Kesehatan
Mental;
Persepektif
Al-Quran Dan Hadis
Oleh:
Ahmad
Zumaro[1]
Abstrak
Manusia
sebagai makhluk ciptaan tuhan yang terdiri dari dua sisi; jasmani dan rohani.
Kedua sisi ini wajib dipenuhi kebutuhannya bagi setiap individu untuk mencapai
keseimbangan hidup, tapi manusia kadang melupakan kebutuhan sisi rohani dan
selalu memenuhi kebutuhan jasmaninya, sehingga terjadilah ketimpangan.
Ketimpangan ini menyebabkan ketidak seimbangan dalam diri seseorang sehingga
manusia tidak sadar bahwa dirinya sudah mengalami “sakit kejiwaan”. Untuk
mengenal dan memahami gejala itu semua islam memberikan gambaran yang jelas
bagaimana seseorang yang dihinggapi penyakit rohani dan islam juga memberikan
solusi yang harus dijalani oleh setiap manusia untuk menyembuhkan penyakit
mental.
Kata Kunci : Kesehatan, Mental, Al-Qur’an, dan
Hadis
Pendahuluan
Kehidupan modern
dewasa ini telah tampil dalam dua wajah yang antagonistik. Di satu sisi
modernisme telah berhasil mewujudkan kemajuan yang spektakuler, khususnya dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain, ia telah menampilkan wajah
kemanusiaan yang buram berupa kemanusiaan modern sebagai kesengsaraan rohaniah.
Modernitas telah menyeret manusia pada kegersangan spiritual. Ekses ini
merupakan konsekuensi logis dari paradigma modernisme yang terlalu bersifat
materialistik dan mekanistik, dan unsur nilai-nilai normatif yang telah terabaikan.
Hingga melahirkan problem-problem kejiwaan yang variatif.
Ironisnya, masalah
kejiwaan yang dihadapi individu sering mendapat reaksi negatif dari orang-orang
yang berada di sekitarnya. Secara singkat lahirnya stigma ditimbulkan oleh
keterbatasan pemahaman masyarakat mengenai etiologi gangguan jiwa, di samping
karena nilai-nilai tradisi dan budaya yang masih kuat berakar, sehingga
gangguan jiwa sering kali dikaitkan oleh kepercayaan masyarakat yang
bersangkutan. Oleh karenanya, masih ada sebagian masyarakat yang tidak mau
terbuka dengan penjelasan-penjelasan yang lebih ilmiah (rasional dan obyektif)
dan memilih untuk mengenyampingkan perawatan medis dan psikiatris terhadap
gangguan jiwa.
Sebagai makhluk
yang memiliki kesadaran, manusia menyadari adanya problem yang mengganggu
kejiwaannya, oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya
mengatasi problema tersebut. Upaya- upaya tersebut ada yang bersifat mistik
yang irasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah.[2]
Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti peradaban Barat
yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu
dilakukan dengan menggunakan pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan
mental. Sedangkan pada masyarakat Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada
awal sejarahnya telah mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh
masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius
spiritual, yakni tasawuf atau akhlak. Pandangan islam tentang kesehatan jiwa
berdasarkan atas prinsip keagamaan dan pemikiran falsafat yang terdapat dalam
ajaran-ajaran islam. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan
memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika hidupnya bermakna.[3]
Islam menetapkan
tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta,
dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan
kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan
kesehatan.[4]
Kesehatan mental dan jasmani saling mempengaruhi antar keduanya. Gangguan
mental akan mempengaruhi fisik, begitu pula sebaliknya, sehingga diperlukan
upaya optimal agar keduanya selalu dalam kondisi sehat.
Gangguan kesehatan
fisik boleh jadi lebih mudah diatasi karena kasat mata, tetapi kesehatan mental
sulit diatasi karena bukan penyakit jasmani dan banyak manusia yang tidak sadar
kalau dirinya mengalami gangguan kesehatan mental/jiwa. Tulisan ini akan
membahas kajian tentang ayat-ayat al-quran dan hadis yang berkaitan dengan
kesehatan mental.
Pengertian
Kesehatan Mental
Para ahli belum ada
kesepakatan terhadap batasan atau definisi kesehatan mental (mental healt). Hal itu disebabkan
antara lain karena adanya berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan yang
berbeda. Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan pandangan tersebut, maka
menimbulkan adanya perbedaan konsep kesehatan mental. Lebih jauh lagi
mengakibatkan terjadinya perbedaan implementasi dalam mencapai dan mengusahakan
mental yang sehat. Perbedaan itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena sisi
lain adanya perbedaan itu justru memperkaya khasanah dan memperluas pandangan
orang mengenai apa dan bagaimana kesehatan mental.[5]
Sejalan dengan
keterangan di atas maka di bawah ini dikemukakan beberapa rumusan kesehatan
jiwa, antara lain:
Pertama, Musthafa
Fahmi, sesungguhnya kesehatan jiwa mempunyai pengertian dan batasan yang
banyak. Di sini dikemukakan dua pengertian saja; sekedar untuk mendapat batasan
yang dapat digunakan dengan cara memungkinkan memanfaatkan batasan tersebut
dalam mengarahkan orang kepada pemahaman hidup mereka dan dapat mengatasi
kesukarannya, sehingga mereka dapat hidup bahagia dan melaksanakan misinya
sebagai anggota masyarakat yang aktif dan serasi dalam masyarakat sekarang.
Pengertian pertama mengatakan kesehatan jiwa adalah bebas dari gejala-gejala
penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Pengertian ini banyak dipakai dalam
lapangan kedokteran jiwa (psikiatri). Pengertian kedua dari kesehatan jiwa
adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak terbatas; ia berhubungan dengan
kemampuan orang untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan
masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang sunyi dari
kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya dan tidak terdapat
padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial, dia juga tidak
melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi ia berkelakuan wajar yang
menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan pikiran dalam berbagai lapangan dan di
bawah pengaruh semua keadaan. [6]
Zakiah Daradjat
mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang dari gangguan dan
penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah
dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak
ada konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta
dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin. [7]
Ketiga, menurut
M.Buchori, kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem
tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk
mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang
dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram.
Jalaluddin dengan mengutip H.C. Witherington menambahkan, permasalahan
kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat
lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama. [8]
Sedangkan menurut
Badan Kesehatan Dunia (WHO) kesehatan
mental didefinisikan; “mental health is difined as a state of well being in
which every individual realizes his or her own potential, can cope with normal
stesses of life, can work productively and fruitfully and is able to make a
contribution to her or his community”.[9]
Kondisi yang memungkinkan setiap individu memahami potensi-potensi dirinya,
mampu mengatasi berbagai persoalan dalam kehidupan secara normal, dapat
berkarya secara produktif, dan mampu berbagi dengan orang lain dalam
komunitasnya.
Dari berbagai
definisi di atas kesehatan mental dapat dipahami; terwujudnya keserasian yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri
antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan
ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di
dunia dan bahagia di akhirat.
Kesehatan Mental
Dalam Al-Quran Dan Hadis
Pada dasarnya
setiap manusia memiliki kebutuhan hidup yang beragam. Namun demikian,
keberagaman itu dikelompokkan menjadi dua bagian yang mendasar. Pertama,
kebutuhan untuk keberlangsungan hidup dan pelestarian jenis (spesies). Kedua,
kebutuhan untuk mencapai ketenangan jiwa dan kebahagiaan hidup. Dua kebutuhan
pokok inilah yang mendorong atau memotivasi manusia melakukan aktifitasnya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut.
Jika seseorang
dihadapkan pada dua pengaruh motivasi yang masing-masing sama kekuatannya tetapi
tujuan keduanya berlawanan, maka motivasi pertama akan menariknya ketujuan
tertentu. Adapun motivasi yang lain menariknya ketujuan yang berlawanan dengan
tujuan pertama. Hal ini menyebabkan perasaan bingung dalam diri seseorang
karena tidak mampu memenuhi kebutuhan kedua motivasi tersebut secara bersamaan.
Kondisi seperti ini membingungkan seseorang dalam menentukan pilihan di antara
dua tujuan yang berbeda. Kondisi seperti ini diistilahkan sebagai konflik
kejiwaan. Akibatnya orang akan mengalami depresi, stress dan gangguan mental
lainnya. Apabila dibiarkan dan tak disadari oleh setiap individu sehingga
menjadi parah gangguan mental dapat berujung pada langkah bunuh diri.
Al-Quran
menggambarkan konflik kejiwaan ini pada orang munafik yang bimbang dan ragu
dalam menentukan pilihan antara keimanan dan kekufuran, antara bergabung dengan
kelompok islam dan kelompok kafir. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran:
¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tbqããÏ»sä ©!$# uqèdur öNßgããÏ»yz #sÎ)ur (#þqãB$s% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qãB$s% 4n<$|¡ä. tbrâä!#tã }¨$¨Z9$# wur crãä.õt ©!$# wÎ) WxÎ=s% ÇÊÍËÈ tûüÎ/xö/xB tû÷üt/ y7Ï9ºs Iw 4n<Î) ÏäIwàs¯»yd Iwur 4n<Î) ÏäIwàs¯»yd 4 `tBur È@Î=ôÒã ª!$# `n=sù yÅgrB ¼ã&s! WxÎ6y ÇÊÍÌÈ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas
tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan
malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah
mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam Keadaan ragu-ragu
antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini
(orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir),
Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk)
baginya.”[10]
Rasulullah SAW juga
menggambarkan konflik kejiwaan yang dialami orang munafik yang bimbang untuk
bergabung antara kelompok islam dan kafir dengan kondisi seekor domba betina
yang ragu untuk bergabung pada dua kawanan domba. Sesekali domba betina
bergabung dengan salah satu kawanan domba, tetapi domba betina juga bergabung
dengan kawanan domba lain. Domba betina tidak mampu menentukan yang pasti untuk
bergabung dengan salah satu dari dua kawanan domba. Rasulullah SAW bersabda:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا
أَبِي ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ
قَالَا حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَاللَّفْظُ
لَهُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي الثَّقَفِيَّ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَثَلُ الْمُنَافِقِ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْعَائِرَةِ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيرُ
إِلَى هَذِهِ مَرَّةً وَإِلَى هَذِهِ مَرَّةً
Artinya:
“perumpamaan orang munafik itu seperti domba betina yang bimbang di antara dua
kawanan domba. Sesekali domba betina itu mengikuti salah satu dari dua kawanan
domba itu, tetapi sesekali ia mengikuti kawanan domba yang lain”.[11]
Konflik kejiwaan
yang sering dialami seseorang ditengarai oleh adanya tarik menarik antara
motivasi. Antara kebutuhan organik, hawa nafsu, keinginan, dan ambisi duniawi
yang harus dipenuhi di satu pihak serta motivasi agama (motivasi psikis) dan
spritual dipihak lain. Motivasi agama cenderung mengontrol motivasi organik dan
hasrat duniawi. Motivasi ini juga mendorong seseorang untuk menilai
kecenderungan dan ambisinya dalam mengejar urusan profan. Penilaian ini
didasari oleh pertimbangan untuk meraih kebahagian kekal dan abadi di akhirat.
Rasulullah SAW menggambarkan konflik kejiwaan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو
هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ
مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلِي كَمَثَلِ
رَجُلٍ اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهَا جَعَلَ الْفَرَاشُ وَهَذِهِ
الدَّوَابُّ الَّتِي فِي النَّارِ يَقَعْنَ فِيهَا وَجَعَلَ يَحْجُزُهُنَّ وَيَغْلِبْنَهُ
فَيَتَقَحَّمْنَ فِيهَا قَالَ فَذَلِكُمْ مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ أَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ
عَنْ النَّارِ هَلُمَّ عَنْ النَّارِ هَلُمَّ عَنْ النَّارِ فَتَغْلِبُونِي تَقَحَّمُونَ
فِيهَا[12]
Artinya:
“Aku bagaikan seseorang yang menyalakan api, ketika api itu menerangi
sekelilingnya, api itu menyambar tempat tidur sehingga seseorang berusaha
memadamkan api itu. Namun, orang itu menceburkan dirinya ke dalam api itu.
Kemudian Nabi SAW berkata,” itulah perumpaan aku dengan kalian. Aku berusaha
menyelamatkan kalian semua dari jilatan api. Maka hati-hatilah dengan api!
Sebab kalian semua berusaha menyelamatkan aku, tetapi kalian menceburkan diri
ke dalam api itu.”
Hadis ini
menggamberkan konflik antara hasrat indrawi dan kesenangan duniawi disatu pihak
dengan motivasi agama dan spritual yang menuntun manusia agar tidak terperosok
ke dalam jurang hawa nafsunya dipihak lain. Rasulullah SAW menggambarkan
perbandingan antara dua laki-laki pada kondisi konflik seperti ini. Salah satu
di antara keduanya ialah orang cerdik yang mampu mengekang dan mengontrol hawa
nafsu syahwatnya serta beramal untuk kehidupan akhiratnya. Adapun yang lain
ialah orang dungu yang tidak mampu berfikir jernih. Ia selalu mengikuti hawa
nafsu syahwatnya dan tidak beramal untuk akhiratnya.
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ
أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ
وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى
عَلَى اللَّهِ
Artinya:
“Orang pandai adalah orang yang dapat menundukan dirinya dan ia melakukan
seluruh aktifitas hidupnya demi kehidupan setelah mati (akhirat). Adapun orang
yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya sendiri dan berharap
kepada Allah SWT dengan harapan hampa.”[13]
Merealisasikan
keseimbangan antara raga dan jiwa merupakan syarat mutlak untuk menjadi pribadi
normal yang dapat menikmati kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa yang dimaksud di
sini ialah jiwa yang diistilahkan dalam Al-quran sebagai an-nafs mutmainah
(jiwa yang tenang). Manusia yang normal adalah seorang yang memiliki an-nafs
mutmainah tersebut. Jiwa ini menitik beratkan pada aspek kesehatan dan
kekuatan badan, memenuhi kebutuhan dasar dengan cara yang halal, memenuhi
kebutuhan spritual dengan berpegang teguh pada akidah tauhid, mendekatkan diri
kepada Allah SWT dengan menjalankan ibadah dan melakukan amalan soleh dan
menjauhkan diri dari keburukan dan segala hal yang dapat menyebabkan Allah SWT
murka. Manusia normal adalah seseorang yang menempuh jalan yang lurus dalam
setiap tingkah lakunya, setiap perkataan dan perbuatannya sesuai dengan di
jalan Allah SWT yang sepenuhnya tertuang dalam Al-quran yang diwejahwantahkan
oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya.
Manusia normal yang
memiliki an-nafs mutmainah ialah manusia yang hidup sesuai dengan fitrah
yang telah diciptakan Allah SWT, yakni akidah tauhid. Dan yang perlu
diperhatikan bahwa fitrah tersebut membutuhkan sesuatu yang dapat menjaga,
menyegarkan, dan mengokohkannya. Sesuatu yang tidak lain adalah syariah yang
diturunkan ke bumi.[14]
Pribadi normal
dapat dilihat pada kepribadian Rasulullah SAW yang telah menyeimbangkan kedua
sisi material dan spritual. Raasulullah SAW adalah maniusia biasa. Beliau
memenuhi kebutuhan jasmaninya pada batas yang disyariatkan. Beliau juga
memenuhi kebutuhan spritualnya dengan penuh keikhlasan. Penghambaan dirinya
kepada Allah SWT sarat dengan sikap tunduk dan kejernihan hati yang sempurna,
tidak dikotori oleh kesenangan duniawi dan keindahannya.
Rasulullah SAW
merupakan pribadi manusia sempurna. Beliau adalah manusia yang memiliki
perilaku sempurna dan berakhlak terpuji. Seluruh akhlaknya merupakan cerminan
al-quran. Rasulullah SAW merupakan prototipe manusia yang memiliki an-nafs
mutmainnah ideal yang mencerminkan semua indikator kesehatan jiwa pada tingkat
yang tertinggi.[15]
Indikator Kesehatan
Mental Dalam Al-Quran Dan Hadis
Allah SWT mengutus
utusannya dan menurunkan kitab-Nya. Hal ini untuk menunjukkan dan mengarahkan
manusia pada sesuatu yang dapat menjaga fitrah mereka yang benar dan lurus,
dapat membangun dan mengokohkan spritualnya dengan beriman kepada Allah SWT
serta penyerahan diri sebagai proses penghambaan kepada-Nya tanpa
menyekutukannya. Berpegang teguh pada ajaran-Nya serta merealisasikan
nilai-nilai ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari.
1. Hubungan
Individu Dengan Allah Swt
Beriman kepada Allah harus menjadi
landasan utama bagi semua sikap dan tingkah laku sehari-hari. Sebab, hanya
mereka yang memfungsikan imannya sebagai kendali kehidupan yang tetap memiliki.
Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik
yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun untuk
menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan kelihatannya
sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang
cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini
merupakan bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian
dinamakan pribadi (Self) ataupun hati nurani (conscience of man).
Fitrah manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah SWT ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu
agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka
tidak beragama tauhid itu hanya karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada
dalam (QS Ar Ruum 30:30)
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya: Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.
Penyimpangan atau penolakan terhadap
fitrah kemanusian yang dinisbatkan pada fitrah keilahian, misalnya berbuat
syirik, menafikan ketaatan dan pengabdian kepada Allah SWT dan memuaskan semua
keinginan syahwatnya merupakan suatu penyimpangan terhadap fitrah tiap
kemanusian. Orang-orang beriman memiliki sandaran kuat ketika mengalami badai
krisis paling berat sekalipun, karena bebannya bisa dilimpahkan kepada Wali
yaitu Allah SWT.
2. Hubungan
Individu Dengan Diri Sendiri
Allah
SWT telah melengkapi manusia dengan instrumen canggih untuk mengatasi berbagai
masalah yang dihadapi dalam kehidupannya, yaitu berupa akal pikiran. Tugas akal
pikirian adalah membuat keputusan (decision making), memecahkan masalah
(problem solving) dan kreativitas (creativity). Dengan akal pikiran itu manusia
berusaha mengatasi berbagai masalah yang ditemui secara kreatif sehingga mudah
mengambil langkah-langkah penyelesaian berikutnya. Tidak buntu dalam satu titik
lalu melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian.
Seseorang
hendaknya dapat memahami dirinya sendiri, mengetahui kemungkinan dan kemampuan
yang ada dalam dirinya sehingga cita-cita yang ingin diraihnya. Mampu menyelesaikan permasalahan dengan
konstruktif, karena dia yakin bahwa Allah SWT tidak akan membebani hambanya
dengan di luar kemampuan yang dimiliki seseorang. Termasuk perintah dan
larangan yang dibebankan, tidak termasuk dalam kategori ini, yaitu menyulitkan
dalam pelaksanaannya, tetapi justru menjadi vitamin bagi mental dan obat bagi jasmani,
serta menjaga manusia dari berbagai kesulitan.[16]
Dengan demikian, masalah yang dihadapi manusia berkaitan tugas dan kewajiban
sebagai hamba semestinya dapat diatasi. Apabila terjadi di luar kemampuan
seseorang maka gugur pula kewajiban itu, atau dalam batas-batas tertentu
diberikan rukhsah.
Suatu
keniscayaan dalam kehidupan manusia adalah silih bergantinya banyak hal yang
dapat memberi kepuasan, kebahagian, dan pada kesempatan lain terjadi kemalangan
yang dapat membuat kekecewaan dan kesedihan. Sejatinya, semua orang dapat
menerima sesuatu yang membahagiakan, tetapi tidak dapat menerima sesuatu yang
menyedihkan. Bagi orang yang sehat mental ia tegar dalam menghadapi kenyataan,
baik yang membahagiakan dan menyedihkan, dengan sikap wajar (tidak berlebihan)
sebagai suatu variasi dan dinamika kehidupan. Apalagi jika didasari oleh iman
yang memaknai sesuatu yang menimpa manusia merupakan musibah sebagai media
utama untuk meraih kebahagian dan kesuksesan.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ يَسَارٍ أَبَا الْحُبَابِ
يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
[17]
Artinya:
Siapa yang Allah kehendaki memperoleh kebaikan maka ia diberi cobaan (musibah)
3. Hubungan
Individu Dengan Orang Lain
Manusia
merupakan makhluk sosial yang harus bersosialisi dengan lingkungan sekitarnya.
Ia butuh berkomunikasi, mencintai dan dicintai, berafilisi dengan sesama, dan
mengaktualisasikan dirinya secara optimal, semua itu membutuhkan keberadaan
orang lain. Persahabatan, pergaulan, kerjasama, serta tolong menolong adalah
naluri manusia yang harus tetap diwujudkan dan dipelihara dalam setii’ap
individu. Hidup menyendiri atau teralienasi dari kehidupan orang banyak membawa
dampak buruk kepada kesehatan mental.
Manusia
diciptakan dalam keragaman; gender, etnis, ras, agama, bahasa, warna kulit,
budaya agar mereka berupaya saling mengenal. Dari perkenalan itu dapat dibangun
kerjasama untuk membangun dan memakmurkan bumi tempat tinggal bersama.
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[18]
Hikmah
keberadaan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal,
bukan untuk berbangga bangga tentang keturunan, tetapi yang paling mulia disisi
Allah adalah manusia yang bertakwa. Selain untuk saling mengenal al-quran juga
mendorong manusia untuk saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, tidak
dalam perbuatan dosa dan permusuhan.
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
Artinya:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.[19]
4. Hubungan
Individu Dengan Alam Semesta
Seseorang
hendaknya mengetahui hakikat keberadaaannya di alam semesta sebagai makhluk
yang dimuliakan Allah SWT atas makhluk lainnya. Ia mengetahui risalah hidupnya
sebagai khalifah Allah SWT. Untuk memakmurkan bumi dengan menjalankan segala
perintah-Nya. Ia meneliti tanda kebesaran Allah melalui ciptaan-Nya. Ia
mengetahui kekuasaan Allah SWT yang tiada batas dalam menata semua ciptaan-Nya.
Ia merasakan keindahan yang ditangkap dari kreasi yang luar biasa. Ia menjalani
hidupnya penuh dengan kebahagian karena mampu menilai bahwa setiap gerakan yang
terjadi di alam semesta ini sarat dengan keindahan yang terpancar dari suatu
rasa, yaitu cinta, sehingga dengan memahami dan merasakan kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT. Keimanannya bertambah dan dapat menjaga alam semesta dan
mempergunakannya untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia.
Kesimpulan
Kesehatan mental
merupakan hal yang sangat penting untuk dipahami bagi setiap individu.
Kebanyakan manusia tidak mengenal bahkan tidak mengetahui kalau dirinya
terjangkit penyakit rohani. Penyakit rohani yang tak disadari dapat merugikan
diri sendiri dan orang lain. Islam memberikan berbagai solusi dari sisi
keagamaan dan ilmu pengetahuan. Keimanan merupakan pangkal pokok dari semua
timbulnya segala penyakit mental, karena dengan keimanan yang baik seseorang
dapat megaplikasikan nilai-nilai keimanannya untuk diri sendiri, orang lain dan
alam semesta, sehingga terciptalah manusia yang berorientasi kepada kebaikan
bersama, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di
dunia dan bahagia di akhirat.
Daftar
Pustaka
Muhammad
Ibn Ismail Al-Bukhori, Jami’ Shahih Al-Bukhori, Beirut; Darul Matabi’ As-Sya’bi.
Abdurrahman
As-Sa’di, Taysirul Karim Ar-Rahman Fi Tafsiril Karim Karimil Mannan; Muassarah
Risalah; 2000.
Abu Isa At-Tarmizi,
Shahih Tarmizi Bi Syarh Imam Ibn ‘Arobi Al-Maliki, Beirut; Darul Kitab
Arabi, T.Th.
Zakiah
Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1983
Musthafa
Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, ter.
Zakiah Daradjat, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Ibnu Taimiyah, Ilmu
Suluk; Majmu’ Fatawa Syaikh Ahmad Ibn
Taymiyah, Isyraf Arriasah Al-Ammah Li Syuun Al-Haramain As-Syarifain Bi
Suudiyah, tth,
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Achmad
Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta:
Paramadina, 2000.
Abu
Al-Husaini Muslim Bin Hajjaj Muslim Al-Qusayri, Sahih Muslim Bi Syarhi
Nawawi, Kairo; Matbaah Mishriyah, Tth.
Muhammad Usman Najati,
Psikologi Dalam Persepektif Hadis,(alih
bahasa; Zaenudin Bakar), Jakarta; Pustaka
Al-Husna Baru, Th.2004.
M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan
Umat, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003.
[1] Dosen STAIN Jurai Siwo Metro,
Lampung
[2] Achmad Mubarok, Solusi
Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Jakarta,
2000, h. 13
[3] Ibid, h. 14
[4] M. Quraish Shihab,
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat,
Bandung: PT. Mizan Pustaka anggota IKAPI, 2003, h. 181.
[5] Thohari Musnamar,
et al, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, Yogyakarta:
UII Press, 1992, h. XIII
[7] Zakiah Daradjat, Islam
dan Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1983, h. 9.
[8] Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h. 154
[9] www.who.int/mental_health/en/
[10] QS. An-Nisa; 142-147
[11] Abu Al-Husaini Muslim Bin Hajjaj
Muslim Al-Qusayri, Sahih Muslim Bi Syarhi Nawawi, Kairo;Matbaah
Mishriyah, t. th. H. 45
[12] Muslim, jilid 15, h. 49
[13] Abu Isa At-Tarmizi, Shahih
Tarmizi Bi Syarh Imam Ibn ‘Arobi Al-Maliki, Beirut; Darul Kitab Arabi, t.th.
[15] Muhammad Usman Najati, Psikologi
Dalam Persepektif Hadis,(alih
bahasaZaenudin Bakar), Jakarta; Pustaka
Al-Husna Baru, Th.204, H. 230
[16] Abdurrahman As-Sa’di, Taysirul
Karim Ar-Rahman Fi Tafsiril Karim Karimil Mannan; Muassarah Risalah; 2000,
Juz 1 H.120
[17] Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhori,
Jami’ Shahih Al-Bukhori, Beirut; Darul Matabi’ As-Sya’bi, t.th, Juz 17, H. 377, No. 5213
[18] QS. Al-Hujurat/49;13
[19] QS. Al-Maidah/5;2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar