Sorotan atas Penulisan Hadis;
Telaah atas Pemikiran Goldziher dan Azami
Oleh:
Ahmad Isnaeni[1]
Abstrak
Tulisan ini akan mendiskusikan pendapat Sarjana Barat, diwakili oleh Ignaz Goldziher, yang menyoroti asal usul sunnah Nabi. Kemudian disandingkan dengan pemikiran Mustafa Azami, pemikir muslim yang
akrab dengan studi hadis di Barat. Alasan memilih sosok Goldziher, sebab di
kalangan Sarjana Barat, pemikiran Goldziher
dianggap sebagai pioner dari maraknya studi hadis di Barat. Pemikiran hadis
Goldziher turut memberi warna secara turun temurun dalam tradisi kajian hadis
di kalangan orientalis.. Sebagaimana dimaklumi, Barat dalam
menyikapi eksistensi hadis, secara umum terbagi tiga sikap dalam studi
hadis; skeptis, sanguine (non-skeptis), dan middle ground. Dari bahasan ini akan terlihat bagaimana minat yang besar dalam diri
Goldziher dan beberapa sarjana
Barat lain atas kajian sunnah Nabi saw. Sisi lain,
Azami diangkat dalam tulisan ini karena turut meramaikan perbincangan tentang
hadis dan sunnah Nabi saw. Pemikiran utama Azami adalah untuk menyingkap
kelemahan dan kekeliruan sorotan Barat terhadap sunnah Nabi saw. Irama
perdebatan yang diikuti oleh Azami dalam arus pemikiran Barat cukup memberi
warna, meskipun dari beberapa kalangan Barat, hasil kajian Azami dinilai kurang
obyektif dan bersifat apologis.
Kata Kunci: hadis, otentisitas,
historisitas
Ide Pokok Pemikiran Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher,
bukanlah orang yang pertama kali memberi kritik terhadap hadis, namun demikian
dirinya dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh dalam mengembangkan
kajian hadis di Barat. Secara umum pemikiran Goldziher tentang
sunnah dan hadis tersimpul kepada tiga topik yakni; asal-usul hadis,
perkembangan dan pemalsuan hadis, dan keberadaan literatur hadis. Ketiga topik
tersebut mengarah kepada meragukan keotentikan hadis dan menolak bahwa hadis
layak dijadikan sumber pengetahuan dan hukum. Dengan sistematis Goldziher
menghadirkan pembahasan menarik atas persepsi dan vonisnya terhadap studi
hadis. Hasil pemikiran Goldziher ini menjadi landasan dan pondasi utama
lahirnya kajian hasil lebih detail di kalangan sarjana Barat.
Sebagaimana telah diungkap dalam pembahasan
terdahulu, Gustav Weil dan Aloys Sprenger dinilai sebagai peletak kajian hadis
Barat dan sebagai penggerak munculnya kecenderungan Barat akan kajian sunnah
dan hadis. Goldziher lebih jauh dari kedua tokoh di atas, dan telah menancapkan
pondasi keraguan mengenai otentisitas hadis. Keraguan Goldziher akan hadis
bermula dari penolakannya bahwa hadis bukanlah sebagai dokumen sejarah awal
Islam, melainkan sebagai peninggalan dari berbagai refleksi tendensius umat
Islam yang hidup belakang setelah kehidupan Nabi. Sebelum membahas lebih jauh
bagaimana Goldziher memandang secara utuh sunnah dan hadis, perlu dikemukakan
bahwa dalam pemaparannya, Goldziher tidak dapat melepaskan pijakan pandangannya
dari sisi makna kebahasaan semata dan tidak berupaya mengikuti dan mengambil
makna istilah sebagaimana yang berlaku di kalangan muslim.
Historisitas Hadis
Goldziher mengartikan
hadis secara bahasa sebagai berita yang berlaku di kalangan kelompok penganut
kerohanian, catatan sejarah baik sekuler maupun keagamaan dari masa ke masa.
Sementara sunnah dipahami sebagai tradisi dan kebiasaan yang ada di masyarakat
baik setelah Islam datang ataupun sebelumnya, diikuti secara terus menerus dan
dianggap sebagai peninggalan berharga yang mesti diikuti.[2] Dalam uraian selanjutnya, Goldziher menyatakan
bahwa hadis jika dimaksud sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad, maka itu sulit akan diterima secara ilmiah, sebab hadis tiada lain
adalah peninggalan umat Islam setelah kehidupan Nabi. Dengan kata lain yang ada
bukan hadis tetapi sunnah. Dalam konteks ini sunnah dipahami Goldziher sebagai
makna literernya yakni sebagai jalan hidup yang dilalui seseorang atau
masyarakat.[3]
Menurut Goldziher, sunnah adalah
ketentuan-ketentuan yang diyakini kebenarannya yang mengatur pola kehidupan
masyarakat tertentu. Terkait dengan kehidupan masyarakat pra-Islam, sunnah
telah ada sebagai perangkat tradisi dan kebiasaan leluhur yang menjadi sumber
kebiasaan dalam kehidupan. Goldziher kemudian menekankan bahwa dalam Islam
terminologi sunnah juga digunakan untuk sesuatu yang memiliki pemahaman yang
sama. Sunnah pada mulanya dipahami sebagai perangkat tata nilai kehidupan
masyarakat tertentu dalam perkembangannya dipahami sebagai tradisi dan pola
kehidupan yang besifat universal.[4] Secara khusus sunnah kemudian dipahami sebagai kebiasaan-kebiasaan
tertentu baik teoritis maupun praktis dalam ibadah dan hukum kaum mukminin
pertama yang telah dipraktikkan di bawah kesaksian Nabi.[5] Sunnah dan hadis tidaklah identik. Hadis merupakan
pernyataan-pernyataan tata cara itu, dan hadis tiada lain adalah dokumentasi
sunnah.[6] Di sisi lain Goldziher berkeyakinan bahwa penggunaan sunnah sebagai
pedoman hidup keagamaan di dunia Islam pada masa awal adalah suatu keyakinan
yang dinilai keliru. Sebab menurutnya, sunnah tiada lain adalah penjelasan
praktik kehidupan keagamaan dan interaksi social penduduk Madinah yang kemudian
mendapat legitimasi konstitusional, sementara masyarakat di luar Madinah amat
sulit untuk menerima sunnah sebagai pedoman kehidupan keagamaan.[7]
Goldziher lebih jauh menyatakan bahwa pada
mulanya masyarakat Islam di luar kota Madinah amat sedikit pengetahuannya
tentang ajaran Islam. Ajaran Islam masih sebuah sesuatu yang asing bagi
masyarakatnya, sehingga banyak sekali ajaran ritual Islam yang belum diketahui
apalagi diamalkan. Karena ketidaktahuan mereka akan ajaran Islam, termasuk ayat
al-Qur’an maka merekapun tidak mampu membedakan antara ayat al-Qur’an dengan
sya’ir-sya’ir yang berkembang. Dampak dari kenyataan ini maka maka sulit sekali
akan dipahami jika sunnah telah ada masa itu. Sebenarnya sunnah tiada lain
adalah keterangan yang memuat pola hidup religius dan hasil sosialisasi
masyarakat Madinah terhadap ajaran Islam. Eksistensi sunnah baru dikenal
masyarakat luas dan menjadi norma Islam formal sejak akhir abad pertama
Hijriyah. Pergerakan sunnah menjadi sumber hukum terjadi seiring pergumulan
politik dan masyarakat antara abad kedua dan ketiga Hijriyah. Pada masa ini
keberadaan sunnah seringkali disejajarkan dengan al-Qur’an dalam menentukan dan
membuat hukum dengan mengalami penambahan di sana-sini. Dengan ini keberadaan
hadis dalam kumpulan kitab-kitab hadis yang nota bene memuat kumpulan
sunnah-sunnah Nabi dan diakui kalangan muslim sebenarnya tidak menghadirkan
keyakinan akan kebenarannya tetapi justru menimbulkan keraguan.[8]
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya teologi
hadis antara abad kedua dan ketiga Hijriyah yang merupakan babak baru sejarah
perkembangan hadis, kedudukan sunnah disetarakan dengan kitab suci dalam
membentuk hukum.[9]
Berangkat dari pemikiran di atas, Goldziher
memaknai hadis dengan “percakapan” atau “pemberitaan” yang ada di kalangan para
penganut agama, kumpulan catatan historis berkaitan dengan kehidupan dunia dan
akhirat baik dari masa lampau ataupun sekarang.[10]
Sementara hadis dalam terminologi Islam menurut Goldziher dipergunakan untuk
menunjukkan kepada ucapan dan perbuatan yang disandarkan kepada Nabi. Akan
tetapi kenyataan yang ada dan perkembangan masa yang melingkupinya, hadis
akhirnya tidak hanya berasal dari Nabi tetapi lebih kepada keinginan-keinginan
yang ada dalam masyarakat muslim dalam kehidupannya.[11]
Untuk mengetahui hal ihwal hadis perlu belajar dari sahabat-sahabat Nabi sebab
mereka adalah orang yang hidup bersamanya, menyaksikan tindak-tanduknya, serta
mendengar keputusan-keputusannya. Setelah generasi sahabat berlalu, orang
sesudahnya bertumpu pada informasi bahwa mereka mendapatkan berita dari
kalangan sahabat, jika terdapat persoalan yang memerlukan penjelasan hukum.
Demikian metode yang disampaikan oleh kalangan muslim dalam menyampaikan berita
tentang kenabian, hal ini dapat diterima keabsahannya apabila mata rantai
periwayatan dikembalikan kepada seorang sahabat yang dapat memberikan kesaksian
bahwa semua yang disampaikan itu sesuai dengan kehendak Nabi.[12]
Goldziher menilai bahwa kemunculan hadis
berangkat dari keseriusan umat Islam awal yang memberitakan hal ihwal dari sang
Nabi atas segala apa yang dihadapi dalam kehidupan, baik bersifat keimanan
ataupun ritual keagamaan yang disampaikan di hadapan umum ataupun kepada para
individu. Menurut Goldziher, Islam seperti halnya agama Yahudi, hukum agama
dapat lahir di luar kitab suci yakni berdasarkan sunnah Nabi.[13] Berdasarkan sunnah ini teori yang memberikan pengakuan baik terhadap
hukum yang tertulis maupun hukum yang disampaikan secara lisan. Sunnah yang
kemudian terdokumentasikan ke dalam hadis dipandang sebagai penjelas yang
paling otoritatif al-Qur’an.[14]
Perkembangan hadis yang lebih meluas
dikarenakan kesadaran umat Islam awal bahwa penuturan dan perilaku Nabi adalah
petunjuk maka berita itu disampaikan kepada orang-orang yang dijumpainya,
khususnya setelah terjadinya penaklukan daerah-daerah baru. Karena ingatan
manusia terbatas, termasuk para muslim awal sementara keinginan menyampaikan
berita tentang Nabi terus berlangsung maka terjadilah penambahan-penambahan di
dalamnya. Di sisi lain, umat Islam masa itu menilai bahwa apa yang disandarkan
berasal dari Nabi telah jelas kebenarannya tanpa menimbang kepalsuan ada di
dalamnya. Goldziher menggarisbawahi bahwa peristiwa-peristiwa semacam tadi
sebagai penyebab utama munculnya pemalsuan hadis di masa awal, sehingga hadis
lebih mudah dipahami sebagai keinginan-keinginan tendensius umat Islam dalam
rangka penyebaran ajaran-ajaran agama.[15]
Kemunculan hadis sebagai refleksi tendensius umat Islam belakangan, menurut
Goldziher didasarkan pada kenyataan pada masa dinasti Umayyah telah terjadi pertentangan
antara sang penguasa dengan para ulama. Antara kedua kelompok saling menekan
satu sama lain, dan yang tersisih adalah kelompok para ulama. Keadaan ini
memicu para ulama untuk menyibukkan diri kepada masalah keagamaan dengan
memunculkan hadis-hadis tertentu untuk melegitimasi gerakan mereka. Sementara
itu kalangan penguasa tidak tinggal diam melihat apa yang dilakukan kelompok
para ulama, dengan merekrut ulama tertentu pihak penguasa juga berupaya
melakukan hal yang sama untuk mendukung program politiknya dalam rangka
menyerang balik kalangan ulama yang kontra pemerintah.[16]
Dampak dari pertentangan keduanya ini bermunculan hadis-hadis yang bernuansa
politik demi kepentingan masing-masing.
Goldziher menggambarkan Kejadian yang sama
juga muncul ketika masa pemerintahan dinasti Abbasiyyah antara aliran hukum
klasik dengan para ahli hadis. Masing-masing kelompok mengklaim bahwa metode
pendekatan mereka adalah yang benar sementara lainnya adalah salah. Sebagaimana
dimaklumi kalangan aliran hukum klasik lebih mengedepankan ra’yu dalam
beristinbath hukum. Sumber hukum utama umat Islam adalah al-Qur’an, letak
perbedaannya adalah pendekatan masing-masing kelompok dalam memahami
kandungannya. Persoalan yang tidak tersurat dalam kitab suci adalah persoalan
yang membuat semakin jauh jurang permisah antara kelompok aliran hukum klasik
dengan pendekatan yang digunakan ahli hadis. Untuk membela pandangan dan
pendekatan masing-masing kelompok akhirnya memunculkan hadis-hadis yang
disandarkan kepada Nabi. Hadis yang dimunculkan bukan saja membela pendapat
mereka tetapi lebih jauh juga digunakan untuk menyokong apa yang dilakukan oleh
para guru dan orang yang sealiran. Dengan kondisi inilah pemalsuan hadis
semakin marak, sehingga semakin banyak hadis yang muncul bernuansa politik dan
madzhab fikih semakin jelas bahwa hadis-hadis tersebut tidaklah dapat diakui
keotentikannya.[17]
Untuk mendukung konsepsinya, Goldziher
mengutip bukti adanya pemalsuan hadis untuk kepentingan kelompok-kelompok
tertentu dan membela kelompoknya, sehingga tidak ada mazhab di bidang ritus,
teologi, hukum, ataupun faksi-faksi politik yang akan kekurangan satu atau
sekumpulan hadis yang menguntungkannya, dengan memperlihatkan segala tanda
lahiriah tentang kebenaran periwayatannya.[18] Inilah bukti bahwa otentitisas hadis layak diragukan. Tidak mungkin
seorang Nabi lebih mengutamakan kelompok tertentu dan menekan kelompok lain, sementara
munculnya faksi-faksi dimaksud jauh setelah masa kehidupan Nabi. Bukti dimaksud
adalah adanya hadis yang memuat keutamaan sebuah kota, suku bangsa dan bahsa
tertentu, keharusan akan kepatuhan kepada penguasa, dan masih banyak lainnya.[19]
Goldziher menegaskan bahwa mestinya kita
tidak mengesampingkan kemungkinan hadis yang diriwayatkan oleh
generasi-generasi selanjutnya terkadang mengandung pengertian-pengertian dari
bahan lama yang tidak langsung berasal dari kata-kata Nabi, tetapi berasal dari
generasi tokoh-tokoh terkemuka orang Islam yang pertama. Selain itu, lanjut
Goldziher, karena jarak waktu yang cukup jauh tentu kemungkinan terjadi banyak
orang mengatakan suatu perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi, yang seakan
diriwayatkan melalui mata rantai ke belakang sampai kepada tokoh-tokoh
terkemuka paling tinggi yakni Nabi dan sahabatnya. Tujuannya tiada lain yakni
untuk mendapatkan legitimasi dari mereka dan mengesahkan tujuan doktrin teoritis
maupun doktrin praktis.[20]
Goldziher menambahkan, hadis dalam
perkembangannya selain disebabkan konflik antara pemerintah dan para ulama
sebagaimana dipaparkan sebelumnya, faktor lain yang membuat hadis bermunculan
dan lebih semarak dikarenakan pada mulanya di kalangan ulama tidak begitu
memperhatikan keotentikan hadis. Upaya kritik yang dilakukan ulama hanya
sekadar memberikan ketentuan dalam batas tertentu dan terlalu longgar. Akibat
dari itu semua maka banyak sekali hadis-hadis yang seyogyanya tidak dapat
dianggap sebagai suatu peninggalan dari Nabi yang otentik tetap dipaksanakan.
Hadis-hadis semacam ini biasanya berbicara tentang keutamaan sesuatu dan diluar
pembahasan masalah hukum.[21]
Lebih jauh Goldziher melihat bahwa maraknya
pemalsuan hadis juga disebabkan oleh faktor intern umat Islam sendiri.
Menurutnya mayoritas umat Islam ketika masa-masa pemerintahan Bani Umayyah
masih berada dalam ketidaktahuan akan ajaran Islam. Kehidupan umat Islam dalam
menjalani kehidupan ritual keagamaan dan kemasyarakatan masih belum
berlandaskan tuntunan hukum Islam. Bahkan dalam bidang akidah atau keyakinan,
mereka masih banyak yang menyimpang dari ajaran yang sebenarnya. Selain itu
Islam juga menurut Goldziher belum mampu memberikan tuntunan yang nyata bagi
umatnya, berupa aturan hukum yang baku dan sistematis. Sebagai contoh ketika
terjadi peristiwa tentang kewajiban membayar zakat fitrah di bulan ramadhan,
kebanyakan umat Islam di Basrah tidak mengetahui kewajiban itu. Lalu Rasulullah
memerintahkan sekelompok orang Madinah untuk memberi informasi akan hal
tersebut[22]
Setelah Nabi saw wafat, Islam telah meluas ke
berbagai daerah di semenanjung Arab. Kemudian seiring dengan banyak daerah yang
dikuasai oleh umat Islam maka semakin banyak pula para sahabat Nabi saw yang
ditugaskan untuk menjadi penyebar syariat Islam. Beberapa daerah dimaksud di
antaranya negeri Irak dan Syam secara keseluruhan, di mana kala itu meliputi
beberapa tempat yakni Palestina, Ardan, Syiria, dan Libanon) di tahun 17
Hijriyah. Penaklukan Mesir pada tahun 20 Hijriyah, Persia di tahun 21 Hijriyah,
Daerah Samarkand di tahun 56 Hijriyah, dan Islam sampai ke Andalusia di tahun
93 Hijriyah.[23] Di daerah-daerah taklukan umat Islam itu para sahabat yang menjadi
motor penggerak syiar Islam berpencar menyebarkan ajaran Islam. Orang-orang
yang hidup semasa dengan sahabat itu mendapat pengajaran dan pendidikan tentang
Islam, baik al-Qur’an maupun sunnah Nabi saw.
Hasil dari penyebaran ajaran Islam sejak
sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudahnya dapat dilihat betapa banyak
daerah-daerah menjadi pusat studi Islam, khususnya kajian hadis Nabi. Sebut
saja di antaranya Madinah, Mekkah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghrib dan
Andalusia, Yaman, Jurjani, Quzwain, dan Khurasan.[24] Namun demikian, antara sahabat satu dengan lainnya memang tidak sama
pengetahuannya tentang hadis Nabi. Ada di antara mereka yang lebih banyak dari
yang lain, demikian pula sebaliknya. Di antara mereka ada yang mendatangi yang
lain untuk mendapatkan informasi seputar hadis Nabi. Kegiatan ini berjalan
terus sejak masa sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudahnya. Karena
sesungguhnya perjalanan mencari hadis Nabi telah dimulai sejak masa Nabi masih
hidup.
Berbeda dengan apa yang dicermati oleh Goldziher,
bahwa perjalanan dalam rangka mencari dan mendapatkan hadis itu sebenarnya
bukan semata-mata mendapatkan hadis yang orisinal. Akan tetapi pencarian
tersebut tidak dapat terlepas dari bentuk-bentuk upaya untuk melakukan
pemalsuan hadis. Menurut Goldziher, di dalam mengumpulkan hadis banyak sekali
terjadi penyisipan kalimat (tadlis) yang sebenarnya bukan kata-kata yang
termuat dari suatu hadis melainkan tambahan dari sumber-sumber hadis yakni para
ulama hadis. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri banyak sekali hadis yang
saling bertentangan kandungannya meskipun berbicara tentang suatu masalah. Ini dampak
dari minimnya kritik di antara mereka yang lebih mengedepankan kritik sanad dan
tidak mengena pada sisi matan. [25]
Disebabkan hanya bertumpu pada kritik sanad semata, Goldziher menilai
bahwa apa yang dilakukan oleh para ulama dalam melakukan kritik hadis tidak
maksimal. Di samping hanya menitikberatkan pada kritik sanad, juga bersifat
formal sementara aspek materialnya tidak menjadi sasaran kritik. Kebanyakan
para ulama memberikan penilaian shahih kepada suatu hadis meski hanya selesai
pada tataran sanad, seringkali matan hadis diabaikan dari telaah kritis.[26] Berdasarkan kenyataan ini, menurut Goldziher wajar saja jika terdapat
berbagai pertentangan antara satu matan hadis dengan matan hadis lain. Demikian
halnya tentang redaksi hadis yang banyak sekali bersifat tidak masuk akal dan
bertentangan dengan realitas sejarah, tetap akan dinilai shahih jika para
periwayatnya telah mendapatkan penilaian positif. Padahal jika melihat hasil
penilaian para ulama kritik hadis banyak sekali dijumpai perbedaan dalam
memberikan status periwayat. Seorang periwayat seringkali dijumpai mendapat
penilaian beragam dan saling bertentangan dari para ulama kritik hadis. Hal ini
juga akan membuat semakin sulit untuk menemukan keobyektifan ulama dalam
memberikan penilaian, sebab bisa saja penilaian tersebut bertumpu pada
sisi-sisi sikap antara suka dan tidak suka terhadap seorang periwayat.[27]
Herbert Berg menyitir pandangan Goldziher,
bahwa kritik hadis baru muncul setelah tahun 150 Hijriyah akibat dari maraknya
pemalsuan hadis. Pelaksanaan kritik hadis ini ternyata tidak dapat
menghilangkan kebiasaan dari kalangan muslim yang memalsukan hadis. Salah satu
cara yang mereka lalui adalah dengan membuat suatu redaksi hadis kemudian
menyusun rangkaian sanad yang memuat nama-nama orang terpercaya dan dikenal
oleh para kritikus hadis dengan diakhiri oleh orang-orang yang telah lanjut
usia dengan harapan merekalah yang melakukan kontak langsung dengan Nabi, yakni
kalangan sahabat. Ketika ditelaah dan dikonfirmasi melalui awal kelahiran dan
kelangsungan hidup dari nama-nama orang yang dilibatkan dalam periwayatan hadis
tersebut ada yang berusia lebih dari satu abad, sesuatu yang mengherankan.[28]
Keraguan atas Penulisan Hadis
Pembahasan selanjutnya akan mengungkapkan
pemikiran Goldziher seputar kodifikasi hadis. Istilah kodifikasi ini seringkali
disalah-artikan, baik oleh kalangan pemikir Barat ataupun pemikir muslim yang
ikut-ikutan dalam meramaikan pembicaraan tentang kodifikasi hadis. Di antara
para pemikir tersebut ada yang menganggap bahwa kodifikasi hadis bermakna
penulisan hadis. Sementara ungkapan kodifikasi hadis ini sering dinisbatkan
kepada peran az-Zuhri yang merupakan orang pertama melakukan kodifikasi hadis
atas intruksi khalifah Umar bin Abdul Aziz. Padahal umar bin Abdul Aziz
memberikan intruksi tersebut di akhir abad pertama dan memasuki abad kedua
Hijriyah. Dampak dari semua ini muncul pemikiran bahwa hadis baru ditulis di
akhir abad pertama, sementara masa-masa sebelumnya hanya disampaikan dari
kalangan sesama muslim melalui lisan saja. Jika ini yang terjadi maka
keotentikannya memang patut diragukan, sebab kekuatan daya hafal tentu tidak
akan bertahan lama. Wajar jika di sana sini terdapat berbagai redaksi hadis
yang saling bertentangan dan tidak masuk akal, ini disebabkan karena model
penjagaannya hanya bertumpu pada hafalan. Padahal menurut Azami, ada beberapa
istilah yang perlu mendapat perhatian terkait kodifikasi, yakni tadwin,
tashnif, dan kitabah, sementara masing-masing kata tersebut memiliki
kekhususan arti sendiri.[29]
Goldziher tampak sepakat dengan pandangan
sementara pemikir muslim yang menyatakan bahwa penulisan hadis telah dilakukan
sejak generasi pertama Islam. Bentuk dari hasil penulisan tersebut adanya
naskah-naskah yang dinisbahkan kepada beberapa sahabat yang disebut shahifah.
Kesepakatan Goldziher terletak pada pengakuan adanya naskah-naskah tersebut
yang memuat hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi. Akan tetapi penulis awal
dari naskah tersebut menjadi sesuatu yang perlu diragukan, apakah memang para
sahabat itu yang melakukan penulisan ataukah orang-orang yang datang sesudahnya
lalu untuk mendapatkan legitimasi naskah itu dinisbatkan kepada diri sahabat.
Tidak bisa dipungkiri, demikian Goldziher menambahkan, bahwa generasi awal
Islam telah melakukan pemeliharaan terhadap peninggalan-peninggalan Nabi, baik
al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Tetapi hanya bersifat lisan semata, jika ada
bukti tulisan yang memuat tentang hadis kemungkinan buatan orang yang hidup
sesudah mereka.[30]
Sedangkan pengoleksian atau kodifikasi hadis
menurut Goldziher bukanlah dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz yang
memerintahkan az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis ke dalam satu buku, melainkan
pada akhir abad kedua Hijriyah tepatnya masa Malik bin Anas (w. 179/795M). pada
masa ini pengoleksian hadis telah mengambil bentuknya dalam bidang fikih
sebagai printis dari lahirnya karya-karya hadis. Goldziher menilai bahwa sosok
az-Zuhri sebagai seorang ulama yang telah dipaksa oleh penguasa (Bani Umayyah)
untuk membuat hadis-hadis yang dapat mengukuhkan keberadaan mereka. Hadis-hadis
tersebut memuat persetujuan-persetujuan Nabi atas keputusan yang telah
ditetapkan oleh penguasa saat itu. Jika dalam pembahasan sebelumnya telah
dipaparkan bagaimana sengitnya pertentangan antara penguasa dengan para ulama
dan berdampak pada munculnya pemalsuan hadis, justru az-Zuhri adalah orang yang
mau bekerja sama dengan pemerintah. Menurut Goldziher, tidak jarang az-Zuhri
datang ke istana untuk menghadap khalifah dalam kaitannya dengan pembicaraan
masalah hadis Nabi.[31]
Menurut Goldziher, pengoleksian hadis dalam
bentuk fikih sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang mengharapkan adanya suatu
buku yang memuat tentang tuntunan Nabi dalam dalam bidang hukum dan
keagamaan. Maka Malik bin Anas mencoba
menyusun kitab muwatha’ sebagai jawaban dari persoalan dan permintaan
masyarakat ketika itu.[32] Menurutnya, bentuk pengoleksian hadis pada masa ini menggunakan dua
metode yakni musnad; suatu kompilasi hadis yang disusun berdasarkan
urutan nama-nama periwayatnya, dan mushannaf; suatu kompilasi hadis yang
disusun berdasarkan topik atau tema bahasan. Dari kedua metode yang digunakan,
tampaknya metode mushannaf lebih banyak diminati oleh para ulama seperti
kutub as-sittah.[33] Bagaimanapun, Goldziher mengakui keberhasilan umat Islam dalam menyusun
kitab-kitab hadis yang merupakan hasil upaya kritik hadis yang dilakukan para
ulama terwujud dalam kutub as-Sittah. Termasuk Malik bin Anas dengan
kitab muwatha’nya yang memuat hadis-hadis fikih secara sistematis.
Meskipun menurut Goldziher kandungan di dalam kitab Malik bin Anas tersebut
tidak lain memuat tradisi kebiasaan masyarakat Madinah, sebagai tempat
munculnya sunnah.[34]
Dari beberapa uraian tentang pandangan
Goldziher tentang hadis dapat dilihat corak pemikiran Goldziher yang menganut
paham skeptis akan keberadaan hadis. Meski beberapa kali Goldziher mengakui
bahwa praktek keagamaan yang dilakukan oleh umat Islam didasarkan pada hadis
Nabi, namun di sisi lain Goldziher tetap meragukan keotentikan hadis sebelum
memang benar-benar terbukti bahwa hadis itu berasal dari Nabi. Keraguan akan
keotentikan hadis yang dimunculkan Goldziher ini mendapat dukungan oleh Joseph
Schacht, bahkan Schacht pada gilirannya menjadi salah seorang yang
mengembangkan teori dan tesis yang dimunculkan oleh Goldziher.[35] Selanjutnya akan dipaparkan pandangan dan pemikiran Schacht dalam
kajian hadis yang mengkiblat kepada pandangan Goldziher.
Kritik Azami atas Pemikiran Goldziher
Bantahan Azami terhadap
pemikiran hadis Barat, khususnya Goldziher dan Schacht, paling tidak melalui
dua langkah utama; pertama, menelaah dan membantah argumentasi pemikiran
para orientalis yang ada, dan kedua, mengkritisi keakuratan sumber
literatur yang menjadi landasan teori dan pandangan mereka.[36] Azami seringkali mengklaim bahwa sarjana Barat, khususnya Schacht tidak
konsisten dalam metode dan materi sumber, berlandaskan asumsi salah dalam
penelitian, dan kesalahan dalam memahami ungkapan ulama terdahulu.[37] Berikut ini akan diuraikan kritik Azami atas pemikiran Goldziher dan
Schacht tentang hadis.
Asal-Usul
Hadis
Untuk mengurai bantahan Azami atas teori dan pemikiran Hadis para
orientalis, berikut ini akan diawali dengan bantahan yang dikemukakan Azami
adalah terkait makna hadis yang dipahami para orientalis, Goldziher. Menurut
Azami terdapat kesalahan di dalam memahami makna Sunnah dan hadis dalam
pandangan mereka. Dalam suatu kesempatan Goldziher mengatakan bahwa sebelum Islam kemudian diadopsi oleh
orang-orang Islam.[38]
Menurut Azami pandangan Goldziher ini tidak berdasarkan argumen yang dapat
dipercaya sama sekali dan bertentangan dengan dalil-dalil yang ada. Tradisi
yang berkembang dalam dunia Islam dan dilakukan oleh kalangan muslim sebenarnya
tidak dapat lepas dari tradisi kebiasaan orang-orang sebelum Islam datang. Akan
tetapi bukan berarti bahwa nilai-nilai ajaran yang ada di dalam Islam semuanya
mengadop dan meniru orang-orang yang hidup sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan
perilaku yang dilakukan Nabi saw dan umat Islam juga sama dengan
kebiasaan-kebiasaan orang yang ada masa sebelumnya, tetapi hal ini tidak
berlaku dalam masalah hukum dan keyakinan.
Menurut Azami, Kata sunnah memang berasal dari bahasa Arab dan telah
dipakai sejak masa pra-Islam. Kata tersebut diartikan secara bahasa sebagai
tata cara, perilaku hidup, syariah, dan jalan hidup, terpuji atau tercela.[39]
Kata sunnah ini dapat ditemukan di berbagai syair Arab pra-Islam maupun sesudah
masa Islam.[40] Sunnah tidak dapat diartikan kepada makna lain selain beberapa makna
tersebut. Jika kaum jahiliyah dan animis menggunakan istilah sunnah tentu hal
tersebut wajar sebab kata sunnah adalah bagian dari bahasa Arab sedangkan
mereka juga menggunakan bahasa yang sama. Akan tetapi penggunaan bahasa itu
hanya sebatas pada arti etimologis (harfiyah), sedangkan penyandaran kata
sunnah kepada Nabi saw berarti tradisi yang dibangun oleh Nabi saw dan diikuti
oleh umat Islam. Goldziher dan Schacht dipandang oleh Azami terjebak dalam
memahami makna sunnah sebagai masalah yang ideal dan norma yang disepakati
masyarakat.[41] Jadi sunnah Nabi saw lepas dari aturan dan tradisi orang-orang
pra-Islam.[42] Azami menegaskan, tradisi kebiasaan dan perilaku kehidupan Nabi saw
jauh berbeda dengan sunnah yang dilakukan orang-orang jahiliyah dan animis.
Sedangkan tradisi Nabi saw tersebut tidak dibangun atas dasar mengadopsi
tradisi sebelumnya, bahkan Nabi saw berupaya merubah dan menghindari tradisi
kebiasaan yang salah. Meski ada pula tradisi yang diikuti tetapi tidak berkisar
pada masalahan hukum dan kebiasaan yang menyimpang dari doktrin Islam.[43]
Azami menyangkal sunnah
diartikan dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Islam, kemudian dalam
perkembangannya dirujukkan hanya kepada tradisi yang dibangun dari Nabi. Sebab
jika demikian, berarti sunnah Nabi tiada lain adalah merupakan tradisi
masyarakat Islam lalu dikhususkan penamaannya untuk sunnah Nabi. Sunnah Nabi
adalah perilaku dan teladan Nabi dalam menjalankan syari’at Islam. Adapun
kalangan umat Islam, baik sejak masa sahabat, tabi’in dan umat Islam lain jika
mencontoh tradisi Nabi maka itu adalah suatu kewajiban.[44] Azami melihat terdapat kesalahan dalam pandangan Margoliouth, demikian
pula Goldziher. Kesalahan mereka dalam memahami kata sunnah seringkali
terkungkung kepada makna literer, sunnah berarti tradisi, kebiasaan hidup yang
ada. Berangkat dari pemahaman literer ini lalu digeneralisasikan termasuk
sunnah Nabi tiada beda dengan sunnah orang lain, bahkan sebelum Islam datang.[45] Sunnah Nabi itu benar-benar dari perilaku dan kebiasaan yang dibangun
atas dasar bimbingan wahyu, sementara umat Islam memang diperintahkan untuk
mengikutinya. Adapun kebiasaan sahabat setelah sepeninggal Nabi, jika
bertentangan dengan sunnah Nabi tentu sunnah Nabi yang lebih didahulukan. Hal
ini pernah digambarkan oleh Ibnu Umar yang memberi pertimbangan keutamaan untuk
mendahulukan sunnah Nabi dari sunnah Umar. Sebab kewajiban yang mesti diikuti
adalah sunnah Nabi, bukan sunnah yang lain.[46]
Azami menggarisbawahi
bahwa sunnah secara bahasa memang berarti tata cara, tradisi, dan perilaku
hidup, baik itu bersifat positif ataupun negatif. Definisi ini juga
dipergunakan dalam Islam untuk merujuk makna yang sama, lalu dalam
perkembangannya, kata tersebut diperuntukkan hanya untuk merujuk kepada tata
cara Nabi saw.[47] Meskipun kalangan bangsa Arab tetap menggunakan istilah sunnah ini
dalam arti sempit, yakni tata cara, kebiasaan, dan tradisi. Ini bukan berarti
penggunaan kata sunnah merujuk kepada makna yang biasa digunakan masyarakat
Arab, apalagi merujuk kepada penggunaan masyarakat Arab jahiliyah. Dengan
demikian, kata sunnah dipakai untuk menunjukkan tata cara Nabi saw dalam
perkembangannya, seringkali dibubuhi awalan “al” untuk membedakan antara sunnah
Nabi dengan sunnah-sunnah yang lain. Masyarakat Islam sejak dahulu tidak pernah
menggunakannya untuk arti “kebiasaan masyarakat” tetapi berpulang kepada diri
Nabi saw.[48]
Periwayatan
dan Penulisan Hadis
Terkait dengan pandangan Goldziher mengenai perkembangan hadis di
masa-masa selanjutnya, di mana disebutkan bahwa hadis dari hari ke hari
jumlahnya semakin membengkak dan ini merupakan rekayasa umat Islam untuk
menyebarkan ajaran Islam dan kemudian disandarkan kepada orang-orang sebelumnya
sampai kepada diri Nabi. Ini terjadi sebab tidak adanya periwayatan melalui
tulis-menulis sehingga sulit mencari riwayat yang akurat dan orisinal.[49] Lebih nyata lagi setelah adanya pertentangan politik antara penguasa
Bani Umayyah dengan kalangan ulama. Demikian pula masa khalifah Bani Abbasiyah
yang mengadakan konfrontasi dengan kalangan aliran fiqih klasik. Masing-masing
kelompok menurut Goldziher telah berkontribusi memunculkan hadis-hadis palsu.[50]
Untuk menanggapi pandangan Goldziher di atas, perlu
kiranya menelaah proses periwayatan hadis kepada kalangan sahabat dan tabi’in,
sebagian mereka ada yang melalui lisan, dan adapula melalui proses tulis
menulis. Azami menyebutkan terdapat enam puluh orang sahabat yang menjadi
’sekretaris’ Nabi.[51] Jumlah
tersebut dikelompokkan secara umum kepada kelompok Quraisy Muhajirin, Bani
Tsaqif, dan Anshar. Dalam menjelaskan lebih detail, Azami menyetujui pembagian
yang dilakukan oleh al-Baqilani kepada empat kelompok; 1) yakni mereka yang
diketahui sebagai sekretaris Nabi; 2) sahabat Nabi yang dikenal mampu
tulis-baca; 3) sahabat Nabi yang tidak ada keterangan yang jelasbahwa mereka
mampu tulis-baca; dan 4) mereka yang tidak ditemukan dalam kumpulan kitab
biografi sahabat.[52]
Masing-masing sekretaris itu jika dilihat dari sisi intensitas menulis untuk
Nabi tentu memiliki perbedaan. Sehingga Azami mengelompokkan mereka kepada tiga
kelompok; pertama, kelompok yang memang dikenal sebagai sekretaris Nabi,
seperti Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Zaid bin Tsabit dan lainnya. Kedua,
mereka yang dikenal sebagai sekretaris tetapi frekuensi menulisnya lebih rendah
dari pertama. Di antara mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab,
Abu Ayyub al-Anshari dan lainnya. Ketiga, kelompok sahabat yang
tercantum dalam kitab al-Watsa’iqus Siyasiyyah dan kitab lain tetapi
Azami tidak menemukan ketegasan bahwa mereka sekretaris Nabi.[53]
Pengelompokkan sekretaris Nabi di atas dapat dijadikan
hujjah untuk membantah pandangan Goldziher akan ketiadaan umat Islam awal yang
pandai menulis hadis. akan tetapi jika ditelaah pengelompokkan tersebut agak
dipaksakan. Di mana Azami memasukkan sahabat ke dalamnya tetapi dirinya sendiri
mengakui bahwa itu tidak berdasarkan informasi yang akurat dan pasti. Berbeda
dengan al-Mas’udi dalam kitab at-Tabih wa al-Isyraf yang dirujuk Azami
sebagai pembanding atas dasar pengelompokkan sekretaris Nabi yang dilakukannya.
Seraya mengkritik metode yang dilalui oleh al-Mas’udi yang hanya memasukkan
sahabat sebagai sekretaris Nabi jika intensitas menulis untuk Nabi cukup
banyak. Jalan yang dilalui Azami dalam mengkategorikan sahabat sebagai
sekretaris Nabi tanpa memperhatikan intensitasnya.[54]
Inti uraian tentang sekretaris Nabi tersebut tentu tidak
terpaku kepada jumlah sahabat yang menjadi sekretaris Nabi, tetapi untuk
membantah pandangan Barat, khususnya Goldziher sebagaimana di atas. Menurut Ali
Mustafa Yakub, sebab meski bangsa Arab masa Jahiliyah dan awal Islam dapat
dikategorikan sebagai bangsa ’Ummi’ tentu bukan berarti semuanya tidak
ada yang pandai tulis-baca. [55] Asumsi
ini akan terbantah dengan adanya syair-syair yang ada baik sejak masa jahiliyah
maupun awal kedatangan Islam. Selain itu Azami meminjam istilah Ibnu Sa’ad,
terdapat ungkapan ”minal kamilin” (di antara orang-orang yang sempurna)
pada masa jahiliyah dan permulaan Islam salah satunya adalah orang yang dikenal
mampu menulis Arab, selain berenang dan permainan panah. Sehingga ketika Islam
datang, bangsa Arab hanya sekitar tujuh belas orang saja yang pandai menulis.
Berkat usaha Nabi saw yang memerintahkan belajar tulis-baca, tidak lama banyak
sahabat yang pandai menulis mencapai enam puluhan sahabat.[56]
Di antara penyebaran hadis melalui tulisan dapat
dikategorikan di sini adalah surat-surat Nabi yang dikirim untuk para raja,
penguasa, kepala suku, dan gubernur muslim yang ada. Selain juga
catatan-catatan khusus untuk para sahabat, seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Amr bin Ash, dan Abu Syah.[57] Azami
menyebut Abu Hurairah yang dikenal salah satu sahabat yang banyak memiliki
riwayat hadis juga memiliki buku yang memuat catatan hadis dan diberikan kepada
para muridnya. Anas bin Malik memberikan catatan-catatan hadis kepada enam
belas orang, Aisyah setidaknya memberikan catatan hadis kepada tiga orang,
termasuk keponakannya sendiri yakni Urwah seorang tabi’in, dan masih banyak
lagi sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis dan memberikannya kepada para
muridnya dalam bentuk tertulis.[58]
Sebagaimana
dimaklumi, perhatian sahabat terhadap ajaran Islam yang mereka peroleh dari
Rasulullah amat serius. Keseriusan ini terlihat dengan semangat mereka dalam
mengikuti pelajaran Rasulullah. Kadangkala Rasul berada di atas mimbar, atau
duduk di antara lingkaran (halaqah) sahabat untuk mengajarkan hal-hal
penting masalah agama.[59]
Jumlah sahabat yang ikut pengajaran Nabi saw tidak mesti sesuai dengan
kesempatan mereka mengikutinya. Azami menyebut, jumlah kalangan sahabat yang
ikut menggali ilmu terkadang mencapai enam puluh orang. Hadis yang mereka
terima tidak serta merta mereka hafalkan tetapi seringkali didiskusikan setelah
proses penyampaian dari Nabi saw untuk memantapkan pemahaman mereka. Sehingga
para sahabat banyak menghafal hadis ketika Nabi saw masih hidup.[60]
Upaya menjaga keakuratan hafalan, para sahabat adakalanya
memperdengarkannya di hadapan Nabi saw. Keseriusan ini terlihat dari pengalaman
seseorang yang diutus oleh Abdul al-Qais pada saat menghadap Nabi saw mendapat
antrean untuk diperiksa hafalannya. Kritik Nabi saw atas hafalan para sahabat
seringkali menjadi pengingat akan kesalahan mereka.[61] Seiring
dengan kesibukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, para sahabat mengatur
kehadiran mereka untuk mengikuti pengajaran Nabi saw. Adakalanya sebagian hadir
sementara yang lain menjalani rutinitas keseharian. Sepulang dari kehadiran
majlis Nabi saw informasi yang didapatkan kemudian disampaikan kepada yang
tidak hadir. Umar bin Khattab dan ’Itban bin Malik sebagai contoh yang
mempraktekkan metode ini. [62]
Untuk
menjaga hadis, hafalan memang menjadi cara utama di kalangan sahabat, di antara
mereka saling mengingatkan agar apa yang mereka terima dari pengajaran Nabi
jangan sampai hilang begitu saja tanpa ada upaya menjaganya. Ibnu Abbas dikenal
sebagai orang yang rajin memberi motivasi kepada sesamanya. Demikian pula yang
lain seperti Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Ali bin Abi Thalib.[63] Sahabat
selalu merujuk kepada Nabi saw tentang apa yang mereka hajatkan, semuanya
ditanyakan kepadanya untuk mendapatkan jawaban. Perhatian Nabi saw kepada umat
Islam kala itu tidak hanya terbatas kepada kaum lelaki, tetapi juga terhadap
perempuan. Untuk para muslimat ini disediakan waktu tertentu guna memberi
pengajaran tenang ajaran Islam. ’Aisyah adalah salah seorang muslimat yang
paling banyak menerima informasi dan pelajaran darinya.[64]
Anjuran
untuk menjaga keberadaan hadis tidak hanya sebatas menghafal atau menyimpannya
dalam bentuk tulisan, tetapi menyampaikan kepada orang yang ada di
sekelilingnya. Banyak ditemukan informasi betapa besar minat umat Islam kala
itu terhadap peninggalan nabinya, khususnya hadis-hadis Nabi saw yang memang
memuat berbagai masalah keagamaan sebagai penjelas kandungan al-Qur’an. Para
khalifah yang empat dan beberapa sahabat banyak mendapatkan informasi hadis,
misalnya Abdullah bin Mas’ud. Ibnu Mas’ud ini membiasakan berada bersama Nabi
untuk mendapatkan pelajaran tentang Islam.[65] Ibnu
Mas’ud memiliki catatan hadis yang disebut ash-Shahifah, di dalamnya
memuat seribu hadis. Terdapat beberapa shahifah sejenis yang dimiliki
oleh beberapa sahabat, seperti Sa’d bin ’Ubadah al-Anshari, Samrah bin Jundub,
Jabir bin Abdullah al-Anshari, Anas bin Malik, dan Hammam bin Munabih. Shahifah
Hammam disebut dengan ash-Shahifah ash-Shahihah yang memuat riwayat
hadis dari Abu Hurairah.[66]
Pada
perkembangan selanjutnya banyak bermunculan shahifah-shahifah yang memuat hadis
Nabi di abad ketiga Hijrah. Abu Hasan an-Nadwi pernah berpandangan shahifah-shahifah
tersebut merupakan sumber-sumber utama kitab hadis di abad ketiga Hijrah dalam
bentuk kitab Jawami’, masanid, dan sunan. Akan tetapi berita yang
masyhur terdapat di kalangan umat Islam bahwa hadis baru ditulis dan tercatat
di abad ketiga Hijrah, sementara tadwin hadis baru dimulai di abad kedu Hijrah.[67] Ada dua
faktor utama munculnya pendapat tersebut, pertama ahli sejarah hanya
mendasarkan pandangannya terkait tadwin hadis di abad ketiga tanpa menyebut
shahifah-shahifah dan kumpulan-kumpulan tulisan yang telah ada pada abad
pertama Hijrah. Kedua, ahli hadis tidak menyebutkan adanya kitab-kitab
hadis yang banyak dan tebal-tebal merupakan hasil himpunan hadis yang berasal
dari lemabran-lembaran kecil dan catatan-catatan yang berserakan sejak abad
pertama hijrah.[68]
Hal
senada diungkapkan oleh al-Kailani yang menyitir pandangan sementara umat Islam
yang kurang memperhatikan asal-usul hadis. Bagaimana mungkin para tokoh hadis
seperti Ahmad bin Hanbal yang mencantumkan dalam Musnadnya sejumlah tujuh ratus
ribu hadis, al-Bukhari hafal seratus ribu hadis dhoif, dan seratus ribu hadis
shahih. Atau Muslim bin Hajjaj yang memuat dalam kitab Shahihnya sekitar
tiga ribu hadis tanpa menyebutkan asal sumber di mana mereka mendapatkan hadis.
Di sinilah terdapat keterputusan informasi, sesungguhnya mereka hafal dan
memiliki hadis tidak lain bersumber dari kesaksian orang-orang sebelumnya yakni
sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.[69]
Banyak
kalangan tabi’in yang kemudian menjadi tokoh kenamaan di bidang hadis, selain
mereka menghafal hadis, juga sebagian mereka ada yang mengoleksi hadis dalam
bentuk tulisan. Aktifitas menghafal dilakukan dalam berbagai kesempatan, Azami
menukil riwayat yang mengisahkan betapa keseriusan Ibnu Syihab az-Zuhri dalam
menghafal hadis. Az-Zuhri seringkali terjaga malam sampai datang waktu subuh
untuk menghafal hadis.[70] Masa
sahabat dapat dikategorikan sebagai masa awal periwayatan hadis, meski dikenal
juga sebagai masa penyedikitan dan cukup selektif terhadap hal tersebut. Abu
Bakar dan Umar bin Khattab adalah nama-nama yang mempelopori penyebaran hadis
di kalangan sahabat. Tingkat kehati-hatian mereka dalam hal menerima suatu
hadis amat ketat, sebabnya ialah adanya kekhawatiran tercampur dengan al-Qur’an
dan umat Islam akhirnya akan meninggalkan Kitabullah karena sibuk dengan hadis.[71]
Keseriusan
sahabat menghafal hadis menjadi sebuah kebiasaan yang ada di kalangan mereka.
Pengkajian dan penyampaian hadis dan semua yang terkait dengannya dalam kajian
keislaman awal seringkali menggunakan istilah ilmu (al-’ilm). Banyak
sekali literatur yang mengungkap proses penyebaran ilmu (hadis) di masa sahabat
dan tabi’in. Metode yang mereka pergunakan pada saat pengajaran atau
mentransfer hadis kepada orang lain adakalanya bertumpu pada lisan, mendiktekan
kepada sang murid, atau membacakan hadis dari suatu kitab.[72]
Proses
pembelajaran hadis ini adakalanya sang murid tinggal bersama sang guru dalam
waktu yang lama. Masa-masa bersama guru itulah terjadi proses transfer ilmu
dari sang guru kepada murid. Dalam istilah ilmu hadis, sang murid yang
meriwayatkan hadis dari sang guru seringkali disebut para periwayat (rawi) dan
kawan-kawan (ashab).[73]
penyampaian hadis melalui tulisan juga telah terjadi, bahan tulisan tersebut
adakalanya memang milik sang guru, atau milik orang lain yang ia miliki
(biasanya kitab tersebut milik gurunya terdahulu), atau bahkan terjadi pula
sang murid membawa suatu kitab berisi hadis lalu dibaca di hadapan guru,
sementara sang guru memperhatikan bacaannya. Azami memberi catatan dalam hal
sang guru membacakan hadis yang berasal dari kitab orang lain (gurunya). Jika
sang guru tidak hati-hati dalam membacakan hadis dan tidak memberi informasi
asal hadis yang dibaca, maka asumsi sang murid menjadikannya sebagai hadis yang
berasal dari kitab sang guru tersebut. Ketelitian dalam penyebaran hadis metode
ini perlu diterapkan karena akan berdampak pada kesalahan si penerima.[74]
Beberapa
metode periwayatan hadis di atas tidak berarti lepas dari kesalahan. Kesalahan
ini muncul dari berbagai metode yang dipakai. Sebab-sebab kesalahan dalam
penerimaan hadis seringkali terjadi kali kurang teliti dalam menulis atau
memperhatikan imla’ sang guru. Selain itu tidak dilakukan pengecekan akan
kebenaran dan keakuratan penulisannya. Untuk mencegah terjadinya kesalahan ini,
para ahli hadis melakukan koreksi atas berbagai catatan yang mereka terima dari
sang guru, para murid biasanya membacakan hasil tulisan yang telah disampaikan
guru, atau memperlihatkannya, atau membandingkan dengan tulisan kawan yang ikut
pengajaran guru.[75]
Proses
belajar para sahabat menurut kebanyakan ulama melalui metode lisan dalam
penyampaiannya. Meski demikian tidak berarti penulisan hadis sama sekali tidak
terjadi. Abu Hurairah mengakui kelebihan Abdullah bin Umar atasnya terkait hal
ini, ia menyadari bahwa dirinya lebih mengutamakan hafalan dalam penyampaian
hadis, berbeda dengan Ibnu Umar, selain berpedoman dengan lisan juga menulis
hadis. Selain Ibnu Umar yang serius dalam menulis riwayat hadis adalah Abdullah
bin Mas’ud dan Zaid bin Tsabit, meski Zaid diberi tugas oleh Nabi untuk menulis
ayat-ayat al-Qur’an di masa turunnya.[76]
Sementara
itu, terdapat nama-nama yang dimunculkan Azami sebagai pelopor kalangan tabi’in
yang gemar memotivasi koleganya untuk tetap fokus dalam menghafal hadis, di
antaranya Ibnu Abi Laila, Abu al-’Aliyah, az-Zuhri, Talq bin Habib, ’Urwah bin
Zubair, dan ’Alqamah. Tradisi ilmiah ini kemudian memunculkan buku-buku yang
memuat kumpulan hadis. Azami mengisyaratkan bahwa kitab hadis yang pertama kali
muncul dari kalangan tabi’in adalah kitab Basyir bin Nahik dan Hammam bin
Munabbih. Keduanya merupakan murid dari Abu Hurairah. [77]
Nabia Abbott senada dengan Azami, penulisan hadis telah
ada sejak masa kehidupan Nabi Muhammad Saw. Ini dilakukan oleh kerabat
dekatnya, atau beberapa sahabat yang memang mampu melakukan tulis menulis saat
itu. Termasuk oleh beberapa sekretaris yang diangkat oleh Nabi saw untuk
menulis al-Qur’an. Manakala tugas penulisan al-Qur’an selesai, mereka merekam
perkataan dan perbuatan Nabi saw dalam tulisan atas inisiatif mereka sendiri
dan untuk kepentingan mereka.[78]
Sepeninggal Nabi kegiatan penyebaran hadis Nabi Saw terus berlangsung. Azami
menyayangkan pendapat beberapa ulama terkenal seperti Ibnu Hajar yang
menyatakan bahwa penulisan hadis untuk pertama kalinya baru dilakukan oleh
az-Zuhri yang hidup diujung akhir abad pertama Hijrah, kebanyakan sahabat dan
tabi’in tidak menulis hadis, mereka lebih mengutamakan halafan.[79]
Sekelompok orientalis dengan senang menerima pendapat ini dan menyandarkan dengan
ungkapan bahwa ulama Islam sendiri yang menyatakan demikian. Beberapa tokoh
orientalis dimaksud misalnya Muir seraya memberi komentar buku kumpulan hadis
belum pernah ada sebelum pertengahan abad kedua yang dipercaya.[80]
Azami bersikukuh pada pandangannya bahwa dalam penyebaran
hadis tidak hanya menggunakan metode lisan tetapi juga tulisan. Alasan yang
digunakan untuk membangun teori dan pandangannya ini, Azami memberi koreksi
bahwa kebanyakan ulama hanya menerima pendapat yang mayoritas beredar dan yang
diketahui. Padahal jika ditelaah lebih jauh terdapat informasi yang membeberkan
banyak penulis hadis baik dari kalangan sahabat maupun generasi sesudahnya yang
serius dalam penulisan hadis. Khususnya terbawa perdebatan dari adanya hadis
yang melarang dan membolehkan menulis hadis.[81]
Kritik Azami atas pandangan Ibnu Hajar yang ikut
meramaikan adanya larangan dalam menulis hadis yang terdapat dalam Fath
al-Bari menurutnya bermuara pada tiga faktor; pertama, kebanyakan sahabat
tidak dapat menulis; kedua, kekuatan hafalan dan kecerdasan mereka cukup untuk
menjaga keutuhan hadis, sementara menulis hadis dipandang kurang diperlukan,
dan ketiga, adanya larangan untuk menulis hadis karena adanya kekhawatiran Nabi
saw akan tercampur dengan al-Qur’an.[82]
Singkatnya bahwa jumlah hadis yang menjelaskan kebolehan menulis hadis oleh
Nabi saw lebih banyak dari hadis yang melarang. Hadis yang membolehkan itu
menasakh hadis-hadis yang melarang bentuk penulisan hadis. Proses transmisi
hadis berlangsung seiring dengan perkembangan jumlah umat Islam dan minat
mereka terhadap hadis. Di masa selanjutnya, kodifikasi hadis dilakukan dengan
fase-fase berbeda dan menghasilkan kitab-kitab monumental memuat hadis-hadis
Nabi saw.
Sebagaimana
dipaparkan di atas, proses kodifikasi hadis sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak
awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para
sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi
dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan
dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa
Rasulullah.[83] Sementara
itu, perhatian terhadap hadis tidaklah demikian. Penulisan dan pencatatan hadis
baru dilakukan orang-perorang kalangan sahabat demi kebutuhan dan kepentingan
mereka masing-masing.[84] Upaya kodifikasi
hadis secara resmi memang baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang
relatif jauh dari masa Rasulullah saw.
Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan
otentisitas hadis. Disebabkan lamanya
tenggang waktu antara Rasulullah dengan masa pembukuan hadis ini, menjadikan
hadis sebagai sasaran empuk bagi orang yang tidak senang dengan agama Islam,
khususnya oleh sarjana orientalis yang ingin menginginkan agar umat Islam tidak
percaya kepada hadis, atau paling tidak membuat umat Islam meragukan sumber
hukum Islam yang kedua itu dari hasil penelitian yang mereka lakukan. G.
Schoeler (Jerman) menyebutkan,[85] isu yang menjadi perdebatan utama adalah
pengumpulan hadis dan penyusunannya ke dalam sebuah buku. Ini berawal dari
kesimpangsiuran informasi dan pandangan penggunaan isnad dalam riwayat, serta
transmisi hadis melalui lisan atau juga tulisan.
Istilah
kodifikasi ini sering diidentikan dengan kata Arab kitabah, tadwīn, tashnif.
Sebagian mereka ada yang menyamakan kata-kata tersebut kepada upaya
penghimpunan hadis ke dalam suatu kitab. Jika hal ini yang terjadi tentu
pemahaman di atas akan mereduksi beberapa makna yang terkandung di dalam
masing-masing kata yang ada. Padahal kata-kata tersebut memiliki kandungan arti
yang berbeda, meski dalam batasan tertentu memiliki kesamaan. Menurut telaah
Azami, banyak bermunculan pemahaman kepada istilah kitabah, tashnif, dan
tadwin yang tidak tepat, ini berakibat kepada kesalahan dalam memahami
tentang penulisan hadis.[86]
Tujuan dari bahasan ini adalah untuk mengomentari pandangan yang menyatakan
bahwa kodifikasi hadis baru dimulai sejak akhir abad pertama Hijrah atas
instruksi Umar bin Abdul Aziz kepada Ibnu Syihab az-Zuhri. Motzki berkomentar,
masa Nabi saw dan sahabat, sedikit sekali –atau bahkan tidak ada—orang
yang menulis hadis, sebab
mereka masih menggunakan
lisan dan mempraktekkan kandungannya.[87]
Kitabah secara
bahasa berasal dari kata kataba, memiliki arti penulisan. Menurut
Ibnu Faris[88], kataba
adalah mengumpulkan sesuatu yang tercerai berai, berserakan ke dalam sesuatu
yang terkumpul (lembaran-lembaran), kemudian kumpulan lembaran tersebut
dijadikan satu disebut kitab. kitabah al-hadis yakni penulisan hadis
dilakukan sejak masa sahabat dan tabiin awal, baik dalam satu lembaran atau
beberapa lembaran, hasilnya disebut shahifah. Fakta sejarah ada beberapa
bukti ditemukannya shahifah-shahifah yang memuat catatan-catatan hadis
dimaksud.[89]
Kata tadwīn
berasal dari kata Arab dawwana, secara bahasa berarti menghimpun, atau
mengumpulkan. Kata masdarnya berarti ”himpunan, kumpulan”[90]. Hal
ini senada dengan apa yang diungkapkan az-Zahranī dalam memberi penjelasan kata
tadwīn yakni mengikat (taqyīd) sesuatu yang terpisah, cerai berai
dan mengumpulkannya ke dalam sebuah dīwan atau buku yang memuat
lembaran-lembaran.[91]
Definisi tersebut menjadi dasar bagi Azami bahwa tadwin tidak mengandung
arti penulisan (kitabah). Memang proses pengumpulan atau penghimpunan
tersebut tidak mungkin meninggalkan kegiatan tulis menulis, tetapi kata tadwin
tidak dimaksudkan untuk makna ”menulis/mencatat” (do not mean writing down).[92] Hal
senada dijelaskan Manna al-Qaththan bahwa tadwin adalah mengumpulkan
lembaran-lembaran yang telah tertulis dan hafalan, disusun secara sistematis
menjadi satu buku.[93]
Al-Baghdadi menjelaskan makna tadwīn dengan menyusun, mendaftar dan
mengumpulkannya ke dalam suatu susunan atau buku (kitab) yang terdiri
dari beberapa lembaran. Tadwīn ini lebih luas dari kata taqyid.[94] Secara
terminologis, istilah tadwīn hadis berarti usaha pengumpulan hadis yang
tertulis dalam bentuk lembaran-lembaran atau yang masih ada dalam hafalan, lalu
menyusun menjadi sebuah buku.[95]
Sedangkan
kata tashnif berasal dari kata shanafa-yashnifu-
tashnifan berarti menyusun atau mengarang. Al-Baghdadi menjelaskan kata tashnif
lebih dalam maknanya dibandingkan dengan tadwīn, yakni menyusun atau
menghimpun sesuatu atas beberapa bagian dan bab tertentu menurut klasifikasinya
[96] tashnif
hadis; penyusunan hadis menurut tema dan kandungan ke dalam
suatu kitab, di dua dekade awal abad kedua hijrah dan terus berkembang dengan
berbagai tehnik, seperti berdasarkan urutan nama-nama periwayat mulai dari
sahabat hingga tabiin (kitab musnad). Perkembangan selanjutnya hadis disusun
berdasarkan kualitas nilai keshahihannya.[97]
Az-Zahranī menyamakan makna tadwin dengan tashnif. [98] Meskipun
dalam kesimpulan selanjutnya ia menjelaskan lebih jauh bahwa tashnif
lebih mendalam artinya selain menghimpun, juga menyusun secara sistematis ke
dalam beberapa bagian dan bab-bab tertentu.[99]
Beberapa
definisi di atas oleh para penulis hadis dan pengarang atau penyusun
kitab-kitab hadis tidak diperdebatkan maknanya, yang jelas mereka menulis,
mengumpulkan, dan menyusunnya menjadi berwujud buku atau kitab. Jika pandangan
di atas dikaitkan dengan tradisi yang berkembang kala itu di Jazirah Arab di
mana mereka lebih mengutamakan daya hafal daripada tulisan tentu masih mudah
untuk mencapai titik lemahnya.[100] Sebab
bagaimanapun kuatnya daya hafal dan ingatan seseorang itu tetap terbatas.
Kebanyakan yang ingin menguasai suatu pengetahuan, pasti ia berupaya
mengumpulkannya ke dalam suatu bentuk simpanan untuk menjaga apa yang ia ingat
dan hafal. Sebab itu untuk menolong kualitas hafalan tentu tetap memerlukan
tali pengikatnya, yakni tulisan. Dengan demikian maka ungkapan tentang orang
Arab dahulu mengutamakan hafalan dalam menjaga tradisi dan budayanya tanpa
diiringi tulisan maka itu amat sulit terjadi.[101] Tulisan
yang tersimpan itulah yang menjaga kekuratan apa yang tersimpan dalam dada.
Rangkaian
masa penulisan hadis di atas didasarkan pada kepercayaan bahwa hadis
diriwayatkan tidak hanya melalui lisan semata, tetapi juga tertulis oleh para
periwayat terpercaya dengan alat yang ada. Berdasarkan pada rangkaian urutan
fase di atas dapat dipahami, az-Zuhri bukanlah orang yang pertama menulis hadis
tetapi telah banyak dilakukan oleh umat Islam sebelumnya.[102]
Pemahaman yang dapat diterima adalah az-Zuhri merupakan orang yang mendapat perintah
dari Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan dokumen-dokumen hadis yang terdapat
dalam berbagai catatan dan ingatan umat Islam kala itu. Kekhawatiran Umar bin
Abdul Aziz akan hilangnya hadis dan wafatnya para ulama membuat muncul inpirasi
untuk memerintahkan az-Zuhri melakukan tugas mulia itu.
Terkait dengan bahasan di atas, Azami melihat daya hafal
tidak membutuhkan tulisan adalah tidak benar. Seseorang yang akan menghafal
sesuatu berawal dari apa yang ia dapati dari tulisan, meski bukan tulisan tangannya
sendiri. Dalam kasus ini bisa dilihat pernyataan al-Khatib al-Baghdadi yang
mengakui bahwa kaum salaf dalam menghafal membutuhkan tulisan, mereka menulis
apa yang akan dihafal meski setelah menghafal tulisan tersebut ada yang dihapus
agar tidak tergantung pada tulisan.[103] Aisyah
sendiri yang hidup semasa dengan Nabi mempunyai kemampuan membaca, tetapi ia
tidak pandai menulis. Untuk membandingkan hal tersebut mari menelaah uraian
Azami yang menyebutkan bangsa Arab jahiliyah melestarikan tradisi dan budaya
seperti syair selain dengan hafalan juga menuliskannya pada sesuatu yang
didapat kala itu. Kalangan Arab jahiliyah dan masa awal Islam memberi penilaian
kepada kemahiran tulis menulis menjadi salah satu unsur kesempurnaan seseorang.
Ibnu Sa’d misalnya, menyatakan kesempurnaan seseorang dalam pandangan Arab
jahiliyah dan muslim awal termasuk kepada kemampuannya menulis, berenang, dan
memanah.[104]
Azami memberi sanggahan
kepada pandangan ulama termasuk Ibnu Hajar yang menyebutkan az-Zuhri adalah
orang yang pertama menulis hadis.[105] Ibnu Hajar sebagaimana ulama
lain berpandangan bahwa kalangan sahabat dan tabiin (salaf ash-shalih)
lebih cenderung menyandarkan pada kekuatan hafalan dalam menjaga hadis daripada
bersandar pada tulisan. Pandangan ini telah
bergulir kepada banyak Sarjana muslim dan menjadi keyakinan kokoh. Muhammad bin
Ja’far al-Kattani juga sependapat bahwa kalangan sahabat dan tabiin hanya
sedikit saja yang menulis hadis.[106] Uraian
senada diungkapkan oleh al-Baghdadi yang mengemukakan pandangan kebanyakan
orang yakni hadis atau istilah yang lebih populer dipergunakan kala itu adalah
“ilmu” disebarluaskan oleh para ulama lebih dari seratus tahun melalui cara
lisan (hafalan) bukan secara tertulis. Al-Baghdadi menambahkan, asumsi tersebut
berlangsung secara terus menerus sampai lima abad lamanya. Asal mula kesalahan
pandangan tersebut adalah karena tidak tepatnya memahami pendapat yang
disinyalir berasal dari Malik bin Anas (92-179 H) yang menyatakan bahwa orang
pertama yang mengumpulkan (tadwīn) ilmu (hadis) adalah Ibnu Syihab
az-Zuhri yang meninggal tahun 124 Hijrah.[107]
Kecenderungan
ini terus berlanjut sampai pada akhir abad pertama hijrah, kala itu Umar bin
Abdul Aziz selaku pemerintah mengkhawatirkan lenyapnya hadis di kalangan umat
Islam dengan meninggalnya para penghafal hadis lalu memerintahkan Abi Bakar
Muhammad bin Hazm untuk menulis sunnah atau hadis.[108] Perintah tersebut sebenarnya
bukan hanya ditujukan kepada Abi Bakar Muhamad bin Hazm, tetapi kepada seluruh
ulama dan mereka yang kapabilitas keilmuan hadis. Akan tetapi sebelum Ibnu Hazm
secara lengkap melaksanakan intruksi tersebut, Umar bin Abdul Aziz telah wafat
terlebih dahulu. Az-Zuhri adalah orang yang berhasil melakukannya di awal abad
kedua hijrah Inilah yang membuat ia disebut sebagai orang yang pertama mengumpulkan
atau mengkodifikasi hadis ke alam satu kitab atau mushaf/catatan khusus.
Az-Zuhri sendiri pernah menyatakan bahwa dirinyalah orang yang pertama kali
melakukan pengumpulan hadis (ilmu) kala itu dan tidak ada orang yang berhasil
melakukannya. Sulaiman bin Daud pernah berkomentar tentang hal ini dan mengakui
bahwa az-Zuhri memang orang yanng pertama kali menyusun hadis (ilmu). Tetapi
bukan berarti ia yang pertama kali menulis hadis, ia hanya mengodifikasi dan
menyusunnya.[109]
Sebenarnya
al-Kattani tidak sepenuhnya menyatakan kalangan salaf ash-shalih sama sekali
tidak melakukan upaya menulis hadis. Ketegasaan ini terlihat dengan
pengecualian yang ia tetapkan, ternyata ada juga sebagian sahabat yang menulis
hadis sebagai koleksi pribadi dan rujukan hukum. Beberapa kitab ash-shadiqah
memuat kumpulan tulisan hadis yang dilakukan oleh beberapa sahabat yang bisa
tulis menulis.[110] Ada sebagian kitab-kitab
tersebut sampai kepada kita, dan ada yang hilang ditelan masa. Penulisan
tersebut adakalanya atas izin Nabi dan ada yang melakukan penulisan atas
inisiatif individu untuk kepentingan diri mereka sendiri. Contoh shahifah milik
Sa’d bin ‘Ubadah al-Anshari, di mana beberapa hadisnya diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi dan al-Bukhari, shahifah milik Samrah bin Jundab (w. 60 H), shahifah
milik Jabir bin Abdullah (w. 78 H), dan shahifah Abdullah bin ‘Amr
ash-Shadiqah[111]
Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash menerangkan, sebagaimana dikutip al-Jaburi bahwa ia memiliki
keinginan untuk menuliskan semua yang ia dengar dari diri Nabi saw dengan
harapan di kemudian hari dapat menghafalnya. Akan tetapi hal itu dilarang oleh
orang banyak (Quraisy) dengan alasan Nabi saw juga seorang manusia yang
memiliki tabiat manusia, yang terkadang marah dan senang. Peristiwa itu
dilaporkannya kepada Nabi saw. Ketika itu Nabi saw langsung memberi tanggapan
yang membolehkan untuk melakukan penulisan karena semua yang diucapkannya
adalah kebenaran.[112] Jawaban Nabi saw yang merupakan lisensi kepada Abdullah bin
‘Amr dapat dijadikan pegangan sekaligus menafikan adanya larangan secara umum
kepada sahabat dalam melakukan penulisan hadis, bahkan pada masa Nabi saw masih
hidup.
Terdapat pernyataan sahabat
dan tabiin hanya mengandalkan hafalan dalam menyebarkan hadis, selain karena
kebiasaan mereka menyandarkan kepada kekuatan hafalan, juga dikarenakan memang
sedikit saja di antara mereka yang mampu menulis. Tetapi tidak demikian halnya
bagi sahabat dan tabiin yang bisa menulis, mereka tetap menjaga dan menyebarkan
hadis berdasarkan hafalan dan tulisan. Ini dapat dilihat dari berbagai metode
periwayatan hadis yang dilalui oleh para ulama termasuk sahabat dan tabiin.[113] Dari beberapa metode
tersebut hampir semuanya terkait dengan menulis atau berdasarkan kitab/tulisan.
Jika demikian tentunya metode periwayatan yang dilalui dalam penyebaran hadis
tidak akan terjadi manakala tidak ada bukti tertulis berupa tulisan hadi atau
kitab hadis.
Banyak kalangan memahami
ungkapan para ulama tentang penyebaran hadis melalui lisan karena bisa saja
kurang tepat di dalam memahami dan komprehensif melihat peryataan ulama
tersebut. Misalnya penyataan al-Kattani yang hanya berhenti pada kalimat:
لا يكتبون
الحديث ولكنهم يؤدونه لفظا ويأخذونه حفظا.
Padahal
al-Kattani belum selesai dalam menggambarkan keadaan sahabat dan tabiin di atas
terkait mereka lebih mengutamakan periwayatan dengan lisan dan hafalan.
Pernyataannya akan lebih lengkap jika melihat kalimat sesudahnya yakni:
الا كتاب
الصدقة وشيئا يسيرا.
Dampak dari pemahaman yang
tidak lengkap tersebut oleh orang-orang yang memiliki kecenderungan dan niat
tidak baik akan ajaran Islam dapat saja menyatakan bahwa memang sahabat dan
tabiin tidak melakukan tulis menulis tentang hadis Nabi saw.[114] Mereka dengan sepihak
mengungkapkan dalil dari hadis Nabi yang melarang untuk menulis hadis yang
bersifat kasuistis lalu digeneralisasikan untuk semua sahabat dan tabiin seraya
menyembunyikan hadis-hadis yang membolehkan menulis hadis dan tidak melihat
fakta sejarah yang menjelaskan adanya bukti tulisan berupa hadis yang ada pada
sebagian sahabat.
Azami melihat jika benar umat
Islam di masa Nabi masih hidup tidak semuanya pandai menulis, tentu tidak
mungkin Nabi memberikan larangan menulis selain al-Qur’an. Logikanya, jika hal
tersebut benar lalu bagaimana al-Qur’an dapat tertulis dan kenyataannya Nabi
memiliki juru tulis (sekretaris) untuk menuliskan al-Qur’an.[115] Hal yang sama juga
diungkapkan al-Baghdadi saat memberi analisa atas pernyataan az-Zuhri sebagai
orang yang pertama menulis hadis. Menurutnya mereka yang sepaham dengan
pandangan di atas berarti tidak menyandingkan dengan adanya larangan Nabi
menulis hadis dan tidak pula memahami kandungannya secara benar.[116] al-Baghdadi mengutip
pandangan Abu Thalib al-Makki yang menyatakan keengganan kalangan tabi’in besar
menulis hadis, tetapi mengutamakan hafalan sampai masa Hasan (w. 110 H) dan
Ibnu al-Musayyab (w. 115 H).[117] Ungkapan senada dinyatakan oleh adz-Dzahabi bahwa sahabat dan
tabi’in mengandalkan kekuatan hafalan dalam dada yang merupakan gudang ilmu
mereka.[118]
Beberapa
ulama menyetujui pandangan tentang kemahiran dan kekuatan hafalan orang Arab di
masa sebelum datangnya Islam. Keadaan ini terus berlangsung turun temurun
sampai masa sahabat dan tabiin. Uraian adz-Dzahabi dan al-Makki di atas bila
disingkronkan dengan tuntunan al-Qur’an yang menganjurkan untuk belajar dan
menuntut ilmu jauh berbeda. Bukankah sejak pertama wahyu diturunkan telah
mengisyaratkan pentingnya membaca. Allah juga jelas-jelas memberikan dorongan
agar umat Islam tidak pergi berperang secara keseluruhan tetapi ada beberapa
orang yang hendaknya memperdalam ilmu agama.[119] Azami melihat pandangan yang
mengemukakan ketiadaan orang Islam yang mampu menulis dan membaca di masa awal
sejarah Islam tidak sepenuhnya benar. Betapa banyak anjuran dan perintah Nabi
saw agar umat Islam belajar menulis dan membaca. Azami mengilustrasikan bahwa
Nabi menyuruh beberapa orang sahabat untuk mengajarkan tulis menulis, di
antaranya ialah ‘Ubadah bin Shamit dan lainnya.[120] Kepedulian Nabi dan
kesadaran sahabat yang mau mengajarkan tulis menulis memberi kejelasan, di masa
awal Islam saja ada yang pandai menulis dan mengajarkannya kepada orang lain.
Brown justeru meragukan keberadaan hadis telah tercatat di masa
Nabi saw. Menurutnya, penulisan secara sistematis
terhadap hadis baru dilakukan pada saat maraknya
konflik perpecahan teologis dan politis dalam dunia Muslim. Konflik ini bahkan
bermula jauh sebelumnya, sejak penghujung kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
sebagai Khalifah keempat pasca terbunuhnya Usman bin Affan. Dalam situasi
fitnah masa-masa selanjutnya, tidak hanya penulisan sistematis terhadap hadis dilakukan, tapi mulai juga dibangun sebuah metodologi (sanad). Metode
ini dianggap dapat diandalkan untuk mendapat kepastian bahwa sebuah hadis benar-benar pernah disampaikan, atau contoh perbuatannya pernah dilakukan sendiri oleh Nabi
Muhammad Saw.[121] Uraian
Brown ini seiring dengan para pendahulunya, Goldziher dan Schacht. Selain
menggarisbawahi keraguan penulisan hadis di masa Nabi, penulisan hadis baru
dilaksanakan sebagai reaksi dari adanya konflik horisontal yang ada di kalangan
umat Islam. Sistem isnad juga dianggap baru ada pada masa setelah fitnah
berlangsung.
Kesimpulan
Goldziher
adalah seorang pakar yang telah jauh menelaah tradisi keilmuan Islam, khususnya
al-Qur’an dan Hadis Nabi. Pemikiran utama goldziher terhadap hadis tidak bisa
dipandang sebelah mata, sebab implikasinya cukup luas terhadap para orientalis
yang concern terhadap studi hadis. Inti pemikiran Goldziher adalah
meragukan keberadaan hadis, sebab asal muasal hadis bukan benar-benar berasal
dari Nabi Muhammad saw. Melainkan dari kebiasaan dan tradisi masyaraakat Islam
masa awal. Tradisi ini agar dapat diterima kemudian disandarkan kepada Nabi
saw. Hadis juga merupakan sesuatu yang adop dari masyarakat luar Islam,
kemudian menjadi tradisi masyarakat muslim. Selain itu hadis pantas diragukan,
sebab masa awal Islam telah nyata banyaknya pemalsuan hadis dari kalangan
muslim sendiri.
Azami tampil sebagai pemikir yang
kontra atas pemikiran orientalis, khususnya Goldziher. Menurut Azami hadis
adalah peninggalan berharga yang berasal dari Nabi Muhammad saw. Keterjagaan
dalam periwayatan dan penulisan hadis dapat diterima dan dipercaya. Berbagai
bukti nyata dapat dilihat, baik dari berbagai riwayat, tulisan sahabat,
tabi’in, dan literatur lain yang mendukungnya. Periwayatan hadis dalam Islam
merupakan kelebihan umat Islam, dan tiada umat lain yang memilikinya. Pemikiran
Goldziher tidak mendasar dan hanya bertumpu pada keraguan semata. Latar
belakang akan kebencian goldziher terhadap Islam cukup dijadikan sebagai tolok
ukur dalam menilai pemikirannya.
Daftar
Pustaka
Abduh
Zulkidar Akaha, Al-Qur’an dan Qira’at, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
1996.
Abi
al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria bin Habib ar-Razi, Maqayis al-Lughah, jilid
ke-5, al-Maktabah asy-Syamilah, Edisi ke-2.
Abu
al-Yaqzhan ‘Athiyah al-Jaburi, Mabahis fi Tadwīn as-Sunnah al-Muthahharah, Beirut:
Dār an-Nadwah al-Jadīdah, tt.
ad-Darimi, Abi Muhammad
Abdullah bin Bahram, Sunan ad-Darimi, jld. I, (Beirut: Dār al-Fikr, 2005.
Ahmad Umar Hasyim, as-Sunnah
an-Nabawiyah wa ‘Ulūmuha, Fajalah: Maktabah Gharib, t.t.
Ahmed Hasan, The Early
Development of Islamic Jurisprudence, edisi ke-1, Delhi, India: Adam
Publishers & Distributors, 1994.
al-Asqalāni, Syihab ad-Dîn
Abi al-Fadl bin Hajar (773-852 H), Fath al-Bāri bi Syarh
al-Bukhāri, jld. I, Kairo: Maktabah Mustafa al-Bābi al-Halabi, 1951
M/1378 H.
Al-Baghdadi, Taqyīd al-Ilmi, ditahqiq oleh
Yusuf al-’Isy, Damaskus: t.tp., 1949.
as-Sakhawi,
Muhammad bin Abdur Rahman, Fath al-Mughīts bi Syarh Alfiyah al-Hadīs lil
Iraqi, juz ke-3, al-Qahirah: Maktabah as-Sunnah, tt.
Gregor Schoeler, The Oral
and The Written in Early Islam, Trans. Uwe Vagepohl, diedit oleh James E.
Montgomery, cet. Ke-1, (London and New York: Routledge Taylor and Franch Group.
H.A.R Gibb & J.H.
Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, London: Luzac & Co, and
Leiden: E.J. Brill, 1961.
Harald Motzki, (ed.)
‘Introduction Hadith: Origins and Developments” dalam The Formation of The
Classical Islamic World, Vol. 28, USA: The Cromwel Press, 2004.
Ignaz Goldziher, Introduction
to Islamic Theology dan Law, terj. Andras dan Ruth Hamori, Princeton:
Princeton University Press, 1981.
Ignaz Goldziher, Muslim
Studies, terj. S.M. Stern & C.R. Barber, London: George Allen & Unwin, 1971.
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah, 2009, cet.
Ke-1.
M.M. Azami, 65 Sekretaris
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, terj. Mahfuzh Hidayat Lukman, cet.
ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2008.
-------, Dirasah fi al-Hadis
an-Nabawi wa Tarikh Tadwīnih, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985.
-------, Studies In Early Hadith
Literature With A Critical Edition of Some Early Tekts, Beirut: Al-Maktab
al-Islami, 1968.
-------, Studies in Hadith
Methodology and Literature, Indianapolis: American Trust Publications,
1977.
Manna’ al-Qaththan, Mabāhis
‘Ulūm al-Hadīs, Kairo: Maktabah Wahbah, 1992.
Muhammad
Abdul Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulūm al-Quran, juz ke-1,
Mesir: Maktabah Isa Al-Babi al Halabi, t.t.
Muhammad
Ajjaj Khatib, Ushūl al-Hadis ‘Ulūmuhu wa Musthalahuh, cet. ke-3,
Beirut: Dār al-Fikr, 1975.
Muhammad
bin Ja’far Al-Kattani, ar-Risalah al-Mustathrafah, cet. Ke-2, Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1400 H.
Muhammad
bin Ja’far al-Kattani, ar-Risālah al-Mustathrafah, cet. Ke-2, Beirut:
Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1400 H.
Muhammad
bin Mathar az-Zahranī, Tadwīn as-Sunnah an-Nabawiyyah, Nasy’atuh wa
Tathawaruh min al-Qarni al-Awwal ila Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, Thaif:
Maktabah ash-Shadiq, 1412H.
Muhammad bin Mukarram bin
Manzhur, Lisan al-‘Arab, jld. Ke-1, Beirut: Dār al-Fikr, t.t..
Muhammad Murtadla al-Husainī al-Wasithī al-Hanafī, Syarh
al-Musammā Tāj al-’Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, Beirut: Dār al-Fikr, tt.,
juz ke-9.
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Tadzkirah
al-Huffādz, jilid ke-1 , Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1963.
Zikri Darussamin, “Studi Atas
Pemikiran Ignaz Goldziher”, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997.
[1] Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Intan Lampung
[2] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj.
S.M. Stern & C.R. Barber, (London: George hal. 19Allen & Unwin, 1971), h. 17-26.
[3] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
19.
[4] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
26-28.
[5] H.A.R Gibb & J.H. Kramers, Shorter
Encyclopaedia of Islam, (London: Luzac & Co, and Leiden: E.J. Brill, 1961),
h. 552.
[6] Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic
Theology dan Law, terj. Andras dan Ruth Hamori, (Princeton: Princeton
University Press, 1981), h.. 37.
[7] Zikri Darussamin, “Studi Atas Pemikiran Ignaz
Goldziher”, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997, h. 61
[8] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
25-32.
[9] Zikri Darussamin, “Studi Atas Pemikiran…, h.
61.
[10] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
17.
[11] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
19.
[12] Ignaz Goldziher, Introduction …, h.
38-39.
[13] H.A.R Gibb & J.H. Kramers, Shorter
Encyclopaedia … h. 116
[14] Ignaz Goldziher, Introduction …, h. 38.
[15] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
18.
[16] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
40-43.
[17] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
97.
[18] Ignaz Goldziher, Introduction…, h. 39.
[19] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
45, 90-96.
[20]Ignaz Goldziher, Introduction …, h. 39.
[21] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
127-150.
[22] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
28, dan 39.
[23] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis
‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), h. 115-116.
[24] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis…, h.
116-135.
[25] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
168.
[26] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
123-130.
[27] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
130-144.
[28] Herber Berg, The Development…, h. 11.
[29] Pembahasan istilah kodifikasi hadis akan
dibahas pada bantahan Azami, yakni subbab periwayatan dan penulisan hadis.
[30] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
82.
[31] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
43-45.
[32] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
97.
[33] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, h.
214.
[34] Ignaz Goldziher, Introduction…, h. 39.
[35] Catatan kaki point c menegaskan Joseph Schacht
adalah orang yang membahas lebih lengkap pandangan Goldziher tentang hadis,
khusus dalam karyanya The The Origins. Ignaz Goldziher, Introduction…, h. 38
[36] Menurut telaah Gusdur, dua rangka besar telaah
Azami atas pemikiran orientalis tersebut dilanjutkan secara detail atas
beberapa pemikiran mereka. Meski demikian Gusdur juga menilai bahwa pekerjaan
Azami masih belum secara komprehensif mematahkan teori dan pemikiran Barat atas
hadis. Hasil kerja Azami hanya menyorot beberapa aspek yang central, sementara
masih banyak pemikiran Barat yang cenderung menyerang hadis dan belum
tersentuh. Lihat Abdurrahman Wahid et.al., “Sumbangan M.M. Azami…, h. 38-46.
[38] Ignaz Goldziher, Introduction.., h. 97.
[39] Azami, Hadis Nabawi, h. 21.
[40] Azami, Hadis Nabawi, h. 14-15.
[41] Schacht sepakat dengan Snouck Hurgronje dalam
memahami sunnah sebagai ‘the sunna of the Prophet, that is, his model
behaviour, the consensus of the orthodox community’ di mana dalam perkembangannya, Schacht juga
sepakat dengan Goldziher dan Margoliouth, dalam memahami konsep sunnah, yakni
model kehidupan Nabi, preseden, jalan hidup, tradisi yang hidup, yang diadop
dari orang animis, norma ideal suatu masyarakat. Lihat Joseph Schacht, The
Origins…, hal. 1, 5, dan 59. Bandingkan dengan Ahmed Hasan, The Early
Development of Islamic Jurisprudence, edisi ke-1, (Delhi, India:
Adam Publishers & Distributors, 1994), h. 91.
[42] Azami, Hadis Nabawi, h. 20.
[43] Azami, Hadis Nabawi, h. 21.
[44] Azami, Hadis Nabawi, h. 25.
[45] Azami, Hadis Nabawi, h. 10, dan h. 21-24.
[46] Azami, Hadis Nabawi, h. 25.
[47] Kritik Azami atas pemikiran Ahmed Hasan yang
cenderung tidak memilah antara sunnah Nabi, sunnah sahabat, sunnah ahli fiqh,
dan lainnya. Sehingga akan terbius seperti uraian Schacht yang menggambarkan perkembangan sunnah dari masa
ke masa sebagai perkembangan sunnah Nabi. Seakan sunnah Nabi belum terbentuk
secara utuh di masa awal Islam dan mengalami bentuk sempurna di masa-masa abad
kedua dan ketiga hijriyah. Lihat Ahmed Hasan, The Early Development…, h.
86-87; Joseph Schacht, The Origins…, h. 1-189 (bab I dan II dalam
bukunya); Azami, Hadis Nabawi, h. 10
[48] Azami, On Schacht’s…, h. 38 dan Azami,
Hadis Nabawi, h. 26. (tej.)
[49] Ignaz Goldziher, Introduction…, h. 43-44.
[50] Ignaz Goldziher, Introduction…, h.
36-38.
[51] Azami tidak konsisten dalam menyebut jumlah sekretaris, meski
ungkapan yang digunakan adalah Nabi paling tidak memiliki 45 juru tulis. Lihat
M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis:
American Trust Publications, 1977), h.
10.
[52] M.M. Azami, 65 Sekretaris Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, terj. Mahfuzh Hidayat Lukman, cet. ke-1, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2008), h. xx-xxv.
[53] M.M. Azami, 65 Sekretaris Nabi…, h.
xxx.
[54] M.M. Azami, 65 Sekretaris Nabi…, h.
xxx-xxi.
[55] Ali Mustafa Yakub “Kata Pengantar” dalam M.M.
Azami, 65 Sekretaris Nabi…h. xiii.
[56] M.M. Azami, 65 Sekretaris Nabi…, h.
1-5.
[59] M.M. Azami, Studies In Early Hadith
Literature With A Critical Edition of Some Early Tekts, (Beirut: Al-Maktab
al-Islami, 1968), h. 183.
[60] Ahmad Umar Hasyim, as-Sunnah an-Nabawiyah
wa ‘Ulūmuha, (Fajalah: Maktabah Gharib, t.t), h. 49.
[61] M.M. Azami, Studies In Early Hadith... hal.
184. Bandingkan dengan M.M. Azami, Dirasah fi al-Hadis…, jld. II, h.
331.
[62] al-Asqalāni, Syihab ad-Dîn Abi al-Fadl bin Hajar
(773-852 H), Fath al-Bāri bi Syarh al-Bukhāri, jld. I,
(Kairo: Maktabah Mustafa al-Bābi al-Halabi, 1951 M/1378 H), h. 167; M.M.
Azami, Studies In Early Hadith... h. 184, khususnya pada catatan kaki
nomor 2 tentang Umar.
[63] M.M. Azami, Studies In Early Hadith... h.
184-185.
[64] Ahmad Umar Hasyim, as-Sunnah…, h. 49
dan 53.
[65] Ibid., h. 50.
[66] Ibid., h. 55.
[67] Ibid., h. 56.
[68] Ibid.
[69] Ibid., h. 56-57.
[70] M.M. Azami, Studies In Early Hadith... h.
184-185.
[71] Ahmad Umar Hasyim, as-Sunnah…, h. 53.
[72] M.M. Azami, Studies In Early Hadith... h.
184-186.
[73]Ibid., h. 188.
[74]Ibid., h. 188-196.
[75] Ibid., h. 197.
[76]ad-Darimi, Abi Muhammad Abdullah bin Bahram, Sunan
ad-Darimi, jld. I, (Beirut: Dār al-Fikr, 2005), h. 92. Al-Asqalani, Fath
al-Bari…, jld. Ke-1, h. 184.
[77] M.M. Azami, Studies In Early Hadith…, h.
185.
[78]Abbott menegaskan penolakan atas adanya
penulisan hadis di awal Islam berseberangan dengan fakta yang ada. Sunnah Nabi
sesungguhnya telah siap ditulis sejak awal masa kenabian. Lihat Nabia Abbott, Studies
in Arabic Literary Papyri..., h. 7.
[79] Lihat
al-Asqalani, Fath al-Bari…, jld. ke-1, h. 146, 178-181.
[80] M.M. Azami, Studies In Early Hadith…, h.
18.
[81] Ibid., h. 19.
[82] Ibid.
[83] Lihat bahasan di atas tentang jumlah
sekretaris Nabi. Liha juga Abduh Zulkidar Akaha, Al-Qur’an dan Qira’at,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), h. 23; Lihat juga Muhammad Abdul Azhim
al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulūm al-Quran, juz ke-1, (Mesir:
Maktabah Isa Al-Babi al Halabi, t.t), h. 246.
[84] M.M. Azami, Studies In Early Hadith…, h.
34-59.
[85] Gregor Schoeler, The Oral and The Written
in Early Islam, Trans. Uwe Vagepohl, diedit oleh James E. Montgomery, cet.
Ke-1, (London and New York: Routledge Taylor and Franch Group, 2006), h. 28.
[86] M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology…,
hal. 27; M.M. Azami, Studies In Early Hadith…, h. 19.
[87] Harald Motzki menganalisa pandangan Alois
Sprenger sebagai berikut; Nevertheless, already during the Prophet’s lifetime,
and then after his death, a few persons wrote hadiths down and Preserved them
in this form, although there was a marked opposition against this practice.
Harald Motzki, (ed.) ‘Introduction Hadith: Origins and Developments” dalam The
Formation of The Classical Islamic World, Vol. 28, (USA: The Cromwel Press,
2004), h. xv.
[88] Abi al-Husain Ahmad bin
Faris bin Zakaria bin Habib ar-Razi, Maqayis al-Lughah, jilid ke-5, h.
158, al-Maktabah asy-Syamilah, Edisi ke-2. Bandingkan dengan Muhammad bin Mukarram bin
Manzhur, Lisan al-‘Arab, jld. Ke-1, (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), h. 698.
[89] Manna’ al-Qaththan, Mabāhis ‘Ulūm al-Hadīs,
(Kairo: Maktabah Wahbah, 1992), h. 33.
[90]
Muhammad Murtadla al-Husainī al-Wasithī al-Hanafī, Syarh al-Musammā Tāj
al-’Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Beirut: Dār al-Fikr, tt.), juz ke-9, h. 304.
[91]
az-Zahranī, Tadwīn as-Sunnah.., h. 74.
[93] al-Qaththan, Mabāhis..., h. 33.
[94]
Al-Baghdadi, Taqyīd al-Ilmi, ditahqiq oleh Yusuf al-’Isy, (Damaskus:
t.tp., 1949), h. 8.
[95]
al-Qaththan, Mabahis…, h. 33.
[96]
Al-Baghdadi, Taqyīd…h. 8.
[97]
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), cet. Ke-1, h.
121. Pendapat ini Amin kutip dari pendapat Fuat Sezgin yang lebih cenderung
meyakini bahwa hadis dapat dipercaya secara historis melalui fase-fase
tersebut.
[98]
Az-Zahrani, Tadwīn..., h. 11.
[99] Ibid.,
h. 74.
[100] M.M. Azami, Studies In Early Hadith... h.
1.
[101] M.M. Azami, Dirasah fi al-Hadis an-Nabawi
wa Tarikh Tadwīnih, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), h. 72.
[102] Muhammad bin Mathar az-Zahranī, Tadwīn
as-Sunnah an-Nabawiyyah, Nasy’atuh wa Tathawaruh min al-Qarni al-Awwal ila
Nihayah al-Qarni at-Tasi’ al-Hijri, (Thaif: Maktabah ash-Shadiq, 1412H), h.
83-85.
[103] al-Baghdadi, Taqyīd… h. 58.
[104] M.M.
Azami, Dirasah …, h. 43.
[105] al-Asqalani, Fath
al-Bari..., h. 208.
[106] Secara umum sebenarnya
ada dua versi tentang kebolehan menulis hadis. As-Sakhawi menyebutkan ada yang
melarang baik lanagan sahabat, tabi’in, dan orang sesudahnya. Di antaranya
sahabat Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-’Asy’ari, Abu
Sa’id al-Khudriy, asy-Sya’bi, an-Nakha’i. Mereka lebih cenderung menghafal
hadis. Sementara ada kelompok yang membolehkan, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib,
Hasan bin Ali, Abdullah bin ’Amr bin ’Ash, Anas, Jabir, Ibnu Abbas, Qatadah,
dan Umar bin Abdul Aziz. Lihat as-Sakhawi, Muhammad bin Abdur Rahman, Fath
al-Mughīts bi Syarh Alfiyah al-Hadīs lil Iraqi, juz ke-3, (al-Qahirah:
Maktabah as-Sunnah, tt), h. 30-32; Muhammad bin Ja’far al-Kattani, ar-Risālah
al-Mustathrafah, cet. Ke-2 ( Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1400 H), h.
3.
[107] Ibnu Asakir, Tarikh
Ibnu ‘Asakir, jilid ke-14, h. 15.
[108] Muhammad bin Ja’far
Al-Kattani, ar-Risalah al-Mustathrafah, cet. Ke-2, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1400 H), h. 4.
[110] Abu al-Yaqzhan ‘Athiyah
al-Jaburi, Mabahis fi Tadwīn as-Sunnah al-Muthahharah, (Beirut: Dār
an-Nadwah al-Jadīdah, tt.), h. 135.
[111] Ibid., h. 136.
[112] Ibid.
[113] Metode dimaksud adalah sama’,
‘aradh (qira’ah ‘ala syekh/ membaca di depan guru), ijazah,
munawalah, mukatabah, i’lam, wasiat, dan wijadah. Lihat
Muhammad Ajjaj Khatib, Ushūl al-Hadis ‘Ulūmuhu wa Musthalahuh,
cet. ke-3 (Beirut: Dār al-Fikr, 1975), h. 233-244.
[114]
Al-Baghdadi, Taqyīd…, h. 7.
[115] M.M. Azami, Dirasah… , h. 71.
[116]
Al-Baghdadi, Taqyīd…, h. 6.
[117]
Al-Baghdadi, Taqyīd…, h. 6.
[118]
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffādz, jilid
ke-1 (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1963), h. 151.
[119]
Al-Qur’an Surat at-Taubah: 122.
[120]
M.M. Azami, Dirasah..., h. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar