Rabu, 06 Maret 2013

MENYIKAPI HADIS-HADIS MISOGINIS


MENYIKAPI HADIS-HADIS MISOGINIS



Oleh:
Alamsyah
Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung





 I.      PENDAHULUAN


Salah satu masalah hangat dibicarakan saat ini adalah terjadinya perlakuan tidak adil atas kaum perempuan, mulai dari kehidupan rumah tangga sampai kepada lingkup negara. Banyak kasus terungkap terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi ekonomi dan seksual, keterbelakangan pendidikan dan sosial, korban steriotipe sehingga perempuan menjadi kelompok marjinal dan minoritas di tengah jumlahnya yang mayoritas.
Implikasi dari steriotipe ini muncul anggapan perempuan itu memang rendah, bodoh, lemah, sehingga wajar jika miskin dan terbelakang. Ungkapan ini bahkan tercetus oleh perempuan itu sendiri, lalu diyakini sehingga hidupnya selalu tergantung dan tidak berdaya. Kaum perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua, dieksploitasi, dan dimanipulasi, baik secara insidental maupun sistematis. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dilihat sebatas identitas jenis kelamin dan kodrat fisik (atau sex) yang memang tidak berubah, tetapi juga menular secara negatif kepada perlakuan peran, fungsi, kedudukan, kualitas dan prestasi (atau Gender).
Oleh karena itu, dalam realitas masyarakat banyak terjadi fenomena kekerasan terhadap perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), eksploitasi ekonomi dan seksual, keterbelakangan pendidikan dan sosial, korban steriotipe, marjinal dan minoritas. Realitas tersebut ternyata didukung oleh masih ada pandangan miring (steriotipe) seperti bahwa perempuan itu rendah, bodoh dan  lemah (bahkan oleh perempuan sendiri). Akibatnya terjadi ketimpangan status dan peran sosial, marjinalisasi dan kemiskinan, keterbelakangan dan kemunduran serta ketergantungan dan ketidakberdayaan.
Fakta realitas menunjukkan memang ada pandangan yang timpang dan miring terhadap perempuan yang ternyata memakai teks-teks keagamaan, terutama hadis Nabi, sebagai alat legitimasi.  Bahkan banyak hadis-hadis yang dijadikan sebagai alat pembenaran untuk memojokkan kaum perempuan atau untuk diberikan label-label yang merendahkan. Reaksi perlawanan lalu muncul dengan membangun teori ada kelompok konspirasi yang sengaja membuat hadis-hadis untuk menghina perempuan, atau hadis misoginis, seperti termuat dalam berbagai kitab tafsir yang sudah populer, maupun kitab hadis dan syarahnya.Dalam tulisan ini akan dikaji fenomena hadis-hadis misoginis.


    II.            HADIS BERNUANSA MISOGINIS

1.      Arti Hadis Misoginis


Misoginis atau Mis-ogyn-ist berarti hater of woman,[1] yakni kebencian terhadap perempuan. Maksud hadis misoginis dalam tulisan ini adalah “perkataan, perbuatan, ketetapan atau sifat-sifat yang disandarkan kepada Nabi saw yang membawa pemahaman kebencian kepada perempuan”.
Hadis misoginis bukan “ucapan, perbuatan, ketetapan atau sifat Nabi yang menunjukkan kebencian kepada perempuan”. Dengan definisi dan batasan tersebut, maka sebenarnya tidak ada hadis Nabi yang misoginis, karena mustahil Nabi saw membenci perempuan.
Jadi hadis misoginis yang otentik dari Nabi saw sebenarnya tidak ada. Kalaupun ada yang misoginis, maka hadis tersebut sebenarnya tidak sahih hanya direkayasa mengatasnamakan nabi saw. Sedangkan ajaran kebencian pada perempuandalam hadis sahih sebenarnya muncul dari pemahaman manusia. Kemungkinan lain karena ajaran misoginis itu dikait-kaitkan kepada Nabi saw oleh pihak tertentu secara sengaja atau tidak sengaja (hadis palsu), sehingga seolah-olah Nabi membenci perempuan padahal beliau tidak bersikap demikian.
Oleh karena itu, ketika ada hadis yang sangat jelas merendahkan perempuan, dan sulit ditafsirkan ulang, maka dapat ditolak kesahihannya. ‘Aisyah ra telah memberikan contoh sangat baik ketika dia menolak riwayat hadis dari Abu Hurairah yang menyatakan ada 3 hal membatalkan salat, yaitu anjing, himar dan perempuan. Aisyah menolak penyamaan perempuan dengan anjing dan himar.[2]


2.      Misi Kenabian Muhammad saw

Nabi saw sangat menjunjung tinggi harkat kemuliaan kaum perempuan. Sebagaimana para Rasul lainnya, beliau diutus membawa ajaran dengan misi utama membawa pesan moral kemanusiaan, transformasi (taghyir) untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketimpangan sistem, baik teologi, sosial, dan budaya.[3] Oleh karena itu Islam memiliki sikap pemihakan yang jelas kepada kelompok-kelompok lemah, tertindas dan marjinal, seperti kaum perempuan. Sebagai sumber ajaran, maka al-Qur’ân perlu semacam penjelasan tertentu yang dinamakan dengan tafsir.
Mufassir sekaligus pelaksana pertama dari al-Qur’an adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau berijtihad untuk menjelaskan dan menerapkan ajaran-ajaran al-Qur’an secara nyata dan praktis dalam kehidupan sesuai dengan kondisi pada zamannya. Ijtihad penafsiran dan penerapan itulah yang dinamakan Sunnah Nabi, yang informasinya dicatat dalam bentuk tulisan yang dinamakan hadis (berita). Jadi hadis adalah berita dan bukan wahyu yang sakral dan abadi. Sunnah Nabi baru merupakan alternatif awal yang dipilih sesuai untuk saat itu. Ada kemungkinan besar Sunnah Nabi tersebut juga merupakan suatu pilihan temporer yang bersifat pilihan minimal, maksimal atau antara keduanya, ketika beliau dihadapkan pada berbagai pilihan dalam menerapkan al-Qur’an.
Dalam kontek inilah banyak hadis nabi memberikan contoh bagaimana Nabi saw berijtihad dalam menetapkan putusan atau dalam menentukan pilihan terbaik bagi kaum perempuan sesuai pada masanya. Beliau ternyata berhasil mengangkat posisi perempuan ke trempat lebih terhormat dan dimuliakan, yang sesuai dengan equality gender. Namun sayangnya pada masa sesudahnya justru terjadi kemunduran, bahkan menimbulkan aliran politis-teologis yang ekslusif, tirani, dan diktator, yang berujung pada pemapanan faham mayoritas ortodoks. Di era inilah terjadinya pembakuan (standarisasi) literatur keagamaan sekaligus penyeragaman dan pemaksaan pemahaman keagamaan, yang oleh Khalid Aboul Fadhl dinamakan sebagai otoriterianisme dalam Islam.[4]

3.      Sebab-Sebab Khusus Kemunculan Hadis Bernuansa Misoginis:

a.    Pengaruh riwayat Israiliyyat
Israiliyyat adalah berbagai cerita dari agama-agama samawi sebelum Islam, terutama agama Yahudi dan Nasrani. Misalnya cerita perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok, bahwa Hawa yang menggoda Adam agar memakan buah khuldi, perempuan yang sedang menstruasi menjadi teman setan sehingga harus dijauhi, merupakan kisah-kisah yang sudah ada dalam agama dan budaya pra Islam.
b.    Pengaruh sosial dan budaya.
Latar belakang sosial budaya sering berpengaruh dalam memahami suatu ayat atau hadis. Ayat atau hadis yang sebenarnya netral atau khusus lalu ditafsirkan secara bias kepada jenis laki-laki dan merendahkan perempuan karena sebelumnya ia telah dibentuk oleh pola pikir patrilineal.
c.    Penggunakan hadis lemah atau palsu atau pemahaman yang keliru.
Nabi SAW memang benar hidup dalam budaya masyarakat yang merendahkan kaum perempuan, namun banyak hadis palsu atau pemahaman yang salah justru menggambarkan beliau turut berperan dalam merendahkan perempuan.
d.   Metode penafsiran tahlili yang cenderung tekstual.
Metode ini lebih menekankan keumuman lafaz, tidak utuh, terputus-putus, dan melupakan konteks hadis serta hubungan antar hadis.
e.    Pengaruh struktur dan kosa kata bahasa Arab
Dalam bahasa Arab ada kaidah jika yang dituju bersifat umum, baik lelaki atau perempuan, maka digunakan bentuk muzakkar, seperti ayat aqîmus sholâh, yâ ayyuhal lazîna âmanû, assalamu’alaikum,dll. Tetapi jika yang dituju perempuan saja, maka hanya boleh menggunakan bentuk muannas. Menurut Nasaruddin Umar, kaedah ini timbul dari pandangan masyarakat Arab yang patrilineal yang menganggap laki-laki sebagai makhluk paling mulia, kuat, dan lebih umum. Sementara perempuan harus dibatasi dan diperlakukan secara khusus dengan segala aturan pembatasnya.

4.      Munculnya Problem Hadis Misoginis


Ketika memasuki dunia modern, umat Islam bersentuhan dengan nilai-nilai modernitas, seperti demokrasi, HAM dan pluralisme. Hal ini menimbulkan benturan dengan tradisi yang hidup berabad-abad dalam masyarakat muslim, tidak terkecuali dalam masalah relasi gendersesuaiajaran normatif hadis.
Ajaran hadis tentang kesiapan istri dalam melayani suami kapan saja, misalnya, dalam tradisi masyarakat Islam masa lalu adalah hal biasa. Namun ketika muncul nilai-nilai HAM, maka ajaran hadis tersebut menjadi masalah sehingga digolongkan misoginis. Dalam masalah ini, apakah hadis yang terpaksa ditinggalkan atau HAM yang harus ditolak ? apakah Islam dan modernitas bertentangan ?.
Sebenarnya tidak perlu dipertentangkan dan dibenturkan antara Islam dan modernitas, karena Islam sendiri memang datang dengan  membawa nilai-nilai kemoderenan, dengan spirit persamaan, keadilan, dan kebebasan, yang menjadi substansi modernitas, dengan syarat Islam dipahami secara dinamis dan elastis, Namun jika dimaknai secara kaku dan tekstual, maka Islam seolah menjadi fosil membatu. Sebagaimana modernitas jika dipahami harfiyah dan lahiriah juga maka akan ditolak sehingga pertentangan akan terjadi.
Oleh karena itu di kalangan umat Islam muncul tiga model pemahaman teks terkait dalam relasi gender, yaitu (1) muslim skriptualistik, tekstualistik atau formalistik,  yang menjadikan teks sebagai sentral, titik awal dan titik akhir;  (2) muslim Ideologis yang menggunakan teks sebagai legitimasi dan justifikasi atas ideologi yang diyakini; dan (3) muslimmodernis- post modernisme yang berupaya  melakukan rekonsiliasi antara teks dan realitas modern.

 III.            MENYIKAPI HADIS-HADIS BERNUANSA MISOGINIS


Banyak alternatif pendekatan untuk menyikapi hadis-hadis yang bernuansa misoginis, yaitu:

1.      Hermenutika literal

Yaitu dengan memahami ulang atau menggali lagi makna lafal-lafal dalam teks hadis, agar ditemukan makna ajaran yang tepat dan tidak bernuansa misoginis. Hermeneutika ala John Gadamer ini sebenarnya sudah dilakukan banyak ulama hadis masa lalu, dengan mengkaji hakikat dan majaz, tasybih dan tamsil, dll, dalam teks hadis. Namun pendekatan memiliki kelemahan karena berkutat pada lafal harfiyah hadis dan kurang berdampak langsung pada pemahaman yang egaliter. Selain itu, banyak matan hadis yang diriwayatkan secara makna sehingga sulit ditemukan lafal asli dari Nabi untuk dikaji. Ibn Qutaibah telah berupaya memecah kebuntuan paradoksal dalam hadis lewat berbagai takwil. Lalu muncul konsep pemecahan lewat al-tarjih, an-naskh, al-jam’u wat taufiq, dan at-tawaqquf. Namun kelemahannya juga terbentur pada kajian yang terfokus pada lafal tekstual, dan terasa dangkal realitas kontekstual.

2.      Hermeneutika Fenomenologis Kontekstual: Memahami ajaran Hadis yang Universal dan Temporal


Harus dibedakan antara ajaran teks (ayat dan hadis) yanguniversal –substansial - fundamental dan ajaran teks yang lokal - temporal- teknikal.
Ajaran universal - fundamental yang menjadi misi kenabian adalah menegakkan keadilan, kebebasan dan persamaan (‘adalah, hurriyah, musawah).[5] Inilah grand velue ajaran Islam yang bersifat pokok - ushul – ‘amm - qath’i dan absolut, yang harus selalu ditegakkan kapanpun dan di manapun.Jikadijabarkan lagi, maka grand velue inimemunculkanlima prinsip relasi gender dalam Islam, yaitu:
(1)      Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah yang setara (Q. S. az-Zariyat: 56, al-Hujurat: 13, an-Nahl: 97).
(2)      Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah (Q. S. al-An’am: 165).
(3)      Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian dari Allah (Q.S. al-A’raf: 172, al-Mumtahanah: 12).
(4)      Adam dan Hawa terlibat dalam drama kosmis (Q.S. al-Baqarah: 35, dan al-A’raf: 23 dan 27).
(5)      Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi dan segala kebaikan (.Q.S. An-Nisa’ : 124, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40).[6]
Sedangkan hadis-hadis yang mengandung ajaran misoginis lebih bersifat terapan -furu’ -khash - tathbiqzhanni – nisbi-yang relatif, sehingga sifatnya lebih banyak berupa penjabaran dan petunjuk teknis pelaksanaan sesuai dengan kondisi dan situasi pada zaman itu.
Dalam konteks ini, menurut al-Syathibi, pemahaman nash-nash yang furu’iyah- zhanniyahharus dikembalikan dan tunduk kepada nash-nash ushuliyyah- qath’iyyah, yang dinamakan juga maqashid syari’ah.[7]Dengan demikian penerapan ayat-ayat dan hadis-hadis yang substansial, universal dan fundamental, harus lebih diutamakan dari pada pengamalan hadis-hadis teknikal, lokal dan temporal. Jadi hadis-hadis bernuansa misoginis yang bersifat teknis harus dipahami dan dikembalikan kepada  ajaran hadis yang fundamental.
Beberapa contoh hadis bernuansa misoginis adalah:
-       Perempuan dilaknat karena tidak mau melayani suami(H.R. Bukhari).
-       Kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan(H.R. Bukhari)..
-       Salat terputus karena dilalui perempuan di depannya(H. R. Muslim)
-       Perempuan sebagai makhluk kurang akal dan agama (H.R. Bukhari).
-       Perempuan sebagai sumber fitnah terbesar(H.R. Bukhari).
-       Penciptaan perempuan dari tulang rusuk (H. R. Muslim)
-       Perempuan dilarang jadi pemimpin(H.R. Bukhari).
-       Perempuan dikhitan pada zaman nabi(H. R. Abu Dawud, dll)
-       Perempuan sebagai salah satu dari tiga pembawa sial (Bukhari – Muslim).
-       Salat (ibadah) perempuan sebaiknya di dalam rumah (H.R. Bukhari).
Persoalan hadis-hadis yang bernuansa misoginis ini bukan pada sanadnya yang tidak sahih, tetapi pada ajaran matannya yang problematis ketika dihadapkan kepada realitas dunia moderen. Misalnya hadis tentang “perempuan sebagai makhluk kurang agama dan akal” dan hadis tentang “perempuan sebagai sumber fitnah terbesar”. Dalam konteks ini, hadis-hadis tersebut ternyata lebih bersifat khusus (hadis khass) yang bersifat kondisional dan muncul sesuai dengan konteks zaman itu pula. Ajaran-ajaran hadis demikian memang masih sesuai diterapkan (ma’mul bih) pada zaman Nabi atau abad-abad pertengahan ketika dunia belum bersentuhan dengan modernitas. Namun ketika terjadi perubahan besar dalam paradigma pemikiran yang diikuti perubahan besar dalam budaya dan struktur sosial kemasyarakatan, maka ajaran harfiyah hadis-hadis tersebut tidak relevan lagi karena tidak lagi salih  li kulli zaman wa makan, sehinggapengamalan harfiyahnya pun tidak dapat lagi dilanjutkan (ghair ma’mul bih).
Hadis-hadis bernuansa misoginis lainnya, seperti hadis “salat perempuan lebih baik di rumah” merupakan hadis yang lebih mengatur hal-hal parsial, teknis dan prosedural, sehingga tidak mengikat untuk selalu diamalkan dalam setiap waktu dan tempat. Sebagai prosedur dan teknis, maka ajaran hadis misoginis dapat ditinggalkan jika sudah dianggap tidak maslahat lagi dan tidak mampu mewujudkan maqashid syari’ah berupa keadilan, persamaan dan kebebasan. Hal yang harus diamalkan dan dihidupkan terus menerus adalah ruh, prinsip, dan nilai-nilai terdalam dari hadis, bukan nilai-nilai normatif, tekstual dan teknis (al-mabadi’ aula minal wasa’il). Nilai-nilia normatif dan prosedural dapat berubah, diubahdan disesuaikan dengan perkembangan zaman dan keadaan serta kemajuan kekinian.
Jika digunakan teori al-Qaradawi dan Muhammad Syahrur, maka hadis-hadis bernuansa misoginis ini tidak termasuk Sunnah Tasyri’iyyah dan Sunnah Risalahyang mengikat dan wajib diikuti. Hadis-hadis misoginis tergolongSunnah non Tasyri’iyyahdan Sunnah Nabawiyah yang otoritasnya tidak lagi mengikat secara harfiyah bagi muslim belakangan.[8]
Dalam kerangka teori al-Qarafi,[9] hadis-hadis tentang perempuan lebih banyak muncul dari posisi Nabi sebagai manusia biasa,dan bukan sebagai imam atau rasul, sehingga tidak berdampak kewajiban hukum dan tidak mengikat. Hadis-hadis tentang “larangan perempuan sebagai pemimpin” atau hadis “perempuan diciptakan dari tulang rusuk” adalah contoh komentar nabi sebagai manusia biasa. Ajaran hadis-hadis ini tidak harus diterapkan pada setiap waktu dan tempat.
Dengan demikian ajaran-ajaran hadis yang berpotensi merendahkan perempuan tidak salah untuk ditinggalkan dan lebih diutamakan untuk mengambil ajaran hadis yang mengajarkan egaliter dan berkeadilan.Dalam kontek demikian, bukan berarti hadis-hadis bernuansa misoginis yanag telah dinilai sahih lalu dianggap lemah atau palsu untuk kemudian disingkirkan, tetapi pemahaman dan pengamalan hadis tersebut harus dirombak total, dengan cara dikembalikan kepada nash-nash ayat dan hadis yang lebih fundamental.
Pernyataan bahwa hadis-hadis misoginis tidak tepat dan tidak lagi relevan bukan berarti bahwa semua sabda dan ijtihad Nabi saw telah salah. Sunnah Nabi dan ijtihad beliau adalah benar, tepat dan tetap relevan tetapi untuk masanya pada abad ke 7 M di jazirah Arab, tetapi banyak hadis bernuansa misoginis yang tidak relevan lagi pada masa sekarang. Oleh karena itu, yang harus diambil dan terus dihidupkan bukan ajaran harfiyahnya tetapi ajaran fundamental hadis tersebut, semangat ijtihad Nabi dalam menetapkannya, dan nilai-nilai substansial perjuanagan Nabi untuk menegakkan keadilan dan persamaan.
Dengan analisis fenomenologis, maka ajaran hadis dipahami apa adanya karena memang begitulah konteks perkembangan zamannya, baik sosial, budaya, ilmu pengetahuan, saat itu.Nabi bersabda demikian karena memang demikian budaya yang berkembang pada zamannya. Sebagai manusia biasa, maka Beliau mengikuti tradisi demikian sesuai dengan tingkat pengetahuan dan informasi saat itu. Namun tujuan Beliau bukan untuk merendahkan perempuan. Menurut Abdullah Ahmed an-Na’im,[10] beberapa kebijakan Nabi demikian  karena memang demikian tuntutan situasi zamannya. Nabi saw berupaya mewujudkan secara penuh nilai-nilai ideal universal dalam relasi gender, terutama kedudukan perempuan, namun berbagai tantangan mengharuskan beliau memberikan kemuliaan pada perempuan sesuai dengan tingkat kemampuan dan kesiapan masyarakat muslim pada waktu itu.


 IV.            PENUTUP


Sunnah Nabi sangat menghargai dan menghormati kaum perempuan sebagai makhluk yang setara dengan kaum laki-laki. Secara fisik dan psikis memang ada perbedaan di antara keduanya, namun perbedaan merupakan hal yang alamiah dan sama sekali tidak boleh dijadikan dasar untuk membuat perlakuan diskriminatif. Oleh karena itu harus selalu dikembangkan penafsiran yang mampu mendekonstruksi dan melepaskan diri dari sikap diskriminatif sosial budaya lokal dan yang lebih mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Hadis-hadis yang bernuansa misoginis harus dipahami ulang sesuai kontteks saman dan tempat hadis itu muncul untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan moderen kekinian.








LAMPIRAN: BEBERAPA HADIS KONTROVERSIAL
a.    Perempuan sebagai makhluk sekunder
Berangkat dari hadis yang berbunyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَ مَ قَالَ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرً[11]
Makna matan hadis :“Hendaklah kalian berpesan kebaikan dalam memperlakukan perempuan. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk bengkok. Jika Engkau paksa meluruskannya maka akan patah, jika dibiarkan maka akan selalu bengkok”.

b. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin
Anggapan ini berdasar ayat “ar-rijâl qawwâmûna ‘alan nisâ’ …” dalam S. an-Nisa: 34, dan berdasarkan hadis:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولِ اللَّهِ صَ مَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً[12]
 Artinya matan: “Tidak akan akan berhasil suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.

c. Perempuan kurang agama dan akal
           
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ مِنْ إِحْدَاكُنَّ 12[13]

Arti matan: “Saya tidak melihat orang yang banyak kekurangan akal dan agama dibandingkan kalian perempuan”.

d. Perempuan sumber fitnah paling berbahaya

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ[14]
Arti matan:“ Tidak ada bencana paling berbahaya bagi laki-laki sepeninggalku nanti kecuali wanita” (Riwayat al-Bukhari).

e. Laknat atas perempuan yang enggan melayani suami

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ [15]
Arti matan: “Jika suami mengajak istri untuk berhubungan seksual, namun sang istri menolak, maka malaikat melaknat wanita itu sampai subuh”.

f. Kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan

عَنْأَبِيسَعِيدٍالْخُدْرِيِّقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَمَيَامَعْشَرَالنِّسَاءِتَصَدَّقْنَفَإِنِّيأُرِيتُكُنَّأَكْثَرَأَهْلِالنَّارِفَقُلْنَوَبِمَيَارَسُولَاللَّهِقَالَتُكْثِرْنَاللَّعْنَوَتَكْفُرْنَالْعَشِيرَ[16]

 

Arti matan: “Wahai perempuan hendaklah kalian bersedekah, sesugguhnya saya diperlihatkan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Mereka (perempuan) bertanya: mengapa demikian ya Rasul. Nabi menjawab karena kalian banyak melaknat dan mengingkari suami ...”
























SUMBER BACAAN


Abdullah Ahmed an-Na’im, Toward a Reformation of islamic Law, terjemahan Dekonstruksi Hukum Islam (Yogyakarta: LkiS, 1992

Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Yogyakarta: Pilar Media, 2005)

Al-Qarafi, Kitab al-Furuq (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1977) h.

Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, LkiS, Yogyakarta, 2006)

Khaled Aboul Fadhl, Fikih Otoritatif (Jakarta: penerbit Serambi, 2005)

Mansur Fakih, Analisis Gender (Jakarta: P3M, 1997)

Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an; Qiraah Mu`ashirah, Dar al-Ahali, ttp, 1991

Nasaruddin Umar, Perspektif Gender dalam Islam, dalam Jurnal Paramadina, 1989

Syafiq Hasyim, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, JPPR, Jakarta, tt

Software CD Hadis Mausu’ah al-Hadis al-nabi al-Syarif dan al-Bayan






[1]A.S. Hornby, Oxford Edvanced Leaner’s Dictionary of Corrent English (London: Oxford University Press, 1983) cet. ke – 11, h. 541.
[2]H. R. Bukhari, juz IV, nomor 493 dan Muslim, juz I, h. 230 nomor 507. Al-Bukhari memasukkan cerita tersebut dalam judul bab hadis tentang orang yang menolak ada sesuatu yang membatalkan salat.
[3]Ayat-ayat al-Qur’an terkait a.l. Surat Ibrahim ayat 1.
[4]Khaled Aboul Fadhl, Fikih Otoritatif (Jakarta: penerbit Serambi, 2005)
[5]Islam sebagai agama para nabi menjadi kekuatan pembebas (liberating force) dari segala bentuk sistem dan struktur yang timpang (termasuk relasi gender) menuju sistem yang lebih berkeadilan. Maka Islam adalah agama yang berpihak kepada golongan lemah, mustadh`afin dan marjinal (Lihat antara lain dalam Q. S. Al-Qashash: 5).
[6]Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Yogyakarta: Pilar Media, 2005) h. 130 – 139.
[7]Abi Ishak al-Syathibi al-Muwafaqatfi Ushul al-Syari’ah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995) juz III, h. 6-10.
[8]Muhammad Syahrur, al-Kitab wal Qur’an Qira’ah Mu’ashirah (Damaskus: al-Ahali li Tauzi’ wat Thiba’ah, 1991) h. 403
[9]Al-Qarafi, Kitab al-Furuq (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1977) h. 3
[10]Abdullah Ahmed an-Na’im, Toward a Reformation of islamic Law, terjemahan Dekonstruksi Hukum Islam (Yogyakarta: LkiS, 1992) h. 37
[11]Riwayat Muslim nomor hadis 4924
[12]Hadis riwayat al-Bukhari nomor 4787
[13]Hadis riwayat al-Bukhari nomor 4787

[14]Hadis riwayat al-Bukhari nomor 4073
[15]Muslim nomor hadis 2596
[16]H R al-Bukhari Nomor hadis 293. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar