Rabu, 25 September 2013

KONTEKSTUALISASI HADIS NABI DALAM DUNIA MODERN (Kajian dan Terapan)

KONTEKSTUALISASI HADIS NABI  
 DALAM DUNIA MODERN
(Kajian dan Terapan)



Alamsyah*



Abstrak

Kondisi sosial-politik dan orientasi umat Islam yang terus berubah sangat mempengaruhi perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis. Berbagai metode dapat dilalui untuk memahami Sunnah, seperti reinterpretasi, takwil dan tekstual. Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode Nabi dan contoh prakteknya) dipelajari secara seimbang, jangan mengkaji aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang bersifat substansi-komprehensif. Akibatnya Sunnah Nabi pun menjadi hadis dan didefinisikan sekarang ini. Padahal hadis hanya media teks dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi

Kata Kunci: Kontekstualisasi, hadis Nabi, dunia modern
 

Pendahuluan
Kajian dan dan penerapan hadis Nabi pada era modern menghadapi tantangan berat, yang ditandai dengan munculnya spirit rasional, positivisme, dan paradigma pluralisme atas dasar sikap inklusifitas kemanusiaan. Problem kajian bukan saja bersifat klasik seperti Inkarussunnah dan sebagian Orientalis-Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang mengembangkan pola kajian hadis secara stagnan dan rigid.[1] Karakter Sunnah Nabi yang bersifat praktis (‘amali), detil (tafsīli) dan komplit (syumūli), oleh mereka lalu disimpulkan secara sederhana dan taken for granted sebagai ajaran yang telah final dan tuntas. Ada anggapan bahwa Sunnah Nabi tidak harus dikaji secara obyektif dan tidak perlu dipahami secara ilmiah dengan pendekatan-pendekatan sains moderen. Akibatnya, kajian Sunnah nabi sulit berkembang dan posisinya sulit untuk menjadi sumber ajaran Islam yang relevan, yang memberi kreatifitas dan semangat inovasi di setiap waktu dan tempat (salih li kulli zaman wa makan).
Pada era kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam masa klasik, kajian hadis merupakan ilmu yang dianggap paling awal berkembang dan mencapai puncak kematangan. Metode ilmiah  pertama dalam bangunan ilmu-ilmu keislaman klasik justru ditemukan  dalam ilmu hadis. Di dalamnya telah dipadukan epistemologi bayani dan burhani dengan struktur pemikiran deduksi dan induksi. Melalui teknik verifikasi data yang populer dalam logika empiris ilmu sejarah, maka kajian hadis banyak menghasilkan temuan-temuan baru yang orisinal dan dinamis. Pada saat seperti inilah muncul dialektika keilmuan dan suasana kebebasan, bukan saja di wilayah institusi pendidikan tetapi juga dalam  ranah keseharian umat Islam. Masterpiece yang telah diciptakan oleh imam al-Bukhari berupa kitab Sahih al-Bukhari sangat dihargai dan dihormati, tetapi ilmuan lain seperti Muslim, al-Nasai, al-Hakim dan al-Daruqutni, tidak segan-segan untuk mengkritik, merevisi dan lalu mengembangkannya. Dampak dialektika ini luar biasa, sebagaimana ditegaskan oleh imam al-Zarkasyi, ilmu hadis menjadi ilmu paling "siap" dan dinamis saat itu. Namun suasan politik dan orientasi umat Islam yang berubah dalam perkembangan selanjutnya sangat mempengaruhi perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis. Pembekuan dan pembakuan kajian hadis dengan standar ortodoks, kaku dan irrasional (tidak logis) merupakan faktor utama kemunduran ilmu tersebut.

Ilmu Hadis dalam Bingkai ilmu-ilmu KeIslaman
Agar kajian hadis Nabi kembali menjadi ilmu primadona dan mempesona, sebagaimana pada era klasik, maka ilmu hadis harus mampu melakukan peran yang signifikan dan memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itulah, maka kajian pemahaman dan penerapan hadis Nabi di dunia moderen harus dikembangkan sesuai tuntutan konteks kekinian. Sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan adalah Allah SWT yang Maha Tunggal dan Maha Mengetahui. Dia lalu menurunkan petunjuk dan pengetahuannya melalui dua macam sumber perantara; yaitu wahyu tertulis (kitab suci al-Qur’an) dan wahyu tidak tertulis (alam semesta atau kauniyah). Jika wahyu formal atau kitab suci lebih bersifat argumen deduktif apriori, maka wahyu kauniyah lebih berupa argumen data induktif empiris aposteriori. Dalam lingkup demikian, maka Sunnah Nabi menjadi metode sekaligus contoh praktis dari Nabi dalam mengimplementasikan dua sumber petunjuk tsb (Kitab suci dan kauniyah). Nabi Saw mendialektika-kan wahyu dan alam semesta.
Jadi Sunnah Nabi memiliki dua sisi, yaitu metode - pola (tariqah, manhaj) dan praktek - implementasi (‘amal, tathbiq). Sedangkan hadis hanya merupakan media berita atau informasi yang menyampaikan Sunnah Nabi kepada kita. Oleh karena itu, maka yang perlu dikaji dan diteliti lebih dahulu memang adalah proses penyampaian informasi tentang Nabi kepada kita, dan kajian itu dinamakan ‘Ilmu al-Hadis (‘Ulum al-Hadis). Sedangkan tujuan pokok kajian hadis tersebut tidak lain untuk menemukan informasi Sunnah Nabi yang valid dan otentik, untuk kemudian dapat dipahami dan diamalkan secara tepat (relevan) di setiap waktu dan tempat (seperti dunia moderen saat ini). Skema tahapan kajian ‘Ilmu Hadis sampai kepada tahap menemukan Sunnah Nabi adalah Sejarah hadis - Kritik otentisitas – Fahmul Hadis (pemahamn) – dan Tathbiq (penerapan).
Pola Kajian Hadis Nabi
Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode nabi dan contoh prakteknya) dipelajari seimbang, namun ulama masa lalu lebih mengkaji aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan  kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir Nabi yang bersifat substansi-komprehensif. Maka kajian Sunnah Nabi lebih terfokus mendalami berita tentang nabi dalam berbagai bentuknya: ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi. Akibatnya Sunnah Nabi Nabi pun menjadi hadis dan didefinisikan seperti hadis, yaitu “semua yang berasal/disandarkan kepada Nabi SAW baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat, dan semisalnya”. Padahal hadis hanya media teks  dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya,[2] dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi.[3] Apalagi ketika ilmu hadis diciutkan menjadi Ilmu Mushthalah al-Hadis, maka materi muatannya  ikut mengerut hanya berkutat di seputar kajian sanad (exsternal aspect of hadith) seperti pengertian hadis, macam-macam hadis baik kualitas dan kuantitas, syarat-syaratnya, hadis palsu dan tanda-tandanya, dll, sehingga hampir melupakan tujuan pokok mempelajari hadis itu sendiri, yaitu menemukan Sunnah Nabi untuk kemudian dipahami secara tepat, dijadikan sumber ajaran Islam dan menerapkannya secara relevan.
Ketika ulama menghadapi gerakan pemalsuan hadis yang merajalela di masa lalu, maka dapat dimaklumi jika semua upaya energi mereka dikerahkan untuk mengatasinya, sehingga lebih banyak membahas validitas dan otentisitas hadis dari aspek sanad. Namun ketika hadis telah terkompilasi secara baik dalam berbagai literatur  hadis (al-kutub al-khamsah, al-sittah, al-sab’ah, al-tis’ah, dst) dengan berbagai kategori kualitasnya, apalagi saat ini telah terprogram secara digital dalam berbagai software, maka sudah waktunya kajian hadis lebih diarahkan kepada bagaimana memahami dan menerapkan informasi dalam hadis secara tepat, sehingga benar-benar dapat menghidupkan Sunnah Nabi sebagai pedoman hidup.
Untuk dapat mengkaji secara ilmiah (sebagaimana imam al-Bukhari telah melakukannya dengan landasan niat ikhlas beliau untuk menghidupkannya), maka hadis harus diposisikan kembali sesuai dengan makna dasarnya, yaitu informasi, berita, media, yang saat ini berupa teks. Bagaimanapun, harus disadari bahwa penyusunan redaksi teks informasi tersebut lebih banyak merupakan hasil kreasi para periwayat (penerima dan penutur yang menyampaikan) yang lazim dinamakan al-riwayah bil makna, sesuai dengan tingkat pemahaman si rawi terhadap hadis yang diterimanya. Hanya sedikit teks redaksi hadis yang dituturkan para periwayat persis seperti diucapkan oleh Nabi SAW.
Artinya, memahami hadis harus memahami proses periwayatan,  mulai dari konteks Nabi sebagai sumber munculnya hadis, konteks periwayat sebagai penutur berita hadis dalam berbagai aspeknya, dan konteks kita zaman sekarang sebagai pembaca yang akan memahami dan mengamalkannya. Oleh karena itu, pendekatan berbagai keilmuan baik sosial maupun kealaman sangat diperlukan dalam memahami hadis pada saat ini, termasuk pendekatan hermeneutika yang bagi sebagian orang dianggap “haram”. Dengan semakin integratif pola mengkaji suatu persoalan, maka semakin kecil peluang kekeliruan dan semakin besar kesempatan menemukan kebenaran.
Jika memang pendekatan multi disipliner dan interdisipliner yang harus dilalui, maka cara pemahaman hadis yang tepat untuk itu tidak lain adalah metode kontekstual dan bukan pemahaman harfiyah-tekstual. Pencarian substansi Sunnah Nabi inilah yang telah dilakukan umat Islam generasi awal (salaf) dan yang telah membawa mereka kepada kesuksesan dalam membangun peradaban, sains, ilmu keagamaan, sosial dan budaya.
Metode Pemahaman Klasik dan Tantangan Dunia Moderen
Upaya penafsiran terhadap Sunnah Nabi telah terjadi sejak masa awal Islam. Ketika para sahabat pulang dari peperangan, maka Nabi SAW berpesan agar jangan ada sahabatnya yang salat Zuhur (sebagian riwayat menyatakan salat ‘Asar) di perjalanan kecuali setelah sampai di kampung bani Quraizah. Sebagian sahabat memang melakukannya, namun sebagian lainnya tetap salat di tengah perjalanan. Nabi SAW ternyata tetap membenarkan kedua kelompok sahabatnya.
Ketika dihadapkan kepada tantangan sosiologis dan politis yang semakin kompleks, maka ‘Umar ibn al-Khathab harus melakukan terobosan baru dalam membuat kebijakan dengan tetap berpedoman kepada Sunnah Nabi. Saat itu wilayah Islam semakin luas, keuangan negara melimpah, populasi meningkat yang diikuti penyempitan wilayah pertanian, di samping terjadi pertemuan dengan beragam kehidupan sosial budaya baru. Dalam situasi demikian, maka ‘Umar tidak memberikan tanah rampasan perang kepada pasukan muslim, padahal praktek di zaman Nabi SAW adalah diberikan. ‘Umat juga tidak menjatuhkan hukuman hadd potong tangan kepada pencuri yang melakukannya karena krisis paceklik, dan beliau juga pernah tidak memberikan hak zakat kepada mu’allaf.[4] Di sini ‘Umar bukan meninggalkan Sunnah Nabi apalagi menentangnya, namun beliau menafsirkan Sunnah Nabi secara kreatif untuk kemudian diterapkan secara tepat sesuai dengan tantangan yang dihadapi pada waktu itu. Walaupun secara lahiriah seolah ‘Umar telah meninggalkan Sunnah Nabi, namun pada substansinya beliau tetap mengaktualkan ruh dan misi Nabi SAW, yaitu menegakkan keadilan sosial.
Imam al-Qarāfī, ulama besar abad tengah (w. 684 H/1254 M) memperkenalkan 4 tipologi dalam memahami Sunnah Nabi, yaitu posisi Nabi sebagai: (1) sebagai seorang Nabi, (2) sebagai seorang mufti, (3) sebagai seorang hakim, dan (4) sebagai seorang kepala negara.[5] Setelah Rasul wafat, maka para mufti menggantikan posisinya sebagai mufti, para qadi menggantikannya sebagai hakim, dan para khalifah menggantikannnya sebagai kepala negara. Dalam model pemahaman ini, maka efek hukum yang ditimbulkan dari suatu ĥadīś tergantung kepada situasi yang melatarbelakangi munculnya ĥadīś tersebut, yakni apakah sebagai putusan hukum dan pengadilan yang mengikat, atau sebagai fatwa yang tidak mengikat, atau sebagai tindakan politis dari kebijakan suatu kepala pemerintahan.
Menurut konsep al-Qarafi ini, jika suatu ĥadīś yang mengandung perintah atau larangan akan dijadikan dalil atau hujjah atas suatu kasus hukum, maka yang harus dilihat lebih dahulu adalah “apakah perintah atau larangan itu bersifat mengikat atau tidak?”. Jika ĥadīś tersebut disampaikan dalam kapasitas sebagai seorang mufti, maka larangan dimaksud tidak mengikat, sebab ĥadīś tersebut hanya merupakan opini atau pandangan. Jika suatu ĥadīś dikeluarkan dalam kapasitas beliau sebagai seorang hakim, dan keputusannya merupakan sebuah produk hukum, maka ĥadīś tersebut bisa mengikat. Model pemahaman yang dikemukakannya, jika diterapkan dengan konsisten, dapat menimbulkan implikasi besar dan dinamis dalam penerapan hukum Islam.
Gagasan baru al-Qarāfi dalam memahami Sunnah ternyata didukung oleh ulama lain pada era ini bernama Ibn al-Qayyim al-Jaużiyah (w. 751 H).[6] Tokoh lain abad pertengahan yang menawarkan pemahaman baru terhadap fungsi dan otoritas Sunnah Nabi adalah Abū Isĥak al-Syāţibī (w. 790 H/1388 M), dengan konsep Al-Qur’ān berfungsi sebagai ta’şīl sedangkan Sunnah Nabi adalah sebagai tafsīl, sehingga melahirkan Maqāşid al-Syarī’ah. [7]
Memasuki era moderen, umat Islam mulai bersentuhan dengan perkembangan baru dalam berbagai aspek kehidupan, seperti rasionalisme dan nasionalisme, dan perubahan sosial budaya. Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki era globaliasasi dan informasi yang membawa berbagai gagasan seperti demokrasi, pluralisme, dan HAM. Dalam lingkungan masyarakat global ini, umat Islam tidak bisa lagi hidup ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Ajaran Sunnah dalam hadīs yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik (teosentris, negara teologis, homogen, ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi moderen. Apalagi saat pemikiran tersebut lebih didominasi pola pikir pragmatis yang tegak di atas fondasi positivisme yang anti metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran Sunnah ditantang untuk memberikan solusi yang logis-rasional namun tetap orisinal, sehingga Islam tidak dituding sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, teror dan diskriminatif.

Membangun Kajian dan Pemahaman yang Relevan
Banyak pilihan dilakukan dalam memahami Sunnah, seperti rein-terpretasi, takwil dan tekstual. Metode Re-interpretasi, secara jujur mengakui dan memahami sikon zaman Nabi apa adanya, sebagai ijtihadnya, bisa benar dan salah, setelah dilihat dari berbagai ilmu sosial dan budaya terhadap konteks waktu itu- maka zaman sekarang dapat diamalkan jika sesuai dan boleh tidak diamalkan jika tidak sesuai dengan perkembangan atau tidak lagi mampu menjawab kebutuhan. Memahami semua kebijakan nabi secara tepat, sempurna, final, tidak salah, apapun dan bagaimanapun, adalah suatu keharusan namun teknik pengamalannya boleh beda dan disesuaikan dengan zaman sekarang. Metode Ta’wil misalnya ditempuh oleh Muhammad syahrur dalam penafsiran hadistentang makanan dan inuman dengan produksi dalam negeri, sedangkan metode Tekstual dilakukan oleh sebagian muslim, khususnya ahli hadis, yang lebih mementingkan bentuk dan cara dari pada isi atau substansi.
Hal mendasar yang harus dikaji ulang dalam studi hadis adalah aspek Epistemologi Sunnah Nabi (sumber dan asal usul). Selama ini Sunnah Nabi hanya dilihat dari aspek praktis atau produk saja, sehingga Sunnah Nabi hanya didefinisikan sebagai bentuk dari ucapan atau perbuatan atau sikap tertentu dari Nabi Saw. Akibatnya, ketika Sunnah Nabi dipahami untuk diamalkan, maka yang muncul adalah pemahaman dan pengamalan secara lahiriah, tekstual dan tidak pernah ada perubahan walaupun tuntutan keadaan dan perubahan waktu terus terjadi. Seharusnya kemunculan suatu Sunnah Nabi lebih dilihat dari aspek metodenya sebagai ijtihad, bukan hasilnya. Untuk itu, Syahrur menyatakan Sunnah Nabi harus didefinisikan sebagai berikut:
“Ijtihād Nabi dalam menerapkan hukum-hukum yang terdapat di dalam Umm al-Kitab, baik berupa ĥudūd, ibadah, dan akhlak, dengan memperhatikan realitas obyektif di mana beliau hidup, berkisar di antara ĥudūd atau langsung mengambil ĥudūd yang telah ada, atau membuat ĥudūd sementara jika tidak ada di dalam al-Qur’ān”.[8]

Beberapa karakter Sunnah Nabi dari batasan tersebut adalah:
1.      Sunnah Nabi adalah metode Nabi SAW yang bersifat deduktif dalam melaksanakan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān. Oleh karena itu, apa yang dinamakan sebagai Sunnah Nabi bukan teks, tentang ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW sehari-hari yang bersifat harfiyah, sebab semua itu hanya merupakan bentuk-bentuk (syakl atau form) ekspresi atau perwujudan yang bersifat praktis dari pola pikir atau paradigma Sunnah Nabi tersebut, yang tidak lain adalah ijtihād beliau sendiri. Ekspresi dan ungkapan tersebut dapat selalu berubah-ubah, sementara pola dan paradigma pemikiran lebih bersifat tetap.
2.      Oleh karena Sunnah Nabi adalah metodenya dalam berijtihād, maka makna “mengikuti Sunnah Nabi” atau “mengikuti teladan (uswah) Nabi” tidak lain adalah mengikuti metode (manĥaj) ijtihādnya dan mewujudkan substansi dari tujuan Sunnah itu sendiri,[9] dan bukan mengikuti segala ucapan atau perbuatannya sehari-hari yang bersifat harfiyah, formal dan verbal. Mengikuti Sunnahnya dan “uswah hasanah”nya.
3.      Sunnah Nabi adalah selalu terbuka untuk dikembangkan, dilengkapi bahkan dimodifikasi, sehingga penerapannya mudah dan ringan. Oleh karena Nabi SAW telah berijtihād dalam menerapkan ĥudūd yang terdapat di dalam al-Qur’ān atau berijtihād membuat aturan sementara bagi masalah yang tidak ada ĥudūd-nya dalam al-Qur’ān, maka apa yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh beliau di Jazirah  Arab  abad  ke  7  M hanya merupakan alternatif pilihan pertama (al-iĥtimāl al-awwal) dalam menegakkan ajaran Islam untuk pada periode historis tertentu. Oleh karena itu, apa-apa yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh Nabi SAW pada saat itu bukan satu-satunya (al-wahīd) pilihan dan tidak pula sebagai putusan terakhir (al-akhīr), walaupun beliau merupakan penutup para Nabi dan rasul. Apa yang telah beliau lakukan tidak lain adalah dengan tujuan untuk memelihara kelangsungan misi kerasulan dan kenabian sampai hari kiamat.

Yusuf al-Qaradawi juga mengemukakan beberapa prinsip dalam memahami hadis. Menurutnya aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam memahami tersebut ialah:
1.  Ada sunnah yang berlaku general universal (tasyrī’iyah muabbadah) dan ada yang hanya berlaku lokal temporal (tasyrī’iyah muaqqatah);
2.  Sunnah Nabi yang berdasarkan ’illat (sebab) khusus dan temporer. Ketentuan hukum dalam nass dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan;
3.  Ada sunnah Nabi yang didasarkan atas tradisi temporal. Jika tradisi lokal telah berubah maka ketentuan dalam sunnah tersebut dapat berubah pula;
4.  Sunnah dalam posisi Nabi sebagai pemimpin (imām) dan bukan sebagai muballigh;
5.  Sunnah untuk situasi atau komunitas yang khāss, sehingga ajaran dalam hadis tersebut tidak berlaku untuk semua orang;
6.   Sunnah yang bermakna hakiki dan majazi (kiasan);
7.  Sunnah untuk peristiwa tertentu dan dalam posisi Nabi sebagai hakim. Ketentuan dalam hadis ini bersikap mengikat.[10]

Kontekstualisasi Hadis Nabi
Beberapa contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual, antara lain adalah tentang ketentuan mahram bagi perempuan yang akan melakukan perjalanan tertentu, hukuman mati bagi orang murtad, dan hubungan antar yumat beragama. Hadis dimaksud berbunyi:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ [11]
            Artinya: “Janganlah perempuan itu bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahram yang mendampinginya”.
            Memang hadis di atas memiliki banyak redaksi matan yang berbeda-beda, tetapi intinya melarang perempuan keluar rumah sendirian. Munculnya larangan Nabi tersebut harus dipahami latar belakangnya, yakni ketika situasi perjalanan tidak aman seperti perjalanan sendirian di tengah padang pasir. Namun ketika situasi sudah aman dan perjalanan tidak ada gangguan, maka ketentuan tersebut tentunya tidak berlaku lagi, sehingga hal yang semula dilarang oleh Nabi Saw dapat berubah menjadi kebolehan.
Dalam dunia moderen saat ini, hukum pidana Islam harus dibangun atas dasar hubungan harmonis antar umat manusia, dan paradigma kemanusiaan serta kesetaraaan, sehingga tidak dibenarkan ada sikap dan prilaku intimidasi, pemaksaan atau diskriminasi. Dalam konteks ini maka hadis yang memerintahkan agar orang murtad (pindah agama) dihukum mati, harus diterapkan dalam konteks pengkhianatan. Hadis dimaksud adalah:
عَنْ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ     [12] 
Artinya: "Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia".
Konteks hukuman mati demikian terjadi pada zaman Nabi di mana saat itu antara umat Islam dan non muslim berada dalam situasi peperangan dan permusuhan terus menerus. Seorang muslim yang kembali kepada musyrik kekafiran dikhawatirkan akan membocorkan rahasia kekuatan dan kelemahan umat Islam kepada kaum musyrik Mekah saat itu.  Hal ini tentu sangat berbahaya, sehingga pelaku murtad dianggap pengkhianat yang harus dihukum mati. Namun ketika perbuatan murtad dilakukan bukan karena pengkhianatan, melainkan murni faktor kedaran dalam agama, atau faktor sosial dan ekonomi, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, maka pelakunya tidak boleh dihukum mati. Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip al-Qur’an yang menegaskan tidak boleh ada paksaan dalam agama.
Pemahaman serupa juga dapat diterapkan terhadap hadis yang memerintahkan agar melakukan tindakan diskriminatif terhadap kaum Yahudi dan Nasrani. Hadis dimaksud menyatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا
النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ [13]
Artinya: “Janganlah kalian memulai ucapan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemu salah seorang mereka di jalan maka desaklah mereka ke jalan yang paling sempit”.

Sikap Rasul yang keras terhadap orang Yahudi dan Nasrani ketika itu dapat dimaklumi, karena saat itu hubungan antara umat Islam dan Yahudi serta Nasrani sangat panas penuh dengan kecurigaan dan permusuhan. Namun ketika Rasul berhadapan dengan non muslim (zimmi) atau Ahlul Kitab yang baik maka beliau juga memperlakukan dengan penuh hormat, toleran dan melindungi. Dengan demikian, ketentuan diskriminatif terhadap non muslim tidak berlaku selamanya, melainkan hanya untuk situasi khusus dan golongan tertentu. Pada saat umat Islam dan umat lainnya di Indonesia harus membangun hubungan baik, toleran dan saling melindungi, maka sikap dan prilaku yang harus dikembangkan antara umat beragama tentunya adalah saling menghormati dan menghargai dengan perlakuan yang setara dan sederajat, tidak ada perlakuan diskriminatif yang merugikan.
Hadis lain yang juga dapat dipahami secara kontekstual, tidak lagi secara tekstual harfiyah, adalah tentang larangan perempuan menjadi kepala negara, yang berbunyi:

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً [14]
Artinya: Dari Abi Bakrah ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.
Sangat banyak hadis yang harus dipahami secara konteks tertentu, seperti hadis tentang perempuan (gender), ekonomi, maupun terkait dengan sosial dan budaya.


Penutup
Peran Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pengembangan kajian hadis sangat signifikan, apalagi dengan adanya jurusan Tafsir dan Hadis. Banyak tokoh besar hadis yang ternama muncul. Sebenarnya kajian hadis di lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memiliki karakter lokal keindonesiaan yang sekaligus menjadi keunggulan, karena dilakukan dengan interdisipliner, seperti pendekatan ilmu sosial dan budaya. Dengan demikian, maka kajian hadis semakin berkembang dan berkualitas, bukan hanya menjadi hapalan secara kuantitatif.

Daftar Pustaka

Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Sahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, Bairut, 1975.
Al-Qarađāwi, Yūsuf, al-Sunnah Maşdar li al-Ma’rifah wa al-Hađārah, Kairo: Dār al-Syurūq, cet. 1, 1997
-------, Kaifa Natā’amal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah, Kairo: Dār al-Syurūq, 1992
Malik ibn Anas, al-Muwaththa’ (Kairo: 1951) Juz II.
Muslim bin Hajajaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut, 1975
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks dan Kritik Otoritas Kebenaran, penerbit LKiS, Yogyakarta, 2005
Al-Qarāfi, Syihāb al-Dīn, Kitāb al-Furūq, jilid 1-4, Kairo: Dār Ihya’ al-Kitab al-‘Arabi, 1925.
Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad,  juz III.
Syahrur, NahwUshula l Jadidah lil Fiqh al-Islami, Al-Ahali, Damaskus, 1992.
al-Syāţibī, al-Muwāfaqāt fī Uşūl al-Syarī’ah (Beirut: Dār al-Fikr, 1987) juz II.
Syihāb al-Dīn al-Qarāfi, Kitāb al-Furūq (Kairo: Dār al-Ma’rifah, tt) juz I.
Wensinc, A.J, Mu’jām al-Mufahras li Alfāž al-Ĥadīś al-Nabawi al-Syarīf, Leiden: penerbit E.J. Brill, 1932
_____, Miftāĥ Kunūż al-Sunnah, edisi terjemahan dalam bahasa Arab oleh Ahmad Muĥammad Syakir, Pakistan: Dār Turjuman al-Sunnah, 1952






* Penulis adalah dosen Fakultas Syari’ah dan Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Bandar Lampung Indonesia. Gelar Doktor diperoleh dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1] Kemajuan kajian hadis terkendala oleh berbagai faktor, di antaranya sosio-politik dan pola pemikiran umat Islam sendiri..
[2] Maka periwayatan hadis, baik menerima maupun menyampaikan, perlu kehati-hatian ekstra tinggi, agar tidak mengulang bagian sejarah kelam masa silam yang benyak terjadi manipulasi hadis di dalamnya.
[3] Maka ada istilah, “Imam Auza’i adalah ahli dalam hadis tetapi tidak ahli dalam sunnah, imam al-Tsauri adalah ahli dalam sunnah tetapi tidak dalam hadis, sedangkan imam Malik adalah ahli kedua-duanya”.
[4] Lihat Malik ibn Anas, al-Muwaththa’ (Kairo: 1951) Juz II,  hal. 776.
[5] Lihat: Syihāb al-Dīn al-Qarāfi, Kitāb al-Furūq (Kairo: Dār al-Ma’rifah, tt) juz I, hal. 105-208. Lihat juga karyanya, al-Ihkām fi Tamyīz al-Fatāwa min al-Ahkām (Haleb: Penerbit al-Ashil, tt), hal. 86-109.
[6] Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad,  juz III, hal. 422.
[7] Lihat  al-Syāţibī, al-Muwāfaqāt fī Uşūl al-Syarī’ah (Beirut: Dār al-Fikr, 1987) juz II, hal. 7.
[8] Syaĥrūr, al-Kitāb wal Qur’an; Qiraah Mu’asirah, (Damaskus: Dar al-Ahali lit Thiba’ah, 1991), hal.  549 .
[9] Lihat: Syahrur, Nahw Ushula al-Jadidah lil Fiqh al-Islami, (Damaskus, Al-Ahali, 1992) , hal. 106.
[10] Lihat, al-Qarađāwi, Sunnah Maşdar…, op.cit, hal. 92 dan al-Qardawi, Madkhal li Dirāsah al-Sunnah, op.cit, hal. 96.
[11] Lihat dalam Sahih Muslim dengan hadis nomor 2381
[12] Teks hadis tersebut berarti “Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia”. Hadis tersebut riwayat al-Bukhari dengan nomor 2794.
[13] Riwayat Muslim dengan nomor hadis 4030
[14] al-Bukhari dengan nomor 4083 dan Tirmizi 2188

Tidak ada komentar:

Posting Komentar