MENYIKAPI HADIS-HADIS MISOGINIS
Oleh:
Alamsyah
Dosen Fakultas
Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
I. PENDAHULUAN
Salah
satu masalah hangat dibicarakan saat ini adalah terjadinya perlakuan tidak adil
atas kaum perempuan, mulai dari kehidupan rumah tangga sampai kepada lingkup
negara. Banyak kasus terungkap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
eksploitasi ekonomi dan seksual, keterbelakangan pendidikan dan sosial, korban
steriotipe sehingga perempuan menjadi kelompok marjinal dan minoritas di tengah
jumlahnya yang mayoritas.
Implikasi
dari steriotipe ini muncul anggapan perempuan itu memang rendah, bodoh, lemah,
sehingga wajar jika miskin dan terbelakang. Ungkapan ini bahkan tercetus oleh
perempuan itu sendiri, lalu diyakini sehingga hidupnya selalu tergantung dan
tidak berdaya. Kaum perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua,
dieksploitasi, dan dimanipulasi, baik secara insidental maupun sistematis.
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dilihat sebatas identitas
jenis kelamin dan kodrat fisik (atau sex) yang memang tidak berubah,
tetapi juga menular secara negatif kepada perlakuan peran, fungsi, kedudukan,
kualitas dan prestasi (atau Gender).
Oleh
karena itu, dalam realitas masyarakat banyak terjadi fenomena kekerasan
terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), eksploitasi
ekonomi dan seksual, keterbelakangan pendidikan dan sosial, korban steriotipe,
marjinal dan minoritas. Realitas
tersebut ternyata didukung oleh masih ada pandangan miring (steriotipe) seperti
bahwa perempuan itu rendah, bodoh dan lemah
(bahkan oleh perempuan sendiri). Akibatnya terjadi ketimpangan status dan peran
sosial, marjinalisasi dan kemiskinan, keterbelakangan dan kemunduran serta ketergantungan
dan ketidakberdayaan.
Fakta realitas menunjukkan memang
ada pandangan yang timpang dan miring terhadap perempuan yang ternyata memakai teks-teks
keagamaan, terutama hadis Nabi, sebagai
alat legitimasi. Bahkan banyak
hadis-hadis yang dijadikan sebagai alat pembenaran untuk memojokkan kaum
perempuan atau untuk diberikan label-label yang merendahkan. Reaksi perlawanan lalu
muncul dengan membangun teori ada kelompok konspirasi yang sengaja membuat
hadis-hadis untuk menghina perempuan, atau hadis misoginis, seperti termuat dalam
berbagai kitab tafsir yang sudah populer, maupun kitab hadis dan syarahnya.Dalam
tulisan ini akan dikaji fenomena hadis-hadis misoginis.
II. HADIS BERNUANSA MISOGINIS
1. Arti Hadis Misoginis
Misoginis atau Mis-ogyn-ist berarti hater of
woman,[1] yakni kebencian terhadap
perempuan. Maksud hadis misoginis dalam tulisan ini adalah “perkataan,
perbuatan, ketetapan atau sifat-sifat yang disandarkan kepada Nabi saw
yang membawa pemahaman kebencian kepada
perempuan”.
Hadis misoginis bukan “ucapan, perbuatan, ketetapan atau
sifat Nabi yang menunjukkan kebencian kepada perempuan”. Dengan definisi dan batasan tersebut,
maka sebenarnya tidak ada hadis Nabi yang misoginis, karena mustahil Nabi saw
membenci perempuan.
Jadi hadis misoginis yang otentik dari Nabi saw sebenarnya
tidak ada. Kalaupun ada yang misoginis, maka hadis tersebut sebenarnya tidak
sahih hanya direkayasa mengatasnamakan nabi saw. Sedangkan ajaran kebencian
pada perempuandalam hadis sahih sebenarnya muncul dari pemahaman manusia.
Kemungkinan lain karena ajaran misoginis itu dikait-kaitkan kepada Nabi saw oleh
pihak tertentu secara sengaja atau tidak sengaja (hadis palsu), sehingga
seolah-olah Nabi membenci perempuan padahal beliau tidak bersikap demikian.
Oleh karena itu, ketika ada hadis yang sangat jelas
merendahkan perempuan, dan sulit ditafsirkan ulang, maka dapat ditolak
kesahihannya. ‘Aisyah ra telah memberikan contoh sangat baik ketika dia menolak
riwayat hadis dari Abu Hurairah yang menyatakan ada 3 hal membatalkan salat,
yaitu anjing, himar dan perempuan. Aisyah menolak penyamaan perempuan dengan
anjing dan himar.[2]
2. Misi Kenabian Muhammad saw
Nabi saw sangat menjunjung tinggi
harkat kemuliaan kaum perempuan. Sebagaimana para Rasul lainnya, beliau diutus membawa ajaran dengan misi utama
membawa pesan moral kemanusiaan, transformasi (taghyir) untuk membebaskan
manusia dari segala bentuk ketimpangan sistem, baik teologi, sosial, dan
budaya.[3] Oleh
karena itu Islam memiliki sikap pemihakan yang jelas kepada kelompok-kelompok
lemah, tertindas dan marjinal, seperti kaum perempuan. Sebagai sumber ajaran,
maka al-Qur’ân perlu semacam penjelasan tertentu yang dinamakan dengan tafsir.
Mufassir
sekaligus pelaksana pertama dari al-Qur’an adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau
berijtihad untuk menjelaskan dan menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an secara
nyata dan praktis dalam kehidupan sesuai dengan kondisi pada zamannya. Ijtihad
penafsiran dan penerapan itulah yang dinamakan Sunnah Nabi, yang informasinya
dicatat dalam bentuk tulisan yang dinamakan hadis (berita). Jadi hadis adalah
berita dan bukan wahyu yang sakral dan abadi. Sunnah Nabi baru merupakan alternatif awal yang dipilih sesuai untuk
saat itu. Ada kemungkinan besar Sunnah Nabi tersebut juga merupakan suatu pilihan temporer yang bersifat pilihan
minimal, maksimal atau antara keduanya, ketika beliau dihadapkan pada berbagai
pilihan dalam menerapkan al-Qur’an.
Dalam kontek inilah banyak hadis
nabi memberikan contoh bagaimana Nabi saw berijtihad dalam menetapkan putusan
atau dalam menentukan pilihan terbaik bagi kaum perempuan sesuai pada masanya.
Beliau ternyata berhasil mengangkat posisi perempuan ke trempat lebih terhormat
dan dimuliakan, yang sesuai dengan equality
gender. Namun sayangnya pada
masa sesudahnya justru terjadi kemunduran, bahkan menimbulkan aliran
politis-teologis yang ekslusif, tirani, dan diktator, yang berujung pada
pemapanan faham mayoritas ortodoks. Di era inilah terjadinya pembakuan (standarisasi)
literatur keagamaan sekaligus penyeragaman dan pemaksaan pemahaman keagamaan,
yang oleh Khalid Aboul Fadhl dinamakan sebagai otoriterianisme dalam Islam.[4]
3. Sebab-Sebab Khusus Kemunculan Hadis Bernuansa Misoginis:
a.
Pengaruh
riwayat Israiliyyat
Israiliyyat adalah berbagai cerita dari agama-agama
samawi sebelum Islam, terutama agama Yahudi dan Nasrani. Misalnya cerita perempuan
(Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok, bahwa Hawa yang menggoda
Adam agar memakan buah khuldi, perempuan yang sedang menstruasi menjadi teman
setan sehingga harus dijauhi, merupakan kisah-kisah yang sudah ada dalam agama
dan budaya pra Islam.
b.
Pengaruh
sosial dan budaya.
Latar belakang sosial budaya sering berpengaruh dalam
memahami suatu ayat atau hadis. Ayat atau hadis yang sebenarnya netral atau
khusus lalu ditafsirkan secara bias kepada jenis laki-laki dan merendahkan perempuan
karena sebelumnya ia telah dibentuk oleh pola pikir patrilineal.
c.
Penggunakan
hadis lemah atau palsu atau pemahaman yang keliru.
Nabi SAW memang benar hidup dalam budaya masyarakat yang
merendahkan kaum perempuan, namun banyak hadis palsu atau pemahaman yang salah
justru menggambarkan beliau turut berperan dalam merendahkan perempuan.
d.
Metode
penafsiran tahlili yang cenderung tekstual.
Metode ini lebih menekankan keumuman lafaz, tidak utuh,
terputus-putus, dan melupakan konteks hadis serta hubungan antar hadis.
e.
Pengaruh
struktur dan kosa kata bahasa Arab
Dalam
bahasa Arab ada kaidah jika yang dituju bersifat umum, baik lelaki atau
perempuan, maka digunakan bentuk muzakkar, seperti ayat aqîmus sholâh, yâ ayyuhal lazîna âmanû, assalamu’alaikum,dll.
Tetapi jika yang dituju perempuan saja, maka hanya boleh menggunakan bentuk
muannas. Menurut Nasaruddin Umar, kaedah ini timbul dari pandangan masyarakat
Arab yang patrilineal yang menganggap laki-laki sebagai makhluk paling mulia,
kuat, dan lebih umum. Sementara perempuan harus dibatasi dan diperlakukan
secara khusus dengan segala aturan pembatasnya.
4. Munculnya Problem Hadis Misoginis
Ketika
memasuki dunia modern, umat Islam bersentuhan dengan nilai-nilai modernitas,
seperti demokrasi, HAM dan pluralisme. Hal ini menimbulkan benturan dengan tradisi
yang hidup berabad-abad dalam masyarakat muslim,
tidak terkecuali dalam masalah relasi gendersesuaiajaran normatif hadis.
Ajaran hadis tentang kesiapan
istri dalam melayani suami kapan saja, misalnya, dalam tradisi masyarakat Islam
masa lalu adalah hal biasa. Namun ketika muncul nilai-nilai HAM, maka ajaran
hadis tersebut menjadi masalah sehingga digolongkan misoginis. Dalam masalah ini,
apakah hadis yang terpaksa ditinggalkan atau HAM yang harus ditolak ? apakah Islam
dan modernitas bertentangan ?.
Sebenarnya
tidak perlu dipertentangkan dan dibenturkan antara Islam dan modernitas, karena
Islam sendiri memang datang dengan membawa nilai-nilai kemoderenan, dengan spirit persamaan, keadilan, dan kebebasan, yang menjadi substansi modernitas, dengan syarat Islam dipahami secara dinamis dan elastis, Namun jika dimaknai secara kaku dan tekstual, maka Islam seolah menjadi
fosil membatu. Sebagaimana modernitas jika dipahami harfiyah dan lahiriah juga maka akan ditolak sehingga pertentangan akan terjadi.
Oleh
karena itu di kalangan umat Islam muncul tiga model pemahaman teks terkait
dalam relasi gender, yaitu (1) muslim skriptualistik, tekstualistik atau formalistik, yang menjadikan teks sebagai sentral, titik
awal dan titik akhir; (2) muslim Ideologis yang menggunakan teks sebagai legitimasi dan justifikasi atas ideologi yang diyakini; dan (3) muslimmodernis- post modernisme yang berupaya melakukan rekonsiliasi antara
teks dan realitas modern.
III. MENYIKAPI HADIS-HADIS BERNUANSA MISOGINIS
Banyak
alternatif pendekatan untuk menyikapi
hadis-hadis yang bernuansa misoginis, yaitu:
1. Hermenutika literal
Yaitu dengan memahami ulang
atau menggali lagi makna lafal-lafal dalam teks hadis, agar ditemukan makna
ajaran yang tepat dan tidak bernuansa misoginis. Hermeneutika ala John Gadamer
ini sebenarnya sudah dilakukan banyak ulama hadis masa lalu, dengan mengkaji hakikat
dan majaz, tasybih dan tamsil, dll, dalam teks hadis.
Namun pendekatan memiliki kelemahan karena berkutat pada lafal harfiyah hadis
dan kurang berdampak langsung pada pemahaman yang egaliter. Selain itu, banyak matan
hadis yang diriwayatkan secara makna sehingga sulit ditemukan lafal asli dari
Nabi untuk dikaji. Ibn Qutaibah telah berupaya memecah kebuntuan paradoksal
dalam hadis lewat berbagai takwil. Lalu muncul konsep pemecahan lewat al-tarjih,
an-naskh, al-jam’u wat taufiq, dan at-tawaqquf. Namun kelemahannya
juga terbentur pada kajian yang terfokus pada lafal tekstual, dan terasa
dangkal realitas kontekstual.
2.
Hermeneutika
Fenomenologis Kontekstual: Memahami ajaran Hadis yang Universal dan
Temporal
Harus
dibedakan antara ajaran teks
(ayat dan hadis) yanguniversal –substansial - fundamental
dan ajaran teks yang lokal - temporal- teknikal.
Ajaran
universal - fundamental yang menjadi misi kenabian adalah menegakkan keadilan, kebebasan dan persamaan (‘adalah, hurriyah, musawah).[5] Inilah grand velue ajaran Islam yang bersifat
pokok - ushul – ‘amm - qath’i dan
absolut, yang harus selalu ditegakkan
kapanpun dan di manapun.Jikadijabarkan lagi,
maka grand velue inimemunculkanlima prinsip relasi gender dalam Islam, yaitu:
(1) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai
hamba Allah yang setara (Q. S. az-Zariyat: 56, al-Hujurat: 13, an-Nahl: 97).
(2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah (Q.
S. al-An’am: 165).
(3) Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima
perjanjian dari Allah (Q.S. al-A’raf: 172, al-Mumtahanah: 12).
(4) Adam dan Hawa terlibat dalam drama kosmis
(Q.S. al-Baqarah: 35, dan al-A’raf: 23 dan 27).
(5)
Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi
meraih prestasi dan segala kebaikan (.Q.S. An-Nisa’ : 124, an-Nahl: 97, dan
al-Mukmin: 40).[6]
Sedangkan hadis-hadis yang mengandung ajaran
misoginis lebih bersifat terapan -furu’ -khash - tathbiq –zhanni – nisbi-yang relatif, sehingga sifatnya
lebih banyak berupa penjabaran dan petunjuk teknis pelaksanaan sesuai
dengan kondisi dan situasi pada zaman itu.
Dalam
konteks ini, menurut al-Syathibi, pemahaman nash-nash yang furu’iyah- zhanniyahharus
dikembalikan dan tunduk kepada nash-nash ushuliyyah-
qath’iyyah, yang dinamakan juga maqashid syari’ah.[7]Dengan
demikian penerapan ayat-ayat dan hadis-hadis yang substansial, universal dan
fundamental, harus lebih diutamakan dari pada pengamalan hadis-hadis teknikal,
lokal dan temporal. Jadi hadis-hadis bernuansa misoginis yang bersifat teknis
harus dipahami dan dikembalikan kepada
ajaran hadis yang fundamental.
Beberapa
contoh hadis bernuansa misoginis adalah:
- Perempuan dilaknat karena tidak mau melayani suami(H.R. Bukhari).
- Kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan(H.R. Bukhari)..
- Salat
terputus karena dilalui perempuan di depannya(H. R. Muslim)
- Perempuan
sebagai makhluk kurang akal dan agama (H.R. Bukhari).
- Perempuan
sebagai sumber fitnah terbesar(H.R. Bukhari).
-
Penciptaan perempuan dari tulang rusuk (H.
R. Muslim)
-
Perempuan dilarang
jadi pemimpin(H.R. Bukhari).
-
Perempuan dikhitan pada zaman nabi(H. R. Abu Dawud, dll)
-
Perempuan sebagai salah satu dari tiga pembawa
sial (Bukhari – Muslim).
-
Salat (ibadah) perempuan sebaiknya di dalam rumah
(H.R. Bukhari).
Persoalan
hadis-hadis yang bernuansa misoginis ini bukan pada sanadnya yang tidak sahih,
tetapi pada ajaran matannya yang problematis ketika dihadapkan kepada realitas dunia
moderen. Misalnya hadis tentang “perempuan sebagai makhluk kurang agama dan
akal” dan hadis tentang “perempuan sebagai sumber fitnah terbesar”. Dalam
konteks ini, hadis-hadis tersebut ternyata lebih bersifat khusus (hadis khass) yang bersifat kondisional
dan muncul sesuai dengan konteks zaman itu pula. Ajaran-ajaran hadis demikian memang
masih sesuai diterapkan (ma’mul bih) pada zaman Nabi atau abad-abad
pertengahan ketika dunia belum bersentuhan dengan modernitas. Namun ketika
terjadi perubahan besar dalam paradigma pemikiran yang diikuti perubahan besar
dalam budaya dan struktur sosial kemasyarakatan, maka ajaran harfiyah
hadis-hadis tersebut tidak relevan lagi karena tidak lagi salih li kulli zaman wa makan, sehinggapengamalan
harfiyahnya pun tidak dapat lagi dilanjutkan (ghair ma’mul bih).
Hadis-hadis
bernuansa misoginis lainnya, seperti hadis “salat perempuan lebih baik di
rumah” merupakan hadis yang lebih mengatur hal-hal parsial, teknis dan
prosedural, sehingga tidak mengikat untuk selalu diamalkan dalam setiap waktu
dan tempat. Sebagai prosedur dan teknis, maka ajaran hadis misoginis dapat ditinggalkan
jika sudah dianggap tidak maslahat lagi dan tidak mampu mewujudkan maqashid
syari’ah berupa keadilan, persamaan dan kebebasan. Hal yang harus diamalkan dan dihidupkan terus menerus adalah ruh, prinsip, dan nilai-nilai terdalam dari hadis, bukan nilai-nilai normatif,
tekstual dan teknis (al-mabadi’ aula
minal wasa’il).
Nilai-nilia normatif dan prosedural dapat berubah, diubahdan disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan keadaan serta kemajuan kekinian.
Jika digunakan
teori al-Qaradawi dan Muhammad Syahrur, maka hadis-hadis bernuansa misoginis
ini tidak termasuk Sunnah Tasyri’iyyah dan Sunnah Risalahyang
mengikat dan wajib diikuti. Hadis-hadis misoginis tergolongSunnah non Tasyri’iyyahdan Sunnah
Nabawiyah yang otoritasnya tidak lagi mengikat secara harfiyah bagi muslim
belakangan.[8]
Dalam kerangka
teori al-Qarafi,[9]
hadis-hadis tentang perempuan lebih banyak muncul dari posisi Nabi sebagai
manusia biasa,dan bukan sebagai imam atau rasul, sehingga tidak berdampak
kewajiban hukum dan tidak mengikat. Hadis-hadis tentang “larangan perempuan
sebagai pemimpin” atau hadis “perempuan diciptakan dari tulang rusuk” adalah
contoh komentar nabi sebagai manusia biasa. Ajaran hadis-hadis ini tidak harus
diterapkan pada setiap waktu dan tempat.
Dengan
demikian ajaran-ajaran hadis yang berpotensi merendahkan perempuan tidak salah
untuk ditinggalkan dan lebih diutamakan untuk mengambil ajaran hadis yang mengajarkan
egaliter dan berkeadilan.Dalam kontek demikian, bukan berarti hadis-hadis
bernuansa misoginis yanag telah dinilai sahih lalu dianggap lemah atau palsu untuk
kemudian disingkirkan, tetapi pemahaman dan pengamalan hadis tersebut harus
dirombak total, dengan cara dikembalikan kepada nash-nash ayat dan hadis yang
lebih fundamental.
Pernyataan
bahwa hadis-hadis misoginis tidak tepat dan tidak lagi relevan bukan berarti
bahwa semua sabda dan ijtihad Nabi saw telah salah. Sunnah Nabi dan ijtihad
beliau adalah benar, tepat dan tetap relevan tetapi untuk masanya pada abad ke
7 M di jazirah Arab, tetapi banyak hadis bernuansa misoginis yang tidak relevan
lagi pada masa sekarang. Oleh karena itu, yang harus diambil dan terus
dihidupkan bukan ajaran harfiyahnya tetapi ajaran fundamental hadis tersebut,
semangat ijtihad Nabi dalam menetapkannya, dan nilai-nilai substansial
perjuanagan Nabi untuk menegakkan keadilan dan persamaan.
Dengan analisis fenomenologis, maka ajaran hadis dipahami apa adanya karena
memang begitulah konteks perkembangan zamannya, baik sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, saat itu.Nabi bersabda
demikian karena memang demikian budaya yang berkembang pada zamannya. Sebagai manusia
biasa, maka Beliau mengikuti tradisi demikian sesuai dengan tingkat pengetahuan
dan informasi saat itu. Namun tujuan Beliau bukan untuk merendahkan perempuan. Menurut Abdullah Ahmed an-Na’im,[10] beberapa kebijakan Nabi demikian
karena memang demikian tuntutan situasi zamannya. Nabi saw berupaya mewujudkan secara penuh nilai-nilai ideal universal
dalam relasi gender, terutama kedudukan perempuan, namun berbagai tantangan
mengharuskan beliau memberikan kemuliaan pada perempuan sesuai dengan tingkat
kemampuan dan kesiapan masyarakat muslim pada waktu itu.
IV. PENUTUP
Sunnah Nabi sangat menghargai dan menghormati kaum
perempuan sebagai makhluk yang setara dengan kaum laki-laki. Secara fisik dan
psikis memang ada perbedaan di antara keduanya, namun perbedaan merupakan hal
yang alamiah dan sama sekali tidak boleh dijadikan dasar untuk membuat
perlakuan diskriminatif. Oleh karena itu harus selalu dikembangkan penafsiran
yang mampu mendekonstruksi dan melepaskan diri dari sikap diskriminatif sosial
budaya lokal dan yang lebih mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Hadis-hadis yang
bernuansa misoginis harus dipahami ulang sesuai kontteks saman dan tempat hadis
itu muncul untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan moderen kekinian.
a. Perempuan sebagai makhluk sekunder
Berangkat dari hadis yang
berbunyi:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَ مَ قَالَ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ
تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرً[11]
Makna matan hadis :“Hendaklah kalian berpesan kebaikan dalam memperlakukan perempuan.
Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk bengkok. Jika Engkau paksa
meluruskannya maka akan patah, jika dibiarkan maka akan selalu bengkok”.
b. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin
Anggapan ini berdasar ayat “ar-rijâl qawwâmûna ‘alan nisâ’ …” dalam S. an-Nisa: 34, dan
berdasarkan hadis:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولِ
اللَّهِ صَ مَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً[12]
Artinya matan: “Tidak akan akan berhasil suatu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.
c. Perempuan kurang agama dan akal
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ مِنْ إِحْدَاكُنَّ 12[13]
Arti matan: “Saya tidak melihat orang yang banyak
kekurangan akal dan agama dibandingkan kalian perempuan”.
d. Perempuan sumber fitnah paling berbahaya
عَنْ
أُسَامَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً
أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ[14]
Arti matan:“ Tidak ada bencana paling berbahaya bagi laki-laki sepeninggalku nanti
kecuali wanita” (Riwayat al-Bukhari).
e. Laknat atas perempuan yang enggan melayani suami
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ
غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ [15]
Arti matan: “Jika suami mengajak istri untuk berhubungan
seksual, namun sang istri menolak, maka malaikat melaknat wanita itu sampai
subuh”.
f. Kebanyakan penghuni neraka
adalah perempuan
عَنْأَبِيسَعِيدٍالْخُدْرِيِّقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَمَيَامَعْشَرَالنِّسَاءِتَصَدَّقْنَفَإِنِّيأُرِيتُكُنَّأَكْثَرَأَهْلِالنَّارِفَقُلْنَوَبِمَيَارَسُولَاللَّهِقَالَتُكْثِرْنَاللَّعْنَوَتَكْفُرْنَالْعَشِيرَ[16]
Arti
matan: “Wahai perempuan hendaklah kalian bersedekah, sesugguhnya saya
diperlihatkan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Mereka
(perempuan) bertanya: mengapa demikian ya Rasul. Nabi menjawab karena kalian
banyak melaknat dan mengingkari suami ...”
SUMBER BACAAN
Abdullah Ahmed an-Na’im, Toward
a Reformation of islamic Law, terjemahan Dekonstruksi Hukum Islam
(Yogyakarta: LkiS, 1992
Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Yogyakarta: Pilar
Media, 2005)
Al-Qarafi,
Kitab al-Furuq (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1977) h.
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, LkiS,
Yogyakarta, 2006)
Khaled Aboul Fadhl, Fikih Otoritatif (Jakarta:
penerbit Serambi, 2005)
Mansur Fakih, Analisis Gender (Jakarta: P3M, 1997)
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an; Qiraah
Mu`ashirah, Dar al-Ahali, ttp, 1991
Nasaruddin Umar, Perspektif Gender dalam Islam, dalam
Jurnal Paramadina, 1989
Syafiq Hasyim, Kepemimpinan
Perempuan dalam Islam, JPPR, Jakarta, tt
Software CD Hadis Mausu’ah al-Hadis al-nabi al-Syarif dan al-Bayan
[1]A.S. Hornby, Oxford Edvanced Leaner’s
Dictionary of Corrent English (London: Oxford University Press, 1983) cet.
ke – 11, h. 541.
[2]H. R. Bukhari, juz IV, nomor 493 dan Muslim, juz I, h. 230 nomor 507. Al-Bukhari memasukkan cerita tersebut dalam
judul bab hadis tentang orang yang menolak ada sesuatu yang membatalkan salat.
[3]Ayat-ayat al-Qur’an terkait a.l. Surat
Ibrahim ayat 1.
[4]Khaled Aboul Fadhl, Fikih
Otoritatif (Jakarta: penerbit Serambi, 2005)
[5]Islam
sebagai agama para nabi menjadi kekuatan pembebas (liberating force)
dari segala bentuk sistem dan struktur yang timpang (termasuk relasi gender)
menuju sistem yang lebih berkeadilan. Maka Islam adalah agama yang berpihak
kepada golongan lemah, mustadh`afin dan marjinal (Lihat antara lain
dalam Q. S. Al-Qashash: 5).
[6]Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Yogyakarta: Pilar Media, 2005)
h. 130 – 139.
[7]Abi Ishak
al-Syathibi al-Muwafaqatfi Ushul al-Syari’ah (Beirut: Dar al-Fikr,
1995) juz III, h. 6-10.
[8]Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an
Qira’ah Mu’ashirah (Damaskus: al-Ahali li Tauzi’ wat Thiba’ah, 1991) h. 403
[9]Al-Qarafi, Kitab al-Furuq (Kairo:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1977) h. 3
[10]Abdullah Ahmed an-Na’im, Toward a Reformation of islamic Law,
terjemahan Dekonstruksi Hukum Islam (Yogyakarta: LkiS, 1992) h. 37
[11]Riwayat
Muslim nomor hadis 4924
[12]Hadis
riwayat al-Bukhari nomor 4787
[13]Hadis
riwayat al-Bukhari nomor 4787
[14]Hadis
riwayat al-Bukhari nomor 4073
[15]Muslim
nomor hadis 2596
[16]H R
al-Bukhari Nomor hadis 293.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar