Rabu, 10 April 2013

Arah Studi Hadis Di Barat; Antara Obyektif Ilmiah dan Meragukan Eksistensi Hadis


Arah Studi Hadis Di Barat;
Antara Obyektif Ilmiah dan Meragukan Eksistensi Hadis



Oleh :
Ahmad Isnaeni[1]



Abstrak

Studi hadis telah lama dilakukan oleh sarjana Barat dengan berbagai aspeknya. Secara umum concern mereka tertuju pada masalah otentisitas hadis. Kecenderungan Barat semakin serius meneliti keislaman seiring dengan kekalahan mereka dalam perang salib. Faktor-faktor luar ilmiah inilah yang memotivasi mereka meneliti ajaran Islam. Tersimpul di dalamnya paling tidak terdapat tiga faktor yakni imperalisme, mencari agama, dan ilmiah. Sayangnya faktor ilmiah terkalahkan oleh dominasi motivasi lain. Kesimpulan umum dari kajian hadis mereka menunjukkan sikap skeptisisme atas eksistensi hadis. Untuk menepis subyektifitas ini, mereka mengembangkan metodologi yang secara eksplisit memenuhi standar ilmiah. Hal inilah yang membuat kajian hadis di Barat lebih berkembang dari pada dunia Islam.

Kata Kunci: Orientalis, hadis, orisinalitas.

Arus Pemikiran Barat dalam Mengkaji Islam
Dalam sebuah artikelnya tentang pembacaan studi Islam di Jerman, Kamaruddin Amin memberi tanggapan Arnold Alfred yang menyatakan bahwa orang Arab pernah menikmati kejayaan intelektual di kala orang Kristen di Barat sedang menjalani kehidupan mereka dengan model barbarisme. Ungkapan tersebut menurut Amin dibuktikan dengan tersebarnya universitas dan tempat-tempat penelitian ilmiah di berbagai daerah Islam, khususnya Irak sebagai pusat peradaban sehingga mampu menarik perhatian para sarjana dari berbagai pelosok dunia.[2] Akan tetapi disayangkan, Amin kemudian memunculkan ungkapan ironis yang menilai umat Islam setelah keruntuhan Bagdad pada tahun 1258 H, mereka mulai kehilangan roh dan independensi intelektualnya. Sehingga dinilai membiarkan peninggalan intelektual tersebut tak terbaca dan dimakan oleh cacing dan ulat, sampai pemerhati ilmiah dari Barat datang untuk mengamankannya.[3]
Ulasan tersebut menarik, seakan umat Islam memang telah lupa dan mencukupkan diri dengan membanggakan kejayaan masa lalu dan lupa melakukan diskursus lebih lanjut untuk mengembangkan hasil pengembaraan intelektual para leluhurnya. Amin melanjutkan, Barat datang dengan bala tentaranya ke dunia Islam untuk mengamankan peninggalan intelektual tersebut. Sayangnya Kamaruddin Amin tidak melihat bahwa kedatangan Barat sebagai kaum imperalis yang meluluh-lantahkan kekuasaan Islam dan merebut khazanah keilmuan yang ada.
Jika kita menengok lintasan sejarah, Pemerintahan Islam yang ada di Baghdad pada periode abad pertengahan memang hanya tinggal nama, sebab masa-masa tersebut sering dikategorikan dengan masa kemunduran. Marshall G.S. Hodgson menamakan periode itu dengan periode tangah awal (earlier midlle period) antara tahun 945-1258 Masehi. Periode ini ditandai munculnya internasionalisasi dunia Islam. Artinya pada masa itu, bahkan sampai sekarang, persatuan dunia Islam tidak lagi sesuatu yang kongkret baik dalam kehidupan politik maupun kebudayaan.[4] Jadi tidak ada kekuasaan politik yang dapat mengklaim sebagai penguasa tunggal politik dan peradaban. Bahkan Baghdad bukan merupakan pusat peradaban tunggal yang kala itu disebut peradaban Islam. Kejayaan Baghdad tinggal punging-punging menuju keruntuhan. Wajar jika bangsa Mongol datang menghancurkan tahta kerajaan Islam Baghdad tidak mengalami kesulitan, sebab kesatuan politik dunia Islam telah pudar, meski masih dalam naungan pemerintah Baghdad.
Barat tampaknya mulai mengembangkan tradisi ilmiah lebih jauh lagi dengan bermodalkan dokumen ilmiah yang mereka rampas dari dunia Islam, untuk meninggalkan ketertingalan mereka menuju kejayaan intelektual yang mereka temukan di dunia Islam sebelumnya. Usaha ini berhasil, sementara dunia Islam yang dahulu di puncak kejayaan ilmiah sekarang terseok-seok bangkit untuk meninggalkan ketertinggalan. Meski tampaknya sulit, hal ini disebabkan perpecahan telah melanda umat Islam.[5]
Menurut catatan Edward Said, setelah kekalahan dalam perang salib orang-orang Barat tidak berputus asa untuk menguasai dan menjajah Negara-negara Islam. Salah satu yang dikembangkan mereka adalah memunculkah sifat patriotik yang berlebihan (chauvinisme) di kalangan bangsa Arab. Seperti fir’auniyah di Mesir, Phonesia di Syiria, Libanon dan Palestina, Asyur di Irak, dan lain sebagainya. Tujuan utama pengalihan kajian mereka adalah untuk melemahkan kesatuan umat Islam dan lahirnya nasionalisme di antara bangsa-bangsa Arab sehingga akan lebih mudah ditaklukkan.[6] Meskipun secara lahiriyah perang salib adalah perang agama, tetapi hakikatnya adalah perng imperalisme Barat atas dunia Timur. Simbol-simbol agama mereka gunakan dalam rangka mencari dukungan dan bantuan sesame bangsa Barat dalam menyerang Timur.
Jika menelisik lebih jauh motivasi perjalanan ilmiah para sarjana Barat dalam mengkaji dunia Islam untuk menemukan titik kelemahan dunia Islam melalui berbagai aspek, bukan hanya ajaran kepercayaan dan keyakinan semata, tetapi mereka masuk melalui adat kebiasaan bangsa Arab, akhlak, dan kekayaan alamnya. Tujuan tersembunyi dari semua itu adalah mengetahui basis-basis kekuatan Negara-negara Islam untuk kemudian dilemahkan dan dirampas.[7] Lebih jauh Mustafa as-Siba’i mengelompokkan faktor-faktor yang memotivasi para sarjana Barat mendalami keislaman adalah karena motif agama, politik imperalisme, dan ilmiah. Fakta sejarah menguak keberadaan kajian mereka tidak lepas dari ketiga faktor tersebut.[8]
Realitas historis menggambarkan para pengkaji Barat umunya terdiri dari para ilmuan dan pendeta-pendeta agama Yahudi dan Nasrani.[9] Meskipun dalam perkembangannya tidak semua mereka terdiri dari para agamawan, tetapi ilmuan murni, bahkan ateis-pun ikut andil dalam mendalami keislaman. Sehingga hasil kajian mereka tidak akan jauh dari menimbulkan keraguan atas kenabian Muhammad saw, kebenaran al-Qur’an, dan hukum Islam. Mengaburkan nilai-nilai sejarah umat Islam, kebenaran akidah dan menyebarkan virus kesukuan/ golongan (ashabiyah) dan perpecahan di kalangan umat Islam.[10]
Pemikiran di atas dapat dibuktikan dari hasil kajian dan telaah mereka melalui karya-karya yang mereka hasilkan. Keberadaan karya-karya tersebut baik langsung maupun tidak langsung telah menjadikan Islam sebagai bahan hinaan, terpojokkan, dan berada dalam ketertinggalan. Kebanyakan karya tulis mereka yang bernuansa demikian seiring dengan terjadinya peperangan salib antara tahun 1100 masehi sampai dengan tahun 1800 masehi. Tidak bisa dipungkiri, kala itu budaya Spanyol-Islam lebih tinggi disbanding budaya Eropa Barat. Para sejarawan tersebut menyodorkan tulisan-tulisan yang membahas keislaman dalam paradigma yang tidak obyektif. Seakan-akan tersimpul di dalamnya suatu pesan bagi saudara-saudara mereka maski secara fisik mereka kalah, tetapi tetap unggul sisi agama dan keyakinan, dan menggambarkan Islam melalui citra yang salah.
Pada perkembangan selanjutnya, usaha ilmiah yang masih bersifat subyektif ini meski telah berupaya menutupinya dengan berbagai syarat dan ketentuan, seperti prasyarat kemampuan linguistik dalam mengkaji peninggalan Islam, dan bahan kajian yang asli berupa manuskrip tetapi ide dan teori mereka berangkat dari ketidakjujuran ilmiah. Meskipun di abad kesembilan belas dan dua puluh masehi bermunculan karya-karya ilmiah yang cukup membantu kajian Islam bagi umat Islam sendiri seperti yang dilakukan A.J. Wensink dengan kamus hadisnya (al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis dan Miftah Kunuz as-Sunnah) dan lainnya, tetapi menurut Ahmad Abdul Hamid Ghurob masih belum dapat lepas dari metovasi keagamaan. Di balik kemudahan untuk mendapatkan informasi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw, mereka memanfaatkannya untuk lebih mudah menebarkan virus keraguan dan kerancuan dalam Islam, tidak hanya dalam kajian al-Qur’an, hadis, akidah, hokum Islam, tetapi juga aspek lainnya.[11]
Keobyektifitasan para sarjana Barat dalam mengkaji ajaran Islam memang berangsur-angsur membaik. Ada kalanya di antara mereka muncul ilmuan yang berupaya semaksimal mungkin berlaku obyektif dalam memahami Islam. Berbagai karya muncul dari kelompok ini dengan tetap berada dalam standar obyektif ilmiah, seperti yang terjadi pada diri Thomas Arnold, seorang orientalis Prancis yang akhirnya masuk Islam yang mengungkapkan bangsa Barat enggan dan antipasti terhadap Islam.[12] Sayangnya di kalangan orientalis sendiri jika ada muncul karya tulis yang berupaya jujur dalam menyatakan tentang Islam, tulisan tersebut dinilai oleh orientalis lain sebagai hasil karya tulis yang tidak memenuhi standar ilmiah dan obyektifitasnya rendah.

Pemetaan Arah Kajian Hadis di Barat
Berbeda dengan umat Islam, Barat dengan tokoh-tokoh orientalisnya mengkaji keislaman khususnya hadis Nabi saw didasarkan pada kepentingan sejarah (historical interest) dan sosial. Sementara kecenderungan mereka berbeda dengan apa yang dilakukan oleh umat Islam secara umum. Para orientalis merupakan pengkaji budaya sehingga terlepas dari keyakinan akan doktrin agama yang selama ini diyakini kaum muslim.[13] Kamaruddin Amin memberikan alasan mengapa kajian hadis di Barat tidak seiring dengan apa yang terjadi di dunia Islam, mereka sebagai pelajar-pelajar budaya yang tidak ada beban moral dalam memberi argumentasi dan kesimpulan yang kontradiktif dengan dunia Islam.
Akhir abad kesembilan belas merupakan periode ketika umat Islam menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana orientalis yang baru saja bersikap kritis terhadap keotentikan literatur Hadis. Dampak ini paling terasa di India, tempat Alois Sprenger (w. 1893) dan William Muir yang disinyalir menjadi sarjana Barat pertama –tanpa menafikan lainnya-- yang mempertanyakan apakah literatur hadis benar-benar mencerminkan perbuatan dan perkataan Rasulullah Saw, apakah proses penyampaian dapat dipercaya, dan apakah metode klasik untuk menyeleksi hadis yang bisa dipercaya (shahih/otentik) dan yang tidak (dlaif/ lemah) itu bisa dapat diterima/ sah.[14] Kajian Sprenger memang baru semacam penghantar, yang belum menusuk secara langsung epistemologi isnad yang dibangun kalangan ulama hadis untuk menjamin otentisitas hadis. Lalu William Muir dalam Life of Mahomet, yang hadir setelah Sprenger lebih menggemakan ketegasan akan skeptisisme terhadap capaian ulama hadis berkenaan dengan isnad.[15]
Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya ketika Ignaz Goldziher (1850-1921). Goldziher menolak hadis sebagai sumber informasi pada masa nabi Muhammad, melainkan hanya sumber berharga untuk mengetahui peta konflik dan informasi generasi yang datang kemudian. Hadis menurutnya adalah produk dari masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi Muhammad saw wafat, bukan berasal dan tidak ada indikasi otentik dari beliau. Berbagai kompilasi Hadis, Goldziher menambahkan, yang bermunculan pada abad kedua merupakan perkembangan historis doktrin-doktrin Islam dan merupakan kreasi para ulama.[16]
Bahasa lain, ia mengemukakan bahwa fenomena hadis berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi karena kandungan hadis yang terus membengkak pada masa-masa selanjutnya. Dalam setiap generasi muslim, materi hadis berjalan pararel dengan doktrin-doktrin aliran fiqih dan teologi yang seringkali saling bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit menemukan hadis-hadis yang orisinil berasal dari Nabi.[17] Dengan menggunakan ungkapan lain, Margoliouth dalam karyanya Early Development of Islam, mengemukakan bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak meninggalkan sunnah ataupun hadis, dan bahwa sunnnah yang dipraktekkan kaum Muslim awal sama sekali bukan merupakan sunnah Nabi, melainkan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al-Qur’an. Margoliouth juga mengemukakan bahwa dalam rangka memberikan otoritas dan normativitas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, kaum Muslim pada abad kedua Hijriyah telah mengembangkan konsep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme hadis untuk merealisasikan konsep tersebut.[18] Uraian tersebut mengandung esensi serupa dengan apa yang dipaparkan Goldziher.
Pandangan Goldziher ini jelas suatu keraguan untuk meyakini eksistensi hadis sudah ada pada masa Nabi, sahabat dan masa sesudahnya. Hadis tidak lain adalah hasil karya para ulama dalam menyikapi kondisi sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk pandangannya berdasarkan pada sebuah riwayat berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn Syihab az-Zuhri. Menurut Goldziher, al Zuhri mengatakan “Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/ Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”. Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al ahadis” yang berarti hadis-hadis yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hadis yang berasal dari Nabi Saw[19] Jadi pengertian ucapan az-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku. sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Pandangan Goldziher terus membekas di antara pengkaji Islam di Barat dan diikuti oleh sejumlah sarjana terkemuka sebagai penerus ide dan pemikirannya meski terdapat kecenderungan dan penjabaran. Sebut saja di antaranya L. Caetani, Henri Lammens, John Wonsbrough, Patricia Crone dan Michael Cook.[20] Lammens, dalam bukunya Islam; Beliefs and Institutions, memperlihatkan pandangan yang sama dengan Margoliouth dan menyatakan dengan singkat bahwa praktek sunnah pasti sudah mendahului perumusannya dalam hadis.[21]
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct (1902-1969) berasal dari Austria, dengan bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950. Secara umum dapat dipahai bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, tetapi Schacht lebih jauh menganalisa sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Schacht mengakui bahwa ia mengamini begitu saja ide pemikiran Goldziher bahwa hadis hanya refleksi ungkapan orang-orang yang di tulis selama dua setengah abad pertama setelah Hijrah.[22] Tegasnya bahwa konsep sunnah Nabi merupakan kreasi kaum Muslim belakangan. Menurutnya sunnah mencerminkan kebiasan tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” dan “tradisi yang hidup” itu lebih dahulu eksis dari hadis (tradisi Nabi), Ketika hadis pertama kali beredar – sekitar menjelang abad kedua hijriyah – ia tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi pertama-tama kepada tabi’in, baru pada tahap berikutnya, dirujukkan kepada sahabat dan Nabi.[23]
Pemikiran ilmiah Barat ini ternyata berdampak sangat luas terhadap seluruh kajian-kajian tentang Islam. Pengaruhnya bukan saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalangan pemikir muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dengan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Goldziher tersebut.[24] Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adlwa ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah” ia juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi orientalis, khususnya Goldziher.[25]
Berdasarkan perihal di atas, dapat dipahami bahwa metodologi kajian hadis di Barat yang lebih mengutamakan pendekatan historis dinilai sementara orang –yang cenderung mengikuti Barat—lebih baik dibanding apa yang dilakukan oleh kelompok Islam. Kajian hadis di dunia Islam lebih cenderung kepada takhrij dan penelitian hadis untuk menentukan keaslian (keshahihan) hadis. Sementara itu, studi hadis di Barat menekankan aspek bagaimana melakukan penanggalan (dating) hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang menurut asumsi sementara orang terjadi pada masa awal Islam. Oleh sebab itu arah kajian masing-masing kelompok ini berbeda. Jika di kalangan umat Islam mengarah kepada pemilahan dan pembuktian hadis-hadis yang shahih dan yang lemah/ palsu, tetapi di Barat akan sampai kepada muara mungkinkah hadis yang sementara ini dikatakan oleh kalangan Muslim berasal dari Nabi, itu benar adanya atau  hadis di masa sesudahnya, atau bahkan merupakanLearning the methodology of both tendencies will enrich our methodology and enable us to reveal the historical  rekayasa orang sesudah Nabi.[26]
Goldziher dalam bukunya Introduction, banyak hal yang dipaparkannya, secara implisit sama. Goldziher secara acak menjelaskan asal-usul ajaran Islam dan tradisi peri kehidupan Nabi Saw tidak lain merupakan elaborasi dari berbagai ide dan peraturan dari beberapa agama, yahudi dan Kristen, dan lainnya.[27] Unsur-unsur Kristen di dalam al-Qur’an diterima Nabi umumnya melalui jalan tradisi yang diragukan kebenarannya (apokri). Berbagai bid’ah dari Gereja Timur juga masuk ke dalamnya, dari sini unsur-unsur Gnostik Timur masuk dalam ayat suci (al-Qur’an).[28] Tradisi dari Nabi Saw tersebut juga pada akhirnya menemui kesempurnaan setelah berbagai aspirasi umat Islam masuk, sehingga hadis memuat berbagai konsep bukan semata adat kebiasaan, tetapi hukum, doktrin politik, dan teologi  mengambil bentuk dalam hadis.[29] Tampaknya Goldziher tidak sejalan dengan apa yang diterangkan di atas, baik menurut ahli bahasa maupun kontek orang-orang Arab yang menggunakan bahasa mereka untuk menamakan sesuatu yang mereka lakukan. Bahkan Goldziher lebih jauh melihat bahwa baik ajaran Islam maupun sunnah Nabi tidak lain berasal dari anasir-anasir asing di luar Islam.
Keraguan yang mencolok bagi seorang Goldziher tampaknya ketika menyaksikan kandungan (matan) hadis dari masa generasi ke generasi lainnya terus membesar. Kadangkala terdapat keanekaragaman di dalamnya berkaitan dengan doktrin fiqih dan teologi, dan juga seringkali terjadi pertentangan antara doktrin-doktrin tersebut. Untuk menyikapi pandangan Goldziher di atas, tentunya perlu menelusuri bagaimana perkembangan sunnah melalui sejarah kehidupan Nabi yang nantinya akan memuat sunnah dan terakumulasi dalam hadis. Sunnah sebagaimana telah dipaparkan di atas mengandung arti norma-norma praktis atau model tingkah laku yang terkandung dalam hadis. Meski Fazlur Rahman melihat adanya kontradiktif dari apa yang dipaparkan oleh Goldziher seputar makna sunnah. Sesuatu yang kontradiktif itu adalah bagaimana mungkin sunnah menjadi normatif dan aktual sekaligus, sedangkan yang normatif dan yang aktual itu saling bertentangan? Atau bagaimana mungkin hadis dan sunnah bertentangan padahal keduanya ada dan memiliki substansi yang sama, meski secara eksplisit terdapat sebuah hadis bertentangan dengan hadis lain.[30]
D.S. Margoliouth mengembangkan pandangan Goldziher dengan lebih ekstrim, di mana ia menyimpulkan bahwa (a) Nabi sebenarnya tidak meninggalkan sesuatu apapun baik pedoman atau keputusan keagamaan selain al-Qur’an; (b) Praktek keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Islam setelah nabi Muhammad meninggal bukanlah sunnahnya, melainkan tradisi masyarakat pra-Islam yang telah termodofikasi dalam al-Qur’an; dan (c) Generasi muslim periode kemudian yakni abad ke- H/8 M yang mengembangkan konsep Sunnah Nabi dengan menciptakan mekanismenya dalam rangka mencari nilai otoritas dan normatifitasnya.[31]
Uraian Margoliouth di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Goldziher yang telah berhasil memberikan kesan bahwa sunnah patut diragukan, bahkan dinilai perwujudan pandangan dan praktik atau tradisi masyarakat muslim awal. Kesannya ialah sunnah tidak lain merupakan hasil perkembangan religius historis masyarakat Islam bertahun-tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Hadis merupakan refleksi tendensius yang muncul dalam komunitas muslim pada masa-masa perkembangannya. Bahkan hadis merupakan buatan orang-orang sesudah nabi, yaitu sahabat dan umat Islam sesudahnya. Perkataan mereka disandarkan kepada beliau dengan mengatakan "Muhammad berkata".[32]
            Pemahaman di atas akan membawa pengertian seakan hadis memang produk orang-orang yang hidup jauh setelah masa kehidupan Nabi Muhammad saw. Dikarenakan produk orang lain yang dinisbatkan kepada diri Nabi saw karena terdapat tendensi tertentu maka pada kajian selanjutnya yang menjadi pusat pengkajian mereka adalah sejarah dan perkembangan hadis, baik di masa sahabat, tabi’in atas sesudahnya. Tujuannya adalah untuk menentukan keorisinalitasan hadis dalam Islam. Keraguan akan keberadaan hadis dalam Islam merupakan tujuan terselubung yang dimunculkan para pengkaji Barat akan hadis. Dengan demikian umat Islam akan serta merta meragukan dan menolak hadis sebagai sumber hukum Islam selain al-Qur’an.

Historisitas hadis
Persoalan otentisitas hadis, barangkali memang hampir tidak pernah ditanyakan oleh umat Muslim. Jarang sekali disinggung bahwa apakah kompilasi-kompilasi hadis yang dianggap standar (mu’tabarah) memang berasal dari Nabi Muhammad saw atau bukan. Hal yang demikian ini, boleh jadi telah inheren dalam keyakinan, sehingga soal yang berkait dengan asal-usul, keaslian, luput dari kekritisan. Hal berbeda ditunjukkan oleh para pengkaji Islam di Barat. Mereka menganggap penting mengungkap persoalan otentisitas hadis, dengan mempersoal-kan apakah hadis benar-benar berasal dari pribadi Nabi Muhammad, atau hanya buatan orang yang hidup jauh sesudah masa kehidupan Nabi lalu disandarkan kepadanya. Di sisi lain muncul pertanyaan tentang kapan dan bagaimana awal hadis ditransmisikan, secara tertuliskah atau hanya secara oral. Jika kenyataan yang ada hanya melalui lisan, maka kemungkinan adanya kebohongan mudah sekali terjadi.
Perjalanan orientalis dalam mengkaji keislaman memang tidak sepi dari tuduhan dan stereotifikasi umat Muslim. Terlebih lagi sebagaimana ditegaskan oleh Said bahwa orientalis klasik memang banyak menyimpan rasisme intelektual terhadap dunia muslim. Mereka tetap membawa misi tertentu dalam mengkaji keislaman, ada yang beralasan kebebasan berpikir padahal memiliki jaringan perangkap terselubung, wajar jika secara ilmiah objektivitas mereka patut diragukan.[33] Yang demikian memang tidak menghinggapi semuanya, ada beberapa diantara mereka yang masih dapat dikatakan cukup objektif dalam mengkaji Islam, sehingga tipologi mereka memang tidak dapat digeneralisir secara gegabah. Menurut Maxime Rodinson tipologi mereka dapat dimasukan ke dalam beberapa fase, mulai periode abad pertengahan yang memang amat kental biasnya terhadap Islam hingga yang belakangan lebih cair dan mendekati apa yang memang diakui oleh umat Islam, meski hal yang dianggap buruk sekalipun.[34]
Menyikapi perkembangan pemikiran Barat dalam mengkaji hadis, kalangan muslim berbeda sikap. Di antara mereka ada yang reaktif dan menentang secara sporadis, ada pula yang mengikuti dan mengadopnya. Terdapat beberapa pemikir muslim yang cenderung mengagungkan, mengikuti metodologi dan takjub atas hasil pemikiran mereka. Najib al-Aqiq misalnya memandang mereka memang demi kemajuan ilmu pengetahuan di balik keseriusan yang mereka lakukan dalam mengkaji keislaman.[35] Padahal menurut Said, tujuan merendahkan ajaran Islam dan kepentingan agama mereka tidak dapat disembunyikan.[36] Sementara Mahmud Hamdy Zaqzuq menyitir ada tiga hal penting yang mereka proyeksikan dalam pengkajiannya tentang Islam, yakni menyerang Islam dan mencari kelemahannya, memelihara penganut Nasrani dari bahaya Islam dengan cara menutupi kebenarannya, lalu misi zending dan kristenisasi.[37] Zikri Darussamin yang mengidentifikasi kajian hadis Barat umumnya didasarkan pada tiga kepentingan, yakni motif agama, imperalisme, dan ilmiah. Meski pada kenyataannya motif ilmiah tidak begitu kentara dibandingkan kedua motif lainnya.[38] An-Nadwi mengingatkan bahwa umat Islam tetap harus waspada dalam mengkaji karya-karya Barat tentang Islam, sebab kajian mereka didasarkan pada taktik yang sangat lembut dan licik dengan bingkai analisis ilmiah dan rasional. Tujuan akhir mereka disela-sela analisis obyektif tersebut tersimpul rentetan kalimat yang merusak ajaran Islam. [39]
Berangkat dari informasi ini wajar jika pandangan mereka tentang sunnah Nabi saw berbeda dengan para pengkaji Islam dan umat Islam secara keseluruhan. Ini didasarkan kepada tujuan yang ada di balik keseriusan mereka menelanjangi ajaran Islam.
Kesimpulan umum mereka terhadap sunnah atau hadis cukup membuat para pemikir muslim harus menolaknya. Sarjana Barat banyak menyimpulkan bahwa sunnah atau hadis tidak layak dijadikan dalil agama. Ada sebagian mereka yang mengingkari sunnah, sebab sunnah marupakan tradisi jahiliyah sebelum Islam datang yang kemudian diadop oleh Muhammad. Hal ini menyebabkan eksitensi dan otoritas sunnah tidak dapat dijadikan sumber ajaran Islam. Definisi otoritas sunnah Nabi menjadi masalah penting bagi pemikir keagamaan Muslim sebagai reaksi atas pemikiran Barat.[40]
Berkenaan dengan keberadaan hadis yang dipertanyakan eksistensinya tersebut, muncul keprihatinan di kalangan umat Islam untuk membelanya. Dalam lintasan sejarah telah banyak sarjana muslim yang berhasil mematahkan teori dan kesimpulan kajian hadis Barat. Skriptualisme para misionaris Kristen Protestan jelas mempengaruhi cara orang muslim memandang hubungan antara al-Qur’an dan hadis. Pada abad itu merupakan periode aktivitas gencar para misionaris kristen dan perdebatan antar agama, terutama di India. Dan di akhir abad ke sembilan belas juga merupakan periode ketika umat Islam menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana orientalis yang bersikap kritis terhadap keotentikan literatur hadis. Kajian Barat ini lebih cenderung kepada pendekatan histories dan sosiologis.[41] Hal ini berbeda dengan pemahaman dan keyakinan umat Islam yang menganggap sumber hukum Islam (khususnya al-Qur’an dan hadis di dalamnya) merupakan sesuatu yang sakral berasal dari Tuhan. Sedangkan hadis meskipun secara materi memang ungkapan Nabi Muhammad saw akan tetapi ide pokok dari ungkapan tersebut bersumber dari Tuhan pula. Sehingganya keberadaan hadis selain sebagai penjabaran, penjelasan, dan manifestasi ajaran al-Qur’an juga di anggap memiliki sumber yang sama dengan al-Qur’an.
Dampak ini paling terasa di India, tempat William Muir dan Alois Sprenger menjadi sarjana Barat pertama yang mempertanyakan apakah literatur hadis benar-benar berasal dan bersumber dari pribadi Nabi saw, proses transmisi juga dapat dipercaya, dan metode keotentikan hadis klasik itu kredibel sehingga hasilnya benar-benar terpercaya?[42] Dalam masalah ini mereka memusatkan penelitian dan kajiannya terhadap otoritas (kewenangan) sebuah hadis atau Sunnah sebagai sumber Hukum Islam kedua setelah al-Qur’an dan otentisitas (Kesahihan) sebuah Sunnah atau Hadis. Mereka berupaya menentukan metode atau teori sendiri dalam menilai kesahehan sebuah hadis. Sekaligus mengkritisi konsep kesahihan hadis ulama Muslim tradisional yang cenderung mengutamakan kekuatan isnadnya saja dan tanpa banyak mempertimbangkan matan (redaksi) hadis. Menurut mereka (sarjana Barat) hal ini secara realitas bertentangan dengan akal sehat atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Ignaz Goldziher (1850-1921) dinilai sebegai pemula yang mengkaji perkembangan historis tentang literatur tradisi Islam dan asumsinya bahwa ada hukum-hukum asing dalam Hukum Islam. Hukum asing dimaksud diadopsi oleh Muhammad baik dari ajaran Yahudi maupun Kristen, atau tradisi nimis sebelum Islam datang. Kemudian dilanjutkan oleh Joseph Schacht (1902-1969) –yang juga pernah menimba ilmu dari Snouck Hurgronje (1857-1936) selama ia tinggal di Universitas Leiden-Belanda- dalam artikelnya yang pertama tentang Hadis “A Revolution of Islam Traditions”. Schacht menyatakan bahwa ia mengambil begitu saja gagasan Goldziher bahwa hadis-hadis itu “merefleksikan pendapat-pendapat yang di tulis selama dua setengah abad pertama setelah Hijrah.”[43]
Kesimpulan para sarjana Barat tersebut sebenarnya sama dan mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Ignaz Goldziher dikenal sebagai penggagas kelompok Skeptis atas sunnah –meski ia sebenarnya menyunting dan menjabarkan ide pemikiran Muir dan Sprenger sebagai penggagas awal- kemudian dikembangkan oleh Hurgroje dan Schacht. Tidak hanya meragukan sunnah akan tetapi sebagaimana diungkapkan di atas mereka menawarkan metode tersendiri untuk menyortir hadis yang otentik ala mereka. Hal inilah yang kemudian membuat sarjana muslim merasa aneh dan tergugah atas apa yang dimunculkan para orientalis yang terlalu jauh salah memandang keberadaan sunnah. Anehnya para sarjana Barat yang mengatasnamakan para pengkritik terkemuka tetapi mereka sendiri tidak berani keluar dari pandangan Goldziher. Kebanyakan mereka bertaklid buta atas kesimpulan dan pandangan Goldziher tentang hukum Islam, khususnya hadis.[44]
Dengan menggunakan metode historis-sosiologis, Schacht berusaha sekuat tenaga menciptakan dua teori ilmiahnya, yaitu backward-projection dan common link untuk mengaburkan dan membedakan definisi antara Sunnah dengan hadis. Schacht sampai pada satu kesimpulan bahwa sunnah Nabi pada kenyataannya bukanlah sunnah Nabi itu sendiri, tetapi merupakan tradisi yang hidup dari masyarakat muslim lokal tertentu atau sunnah tidak lebih dari “sebuah kebiasaan yang dapat dijadikan teladan, sebuah pandangan hidup.” Bahkan tradisi Arab pra Islam yang telah diambil oleh Islampun dapat disebut sebagai Sunnah”.[45]
Perkembangan doktrin terus menerus dalam aliran klasik dipercepat oleh gerakan para ahli hadis. Sebagai akibatnya, terdapat sejumlah hadis yang berkembang yang di klaim menjadi laporan-laporan dari saksi-saksi yang mendengar atau melihat perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan Nabi, yang diriwayatkan secara lisan dengan rangkaian orang-orang terpercaya yang tidak terputus.[46] Analisis ini membawa Schacht kepada kesimpulan kontroversi yang meruntuhkan pemahaman muslim tradisional: “hadis-hadis itu, sejauh berkaitan dengan persoalan-persoalan hukum agama, hampir tidak dapat dipertimbangkan sebagai hadis yang otentik, karena motif-motif utama hadis-hadis itu disebarkan oleh ahli-ahli hadis sendiri dari paruh pertama abad kedua dan selanjutnya. Isnad merupakan elemen kunci untuk menentukan otentisitas masing-masing hadis. Dalam pandangan Schacht, studi isnad memiliki kecenderungan tumbuh kebelakang dan menglklaim otoritas yang lebih tinggi dan lebih tinggi hingga mereka sampai kepada Nabi.”[47]
Kritik terhadap metode isnad ini menjadi perhatian menarik bagi orientalis setelahnya, terutama G.H.A. Juynboll dengan penuh kecermatan menilai metode isnad tidak dapat menjamin keotentikan hadis. Sebab di dalamnya terdapat kelemahan yang menunjukkan adanya rekayasa dalam penyusunan sanad. Apalagi jika melihat kemunculan sanad jauh setelah munculnya hadis. Sementara di sisi lain, sanad tidak dapat dijadikan standar utama untuk menentukan kebenaran hadis. [48]
Lebih jauh Juynboll mencoba memberi alternatif teori kritik hadis yang menurut versinya metode yang dikembangkannya dapat menentukan asal-usul hadis dan mengetahui siapa sebenarnya sang pembuat hadis. Teori dimaksud adalah common link dan analisis sanad, yang merupakan kelanjutan dan pengembangan dari pemikiran Schacht.[49] Keberanian Juynboll mengembangkan studi hadis tentu perlu diapresiasi jika ditinjau dari sisi pengembangan keilmuan, akan tetapi masih perlu disejajarkan dengan teori dan standar yang telah dibangun oleh para ulama hadis yang lebih dahulu berkecimpung dalam kajian hadis. Asumsi Juynboll bahwa metode kritik ulama hadis terdapat kelemahan masih perlu dikaji lebih lanjut dan dibandingkan dengan teori yang dibangunnya. Berangkat dari sinilah pentingnya menelaah bagaimana sebenarnya pemikiran orientalis atas hadis, sementara tidak dapat dilupakan bahwa motivasi kajian mereka tidak berangkat dari sisi obyektifitas yang murni.

Sigifikansi Sanad dan Telaah Sarjana Barat
Secara sederhana Azami memaparkan kriteria penetapan hadis yang otentik. Ini tidak jauh berbeda dengan para ulama hadis dalam menetapkan keotentikan hadis, yakni bersandar pada sisi sanad dan matan. Unsur-unsur diterimanya suatu hadis memang terfokus kepada dua hal tersebut. Azami memberikan standar periwayatan hadis yang dapat diterima jika jalur periwayatan hadis bersambung sejak awal sampai akhir, tidak mengandung pertentangan terhadap riwayat lain (syadz) dan tidak terdapat cacat (‘illat).[50]
Seakan Azami tidak menyinggung kemampuan periwayat dalam hal daya hafal akurasi (dhabit) dan kualitas kepribadian (‘adil). Untuk mengetahui kedua hal keadilan dan kedhabitan periwayat, Azami menguraikan seseorang yang telah lama diakui keakuratan dalam penyampaian hadis hingga ratusan hadis jumlahnya, dan di dalamnya tidak terdapat kesalahan. Di sisi lain diri periwayat itu telah dikenal orang yang terpercaya serta selalu berlaku benar, tentu sulit akan menolak berita yang dibawanya, jika memang tiada bukti yang membuat salah.[51]
Hal ini tidak jauh berbeda dengan al-Bukhari ketika memberikan kriteria serupa tentang diterimanya suatu hadis. Al-Bukhari menggambarkan kriteria periwayatan yang diterima ialah: Periwayatnya harus orang yang berkepribadian sangat luhur, dan termasuk dalam golongan yang sangat tinggi dalam penguasaan literature dan standar akademis; dan harus ada informasi positif bahwa para periwayat saling bertemu dan bahwa sang murid belajar dari gurunya).[52]
Berkenaan dengan persyaratan yang ditetapkan Imam Al-Bukhari, banyak kritikan dari ulama, di antaranya oleh ad-Daruquthni, bahwa ternyata setelah diteliti para periwayat yang ada di dalam kitab shahihnya, tidak semua yang disyaratkan dalam penerimaan riwayat tersebut dilaksanakannya.[53] Artinya, ada beberapa periwayat setelah ditelaah kepribadiannya berdasarkan penilaian ulama kritik hadits, periwayat tersebut tidak semua berada pada tingkatan tertinggi seperti yang ditetapkannya. Meski kemudian dibela oleh Ibnu Hajar dengan memberikan beberapa asumsi terkait kritikan tersebut.[54]
Khusus bagi persambungan sanad, al-Bukhari juga mensyaratkan selain harus satu masa (mu’asarah) juga diperlukan adanya informasi yang positif tentang pertemuan (liqa’) antara satu periwayat dengan periwayat berikutnya, periwayat yang berstatus murid benar-benar mendengar langsung (tsubūt simā’ihi) hadits yang diriwayatkan dari gurunya.[55]
Persyaratan hadits di atas agak sedikit berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Muslim. Hal ini salah satu landasan para ulama yang mengunggulkan Al-Bukhari dari Muslim dalam keshahihan hadits. Muslim tidak mensyaratkan adanya keharusan satu masa, karena itu telah tersirat dari adanya pertemuan antara satu periwayat dengan periwayat lain. Analisa ini dapat dilihat dari ungkapan kalimat yang digunakan dalam periwayatan hadits antar periwayat yang saling berdekatan.[56] Tidak mudah untuk merumuskan secara tepat kriteria yang dipergunakan oleh al-Bukhari dalam menerima suatu riwayat. Pasalnya ia tidak pernah menggambarkannya secara utuh. Inilah yang kemudian diungkapkan para ulama sambil mencoba menganalisa deretan panjang hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahīhnya serta karya-karyanya yang lain.
            Standar penerimaan suatu hadis telah menjadi perbincangan ulama dan mencapai kesepakatan. Riwayat yang bersumber dari seorang yang dikenal akurasinya tinggi dan bermoral baik menjadi dasar penerimaan riwayat. Jalur penyampaian riwayat tersebut tentunya harus bersambung satu sama lain sampai kepada sumber utama yakni Nabi saw Secara garis besar, persyaratan hadis yang otentik (shahih) pada sisi periwayat (sanad) dan redaksi hadis (matan). Azami menekankan kondisi redaksi hadis otentik tidak boleh bertentangan dengan riwayat lain. Meskipun tidak secara tegas disebutkan syadz yang dipersyaratkan mengarah kepada redaksi hadis, tetapi tidak berarti hanya kepada sisi sanad semata. Hal ini mengingat metode penyampaian hadis hampir semua melibatkan kegiatan tulis menulis[57]
Ketentuan ketersambungan sanad menjadi pijakan utama dalam periwayatan hadis. Hadis akan tertolak jika dalam rangkaian sanadnya baik sengaja atau tidak, terjadi kealpaan dari periwayat dalam menyebutkan jalur periwayatan hadis. Para kritikus hadis dalam hal ini cukup teliti menelaah setiap rangkaian jalur riwayat, sehingga setiap hadis tidak terbebas dari kritik mereka, baik sanad maupun matan.
Para ulama hadis sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang cukup ketat.[58] Sanad sebagai mata rantai periwayatan merupakan asas utama dalam menentukan kualitas sebuah hadis. Imam Muslim menyatakan bahwa kritik sanad bukan sesuatu yang dilarang tetapi dilakukan dalam rangka memelihara syari’at Islam.[59] Wajar jika Ibnu Mubarak (w.181 H) pernah menyatakan sistem sanad merupakan sebagian dari agama Islam, yang dijadikan standar penerimaan riwayat, sebab tanpa sanad orang akan mengatakan sekehendak dirinya.[60] Kaidah keshahihan sanad hadis yang ditetapkan ulama tidaklah seragam. Akan tetapi ada kaidah-kaidah yang disepakati oleh ulama hadis dan masih terjadi sampai sekarang.
Menurut M. Syuhudi Ismail, ada faktor-faktor yang melatar belakangi kecenderungan para ulama untuk menekankan kepada kesahihan sanad, yaitu: a). kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, b). hadis tidak semuanya tertulis pada zaman Nabi, c). munculnya pemalsuan hadis, d). proses penghimpunan (tadwin) hadis.[61] Beberapa langkah yang disebutkan tersebut menunjukkan betapa peran sanad dalam menentukan suatu hadis dapat diterima atau tidak. Penelitian hadis ini tidak dimaksudkan kepada keraguan akan kebenaran ungkapan Nabi saw tetapi karena masa perjalanan hadis yang panjang dan sebagian besar tersimpan dalam hafalan, hanya sebagian kecil yang tertulis, maka kedudukan sanad menjadi urgen sekali.
Untuk perbincangan tentang keberadaan sanad, kalangan umat Islam tidak mempermasalahkannya. Berbeda dengan para pemikir Barat yang menjadikan sanad sebagai salah satu alasan mengapa keotentikan hadis perlu disangsikan kebenarannya. Berikut akan didiskusikan beberapa pandangan mereka terkait sanad dan tanggapan Azami atas pendangan tersebut.
Untuk mengawali pembahasan mengenai sanad, Azami mengemukakan pandangan Caetani yang berpandangan bahwa ‘Urwah (w. 94 H) adalah orang  pertama mengadakan penghimpunan hadis. Penghimpunan hadis ini tidak menggunakan sistem sanad. Bahkan jauh setelah Nabi Muhamad saw wafat, yakni pada masa Abdul Malik sekitar tahun 70-80 Hijrah, periwayatan hadis belum menyebutkan sanad. Dengan demikian, sanad baru ada dan digunakan dalam periwayatan hadis pada masa ‘Urwah dan Ibnu Ishaq (w. 151 H). Kesimpulan ini berlanjut pada pandangan Caetani bahwa sistem sanad baru ada setelah abad kedua Hijrah dan itu merupakan buatan ulama abad tersebut.[62]
Sebelum menyangkal pandangan Caetani, Azami menambahkan bahwa pandangan seperti ini juga menular pada pemikir Barat lainnya seperti Spenger. Azami mulai mengklarifikasi kedua pandangan di atas, bahwa bukan hanya kitab Tarikh at-Thabari yang menjadi rujukan mereka yang menyebutkan riwayat ‘Urwah tersebut, bahkan di dalam musnad Imam Ahmad telah ada riwayat yang menyebutkan sumber hadis yakni ‘Aisyah. Sedangkan Musnad Ahmad lebih tua umurnya dari kitab Tarikh at-Tabari. Azami dalam mencari hujjah dalam kritiknya atas pandangan Caetani dan Sprenger merasa kesulitan ketika akan merujuk kepada kitab ‘Urwah sebagai sumber rujukan keduanya. Ini disebabkan kitab ‘Urwah tersebut telah hilang ditelan masa, jika ada itupun berupa kutipan yang bersumber kepada ‘Urwah yang tersebar di dalam berbagai kitab hadis.
Untuk menunjukkan kejanggalan dalam pandangan Caetani dan Sprenger di atas, Azami mengutip dari kitab Musnah Ahmad bin Hanbal yang menuturkan periwayatan hadis yang dilakukan ‘Urwah ternyata bersanad. Sanad tersebut terkadang dijumpai terdiri dari seorang sumber dan kadangkala dua orang. Untuk menguji kebenaran dari kutipan Azami berikut penulis merujuk kepada sumber dimaksud yakni Musnad Ahmad bin Hanbal. Berbeda dengan Horovitz yang melihat pandangan Caetani dan Sprenger tidak berdasar dan menilainya sebagai penelitian yang tidak merujuk kepada kitab-kitab ‘Urwah yang sebenarnya. Horovitz berkesimpulan beda dengan keduanya, menurutnya ‘Urwah menyampaikan hadis diiringi dengan sumber sanadnya. Di mana Horovits akhirnya menilai bahwa penggunaan sanad telah ada sejak sepertiga yang ketiga abad pertama Hijrah.[63] Pandangan senada disampaikan oleh J. Robson (Skotlandia) yang menilai bahwa sanad sesungguhnya telah ada sejak pertengahan abad pertama meski dalam bentuk yang sederhana. Sebab kala itu sahabat Nabi telah banyak yang wafat sehingga dalam periwayatan hadis, orang yang menerimanya aka menanyakan kepada sang pemberi berita tentang sumber berita yang lebih tinggi darinya.[64]
Tampaknya pemikir orientalis yang cukup gencar menelaah keberadaan sanad dalam riwayat hadis adalah Goldziher. Menurutnya, isnad atau sanad telah dicemari oleh mereka yang berusia lanjut. Mereka seakan telah bertemu secara langsung dengan Nabi, namun jika dikonfirmasi, kebanyakan mereka ternyata lebih dari seratus tahun dari masa hidup Nabi.[65] Sistem berpikir Goldziher ini kemudian diadopsi secara mutlak oleh Schacht, menurutnya, sumber hukum yang dijadikan sandaran orang Islam periode awal tidak lain adalah ra’yu. Ra’yu ini diilhami dari tradisi kehidupan Nabi yang sering disebut sunnah. Untuk mencari legitimasi dan memperkokoh pandangannya, sunnah tadi dihubungakan dengan generasi terdahulu, yaitu generasi tabi'in dan sahabat. Penyandaran ini akhirnya membuat jalur sanad dan berakhir kepada Nabi Muhammad. Inilah yang dilakukan oleh asy-Syafi'i dan ahli hadis untuk menyelamatkan hadis dengan merujuk kepada Nabi Muhammad sebagai otoritas yang tertinggi.[66] Untuk mengukuhkan analisa ini, Azami kemudian menyuguhkan pandangan J. Robson yang menilai bahwa pandangan Schacht tidak benar. Menurut J. Robson, upaya Schacht menelaah sanad merupakan pekerjaan yang berharga, tetapi obyek kajiannya hanya mendasarkan pada hadis-hadis yang ada di dalam kitab fiqh semata, sehingga kesimpulan yang diambil tidak bersifat general. Meski di sisi lain, Robson juga memberi kesangsian akan anggapan bahwa Schacht telah salah atau sebaliknya. Sasaran yang dijadikan alasan Robson untuk menyangsikan hasil kerja Schacht adalah orang lain, tidak secara eksplisit termasuk dirinya, meski menurut penulis Robson juga tidak jelas berada pada posisi menolak atau menerima.
Azami menelaah asumsi Schacht bahwa Ibnu Sirin menyampaikan bahwa penerimaan hadis sebelum terjadi fitnah tidak mempertanyakan asal-usul sanad. Setelah terjadi fitnah baru ketelitian terkait riwayat Nabi saw diperketat. Schacht berpendapat bahwa fitnah terjadi sejak terbunuhnya al-Walid bin Yazid (w 126 H) menjelang mundurnya dinasti Umayyah.[67] Sedangkan Ibnu Sirin meninggal tahun 110 Hijrah, maka pandangan tersebut adalah tidak benar. Kritik Azami atas pandangan di atas terletak pada kesalahan Schacht menganggap awal mula terjadi fitnah masa terbunuhnya al-Walid. Padahal di dalam sejarah Islam dikenal fitnah itu muncul sejak perselisihan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib. Meski ada pertentangan lain seperti fitnah antara Ibnu Zubair dengan Abdul Malik bin Marwan sekitar tahun 70 Hijrah. Jelas bahwa pandangan Schacht di atas hanya subyektifitas dan kecerobohan dalam menganalisa sejarah Islam, demikian Azami menuntaskan pandangannya.[68]
Kritik Azami selanjutnya atas pandangan sarjana Barat atas keberadaan sanad dalam hadis terdapat pada kesalahan dalam memilih materi studi sanad. Menurut kalangan sarjana Barat, J. Robson yang mengomentari Horovits, bahwa sabda dan perbuatan Nabi dapat ditemukan dalam tiga sumber utama yakni hadis, sejarah hidup Nabi, dan tafsir al-Qur’an. Meski menurut Lammens bahwa hanya tafsir al-Qur’an saja yang dianggap benar dan dua lainnya (hadis dan sejarah hidup Nabi) bukan sumber utama. Jika telaah sanad bersumber dari kitab sirah (sejarah hidup Nabi) maka akan berkesimpulan salah, sebab metode yang digunakan oleh ahli sejarah dalam menyusun kitabnya berbeda dengan yang dilalui oleh ahli hadis dalam meriwayatkan dan menyusun kitab hadis. Di dalam kitab sirah tidak selalu mencatumkan sanad dalam penjelasan yang menyangkut hadis Nabi, ini berbeda dengan ulama hadis yang selalu mencantumkan sanadnya.
Untuk menganalisa hasil kerja Schacht, Azami juga menilai Schacht tampaknya berpedoman pada kitab-kitab fiqh dalam menelaah kebenaran sanad. Ada tiga kitab yang dimunculkan Azami dan ini merupakan sumber kajian Schacht, yakni kitab al-Muwatta’ karya imam Malik, kitab al-Muwatta’ karya Muhammad asy-Syaibani, dan al-Umm karya asy-Syafi’i. Azami melihat ketiga kitab tersebut memang di dalamnya memuat hadis-hadis Nabi yang dijadikan dasar dalam membahas bab-bab fiqh, sehingganya lebih tepat disebut kitab fiqh daripada kitab hadis, atau paling tidak kitab fiqh yang bersumber pada hadis. Menurut Azami, metode yang dilalui oleh fuqaha berbeda dengan apa yang dijalankan oleh ahli hadis. Pengutipan riwayat yang ada dalam kitab fiqh tidak selengkap apa yang ada dalam kitab hadis. Di sinilah letak kesalahpahaman Schacht pada sanad hadis. Sebab analisanya didasarkan pada kitab-kitab fiqh. Untuk menggambarkan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh klasik selanjutnya Azami mengutip beberapa model pengutipan hadis dalam kitab fiqh.[69]
Menurut Azami, asy-Syafi’i sendiri ketika menuturkan suatu hadis seringkali tidak mencantumkan sanad hadis secara lengkap. Adakalanya hanya mencantumkan sebagian dan juga sama sekali. Kemungkinan yang terjadi menurut Azami, asy-Syafi’i lupa atau memang disengaja dengan tujuan meringkasnya. Untuk memperkuat pandangannya, Azami mengutip pernyataan asy-Syafi’i yang mengakui bahwa dirinya tidak selamanya mencantumkan hadis berdasarkan sanad, tetapi ada sebagian yang dengan sengaja dan karena kealpaannya sehingga hadis yang dikutip dalam kitabnya (ar-Risalah misalnya) tidak bersanad.[70]
Ulama hadis di kalangan muslim tentu menolak metode dan hasil kajian hadis sarjana Barat. Segzin termasuk salah satu orang yang terkenal bertentangan dengan apa yang dilakukan orientalis, meski dirinya termasuk orang yang bergelut dengan pemikir Barat. Menurut Herbert Berg, Sezgin termasuk orang yang menegaskan, untuk mendapatkan kebenaran mengenai sumber literatur Islam yang adalah menafikan asumsi bahwa isnad pertama kali diperkenalkan baru pada abad kedua dan ketiga Hijrah. Selain itu juga harus menghilangkan asumsi rangkaian periwayat yang ada dalam isnad tersebut hanya rekayasa orang belakangan.[71]
Ternyata pandangan Sezgin di atas tidak mendapat tempat yang menyejukkan di sejumlah tokoh Barat. Juynboll misalnya, tetap melihat perlu dilakukan penelitian kalau tabi'in melakukan periwayatan hadis dengan menggunakan isnad lalu disandarkan kepada Nabi. Asumsi Juynboll sebagai antitesis pendapat Segzin, justru itu merupakan rekayasa dan buatan yang tanpa ada dasarnya.[72] Sementara Fazlur Rahman melihat sunnah dan hadis dua istilah yang merujuk kepada sesuatu yang satu, yakni bersumber dari Nabi Muhammad. Hanya saja sunnah cenderung berupa praktik kebiasaan, sedangkan hadis merupakan verbalisasi sunnah. Keduanya pada perkembangan awal setelah Nabi Muhammad wafat keduanya menjadi ilham tradisi keagamaan umat Islam dan bersifat normatif. Namun perkembangan selanjutnya, umat Islam sesudahnya menambahkan sesuatu pada keduanya, dan hal yang demikian ini mengarahkan pada ketidakharmonisan antara keduanya, meski secara umum, keduanya sinonim. Situasi demikian membutuhkan standar praktis, dan hal yang seperti ini diselesaikan dengan cara pengkondifikasian hadis. Sahabat merupakan sumber utama untuk mendapatkan gambaran riil dari ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad. Sistem isnad kala itu belum sepenuhnya berkembang.[73]
Sistem isnad di masa sahabat memang relatif belum berkembang, sebab antara sahabat masih dengan mudah mencari kebenaran antar mereka ketika menerima suatu berita tentang sesuatu yang bersumber dari Nabi saw Hal inipun berlaku di awal masa kehidupan mereka, berbeda halnya setelah terjadi perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah yang menyebabkan berbagai benturan terjadi di antara umat Islam. Masa setelah peristiwa ini mengharuskan upaya ekstra untuk mengadakan penyeleksian riwayat. Muncullah standar praktis yang dimaksud Rahman di atas. Jika ini yang dimaksud oleh Rahman, yakni masa sahabat mulai bermunculan ketidakpastian khabar sebelum menanyakan sumber berita dan isnad meski masih bersifat sederhana, maka itu bisa diterima. Lebih-lebih setelah jauh berlalu masa sahabat dan tiba masa Umar bin Abdul Aziz dipenghujung abad pertama Hijrah. Masa tersebut memang telah banyak sumber berita yang telah meninggal, disamping disinyalir telah banyak beredar riwayat yang tidak memiliki sumber yang jelas. Kodifikasi hadis sebagai upaya melestarikan sunnah Nabi yang kemudian tidak bisa tidak hadis berupa berita yang tidak lain berbentuk verbal dan berupa laporan lisan, meski banyak yang berupa laporan tertulis.
Dengan berbagai asumsi ilmiah dan teori yang dikembangkan para pengkaji Islam dari Barat, mereka tetap meletakkan pondasi keraguan dan penolakan akan sistem isnad. Sebagian mereka memunculkan pandangan bahwa sistem isnad bukan mengokohkan keberadaan hadis, tetapi justeru meruntuhkan hadis, sebab di sana akan ditemukan siapa sebenarnya pembuat hadis. Sang pembuat hadis berupaya mencari legalisasi kepada orang-orang yang ada di atas mereka sampai kepada Nabi Muhammad saw. Demikian gambaran para pengkaji Barat terhadap hadis yang secara umum mereka memang menawarkan metodologi baru dan berbeda dengan apa yang dilalui oleh pengkaji muslim. Perbedaan ini ternyata melahirkan kesimpulan yang berbeda pula dengan kebanyakan umat Islam.

Kesimpulan
Arah kajian hadis di Barat mengarah kepada sikap skeptisisme. Munculnya sikap ini tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi mereka dalam melakukan pengkajian keislaman, khususnya hadis. Sikap skeptis kalangan orientalis menjadikan kajian dan penelitian mereka menjadi jauh dari obyektifitas ilmiah. Hadis menurut pandangan mereka masih perlu dipertanyakan keorisinalitasannya. Keraguan ini muncul dilihat dari sejarah perkembangan hadis yang menimbulkan kecurigaan akan adanya pemalsuan hadis. Di sisi lain penulisan hadis disinyalir menurut mereka baru terlaksana di abad kedua Hijrah. Sementara  masa penulisan itu jauh dari masa kehidupan Nabi Muhammad saw. Wajar saja jika para pemikir orientalis ada yang menolak hadis, atau paling tidak skeptis terhadap hadis. Meski demikian tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis.



Daftar Pustaka

Abidin Ja’far, Orientalisme dan Studi tentang Bahasa Arab, Yogyakarta: Bina Usaha, 1987.
Ahmad Abdul Hamid Ghurob, Menyingkap Tabir Orientalisme, terj. A.M. Basmalah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1992.
Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1975.
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalāni (773-852 H), Hady as-Sari, Muqaddimah Fath al-Bari,  Cet. Ke-1, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1963/ 1383 H.
Akh. Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam, kontribusi Schacht, terj. Ali Masrur Yogyakarta: UII Press, 2001.
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi, Cet. Ke-1, Yogyakarta: LKiS, 2007.
An-Nadwi, Abu al-Hasan  Ali al-Hasni, al-Islamiyāt; Baina Kitabāt al-Mustasyriqīn wa al-Bahitsīn al-Muslimīn, al-Risalah, cet. ke-3, Beirut, 1985.
Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Fikr, Beirut, ttp, 1309.
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Edward W. Said, al-Istisyraq, terj. Kamal Abu Dīb, Beirut: Muassasah al-Abhats al-Arabiyah, 1981.
-------, Orientalisme, Bandung: Pustaka, 1985.
Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984.
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, 1985.
Harald  Motzki, The Biography of Muhammad, The Issue of the Sources, Leiden: Brill, 2000.
-------, “Introduction Hadith: Origins and Developments”, dalam The Formation of The Classical World, vol ke-28, USA: The Cromwell, 2004.
Herbert Berg. The Development of Exegesis in Early Islam, The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period, Cet. Ke-1, Curzon: Curzon Press, 2000.
Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge Allen & Unwin, 1971.
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University, 1996.
--------, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, London: Oxford at The Clarendon Press, 1959.
--------, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxford  University Press, 1959.
Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, cet. ke-1, Jakarta: Hikmah, 2009.
Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis,  Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
M.M. Azami, Studies in Early Hadith Litetature With A Critical Edition of Some Early Tekts, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1968.
-------, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis: American Trust Publications, 1977.
-------, The History The Qur’anic Text From Revelation to Compiltion A Comparative tudy with the Old and New Testaments, terj. Sohirin Solihin et.al., Cet. Ke-3, Jakarta: Gema Insani Press, 2008.
Mahmud Abu Rayyah, Adlwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir: Dār al-Ma’rifah, t.t.
Mahmud Hamdy Zaqzuq,  al-Istisyraq wa alkhalfiyah al-Fiqriyah li ash-Shira’  al- hadhari, tej. Luthfie Abdullah Ismail, Orientalisme dan Latar Belakang Pemikirannya, Bandung: t.tp., 1984. Mustafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri‘al-Islam, (Kairo: Dār al-Qaumiyah, 1949.
Mahmud Thahan, Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Halb: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah, 1978.
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Chicago & London: The University of  Chicago Press, 1974.
Mustafa as Sibai’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978.
-------, Tipu Daya Orientalis, terj. Abu Ridho, Jakarta: Media Da’wah, 1984.
Najib al-Aqiq, al-Mustasyriqun, cet. Ke-4, jild. Ke-3, Kairo: Dār al-Ma’arif, 1981.
Zikri Darussamin, Studi atas Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Hadis, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, tahun 1997.







[1] Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[2] Schacht mengakui bahwa Irak merupakan pusat pengembangan hukum Islam dan berpengaruh besar dalam pengembangan hukum Islam dan yurisprudensi Islam hingga abad kedua Hijrah. Masyarakat Irak lebih maju ketimbang masyarakat lain seperti Hijaz, Madinah, dan Mekkah. Meski karakter mereka lebih keras dan kaku dibanding struktur masyarakat lainnya. Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford University, 1996), hlm. 28-29.
[3] Kamaruddin Amin, Diskursus hadis di Jerman, hlm. 1.
[4] Marshlm.l G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, (Chicago & London: The University of  Chicago Press, 1974), hlm. vi.
[5] Marshlm.l G.S. Hodgson, The Venture of Islam..., hlm. vi.
[6] Mustafa as-Siba’i, Tipu Daya Orientalis, terj. Abu Ridho, (Jakarta: Media Da’wah, 1984), hlm. 18-20.
[7] Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 66-67.
[8] Mustafa as-Siba’i, Tipu Daya…, hlm. 16-30.
[9] Abidin Ja’far, Orientalisme dan Studi tentang Bahasa Arab, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), hlm. 11.
[10] Mustafa as-Siba’i, Tipu Daya…, hlm. 27.
[11] Ahmad Abdul Hamid Ghurob, Menyingkap Tabir Orientalisme, terj. A.M. Basmalah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1992), hlm. 133.
[12] Mustafa as-Siba’i, Tipu Daya…, hlm. 29-30.
[13] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, cet. ke-1, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 1.
[14] Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, (Cambridge: Cmbridge University Press, 1996), hlm. 21.
[15] Daniel W. Brown, Rethinking…, hlm. 84-85.
[16] Harald Motzki, “Introduction Hadith: Origins and Developments”, dalam The Formation of The Classical Wolrd, vol ke-28, (USA: The Cromwell, 2004), hlm. xviii.
[17] Ignaz Golziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, (London : Goerge Allen & Unwin, 1971), hlm. 38.
[18] Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung ; Pustaka, 1984),  hlm. 45.
[19] Mustafa as Sibai’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), hlm. 12.
[20] Harald  Motzki, The Biography of Muhammad, The Issue of the Sources, (Leiden: Brill, 2000), hlm. xii.
[21] Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung ; Pustaka, 1984), hlm. 55.
[22] Akh. Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam, kontribusi Schacht, terj. Ali Masrur (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm.  9.
[23] Josept Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence, (London : Oxford  University Press, 1959), hlm. 2-58, 80-189.
[24] Ahmad Amin dalam buku ini memberi kesimpulan bahwa selain hadis masih perlu dipertanyakan proses periwayatannya, juga karena pemalsuan hadis telah terjadi di masa Nabi. Dengan demikian hadis perlu dipertanyakan orisinalitasnya. Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1975), hlm. 210-211.
[25] Mahmud Abu Rayyah, Adlwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir: Dār al-Ma’rifah, t.t),  hlm. 404-407.
[26] Kamaruddin Amin, Menguji…, hlm. 7-8.
[27] Ignaz Goldziher, Introduction …, hlm. 5.
[28] Ignaz Goldziher, Introduction…, hlm. 14.
[29] Ignaz Goldziher, Introduction..., hlm. 40.
[30] Fazlur Rahman, Islam…, hlm. 54.
[31] D.S. Margoliouth, Early Development of Islam, khususnya bab tentang sunnah/ tradisi.
[32] Ignaz Goldziher, , Introduction …, hlm. 38-41.
[33] Edward Said, al-Istisyraq, terj. Kamal Abu Dīb, (Beirut: Muassasah al-Abhats al-Arabiyah, 1981), hlm. 39.
[34] Jurnal Ulumul Qur’an, vol. Ke-2, 1995.
[35] Najib al-Aqiq, al-Mustasyriqun, cet. Ke-4, jild. Ke-3, (Kairo: Dār al-Ma’arif, 1981), hlm. 605.
[36] Edward Said, al-Istisyraq…, hlm. 265.
[37] Mahmud Hamdy Zaqzuq,  al-Istisyraq wa alkhlm.fiyah al-Fiqriyah li ash-Shira’  al- hadhari, tej. Luthfie Abdullah Ismail, Orientalisme dan Latar Belakang Pemikirannya, (Bandung: t.tp., 1984), hlm. 66; Lihat Mustafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri‘al-Islam, (Kairo: Dār al-Qaumiyah, 1949), hlm. 31.
[38] Zikri Darussamin, Studi atas Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Hadis, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, tahun 1997.
[39] An-Nadwi, Abu al-Hasan  Ali al-Hasni, al-Islamiyāt; Baina Kitabāt al-Mustasyriqīn wa al-Bahitsīn al-Muslimīn, al-Risalah, cet. ke-3, (Beirut, 1985), hlm. 11-19.
[40] Bagi kebanyakan umat Islam, Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang merupakan suatu produk wahyu langsung di luar al-Qur’an. Otoritas Sunnah ini bukan hanya berdasar penerimaan umat Islam, tetapi diekspresikan melalui kehendak Allah dalam berbagai ayat al-Qur’an. Sebaliknya bagi mereka yang menolak sunnah, kelemahan sunnah di antaranya ia tidak seperti al-Qur’an, tidak terjaga sehingga tidak terpercaya sebagai perkataan persis Allah, sunnah tidak memenuhi standar sebagai wahyu, dan terkait pencatatan dan kecacatan dalam periwayatan. Sebagai catatan, kalangan ulama Islam memandang sama antara sunnah dan hadis, sementara kalangan Barat tidak semuanya demikian. Lihat M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis: American Trust Publications, 1977), hlm. 5-8. Bandingkan dengan Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 46-53.
[41] Akhmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam, kontribusi Schacht, terj. Ali Masrur (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 15-16.
[42] Daniel W. Brown, Rethinking…, hlm. 21.
[43] Akhmad Minhaji, Kontroversi..., hlm. 9.
[44] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (London: Oxford at The Clarendon Press, 1959), hlm. 2-4.
[45] Joseph Schacht, The Origins…, hlm. 58.
[46] Joseph Schacht, The Origins…, hlm. 58. Di sini Schacht megutip kembali penegasan Goldziher bahwa sunnah Nabi berasal dari tradisi pra Islam lalu diikuti oleh Muhammad, ia menyatakan ”that this originally pagan term was taken over and adapted by Islam”.
[47] Akhmad Minhaji, Kontroversi..., hlm. 22.
[48] G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm. 71.
[49] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi, Cet. Ke-1, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 57-82.
[50] M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm. 62.
[51] M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm. 64.
[52] M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm. 89-90.
[53] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalāni (773-852 H), Hady as-Sari, Muqaddimah Fath al-Bari,  Cet. Ke-1, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Hlm.abi, 1963/ 1383 H), hlm. 365-367.
[54] al-Asqalani, Hady as-Sari..., hlm. 367.
[55] M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm. 90. Bandingkan dengan as-Suyuthi, Tadrib…, hlm. 70.
[56] Mahmud Thahan, Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Hlm.b: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah, 1978), hlm. 219-222.
[57] Metode sama’ (pembacaan oleh guru kepada murid), meski membaca aktifitas lisan, tetapi murid yang mendengar dan menerima bacaan sang guru, murid segera mencatat dan menghafalnya. Hasil pencatatan tersebut disodorkan kepada guru untuk diperiksa kebenarannya.  Demikian pula metode lainnya, ini sebagai kontrol keakuratan dalam riwayat hadis, baik sisi sanad maupun matan. M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm. 16-17. Bandingkan dengan M.M. Azami, The History The Qur’anic Text From Revelation to Compiltion A Comparative tudy with the Old and New Testaments, terj. Sohirin Solihin et.al., Cet. Ke-3, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 197-202
[58] Muhammad Ajjaj Khatib, as-Sunnah Qabla…, hlm. 262-280.
[59] Muslim bin Hajjaj, Muqaddimah Shahih al-Muslim…, jld. Ke-1, hlm. 32.
[60] Muslim bin Hajjaj, Muqaddimah Shahih..., hlm. 38.
[61] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis,  (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 87-114.
[62] M.M. Azami, Studies in Early Hadith Litetature With A Critical Edition of Some Early Tekts, (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1968)…, hlm. 213-214.
[63] M.M. Azami, Studies in Early Hadith…, hlm. 214-215.
[64] M.M. Azami, Studies in Early Hadith…, hlm. 215.
[65] Herbert Berg. The Development of Exegesis in Early Islam, The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period, Cet. Ke-1, (Curzon: Curzon Press, 2000), hlm. 11.
[66] As-Siba’i pernah bertanya kepada Schacht saat berkunjung ke Leiden perihlm. kecenderungan orientalis menjadikan Goldziher sebagai sumber utama dalam membincangkan kajian hadis. Meski ditemukan kejanggalan tetapi tetap saja pendapat Goldziher tidak dikritisi lebih lanjut. Schahct tidak menjawab hanya terdiam dan berpaling dari komunikasi tentang tema tersebut. Lihat as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha…, hlm. 29-30. Schacht, The Origins…, hlm. 138.
[67] Schacht kemudian menyimpulkan bahwa sistem isnad sebenarnya baru ada dimulai di abah kedua Hijrah. Pandangan ini diarahkan kepada adanya sistem isnad yang datang jauh setelah kehidupan sahabat tersebut menunjukkan itu semua merupakan rekayasa orang sesudah abad kedua Hijrah. Schacht, The Origins…, hlm. 37.
[68] Muhammad bin Sirin seorang tabi’in terkemuka, meriwayatkan hadis dengan lafaz asli dari kebanyakan sahabat. Sistem isnad telah ada di awal masa khlm.ifah Islam, bukan setalah abad kedua Hijrah. Lihat  Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzīb, jld ke-9, biografi nomor 338; M.M. Azami, Studies in Early Hadith…, hlm. 216.
[69] Lihat misalnya pada hlm.aman Azami, Hadis Nabawi..., hlm. 539-546
[70] Asy-Syafi’i, Ar-Risalah, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Fikr, Beirut, ttp, 1309 , hlm. 461-463.
[71] Herbert Berg, The Development…hlm. 22.
[72]Herbert Berg, The Development…hlm. 28.
[73] Fazlur Rahman, Islam…hlm. 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar