Rabu, 25 September 2013

Al Mushafahah Dalam Perspektif Hadits

Al Mushafahah Dalam Perspektif Hadits




Oleh:
Ahmad Bastari


Abstrak
Masalah mushafahah (berjabat tangan) tetap menjadi actual untuk didiskusikan, karena masih banyak sikap kaum muslimin yang belum sesuai dengan tuntutan atau apa yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ada sebagian masyarakat yang enggan berjabat tangan bila berjumpa dengan kaum muslimin lainnya, karena menganggap hal demikian terlalu bersikap formal dan latah atau tertular kebiasaan barat. Sebaliknya di sisi lain ada sebagian muslim yang beranggapan boleh berjabat tangan dengan siapa saja, baik antara pria dengan pria, antara wanita dengan wanita maupun wanita pria dengan wanita yang bukan mahramnya. Hikmah mushafahah adalah untuk mempererat silaturahim atau memperkokoh persaudaraan, menghilangkan rasa dengki, untuk mengakhiri pertikaian, persengketaan, sebagai simbolik telah saling memaafkan. Allah SWT. Mengampuni dosa-dosa kaum muslimin yang melakukan mushafahah bila dilakukan dengan penuh ketulusan demi melaksanakan anjuran Allah SWT. Dan rasulNya

Kata Kunci: Al Mushafahah, Etika, Hadits


Pendahuluan
Hadits sebagai sumber hukum yang kedua dalam Islam yakni setelah al-Qur'an sebagai hukum pertama, bukan hanya membicarakan aqidah dan ibadah mahdhah, tetpai juga membicarakan masalah muamalah atau urusan kemasyarakatan umat Islam secara menyeluruh dan universal, baik antara individu, antara individu dengan masyarakat, antara masyarakat serta sebaliknya. Dalam mengokohkan kehidupan bermasyarakat, banyak hadits mengajarkan prinsipmoral atau lebih khusus bagi disebut akhlak. Karena memang salah satu misi / risalah Nabi Muhammad adalah li utammima makaarimal akhlak. Di antara prinsip-prinsip akhlak tersebut adalah masalah : ukhuwah, silat al rahim, as salam, al mushafahah dan sebagainya.
Khusus masalah mushafahah (berjabat tangan) tetap menjadi actual untuk didiskusikan, karena masih banyak sikap kaum muslimin yang belum sesuai dengan tuntutan atau apa yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ada sebagian masyarakat yang enggan berjabat tangan bila berjumpa dengan kaum muslimin lainnya, karena menganggap hal demikian terlalu bersikap formal dan latah atau tertular kebiasaan barat. Sebaliknya di sisi lain ada sebagian muslim yang beranggapan boleh berjabat tangan dengan siapa saja, baik antara pria dengan pria, antara wanita dengan wanita maupun wanita pria dengan wanita yang bukan mahramnya.
Malah sebagian kelompok tersebut ada yang sampai meremehkan saudaranya sesame kaum muslimin yang tidak prinsipil dengan mereka dengan ejekan : kuno, ortodok, ketinggalan zaman, sok suci, tidak supel, ekstrim, bahkan fundamentalis. Lebih fatal lagi kelompok itu melakukannya, tidak sekedar berjabat tangan dengan tangan, tapi sudah berjabat pipi dengan pipi, sambil merapatkan tubuh bakan berangkulan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya, seperti yang sering terlihat di pesawat televise.
Paper ini bertujuan mengungkapkan dan menganalisis, bagaimana tuntunan Rasulullah SAW. (dalam hadits-haditsnya) tentang al-mushafahah?. Tujuan pokok tersebut dijabarkan dalam tiga sub, yaitu : (1) bagaimana mushafahah yang disunnahkan rasululah?, (2) bagaimana mushafahah yang tidak dilakukan atau dianjurkan Rasulullah SAW.? (3) apa hikmah mushafahah menurut Rasulullah SAW.? Untuk mencapai tujuan tersebut, sistematika paper ini disusun sebagai berikut : (1) pendahuluan, (2) pengertian al mushafahah, (3) koleksi dan kualitas hadits-hadits mushafahah, yang disunnahkan Rasulullah SAW., (4) mushafahah yang tidak dilakukan atau tidak dianjurkan Rasulullah SAW., (5) hikmah mushafahah, (6) kesimpulan.

Pengertian al mushafahah
Secara etiologis kata al mushafahah berasal dari bahasa arab yaitu bentuk dasar dari kata kerja artinya menurut ibnu Munzir al Afiqi al Misri yang dikutip dari bnu al Atir adalah menempelkan telapak tangan dengan telapak tangan orang lain.[1] Sedangkan menurut sub antusiasnya artinya adalah berpaling atau meninggalkan dosa seseorang yang memaafkannya.[2] Dalam bahasa Indonesia, secara harfiah kata ini menurut Mahmud Yunus diartikan, ‘berjabat tangan dengan tangan, atau bersalaman”.[3] Sedangkan secara terminologis, pengertian menurut ibn Hajar al Asqalani adalah : “Perbuatan membentangkan atau melapangkan tangan ke tangan lain”.[4]
Pengertian yang agak lebih jelas, yaitu bagian yang mana dari tangan yang dimaksud, serta apa tujuannya, dikemukakan Imam Nawawi dalam definisi berikut :

الافضاء بصفحة اليد الى صفحة اليد هو يؤكد المحبة

Artinya: membentangkan permukaan tangan ke permukaan tangan (orang) lain, dengan tujuan memperkokoh kasih sayang.[5]

Sementara Muhammad ibn Ahmad Ismail mendeskripsikan secara lebih tegas lagi, yaitu seorang (pria) meletakkan telapak tangannya kepada tangan temannya (Pria) sehingga kedua telapak tangan itu saling menempel”.[6]
Dengan memperhatikan pengertian / definisi di atas, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan al mushafahah (berjabat tangan), adalah perbuatan seseorang menempelkan telapak tangannya dengan telapak tangan temannya,[7] guna mengokohkan kasih sayang dan persahabatan.
Di samping untuk mengokohkan kasih sayang dan persahabatan (bagi yang tidak terputus atau terganggu), mushafahah juga merupakan simbolik dari menyambung kembali persahabatan atau kasih sayang yang sempat terputus, atau terganggu karena kemarahan atau pertikaian. Dalam hal ini, ia merupakan wujud dari pengamalan dari perintah Allah SWT. Dalam al-Qur'an ashafahu walyashfahu, yang banyak tempat didahului oleh a’fu, walya’fu, di antaranya seperti terdapat pada :
1.      Surah al Nur : 22
“Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada”[8]
2.      Surat al Taghabun : 14
“dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah SWT. Maha pengampun lagi maha penyayang”
3.      Surat al Maidah : 13
“maafkan dan biarkan mereka”
4.      Surat al Baqarah : 109
“maka maafkan dan biarkan mereka”

Sebab seperti diterangkan terdahulu, pengertian mushafahah adalah “berpaling atau meninggalkan dosa seseorang dan memaafkannya”, maka perbuatan itu hanya mungkin dilakukan setelah terlebih dahulu di lubuk hati yang bersangkutan tertanam keinginan memberi maaf orang yang telah bersalah atau orang yang dengannya terjadi konflik atau ketegangan tersebut. Agaknya itulah sebanya, perintah ashfahu atau yashfahu pada banyak ayat dalam al-Qur'an itu didahului oleh kata a’fu atau ya’fu.

Hadits-hadits yang menganjurkan mushafahah
Hadits yang menganjurkan mushafahah jumlahnya cukup banyak, melalui CD Muqaddam Mausu’ah al Hadits al Syarif al Kutub al Tis’ah, dengan menggunakan tema (المصافحة)  ditemukan 7 hadits dalam 4 kitab / bab, seperti tertera pada table berikut :

No urut
Perawi
Kitab / bab
No. hadits
1.       
Bukhari
Al Isti’dzan
5792
2.       
Tirmizy
Al Isti’dzan wa al Adab
2653
3.       
Tirmidzy
Sda
2655
4.       
Abu Daud
Al Mushafahah
4537
5.       
Ahmad
Baqiya Musnad al Muksirin
12.122
6.       
Ahmad
Sda
12.855
7.       
Ahmad
Sda
21.207

Sedangkan menggunakan tema juga ditemukan 7 hadits dalam 4 kitab / bab, yakni :

No urut
Perawi
Kitab / bab
Tema yang dipakai
No. hadits
1.       
Bukhary
Al Isti’dzan
صافحنى

2.       
Tirmidzy
Al isti’dzan wa al adab
يتصافحتانى
2651
3.       
Tirmidzy
Sda
يصافحه
2652
4.       
Abu Daud
Al Mushafahah
تصافحا
4535
5.       
Abu Daud
Sda
تصافحانى
4536
6.       
Ibn Majah
Al adab
تصافحوا
3692
7.       
Ibn Majah
Sda
يتصافحانى
3693

Di samping menggunakan tema المصافحة   beserta derivasinya disebut juga terdapat penggunaan frase lain yang menunjukkan makna المصافحة  yakni frase اخذ بيد,  yang terdapat pada kitab shahih Bukhary bab al Isti’dzan, yaitu hadits 5793, serta dengan frase yang terdapat dalam kitab Sunan al Tirmidzi, bab I Isti’dzan wa al Adab, yaitu pada hadits no. 2654.
Selain dari yang telah dijelaskan di atas, Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim juga agak menyinggung tentang berjabat tangan (al mushafahah), tetapi bukan dalam kitab al Mushafahah melainkan dalam konteks bai’at kaum wanita. Demikian juga dalam kitab majma’ zawaid, yang disusun oleh Ali ibn Abi Bakar al Haitsami, ditemukan pula beberapa buah hadits berkenaan dengan   Mushafahah :
1.      Nabi dan sahabatnya memberi teladan bermushafahah.
“Ibnu Mas’ud, Nabi saw telah mengajariku tasyahud dan Ka’bu ibn Malik berkata, aku memasuki masjid bersama Rasulullah SAW., maka Thalhah ibn Ubaidillah segera berdiri menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku”
Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari juz VII bab Isti’dzan. Dengan demikian, tingkatan hadits ini shahih dan dapat dijadikan sebagai sumber bahwa berjabat tangan itu hukumnya sunnah.
Ada dua hadits lagi yang diriwayatkan Bukhari tentang disunnahkannya bermushafahah tersebut, yakni
حدثنا عمرو بن عاصم حدثنا همام عن قتادة قال قلت لانس كانت المصافحة فى اصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قال نعم
Artinya: Amr bin Ashim memberitahu kami, Hamman memberitahukan kami dari Qatadah ia berkata (bertanya) kepada anas, Adakah para sahabat Nabi bermushafahah, jawabnya : “ya”

Imam Tirmidzi dalam kitabnya Sunan al Tirmidzi (hadits No. 2653), juga meriwayatkan hadits di atas dengan matan yang sama, tapi sanadnya berbeda dari Hammam dan sanad selanjutnya sama dengan hadits Bukhari.[9]
Hadits yang diriwayatkan Bukhari di atas (6263), tingkatannya adalah shahih, sedangkan yang diriwayatkan Tirmidzi (hadits no. 2653) kualitas sanadnya menurut Abu Isa adalah Hasan Shahih.[10] Karena itu baik hadits Bukhari 6263, maupun hadits Tirmidzi 2653 dapat dijadikan Hujjah bahwa mushafahah itu hukumnya sunnat dan telah dipraktekkan oleh sahabat Nabi.
Lebih tegas lagi bahwa praktek mushafahah itu telah diberi keteladanannya oleh Rasulullah SAW., dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari sebagai berikut :

حدثنا يحي بن سليمان قال حدثنى ابن وهب قال اخبرنى حيوة قال حدثنى ابو عقيل زهرة بن معبد سمع جده عبد الله بن هشام قال كنا مع النبي صلى الله عليه سلم وهو اخذ بيد عمر بن الخطاب
Artinya: “Yahya ibn Sulaiman memberi tahu kami, ia berkata : Ibn Wahab telah memberitahuku, ia berkata : Haiwah telah mengabarkan kepadaku, ia berkata : Abu ‘Aqli Zuhwah ibn Ma’bad telah mendengar kakaknya Abdullah ibn Hasyim berkata : adalah kami bersama Rasulullah SAW. Dan ia menjabat tangan Umar ibn Khattab”.

Selain dari hadits berbentuk fi’liyah nabawiyah juga terdapat hadits nabawiyah lainnya tentang mushafahah dalam bentuk qauliyah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab sunnahnya, dengan nomor 2652 :

حدثنا سويد اخبرنا عبد الله اخبرنا حنظلة بن عبيد الله عن أنس بن مالك قال قال رجل يا رسول الله الرجل منا يلقى اخاه او صديقه اينحنى له قال افيلتزمه ويقبله قال لا قال افيأخذ بيده ويصافحه قال نعم

Artinya: “Suwaidun telah memberitahu kami, Abdullah telah mengabarkan kepada kami, Khanzalah ibn Abdullah telah mengabarkan kepada kami ditermanya dari Anas ibn Malik, berkata ia : seseorang (pria) bertanya : “ya Rasulullah SAW., seorang (pria) dari kami berjumpa dengan saudaranya atau sahabatnya, apakah ia menundukkan (kepala) terhadap saudaranya itu. Nabi bersabda, “tidak”, orang tersebut bertanya lagi, apakah ia mengambil tangannya dan berjabat tangan dengannya”. Jawab Nabi, “ya”

Meskipun kualitas sanad hadits ini menurut abu Isa adalah hasan shahih,[11] tapi menurut hemat pemakalah, dapat dijadikan hujjah bahwa mushafahah itu dianjurkan atau hukumnya sunnat, pertama, karena hadits hasan untuk kelebihan amal atau pekerjaan sunnat dapat dijadikan hujjah, kedua,karena telah ada hadits lainya dengan makna yang sama (substansi pekerjaan yang sama) yang berkualitas shahih sepertipada hadits Bukhari terdahulu.
Dari beberapa hadits yang dikemukakan terdahulu, jelas bagi kita bahwa mushafahah adalah anjuran dari Rasulullah SAW. Sebagai penjabaran yang aplikatif dari perintah Allah SWT. A’fu washfahu, atau walya’fu walyasfahu. Karena itu pengamalannya sunnat, yaitu pahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya. Karena itu persepsi yang menganggap mushafahah sikap latah yang meniru budaya barat adalah suatu kekeliruan. Persoalan adanya kesamaan budaya, itu adalah persoalan lain. Demikian juga persepsi yang mengatakan bahwa mushafahah adalah sikap yang terlalu formal juga adalah tidak mendasar. Agaknya barang kali anggapan demikian timbul adalah karena belum terbiasa mengamalkannya, atau melihat pengamalannya yang agak lebih merata.

2.      Mushafahah adalah kesempurnaan dalam dan menjenguk orang sakit
Hal ini dapat dilihat dari hadits riwayat Tirmidzi :
حدثنا سويد بن نصر أخبرنا عبد الله اخبرنا يحي بن ايوب عن عبيد الله بن زحر عن على بن يزيد عن القاسم ابى عبد الرحمن عن أبي أمامة رضى الله عنهم ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال تمام عيادة المريض ان يضع احدكم يده على جبهته او قال على يد فيسأله كيف هو وتمام تحياتكم بينكم المصافحة
Artinya: “Suaidun ibn Nashar memberi tahu kami, Abdullah mengabarkan kepada kami, Yahya bin Ayyub mengabarkan kepad akami dari Abdullah ibn Zahrin dari Ali ibn Yazid dari Qasim Abi al Rahman dari Abi Umamah ra, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. Berkata : “kesempurnaan menjenguk (membesuk) orang sakit adalah meletakkan tangan ke atas tangannya, lalu bertanya kepadanya, “bagaimana keadaanya”, dan kesempurnaan salam kamu di antara kamu adalah berjabat tangan”.
Kualitas isnad hadits ini menurut Abu Isa tidak kuat, menurut Muhammad dan Abdullah ibn Zahr, “tsiqah”, dan menurut Ali bin Yazid “dhaif”, dan Qasim ibn Abd al Rahman … bapak Abd al Rahman adalah Maula Abd al Rahman ibn Khalid ibn Yazir ibn Muawiyah adalah “tsaqah”. Dengan demikian hadits ini dapat dijadikan hujjah karena cukup banyak mengatakan “tsiqah”.[12]
Imam Ahmad dalam sanadnya dengan nomor hadits 21207, juga meriwayatkan hadits dengan matan yang sama dengan hadits tirmidzi di atas. Bedanya adalah terletak pada dua thuruqnya di permulaan sanadnya, yaitu dari Khafal ibn al Walid yang diterimanya dari Ibn Ayyub. Selanjutnya dari Yahya ibn Ayyub sanadnya sama dengan Hadits Tirmidzi hingga Rasulullah SAW.[13]



Beberapa Etika Mushafahah
Di antara etika yang disunnahkan dalam proses mushafahah dari hadits Nabi yang diriwayatkan Abu dawud berikut :

Artinya: Amru ibn Aun memberi tahu kami, telah mengkhabarkan kepada kami Husyaim dari Abi Balj dari Yazid Abi al Hakam al Anaziy dari al Bara’ ibn Azib berkata ia, Rasulullah SAW. Bersabda, apabila bertemu dua orang muslim, lalu berjabat tangan seraya keduanya bertahmid dan memohon ampun, maka dosa keduanya diampuni Allah SWT.

Penjelasan yang agak lengkap lagi tentang tata cara atau etika mushafahah dijumpai dalam hadits yang diriwayatkan al Thabrani yang diterima dari Abu Dawud, berikut :

وروى الطبرانى عن أبى داود وهو نفيع الأعمى قال لقنى البراء ابن عازب فأخذ بيدى وصافحنى وصحبك فى وجهى ثم قال : اتدري لم أخذت بيدك؟ قالت لا الا أننى ظننت انك لم تفعله الا لخير قال : ان النبي صلى الله عليه وسلم لقينى ففعل بى ذلك ثم قال : اتدري لما فعلت بك ذلك. قلت لا قال النبي صلى الله عليه وسلم ان المسلمين اذا التقيا وتصافحا وصحك كل منهما فى وجه صاحبه لا يفعلان ذالك الا الله لم يتفرقا حتى يغفرلهما

Artinya: “diriwayatkan oleh Tabrani dari Abu DAud, ia berkata : Aku pernah bertemu dengan al Bara’ ibn Azib, lalu ia mengambil tanganku untuk berjabat tangan dan ia pun tersenyum padaku, kemudian berkata, tahukah engkau mengapa aku mengambil tanganmu? Aku menjawab : tidak, kecuali aku melihat engkau melakukannya untuk satu kebaikan. Maka ia menjawab : sesungguhnya Rasulullah SAW. Pernah bertemu denganku. Ia berbuat kepadaku seperti yang telah aku perbuat terhadapmu. Kemudian Rasulullah SAW. Berkata kepadaku, tahukah engkau mengapa aku berbuat seperti seperti yang aku lakukan kepadamu? Aku menjawab, tidak, Nabi saw bersabda : sesungguhnya dua orang muslim apabila bertemu dan saling berjabat tangan, masing-masing menampakkan muka yang ceria terhadap temannya, keduanya tidaklah melakukan demkian kecuali karena Allah SWT., keduanya tidak akan berpisah sehingga diampuni Allah SWT., keduanya.

Di samping tatacara di atas, dalam hadits lain dijumpai tambahan etika mushafahah, yaitu mengucapkan shalawat kepada Nabi saw., seperti yang terdapat hadits berikut :
عن انس رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم واله وسلم قال من عبدين متحابين فى الله يستقبل احدهما صاحبها فيصلين على النبي صلى الله عليه وسلم واله وسلم الا لم يتفرقا حتى تعفو ذنوبهم ما تقدم وما تأخر
Artinya: “dari Anas ra, Nabi beliau bersabda : “Tidaklah dua orang hamba Allah SWT. yang saling mengasihi semata karena Allah SWT., … baik dosanya yang telah lewat maupun yang akan datang”

Berdasarkan ketiga hadits di atas, dapat dirumuskan bahwa tatacara atau etika mushafahah adalah : (1) mengucapkan salam, (2) mengucapkan tahmid, (3) mengucapkan istighfar atau meminta ampun kepada Allah SWT., (4) menampakkan muka yang manis dan ceria, (5) mengucapkan shalawat kepada Nabi saw.

Hikmah Mushafahah
1.      Diampuni Allah SWT. Dosa-dosa orang yang bermushafahah
Orang yang melakukan mushafahah dengan penuh ketulusan demi mematuhi ajaran Allah SWT. Dan rasulNya, Allah SWT. Akan mengampuni dosa keduanya, baik yang terdahulu, maupun masa yang akan datang, seperti terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud (kutipan no. 17) dan hadits al Thabrani seperti yang telah ditampilan terdahulu. Menurut hemat penulis, dosa-dosa yang dimaksudkan ketiga hadits tersebut agaknya adalah sebatas dosa-dosa kecil, bukan termasuk dosa besar, karena untuk dosa besar ada mekanismenya tersendiri.
2.      Memperoleh 100 Rahmat

رواه البزار وفيه مصعب بن ثابت وثقه ابن حبان وضعفه الجمهور وعنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان المسلمين الا التقا فتصافحا وتسايلا انزل الله بينهما مائة رحمة تسعة وتسعون لأبشهما وأطلقها وأبرهما وأحسنهماسابلة بامنيه رواه الطبرانى فى الأوسط وفيه الحسن بن كثير بن عدى ولم اعرفه وبفية رجاله رجاله الصحيح

3.      Menghilangkan rasa dengki dan permusuhan

وحدثنى عن مالك عن عطاء بن أبى مسلم عبد الله الخراسانى قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم تصافحوا يذهب الغل وتهادوا تحابو وتذهب الشحناء

Artinya: Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Atha’ al Khurasani berkata dia Rasulullah SAW. Bersabda, “berjabat tanganlah kamu, niscaya akan hilang rasa dengki dan saling berhadiahlah, niscaya kamu akan saling mencintai dan terhindar dari rasa permusuhan”.
Dari beberapa hadits yang dikutipkan di atas, jelas bagi kita bahwa ditinjau dari sisi rahmat Allah SWT., hikmat berjabat tangan adalah diampuninya dosa-dosa yang akan datang, yaitu dosa-dosa kecil mereka. Di samping itu, Allah SWT. menjanjikan memberikan rahmat bagi keduanya 100 rahmat, yaitu 90 rahmat unutk yang menyalami dan 10 untuk yang disalami.
Sedangkan dari sudut hubungan antar manusia, mushafahah dapat menghilangkan rasa benci dan permusuhan, serta saling mencintai atau kasih sayang di antara sesama manusia.

Mushafahah yang tidak dilakukan Nabi
Hadits-hadits yang dikemukakan terdahulu, secara implicit adalah hadits-hadits yang menganjurkan (disunnatkan) mushafahah berjabat tangan antara pria dan wanita?
Berdasarkan penelitian pemakalah tidak satupun ayat-ayat al-Qur'an yang secara qath’I yang melarang antara pria dan wanita berjabat tangan. Yang ada hanya – itupun pemahamanya juga controversial – ayat yang mengatakan persentuhan antara laki-laki dengan perempuan menyebabkan lepasnya wudhu, sehingga harus berwudhu kembali danjika tidak ditemukan air maka boleh dilakukan tayamum, yaitu ayat 6 surat al maidah.
Sedangkan tentang hadits Rasulullah SAW., tidak ditemukan adanya matan hadits yang secara eksplisit yang melarang berjabat tangan antara pria dan wanita. Yang banyak ditemukan hanyalah hadits yang mengatakan bahwa Nabi tidak berjabat tangan atau salaman dengan wanita. Di antara hadits-hadits tersebut adalah :

قال النبي صلى الله عليه وسلم : انى لا اصافح النساء رواه الترمذى والنسائى عن اميمة بن رقيقة (حديث صحيح)
Artinya: Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita. Diriwayatkan oleh at Turmudzi, an Nasa’I dan Umaimah binti Ruqaiqah, hadits ini adalah shahih.

Menurut ibn Hajar al Asqalani, penegasan Nabi ini dinyatakan kepada Umaimah binti Ruqaiqah, ketika Umaimah datang bersama wanita-wanita lainnya untuk mengikuti acara bai’at terhadap Rasulullah SAW. Penegasan serupa, juga ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahamd, dan at Thabrani dari Asma binti Yazid, berikut :
قال النبي صلى الله عليه وسلم : انى لا اصافح النساء ولكن اخذ عليهن ما اخذ الله عليهن (رواه احمد بن حنبل والطبرانى عن اسماء بنت يزيد)

Artinya: Nabi saw berkata, sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan kaum wanita, tetapi saya mengambil bai’at atas mereka sebagai bai’at Allah SWT. Diriwayatkan oleh Imam ibn At Thabrani dari Asma binti Yazid.

Penegasan bahwa Nabi tidak berjabat tangan dengan wanita, juga ditemui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang sanadnya dari Urwah bin Zubair dari Aisyah ra :

ولا والله ما مست يد رسول الله صلى الله عليه وسلم يد امرأة انه يبايعهن بالكلام قالت عائشة والله ما اخذ رسول الله صلى الله وسلم على النساء قط الا بما أمره الله تعالى وما مست كف رسول الله صلى الله وسلم كف امرأة قط يقول لهن اذا اخذ عليهن قد بايعتكن كلاما

Menurut al Hafidz ibn Hajar, maksud ucapan Nabi tersebut (benar-benar aku telah membai’at kamu dengan ucapan) adalah bahwa Nabi membai’at para wanita itu hanya dengan ucpaan artinya tidak diiringi dengan berjabat tangan sebagaimana yang telah dilakukan Nabi saat membai’at kaum pria. Lebih menegaskan lagi tentang hal itu ibn Hajar mengutip hadits dari yang lain, Aisyah ra, tentang Nabi saw :
لا والله ما مست يده يد امرأة قط فى المبايعة
Artinya: “Tidak, demi Allah SWT., tidak penah tangan Rasulullah SAW. Menyentuh tangan seorang perempuan sama sekali dalam pembai’atan”.

Berdasarkan keempat hadits tersebut, jelas eksplisit Nabi saw tidak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, baik ketika membaiat para wanita, maupun pada kesempatan lain. Selain dari keempat hadits di atas, juga ditemukan hadits semakna dan dengan matan yang berbeda pada kitab shahih Bukhari bab Thalaq nomor hadits 4879, dalam sunan Tirmidzi fi Tafsir al-Qur'an, hadits nomor 3228, dan pada kitab sunan Ibn Majah bab Jihad nomor 2866, seta Musnad Ahmad bab Baqi Musnad al Anshar nomor 23685.[14] Kebenaran fakta ini tampknya tidak menjadi perselisihan di kalangan umat Islam, yang terdapat perselisihan atau hal yang controversial di kalangan umat Islam adalah implementasinya dalam kehidupan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mushafahah atau berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahramnya tidak dibolehkan, bahkan ada yang berpendapat haram. Hal itu adalah untuk mengikuti Rasulullah SAW., sebab Rasulullah SAW. Sebagaimana telah dijelaskan Allah SWT. Dalam al-Qur'an adalah suri tauladan yang baik.
Jika Rasulullah SAW. Tidak berjabat tangan dengan wanita, sekalipun untuk peristiwa yang teramat penting seperti peristiwa pembai’atan, maka umat Islam yang mengaku sebagai umat Muhammad, tentulah harus mengikutinya. Bukankah Allah SWT. Telah mengingatkan umat manusia untuk mengikuti apa yang diperbuat oleh  Nabi.
قل ان كنتم تحبون الله فاتبعونى
Artinya: Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah SWT., ikutilah aku.

Pendapat ini secara fenomenal dipegang teguh oleh sebagian anggotanya tersebut yang menikah dan mengadakan acara walimah, mereka tidak berkenan menerima ucapan selamat dalam bentuk jabat tangan dari sahabat atau kenalan yang berbeda jenis (kelamin). Fenomena ini juga dilihat pada upacara wisuda sarjana atau seremonial lainnya, para wisudawati tidak mau berjabat tangan dengan rector, dekan atau dosen mereka (yang berbeda jenis), kendatipun pada hakekatnya jabat tangan itu adalah ucapan selamat atas keberhasilan mereka sendiri.
Tetapi di sisi lain, ada sebagian ulama atau kalangan lain uamt Islam yang berpendapat sebaliknya, atau berjabat tangan atau bersalaman antara pria dan wanita tidaklah terlarang atau haram. Kalangan ini tidak membantah bahwa Nabi tidak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya, sekalipununtuk peristiwa yang sangat penting seperti acara pembaiatan. Tetapi mereka menganggap hal ini merupakan kebiasaan Nabi dalam pergaulan social atau kebiasaan Nabi dalam memelihara diri, tetapi Nabi tidak memberi ketegasan agar jangan dilakukan, apalagi haram melakukannya.
Alas an kelopmok ini adalah Hadits Tirmidzi no. 2652 seperti dikutip terdahulu (kutipan no. 13) adalah bersifat umum (am), berlaku untuk semua umat Islam; pria dan wanita. Tidak ada atau belum ditemukan hadits Nabi yang melarang kaum pria dan wanita berjabat tangan kalau memang terlarang pria dan wanita berjabat tatangan atau hukumnya haram, tentu Nabi akan mengemukakan secara lugas bahwa hal tersebut terlarang atau haram.
Karena tidak ada larangan yang tegas itu, maka mereka berpegang kepada kaidah fiqhiyah :
والاصل فى الأشياء الاباحة الا دل عليه دليل على حرامه
Artinya: “prinsip dalam sesuatu persoalan adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.[15]

Di samping itu, ada pula yang berpendapat, bahwa karena tidak adanya dalil yang tegas – baik ayat al-Qur'an atau hadits Nabi – yang melarang bersalaman pria dengan wanita tersebut, maka mereka berpendapat, kenyataannya Nabi tidak melakukannya itu adalah sebagai suatu kebiasaan Nabi dalam pergaulan, atau system social arab. Karena itu kalangan ini berpendapat, kebiasaan Nabi tidak bersalaman dengan wanita itu, bukanlah sunnah bukan tasyri’ tetapi sunnah bukan tasyri’. Seperti diketahui dalam ilmu ushul fiqh, sunah bukan tasyri’ adalah sunah yang tidak berdaya hukum yaitu sunnah yang tidak berdaya hukum artinya sunnah yang tidak harus diikuti oleh umat dan oleh karenanya tidak mengikat.[16]
Menurut hemat penulis, sikap Nabi tidak bersalaman dengan wanita bukanlah karena system social arab – kendati tidak menutup kemungkinan adanya persamaan system social arab dengan system social Islam – tetapi adalah merupakan suatu keteladanan dalam ihtiyat (bersikaphati-hati) dari Nabi dalam memelihara diri dalam pergaulan dengan wanita sehingga tidak terjerumus kepada tingkah pola yang tidak terpuji.
Mengapa dikatakan ubkan karena system social arab? Sebab pembicaraan tentang system social masyarakat, tentu tidak ada hubungannya dengan hikmah mushafahah yang dpaat menghapus dosa, paling-paling system atau etika social hanya berkisar baik dan buruk, pantas – tidak pantas, terpuji atau tercela; bukan persoalan dosa atau pahala jelas merupakan salah satu persoalan syari’at, yaitu sisi laind ari sah atau tidak sah, boleh tidak boleh, wajib, sunnah, ibadah, makruh dan haram, sedangkan dalam pembicaraan hikmah, jelas dikatakan mushafahah yang memenuhi tatacara yang ditentukan dapat menyebabkan diampuni dosa kedua belah pihak yang melakukannya.
Tentang adanya fakta bahwa Nabi tidak melakukan bersalaman dengan wanita, di sisi lain tidak ada pula hadits yang menyatakan bahwa melakukan pekerjaan mushafahah antara pria dan wanita terlarang atau haram. Menurut hemat penulis tuntutan tersebut dapat diklasifikasikan kepada sesuatu yang tidak disenangi atau sesuatu yang dijauhi Nabi. Dalam ilmu ushul fiqh disebut karahah dan perbuatan yang dilarang secara tidak pasti itu disebut makruh. Menurut Amir Syarifuddin,[17] pada dasarnya makruh itu adalah sesuatu yang dilarang, tetapi larangannya itu disertai sesuatu yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan larangan itu bukanlah haram, sesuai dengan kaidah ushul fiqh :

ما يثاب على تاركه ولا يعاقبه على فاعله
Artinya: “sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa kepada orang yang melakukannya”

Dalam hal ini sikap kaum muslimin adalah meneladani sikap Rasulullah SAW., yaitu tidak berjabat tangan pria dengan wanita yang bukan mahramnya, sebagimana dicontohkan Rasulullah SAW., sebab kendati tidak berdosa mengerjakanya, tetapi kalau ditinggalkan mendapat pahala.
Namun jika harus juga bersamalan pria dan wanita.[18]

Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa mushafahah atau berjabat tangan adalah anjuran Rasulullah SAW., antara pria dengan pria atau antara wanita dengan wanita, antara wanita dan pria yang termasuk mahramnya. Karena itu hukumnya sunnah, berpahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya. Tetapi mushafahah antara pria dan wanita yang bukan mahram atau sebaliknya adalah pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW., atau pekerjaan yang tidak disenangi atau yang dijauhi beliau. Karena itu sebagai umat Rasulullah SAW., alangkah baiknya seorang muslim mengikuti kebiasaan beliau itu (pria tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya). Namun bila dikerjakan tidaklah jatuh kepada haram, melainkan makruh, tidak berdosa mengerjakannya, namun pahala bila ditinggalkan.
Jika memang harus bersalaman pria dengan wanita atau sebaliknya, hendaknya diupayakan bersalaman itu dengan iat yang ikhlas, demi mempererat silaturahim atau memperkokoh persaudaraan dan bukan untuk niat yang tidak baik. Pelaksanaanya diusahakan tidak sampai menimbulkan “greng” tangannya kedua belah pihak tidak terlalu banyak yang berdempetan, tapi cukup ujung jari seperti yang menjadi trend kalangan eksekutif tertentu dan seperti culture sunda. Selain itu pandangan mata juga harus dipelihara atau dikendalikan saat mushafahah antara pria dengan wanita ataupun (sebaliknya), sehingga tidak mengundang niat yang tidak baik.
Hikmah mushafahah adalah untuk mempererat silaturahim atau memperkokoh persaudaraan, menghilangkan rasa dengki, untuk mengakhiri pertikaian, persengketaan, sebagai simbolik telah saling memaafkan. Allah SWT. Mengampuni dosa-dosa kaum muslimin yang melakukan mushafahah bila dilakukan dengan penuh ketulusan demi melaksanakan anjuran Allah SWT. Dan rasulNya.











Daftar Pustaka

Al Imam an Nawawi, Ryadh al shalihin min Kalam Sayyid al Mursalah, (Beirut : Dar al fikr, 1973)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I, (Jakarta : Logos, 1997)
CD Room, Muqaddimah Mausu’ah al Hadits asy syarif al Kutub at Tis’ah.
Departemen Agama, al-Qur'an dan terjemahnya, (Madinah, Mujamma’ Khadim al Haramain al Syarifain al Malik Fahdi li Thiba’at al Mushhaf al Syarif, 1413 H)
Ibnu Hajar al Asqalani, Fath al Bari Syarh al Bukhari, Juz. VIII (Kairo : Mushthafa al Baby al Halaby, 1378 H / 1959 M)
Ibnu Muzr al Afriqi al Mshri, Lisan al Arab, (Beirut : Dar shadir lit Taba’at wa An Nasakh, 1995)
Jubra Mas’ud Raid al Thullab, Mu’jam Lughawi ‘Asyry li al Thullab, (Beirut : Dar al Ilmi li al Mlayin, 1979)
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1990)
Muhammad Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Beirut : dar Ihya’ al Turats al ‘Arabi, tt)
Muhammad ibn Ahmad ibn Ismail, Adilat Tahrim Mushafahat al Mar’ah al ajnabiyat, (Kuwait : dar al Arqam, 1984)





















[1] Ibnu Muzr al Afriqi al Mshri, Lisan al Arab, Beirut : Dar shadir lit Taba’at wa An Nasakh, 1995, jilid, No. 1756, h. 512
[2] Jubra Mas’ud Raid al Thullab, Mu’jam Lughawi ‘Asyry li al Thullab, Beirut : Dar al Ilmi li al Mlayin, 1979, cet, ke-4, h. 573
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1990, cet. Ke-8, h. 217
[4] Ibnu Hajar al Asqalani, Fath al Bari Syarh al Bukhari, Juz. VIII, Kairo : Mushthafa al Baby al Haby, 1378 H / 1959 M, h. 634
[5] Al Imam an Nawawi, Ryadh al shihin min Kalam Sayyid al Mursalah, Beirut : dar al fikr, 1973, h. 366
[6] Muhammad ibn Ahmad ibn Ismail, Adilat Tahrim Mushafahat al Mar’ah al ajnabiyat, Kuwait : dar al Arqam, 1984, h. 4
[7] Berdasarkan definisi yang diterangkan sebelumnya, konteks mushafahah yang dianjurkan Rasulullah SAW. Tentulah, antar pria dengan pria, antara wanita dengan wanita, antara pria dengan wanita yang termasuk mahramnya.
[8] Departemen Agama, al-Qur'an dan terjemahnya, Madinah, Mujamma’ Khadim al Haramain al Syarifain al Malik Fahdi li Thiba’at al Mushhaf al Syarif, 1413 H, h. 5
[9] Muhammad Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Beirut : dar Ihya’ al Turats al ‘Arabi, tt, juz. V, h. 75
[10] Ibid,
[11] Muhammad Abu Isa al Tirmidzi, Sunan Tirmidzi…, h. 75
[12] Ibid, h. 76
[13] Ibid.
[14] CD Room, Muqaddimah Mausu’ah al Hadits asy syarif al Kutub at Tis’ah.
[15] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid I, Jakarta : Logos, 1997, h. 93
[16] Ibid.
[17] Amir Syarifuddin, Guru besar fiqh, ushul fiqh IAIN Imam Bonjol Padnag dan juga dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam fiqh perbandingan.
[18] Yang dimaksud harus bersalaman di sini adalah bahwa seseorang itu berprinsip sebaliknya tidak bersalaman dengan wanita untuk mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW., tetapi karena seorang wanita (demikian juga sebaliknya) telah terlebih dahulu menyodorkan tangan, maka dari segi etika ia pun terpaksa mengikutinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar