Arah
Studi Hadis Di Barat;
Antara
Obyektif Ilmiah dan Meragukan Eksistensi
Hadis
Oleh :
Ahmad
Isnaeni[1]
Abstrak
Studi hadis telah lama dilakukan oleh
sarjana Barat dengan berbagai aspeknya. Secara umum concern mereka tertuju pada
masalah otentisitas hadis. Kecenderungan Barat semakin serius meneliti
keislaman seiring dengan kekalahan mereka dalam perang salib. Faktor-faktor
luar ilmiah inilah yang memotivasi mereka meneliti ajaran Islam. Tersimpul di
dalamnya paling tidak terdapat tiga faktor yakni imperalisme, mencari agama,
dan ilmiah. Sayangnya faktor ilmiah terkalahkan oleh dominasi motivasi lain.
Kesimpulan umum dari kajian hadis mereka menunjukkan sikap skeptisisme atas
eksistensi hadis. Untuk menepis subyektifitas ini, mereka mengembangkan
metodologi yang secara eksplisit memenuhi standar ilmiah. Hal inilah yang
membuat kajian hadis di Barat lebih berkembang dari pada dunia Islam.
Arus Pemikiran Barat dalam
Mengkaji Islam
Dalam sebuah artikelnya tentang pembacaan studi Islam di Jerman, Kamaruddin
Amin memberi tanggapan Arnold Alfred yang menyatakan bahwa orang Arab pernah
menikmati kejayaan intelektual di kala orang Kristen di Barat sedang menjalani
kehidupan mereka dengan model barbarisme. Ungkapan tersebut menurut Amin dibuktikan dengan tersebarnya universitas
dan tempat-tempat penelitian ilmiah di berbagai daerah Islam, khususnya Irak
sebagai pusat peradaban sehingga mampu menarik perhatian para sarjana dari
berbagai pelosok dunia.[2]
Akan tetapi disayangkan, Amin kemudian memunculkan ungkapan ironis yang menilai
umat Islam setelah keruntuhan Bagdad pada tahun 1258 H, mereka mulai kehilangan
roh dan independensi intelektualnya. Sehingga dinilai membiarkan peninggalan
intelektual tersebut tak terbaca dan dimakan oleh cacing dan ulat, sampai
pemerhati ilmiah dari Barat datang untuk mengamankannya.[3]
Ulasan tersebut menarik, seakan umat Islam memang telah lupa dan
mencukupkan diri dengan membanggakan kejayaan masa lalu dan lupa melakukan
diskursus lebih lanjut untuk mengembangkan hasil pengembaraan intelektual para
leluhurnya. Amin melanjutkan, Barat datang dengan bala tentaranya ke dunia Islam untuk
mengamankan peninggalan intelektual tersebut. Sayangnya Kamaruddin Amin tidak melihat bahwa kedatangan Barat sebagai
kaum imperalis yang meluluh-lantahkan kekuasaan Islam dan merebut khazanah
keilmuan yang ada.
Jika kita menengok lintasan sejarah, Pemerintahan Islam yang ada di Baghdad pada periode abad pertengahan
memang hanya tinggal nama, sebab masa-masa tersebut sering dikategorikan dengan
masa kemunduran. Marshall G.S. Hodgson menamakan periode itu dengan periode
tangah awal (earlier midlle period) antara tahun 945-1258 Masehi.
Periode ini ditandai munculnya internasionalisasi dunia Islam. Artinya pada
masa itu, bahkan sampai sekarang, persatuan dunia Islam tidak lagi sesuatu yang
kongkret baik dalam kehidupan politik maupun kebudayaan.[4]
Jadi tidak ada kekuasaan politik yang dapat mengklaim sebagai penguasa tunggal
politik dan peradaban. Bahkan Baghdad bukan merupakan pusat peradaban tunggal
yang kala itu disebut peradaban Islam. Kejayaan Baghdad tinggal punging-punging
menuju keruntuhan. Wajar jika bangsa Mongol datang menghancurkan tahta kerajaan
Islam Baghdad tidak mengalami kesulitan, sebab kesatuan politik dunia Islam
telah pudar, meski masih dalam naungan pemerintah Baghdad.
Barat tampaknya mulai mengembangkan tradisi ilmiah
lebih jauh lagi dengan bermodalkan dokumen ilmiah yang mereka rampas dari dunia
Islam, untuk meninggalkan ketertingalan mereka menuju kejayaan intelektual yang
mereka temukan di dunia Islam sebelumnya. Usaha ini berhasil, sementara dunia
Islam yang dahulu di puncak kejayaan ilmiah sekarang terseok-seok bangkit untuk
meninggalkan ketertinggalan. Meski tampaknya sulit, hal ini disebabkan
perpecahan telah melanda umat Islam.[5]
Menurut catatan Edward Said, setelah kekalahan dalam
perang salib orang-orang Barat tidak berputus asa untuk menguasai dan menjajah
Negara-negara Islam. Salah satu yang dikembangkan mereka adalah memunculkah
sifat patriotik yang berlebihan (chauvinisme) di kalangan bangsa Arab.
Seperti fir’auniyah di Mesir, Phonesia di Syiria, Libanon dan Palestina, Asyur
di Irak, dan lain sebagainya. Tujuan utama pengalihan kajian mereka adalah
untuk melemahkan kesatuan umat Islam dan lahirnya nasionalisme di antara
bangsa-bangsa Arab sehingga akan lebih mudah ditaklukkan.[6]
Meskipun secara lahiriyah perang salib adalah perang agama, tetapi hakikatnya
adalah perng imperalisme Barat atas dunia Timur. Simbol-simbol agama mereka
gunakan dalam rangka mencari dukungan dan bantuan sesame bangsa Barat dalam
menyerang Timur.
Jika menelisik lebih jauh motivasi perjalanan ilmiah
para sarjana Barat dalam mengkaji dunia Islam untuk menemukan titik kelemahan
dunia Islam melalui berbagai aspek, bukan hanya ajaran kepercayaan dan
keyakinan semata, tetapi mereka masuk melalui adat kebiasaan bangsa Arab,
akhlak, dan kekayaan alamnya. Tujuan tersembunyi dari semua itu adalah
mengetahui basis-basis kekuatan Negara-negara Islam untuk kemudian dilemahkan
dan dirampas.[7]
Lebih jauh Mustafa as-Siba’i mengelompokkan faktor-faktor yang memotivasi para
sarjana Barat mendalami keislaman adalah karena motif agama, politik
imperalisme, dan ilmiah. Fakta sejarah menguak keberadaan kajian mereka tidak
lepas dari ketiga faktor tersebut.[8]
Realitas historis
menggambarkan para pengkaji Barat umunya terdiri dari para ilmuan dan
pendeta-pendeta agama Yahudi dan Nasrani.[9]
Meskipun dalam perkembangannya tidak semua mereka terdiri dari para agamawan,
tetapi ilmuan murni, bahkan ateis-pun ikut andil dalam mendalami keislaman.
Sehingga hasil kajian mereka tidak akan jauh dari menimbulkan keraguan atas
kenabian Muhammad saw, kebenaran al-Qur’an, dan hukum Islam. Mengaburkan
nilai-nilai sejarah umat Islam, kebenaran akidah dan menyebarkan virus
kesukuan/ golongan (ashabiyah) dan perpecahan di kalangan umat Islam.[10]
Pemikiran di atas
dapat dibuktikan dari hasil kajian dan telaah mereka melalui karya-karya yang
mereka hasilkan. Keberadaan karya-karya tersebut baik langsung maupun tidak
langsung telah menjadikan Islam sebagai bahan hinaan, terpojokkan, dan berada
dalam ketertinggalan. Kebanyakan karya tulis mereka yang bernuansa demikian
seiring dengan terjadinya peperangan salib antara tahun 1100 masehi sampai
dengan tahun 1800 masehi. Tidak bisa dipungkiri, kala itu budaya Spanyol-Islam
lebih tinggi disbanding budaya Eropa Barat. Para sejarawan tersebut menyodorkan
tulisan-tulisan yang membahas keislaman dalam paradigma yang tidak obyektif.
Seakan-akan tersimpul di dalamnya suatu pesan bagi saudara-saudara mereka maski
secara fisik mereka kalah, tetapi tetap unggul sisi agama dan keyakinan, dan
menggambarkan Islam melalui citra yang salah.
Pada perkembangan
selanjutnya, usaha ilmiah yang masih bersifat subyektif ini meski telah
berupaya menutupinya dengan berbagai syarat dan ketentuan, seperti prasyarat
kemampuan linguistik dalam mengkaji peninggalan Islam, dan bahan kajian yang
asli berupa manuskrip tetapi ide dan teori mereka berangkat dari ketidakjujuran
ilmiah. Meskipun di abad kesembilan belas dan dua puluh masehi bermunculan
karya-karya ilmiah yang cukup membantu kajian Islam bagi umat Islam sendiri
seperti yang dilakukan A.J. Wensink dengan kamus hadisnya (al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfazh al-Hadis dan Miftah Kunuz as-Sunnah) dan
lainnya, tetapi menurut Ahmad Abdul Hamid Ghurob masih belum dapat lepas dari
metovasi keagamaan. Di balik kemudahan untuk mendapatkan informasi ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis Nabi saw, mereka memanfaatkannya untuk lebih mudah
menebarkan virus keraguan dan kerancuan dalam Islam, tidak hanya dalam kajian
al-Qur’an, hadis, akidah, hokum Islam, tetapi juga aspek lainnya.[11]
Keobyektifitasan
para sarjana Barat dalam mengkaji ajaran Islam memang berangsur-angsur membaik.
Ada kalanya di antara mereka muncul ilmuan yang berupaya semaksimal mungkin
berlaku obyektif dalam memahami Islam. Berbagai karya muncul dari kelompok ini
dengan tetap berada dalam standar obyektif ilmiah, seperti yang terjadi pada
diri Thomas Arnold, seorang orientalis Prancis yang akhirnya masuk Islam yang
mengungkapkan bangsa Barat enggan dan antipasti terhadap Islam.[12]
Sayangnya di kalangan orientalis sendiri jika ada muncul karya tulis yang
berupaya jujur dalam menyatakan tentang Islam, tulisan tersebut dinilai oleh
orientalis lain sebagai hasil karya tulis yang tidak memenuhi standar ilmiah
dan obyektifitasnya rendah.
Pemetaan
Arah Kajian Hadis di Barat
Berbeda dengan umat Islam, Barat dengan tokoh-tokoh
orientalisnya mengkaji keislaman khususnya hadis Nabi saw didasarkan pada
kepentingan sejarah (historical interest)
dan sosial. Sementara kecenderungan mereka berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh umat Islam secara umum. Para orientalis merupakan pengkaji budaya sehingga
terlepas dari keyakinan akan doktrin agama yang selama ini diyakini kaum
muslim.[13]
Kamaruddin Amin memberikan alasan mengapa kajian hadis di Barat tidak seiring
dengan apa yang terjadi di dunia Islam, mereka sebagai pelajar-pelajar budaya
yang tidak ada beban moral dalam memberi argumentasi dan kesimpulan yang
kontradiktif dengan dunia Islam.
Akhir abad
kesembilan belas merupakan periode ketika umat Islam menghadapi munculnya
tantangan dari para sarjana orientalis yang baru saja bersikap kritis terhadap
keotentikan literatur Hadis. Dampak ini paling terasa di India, tempat Alois Sprenger
(w. 1893) dan William Muir yang disinyalir menjadi
sarjana Barat pertama –tanpa menafikan lainnya-- yang
mempertanyakan apakah literatur hadis benar-benar mencerminkan perbuatan dan
perkataan Rasulullah Saw, apakah proses penyampaian dapat dipercaya, dan apakah
metode klasik untuk menyeleksi hadis yang bisa dipercaya (shahih/otentik) dan
yang tidak (dlaif/ lemah) itu bisa dapat diterima/ sah.[14]
Kajian
Sprenger memang baru semacam penghantar, yang belum menusuk secara langsung epistemologi isnad yang dibangun
kalangan ulama hadis untuk menjamin
otentisitas hadis. Lalu William Muir dalam Life of Mahomet, yang hadir
setelah Sprenger lebih menggemakan ketegasan
akan skeptisisme terhadap capaian ulama hadis berkenaan dengan isnad.[15]
Serangan terhadap literatur hadis mencapai puncaknya
ketika Ignaz Goldziher (1850-1921). Goldziher menolak hadis sebagai sumber informasi
pada masa nabi Muhammad, melainkan hanya sumber berharga untuk mengetahui peta
konflik dan informasi generasi yang datang kemudian. Hadis menurutnya adalah produk dari masyarakat Islam beberapa abad setelah
Nabi Muhammad saw wafat, bukan berasal dan tidak ada indikasi otentik dari
beliau. Berbagai kompilasi Hadis,
Goldziher menambahkan, yang bermunculan pada
abad kedua merupakan perkembangan historis doktrin-doktrin Islam dan merupakan
kreasi para ulama.[16]
Bahasa lain, ia mengemukakan bahwa fenomena hadis
berasal dari zaman Islam yang paling awal. Akan tetapi karena kandungan hadis
yang terus membengkak pada masa-masa selanjutnya. Dalam setiap generasi muslim,
materi hadis berjalan pararel dengan doktrin-doktrin aliran fiqih dan teologi
yang seringkali saling bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit
menemukan hadis-hadis yang orisinil berasal dari Nabi.[17] Dengan menggunakan ungkapan lain, Margoliouth dalam karyanya Early
Development of Islam, mengemukakan bahwa Nabi Muhammad sama sekali
tidak meninggalkan sunnah ataupun hadis, dan bahwa sunnnah yang dipraktekkan
kaum Muslim awal sama sekali bukan merupakan sunnah Nabi, melainkan
kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang telah dimodifikasi al-Qur’an.
Margoliouth juga mengemukakan bahwa dalam rangka memberikan otoritas dan
normativitas terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, kaum Muslim pada abad kedua
Hijriyah telah mengembangkan konsep sunnah Nabi dan menciptakan mekanisme hadis
untuk merealisasikan konsep tersebut.[18] Uraian tersebut mengandung esensi serupa
dengan apa yang dipaparkan Goldziher.
Pandangan Goldziher ini jelas suatu keraguan untuk
meyakini eksistensi hadis sudah ada pada masa Nabi, sahabat dan masa
sesudahnya. Hadis tidak lain adalah hasil karya para ulama dalam menyikapi
kondisi sosial dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk pandangannya berdasarkan pada
sebuah riwayat berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn
Syihab az-Zuhri. Menurut Goldziher, al Zuhri mengatakan “Sesungguhnya para
pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/ Hisyam bin Abdul Malik) telah “memaksa” kami
untuk menulis beberapa “hadis”. Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher
tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah
definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab
Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al ahadis” yang berarti hadis-hadis yang
sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hadis yang berasal dari Nabi Saw[19] Jadi pengertian ucapan az-Zuhri yang asli adalah para
pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pada saat
itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku. sementara
pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah
memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah ada pada saat itu.
Pandangan Goldziher terus membekas di antara pengkaji
Islam di Barat dan diikuti oleh sejumlah sarjana terkemuka sebagai penerus ide
dan pemikirannya meski terdapat kecenderungan dan penjabaran. Sebut saja di
antaranya L. Caetani, Henri Lammens, John Wonsbrough, Patricia Crone dan
Michael Cook.[20]
Lammens, dalam bukunya Islam;
Beliefs and Institutions, memperlihatkan pandangan yang sama dengan
Margoliouth dan menyatakan dengan singkat bahwa praktek sunnah pasti sudah
mendahului perumusannya dalam hadis.[21]
Orientalis
berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah Josepht Schahct (1902-1969) berasal
dari Austria, dengan bukunya The Origins of Muhammadan
Jurisprudence pada tahun 1950. Secara umum dapat dipahai
bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori
yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah
jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, tetapi Schacht lebih jauh menganalisa
sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. Schacht
mengakui bahwa ia mengamini begitu saja ide pemikiran Goldziher bahwa hadis
hanya refleksi ungkapan orang-orang yang di tulis selama dua setengah abad
pertama setelah Hijrah.[22]
Tegasnya bahwa konsep sunnah Nabi merupakan kreasi kaum Muslim
belakangan. Menurutnya sunnah mencerminkan kebiasan tradisional masyarakat yang
membentuk “tradisi yang hidup” dan “tradisi yang hidup” itu lebih dahulu eksis
dari hadis (tradisi Nabi), Ketika hadis pertama kali beredar – sekitar
menjelang abad kedua hijriyah – ia tidak dirujukkan kepada Nabi, tetapi
pertama-tama kepada tabi’in, baru pada tahap berikutnya, dirujukkan kepada
sahabat dan Nabi.[23]
Pemikiran
ilmiah Barat ini ternyata berdampak sangat luas terhadap seluruh kajian-kajian
tentang Islam. Pengaruhnya bukan saja di
kalangan orientalis saja melainkan juga di kalangan pemikir muslim, misalnya
Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga terkecoh dengan meragukan
beberapa hadis akibat teorinya Goldziher tersebut.[24] Begitu pula dengan
Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya “Adlwa ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah”
ia juga banyak mengikuti metode-metode kritik hadis versi orientalis, khususnya
Goldziher.[25]
Berdasarkan perihal di atas, dapat dipahami bahwa metodologi kajian hadis
di Barat yang lebih mengutamakan pendekatan historis dinilai sementara orang
–yang cenderung mengikuti Barat—lebih baik dibanding apa yang dilakukan oleh
kelompok Islam. Kajian
hadis di dunia Islam lebih cenderung kepada takhrij dan penelitian hadis untuk
menentukan keaslian (keshahihan) hadis. Sementara itu, studi hadis di Barat
menekankan aspek bagaimana melakukan
penanggalan (dating)
hadis untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi
sejarah terhadap peristiwa yang menurut asumsi sementara orang terjadi pada
masa awal Islam.
Oleh sebab itu arah kajian masing-masing kelompok ini berbeda. Jika di kalangan
umat Islam mengarah kepada pemilahan dan pembuktian hadis-hadis yang shahih dan
yang lemah/ palsu, tetapi di Barat akan sampai kepada muara mungkinkah hadis
yang sementara ini dikatakan oleh kalangan Muslim berasal dari Nabi, itu benar
adanya atau hadis di masa sesudahnya,
atau bahkan merupakanLearning the methodology of both tendencies will enrich
our methodology and enable us to reveal the historical rekayasa orang sesudah
Nabi.[26]
Goldziher dalam bukunya Introduction, banyak hal yang dipaparkannya,
secara implisit sama. Goldziher secara acak menjelaskan asal-usul ajaran Islam
dan tradisi peri kehidupan Nabi Saw tidak lain merupakan elaborasi dari
berbagai ide dan peraturan dari beberapa agama, yahudi dan Kristen, dan lainnya.[27]
Unsur-unsur Kristen di dalam al-Qur’an diterima Nabi umumnya melalui jalan
tradisi yang diragukan kebenarannya (apokri). Berbagai bid’ah dari Gereja Timur
juga masuk ke dalamnya, dari sini unsur-unsur Gnostik Timur masuk dalam ayat
suci (al-Qur’an).[28]
Tradisi dari Nabi Saw tersebut juga pada akhirnya menemui kesempurnaan setelah
berbagai aspirasi umat Islam masuk, sehingga hadis memuat berbagai konsep bukan
semata adat kebiasaan, tetapi hukum, doktrin politik, dan teologi mengambil bentuk dalam hadis.[29]
Tampaknya Goldziher tidak sejalan dengan apa yang diterangkan di atas, baik
menurut ahli bahasa maupun kontek orang-orang Arab yang menggunakan bahasa
mereka untuk menamakan sesuatu yang mereka lakukan. Bahkan Goldziher lebih jauh
melihat bahwa baik ajaran Islam maupun sunnah Nabi tidak lain berasal dari
anasir-anasir asing di luar Islam.
Keraguan yang
mencolok bagi seorang Goldziher tampaknya ketika menyaksikan kandungan (matan)
hadis dari masa generasi ke generasi lainnya terus membesar. Kadangkala
terdapat keanekaragaman di dalamnya berkaitan dengan doktrin fiqih dan teologi,
dan juga seringkali terjadi pertentangan antara doktrin-doktrin tersebut. Untuk
menyikapi pandangan Goldziher di atas, tentunya perlu menelusuri bagaimana
perkembangan sunnah melalui sejarah kehidupan Nabi yang nantinya akan memuat
sunnah dan terakumulasi dalam hadis. Sunnah sebagaimana telah dipaparkan di
atas mengandung arti norma-norma praktis atau model tingkah laku yang
terkandung dalam hadis. Meski Fazlur Rahman melihat
adanya kontradiktif dari apa yang dipaparkan oleh Goldziher seputar makna
sunnah. Sesuatu yang kontradiktif itu adalah bagaimana mungkin sunnah menjadi
normatif dan aktual sekaligus, sedangkan yang normatif dan yang aktual itu
saling bertentangan? Atau bagaimana mungkin hadis dan sunnah bertentangan
padahal keduanya ada dan memiliki substansi yang sama, meski secara eksplisit
terdapat sebuah hadis bertentangan dengan hadis lain.[30]
D.S. Margoliouth
mengembangkan pandangan Goldziher dengan lebih ekstrim, di mana ia menyimpulkan
bahwa (a) Nabi sebenarnya tidak meninggalkan sesuatu apapun baik pedoman atau
keputusan keagamaan selain al-Qur’an; (b) Praktek keagamaan yang dilakukan oleh
masyarakat Islam setelah nabi Muhammad meninggal bukanlah sunnahnya, melainkan
tradisi masyarakat pra-Islam yang telah termodofikasi dalam al-Qur’an; dan (c)
Generasi muslim periode kemudian yakni abad ke- H/8 M yang mengembangkan konsep
Sunnah Nabi dengan menciptakan mekanismenya dalam rangka mencari nilai otoritas
dan normatifitasnya.[31]
Uraian Margoliouth
di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh
Goldziher yang telah berhasil memberikan kesan bahwa
sunnah patut diragukan, bahkan dinilai perwujudan pandangan dan praktik atau
tradisi masyarakat muslim awal. Kesannya ialah sunnah tidak lain merupakan
hasil perkembangan religius historis masyarakat Islam bertahun-tahun setelah
wafatnya Nabi Muhammad saw. Hadis merupakan refleksi tendensius yang
muncul dalam komunitas muslim pada masa-masa perkembangannya. Bahkan hadis
merupakan buatan orang-orang sesudah nabi, yaitu sahabat dan umat Islam
sesudahnya. Perkataan mereka disandarkan kepada beliau dengan mengatakan
"Muhammad berkata".[32]
Pemahaman
di atas akan membawa pengertian seakan hadis memang produk orang-orang yang
hidup jauh setelah masa kehidupan Nabi Muhammad saw. Dikarenakan produk orang
lain yang dinisbatkan kepada diri Nabi saw karena terdapat tendensi tertentu
maka pada kajian selanjutnya yang menjadi pusat pengkajian mereka adalah
sejarah dan perkembangan hadis, baik di masa sahabat, tabi’in atas sesudahnya.
Tujuannya adalah untuk menentukan keorisinalitasan hadis dalam Islam. Keraguan
akan keberadaan hadis dalam Islam merupakan tujuan terselubung yang dimunculkan
para pengkaji Barat akan hadis. Dengan demikian umat Islam akan serta merta
meragukan dan menolak hadis sebagai sumber hukum Islam selain al-Qur’an.
Historisitas
hadis
Persoalan otentisitas hadis, barangkali memang hampir tidak
pernah ditanyakan oleh umat Muslim. Jarang sekali disinggung bahwa apakah kompilasi-kompilasi hadis yang
dianggap standar (mu’tabarah) memang berasal dari Nabi Muhammad saw atau bukan. Hal yang demikian ini, boleh jadi telah inheren dalam keyakinan, sehingga
soal yang berkait dengan asal-usul, keaslian, luput dari kekritisan. Hal
berbeda ditunjukkan oleh para pengkaji Islam di Barat. Mereka menganggap
penting mengungkap persoalan otentisitas hadis, dengan mempersoal-kan apakah
hadis benar-benar berasal dari pribadi Nabi Muhammad, atau hanya buatan orang
yang hidup jauh sesudah masa kehidupan Nabi lalu disandarkan kepadanya. Di sisi
lain muncul pertanyaan tentang kapan dan bagaimana awal hadis ditransmisikan,
secara tertuliskah atau hanya secara oral. Jika kenyataan yang ada hanya
melalui lisan, maka kemungkinan adanya kebohongan mudah sekali terjadi.
Perjalanan orientalis dalam mengkaji keislaman memang tidak sepi dari tuduhan dan stereotifikasi umat Muslim. Terlebih
lagi sebagaimana ditegaskan oleh Said bahwa orientalis klasik memang banyak
menyimpan rasisme intelektual terhadap dunia muslim. Mereka tetap membawa misi
tertentu dalam mengkaji keislaman, ada yang beralasan kebebasan berpikir
padahal memiliki jaringan perangkap terselubung, wajar jika secara ilmiah
objektivitas mereka patut diragukan.[33] Yang demikian memang tidak menghinggapi semuanya, ada beberapa diantara
mereka yang masih dapat dikatakan cukup objektif dalam mengkaji Islam, sehingga
tipologi mereka memang tidak dapat digeneralisir secara gegabah. Menurut Maxime
Rodinson tipologi mereka dapat dimasukan ke dalam beberapa fase, mulai periode
abad pertengahan yang memang amat kental biasnya terhadap Islam hingga yang
belakangan lebih cair dan mendekati apa yang memang diakui oleh umat Islam,
meski hal yang dianggap buruk sekalipun.[34]
Menyikapi perkembangan pemikiran Barat dalam mengkaji hadis, kalangan
muslim berbeda sikap. Di antara mereka ada yang reaktif dan menentang secara
sporadis, ada pula yang mengikuti dan mengadopnya. Terdapat beberapa pemikir
muslim yang cenderung mengagungkan, mengikuti metodologi dan takjub atas hasil
pemikiran mereka. Najib al-Aqiq misalnya memandang mereka memang demi kemajuan
ilmu pengetahuan di balik keseriusan yang mereka lakukan dalam mengkaji
keislaman.[35] Padahal menurut Said, tujuan merendahkan ajaran Islam dan
kepentingan agama mereka tidak dapat disembunyikan.[36] Sementara Mahmud
Hamdy Zaqzuq menyitir ada tiga hal penting yang mereka proyeksikan dalam
pengkajiannya tentang Islam, yakni menyerang Islam dan mencari kelemahannya,
memelihara penganut Nasrani dari bahaya Islam dengan cara menutupi
kebenarannya, lalu misi zending dan kristenisasi.[37] Zikri Darussamin yang mengidentifikasi kajian hadis Barat umumnya didasarkan pada tiga kepentingan, yakni motif agama,
imperalisme, dan ilmiah. Meski pada kenyataannya motif ilmiah tidak begitu
kentara dibandingkan kedua motif lainnya.[38] An-Nadwi
mengingatkan bahwa umat Islam tetap harus waspada dalam mengkaji karya-karya
Barat tentang Islam, sebab kajian mereka didasarkan pada taktik yang sangat
lembut dan licik dengan bingkai analisis ilmiah dan rasional. Tujuan akhir
mereka disela-sela analisis obyektif tersebut tersimpul rentetan kalimat yang
merusak ajaran Islam. [39]
Berangkat dari
informasi ini wajar jika pandangan mereka tentang sunnah Nabi saw berbeda
dengan para pengkaji Islam dan umat Islam secara keseluruhan. Ini didasarkan
kepada tujuan yang ada di balik keseriusan mereka menelanjangi ajaran Islam.
Kesimpulan umum
mereka terhadap sunnah atau hadis cukup membuat para pemikir muslim harus
menolaknya. Sarjana Barat banyak menyimpulkan bahwa sunnah atau hadis tidak
layak dijadikan dalil agama. Ada sebagian mereka yang mengingkari sunnah, sebab
sunnah marupakan tradisi jahiliyah sebelum Islam datang yang kemudian diadop
oleh Muhammad. Hal ini menyebabkan eksitensi dan otoritas sunnah tidak dapat
dijadikan sumber ajaran Islam. Definisi otoritas sunnah Nabi menjadi masalah
penting bagi pemikir keagamaan Muslim sebagai reaksi atas pemikiran Barat.[40]
Berkenaan dengan
keberadaan hadis yang dipertanyakan eksistensinya tersebut, muncul keprihatinan
di kalangan umat Islam untuk membelanya. Dalam lintasan sejarah telah banyak
sarjana muslim yang berhasil mematahkan teori dan kesimpulan kajian hadis
Barat. Skriptualisme para misionaris Kristen Protestan jelas mempengaruhi cara
orang muslim memandang hubungan antara al-Qur’an dan hadis. Pada abad itu
merupakan periode aktivitas gencar para misionaris kristen dan perdebatan antar
agama, terutama di India. Dan di akhir abad ke sembilan belas juga merupakan
periode ketika umat Islam menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana
orientalis yang bersikap kritis terhadap keotentikan literatur hadis. Kajian Barat ini lebih cenderung kepada pendekatan histories dan
sosiologis.[41]
Hal ini berbeda dengan pemahaman dan keyakinan umat Islam yang menganggap
sumber hukum Islam (khususnya al-Qur’an dan hadis di dalamnya) merupakan
sesuatu yang sakral berasal dari Tuhan. Sedangkan hadis meskipun secara materi
memang ungkapan Nabi Muhammad saw akan tetapi ide pokok dari ungkapan tersebut
bersumber dari Tuhan pula. Sehingganya keberadaan hadis selain sebagai
penjabaran, penjelasan, dan manifestasi ajaran al-Qur’an juga di anggap
memiliki sumber yang sama dengan al-Qur’an.
Dampak ini paling terasa di India, tempat William Muir dan Alois Sprenger
menjadi sarjana Barat pertama yang mempertanyakan apakah literatur hadis
benar-benar berasal dan bersumber dari pribadi Nabi saw, proses transmisi juga
dapat dipercaya, dan metode keotentikan hadis klasik itu kredibel sehingga
hasilnya benar-benar terpercaya?[42] Dalam masalah ini mereka memusatkan penelitian dan kajiannya terhadap
otoritas (kewenangan) sebuah hadis atau Sunnah sebagai sumber Hukum Islam kedua
setelah al-Qur’an dan otentisitas (Kesahihan) sebuah Sunnah atau Hadis. Mereka
berupaya menentukan metode atau teori sendiri dalam menilai kesahehan sebuah
hadis. Sekaligus mengkritisi konsep kesahihan hadis ulama Muslim tradisional
yang cenderung mengutamakan kekuatan isnadnya saja dan tanpa banyak
mempertimbangkan matan (redaksi) hadis. Menurut mereka (sarjana Barat) hal ini
secara realitas bertentangan dengan akal sehat atau kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.
Ignaz Goldziher (1850-1921) dinilai sebegai pemula yang mengkaji
perkembangan historis tentang literatur tradisi Islam dan asumsinya bahwa ada
hukum-hukum asing dalam Hukum Islam. Hukum asing dimaksud diadopsi oleh
Muhammad baik dari ajaran Yahudi maupun Kristen, atau tradisi nimis sebelum
Islam datang. Kemudian dilanjutkan oleh Joseph Schacht (1902-1969) –yang juga
pernah menimba ilmu dari Snouck Hurgronje (1857-1936) selama ia tinggal di
Universitas Leiden-Belanda- dalam artikelnya yang pertama tentang Hadis “A
Revolution of Islam Traditions”. Schacht menyatakan bahwa ia mengambil begitu
saja gagasan Goldziher bahwa hadis-hadis itu “merefleksikan pendapat-pendapat
yang di tulis selama dua setengah abad pertama setelah Hijrah.”[43]
Kesimpulan para sarjana Barat tersebut sebenarnya sama dan mereka saling
melengkapi satu sama lainnya. Ignaz Goldziher dikenal sebagai penggagas
kelompok Skeptis atas sunnah –meski ia sebenarnya menyunting dan menjabarkan
ide pemikiran Muir dan Sprenger sebagai penggagas awal- kemudian dikembangkan oleh Hurgroje dan Schacht. Tidak
hanya meragukan sunnah akan tetapi sebagaimana diungkapkan di atas mereka
menawarkan metode tersendiri untuk menyortir hadis yang otentik ala mereka. Hal
inilah yang kemudian membuat sarjana muslim merasa aneh dan tergugah atas apa yang dimunculkan para orientalis
yang terlalu jauh salah memandang keberadaan sunnah. Anehnya para sarjana Barat
yang mengatasnamakan para pengkritik terkemuka tetapi mereka sendiri tidak
berani keluar dari pandangan Goldziher. Kebanyakan mereka bertaklid buta atas
kesimpulan dan pandangan Goldziher tentang hukum Islam, khususnya hadis.[44]
Dengan menggunakan metode historis-sosiologis, Schacht berusaha sekuat
tenaga menciptakan dua teori ilmiahnya, yaitu backward-projection dan common
link untuk mengaburkan dan membedakan definisi antara Sunnah dengan hadis.
Schacht sampai pada satu kesimpulan bahwa sunnah Nabi pada kenyataannya
bukanlah sunnah Nabi itu sendiri, tetapi merupakan tradisi yang hidup dari
masyarakat muslim lokal tertentu atau sunnah tidak lebih dari “sebuah kebiasaan
yang dapat dijadikan teladan, sebuah pandangan hidup.” Bahkan tradisi Arab pra
Islam yang telah diambil oleh Islampun dapat disebut sebagai Sunnah”.[45]
Perkembangan doktrin terus menerus dalam aliran klasik dipercepat oleh
gerakan para ahli hadis. Sebagai akibatnya, terdapat sejumlah hadis yang
berkembang yang di klaim menjadi laporan-laporan dari saksi-saksi yang
mendengar atau melihat perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan Nabi, yang
diriwayatkan secara lisan dengan rangkaian orang-orang terpercaya yang tidak
terputus.[46] Analisis ini membawa Schacht kepada kesimpulan kontroversi yang
meruntuhkan pemahaman muslim tradisional: “hadis-hadis itu, sejauh berkaitan
dengan persoalan-persoalan hukum agama, hampir tidak dapat dipertimbangkan
sebagai hadis yang otentik, karena motif-motif utama hadis-hadis itu disebarkan
oleh ahli-ahli hadis sendiri dari paruh pertama abad kedua dan selanjutnya. Isnad merupakan elemen kunci untuk menentukan otentisitas masing-masing hadis.
Dalam pandangan Schacht, studi isnad memiliki kecenderungan tumbuh kebelakang
dan menglklaim otoritas yang lebih tinggi dan lebih tinggi hingga mereka sampai
kepada Nabi.”[47]
Kritik terhadap metode isnad ini menjadi perhatian menarik bagi orientalis
setelahnya, terutama G.H.A. Juynboll dengan penuh kecermatan menilai metode
isnad tidak dapat menjamin keotentikan hadis. Sebab di dalamnya terdapat
kelemahan yang menunjukkan adanya rekayasa dalam penyusunan sanad. Apalagi jika
melihat kemunculan sanad jauh setelah munculnya hadis. Sementara di sisi lain,
sanad tidak dapat dijadikan standar utama untuk menentukan kebenaran hadis. [48]
Lebih jauh Juynboll mencoba memberi alternatif teori kritik hadis yang
menurut versinya metode yang dikembangkannya dapat menentukan asal-usul hadis
dan mengetahui siapa sebenarnya sang pembuat hadis. Teori dimaksud adalah common
link dan analisis sanad, yang merupakan kelanjutan dan pengembangan dari
pemikiran Schacht.[49]
Keberanian Juynboll mengembangkan studi hadis tentu perlu diapresiasi jika
ditinjau dari sisi pengembangan keilmuan, akan tetapi masih perlu disejajarkan
dengan teori dan standar yang telah dibangun oleh para ulama hadis yang lebih
dahulu berkecimpung dalam kajian hadis. Asumsi Juynboll bahwa metode kritik
ulama hadis terdapat kelemahan masih perlu dikaji lebih lanjut dan dibandingkan
dengan teori yang dibangunnya. Berangkat dari sinilah pentingnya menelaah
bagaimana sebenarnya pemikiran orientalis atas hadis, sementara tidak dapat
dilupakan bahwa motivasi kajian mereka tidak berangkat dari sisi obyektifitas
yang murni.
Sigifikansi Sanad dan Telaah Sarjana Barat
Secara sederhana
Azami memaparkan kriteria penetapan hadis yang otentik. Ini tidak
jauh berbeda dengan para ulama hadis dalam menetapkan keotentikan hadis, yakni
bersandar pada sisi sanad dan matan. Unsur-unsur diterimanya suatu hadis memang
terfokus kepada dua hal tersebut. Azami memberikan standar periwayatan hadis
yang dapat diterima jika jalur periwayatan hadis bersambung sejak awal sampai
akhir, tidak mengandung pertentangan terhadap riwayat lain (syadz) dan
tidak terdapat cacat (‘illat).[50]
Seakan Azami tidak
menyinggung kemampuan periwayat dalam hal daya hafal akurasi (dhabit)
dan kualitas kepribadian (‘adil). Untuk mengetahui kedua hal keadilan
dan kedhabitan periwayat, Azami menguraikan seseorang yang telah lama diakui
keakuratan dalam penyampaian hadis hingga ratusan hadis jumlahnya, dan di
dalamnya tidak terdapat kesalahan. Di sisi lain diri periwayat itu telah
dikenal orang yang terpercaya serta selalu berlaku benar, tentu sulit akan
menolak berita yang dibawanya, jika memang tiada bukti yang membuat salah.[51]
Hal ini tidak jauh
berbeda dengan al-Bukhari ketika memberikan kriteria serupa tentang diterimanya
suatu hadis. Al-Bukhari menggambarkan kriteria periwayatan yang diterima ialah:
Periwayatnya harus orang yang berkepribadian sangat luhur, dan termasuk dalam
golongan yang sangat tinggi dalam penguasaan literature dan standar akademis;
dan harus ada informasi positif bahwa para periwayat saling bertemu dan bahwa sang
murid belajar dari gurunya).[52]
Berkenaan
dengan persyaratan yang ditetapkan Imam Al-Bukhari, banyak kritikan dari ulama,
di antaranya oleh ad-Daruquthni, bahwa ternyata setelah diteliti para periwayat
yang ada di dalam kitab shahihnya, tidak semua yang disyaratkan dalam
penerimaan riwayat tersebut dilaksanakannya.[53]
Artinya, ada beberapa periwayat setelah ditelaah kepribadiannya berdasarkan
penilaian ulama kritik hadits, periwayat tersebut tidak semua berada pada
tingkatan tertinggi seperti yang ditetapkannya. Meski kemudian dibela oleh Ibnu
Hajar dengan memberikan beberapa asumsi terkait kritikan tersebut.[54]
Khusus bagi
persambungan sanad, al-Bukhari juga mensyaratkan selain harus satu masa (mu’asarah)
juga diperlukan adanya informasi yang positif tentang pertemuan (liqa’)
antara satu periwayat dengan periwayat berikutnya, periwayat yang berstatus
murid benar-benar mendengar langsung (tsubūt simā’ihi) hadits yang
diriwayatkan dari gurunya.[55]
Persyaratan hadits
di atas agak sedikit berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Muslim. Hal ini salah satu landasan para ulama yang mengunggulkan Al-Bukhari
dari Muslim dalam keshahihan hadits. Muslim tidak mensyaratkan adanya keharusan
satu masa, karena itu telah tersirat dari adanya pertemuan antara satu
periwayat dengan periwayat lain. Analisa ini dapat dilihat dari ungkapan
kalimat yang digunakan dalam periwayatan hadits antar periwayat yang saling
berdekatan.[56]
Tidak mudah untuk merumuskan secara tepat kriteria yang dipergunakan oleh
al-Bukhari dalam menerima suatu riwayat. Pasalnya ia tidak pernah
menggambarkannya secara utuh. Inilah yang kemudian diungkapkan para ulama
sambil mencoba menganalisa deretan panjang hadits-hadits yang terdapat dalam
kitab shahīhnya serta karya-karyanya yang lain.
Standar
penerimaan suatu hadis telah menjadi perbincangan ulama dan mencapai
kesepakatan. Riwayat yang bersumber dari seorang yang dikenal akurasinya tinggi
dan bermoral baik menjadi dasar penerimaan riwayat. Jalur penyampaian riwayat
tersebut tentunya harus bersambung satu sama lain sampai kepada sumber utama
yakni Nabi saw Secara garis besar, persyaratan hadis yang otentik (shahih) pada
sisi periwayat (sanad) dan redaksi hadis (matan). Azami menekankan kondisi
redaksi hadis otentik tidak boleh bertentangan dengan riwayat lain. Meskipun
tidak secara tegas disebutkan syadz yang dipersyaratkan mengarah kepada redaksi
hadis, tetapi tidak berarti hanya kepada sisi sanad semata. Hal ini mengingat
metode penyampaian hadis hampir semua melibatkan kegiatan tulis menulis[57]
Ketentuan
ketersambungan sanad menjadi pijakan utama dalam periwayatan hadis. Hadis akan
tertolak jika dalam rangkaian sanadnya baik sengaja atau tidak, terjadi
kealpaan dari periwayat dalam menyebutkan jalur periwayatan hadis. Para
kritikus hadis dalam hal ini cukup teliti menelaah setiap rangkaian jalur
riwayat, sehingga setiap hadis tidak terbebas dari kritik mereka, baik sanad
maupun matan.
Para ulama hadis
sesungguhnya telah memiliki teori-teori sanad yang cukup ketat.[58]
Sanad sebagai mata rantai periwayatan merupakan asas utama dalam menentukan
kualitas sebuah hadis. Imam Muslim menyatakan bahwa kritik sanad bukan sesuatu
yang dilarang tetapi dilakukan dalam rangka memelihara syari’at Islam.[59]
Wajar jika Ibnu Mubarak (w.181 H) pernah menyatakan sistem sanad merupakan
sebagian dari agama Islam, yang dijadikan standar penerimaan riwayat, sebab
tanpa sanad orang akan mengatakan sekehendak dirinya.[60]
Kaidah keshahihan sanad hadis yang ditetapkan ulama tidaklah seragam. Akan
tetapi ada kaidah-kaidah yang disepakati oleh ulama hadis dan masih terjadi
sampai sekarang.
Menurut
M. Syuhudi Ismail, ada faktor-faktor yang melatar belakangi kecenderungan para
ulama untuk menekankan kepada kesahihan sanad, yaitu: a). kedudukan hadis
sebagai salah satu sumber ajaran Islam, b). hadis tidak semuanya tertulis pada
zaman Nabi, c). munculnya pemalsuan hadis, d). proses penghimpunan (tadwin)
hadis.[61]
Beberapa langkah yang disebutkan tersebut menunjukkan betapa peran sanad dalam
menentukan suatu hadis dapat diterima atau tidak. Penelitian hadis ini tidak
dimaksudkan kepada keraguan akan kebenaran ungkapan Nabi saw tetapi karena masa
perjalanan hadis yang panjang dan sebagian besar tersimpan dalam hafalan, hanya
sebagian kecil yang tertulis, maka kedudukan sanad menjadi urgen sekali.
Untuk perbincangan tentang keberadaan sanad,
kalangan umat Islam tidak mempermasalahkannya. Berbeda dengan para pemikir
Barat yang menjadikan sanad sebagai salah satu alasan mengapa keotentikan hadis
perlu disangsikan kebenarannya. Berikut akan didiskusikan beberapa pandangan
mereka terkait sanad dan tanggapan Azami atas pendangan tersebut.
Untuk mengawali pembahasan mengenai sanad,
Azami mengemukakan pandangan Caetani yang berpandangan bahwa ‘Urwah (w. 94 H)
adalah orang pertama mengadakan
penghimpunan hadis. Penghimpunan hadis ini tidak menggunakan sistem sanad.
Bahkan jauh setelah Nabi Muhamad saw wafat, yakni pada masa Abdul Malik sekitar
tahun 70-80 Hijrah, periwayatan hadis belum menyebutkan sanad. Dengan demikian,
sanad baru ada dan digunakan dalam periwayatan hadis pada masa ‘Urwah dan Ibnu Ishaq
(w. 151 H). Kesimpulan ini berlanjut pada pandangan Caetani bahwa sistem sanad
baru ada setelah abad kedua Hijrah dan itu merupakan buatan ulama abad
tersebut.[62]
Sebelum menyangkal pandangan Caetani, Azami
menambahkan bahwa pandangan seperti ini juga menular pada pemikir Barat lainnya
seperti Spenger. Azami mulai mengklarifikasi kedua pandangan di atas, bahwa
bukan hanya kitab Tarikh at-Thabari yang menjadi rujukan mereka yang menyebutkan
riwayat ‘Urwah tersebut, bahkan di dalam musnad Imam Ahmad telah ada riwayat
yang menyebutkan sumber hadis yakni ‘Aisyah. Sedangkan Musnad Ahmad lebih tua
umurnya dari kitab Tarikh at-Tabari. Azami dalam mencari hujjah dalam kritiknya
atas pandangan Caetani dan Sprenger merasa kesulitan ketika akan merujuk kepada
kitab ‘Urwah sebagai sumber rujukan keduanya. Ini disebabkan kitab ‘Urwah
tersebut telah hilang ditelan masa, jika ada itupun berupa kutipan yang
bersumber kepada ‘Urwah yang tersebar di dalam berbagai kitab hadis.
Untuk menunjukkan kejanggalan dalam
pandangan Caetani dan Sprenger di atas, Azami mengutip dari kitab Musnah Ahmad
bin Hanbal yang menuturkan periwayatan hadis yang dilakukan ‘Urwah ternyata
bersanad. Sanad tersebut terkadang dijumpai terdiri dari seorang sumber dan
kadangkala dua orang. Untuk menguji kebenaran dari kutipan Azami berikut
penulis merujuk kepada sumber dimaksud yakni Musnad Ahmad bin Hanbal. Berbeda
dengan Horovitz yang melihat pandangan Caetani dan Sprenger tidak berdasar dan
menilainya sebagai penelitian yang tidak merujuk kepada kitab-kitab ‘Urwah yang
sebenarnya. Horovitz berkesimpulan beda dengan keduanya, menurutnya ‘Urwah
menyampaikan hadis diiringi dengan sumber sanadnya. Di mana Horovits akhirnya
menilai bahwa penggunaan sanad telah ada sejak sepertiga yang ketiga abad
pertama Hijrah.[63]
Pandangan senada disampaikan oleh J. Robson (Skotlandia) yang menilai bahwa
sanad sesungguhnya telah ada sejak pertengahan abad pertama meski dalam bentuk
yang sederhana. Sebab kala itu sahabat Nabi telah banyak yang wafat sehingga
dalam periwayatan hadis, orang yang menerimanya aka menanyakan kepada sang
pemberi berita tentang sumber berita yang lebih tinggi darinya.[64]
Tampaknya pemikir orientalis yang cukup
gencar menelaah keberadaan sanad dalam riwayat hadis adalah Goldziher.
Menurutnya, isnad atau sanad telah dicemari oleh mereka yang berusia lanjut.
Mereka seakan telah bertemu secara langsung dengan Nabi, namun jika
dikonfirmasi, kebanyakan mereka ternyata lebih dari seratus tahun dari masa
hidup Nabi.[65]
Sistem berpikir Goldziher ini kemudian diadopsi secara mutlak oleh Schacht,
menurutnya, sumber hukum yang dijadikan sandaran orang Islam periode awal tidak
lain adalah ra’yu. Ra’yu ini diilhami dari tradisi kehidupan Nabi yang sering
disebut sunnah. Untuk mencari legitimasi dan memperkokoh pandangannya, sunnah
tadi dihubungakan dengan generasi terdahulu, yaitu generasi tabi'in dan
sahabat. Penyandaran ini akhirnya membuat jalur sanad dan berakhir kepada Nabi
Muhammad. Inilah yang dilakukan oleh asy-Syafi'i dan ahli hadis untuk
menyelamatkan hadis dengan merujuk kepada Nabi Muhammad sebagai otoritas yang
tertinggi.[66]
Untuk mengukuhkan analisa ini, Azami kemudian menyuguhkan pandangan J. Robson
yang menilai bahwa pandangan Schacht tidak benar. Menurut J. Robson, upaya
Schacht menelaah sanad merupakan pekerjaan yang berharga, tetapi obyek
kajiannya hanya mendasarkan pada hadis-hadis yang ada di dalam kitab fiqh
semata, sehingga kesimpulan yang diambil tidak bersifat general. Meski di sisi
lain, Robson juga memberi kesangsian akan anggapan bahwa Schacht telah salah
atau sebaliknya. Sasaran yang dijadikan alasan Robson untuk menyangsikan hasil
kerja Schacht adalah orang lain, tidak secara eksplisit termasuk dirinya, meski
menurut penulis Robson juga tidak jelas berada pada posisi menolak atau
menerima.
Azami menelaah asumsi Schacht bahwa Ibnu
Sirin menyampaikan bahwa penerimaan hadis sebelum terjadi fitnah tidak
mempertanyakan asal-usul sanad. Setelah terjadi fitnah baru ketelitian terkait
riwayat Nabi saw diperketat. Schacht berpendapat bahwa fitnah terjadi sejak
terbunuhnya al-Walid bin Yazid (w 126 H) menjelang mundurnya dinasti Umayyah.[67]
Sedangkan Ibnu Sirin meninggal tahun 110 Hijrah, maka pandangan tersebut adalah
tidak benar. Kritik Azami atas pandangan di atas terletak pada kesalahan
Schacht menganggap awal mula terjadi fitnah masa terbunuhnya al-Walid. Padahal
di dalam sejarah Islam dikenal fitnah itu muncul sejak perselisihan antara Mu’awiyah
dan Ali bin Abi Thalib. Meski ada pertentangan lain seperti fitnah antara Ibnu
Zubair dengan Abdul Malik bin Marwan sekitar tahun 70 Hijrah. Jelas bahwa
pandangan Schacht di atas hanya subyektifitas dan kecerobohan dalam menganalisa
sejarah Islam, demikian Azami menuntaskan pandangannya.[68]
Kritik Azami selanjutnya atas pandangan
sarjana Barat atas keberadaan sanad dalam hadis terdapat pada kesalahan dalam
memilih materi studi sanad. Menurut kalangan sarjana Barat, J. Robson yang
mengomentari Horovits, bahwa sabda dan perbuatan Nabi dapat ditemukan dalam
tiga sumber utama yakni hadis, sejarah hidup Nabi, dan tafsir al-Qur’an. Meski
menurut Lammens bahwa hanya tafsir al-Qur’an saja yang dianggap benar dan dua
lainnya (hadis dan sejarah hidup Nabi) bukan sumber utama. Jika telaah sanad
bersumber dari kitab sirah (sejarah hidup Nabi) maka akan berkesimpulan salah,
sebab metode yang digunakan oleh ahli sejarah dalam menyusun kitabnya berbeda
dengan yang dilalui oleh ahli hadis dalam meriwayatkan dan menyusun kitab
hadis. Di dalam kitab sirah tidak selalu mencatumkan sanad dalam penjelasan
yang menyangkut hadis Nabi, ini berbeda dengan ulama hadis yang selalu
mencantumkan sanadnya.
Untuk menganalisa hasil kerja Schacht,
Azami juga menilai Schacht tampaknya berpedoman pada kitab-kitab fiqh dalam
menelaah kebenaran sanad. Ada tiga kitab yang dimunculkan Azami dan ini
merupakan sumber kajian Schacht, yakni kitab al-Muwatta’ karya imam Malik,
kitab al-Muwatta’ karya Muhammad asy-Syaibani, dan al-Umm karya asy-Syafi’i.
Azami melihat ketiga kitab tersebut memang di dalamnya memuat hadis-hadis Nabi
yang dijadikan dasar dalam membahas bab-bab fiqh, sehingganya lebih tepat
disebut kitab fiqh daripada kitab hadis, atau paling tidak kitab fiqh yang
bersumber pada hadis. Menurut Azami, metode yang dilalui oleh fuqaha berbeda
dengan apa yang dijalankan oleh ahli hadis. Pengutipan riwayat yang ada dalam
kitab fiqh tidak selengkap apa yang ada dalam kitab hadis. Di sinilah letak
kesalahpahaman Schacht pada sanad hadis. Sebab analisanya didasarkan pada
kitab-kitab fiqh. Untuk menggambarkan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh
klasik selanjutnya Azami mengutip beberapa model pengutipan hadis dalam kitab
fiqh.[69]
Menurut Azami, asy-Syafi’i sendiri ketika
menuturkan suatu hadis seringkali tidak mencantumkan sanad hadis secara
lengkap. Adakalanya hanya mencantumkan sebagian dan juga sama sekali. Kemungkinan
yang terjadi menurut Azami, asy-Syafi’i lupa atau memang disengaja dengan
tujuan meringkasnya. Untuk memperkuat pandangannya, Azami mengutip pernyataan
asy-Syafi’i yang mengakui bahwa dirinya tidak selamanya mencantumkan hadis
berdasarkan sanad, tetapi ada sebagian yang dengan sengaja dan karena
kealpaannya sehingga hadis yang dikutip dalam kitabnya (ar-Risalah misalnya)
tidak bersanad.[70]
Ulama hadis di kalangan muslim tentu
menolak metode dan hasil kajian hadis sarjana Barat. Segzin termasuk salah satu
orang yang terkenal bertentangan dengan apa yang dilakukan orientalis, meski
dirinya termasuk orang yang bergelut dengan pemikir Barat. Menurut Herbert
Berg, Sezgin termasuk orang yang menegaskan, untuk mendapatkan kebenaran
mengenai sumber literatur Islam yang adalah menafikan asumsi bahwa isnad
pertama kali diperkenalkan baru pada abad kedua dan ketiga Hijrah. Selain itu
juga harus menghilangkan asumsi rangkaian periwayat yang ada dalam isnad
tersebut hanya rekayasa orang belakangan.[71]
Ternyata
pandangan Sezgin di atas tidak mendapat tempat yang menyejukkan di sejumlah
tokoh Barat. Juynboll misalnya, tetap melihat perlu dilakukan penelitian kalau
tabi'in melakukan periwayatan hadis dengan menggunakan isnad lalu disandarkan
kepada Nabi. Asumsi Juynboll sebagai antitesis pendapat Segzin, justru itu
merupakan rekayasa dan buatan yang tanpa ada dasarnya.[72]
Sementara Fazlur Rahman melihat sunnah dan hadis dua istilah yang merujuk
kepada sesuatu yang satu, yakni bersumber dari Nabi Muhammad. Hanya saja sunnah
cenderung berupa praktik kebiasaan, sedangkan hadis merupakan verbalisasi
sunnah. Keduanya pada perkembangan awal setelah Nabi Muhammad wafat
keduanya menjadi ilham tradisi keagamaan umat Islam dan bersifat normatif.
Namun perkembangan selanjutnya, umat Islam sesudahnya menambahkan sesuatu pada
keduanya, dan hal yang demikian ini mengarahkan pada ketidakharmonisan antara
keduanya, meski secara umum, keduanya sinonim. Situasi demikian membutuhkan
standar praktis, dan hal yang seperti ini diselesaikan dengan cara
pengkondifikasian hadis. Sahabat merupakan sumber utama untuk mendapatkan
gambaran riil dari ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad. Sistem isnad kala itu
belum sepenuhnya berkembang.[73]
Sistem
isnad di masa sahabat memang relatif belum berkembang, sebab antara sahabat
masih dengan mudah mencari kebenaran antar mereka ketika menerima suatu berita
tentang sesuatu yang bersumber dari Nabi saw Hal inipun berlaku di awal masa
kehidupan mereka, berbeda halnya setelah terjadi perselisihan antara Ali dan
Mu’awiyah yang menyebabkan berbagai benturan terjadi di antara umat Islam. Masa
setelah peristiwa ini mengharuskan upaya ekstra untuk mengadakan penyeleksian
riwayat. Muncullah standar praktis yang dimaksud Rahman di atas. Jika ini yang
dimaksud oleh Rahman, yakni masa sahabat mulai bermunculan ketidakpastian
khabar sebelum menanyakan sumber berita dan isnad meski masih bersifat
sederhana, maka itu bisa diterima. Lebih-lebih setelah jauh berlalu masa
sahabat dan tiba masa Umar bin Abdul Aziz dipenghujung abad pertama Hijrah.
Masa tersebut memang telah banyak sumber berita yang telah meninggal, disamping
disinyalir telah banyak beredar riwayat yang tidak memiliki sumber yang jelas. Kodifikasi
hadis sebagai upaya melestarikan sunnah Nabi yang kemudian tidak bisa tidak
hadis berupa berita yang tidak lain berbentuk verbal dan berupa laporan lisan,
meski banyak yang berupa laporan tertulis.
Dengan
berbagai asumsi ilmiah dan teori yang dikembangkan para pengkaji Islam dari
Barat, mereka tetap meletakkan pondasi keraguan dan penolakan akan sistem
isnad. Sebagian mereka memunculkan pandangan bahwa sistem isnad bukan
mengokohkan keberadaan hadis, tetapi justeru meruntuhkan hadis, sebab di sana
akan ditemukan siapa sebenarnya pembuat hadis. Sang pembuat hadis berupaya
mencari legalisasi kepada orang-orang yang ada di atas mereka sampai kepada
Nabi Muhammad saw. Demikian gambaran para pengkaji Barat terhadap hadis yang
secara umum mereka memang menawarkan metodologi baru dan berbeda dengan apa
yang dilalui oleh pengkaji muslim. Perbedaan ini ternyata melahirkan kesimpulan
yang berbeda pula dengan kebanyakan umat Islam.
Kesimpulan
Arah kajian hadis di Barat mengarah kepada sikap
skeptisisme. Munculnya sikap ini tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi mereka dalam melakukan pengkajian keislaman, khususnya hadis.
Sikap skeptis kalangan orientalis menjadikan kajian dan penelitian mereka menjadi
jauh dari obyektifitas ilmiah. Hadis menurut pandangan mereka masih perlu
dipertanyakan keorisinalitasannya. Keraguan ini muncul dilihat dari sejarah
perkembangan hadis yang menimbulkan kecurigaan akan adanya pemalsuan hadis. Di
sisi lain penulisan hadis disinyalir menurut mereka baru terlaksana di abad
kedua Hijrah. Sementara masa penulisan
itu jauh dari masa kehidupan Nabi Muhammad saw. Wajar saja jika para pemikir orientalis ada yang menolak hadis, atau paling tidak skeptis terhadap hadis. Meski demikian
tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis.
Daftar Pustaka
Abidin Ja’far, Orientalisme
dan Studi tentang Bahasa Arab, Yogyakarta: Bina Usaha, 1987.
Ahmad Abdul Hamid
Ghurob, Menyingkap Tabir Orientalisme, terj. A.M. Basmalah, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1992.
Ahmad Amin, Fajrul
Islam, (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1975.
Ahmad bin Ali bin Hajar
al-Asqalāni (773-852 H), Hady as-Sari, Muqaddimah Fath al-Bari, Cet. Ke-1, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1963/ 1383 H.
Akh. Minhaji, Kontroversi
Pembentukan Hukum Islam, kontribusi Schacht, terj.
Ali Masrur Yogyakarta: UII Press, 2001.
Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi, Cet.
Ke-1, Yogyakarta: LKiS, 2007.
An-Nadwi, Abu
al-Hasan Ali al-Hasni, al-Islamiyāt;
Baina Kitabāt al-Mustasyriqīn wa al-Bahitsīn al-Muslimīn, al-Risalah, cet.
ke-3, Beirut, 1985.
Asy-Syafi’i, Ar-Risalah,
ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Fikr, Beirut, ttp, 1309.
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern
Islamic Thought, Cambridge: Cambridge
University Press, 1996.
Edward W. Said, al-Istisyraq, terj. Kamal Abu Dīb, Beirut: Muassasah al-Abhats al-Arabiyah,
1981.
-------, Orientalisme,
Bandung: Pustaka, 1985.
Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ; Pustaka, 1984.
G.H.A. Juynboll, Muslim
Tradition: Studies in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith, Cambridge:
Cambridge University Press, 1985.
Harald Motzki, The
Biography of Muhammad, The Issue of the Sources, Leiden: Brill, 2000.
-------,
“Introduction Hadith: Origins and Developments”, dalam The Formation of The
Classical World, vol ke-28, USA: The
Cromwell, 2004.
Herbert
Berg. The Development of Exegesis in Early Islam, The Authenticity of Muslim
Literature from the Formative Period, Cet. Ke-1, Curzon: Curzon
Press, 2000.
Ignaz Golziher, Muslim
Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, London : Goerge Allen
& Unwin, 1971.
Joseph Schacht, An
Introduction to Islamic Law, London: Oxford University, 1996.
--------, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence, London: Oxford at The
Clarendon Press, 1959.
--------, The
Origin of Muhammadan Jurisprudence, London : Oxford University Press, 1959.
Kamaruddin Amin, Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, cet. ke-1, Jakarta: Hikmah,
2009.
Lihat Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung ;
Pustaka, 1984.
M. Syuhudi Ismail, Kaedah
Keshahihan Sanad Hadis, Jakarta:
Bulan Bintang, 1988.
M.M. Azami, Studies in
Early Hadith
Litetature With A Critical Edition of Some Early Tekts, Beirut: Al-Maktab
al-Islami, 1968.
-------, Studies in Hadith
Methodology and Literature, (Indianapolis: American Trust Publications,
1977.
-------, The History The
Qur’anic Text From Revelation to Compiltion A Comparative tudy with the Old and
New Testaments, terj. Sohirin Solihin et.al., Cet. Ke-3, Jakarta: Gema
Insani Press, 2008.
Mahmud Abu Rayyah, Adlwa’
‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir: Dār al-Ma’rifah, t.t.
Mahmud Hamdy Zaqzuq, al-Istisyraq
wa alkhalfiyah al-Fiqriyah li ash-Shira’
al- hadhari, tej. Luthfie Abdullah Ismail, Orientalisme dan Latar
Belakang Pemikirannya, Bandung: t.tp., 1984.
Mustafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi
at-Tasyri‘al-Islam, (Kairo: Dār
al-Qaumiyah, 1949.
Mahmud Thahan, Ushul
at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Halb: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah,
1978.
Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol.
2, Chicago & London: The University of
Chicago Press, 1974.
Mustafa
as Sibai’i, as-Sunnah
wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978.
-------, Tipu
Daya Orientalis, terj. Abu Ridho, Jakarta: Media Da’wah, 1984.
Najib al-Aqiq, al-Mustasyriqun,
cet. Ke-4, jild. Ke-3, Kairo: Dār al-Ma’arif, 1981.
Zikri Darussamin, Studi
atas Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Hadis, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta, tahun 1997.
[1] Dosen Tafsir Hadits Fakultas
Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
[2] Schacht mengakui bahwa Irak
merupakan pusat pengembangan hukum Islam dan berpengaruh besar dalam
pengembangan hukum Islam dan yurisprudensi Islam hingga abad kedua Hijrah.
Masyarakat Irak lebih maju ketimbang masyarakat lain seperti Hijaz, Madinah,
dan Mekkah. Meski karakter mereka lebih keras dan kaku dibanding struktur masyarakat
lainnya. Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford
University, 1996), hlm. 28-29.
[3] Kamaruddin Amin, Diskursus hadis di Jerman, hlm. 1.
[4] Marshlm.l
G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, (Chicago & London: The
University of Chicago Press, 1974), hlm.
vi.
[5] Marshlm.l
G.S. Hodgson, The Venture of Islam..., hlm.
vi.
[6] Mustafa as-Siba’i, Tipu Daya
Orientalis, terj. Abu Ridho, (Jakarta: Media Da’wah, 1984), hlm. 18-20.
[7] Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung:
Pustaka, 1985),
hlm. 66-67.
[8] Mustafa as-Siba’i, Tipu Daya…,
hlm. 16-30.
[9] Abidin Ja’far, Orientalisme dan
Studi tentang Bahasa Arab, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), hlm. 11.
[10] Mustafa as-Siba’i, Tipu Daya…,
hlm. 27.
[11] Ahmad Abdul Hamid Ghurob, Menyingkap
Tabir Orientalisme, terj. A.M. Basmalah (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1992), hlm. 133.
[12] Mustafa as-Siba’i, Tipu Daya…,
hlm. 29-30.
[13] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali
Keakuratan Metode Kritik Hadis, cet.
ke-1, (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 1.
[14] Daniel
W. Brown, Rethinking
Tradition in Modern Islamic Thought, (Cambridge: Cmbridge University Press, 1996), hlm. 21.
[15] Daniel W. Brown, Rethinking…, hlm. 84-85.
[16] Harald Motzki, “Introduction
Hadith: Origins and Developments”, dalam The Formation of The Classical
Wolrd, vol ke-28, (USA: The Cromwell, 2004), hlm. xviii.
[17] Ignaz
Golziher, Muslim Studies,
terj. C.R. Barber dan S.M. Stern, (London : Goerge Allen & Unwin, 1971), hlm.
38.
[18] Lihat Fazlur
Rahman, Islam,
terj. Ahsin Muhammad, (Bandung ; Pustaka, 1984), hlm. 45.
[19] Mustafa
as Sibai’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, (Beirut:
al-Maktab al-Islami, 1978), hlm. 12.
[20] Harald Motzki, The
Biography of Muhammad, The Issue of the Sources, (Leiden: Brill, 2000), hlm.
xii.
[21] Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung ; Pustaka, 1984),
hlm. 55.
[22] Akh. Minhaji, Kontroversi Pembentukan
Hukum Islam, kontribusi Schacht, terj. Ali Masrur (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm.
9.
[23] Josept
Schacht, The Origin of
Muhammadan Jurisprudence, (London : Oxford University Press, 1959), hlm. 2-58, 80-189.
[24] Ahmad Amin dalam buku ini memberi
kesimpulan bahwa selain hadis masih perlu dipertanyakan proses periwayatannya,
juga karena pemalsuan hadis telah terjadi di masa Nabi. Dengan demikian hadis
perlu dipertanyakan orisinalitasnya. Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo:
Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyah, 1975), hlm. 210-211.
[25] Mahmud Abu Rayyah, Adlwa’ ‘ala
as-Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir: Dār al-Ma’rifah, t.t), hlm. 404-407.
[26] Kamaruddin Amin, Menguji…, hlm. 7-8.
[27] Ignaz Goldziher, Introduction …,
hlm. 5.
[28] Ignaz Goldziher, Introduction…, hlm.
14.
[29] Ignaz Goldziher, Introduction...,
hlm. 40.
[30] Fazlur
Rahman, Islam…, hlm. 54.
[31] D.S.
Margoliouth, Early Development of Islam, khususnya bab tentang sunnah/
tradisi.
[32] Ignaz
Goldziher, , Introduction
…, hlm. 38-41.
[33] Edward Said, al-Istisyraq, terj. Kamal Abu Dīb, (Beirut:
Muassasah al-Abhats al-Arabiyah, 1981), hlm. 39.
[34] Jurnal Ulumul Qur’an, vol. Ke-2, 1995.
[35] Najib al-Aqiq, al-Mustasyriqun,
cet. Ke-4, jild. Ke-3, (Kairo: Dār al-Ma’arif, 1981), hlm. 605.
[36] Edward Said, al-Istisyraq…, hlm. 265.
[37] Mahmud Hamdy Zaqzuq, al-Istisyraq wa alkhlm.fiyah al-Fiqriyah
li ash-Shira’ al- hadhari, tej.
Luthfie Abdullah Ismail, Orientalisme dan Latar Belakang Pemikirannya,
(Bandung: t.tp., 1984), hlm. 66; Lihat Mustafa as-Siba’i, as-Sunnah wa
Makanatuha fi at-Tasyri‘al-Islam, (Kairo: Dār al-Qaumiyah, 1949), hlm. 31.
[38] Zikri Darussamin, Studi atas
Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Hadis, Tesis, IAIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta, tahun 1997.
[39] An-Nadwi, Abu al-Hasan Ali al-Hasni, al-Islamiyāt; Baina Kitabāt
al-Mustasyriqīn wa al-Bahitsīn al-Muslimīn, al-Risalah, cet. ke-3, (Beirut,
1985), hlm. 11-19.
[40] Bagi kebanyakan umat Islam, Sunnah sebagai
sumber hukum Islam yang merupakan suatu produk wahyu langsung di luar
al-Qur’an. Otoritas Sunnah ini bukan hanya berdasar penerimaan umat Islam,
tetapi diekspresikan melalui kehendak Allah dalam berbagai ayat al-Qur’an.
Sebaliknya bagi mereka yang menolak sunnah, kelemahan sunnah di antaranya ia
tidak seperti al-Qur’an, tidak terjaga sehingga tidak terpercaya sebagai
perkataan persis Allah, sunnah tidak memenuhi standar sebagai wahyu, dan
terkait pencatatan dan kecacatan dalam periwayatan. Sebagai catatan, kalangan
ulama Islam memandang sama antara sunnah dan hadis, sementara kalangan Barat
tidak semuanya demikian. Lihat
M.M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, (Indianapolis:
American Trust Publications, 1977), hlm. 5-8. Bandingkan dengan Daniel W.
Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), hlm. 46-53.
[41] Akhmad Minhaji, Kontroversi
Pembentukan Hukum Islam, kontribusi Schacht, terj. Ali Masrur (Yogyakarta:
UII Press, 2001), hlm. 15-16.
[42] Daniel W. Brown, Rethinking…, hlm. 21.
[43] Akhmad Minhaji, Kontroversi...,
hlm. 9.
[44] Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, (London:
Oxford at The Clarendon Press, 1959), hlm. 2-4.
[45] Joseph Schacht, The Origins…, hlm. 58.
[46] Joseph Schacht, The Origins…, hlm. 58. Di sini Schacht megutip kembali penegasan Goldziher bahwa
sunnah Nabi berasal dari tradisi pra Islam lalu diikuti oleh Muhammad, ia
menyatakan ”that this originally pagan term was taken over and adapted by
Islam”.
[47] Akhmad
Minhaji, Kontroversi..., hlm. 22.
[48] G.H.A. Juynboll, Muslim
Tradition: Studies in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1985), hlm. 71.
[49] Ali Masrur, Teori Common Link
G.H.A. Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi, Cet. Ke-1,
(Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 57-82.
[50] M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm.
62.
[51] M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm.
64.
[52] M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm.
89-90.
[53] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalāni (773-852
H), Hady as-Sari, Muqaddimah Fath al-Bari, Cet. Ke-1, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Hlm.abi,
1963/ 1383 H), hlm. 365-367.
[54] al-Asqalani, Hady as-Sari..., hlm. 367.
[55] M.M. Azami, Studies in Hadith…, hlm.
90. Bandingkan dengan as-Suyuthi, Tadrib…, hlm. 70.
[56] Mahmud Thahan, Ushul at-Takhrij wa Dirasat
al-Asanid, (Hlm.b: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah, 1978), hlm. 219-222.
[57] Metode sama’ (pembacaan oleh guru kepada
murid), meski membaca aktifitas lisan, tetapi murid yang mendengar dan menerima
bacaan sang guru, murid segera mencatat dan menghafalnya. Hasil pencatatan
tersebut disodorkan kepada guru untuk diperiksa kebenarannya. Demikian pula metode lainnya, ini sebagai
kontrol keakuratan dalam riwayat hadis, baik sisi sanad maupun matan. M.M.
Azami, Studies in Hadith…, hlm. 16-17. Bandingkan dengan M.M. Azami, The
History The Qur’anic Text From Revelation to Compiltion A Comparative tudy with
the Old and New Testaments, terj. Sohirin Solihin et.al., Cet. Ke-3,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 197-202
[58] Muhammad Ajjaj Khatib, as-Sunnah Qabla…,
hlm. 262-280.
[59] Muslim bin Hajjaj, Muqaddimah
Shahih al-Muslim…, jld. Ke-1, hlm. 32.
[60] Muslim bin Hajjaj, Muqaddimah
Shahih...,
hlm. 38.
[61] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad
Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), hlm. 87-114.
[62] M.M. Azami, Studies in Early Hadith Litetature With A Critical Edition
of Some Early Tekts,
(Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1968)…, hlm. 213-214.
[63] M.M. Azami, Studies in Early Hadith…, hlm.
214-215.
[64] M.M. Azami, Studies in Early Hadith…, hlm.
215.
[65] Herbert Berg. The
Development of Exegesis in Early Islam, The Authenticity of Muslim Literature
from the Formative Period, Cet. Ke-1, (Curzon: Curzon Press, 2000), hlm.
11.
[66] As-Siba’i pernah bertanya kepada Schacht saat
berkunjung ke Leiden perihlm. kecenderungan orientalis menjadikan Goldziher
sebagai sumber utama dalam membincangkan kajian hadis. Meski ditemukan
kejanggalan tetapi tetap saja pendapat Goldziher tidak dikritisi lebih lanjut.
Schahct tidak menjawab hanya terdiam dan berpaling dari komunikasi tentang tema
tersebut. Lihat as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha…, hlm. 29-30.
Schacht, The Origins…, hlm. 138.
[67] Schacht kemudian menyimpulkan bahwa
sistem isnad sebenarnya baru ada dimulai di abah kedua Hijrah. Pandangan ini
diarahkan kepada adanya sistem isnad yang datang jauh setelah kehidupan sahabat
tersebut menunjukkan itu semua merupakan rekayasa orang sesudah abad kedua
Hijrah. Schacht, The Origins…, hlm.
37.
[68] Muhammad bin Sirin seorang tabi’in terkemuka,
meriwayatkan hadis dengan lafaz asli dari kebanyakan sahabat. Sistem isnad
telah ada di awal masa khlm.ifah Islam, bukan setalah abad kedua Hijrah. Lihat
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzīb…, jld ke-9, biografi nomor 338; M.M. Azami, Studies in Early
Hadith…, hlm. 216.
[69] Lihat misalnya pada hlm.aman Azami, Hadis
Nabawi..., hlm. 539-546
[70] Asy-Syafi’i,
Ar-Risalah, ditahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Fikr, Beirut,
ttp, 1309 , hlm. 461-463.
[71] Herbert Berg, The
Development…hlm. 22.
[72]Herbert Berg, The
Development…hlm. 28.
[73] Fazlur Rahman, Islam…hlm.
85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar