KONTEKSTUALISASI
HADIS NABI
DALAM DUNIA MODERN
(Kajian
dan Terapan)
Alamsyah*
Abstrak
Kondisi
sosial-politik dan orientasi umat Islam yang terus berubah sangat mempengaruhi
perspektif dan pola pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis.
Berbagai metode dapat dilalui untuk memahami Sunnah, seperti reinterpretasi,
takwil dan tekstual. Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode Nabi dan contoh
prakteknya) dipelajari secara seimbang, jangan mengkaji aspek praktek yang
bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan kurang memperhatikan aspek metode dan
pola pikir Nabi yang bersifat substansi-komprehensif. Akibatnya Sunnah Nabi pun
menjadi hadis dan didefinisikan sekarang ini. Padahal hadis hanya media teks
dan informasi yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke
generasi berikutnya, dan belum tentu menjadi Sunnah Nabi
Kata Kunci:
Kontekstualisasi, hadis Nabi, dunia modern
Pendahuluan
Kajian dan dan penerapan hadis Nabi pada era modern
menghadapi tantangan berat, yang ditandai dengan munculnya spirit rasional,
positivisme, dan paradigma pluralisme atas dasar sikap inklusifitas
kemanusiaan. Problem kajian bukan saja bersifat klasik seperti Inkarussunnah
dan sebagian Orientalis-Islamolog yang subyektif, tetapi persoalan
tersebut juga bersumber dari internal muhaddisin sendiri yang
mengembangkan pola kajian hadis secara stagnan dan rigid.[1] Karakter Sunnah Nabi yang bersifat praktis (‘amali),
detil (tafsīli) dan komplit (syumūli), oleh mereka lalu
disimpulkan secara sederhana dan taken for granted sebagai ajaran yang
telah final dan tuntas. Ada anggapan bahwa Sunnah Nabi tidak harus dikaji
secara obyektif dan tidak perlu dipahami secara ilmiah dengan
pendekatan-pendekatan sains moderen. Akibatnya, kajian Sunnah nabi sulit
berkembang dan posisinya sulit untuk menjadi sumber ajaran Islam yang relevan,
yang memberi kreatifitas dan semangat inovasi di setiap waktu dan tempat (salih
li kulli zaman wa makan).
Pada era kejayaan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam
masa klasik, kajian hadis merupakan ilmu yang dianggap paling awal berkembang
dan mencapai puncak kematangan. Metode ilmiah
pertama dalam bangunan ilmu-ilmu keislaman klasik justru ditemukan dalam ilmu hadis. Di dalamnya telah dipadukan
epistemologi bayani dan burhani dengan struktur pemikiran deduksi
dan induksi. Melalui teknik verifikasi data yang populer dalam logika empiris
ilmu sejarah, maka kajian hadis banyak menghasilkan temuan-temuan baru yang
orisinal dan dinamis. Pada saat seperti inilah muncul dialektika keilmuan dan
suasana kebebasan, bukan saja di wilayah institusi pendidikan tetapi juga
dalam ranah keseharian umat Islam. Masterpiece
yang telah diciptakan oleh imam al-Bukhari berupa kitab Sahih al-Bukhari
sangat dihargai dan dihormati, tetapi ilmuan lain seperti Muslim, al-Nasai,
al-Hakim dan al-Daruqutni, tidak segan-segan untuk mengkritik, merevisi dan
lalu mengembangkannya. Dampak dialektika ini luar biasa, sebagaimana ditegaskan
oleh imam al-Zarkasyi, ilmu hadis menjadi ilmu paling "siap" dan
dinamis saat itu. Namun suasan politik dan orientasi umat Islam yang berubah
dalam perkembangan selanjutnya sangat mempengaruhi perspektif dan pola
pemikiran dalam menggali, mengkaji, dan memahami hadis. Pembekuan dan pembakuan
kajian hadis dengan standar ortodoks, kaku dan irrasional (tidak logis)
merupakan faktor utama kemunduran ilmu tersebut.
Ilmu Hadis dalam Bingkai ilmu-ilmu KeIslaman
Agar kajian hadis Nabi
kembali menjadi ilmu primadona dan mempesona, sebagaimana pada era klasik, maka
ilmu hadis harus mampu melakukan peran yang signifikan dan memberikan
kontribusi nyata bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itulah, maka
kajian pemahaman dan penerapan hadis Nabi di dunia moderen harus dikembangkan sesuai
tuntutan konteks kekinian. Sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan adalah
Allah SWT yang Maha Tunggal dan Maha Mengetahui. Dia lalu menurunkan petunjuk
dan pengetahuannya melalui dua macam sumber perantara; yaitu wahyu tertulis
(kitab suci al-Qur’an) dan wahyu tidak tertulis (alam semesta atau kauniyah).
Jika wahyu formal atau kitab suci lebih bersifat argumen deduktif apriori,
maka wahyu kauniyah lebih berupa argumen data induktif empiris aposteriori.
Dalam lingkup demikian, maka Sunnah Nabi menjadi metode sekaligus contoh
praktis dari Nabi dalam mengimplementasikan dua sumber petunjuk tsb (Kitab suci
dan kauniyah). Nabi Saw mendialektika-kan wahyu dan alam semesta.
Jadi Sunnah Nabi memiliki dua sisi, yaitu metode -
pola (tariqah, manhaj) dan praktek - implementasi (‘amal, tathbiq).
Sedangkan hadis hanya merupakan media berita atau informasi yang menyampaikan
Sunnah Nabi kepada kita. Oleh karena itu, maka yang perlu dikaji dan diteliti
lebih dahulu memang adalah proses penyampaian informasi tentang Nabi kepada
kita, dan kajian itu dinamakan ‘Ilmu al-Hadis (‘Ulum al-Hadis).
Sedangkan tujuan pokok kajian hadis tersebut tidak lain untuk menemukan
informasi Sunnah Nabi yang valid dan otentik, untuk kemudian dapat dipahami dan
diamalkan secara tepat (relevan) di setiap waktu dan tempat (seperti dunia
moderen saat ini). Skema tahapan kajian ‘Ilmu Hadis sampai kepada tahap
menemukan Sunnah Nabi adalah Sejarah hadis - Kritik otentisitas – Fahmul
Hadis (pemahamn) – dan Tathbiq (penerapan).
Pola Kajian Hadis Nabi
Seharusnya dua aspek Sunnah Nabi (metode nabi dan
contoh prakteknya) dipelajari seimbang, namun ulama masa lalu lebih mengkaji
aspek praktek yang bersifat harfiyah-teknis-sektoral, dan kurang memperhatikan aspek metode dan pola pikir
Nabi yang bersifat substansi-komprehensif. Maka kajian Sunnah Nabi lebih
terfokus mendalami berita tentang nabi dalam berbagai bentuknya: ucapan,
perbuatan dan ketetapan Nabi. Akibatnya Sunnah Nabi Nabi pun menjadi hadis dan
didefinisikan seperti hadis, yaitu “semua yang berasal/disandarkan kepada
Nabi SAW baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat, dan semisalnya”. Padahal
hadis hanya media teks dan informasi
yang dibawa periwayat dan ditransmisi dari satu generasi ke generasi
berikutnya,[2] dan belum tentu menjadi
Sunnah Nabi.[3] Apalagi ketika ilmu hadis
diciutkan menjadi Ilmu Mushthalah al-Hadis, maka materi muatannya ikut mengerut hanya berkutat di seputar
kajian sanad (exsternal aspect of hadith) seperti pengertian hadis,
macam-macam hadis baik kualitas dan kuantitas, syarat-syaratnya, hadis palsu
dan tanda-tandanya, dll, sehingga hampir melupakan tujuan pokok mempelajari
hadis itu sendiri, yaitu menemukan Sunnah Nabi untuk kemudian dipahami secara
tepat, dijadikan sumber ajaran Islam dan menerapkannya secara relevan.
Ketika ulama menghadapi gerakan pemalsuan hadis
yang merajalela di masa lalu, maka dapat dimaklumi jika semua upaya energi
mereka dikerahkan untuk mengatasinya, sehingga lebih banyak membahas validitas
dan otentisitas hadis dari aspek sanad. Namun ketika hadis telah terkompilasi
secara baik dalam berbagai literatur
hadis (al-kutub al-khamsah, al-sittah, al-sab’ah, al-tis’ah, dst)
dengan berbagai kategori kualitasnya, apalagi saat ini telah terprogram secara
digital dalam berbagai software, maka sudah waktunya kajian hadis lebih
diarahkan kepada bagaimana memahami dan menerapkan informasi dalam hadis secara
tepat, sehingga benar-benar dapat menghidupkan Sunnah Nabi sebagai pedoman
hidup.
Untuk dapat mengkaji secara ilmiah (sebagaimana
imam al-Bukhari telah melakukannya dengan landasan niat ikhlas beliau untuk
menghidupkannya), maka hadis harus diposisikan kembali sesuai dengan makna
dasarnya, yaitu informasi, berita, media, yang saat ini berupa teks.
Bagaimanapun, harus disadari bahwa penyusunan redaksi teks informasi tersebut
lebih banyak merupakan hasil kreasi para periwayat (penerima dan penutur yang
menyampaikan) yang lazim dinamakan al-riwayah bil makna, sesuai dengan
tingkat pemahaman si rawi terhadap hadis yang diterimanya. Hanya sedikit teks
redaksi hadis yang dituturkan para periwayat persis seperti diucapkan oleh Nabi
SAW.
Artinya, memahami hadis harus memahami proses
periwayatan, mulai dari konteks Nabi
sebagai sumber munculnya hadis, konteks periwayat sebagai penutur berita hadis
dalam berbagai aspeknya, dan konteks kita zaman sekarang sebagai pembaca yang
akan memahami dan mengamalkannya. Oleh karena itu, pendekatan berbagai keilmuan
baik sosial maupun kealaman sangat diperlukan dalam memahami hadis pada saat
ini, termasuk pendekatan hermeneutika yang bagi sebagian orang dianggap
“haram”. Dengan semakin integratif pola mengkaji suatu persoalan, maka semakin
kecil peluang kekeliruan dan semakin besar kesempatan menemukan kebenaran.
Jika memang pendekatan multi disipliner dan
interdisipliner yang harus dilalui, maka cara pemahaman hadis yang tepat untuk
itu tidak lain adalah metode kontekstual dan bukan pemahaman harfiyah-tekstual.
Pencarian substansi Sunnah Nabi inilah yang telah dilakukan umat Islam generasi
awal (salaf) dan yang telah membawa mereka kepada kesuksesan dalam
membangun peradaban, sains, ilmu keagamaan, sosial dan budaya.
Metode
Pemahaman Klasik dan Tantangan Dunia Moderen
Upaya penafsiran terhadap Sunnah Nabi telah
terjadi sejak masa awal Islam. Ketika para sahabat pulang dari peperangan, maka
Nabi SAW berpesan agar jangan ada sahabatnya yang salat Zuhur (sebagian riwayat
menyatakan salat ‘Asar) di perjalanan kecuali setelah sampai di kampung bani
Quraizah. Sebagian sahabat memang melakukannya, namun sebagian lainnya tetap
salat di tengah perjalanan. Nabi SAW ternyata tetap membenarkan kedua kelompok
sahabatnya.
Ketika dihadapkan kepada tantangan sosiologis dan
politis yang semakin kompleks, maka ‘Umar ibn al-Khathab harus melakukan
terobosan baru dalam membuat kebijakan dengan tetap berpedoman kepada Sunnah
Nabi. Saat itu wilayah Islam semakin luas, keuangan negara melimpah, populasi
meningkat yang diikuti penyempitan wilayah pertanian, di samping terjadi
pertemuan dengan beragam kehidupan sosial budaya baru. Dalam situasi demikian,
maka ‘Umar tidak memberikan tanah rampasan perang kepada pasukan muslim,
padahal praktek di zaman Nabi SAW adalah diberikan. ‘Umat juga tidak
menjatuhkan hukuman hadd potong tangan kepada pencuri yang melakukannya
karena krisis paceklik, dan beliau juga pernah tidak memberikan hak zakat
kepada mu’allaf.[4] Di sini ‘Umar bukan
meninggalkan Sunnah Nabi apalagi menentangnya, namun beliau menafsirkan Sunnah
Nabi secara kreatif untuk kemudian diterapkan secara tepat sesuai dengan
tantangan yang dihadapi pada waktu itu. Walaupun secara lahiriah seolah ‘Umar
telah meninggalkan Sunnah Nabi, namun pada substansinya beliau tetap
mengaktualkan ruh dan misi Nabi SAW, yaitu menegakkan keadilan sosial.
Imam al-Qarāfī, ulama besar abad tengah (w. 684
H/1254 M) memperkenalkan 4 tipologi dalam memahami Sunnah Nabi, yaitu posisi
Nabi sebagai: (1) sebagai seorang Nabi, (2) sebagai seorang mufti, (3) sebagai
seorang hakim, dan (4) sebagai seorang kepala negara.[5] Setelah
Rasul wafat, maka para mufti menggantikan posisinya sebagai mufti, para qadi
menggantikannya sebagai hakim, dan para khalifah menggantikannnya sebagai
kepala negara. Dalam model pemahaman ini, maka efek hukum yang ditimbulkan dari
suatu ĥadīś tergantung kepada situasi yang melatarbelakangi munculnya ĥadīś
tersebut, yakni apakah sebagai putusan hukum dan pengadilan yang mengikat, atau
sebagai fatwa yang tidak mengikat, atau sebagai tindakan politis dari kebijakan
suatu kepala pemerintahan.
Menurut konsep al-Qarafi ini, jika suatu ĥadīś
yang mengandung perintah atau larangan akan dijadikan dalil atau hujjah atas
suatu kasus hukum, maka yang harus dilihat lebih dahulu adalah “apakah perintah
atau larangan itu bersifat mengikat atau tidak?”. Jika ĥadīś tersebut
disampaikan dalam kapasitas sebagai seorang mufti, maka larangan dimaksud tidak
mengikat, sebab ĥadīś tersebut hanya merupakan opini atau pandangan. Jika suatu
ĥadīś dikeluarkan dalam kapasitas beliau sebagai seorang hakim, dan
keputusannya merupakan sebuah produk hukum, maka ĥadīś tersebut bisa mengikat.
Model pemahaman yang dikemukakannya, jika diterapkan dengan konsisten, dapat menimbulkan
implikasi besar dan dinamis dalam penerapan hukum Islam.
Gagasan baru al-Qarāfi dalam memahami Sunnah
ternyata didukung oleh ulama lain pada era ini bernama Ibn al-Qayyim
al-Jaużiyah (w. 751 H).[6] Tokoh
lain abad pertengahan yang menawarkan pemahaman baru terhadap fungsi dan
otoritas Sunnah Nabi adalah Abū Isĥak al-Syāţibī (w. 790 H/1388 M), dengan
konsep Al-Qur’ān berfungsi sebagai ta’şīl sedangkan Sunnah Nabi adalah
sebagai tafsīl, sehingga melahirkan Maqāşid al-Syarī’ah. [7]
Memasuki era moderen, umat
Islam mulai bersentuhan dengan perkembangan baru dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti rasionalisme dan nasionalisme, dan perubahan sosial budaya.
Anomali semakin terasa ketika umat Islam memasuki era globaliasasi dan
informasi yang membawa berbagai gagasan seperti demokrasi, pluralisme, dan HAM.
Dalam lingkungan masyarakat global ini, umat Islam tidak bisa lagi hidup
ekslusif, monolitis, dan diskriminatif. Ajaran Sunnah dalam hadīs yang dibangun
atas dasar epistemologi era klasik (teosentris, negara teologis, homogen,
ekslusif) tentu banyak menghadapi persoalan ketika dihadapkan pada kasus atau
gagasan baru yang dibangun atas dasar epistemologi moderen. Apalagi saat
pemikiran tersebut lebih didominasi pola pikir pragmatis yang tegak di atas
fondasi positivisme yang anti metafisis. Di sini nilai-nilai ajaran Sunnah
ditantang untuk memberikan solusi yang logis-rasional namun tetap orisinal,
sehingga Islam tidak dituding sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, teror
dan diskriminatif.
Membangun
Kajian dan Pemahaman yang Relevan
Banyak pilihan dilakukan dalam memahami Sunnah,
seperti rein-terpretasi, takwil dan tekstual. Metode Re-interpretasi, secara
jujur mengakui dan memahami sikon zaman Nabi apa adanya, sebagai ijtihadnya,
bisa benar dan salah, setelah dilihat dari berbagai ilmu sosial dan budaya terhadap
konteks waktu itu- maka zaman sekarang dapat diamalkan jika sesuai dan boleh
tidak diamalkan jika tidak sesuai dengan perkembangan atau tidak lagi mampu
menjawab kebutuhan. Memahami semua kebijakan nabi secara tepat, sempurna,
final, tidak salah, apapun dan bagaimanapun, adalah suatu keharusan namun
teknik pengamalannya boleh beda dan disesuaikan dengan zaman sekarang. Metode Ta’wil
misalnya ditempuh oleh Muhammad syahrur dalam penafsiran hadistentang
makanan dan inuman dengan produksi dalam negeri, sedangkan metode Tekstual dilakukan
oleh sebagian muslim, khususnya ahli hadis, yang lebih mementingkan bentuk dan
cara dari pada isi atau substansi.
Hal mendasar yang harus dikaji ulang dalam studi
hadis adalah aspek Epistemologi Sunnah Nabi (sumber dan asal usul).
Selama ini Sunnah Nabi hanya dilihat dari aspek praktis atau produk saja,
sehingga Sunnah Nabi hanya didefinisikan sebagai bentuk dari ucapan atau
perbuatan atau sikap tertentu dari Nabi Saw. Akibatnya, ketika Sunnah Nabi
dipahami untuk diamalkan, maka yang muncul adalah pemahaman dan pengamalan
secara lahiriah, tekstual dan tidak pernah ada perubahan walaupun tuntutan
keadaan dan perubahan waktu terus terjadi. Seharusnya kemunculan suatu Sunnah
Nabi lebih dilihat dari aspek metodenya sebagai ijtihad, bukan hasilnya. Untuk
itu, Syahrur menyatakan Sunnah Nabi harus didefinisikan sebagai berikut:
“Ijtihād Nabi dalam menerapkan hukum-hukum yang terdapat di dalam Umm
al-Kitab, baik berupa ĥudūd, ibadah, dan akhlak, dengan memperhatikan realitas
obyektif di mana beliau hidup, berkisar di antara ĥudūd atau langsung mengambil
ĥudūd yang telah ada, atau membuat ĥudūd sementara jika tidak ada di dalam
al-Qur’ān”.[8]
Beberapa karakter Sunnah Nabi dari batasan tersebut adalah:
1.
Sunnah Nabi
adalah metode Nabi SAW yang bersifat deduktif dalam melaksanakan hukum yang
terdapat dalam al-Qur’ān. Oleh karena itu, apa yang dinamakan sebagai Sunnah
Nabi bukan teks, tentang ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW sehari-hari
yang bersifat harfiyah, sebab semua itu hanya merupakan bentuk-bentuk (syakl
atau form) ekspresi atau perwujudan yang bersifat praktis dari pola
pikir atau paradigma Sunnah Nabi tersebut, yang tidak lain adalah ijtihād
beliau sendiri. Ekspresi dan ungkapan tersebut dapat selalu berubah-ubah,
sementara pola dan paradigma pemikiran lebih bersifat tetap.
2.
Oleh karena Sunnah Nabi adalah
metodenya dalam berijtihād, maka makna “mengikuti Sunnah Nabi” atau “mengikuti
teladan (uswah) Nabi” tidak lain adalah mengikuti metode (manĥaj)
ijtihādnya dan mewujudkan substansi dari tujuan Sunnah itu sendiri,[9] dan bukan
mengikuti segala ucapan atau perbuatannya sehari-hari yang bersifat harfiyah,
formal dan verbal. Mengikuti Sunnahnya dan “uswah hasanah”nya.
3.
Sunnah Nabi adalah selalu terbuka
untuk dikembangkan, dilengkapi bahkan dimodifikasi, sehingga penerapannya mudah
dan ringan. Oleh karena Nabi SAW telah berijtihād dalam menerapkan ĥudūd
yang terdapat di dalam al-Qur’ān atau berijtihād membuat aturan sementara bagi
masalah yang tidak ada ĥudūd-nya dalam al-Qur’ān, maka apa yang telah
ditetapkan dan dilakukan oleh beliau di Jazirah
Arab abad ke
7 M hanya merupakan alternatif
pilihan pertama (al-iĥtimāl al-awwal) dalam menegakkan ajaran Islam
untuk pada periode historis tertentu. Oleh karena itu, apa-apa yang telah
diputuskan dan ditetapkan oleh Nabi SAW pada saat itu bukan satu-satunya (al-wahīd)
pilihan dan tidak pula sebagai putusan terakhir (al-akhīr), walaupun
beliau merupakan penutup para Nabi dan rasul. Apa yang telah beliau lakukan
tidak lain adalah dengan tujuan untuk memelihara kelangsungan misi kerasulan
dan kenabian sampai hari kiamat.
Yusuf
al-Qaradawi juga mengemukakan beberapa prinsip dalam memahami hadis. Menurutnya
aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam memahami tersebut ialah:
1. Ada sunnah yang berlaku general
universal (tasyrī’iyah muabbadah) dan ada yang hanya berlaku lokal
temporal (tasyrī’iyah muaqqatah);
2. Sunnah Nabi yang berdasarkan ’illat
(sebab) khusus dan temporer. Ketentuan hukum dalam nass dapat berubah sesuai
dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan;
3. Ada sunnah Nabi yang didasarkan
atas tradisi temporal. Jika tradisi lokal telah berubah maka ketentuan dalam
sunnah tersebut dapat berubah pula;
4. Sunnah dalam posisi Nabi sebagai
pemimpin (imām) dan bukan sebagai muballigh;
5. Sunnah untuk situasi atau
komunitas yang khāss, sehingga ajaran dalam hadis tersebut tidak berlaku untuk
semua orang;
6. Sunnah yang bermakna hakiki dan majazi
(kiasan);
7. Sunnah untuk peristiwa tertentu
dan dalam posisi Nabi sebagai hakim. Ketentuan dalam hadis ini bersikap
mengikat.[10]
Kontekstualisasi
Hadis Nabi
Beberapa contoh hadis yang harus dipahami secara kontekstual, antara lain
adalah tentang ketentuan mahram bagi perempuan yang akan melakukan
perjalanan tertentu, hukuman mati bagi orang murtad, dan hubungan antar yumat
beragama. Hadis dimaksud berbunyi:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلَاثًا إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ [11]
Artinya: “Janganlah perempuan itu
bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahram yang mendampinginya”.
Memang hadis di atas
memiliki banyak redaksi matan yang berbeda-beda, tetapi intinya melarang perempuan
keluar rumah sendirian. Munculnya larangan Nabi tersebut harus dipahami latar
belakangnya, yakni ketika situasi perjalanan tidak aman seperti perjalanan
sendirian di tengah padang pasir. Namun ketika situasi sudah aman dan
perjalanan tidak ada gangguan, maka ketentuan tersebut tentunya tidak berlaku
lagi, sehingga hal yang semula dilarang oleh Nabi Saw dapat berubah menjadi
kebolehan.
Dalam dunia moderen saat ini, hukum pidana Islam
harus dibangun atas dasar hubungan harmonis antar umat manusia, dan paradigma
kemanusiaan serta kesetaraaan, sehingga tidak dibenarkan ada sikap dan prilaku
intimidasi, pemaksaan atau diskriminasi. Dalam konteks ini maka hadis yang
memerintahkan agar orang murtad (pindah agama) dihukum mati, harus diterapkan dalam konteks pengkhianatan.
Hadis dimaksud adalah:
عَنْ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ [12]
Artinya: "Barang siapa mengganti agamanya
maka bunuhlah dia".
Konteks hukuman mati demikian terjadi pada zaman
Nabi di mana saat itu antara umat Islam dan non muslim berada dalam situasi
peperangan dan permusuhan terus menerus. Seorang muslim yang kembali kepada
musyrik kekafiran dikhawatirkan akan membocorkan rahasia kekuatan dan kelemahan
umat Islam kepada kaum musyrik Mekah saat itu.
Hal ini tentu sangat berbahaya, sehingga pelaku murtad dianggap
pengkhianat yang harus dihukum mati. Namun ketika perbuatan murtad dilakukan
bukan karena pengkhianatan, melainkan murni faktor kedaran dalam agama, atau
faktor sosial dan ekonomi, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, maka
pelakunya tidak boleh dihukum mati. Apalagi jika dikaitkan dengan prinsip
al-Qur’an yang menegaskan tidak boleh ada paksaan dalam agama.
Pemahaman serupa juga dapat diterapkan terhadap
hadis yang memerintahkan agar melakukan tindakan diskriminatif terhadap kaum
Yahudi dan Nasrani. Hadis dimaksud menyatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبْدَءُوا
الْيَهُودَ وَلَا
النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ [13]
Artinya: “Janganlah kalian memulai
ucapan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kalian bertemu salah seorang
mereka di jalan maka desaklah mereka ke jalan yang paling sempit”.
Sikap Rasul yang keras terhadap orang
Yahudi dan Nasrani ketika itu dapat dimaklumi, karena saat itu hubungan antara
umat Islam dan Yahudi serta Nasrani sangat panas penuh dengan kecurigaan dan
permusuhan. Namun ketika Rasul berhadapan dengan non muslim (zimmi) atau
Ahlul Kitab yang baik maka beliau juga memperlakukan dengan penuh
hormat, toleran dan melindungi. Dengan demikian, ketentuan diskriminatif
terhadap non muslim tidak berlaku selamanya, melainkan hanya untuk situasi
khusus dan golongan tertentu. Pada saat umat Islam dan umat lainnya di
Indonesia harus membangun hubungan baik, toleran dan saling melindungi, maka
sikap dan prilaku yang harus dikembangkan antara umat beragama tentunya adalah
saling menghormati dan menghargai dengan perlakuan yang setara dan sederajat,
tidak ada perlakuan diskriminatif yang merugikan.
Hadis lain yang juga dapat dipahami secara
kontekstual, tidak lagi secara tekstual harfiyah, adalah tentang larangan
perempuan menjadi kepala negara, yang berbunyi:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا
أَمْرَهُمُ امْرَأَةً [14]
Artinya:
Dari Abi Bakrah ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.
Sangat banyak hadis yang harus
dipahami secara konteks tertentu, seperti hadis tentang perempuan (gender),
ekonomi, maupun terkait dengan sosial dan budaya.
Penutup
Peran
Perguruan Tinggi Agama Islam dalam pengembangan kajian hadis sangat signifikan,
apalagi dengan adanya jurusan Tafsir dan Hadis. Banyak tokoh besar hadis yang
ternama muncul. Sebenarnya kajian hadis di lembaga pendidikan tinggi di
Indonesia memiliki karakter lokal keindonesiaan yang sekaligus menjadi
keunggulan, karena dilakukan dengan interdisipliner, seperti pendekatan ilmu
sosial dan budaya. Dengan demikian, maka kajian hadis semakin berkembang dan
berkualitas, bukan hanya menjadi hapalan secara kuantitatif.
Daftar Pustaka
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail, Sahih al-Bukhari, Dar al-Fikr,
Bairut, 1975.
Al-Qarađāwi, Yūsuf, al-Sunnah Maşdar
li al-Ma’rifah wa al-Hađārah, Kairo: Dār al-Syurūq, cet. 1, 1997
-------, Kaifa Natā’amal Ma’a
al-Sunnah al-Nabawiyah, Kairo: Dār al-Syurūq, 1992
Malik ibn Anas, al-Muwaththa’ (Kairo: 1951) Juz II.
Muslim bin Hajajaj al-Qusyairi, Sahih Muslim, Dar al-Fikr, Bairut,
1975
Nasr Hamid Abu Zaid, Teks dan Kritik Otoritas Kebenaran, penerbit
LKiS, Yogyakarta, 2005
Al-Qarāfi, Syihāb al-Dīn, Kitāb al-Furūq, jilid 1-4, Kairo: Dār
Ihya’ al-Kitab al-‘Arabi, 1925.
Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, juz III.
Syahrur, NahwUshula l Jadidah lil Fiqh al-Islami, Al-Ahali,
Damaskus, 1992.
al-Syāţibī, al-Muwāfaqāt fī Uşūl al-Syarī’ah (Beirut: Dār al-Fikr,
1987) juz II.
Syihāb al-Dīn al-Qarāfi, Kitāb
al-Furūq (Kairo: Dār al-Ma’rifah, tt) juz I.
Wensinc, A.J, Mu’jām al-Mufahras li Alfāž al-Ĥadīś
al-Nabawi al-Syarīf, Leiden: penerbit E.J. Brill, 1932
_____, Miftāĥ Kunūż al-Sunnah, edisi terjemahan dalam bahasa Arab oleh Ahmad Muĥammad Syakir, Pakistan:
Dār Turjuman al-Sunnah, 1952
* Penulis adalah dosen Fakultas Syari’ah dan
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Bandar Lampung Indonesia. Gelar Doktor
diperoleh dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[1] Kemajuan kajian hadis terkendala
oleh berbagai faktor, di antaranya sosio-politik dan pola pemikiran umat Islam
sendiri..
[2] Maka periwayatan hadis, baik menerima
maupun menyampaikan, perlu kehati-hatian ekstra tinggi, agar tidak mengulang
bagian sejarah kelam masa silam yang benyak terjadi manipulasi hadis di
dalamnya.
[3] Maka ada istilah, “Imam Auza’i adalah
ahli dalam hadis tetapi tidak ahli dalam sunnah, imam al-Tsauri adalah ahli
dalam sunnah tetapi tidak dalam hadis, sedangkan imam Malik adalah ahli
kedua-duanya”.
[4] Lihat Malik ibn Anas, al-Muwaththa’
(Kairo: 1951) Juz II, hal. 776.
[5] Lihat: Syihāb al-Dīn al-Qarāfi, Kitāb
al-Furūq (Kairo: Dār al-Ma’rifah, tt) juz I, hal. 105-208. Lihat juga
karyanya, al-Ihkām fi Tamyīz al-Fatāwa min al-Ahkām (Haleb: Penerbit
al-Ashil, tt), hal. 86-109.
[6] Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, juz III, hal. 422.
[7] Lihat
al-Syāţibī, al-Muwāfaqāt fī Uşūl al-Syarī’ah (Beirut: Dār
al-Fikr, 1987) juz II, hal. 7.
[8] Syaĥrūr, al-Kitāb wal
Qur’an; Qiraah Mu’asirah, (Damaskus: Dar al-Ahali lit Thiba’ah, 1991), hal. 549 .
[9] Lihat: Syahrur, Nahw Ushula
al-Jadidah lil Fiqh al-Islami, (Damaskus, Al-Ahali, 1992) , hal.
106.
[10] Lihat, al-Qarađāwi, Sunnah
Maşdar…, op.cit, hal. 92 dan al-Qardawi, Madkhal li Dirāsah al-Sunnah,
op.cit, hal. 96.
[11] Lihat dalam Sahih Muslim
dengan hadis nomor 2381
[12] Teks hadis tersebut berarti “Barang
siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia”. Hadis tersebut riwayat al-Bukhari
dengan nomor 2794.
[13] Riwayat Muslim dengan nomor hadis 4030
[14] al-Bukhari dengan nomor 4083 dan Tirmizi 2188
Tidak ada komentar:
Posting Komentar