap Rasulullah SAW., yaitu
tidak berjabat tangan pria dengan wanita yang bukan mahramnya, sebagimana
dicontohkan Rasulullah SAW., sebab kendati tidak berdosa mengerjakanya, tetapi
kalau ditinggalkan mendapat pahala.
Namun jika harus
juga bersamalan pria dan wanita.[18]
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa mushafahah atau berjabat tangan adalah
anjuran Rasulullah SAW., antara pria dengan pria atau antara wanita dengan
wanita, antara wanita dan pria yang termasuk mahramnya. Karena itu hukumnya
sunnah, berpahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya. Tetapi
mushafahah antara pria dan wanita yang bukan mahram atau sebaliknya adalah
pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW., atau pekerjaan yang tidak
disenangi atau yang dijauhi beliau. Karena itu sebagai umat Rasulullah SAW.,
alangkah baiknya seorang muslim mengikuti kebiasaan beliau itu (pria tidak bersalaman
dengan wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya). Namun bila dikerjakan
tidaklah jatuh kepada haram, melainkan makruh, tidak berdosa mengerjakannya,
namun pahala bila ditinggalkan.
Jika
memang harus bersalaman pria dengan wanita atau sebaliknya, hendaknya
diupayakan bersalaman itu dengan iat yang ikhlas, demi mempererat silaturahim
atau memperkokoh persaudaraan dan bukan untuk niat yang tidak baik.
Pelaksanaanya diusahakan tidak sampai menimbulkan “greng” tangannya kedua belah
pihak tidak terlalu banyak yang berdempetan, tapi cukup ujung jari seperti yang
menjadi trend kalangan eksekutif tertentu dan seperti culture sunda. Selain itu
pandangan mata juga harus dipelihara atau dikendalikan saat mushafahah antara
pria dengan wanita ataupun (sebaliknya), sehingga tidak mengundang niat yang
tidak baik.
Hikmah
mushafahah adalah untuk mempererat silaturahim atau memperkokoh persaudaraan,
menghilangkan rasa dengki, untuk mengakhiri pertikaian, persengketaan, sebagai
simbolik telah saling memaafkan. Allah SWT. Mengampuni dosa-dosa kaum muslimin
yang melakukan mushafahah bila dilakukan dengan penuh ketulusan demi
melaksanakan anjuran Allah SWT. Dan rasulNya.
Daftar Pustaka
Al Imam an Nawawi, Ryadh
al shalihin min Kalam Sayyid al Mursalah, (Beirut : Dar al fikr, 1973)
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I, (Jakarta : Logos, 1997)
CD
Room, Muqaddimah Mausu’ah al Hadits asy syarif al Kutub at Tis’ah.
Departemen Agama, al-Qur'an
dan terjemahnya, (Madinah, Mujamma’ Khadim al Haramain al Syarifain al
Malik Fahdi li Thiba’at al Mushhaf al Syarif, 1413 H)
Ibnu Hajar al
Asqalani, Fath al Bari Syarh al Bukhari, Juz. VIII (Kairo : Mushthafa al
Baby al Halaby, 1378 H / 1959 M)
Ibnu Muzr al Afriqi
al Mshri, Lisan al Arab, (Beirut : Dar shadir lit Taba’at wa An Nasakh,
1995)
Jubra Mas’ud Raid
al Thullab, Mu’jam Lughawi ‘Asyry li al Thullab, (Beirut : Dar al Ilmi
li al Mlayin, 1979)
Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1990)
Muhammad Abu Isa
al-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut : dar Ihya’ al Turats al ‘Arabi,
tt)
Muhammad ibn Ahmad
ibn Ismail, Adilat Tahrim Mushafahat al Mar’ah al ajnabiyat, (Kuwait :
dar al Arqam, 1984)
[1] Ibnu Muzr al Afriqi al Mshri,
Lisan al Arab, Beirut : Dar shadir lit Taba’at wa An Nasakh, 1995, jilid,
No. 1756, h. 512
[2] Jubra Mas’ud Raid al Thullab, Mu’jam
Lughawi ‘Asyry li al Thullab, Beirut : Dar al Ilmi li al Mlayin, 1979, cet,
ke-4, h. 573
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab
Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1990, cet. Ke-8, h. 217
[4] Ibnu Hajar al Asqalani, Fath al
Bari Syarh al Bukhari, Juz. VIII, Kairo : Mushthafa al Baby al Haby, 1378 H
/ 1959 M, h. 634
[5] Al Imam an Nawawi, Ryadh al shihin
min Kalam Sayyid al Mursalah, Beirut : dar al fikr, 1973, h. 366
[6] Muhammad ibn Ahmad ibn Ismail, Adilat
Tahrim Mushafahat al Mar’ah al ajnabiyat, Kuwait : dar al Arqam, 1984, h. 4
[7] Berdasarkan definisi yang
diterangkan sebelumnya, konteks mushafahah yang dianjurkan Rasulullah SAW.
Tentulah, antar pria dengan pria, antara wanita dengan wanita, antara pria
dengan wanita yang termasuk mahramnya.
[8] Departemen Agama, al-Qur'an dan
terjemahnya, Madinah, Mujamma’ Khadim al Haramain al Syarifain al Malik
Fahdi li Thiba’at al Mushhaf al Syarif, 1413 H, h. 5
[9] Muhammad Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan
Tirmidzi, Beirut : dar Ihya’ al Turats al ‘Arabi, tt, juz. V, h. 75
[10] Ibid,
[11] Muhammad Abu Isa al Tirmidzi, Sunan
Tirmidzi…, h. 75
[12] Ibid, h. 76
[13] Ibid.
[14] CD Room, Muqaddimah Mausu’ah al
Hadits asy syarif al Kutub at Tis’ah.
[15] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh,
jilid I, Jakarta : Logos, 1997, h. 93
[16] Ibid.
[17] Amir Syarifuddin, Guru besar fiqh,
ushul fiqh IAIN Imam Bonjol Padnag dan juga dosen pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam fiqh perbandingan.
[18] Yang dimaksud harus bersalaman di
sini adalah bahwa seseorang itu berprinsip sebaliknya tidak bersalaman dengan
wanita untuk mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW., tetapi
karena seorang wanita (demikian juga sebaliknya) telah terlebih dahulu
menyodorkan tangan, maka dari segi etika ia pun terpaksa mengikutinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar