Rabu, 10 April 2013

Diskursus Munâsabah Al-Qur’an: Menyoal Perdebatan Otentisitas Al-Qur’an

Diskursus Munâsabah Al-Qur’an:
Menyoal Perdebatan Otentisitas Al-Qur’an

Oleh:
Hasani Ahmad Said[1]

Abstrak

Studi kajian terhadap Alquran telah berjalan dalam sejarah yang cukup panjang. Alquran adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia ketika ia diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Dari ulama klasik hingga sekarang puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengkaji akan kemukjizatan Alquran. Bahkan, Alquran sendiri menyatakan dirinya sebagai mukjizat. Tetapi tidak demikian dengan para ilmuan Barat dan orientalis. Bahkan mereka mempertanyakan otentisitas Alquran. Salah satu kajian yang menjadi diskursus perdebatan adalah aspek munâsabah. Maka, tulisan ini penting untuk didiskusikan dalam rangka menjawab keraguan tersebut.

Kata Kunci: Munâsabah, otentisitas, Alquran.   

Pendahuluan
            Alquran bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala hal.[2] Alquran tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan,[3] karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Alquran dengan realitas sosial. Alquran di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis.  Seolah-olah nilai-nilai Alquran yang dialamatkankan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu. Karena itu perlu adanya tafsîr[4] untuk mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip kandungan Alquran tersebut.[5] Alquran dalam tradisi keilmuan Islam, telah melahirkan sederet teks turunan yang demikian mengagungkan. Teks-teks turunan itu merupakan karya-karya spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam model dan metode.[6]
            Sejarah perkembangan tafsir tidak terlepas dari corak penafsiran[7] yang dihasilkan oleh setiap generasi dalam penggal sejarah tertentu, di mana dalam menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah Swt. terdapat ekspresi dan karakter yang impresif. Jangankan pada generasi yang berbeda, generasi yang samapun, seperti generasi sahabat[8] sudah memperlihatkan fenomena perselisihan pendapat dalam memahami Alquran.[9]
            Para ulama sepakat akan kemukjizatan Alquran. Namun demikian, ada segelintir orang yang masih menyoal akan kemukjizatan Alquran. Diantaranya seperti yang diungkap Mushthafâ Shâdiq al-Râfiî (w. 1297 H./1937 M.),[10] yaitu Abû Ishâq al-Nadzam (w. 321 H./933 M).[11] Tokoh dari aliran lain yang mengingkari kemukjizatan Alquran ialah al-Murtadhâ (436 H/1297 M)[12] dari kalangan Mazhab Syiah yang  sependirian dengan al-Nadzâm.[13] Quraish Shihab dalam menanggapi kedua tokoh ini, mengatakan bahwa pendapat keduanya tidak berlandas pada fakta sejarah. Ini terbukti dalam beberapa ayat menantang untuk mendatangkan teks yang serupa dengan Alquran.[14] Al-Bâqillânî (w. 403 H.), seorang tokoh mutakallimîn berpendapat bahwa kenabian Nabi Muhammad Saw. utamanya dibangun atas dasar kemu’jizatan Alquran meskipun ditemukan mukjizat-mukjizat lainnya selain Alquran.[15]
            Jauh setelah mereka, ternyata tidak sedikit ilmuan yang berusaha mengkaji ulang sejarah Alquran yang ”seolah-olah” hilang, melalui pendekatan tartîb al-suwar wa al-âyat, dengan mempertanyakan kembali perihal kodifikasi Alquran. Ilmuan itu semisal Noldeke, Richard Bell, dsb. Hal ini tentunya membutuhkan jawaban yang akademik pula, karena mereka menggunakan pendekatan yang masuk akal.

Konsepsi Munasabah
            Louis Ma’luf dalam Qamûs al-Munjid menguraikan kata munâsabah bahwa secara harfiyah, kata munâsabah, terambil dari kata nâsaba-yunâsibu-munâsabatan yang berarti dekat (qarîb), dan yang menyerupai (mitsâl). Al-munâsabah searti dengan al-muqârabah, yang mengandung arti mendekatkan dan menyesuaikan. Al-Suyûthi juga mengurai kata munâsabah berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan dan kepantasan. Kata al-munâsabah, ada sinonim (murâdif) dengan kata al-muqârabah dan al-musyâkalah, yang masing-masing berarti kedekatan dan persamaan.[16]
            ’Ulum al-Qur’an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab ’Ulûm al-Qur’ân yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, karya Badruddîn al-Zarkâsyi (w.794 H) dan al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, karya Jalâluddîn al-Suyûthi (w. 911 H). ‘Ilm al-Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari ‘Ulûm Al-Qur’ân. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat Alquran sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode Tafsir Ibn Katsiral-Qur’ân yufassirû ba’dhuhu ba’dhan”, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami Alquran harus utuh. Jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang sepotong-sepotong (atomistik).
            Bertitik tolak dari pendapat bahwa Alquran memiliki kemukjizatan dari setiap dimensinya, dapat dipahami sebagaimana dipaparkan al-Zarkâsyi bahwa Alquran bukanlah kalam yang diturunkan[17] secara tidak sengaja, kebetulan, dan tanpa sasaran dan tujuan tertentu. Dengan demikian, setiap penggunaan dan susunan kata (lafadz), konstruksi ayat dan surat (munâsabah bain al-âyât wa al-surah) serta peralihan tema yang terdapat di dalamnya memiliki kekuatan konsep sebagai suatu kalam yang utuh dan padu (muttasiqât al-mabânî wa muntadzimât al-ma’ânî ka al-kalimah al-wâhidah).[18] Dan keseluruhan Alquran sangat memenuhi persyaratan itu, yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf, seperti yang ditegaskan al-Qurthûbi (w. 641) laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisah.[19] Dengan demikian, satu kesatuan Alquran itu terjadi sama sekali bukan karena dipaksakan, melainkan bisa dibuktikan melalui hubungan antar bagian demi bagian.

Historisitas Munâsabah
            Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (Munâsabah), berawal dari kenyataan bahwa sistematika Alquran sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya.[20] Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat di dalam Alquran. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqîfi dari Nabi.[21] Golongan kedua berpendapat bahwa, hal itu didasarkan atas ijtihâdi. [22] Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi. Golongan ketiga berpendapat, serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfâl dan Barâ’ah yang dipandang bersifat ijtihâdi. Pendapat pertama didukung antara lain oleh al-Qadhi Abu Bakar, Abu Bakar Ibnu al-Anbari, al-Kirmani dan Ibnu al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, al-Qadhi Abu Bakar dan Ibnu al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh al-Baihâqi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan suratnya berfariasi.
            Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi Alquran kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ’Ulûm al-Qur’ân. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut al-Zarkâsyi, adalah Syaikh Abu Bakr Abdullah Ibn al-Naisabûri (w. 324 H.),[23] kemudian diikuti ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Zubair dalam kitab Tartîb al-Suwar al-Qur’ân, Syaikh Burhanuddin al-Biqâ’i dengan bukunya Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-Suwar, dan Al-Suyûthi dalam kitab Asrâr al-Tartîb al-Qur’ân. Quraish Shihab belakangan menambahkan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Syalthut dan sebagainya membahas persolan ini dalam tafsirnya.[24]

Mengungkap Diskursus Munâsabah al-Qur’ân
            Perdebatan akademik yang mengemuka adalah para ulama berbeda pendapat dalam menentukan keberadaan tartîb al-mushhaf. Apakah dasar penyusunannya atas ijtihad para sahabat (ijtihâ), kalau demikian adanya munâsabah itu penting  atau berdasarkan penyusunannya berdasarkan perintah, pengajaran, rumus, isyarat dan petunjuk Nabi Saw (tauqîfî). Kalau tauqîfi, maka tidak perlu adanya munasabah karena peristiwa yang terjadi saling berlainan, Alquran juga diturunkan dan diberi hikmah secara tauqîfî dengan kata lain Alquran turun atas petunjuk dan kehendak Allah. Kemudian dalam penelitian selanjutnya lebih dipertajam melalui kerangka penting tidaknya munâsabah dalam ranah metodologi penafsiran.
            Pendapat pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa surat-surat Alquran disusun berdasarkan tauqîfî. Sudah merupakan kepastian dari Rasulullah membaca berbagai surat menurut susunan ayatnya masing-masing di dalam shalat, atau pada khutbah jumat, disaksikan para sahabatnya. Kenyataan itupun merupakan bukti terang yang menyatakan bahwa susunan dan urutan ayat-ayatnya memang sesuai dengan kehendak dan petunjuk dari Nabi sendiri. Maka, dalam mendukung pendapat pertama, ha ini tidak mungkin apabila sahabat nabi menyusun urutan ayat-ayat yang berbeda dengan bacaan Rasulullah Saw. Hal itu merupakan kepastian yang tidak dapat diragukan kebenarannya (mutawâtir).[25]   
            Susunan dan urutan suratpun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah Saw. Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal semua ayat dan surat Alquran. Bisa jadi, kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan sebaliknya. Atau dalam bahasa lain, tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan surat Alquran di susun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka sendiri. Dan lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa beberapa surat disusun urutannya berdasarkan ijtihad para sahabat dan beberapa surat lainnya disusun urutannya menurut kehendak dan petunjuk rasulullah saw. Pelopor pendapat ini adalah Abû Ja`far ibn Nuhâs (w. 338 H.), al-Kirmânî, Ibn al-Hashar (w. 611 H), Abû Bakr al-Anbārî (271-328 H) dan al-Bagawî (w. 286 H). Abū Ja`far ibn Nuhâs Seperti yang dikutip al-Zarkasyî,[26] berpendapat bahwa penyusunan surat yang ada pada mushaf berasal dari Nabi Saw berdasarkan hadis sebagai berikut:

حدثنا عمران القطان عن قتادة عن أبى المليح الهذلي عن واثلة بن الأسقع أن النبي صلى الله عليه وسلم قال أعطيت مكان التوراة السبع الطوال وأعطيت مكان الزبور المئين وأعطيت مكان الإنجيل المثانى وفضلت بالمفصل ( رواه أحمد)[27]
           
Artinya: Nabi Muhammad Saw bersabda: Saya diberikan tempat Taurat dalam al-Saba al-Thuwâl, tempat Injil dalam surat al-Miûn, tempat Zabûr dalam surat al-Matsânî dan diberikan keutamaan dalam surat al-Mufashshal. (H.R. Ahmad).

            Hadis tersebut menurut Abû Ja`far ibn Nuhas menunjukkan bahwa penyusunan Alquran berasal dari Nabi Saw dan kegiatan ini berlangsung ketika Nabi masih hidup, dan sementara pengumpulan Alquran dalam satu mushaf adalah berdasarkan petunjuk yang sama. Al-Kirmânî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,[28] berpendapat bahwa susunan surat seperti dalam mushaf berasal dari Allah yang tertulis di lauh al-mahfûzd. Setiap tahunnya Jibril memeriksa seluruh ayat yang telah diturunkan, dan pada tahun wafatnya Rasulullah, Jibril memeriksa ayat-ayat dan susunan suratnya dua kali. Abû Bakr al-Anbârî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,[29] berpendapat bahwa Jibril memberi petunjuk pada Nabi Muhammad tentang tempat ayat dan surat. Penyusunan surat sama halnya dengan penyusunan ayat dan huruf yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. Maka, menurutnya, siapa yang mengakhirkan atau mendahulukan susunannya maka ia telah merusak nazdm al-Qurân.
            Dari pendapat di atas, bahwa Rasulullah mempunyai peranan dominan dalam penentuan dan penyusunan ayat dan surat.  Bukti lain misalnya, semasa hidup Rasulullah banyak surat telah diketahui susunan dan urutannya, seperti tujuh surat yang panjang-panjang (al-sab’ al-Thiwâl), surat-surat yang berawalan hâ mîm (al-hawâmîm), dan surat-surat mufashshal, sehingga susunan berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah jauh lebih besar, dan yang berdasarkan ijtihad amat sedidkit.
            Ibn al-Hashar, seperti yang dikutip oleh al-Zarkâsyî,[30] berpendapat bahwa penyusunan surat dan penempatan ayat berdasarkan wahyu, Rasulullah Saw memerintahkan untuk menempatkan ayat pada tempat yang telah ditentukannya dan ini menimbulkan keyakinan bahwa penyusunannya berdasarkan penukilan mutawatir dari bacaan Rasulullah Saw. dan ijma’ para Sahabat mengenai penyusunannya di dalam mushaf.
            Al-Bagawî dalam Syarh al-Sunnah berpendapat bahwa para Sahabat menulis ayat-ayat Alquran seperti yang mereka dengar dari Rasulullah Saw. tanpa mendahulukan atau mengakhirkan atau mereka tidak menyusun yang bukan berdasarkan petunjuk Rasulullah Saw., dan susunan tersebut tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Rasulullah Saw. mengajarkan susunan surat seperti yang terdapat pada mushaf sekarang ini. Tugas para Sahabat hanya mengumpulkan dalam satu tempat, bukan menetapkan susunan suratnya. Karena Alquran ditulis di lauh al-mahfûdz dan susunannya sama seperti dalam mushaf dan diturunkan sekaligus ke langit dunia dan kemudian diturunkan secara berangsur sesuai dengan kebutuhan.[31]
            Dalam analisa al-Zarkâsyi, perbedaan itu bersumber dari lafadz. Satu pihak bilang bahwa urutan Alquran itu disusun berdasar kehendak dan petunjuk Rasulullah, sedang pihak lain berpendapat bahwa urutan surat disusun berdasar pada ijtihad para sahabat sendiri. Sebagaimana al-Zarkâsyi mengutip pendapat Imam Mâlik sebagai berikut: “Mereka menyusun urutan Alquran menurut apa yang mereka dengar sendiri dari Rasulullah Saw, tetapi Imam Mâlik juga mengatakan: bahwa urutan surat-surat Alquran disusun atas dasar ijtihad mereka sendiri. Jadi masalah perbedaan itu, kembali kepada apakah kehendak dan petunjuk Rasululah mengenai urutan surat itu berupa ucapan atau hanya praktek semata-mata.[32]
            Namun demikian, nampaknya telah jelas bahwa urutan surat itu berdasarkan bimbingan dari Rasulullah Saw. (tauqîfî). Sebab, ijtihad para sahabat itu hanya dilakukan bagi penyusun mushaf milik pribadi. Memang mereka lakukan dengan kemauan sendiri, tetapi mereka tidak pernah berusaha mengharuskan orang lain mengikuti jejaknya atau mengharamkan perbuatan orang lain yang tidak sesuai dengan perbuatan mereka. Begitu juga, tidak dicatatkan ayat-ayat untuk orang lain, tetapi semata untuk mereka pribadi. Karena itu, ketika umat Islam sepakat bulat menerima susunan Alquran yang dilakukan oleh khalifah ‘Utsman bin ‘Affân, secara serentak mereka tinggalkan catatan mushaf masing-masing. Di sini mulai ada titik terang, yakni kalau mereka yakin bahwa penyusunannya berdasarkan pada ijtihad mereka, terserah kemauan mereka sendiri, tentulah mereka akan tetap berpegang pada susunan menurut catatan mereke masing-masing, dan mereka tidak akan mau menerima urutan yang disusun oleh ‘Utsman bin ‘Affân.
            Pendapat kedua yang menyatakan susunan dan tartib surat didasarkan atas ijtihâdi.[33]  Ada beberapa persepsi yang berdasarkan hal bahasan ini. Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam Alquran. Dan ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib mushâf yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat yang berbeda bukanlah mutawâtir. Tartib mushâf sekarang berdasarakan riwayat mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf Alquran sahabat sangat besar. Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi. Ulama yang mendukung pendapat kedua ini antara lain Imâm Mâlik, Abu bakr al-Thib al-baqillânî, al-Zarkâsyi dan al-Suyûthi.
            Al-Zarkâsyi[34] mengutip pendapat Imam Mâlik mengatakan bahwa para sahabat menyusun Alquran itu berdasarkan apa yang mereka dengar dan lihatdari Nabi, sedang susunan dalam penyusunan surat Alquran, mereka lebih mengedeankan atas ijtihad mereka sendiri. Rajab Farjani sebagaimana dikutip dalam buku Sejarah dan Ulûm al-Qur’ân dikatakan bahwa tidak pernah ditemukan riwayat nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu.[35] Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani: “Sesungguhnya Rasulullah Saw., memerintahkan menulis Alquran, akan tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu, ada perbedaan model-model penulisan Alquran dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal Alquran sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya, karena mereka tahu bahwa itu merupakan hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau ke dalam pola-pola baru.[36]
            Fauzul Iman[37] mengutip ‘Izzuddîn (w. 660) berpendapat bahwa tidak semua susunan surat dan ayat dalam Alquran mengandung munasabah. Kalaupun ada kesesuaian antara ayat dan surat, dengan criteria adanya hubungan antara kalimat dalam kesatuan pada bagian awal dan bagian akhir. Sekianya tidak memenuhi criteria itu, maka dianggap sebagai pemaksaan (takalluf) dan hal itu tidak disebut dengan munasabah.
            Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Alquran versi Mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alas an bahwa pola tersebut sesuai petunjuk dari Nabi (tauqîfî). Pola itu, terus dipertahankan walupun menyalahi pola aturan rasm Utsmani yang telah baku. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Hakim sebagaimana dikutip Farjani mengharamkan menulis Alquran menyalahi dari Rasm ‘Utsmani. Bagaimapun, dalam rentang sejrah yang cukup panjang, rasm ‘Utsmani sudah merupakan kesepkatan mayorits ulama.[38]
            Bagi ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqîfi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Alquran ditulis menggunkan pola penulisan setandar (rasm amlâî). Demikian al-Sa’id mengatakan.[39] Pada sisi ini, terlihat pandangan moderat. Sehingga, bisa diambil pemahaman bahwa soal penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih merasa mudah dengan penulisan setandar (rasm amlâî), maka ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena penulisan itu hanya symbol pembacaan, dan tidak memengaruhi makna Alquran.
            Bahkan, ada pendapat yang ketiga yang mengatakan, serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfâl dan Barâ’ah yang dipandang bersifat ijtihâdi. Dan salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan suratnya berfariasi. Pendukung pendapat ketiga ini di antaranya: al-Qâdhî al-Qâdî Abû Muhammad ibn `Athiyyah, al-Baihaqî dan Ibn Hajar al-`Asqalānî (773-852H).[40] Pendapat Al-Baihaqî terlihat dalam karyanya al-Madkhal, ia berpendapat  bahwa Alquran pada masa Nabi telah tersusun surat-surat dan ayat-ayatnya seperti susunan yang ada pada mushhaf kecuali surat al-Anfâl dan Barâah.[41]
            Dalam rangka menguatkan pendapat ketiga ini, nampaknya perlu penulis kemukakan bagaimana perjalanan sejarah pemeliharaan Alquran. Paling tidak ada lima tahapan.[42] Pertama, tahap pencatatan di masa Nabi,[43] kedua, tahap penghimpunan di masa Abu Bakar,[44] ketiga tahap penggandaan di masa Utsman bin ‘Affan,[45] keempat tahap pencetakan,[46] dan kelima, tahap pengajaran di berbagai dunia Islam.
            Berkaitan dengan pendapat ketiga yang menegaskan bahwa susunan Alquran itu bersifat tauqîfî dengan pengecualian surat al-Anfâl dan Barâ’ah, dalam analisa penulis dengan membaca realitas dalam sejarah ternyata pada masa Abu bakar ketika sudah terbentu panitia penghimpunan Alquran, ternyata terungkap bahwa Zaid bin Tsabit dan kawan-kawan panitia lainnya tidak memiliki catatan dua ayat terakhir dari surat al-taubah. keterangan ini bisa ditelaah dari hadis yang menyangkut penghimpunan Alquran pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shidiq yang di riwayat al-Bukhari di bawah ini:

عن عبيد بن السا بق أن زيد بن ثابت رضي الله قال أرسل الي أبو بكر مقتل أهل اليمامة فاذا عمر بن الخطاب عنده قال أبو بكر رضي الله ان عمر أتاني فقال: أن القتل قد استحر يوم القيامة بقراء القران واني أخشى أن يستحر القتل بالقراء بالمواطن فيذهب كثير من القران واني أرى أن تؤمر بجمع القران، قلت لعمر كيف تفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قال عمر هذا والله خير، فلم يزل عمر يراجعني حتى شرح الله صدري لذالك ورأيت في ذالك الذي رأى عمر، قال زيد قال أبو بكر: انك رجل شاب عاقل لا نتهمك وقد كنت تكتب الوحي لرسول الله صلى الله عليه وسلم فتتبع القران فاجمعه فو الله لو كلفوني نقل جبل  من الجبال ما كان أثقل على مما أمرني به من جمع القران قلت كيف تفعلون شيأ لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قال هو والله خير فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر و عمر رضي الله عنهما، فتتبعت القران اجمعه من العسب وللخاق وصدور الرجال حتى وجدت آخر سورة التوبة مع أبي حزيمة الأنصارى لم أجدها مع أخذ غيره: لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حتى خاتمة براءة، فكانت الصحف عند أبي بكر حتى توفاه الله، ثم عند عمر حياته، ثم عند حفصة بنت عمر رضي الله عنه (رواه البخاري).
             
Artinya: Dari Ubaid bin al-Sabbaq RA, sesungguhnya Zaid bin Tsabit RA, berkata: telah dating Abu Bakar kepadaku, di medang ahli yamamah. Ketika itu Umar berada di sampingnya. Kemudian Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar mendatangiku, kemudian ia berkata: “sesungguhnya peperangan pada hari yamamah ini benar-benar amat (dahsyat) dengan (gugurnya) para qurra pembaca) Alquran, dan sesungguhnya aku khawatir akan (terjadi lagi) peperangan dahsyat dengan (gugurnya) para qurra’ di beberapa medan perang (lainnya), sehingga banyak ayat-ayat yang hilang (karenya). Dan sesungguhnya aku berpandangan untuk mengusulkan kepadamu supaya mengumpulkan Alquran”. Abu Bakar bertanya kepada Umar: mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah Saw,? Umar menjawab: “Demi Allah! Ini adalah perbuatan baik”. Maka tidak henti-hentinya Umar menjumpai (mendesak) aku sampai Allah melapangkan hati aku untuk (menerima) yang demikian itu. Dan aku berpendapat yang demikian itu sebagaimana pendapat Umar.” Zaid berkata: Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya kamu (Zaid) adalah seorang pemuda yang cerdas, kami tidak menuduhmu berprasangka buruk kepadamu, dan sesungguhnya kamu adalah penulis wahyu Alquran untuk Rasulullah Saw., maka pelajarilah Alquran, kemudia kumpulkan. Kemudian Zaid berkata: demi Allah seandainya mereka membebani aku untuk emindahkan gunung dari beberapa gunung, tidaklah lebih berat bagiku daripada yang diperintahkan Abu Bakar kepadaku untuk mengumpulkan Alquran”. Aku menanyakan kepada Abu Bakar: “mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan Rasulullah Saw.,?” Abu Bakar menjawab: “demi Allah itu adalah perbuatan baik. Maka Abu Bakar tidak henti-hentinya berulangkali mendesak aku sampai Allah melapangkan hatiku sebagaimana Allah melapangkan hati Abu Bakar RA dan Umar RA, maka aku mempelajari Alquran dan mengumpulkan dari pelepah kurmadan batu-batu serta hafalan para sahabat, sampai aku mendapatkan catatan akhir surat al-Taubah pada Abi Huzaimah al-Anshâri, aku tidak menemukannya pada seorangpun selain dia, yaitu ayat: QS at-Taubah; 128
        
          Maka adalah suhuf itu di simpan oleh Abu bakar sampai dia wafat, dan kemudian pada Umar ibn al-Khattâb selama masa hayatnya, dan kemudian di simpan oleh Hafsah binti Umar RA. (H.R. al-Bukhari).

            Berdasarkan riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah bahwa yang pertama kali mempunyai gagasan brilian untuk mengumpulkan Alquran adalah Umar bin Khattab, walaupun pada awalnya gagasan ini langsung ditolak oleh Abu Bakar. Dan tercatat pula bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan dan menulis Alquran adalah Zaid bin Tsabit atas komando dari Abu Bakar.
            Kemudian, realitas atas hilangnya dua ayat terakhir pada surah Bara’ah ternyata mengundang banyak persepsi baik dari kalangan ilmuan Timur maupun barat. Misalnya, celah kekurangan dan kekeliruan ini dijadikan sasaran kritik orientalis untuk mengaburkan otentisitas[47] Alquran. Kendali sudah langsung di jawab oleh riwayat di atas, yakni setelah telah diupayakan penulisan dua ayat yang hilang, ternyata Hudzaifah memiliki dua catatan tersebut.

Pandangan Ilmuan tentang Munâsabah
            Diskursus penting tafsir Alquran muslim modern[48] dalam konteks relevansi untuk kajian munâsabah dalam Alquran di dunia muslim kontemporer, mengemuka setelah selesainya penulisan disertasi di School Oriental and African Studies (SOAS) pada tahun 2006, yang telah mencoba menerapkan munâsabah dengan pendekatan bahasa untuk menafsirkan Alquran. Disertasi ini ditulis oleh Salwa M.S. El-Awa yang bertajuk Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, yang kemudian diterbitkan oleh Routledge, New York, tahun 2006.[49] Dalam disertasinya, Salwa, mengadopsi sebuah metodologi baru dalam rangka membaca teks Alquran. Ia menggunakan teori-teori relevansi linguistik dalam membahas dan menganalisis relasi-relasi yang kompleks dalam surat-surat Alquran. Disertasi ini menunjukkan dengan jelas, ketidaksambungan tema dengan surat-surat Alquran yang panjang. Dan konteks serta struktur Alquran agar dapat dibaca ulang dan dijelaskan dengan metodologi kontemporer. Hal ini dimaksudkan, dalam rangka membantu para pembaca Alquran agar menggunakan metode ini dalam menciptakan proses kognisi pada makna yang diciptakan. Salwa, dalam kesimpulan akhirnya menganggap bahwa area kajian relasi teks (munâsabah) masih belum jelas (abu-abu).[50]
            Richard Bell dalam tulisannya yang kemudian di revisi oleh W. Montgomery Watt dalam Bell’s Introduction To The Qur’ân, mengatakan:
    “Whatever view is taken of the collection and compilation of the Qur’an, the possibility remains that parts of it may have been lost. If, as tradition states, Zaid in collecting the Qur’ân was dependent an chance writings and human memories, parts may easily have been forgotten. Yet conjunction of apparently unrelated verses st certain points in the Qur’ân suggests that the editors preserved absolutely everything they came across which thay had reason to believe had once been part of the Qur’ân”.[51] 
    “Pandangan apapun yang diambil mengenai pengumpulan dan penyusunan Quran, kemungkinannya tetap ada bahwa beberapa bagian dari Quran mungkin hilang. Kalau seperti yang dinyatakan oleh Hadis, Zaid dalam mengumpulkan Quran tergantung pada penulisan secara kebetulan dan ingatan manusia, dengan mudah atau bagian-bagiannya terlupakan. Namun, gabungan ayat-ayat yang tampaknya tidak berhubungan di beberapa tempat dalam Quran mengisyaratkan bahwa para penyunting mempertahankan dengan mutlak semua yang mereka temukan dan yang beralasan untuk diyakini bahwa itu dulunya merupakan bagian dari Quran”.
            Tuntutan bagi terjadinya Alquran yang shâlih likulli zaman wa makân, Quraish Shihab mengistilahkan dengan “membumikan Alquran”.  Dalam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid dikenal tekstualitas Alquran (mafhûm al-nash) atau meminjam Syahrur “al-qirâ’ah al-mu’âshirah” (pembacaan dengan cara baru) mulai timbul ketika adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat, sempitnya terhadap pemahaman Alquran, dan lain-lain. Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang sedemikian rupa, maka tuntutan perubahan yang mengupayakan membaca ulang teks semakin mendesak. Membumikan Alquran merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir, Alquran menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik. Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia. Di mana terdapat kemaslahatan di situ ditemukan tuntunan Alquran dan di mana terdapat tuntunan Alquran, di situ terdapat kemaslahatan. Membumikan Alquran sesungguhnya tidak lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai Alquran hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan nilai-nilai Alquran sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-nilai lokal dan universal di dalamnya. Asas pembumian Alquran mempunya tiga perinsip,[52] yaitu: 1) meniadakan kesulitan (‘adam al-haraj), 2) pembatasan beban (taqlîl al-taklîf), dan 3) penetapan hukum secara berangsur-angsur (al-tadrîj fi at-tasyrî’). Keberangsuran ini membuktikan adanya proses dialogis dan dialektis antara Alquran dan realitas sosial.   Hal ini juga memberikan legitimasi psikologis dan sosiologis untuk penerapan strategi bertahap dalam proses pembumian Alquran. Dengan demikian, proses pembumian Alquran harus dipandang sebagai proses berkelanjutan, pergumulan yang tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan umat manusia.
            Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu.[53] Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah itu tauqîfî atau ijtihâdi (pengurutannya berdasarkan ijtihad penyusun mushaf). Nasr Hamid Abû Zaid,[54] wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam mushaf sebagai tauqîfi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-mahfûdz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan” merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz.[55]
            Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam Alquran mengesankan Alquran memberikan informasi yang tidak sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I’jâz Al-Qur’ân, aspek kesusasteraan dan gaya bahasa.[56] Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual Alquran, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm al-munâsabah. Keseluruhan teks dalam Alquran, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks Alquran menghasilkan pandangan dunia (weltanschauung) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan Alquran sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahman menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan Alquran, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.[57]
            Fazlur Rahman Tampaknya dipengaruhi oleh al-Syâthibi (w. 1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-Muwâfaqat,[58] tentang betapa mendesak dan masuk akalnya untuk memahami Alquran sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif. Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam Alquran adalah prinsip-prinsip umumnya (ushûl al-kulliyah) bukan bagian-bagiannya. Bagian-bagian Alquran adalah respon spontanitas atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu diambil inti sarinya (hikmah al-tasyrî’) sebagai pedoman normatif (idea moral), dan idea moral Alquran itu kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem kekinian.
           
Pembacaan Alquran Holistik
            Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap Alquran tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufasir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. ‘Ilm al-munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qirâ’ah al-mu’âshirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm munâsabah.
            Lebih jelasnya, satu contoh munâsabah upaya kontekstualisasi penafsiran yang diambil dari percikakan pemikiran al-Zarkasyî. Di sini akan dibahas mengenai pertautan antar ayat. Dalam hal ini ada 3 analisa yang diberikan oleh al-Zarkasyî, bahwa ayat memiliki munâsabah. Pertama, terdapat kalimat bersambung (ma’thûfah), kedua, sisipan (istithrâd), dan ketiga perumpamaan (tamtsîl).[59] Dalam menjelaskan analisa pertama dan kedua, al-Zarkasyî memberikan 3 ayat dari dua surah yang berbeda yaitu Q.S. al-Hadîd (57): 4, Q.S. al-Baqarah (2): 245 dan 189.
ÞOn=÷ètƒ $tB ßkÎ=tƒ Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøƒs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\tƒ z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷ètƒ $pkŽÏù ( ...
                                    ”...Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada...”
ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ
                                    ”...Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.
* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß ...
                                    ”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda (penunjuk) waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya...”
            Pada dua ayat contoh di atas (Q.S. al-Hadîd: 4 dan al-Baqarah: 245), terdapat huruf ’athaf yang kedua-duanya saling beriringan. Selain beriringan, Al-Zarkasyi menyebutkan adakalanya munâsabah antarayat yang menggunakan indikasi ’athaf tetapi menunjukkan saling bertentangan (al-madhâddah). Misalnya menyebut rahmat Allah setelah adzab, menyebut hal yang disenangi setelah yang dibenci, menyebut janji dan ancaman setelah ketetapan hukum.[60]
            Selanjutnya, al-Zarkasyî dalam menjelaskan analisa kedua, menggunakan Q.S. 2: 189, sisipan (istithrâd) dalam ayat ini dalam penjelasannya adalah ketika disebutkan mengenai waktu haji, dalam ayat yang sama disebutkan pula mengenai kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berada di musim haji. Jadi, kalau ditelaah lebih jauh, ada satu pertanyaan, kemudian dijawab dengan dua jawaban dalam satu ayat. Hal ini sama misalnya dengan pertanyaan mengenai air laut, kemudian dijawab oleh Nabi bahwa air laut itu suci dan halal bangkainya.[61]
            Contoh model tearkhir adalah perumpamaan (tamtsîl), ayat yang dijadikan penguat oleh al-Zarkasyî dalam menerangkan model ketiga ini adalah Q.S. al-Isrâ (17): 1-3 dan 7-8. Sekilas ayat satu sampai tiga terkesan tidak ada relevansinya, bahkan mungkin dianggap tidak logis. Ayat pertama bercerita tentang isra’ mi’raj, ayat kedua tentang nabi Musa dan ayat ketiga tentang nabi Nuh. Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, pada hakikatnya antara ayat satu dengan yang lainnya memiliki kesatuan ide yang tisak terpisahkan. Meskipun terjadi peralihan ide dari ayat satu yang berbicara tentang isrâ ke ayat kedua yang membicarakan pemberian kitab kepada Musa. Namun demikian, munâsabah keduanya bisa ditemukan dari cerita kedua kisah itu yang menunjukkan kemahakuasaan Allah bagi hambanya yang bisa jadi sukar dicerna oleh akal manusia. Dengan kuasa-Nya mengetahui kisah-kisah orang musyrik terdahulu, sementara umat Nabi Muhammad tidak mengetahuinya, seperti halnya kisah Nabi Musa. Adapaun keterkaitan dengan ayat berikutnya yakni Nabi Nuh, karena keturunan bani Israil sebagai cucu nabi Nuh. Dan dari keterkaitan dengan Nuh itulah bani Israil masih ada sampai sekarang, karena Nuh dan pengikutnya pernah diselamatkan oleh Allah dari bencana banjir yang menimpa kaum Nuh ketika itu. Dengan hal tersebut mereka diperintahkan untuk bersyukur, seperti yang di sandangkan kepada Nuh sebagai hamba yang bersyukur (’abdan syakûrâ) pada akhir ayat ketiga. Selang tiga ayat kemudian Allah tuturkan dengan bahasa yang indah ”jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatanmu) untuk dirimu sendiri”. Ayat berikutnya melanjutkan ”mudah-mudahan Tuhan kamu melimpahkan rahmat kepadamu, tetapi jika kamu melakukan kejahatan, niscaya kami kembali (mengadzabmu). Setelah panjang lebar menceritakan kisah dan pesan di atas, ayat berikutnya kembali mengalihkan pembahasan kepada hikmah diturunkannya Alquran, karena sesungguhnya Alquran merupakan tanda kebesaran Allah yang agung.[62]
            Dari beberapa contoh yang diketengahkan di atas, terlihat bahwa al-Zarkasyi memiliki kepekaan sekaligus kelihaian membuat korelasi antara satu ayat dengan ayat berikutnya. Ini semakin menguatkan bahwa Alquran memiliki hubungan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya.
            Dari perdebatan akademik tentang munâsabah yang diperbincangkan di atas, secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua aliran.[63] Pertama, pihak yang menyatakan bahwa memastikan adanya pertalian erat antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat, dengan kata lain, perlu adanya munâsabah. Kelompok ini seperti kata al-Zarqâni diwakili antara lain oleh Syekh ‘Izzuddîn Ibn ‘Abd al-Salam, atau yang dikenal dengan ‘Abd al-Salam (577-660 H.). Menurut kelompok pertama, munâsabah adalah ilmu yang menjelaskan persyaratan baiknya kaitan pembicaraan (irtibâth al-kalâm) apabila ada hubungan keterkaitan antara permulaan pembicaraan akhir pembicaraan yang tersusun menjadi satu kesatuan.[64]
            Kedua, golongan atau pihak yang menganggap bahwa tidak perlu adanya munâsabah ayat, karena peristiwanya saling berlainan. Ada paling tidak dua alasan mengapa golongan kedua ini enggan atau menganggap tidak perlu adanya munâsabah. Pertama, kelompok kedua berargumen bahwa Alquran diturunkan dan diberi hikmah secara tauqîfi, hal ini atas petunjuk dan kehendak Allah.[65] Kedua, bahwa satu kalimat akan memiliki munâsabah bila diucapkan dalam konteks yang sama. Karena Alquran diturunkan dalam berbagai konteks, maka Alquran tidak memiliki munâsabah. Pendapat ini juga diajukan oleh ‘Izzuddîn ibn Abd al-Salam (w. 660 H.). Di sinilah seolah-olah Izzuddîn ingin mengatakan bahwa susunan ayat mesti berdasarkan turunnya.[66] Sementara yang diajukan oleh kelompok yang pro atau mendukung terhadap munâsabah mengatakan bahwa ketidak teraturan susunan ayat mengandung rahasia.
            Pro-kontra kajian munâsabah antara pentingnya mengedepankan munâsabah dan tidak perlu adanya munâsabah telah menjadi konsumsi public yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulûm al-Qur’ân. Pertanyaan besar tentang apakah adanya munâsabah itu bersifat tauqifî atau ijtihâdi mengemuka dan perlu adanya jawaban akademik. Pertanyaan ini bisa jadi sangat menarik untuk di bawa ke ranah diskusi yang akademik, dan kemudiaan di susul dengan menyoal pada tataran lebih dalam, apakah perlu adanya munâsabah al-Qur’ân atau bisa jadi kalau pendapat yang sangat ekstrim tidak tidak perlu adanya munâsah seperti wacana perdebatan di atas.
            Al-Suyûthi mempunyai pendapat, apabila kata itu dikembalikan pengertiannya dalam konteks ayat, kalimat atau surat dalam Alquran, maka bisa berarti adanya keserupaan, kedekatan di antara berbagai ayat, surat, atau kalimat yang diakibatkan oleh adanya hubungan makna yang muncul. Misalnya, yang satu ‘âm dan yang lainnya khâs. Hubungan itu bisa juga muncul melalui penalaran (‘aqli), penginderaan (hissi), atau melaui kemestian dalam pikiran (al-taladzdzum al-dihni) seperti hubungan sebab akibat, illat dan ma’lul dua hal yang serupa atau dua hal yang berlainan.[67]        
            Ahmad Atha’ dalam pengantar buku Asrâr Tartîb al-Qur’ân karya al-Suyûthi memberikan cara dan tahapan untuk menemukan munâsabah al-Qur’ân. Ada empat langkah pertama, melihat tema sentral dari surat tertentu. Kedua, melihat premis-premis yang mendukung tema sentral. Ketiga, mengadakan kategorisasi terhadap premis itu berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan. Dan keempat, melihat kalimat-kalimat atau pernyataan yang saling mendukung dalam premis itu.[68] Dan cara-cara demikian telah lama di pakai oleh para mufasir sekaliber al-Naisaburi, Abû Bakar Ibn al-Zubair, Fakhruddîn al-Râzi, al-Suyûthi, al-Biqâ’i, dan belakangan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Syaltut, dan sebagainya. Dan yang dianggap paling konsen (takhashshush) adalah al-Biqâ’i dalam karya besarnya berjudul Nadzm al-Durâr fî Tanâshub al-Âyat wa al-Shuwar.[69]
            Kerangka teoritis yang berdasar pada uraian di atas, ada dua benang merah yang bisa menjadi gambaran yang menerangkan tentang kerangka munâsabah. Pertama, ada ayat dan surat yang bisa dicari titik munasabah antara sat dengan lainnya. Kedua, ternyata dari contoh model di atas, juga tidak ditemukan munâsabah, dalam kata lain tidak semua ayat dan surat terdapat munâsabah. Namun demikian, menurut hemat penulis bukan tidak ada munâsasabah, bisa jadi kalau dibahasakan belum mampu menemukan munâsabah-nya. Barangkali semuanya bersepakat akan adanya munâsabah, namun tidak semua orang mampu menghubungkan antara satu ayat atau surah satu dengan yang lainya. Pada sisi inilah celah beberapa ilmuan yang mengkritik bahwa Alquran tidak holistic, sehingga memungkinkan meragukan keotentisistasnnya.
           

Kesimpulan
            Dari uraian dan hipotesa perdebatan akademik seputar wawasan munâsabah Alquran di atas, jelaslah munâsabah sebagai bagian dari alat bantu memahami kitâb Allâh. Upaya-upaya itu, terlihat begitu besar akan pentingnya kajian munâsabah terhadap kajian Alquran, terlepas ada beberapa kalangan yang berusaha keras ingin merekonstruksi Alquan, yang pasti dari kajian mereka kita kembali dikejutkan untuk selalu menjaga dan paling tidak selalu mengakaji Alquran. Maka upaya apapun, baik misalnya perdebatan nasikh-mansukh menyoal adanya surat tambahan versi Syi’ah, ingin merombak susunan ayat dan surat Alquran secara kronologis, mengoreksi bahasa Alquran ataupun ingin mengubah redaksi ayat-ayat tertentu, bahkan bukan hanya sampai di situ menebar isu mempersoalkan autentisitas Alquran, dan lain-lain. Yang jelas, stigma miring ini tidak kemudian melunturkan keimanan atau memurtadkan keyakinan, karena upaya mereka terbukti sampai sekarang tidak berhasil. Justru malah sebaliknya, animo untuk mengkaji Alquran dan keyakinan akan kitab suci Alquran semakin tinggi dan marak.

Daftar Pustaka

 ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H.
A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984
Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû’I, Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977
Abd al-Qadir Ahmad Atha’, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-I’tishâm, 1978.
Abdurrahman Ibn Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur’ân, Kairo: Dâr al-I’tishâm, 1978
Abi Abdillah Nuhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûbi, al-Jami’ lî al-Ahkâm al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993.
Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, Beirūt: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1993
Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al-Khulafâlî al-Kitâb al-Islâmî, 1404
Al-Bâqillânî, Ijâz al-Qurân, Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996.
al-Syâthibi, al-Muwâfaqat, Beirut: Dâr al-Fikr, 1975
Andy Hadiyanto, Repetisi Kisah Al-Quran (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan Madaniyyah), disertasi UIN, 2009
Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim al-Biqâ’î, Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-Suwar, Heidiradab: Majlis Dairât al-Ma’ârif al-Usmâniyyah, 1969    
Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur’an, Jurnal Panji Masyarakat, no. 843, edisi Novemver 2005
Fazlur Rahmân, Islam and Modernity, Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982
Ibnu Manzûr al-Afriqi, Lisân al-‘Arâb, Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.
Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.
J.M.S. Baljon,Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden: E.J. Brill, 1968
Jalaluddîn al-Suyûthi, al-Itqan fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979.
Labib al-Sa’id, al-jam’ al-Shautî lî al-Qur’ân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-Kâtib al-‘Arâby, t.th
Lois Ma’luf, Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dâr al-Syarqy, 1976.
M. Quraish Shihab , Wawasan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1996
_______, dalam pengantar buku Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Fabets, 2005
_______, Ibrahim bin Umar al-Biqâ’i: Ahli Tafsir yang Kontroversial, Jurnal Ulûmul Qur’an, LSAF, Vol. 1, 1989
_______, Membumikan Al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992
_______, Mukjizat al-Quran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1998
_______, Sejarah dan ‘Ulûm al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal TMII, 2001
_______, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera hati, 2006
Mannâ‘ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîts, 1393 H.
MM. Azami, The History of Qur’ânic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study with the old and new Testament, (Sejarah Teks al-Qur’ân dari Wahyu sampai Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi Suharto, Lili Mulyadi, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Muhamad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir: Maktabah Wahbah, 1985
Muhammad Abdul Azaîm al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1988
Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur’ân al-Karîm, syarah wa al-ta’lîq oleh Khalîl ‘Abd al-Karîm, Beirut, Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-‘Araby, 1999
Muhammad Ajâj al-Khathîb,, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AH. Akram Fahmi, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Muhammad Burhanuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi Ulûm al-Qur’ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-Arabiyyah, 1957
Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi Ulûm al-Qur’ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-Arabiyyah, 1957
Muhammad Fu’ad Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1987
Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsâh al-Qurân al-Karîm, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992
Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata’addab Ma’a al-Mushhaf, t.tp., Dâr al-I’tishâm, 1978
Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ’i al-Qurân, Beirut-Libanon/Damsyik: maktabah al-farabi, 1397 H/1977 M.
Mushthafâ Shâdiq al-Râfiî, Ijâ z al-Qur’ân wa al-Balâgah al-Nahwiyyah, Beirūt: al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990
Musthafâ al-Sibâî, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî’ al-Islâmî, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam, terj. Nurchalish Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm al-Nâsh: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân, kairo: Dâr al-Ihyâ al-Kutub al’Arabiyyah, 1992
_______, Tekstualitas al-Qur’an : Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta : LkiS, 2001
Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994
Salwa M.S. El-Awa, Texstual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, Routledge, New York, 2006
Subhi Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Bairut-Libanon, Dâr al-‘Ilm lî al-Malâyîn, 1988
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005
W. Monthomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’ân, Leiden: Edinburgh University Press, 1994
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran kalam tafsir al-Azhar, Sebuah telaah tentang Pemikiran hamka dalam teologi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990
_______, Karakteristik Tafsîr al-Quran di Indonesia Abad 20, Jurnal Ulûm al-Quran, Vol. III, no.4, 1992
























[1] Dosen Tafsir Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
  [2]Nilai-nilai dasar Alquran mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif (Q.S. al-An’âm/6:37). Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (QS. al-Hujurât/15:9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-Furqân/25:1).
    [3] Kajian Alquran sebagai kitab mitos, pernah dikaji pada karya disertasi dengan judul al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur’ân al-Karîm ini merupakan ijtihad akademik Muhammad Ahmad Khalafullâh yang dipertahankan dalam sidang munâqasyah di Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Dalam fersi Indonesia karya Khalafullah, diterjemahkan Al-Qur’an Bukan “Kitab Sejarah” Seni, Sastra Dan Moralitas Dalam Kisah-Kisah Al-Quran,” oleh Zuhairi Misrawi dan Anis Maftuhin, diterbitkan Paramadina, tahun 2002. Lihat, Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur’ân al-Karîm, syarah wa al-ta’lîq oleh Khalîl ‘Abd al-Karîm, (Beirut, Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-‘Araby, 1999. lihat pula karya Andy Hadiyanto, yang bertajuk Repetisi Kisah Al-Qur’an (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan Madaniyyah), disertasi UIN, tahun 2009.
     [4] Secara etimologis, kata tafsîr (exegesis) berasal dari bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian: menyingkap (al-Kasyfu), memperjelas (idzhâr) atau menjelaskan. Lihat ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1405 HLM.), hlm. 87., A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr merupakan bentuk mashdâr yang berarti menjelaskan, memberi komentar, menterjemahkan atau mentakwilkan. Lihat A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984), hlm. 1134.  Ibnu Manzdûr dalam kamus besar Lisân al-‘Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu lafad yang susah dan pelik. Lihat Ibnu Mandzûr al-Afriqi, Lisân al-‘Arâb, (Beirut: Dâr al-Shadîr, tthlm.), j.5, hlm. 55. Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam Alquran sepanjang kemampuan manusia. Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tthlm.), Jilid II, hlm. 3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), jilid II, hlm. 15. Kata tafsir dalam Alquran disebut satu kali dalam Alquran Q.S. al-Furqan (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan dengan tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam Alquran sebanyak 17 kali. Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâdz al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), hlm. 97. dan di antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya, namun ada juga yang membedakannya, kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, hlm. 4-6, lihat pula Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 173-174. 
     [5] M. Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsîr al-Qur’an di Indonesia Abad 20, Jurnal Ulûmul Qur’an, Vol. III, no.4, 1992, hlm. 50
     [6] Keheterogenan metode penafsiran yang dipakai oleh mufasir tersebut dapat dilihat berikut ini: kita misalanya mengenal  Tafsir al-Durr al-Mansûr fî al-Tafsîr bi al-Ma’sûr karya Jalâluddîn al-Suyûthî (849-911 HLM.), Jâmi‘  al-Bayân ‘an Ta’wîl ayi al-Qur’ân karya Muhammad Abû Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr al-Thahabarî (224-310 HLM.), dan Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm karya Imamuddîn Abû al-Fida’ al-Quraisyi al-Dimasyqi Ibn Katsîr (700-774 HLM.), yang sangat kuat merujuk kepada data-data riwayat sebagai bentuk representasi metode tafsîr bi al-Ma’tsûr. Pada karya tafsir yang lain, kita bisa melihat misalnya al-Jauhâr fî Tafsîr al-Qur’ân karya Tanthawi Jauharî (W. 876 HLM.) yang banyak mengadopsi disiplin ilmu pengetahuan alam, al-Kasyf ‘an Haqîqat al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî  Wujûh al-Ta’wîl  karya al-Jamakhsyarî (476-538 HLM.) yang sangat mengagungi rasionalitas. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr karya Rasyîd Ridhâ (1282-1354 HLM.) yang lebih mengedepankan tafsirnya sebagai pedoman dalam kehidupan sosial kemasyrakatan dan Ahkâm al-Qur’ân karya al-Qurthûbî (w. 1272 HLM.) yang memfokuskan kajiannya pada masalah-masalah fiqihlm.
    [7] Ada beberapa macam metode dan corak penafsiran Alquran. ‘Abd Al-Hay al-Farmawi membagi metode yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan topik). Metode analisis tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu diantaranya adalah corak adab al-Ijtimâ’î (budaya kemasyarakatan). Lihat, ‘Abd. Al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah fî Tafsîr al-Maudhû’i, (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977), cet. Ke-2, hlm. 23-24, lihat pula M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta: Lentera hati, 2006), cet.II, hlm. 24-25, bandingkan pula, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1997), cet.XV, hlm. 83-91, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), cet. I,  hlm. xv-xvi
    [8] Setelah Rasulullah wafat (11 HLM.), kepeloporan beliau dibidang tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafâ’ al-Rasyidîn Abu Bakar (w. 13 HLM.), ‘Umar bin Khattâb (w. 23 HLM.), Utsmân bin ’Affân (w. 35 HLM.), dan ‘Ali bin Abî Thâlib (w. 40 HLM.), Ibn ‘Abbâs (w. 68 HLM.), ‘Abdullah dan Zubair, Ubay bin Ka’b  (w. 20 HLM.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-Asy’ârî  (w. 44 HLM.). lihat, Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 27-28. Di samping sepuluh sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 HLM.), Anas bin Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 73 HLM.), Jâbir bin Abdullah, A‘isyah  (w. 57 HLM.), dan Amr bin Ashlm. Mereka dipandang sebagai generasi pertama mufasir. Lihat lebih lanjut, Mannâ‘ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1393 HLM.), cet. 3, hlm. 343    
    [9] Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap Alquran memiliki kecenderungan dan corak yang berbeda-beda antara satu generasi kegenerasi berikutnya, antara satu kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak penafsiran ini tidak bisa dilepaskan dari perbedaan madzhab, setting sosial, kemampuan intelektual dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis kitab tafsirnya tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa Alquran tidak akan pernah habis di tafsirkan. Di sisi lain, keragaman penafsiran yang dihasilkan tiap generasi juga merupakan gambaran konsekunsi logis dari keyakinan bahwa Alquran, sebagai kitab suci yang diturunkan terahkir, mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang kemudian. Ajaran dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahman, Islam and Modernity, (Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982), hlm. 11.
    [10] Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î, Ijâz al-Qur’ân wa al-Balâghah al-Nahwiyyah, (Bairût: al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990), hlm. 144-145.
  [11] Abû Ishâq al-Nadzdzâm adalah segelintir dari tokoh Muktazilah yang berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk membuat Alquran tidak lain karena Allah Swt. telah memalingkan dan melemahkan kemampuan manusia untuk melakukan kegiatan tersebut. Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î, Ijāz al-Qur’ân..., hlm. 144, lebih dari itu menurut al-Bûthi, al-Nadzam mengatakan Allah tidak saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi Alquran, akan tetapi malahan membelenggu kefasihan lidah mereka. Lihat, Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ’i al-Qurân, (Beirut-Libanon/Damsyik: Maktabah al-Farabi, 1397 H/1977 M.), hlm. 150
  [12]Al-Murtadhâ berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk menciptakan teks seperti Alquran adalah karena Allah Swt. telah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki dan yang diperlukan guna lahirnya satu susunan kalimat seperti Alquran, Mushthafâ Sādiq al-Rāfi’î, Ijâ z al-Qurân..., hlm. 124.
      [13]Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi Ulûm al-Qurân, (Beirūt: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. ke-3, 1992), hlm. 261, 
    [14] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, (Bandung:Mizan, 1998), cet. ke-4, hlm. 155-156, berkenaan dengan pembahasan isi, Gibb seorang orientalis berpendapat sebagaimana dikutip Quraish Shihab ”tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu serta berani dan sedemikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad Saw., yakni Alquran”. Lihat, M. Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2006, cet. VII, hlm. v.
    [15] Abu Bakr Muhammad Al-Bâqillânî, Ijâz al-Qur’ân, (Beirūt: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), hlm. 9
    [16] Lihat, Louis Ma’luf, Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dâr al-Syarqy, 1976), hlm. 803. Lihat pula, Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 108
    [17] Al-Zarqānî dalam  komentarnya, bahwa makna “turun” seperti pada ayat َQ.S. al-Isrâ/17: 105 tidak dapat disamakan dengan makna turun dalam arti fisik dan tempat. Penggunaan seperti ini, menurutnya tidak relevan digunakan untuk Alquran. Menurutnya, makna “turun” lebih tepat dipahami sebagai kata yang bersifat majâzi dan dipahami sebagai pemberitahuan Allah yang dihunjamkan ke dada Nabi dengan berbagai bentuk cara pewahyuan. Lihat, Muhammad ‘Abdul ‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, cet. ke-1, 1988), hlm. 42-43
    [18] Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi Ulûm al-Qur’ûn, Jilid I, (Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, cet. ke-1, 1957), hlm. 36
   [19] Muhammad bin Ahmad bin Farabi al-Qurthûbi, al-Jami’ lî al-Ahkâm al-Qurân, j. 2, (t.thlm.), hlm. 129.
          [20] Perdebatan sejarah kodifikasi penulisan dan sistematika Alquran pada Mushhaf ‘Utsmâni dibahas tuntas oleh W. Monthgomery Watt, dalam satu buku yang bertajuk Bell’s Introduction to The Qur’ân dalam satu bab khusus “The History of The Text”. Dalam bab ini Watt, membagi menjadi empat bahasan. Pertama, the collection of the Quran (pengumpulan Alquran), kedua, The pre-‘Uthmânic codices (naskah pra Utsman), ketiga, The wraiting of the Quran and early textual studies (penulisan Alquran dan kajian teks awal), dan keempat, the authenticity and completeness of the Quran (keotentikan dan kesempurnaan Alquran). Dalam mengurai benang kusut perdebatan Mushhaf ‘Utsmâni, Bell, misalnya menulis: “This traditional account of the quran under ‘Uthman is also open criticisms, tough they are not so serious as in the case of Abu bakar’s collection. The most serious difficulties are those connected with the suhuf of Hafsa. Some versions of the story suggest that the work of the commissionars was simply to make a fair copy, in the dialect of Quraiysh, of the material of these leaves. Some important material, however, has come to light since the publication of Friedrich Schwally’s revised edition of the second volume of Noldeke’s Geshichte des Qurâns in 1919. In particular there is a story of how the coliph Marwan when governor of Medina wanted to get hold of the ‘leaves’ of Hafsa to destroy them, and eventually on her death persuaded her brother to hand them over. Marwan was afraid lest the unusual readings in the might lead to further dissention in the community”. (“Kisah turun-temurun tentang ‘kumpulan’ Alquran di bawah Utsman juga rawan kecaman, meskipun tidak begitu serius seperti dalam kasus ‘kumpulan’ Abu Bakar. Kesulitan yang paling serius adalah berkaitan dengan suhuf yang dimiliki Hafsahlm. Beberapa versi cerita mengisyaratkan bahwa tugas yang diberikan kepada orang-orang hanyalah untuk membuat salinan yang baik dalam dialek Quraisy dari bahan yang ditulis di atas dedaunan ini. Namun, pada tahun 1919 terbit jilid kedua karya Noldeke “Geshichte des Qurâns”, edisi yang direvisi oleh Friedrich Schwally, dan sejak itu bahan-bahan yang penting ditemukan kembali. Terutama ada kisah bagaimana Khalifah Marwan yang menjadi Gubernur Madinah ingin memusnahkan ‘dedaunan’ yang dimiliki Hafsah, dan akhirnya, tatkala Hafsah meninggal, membujuk kakaknya untuk menyerahkannya. Marwan khawatir adanya bacaan yang tidak lazim di dalamnya itu bisa menimbulkan pertikaian lebih lanjut dalam masyarakat. Lihat, W. Monthomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’ân, (Leiden: Edinburgh University Press, 1994), hlm. 43. Kajian mendalam juga dilakukan oleh MM. Al-A’Dzami dalam The History of Qur’ânic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study with the old and new Testament, dan Indonesiakan menjadi Sejarah Teks al-Qur’ân dari Wahyu sampai Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi Suharto, Lili Mulyadi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005),  Taufik Adnan Amal menulis Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.
    [21] Abû Zaid memandang urutan surat dianggap tauqîfi karena pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-mahfûdz, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz. Lihat, Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215
   [22] Discours dalam memperdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga oleh al-Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat dan surat adalah Ijtihâdi. Pendapat ini di dasarkan pada beberapa alasan. Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam Alquran. Dan ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib mushâf yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat yang berbeda bukanlah mutawâtir. Tertib mushâf sekarang berdasarakan riwayat mutawatir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tertib mushaf Alquran sahabat sangat besar. Lihat, Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348. 
   [23] Hal ini terindikasikan apabila Alquran di bacakan kepada al-Naisaburi, maka ia bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Baghdad karena mereka tidak memperhatikan ‘ilm al-munâsabahlm. Lihat, Al-Zarkâsyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1957). HLM. 38
   [24] M. Quraish Shihab, Ibrahim bin Umar al-Biqâ’i: Ahli Tafsir yang Kontroversial, Jurnal Ulûmul Qur’an, LSAF, Vol. 1, 1989, hlm. 5.
  [25] Jalâluddîn al-Suyûthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (kairo: Mushthafâ al-Bâb al-Halabi, 1951),  hlm. 105, bandingkan pula dengan, Subhi Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairut-Libanon, Dâr al-‘Ilm lî al-Malâyîn, 1988), cet. 7, hlm. 71
  [26] Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qurân, hal. 259
  [27] Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, (Beirūt: Al-Maktab al-Islāmî, t.thlm.), Juz IV, hlm. 107
  [28] Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur’ân, hlm. 259
  [29] Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur’ân, hlm. 259
  [30] Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur’ân, hlm. 259
[31] Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, (Beirūt: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1993), Juz. III, cet. Ke-1,  hal. 50
  [32] Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur’ân, hal. 257
  [33] Perdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga oleh al-Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat dan surat adalah Ijtihâdi. Lihat, Muhammad ‘Abd al-‘Adzîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348. 
   [34] Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi `Ulûm al-Qur’ân, hal., 259
   [35] Beberapa hadis yang mendukung pendapat ini adalah:
-Larangan menulis sesuatu yang datang dari Nabi
Abû Sa’îd al-Hudzri meriwayatkan  dari Rasûlullâh Saw.. Beliau bersabda,
لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القران فليمحه
         “Janganlah kalian menulis (Hadis) dariku. Dan barangsiapa menulis dariku selain Alquran, maka hendaknya ia menghapusnya” Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994), J. XIII, hlm. 129
         Diriwayatkan dari Abû Hurayrah, ia berkata, “Rasûlullâh Saw. mendatangi kami dan kami sedang menulis Hadis. Kemudian beliau bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis?”. Kami menjawab, “Kami sedang menulis Hadis yang kami dengar dari engkau, ya Rasûlallâh!.” Lantas beliau bersabda,
كتاب غير كتاب الله اتدرون؟ ما ضل الامم قبلكم الا بما اكتتبوا من الكتب مع كتاب الله
         “Tulisan selain Kitab Allah?, tahukah kalian, bangsa-bangsa sebelum kalian tidak sesat kecuali karena mereka menulis tulisan lain bersama Kitab Allahlm.”, Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994), J. XIII, hlm. 129
-Perintah yang membolehkan menulis sesuatu yang datang dari Nabi
         Abdullâh bin Amr bin al-Ash Ra. berkata, “Saya menulis segala yang saya dengar dari Rasûlullâh Saw. Saya hendak menghapalnya, namun orang-orang Quraysy melarangku. Mereka berkata, “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah Saw., sedangkan beliau manusia biasa yang kadangkala berbicara dalam keadaan marah dan senang”. Saya pun berhenti menulis. Kemudian saya teringat beliau ketika menunjukkan jari ke mulutnya seraya bersabda,
اكتب فوالذي نفسى بيده ما خرج منه الا حق
         “Tulislah, maka demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (mulut) kecuali kebenaran.”
         Diriwayatkan dari Abû Hurayrah bahwa seorang sahabat Anshâr menyaksikan Hadis Rasûlullâh Saw., namun ia tidak hafal. Ia bertanya kepada Abû Hurayrah, dan ia pun memberitahukan kepadanya. Kemudian ia mengadukannya kepada Rasûlullâh Saw. perihal lemahnya daya hafalnya. Kemudian Nabi Saw. bersabda,
استعن على حفظك بيمينك
         “Bantulah hapalanmu dengan tangan kananmu! (menulis)”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148
         Diriwayatkan dari Anas bin Mâlik bahwa ia berkata, “Rasûlullâh Saw. bersabda,
قيدوا العلم بالكتاب
         “Ikatlah ilmu dengan tulisan!”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148
         Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs bahwa ia berkata, “Ketika Nabi Saw. sakit keras, beliau bersabda,
ايتونى بكتاب اكتب لكم كتابا لا تضل بعده
         “Bawakan aku buku, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga kalian tidak akan sesat sesudahnya.”. Muhammad Ajâj al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148
       [36] Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan ‘Ulûm al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal TMII, 2001, cet. 3, hal. 95, lihat pula, Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata’addab Ma’a al-Mushhaf, (t.tp., Dâr al-I’tishâm, 1978, hlm. 166
  [37] Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur’an, Jurnal Panji Masyarakat, no. 843, edisi Novemver 2005, hal.73
  [38] Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan ‘Ulûm al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal TMII, 2001, cet. 3, hal. 95, lihat pula, Muhammad Rajab Farjani, Kayfa Nata’addab Ma’a al-Mushhaf, (t.tp., Dâr al-I’tishâm, 1978, hlm. 166
  [39] Labib al-Sa’id, al-jam’ al-Shautî lî al-Qur’ân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-Kâtib al-‘Arâby, t.th), hlm. 373
  [40] Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal li Dirâsâh al-Qurân al-Karîm, (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992), hlm. 293-296
  [41] Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al-Khulafâ’ lî al-Kitâb al-Islâmî, 1404), hal. 237
  [42] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. 1, hlm. 49-65
  [43] Sejarah telah mencatat bahwa pemeluk agama Islam pada waktu awal masih banyak yang buta aksara, kendati ada yang bisa baca tulis. Bahkan Nabi sendiri dikenal dengan seorang yang ummy seperti termaktub dalam Q.S. al-Jumu’ah/62: 2. Secara luas M.M. A’dzami mengulas satu bab khusus yang diberi judul tulisan dan ejaan bahasa Arab dalam Alquran, satu bab diantaranya mengupas gaya tulisan pada zaman Nabi Muhammad Saw. Lihat lebih lanjut, M.M. Al-A’dzami, The history of The Qur’anicText From Revelation to Compilation A Comparative Study The Old and New Testaments, (Sejarah Teks Al-Qur’ân dari Wahyu Sampai Kompilasi: kajia Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, terj. Sohirin Solihin et. All, (Jakrta: Gema Insani Press, 2005), cet. 2, hlm. 143-164.
[44] Penghimpunan Alquran dalam bentuk mushaf baru dilakukan pada masa Abu Bakar (11-13 HLM./632-634 M.), tepatnya setelah terjadi peperangan yamamah tahun 12 HLM./633 M. Dalam sejarah, perang Yamamah ini, terbunuh sekitar 70 orang syuhada yang hafal Alquran. Bahkan ,sebelum perang yamamah terjadi pula wafatnya 70 qurra’ pada peperangan di sekitar sumur Ma’unah, yang terletak dekat kota Madinahlm. Atas kejadian ini, Umar yang dikenal dengan ketajaman analisisnya mengunsulkan untuk menghimpun Alquran. Dan saat Abu Bakarlah terbentuk panitia penghimpunan Alquran yang diketua oleh Zaid bin Tsabit dan beranggotakan Utsman, Ali bin Abi Thalib dan ‘Ubay bin Ka’b.
  [45] Dalam rentang sejarah, ketika tampuk kekuasaan khalifah di tangan Utsman bin ‘Affan, singkatnya, ketika Utsman mengerahkan tentaranya kea rah Syam dan Irak untuk memerangi penduduk Armenia dan Azerbaijan, tiba-tiba Hudzaifah ibn Yaman memberitahu bahwa di beberapa wilayah terjadi perselisihan mengenai tilâwah (bacaan) Alquran. Dan Hudzaifah mengusulkan untuk meredam perselisihan itu dengan cara menyalin dan memperbanyak Alquran yang terhimpun pada masa Abu Bakar. Kemudian Utsman meminta suhuf yang ada di tangan Hafsah untuk di salin dan di perbanyak. Dan dalam rangka itulah, Utsman membentuk kepanitiaan untuk penyalinan Alquran yang di ketuai Zaid bin Tsabit dan berangotakan Abdullah bin Zubair, Sa’id ibn al-Ash, dan Abd al-Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam. Dalam pengarahanya Utsman mengatakan bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat antara Zaid yang bukan orang Quraish dengan tiga orang pembantunya yang semuanya berasal dari suku Quraisy mengenai tilawah, maka hendaklah Alquran itu ditulis menurut qiraat Quraisy, mengingat bahasa awal Alquran adalah bahasa Arab Quraisy.
  [46] Muhammad Amin Suma mencatat bahwa Alquran pertama kali di cetak di kota Hanburg, Jerman pada abad ke-17 M. lihat, Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), cet. 1, hlm. 63.
  [47] Diantara upaya otentisitas pasca wafatnya Rasulullah dilakukan dengan merujuk kepada para sahabat, para tabi’in dan para ahli bidang ini. Sungguh telah menjadi inayah Ilahi untuk sunnah Nabi-Nya, bahwa Tuhan telah memanjangkan umur sejumlah tokoh sahabat dan para hli agama mereke untuk menjaadi marji’ (tempat kembali, acuan) yang dengan mereka orang banyak mendapatkan pedoman. Setelah dusta berkecamuk masyarakat bersandar pada sahabat itu untuk ditanyai, mula-mula tentang apa yang mereka tahu sendiri, kemudian mereka diminta fatwa tentang hadis-hadis dan cerita masa lalu yang mereka pernah dengar di masa lalu. Imam Muslim dalam muqaddimah kitab sahihnya sebagaimana dikutip oleh Musthafa al-Shiba’I berasal dari Ibn Abi Malikah yang menceritakan “kami pernah menyurat kepaada Ibn Abbas agar ia menuliskan sesuatu untukku sesuatu, namun ia menghindar dariku, katanya, ‘seorang muda pemberi nasihat! Sungguh telah kupilihkan baginya beberapa perkara, dan aku menghindar dari padanya.” Lalu kata Ibn al-Malikah selanjutnya, “maka iapun mengajak meneliti keputusan hokum (qadhâ) yang dibuat oleh Ali, lalu ditulis banyak hal dari padanya, namun ada sesuatu tertentu dilewatinya, dan berkata, Demi Tuhan, Ali tidak akan membuat keputusan seperti ini kecuali jika benar-benar sesat.” Maka untuk tujuan seperti itulah banyak para tabi’in banyak melakukan perjalanan jauh dari kota ke kota, guna mendengarkan hadis-hadis yang mantap dari perawi yang dapat dipercaya. Telah kita ketahui misalnya, perjalanan jabir ibn Abdullah ke Syiria dan Abu Ayyub ke Mesir guna mendengarkan hadis. Sa’id ibn al-Musayyab menceritakan bahwa ia dahulu bepergian saiang malam untuk mencari hadis. Pengistilahan ini, betapa untuk mencari hadis saja sangat penuh dengan kehati-hatian, apalagi Alquran sebabagai pedoman utama. Lihat lebih lanjut, Musthafâ al-Sibâ’î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî’ al-Islâmî, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam, terj. Nurchalish Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), cet. 5,  hlm. 57-58
  [48] Istilah Tafsir Alquran Muslim Modern dikenalkan oleh J.M.S. Baljon dalam karyanya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960). Baljon melalui karya ini, membagi menjadi enam bahasan. Pertama, (introduction) pendahuluan, kedua, ways interpretation (pendekatan penafsiran), ketiga, characteristic features of the Koran (gambaran Alquran), keempat, theological issues (isu-isu ketuhanan), kelima, Koran and Modern Time (Alquran dan masa modern), dan keenam conclution (kesimpulan). Dalam pengantarnya, Baljon mengatakan bahwa studi ini merupakan kelanjutan sekaligus pelengkap bab terakhir (Der Islamische Modernismus und seine Koranauslegung) karya Ignaz Goldziher mengenai tafsir Alquran (Die Rachtungen der Islamische Koranauslegung, Leyden, Brill, 1920). Kelanjutan penelitian Goldziher ini tampaknya diperlukan, seperti juga terhadap tafsir modern yang dipublikasikan 40 tahun yang silam. Karya ini, dianggap oleh Baljon, sejauh karya itu, merupakan sumbangan terlengkap, dan juga bisa dimanfaatkan bahasa-bahasa urdu yang masih dipergunakan. Lihat, J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), (Leiden: E.J. Brill, 1968), hlm. VI
   [49] Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, (Routledge, New York, 2006), http://www.amazon.com/Textual-Relations-in-Quran-ebook/dp/B000OI14MQ, unduhan 20 januari 2010, lihat pula, ulasan review, SPS UIN Jakarta, The School, vol. 2. No. 5/ Mei 2009, hlm. 4.
   [50] Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, (Routledge, New York, 2006), Lihat, http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428, unduhan, 20 Januari 2010,
   [51] W. Monthomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’ân, (Leiden: Edinburgh University Press, 1994), hlm. 56.
     [52] Pembagian ini di dasarkan pada teks itu sendiri dan realitas teks yang berkembang. Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi dan enkulturasi nilai-nilai dasar Alquran dalam lintasan sejarah tidak saja memberi warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia membuka diri pada setiap budaya posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan karena sebagian besar ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan karena kitab suci ini menghidangkan simbol (amtsâl) yang sarat makna, lagi terbuka bagi  nalar para cendekiawan. Di sinilah kekhususan Alquran; ia memberikan kesempatan kepada setiap budaya untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya. Dalam kenyataannya, meskipun hanya satu Alquran, tetapi terjadi spektrum keanekaragaman pemahaman dan penerapan ajaran di dunia Islam. Proses pembumian Alquran tidak bisa menghindari fenomena kontak budaya (cultural contact), yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang haq dan kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam masyarakat. Tentu saja dalam hal ini keharmonisan tidak boleh dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang haq, dan ia pun tidak boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang bathil. Lihat, http://www.psq.or.id/profile.asp?mnid=14, unduhan 14 Januari 2010
    [53] Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jalâluddin al-Suyûthi, al-Itqan fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1979), Juz I, hlm. 60-63
    [54] Secara khusus Abû Zaid mengungkapkan bahwa munâsabah merupakan salah satu bagian dari aspek I’jâz (kemukjizatan) Alquran, sebagaimana Abû Zaid mengutip pendapat al-Zarkâsyi sebagai berikut: “mushaf seperti suhuf-suhuf mulia, sama dengan yang terdapat dalam kitab yang tertutup rapat (lauh al-mahfûdz), semua surat dan ayatnya disusun secara tauqîfî. Penghafal Alquran bila meminta fatwa mengenai berbagai macam hukum atau ia memperdebatkannya, atau mendiktekannya maka ia akan menyebutkan ayat sesuai dengan yang ditanyakannya.  Dan jika ia kembali kepada bacaan, maka ia tidak mengatakan seperi apa yang di fatwakan, dan tidak pula seperti yang diturunkan secara terpisahpisah, melainkan seperti yang diturunkan secara keseluruhan di Bait al-Izzahlm. Di antara yang jelas-jelas mukjizat ialah uslûb dan susunannya yang mengagumkan. Sebab, ia merupakan kitab yang ayat-ayatnya dikokohkan, kemudian diturunkan secara terpisah-pisah dari sisi yang maha bijaksana lagi maha mengetahui. Yang pertama kali pantas untuk diteliti dalam setiap ayat adalah apakah ayat berkaitan dengan ayat sebelumnya atau ia berdiri sendiri. Dalam hal ini banyak ilmu. Demikian pula dengan surat, sisi keterkaitannya dengan surat sebelumnya dan konteksnya perlu di cari”. Lihat, Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 108.
  [55] Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215
          [56] Nasr Hamid Abû Zaid lebih lanjut mengungkap masalah munâsabah sebagai bagian dari mukjizat pada dasarnya mengacu pada mekanisme khusus teks yang membedakannya dari teks-teks lain dalam kebudayaan. Bila dihubungkan dengan ilmu asbâb al-nuzûl misalnya, ilmu munâsabah mengkaji hubungan teks dalam bentuk yang akhir dan final. Sedang asbâb al-nuzûl mengkaji hubungan bagian-bagian teks dengan kondisi eksternal, atau konteks eksternal pembentuk teks. Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, hlm. 108.
   [57] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, (terj.) Ahsin Mohammad, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1995), h, 2-3
   [58] Al-Syâthibi melihat betapa pentingnya munâsabah Al-Qur’ân. Bahwa, satu surat walaupun banyak mengandung masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga, seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangannya pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila hal tersebut tidak diperhatikan, maka maksud ayat yang diturunkan akan terabaikan. Lihat, al-Syâthibi, al-Muwâfaqat, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1975), hlm. 144
[59] al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 40-41.
[60] al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 40.
[61] al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 41.
[62] al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 41-43.
  [63] Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 348.
   [64] Abdurrahman Ibn Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-I’tishâm, t,thlm.), juz. 1, hlm. 108.
  [65] Baca lebih lanjut, Muhammad Burhânuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi Ulûm al-Qur’ân, hlm. 37, lihat pula, Jalal al-Din al-Suyûthi, al-Itqan fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 108
    [66] Abû Zaid mencoba melerai dan mengomentari pendapat atau kelompok kedua yang tidak menyepakati adanya munâsabah dengan mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan Izzuddîn agar keterkaitan ayat dengan ayat dan surat dengan surat, terhadap sebab yang berbeda-beda, yang tidak menjadi persyaratan baiknya susunan kalimat (irtibâth al-kalâm) jangan sampai dipaksakan. Akan tetapi jika keterkaitan uraian terjadi karena satu sebab yang sama, maka menghubungkannya adalah suatu hal yang baik, dan disinilah letak baiknnya munâsabahlm. Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas Alquran, hlm. 199.
    [67] Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ’Ulûm al-Qur’ân, hlm.108.
   [68] Abd al-Qadir Ahmad Atha’, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-I’tishâm, 1978), hlm. 4
[69] Lihat lebih lanjut, al-Biqâ’î, Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim, Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-Suwar, (Heidiradab: Majlis Dairât al-Ma’ârif al-Usmâniyyah, 1969).           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar