Kamis, 01 Agustus 2013

MENGHIMPUN HADIS BERTEMA SAMA (Sebuah Metode Memahami Hadis)



MENGHIMPUN HADIS BERTEMA SAMA

(Sebuah Metode Memahami Hadis)



Masrukhin Muhsin*



Abstrak

Menghimpun hadits-hadits yang bertema sama merupakan satu upaya untuk memahami Hadits dengan baik, komprehensif, terhindar dari  kesalahan, dan lebih dekat kepada kebenaran. Hadits berfungsi merinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih samar, mengkhususkan yang umum, dan membatasi yang mutlak. Hadits Isbal, misalnya, ada sejumlah umat Islam yang menolak keras kepada mereka yang tidak memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Padahal setelah dilakukan pemahaman hadits secara komprehensif bahwa yang dimaksud oleh sabda Nabi saw. "orang yang memanjangkan pakaiannya" adalah orang yang menjulurkan pakaiannya dan menyeret ujungnya dengan kesombongan.

Kata Kunci: Hadits Isbal, Pemahaman Komprehensif



Pendahuluan
      Salah satu upaya untuk memahami Hadits dengan baik adalah dengan menghimpun hadits-hadits yang bertema sama. Kemudian, hadits-hadits yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang muthlaq dihubungkan dengan muqayyad, yang 'am ditafsirkan dengan yang khas. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh dipertentangkan.
Sebagaimana disepakati, Hadits berfungsi sebagai penafsir dan penjelas al-Qur'an. Artinya, Hadits merinci ayat-ayat yang global, men-jelaskan yang masih samar, mengkhususkan yang umum, dan membatasi
yang mutlak. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadits yang satu dengan yang lainnya.


Hadits tentang Isbal
Ada sejumlah umat Islam yang menolak keras kepada mereka yang tidak memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Bahkan, mereka me-mandang hal itu sebagai syiar Islam dan kewajiban. Sehingga, ketika mereka melihat ulama atau da'i Muslim yang tidak memendekkan pakai-annya sebagaimana yang mereka lakukan, maka mereka mengejeknya dan terkadang menuduhnya secara terang-terangan sebagai orang yang kurang dalam memahami dan meng-amalkan agama.
Pandangan sejumlah umat Islam itu memang tidaklah tanpa adanya sebuah  landasan yang mereka jadikan pijakan. Ada sejumlah hadits yang mereka jadikan  sandaran dalam hal ini, yaitu sebagai berikut:

ثَلاَثَةٌ لاَيُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : اَلْمَنَّانُ الَّذِيْ لاَيُعْطِيْ شَيْئًا إِلاَّ مِنْهُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْفَاجِرِ وَالْمُسْبِلُ إِزَارَهُ.(م عن ابي ذر)

"Tiga kelompok yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, orang yang kerjanya hanya mengungkit-ungkit dan tidak pernah memberi sesuatu, yang menjual dagangannya dengan mengucapkan sumpah palsu, dan orang yang memanjangkan pakaiannya". (HR. Muslim dari Abu Dzar)[1]
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَيُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَيَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَيُزَكِّهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ   قَالَ : فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلعم ثَلاَثَ مِرَارًا. قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ : خَابُوْا وَخَسِرُوْا مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : اَلْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ .
"Tiga kelompok yang tidak akan diajak berbicara, dilihat, dan disucikan oleh Allah pada hari Kiamat, dan bagi mereka siksa  yang  sangat  pedih
(Rasulullah mengulangi sabda itu sampai tiga kali, sehingga Abu Dzar berkomentar, 'Sungguh mereka itu orang-orang yang gagal dan merugi. Siapa mereka itu ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Orang yang memanjangkan pakaiannya, orang yang mengungkit-ungkit, dan orang yang menjual dagangannya dengan mengucapkan  sumpah palsu." (HR. Muslim dari Abu Dzar)[2]

Selain itu, dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ.(خ عن ابي هريرة)
"Pakaian yang berada di bawah mata kaki akan berada di neraka." (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).[3]
Selain itu juga, dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:
مَا  تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِيْ النَّارِ.(ن)
"Pakaian yang berada di bawah mata kaki akan berada di neraka." (HR. al-Nasa'i).[4]
Hadits-hadits di atas secara umum berisi larangan bagi seseorang untuk memanjangkan pakaiannya sampai di bawah mata kaki, bahkan dalam beberapa hadits terakhir secara jelas adanya larangan tersebut. Maka, jika kita memahami hadits-hadits tersebut secara sepintas, me-mang kita akan berkesimpulan sama dengan pendapat sejumlah kaum Muslimin di atas. Namun jika kita mengkajinya lebih dalam, dengan melihat hadits-hadits lain yang berbicara tentang masalah yang sama, lalu menghimpunnya sesuai dengan tujuan tuntutan Islam menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari, serta memperhatikan pemahaman-pema-haman yang dikemukakan oleh para ulama, maka niscaya akan mem-peroleh pemahaman yang komprehensif dari hadits-hadits tersebut dan tidak akan memiliki sikap ekstrim terhadap mereka yang tidak memen-dekkan pakaiannya (di atas mata kaki).
Untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tersebut, per-tanyaan yang dapat dijadikan acuan adalah apa yang dimaksud dengan memanjangkan pakaian dalam hadits-hadits tersebut. Apakah mencakup setiap orang yang memanjangkan pakaiaannya, meskipun hal itu meru-pakan kebiasaan di masyarakatnya, tanpa bermaksud menyombongkan diri. Sebagai contoh, dalam Fath al-Bari dijelaskan bahwa maksud dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Nasa'i di atas adalah memang bahwa seseorang yang memanjangkan pakaiannya sampai melewati mata kaki, akan berada di neraka, sebagai sanksi atas perbuatannya.[5] Tetapi, mereka yang membaca beberapa hadits lain dalam masalah ini, akan mengetahui dengan jelas pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi dan Ibn Hajar bahwa kemutlakan dalam hadits tersebut harus dipahami dalam konteks "kesombongan". Inilah yang akan diancam dengan sanksi yang keras.[6]
Adapun hadits-hadits lain yang dimaksud adalah sebagai berikut:

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ . قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ هذَا أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِيْ يَسْتَرْخِيْ إِلاَّ أَنْ أتَعَاهَدَ ذلِكِ مِنْهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلعم لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ.(خ)
"Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat. Abu Bakar bertanya, 'Ya Rasulullah, salah satu bagian sarungku selalu menjulur ke bawah, kecuali aku harus selalu menariknya'. Nabi saw. menjawab 'Engkau tidak termasuk orang-orang yang melakukannya karena kesombongan." (HR. Bukhari).[7]

خَسَفْتِ الشَّمْسِ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيّ صلعم فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلاً حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا. وَقَالَ: إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ايَتَنَا مِنْ ايَاتِ اللهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوْا اللهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا.(خ)

"Kami sedang bersama Nabi saw. ketika terjadi gerhana matahari. Beliau berdiri dan berjalan menuju masjid dengan tergesa-gesa sambil menyeret kainnya dan orang-orang sudah berkumpul. Lalu, Nabi shalat dua raka'at, dan matahari tampak kembali. Kemudian beliau menghadap ke arah kami dan berkata, 'Matahari dan bulan adalah ayat-ayat Allah. Kalau terjadi gerhana, maka shalatlah dan berdo'alah sehingga Allah menampakkannya kembali." (HR. Bukhari).[8]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلعم. قَالَ: لاَيَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا.

"Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'Kelak pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena kesombongan." (HR. Bukhari).[9]

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ : قَالَ النَّبِيُّ صلعم أَوْ قَالَ أَبُوْ الْقَاسِمِ صلعم بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِيْ فِيْ حُلَّةٍ تُعْجِبُهُ نَفْسَهُ مُرَجِّلٌ جُمَّتَهُ إِذْ خَسَفَ اللهُ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ إِلَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
"Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. (Abu Qasim) bersabda, 'Ketika seorang laki-laki berjalan dengan pakaian mewah yang membuatnya bangga sambil menguraikan rambutnya, lalu tiba-tiba bumi menelannya, maka dia terus-menerus berteriak ketakutan sampai hari kiamat." (HR. Bukhari).[10]

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مَرَجِّلٌ جُمَّتَهُ إِذْ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ إِلَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

"Ketika seorang laki-laki menyeret pakaiannya sambil menguraikan rambutnya, lalu tiba-tiba dia tertelan ke dalam bumi, maka dia terus-menerus berteriak ketakutan sampai hari kiamat." (HR. Bukhari dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah).[11]
Kedua hadits terkahir di atas, juga diriwayatkan oleh Imam Muslim. Selain itu, Rasulullah saw. juga telah bersabda dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar bahwasannya:

مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ لاَيُرِيْدُ بِذلِكَ إِلاَّ الْمُخِلَّةَ فَإِنَّ اللهَ لاَيَنْظُرُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. م

"Barang siapa menyeret pakaiannya dengan maksud hanya untuk kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat." (HR. Muslim)[12]
Dalam riwayat ini disebutkan masalah "kesombongan" sebagai satu-satunya alasan sehingga tidak ada kemungkinan penafsiran lain. Imam Nawawi, yang dikenal sebagai ulama yang tidak suka memperm-udah, bahkan – sebagaimana diketahui para peneliti – lebih cenderung memilih kepastian dan kehati-hatian, ketika menjelaskan hadits "orang yang memanjangkan pakaiannya", ia berkata:[13]
"Adapun yang dimaksud oleh sabda Nabi saw. "orang yang memanjangkan pakaiannya" adalah orang yang menjulurkan pakaian-nya dan menyeret ujungnya dengan kesombongan, sebagaimana dijelas-kan dalam hadits lain, 'Allah tidak akan melihat kepada orang yang menarik pakaiannya karena kesombongan." Kalimat 'menarik karena kesombongan' membatasi keumuman kata 'orang yang memanjangkan pakaiannya' sehingga hanya merekalah yang mendapat ancaman. Buktinya, Nabi saw. telah memberikan keringanan kepada Abu Bakar dengan sabdanya, 'Engkau tidak termasuk mereka, karena dia melaku-kannya bukan karena kesombongan."

Imam al-Hafizh Ibnu Hajar pun ketika mengomentari hadits riwayat Bukhari di atas tentang ancaman kepada orang yang meman-jangkan kainnya dan menarik pakaiannya, beliau berkata:
"Dalam hadits-hadits ini ditegaskan bahwa memanjangkan kain karena kesombongan termasuk dosa besar. Adapun kalau bukan karena kesombongan, berdasarkan pemahaman lahiriah hadits juga termasuk dilarang. Namun, karena adanya pembatasan dengan 'kesombongan' maka larangan yang bersifat umum dalam hadits tersebut mesti dipahami dalam konteks pembatasan tersebut. Oleh karena itu, memanjangkan dan menyeret pakaian sepanjang tidak disertai kesombongan, maka tidak diharamkan."
Selain itu, menurut al-Hafizh Ibnu 'Abd al-Barr, seorang pakar fiqh, mengatakan bahwa:
"Dipahami dari hadits-hadits tersebut bahwa memanjangkan pakaian bukan karena kesombongan tidak akan diancam dengan siksa. Namun, pada dasarnya, memanjangkan pakaian bagaiman pun termasuk perbuatan tercela."[14]
Pendapat ini juga diperkuat bahwasannya ancaman yang disebut dalam hadits-hadits tersebut merupakan ancaman yang sangat keras, sampai-sampai 'orang yang memanjangkan pakaian' termasuk salah satu dari tiga kelompok yang tidak akan diajak bicara, dilihat, dan disucikan oleh Allah pada hari Kiamat. Bagi mereka siksa yang sangat pedih. Bahkan, Nabi mengulang ancaman tersebut sebanyak tiga kali, sehingga Abu Dzar yang mendengarnya merasa ketakutan dan berkomentar: Sungguh, mereka telah gagal dan merugi. Siapakah mereka, ya Rasulullah?. Semua ini menunjukkan bahwa perbuatan mereka termasuk dosa besar dan perbuatan yang dilarang. Hal ini tidak berlaku, kecuali pada hal-hal yang menyangkut "kebutuhan-kebutuhan mendasar" yang dijamin pelaksanaan dan penjagaannya oleh syari'at, yakni yang menyangkut urusan agama, jiwa, akal, kehormatan, keturunan dan harta. Inilah tujuan-tujuan pokok syariat Islam.
Memendekkan pakaian termasuk wilayah "estetika" (tahsinat) yang berkaitan dengan adab (etika) dan kesempurnaan sehingga mem-buat hidup lebih indah, bercita rasa tinggi dan akhlak menjadi lebih mulia. Adapun memanjangkannya – yang tidak disertai tujuan yang jelek – maka termasuk hal-hal yang tidak disukai.
Yang menjadi perhatian agama, dalam hal ini, adalah niat dan motivasi bathiniah yang berada dibalik perbuatan lahiriah. Hal yang sangat ditentang oleh agama adalah kesombongan, kebanggaan diri, keangkuhan, kepongahan, sikap merendahkan orang lain, dan penyakit-penyakit hati dan penyakit jiwa lainnya, sehingga tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya memiliki sifat-sifat tersebut, sekecil apapun.
Inilah makna yang ditunjukkan oleh beberapa hadits yang mem-batasi ancaman yang keras terhadap orang yang memanjangkan pakaian karena kesombongan.
Di samping itu, urusan model dan bentuk pakaian terkait dengan tradisi dan kebiasaan manusia, yang seringkali berbeda-beda sesuai perbedaan iklim antara panas dan dingin, antara yang kaya dan miskin, antara yang mampu dan yang tidak, jenis pekerjaan, tingkat kehidupan, dan berbagai pengaruh yang lain. Maka, dalam masalah-masalah seperti ini, syari'at meringankan orang dari berbagai beban, tidak ikut campur, kecuali dalam batas-batas tertentu agar tidak timbul sikap mewah dan berlebihan dalam penampilan lahiriah, atau sikap-sikap lain yang telah dijelaskan dengan rinci pada tempatnya.[15]
Oleh karena itu, Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, pada bab "al-Libas" (pakaian), bab mengenai firman Allah swt.:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِيْ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ (الأعراف : 32).

"Katakanlah, siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah diperuntukkan buat hamba-hamba-Nya." (Qs. al-A'raf : 32)
Nabi saw. bersabda:
كُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَالْبَسُوْا وَتَصَدَّقُوْا فِيْ غَيْرِ إِسْرَفٍ وَلاَمَخِيْلَةٍ.

"Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan sombong."[16]
Ibnu Abbas berkata: "Makanlah sekehendakmu dan berpakaianlah sekehendakmu, selama kau menghindari dua hal, yaitu berlebihan dan kesombongan".[17]
Ibnu Hajar mengutip ucapan gurunya, al-Hafizh al-Iraqi dalam Syarh al-Tirmidzi, "Pakaian yang menyentuh tanah termasuk kesom-bongan dan jelas diharamkan. Jika dipandang haram pakaian yang me-lebihi kebiasaan, pernyataan itu tidak salah. Akan tetapi, manusia pada masa sekarang telah menciptakan berbagai model yang panjang sehingga setiap kelompok masyarakat mempunyai identitas tersendiri. Apabila hal itu dimaksudkan untuk kesombongan, jelas diharamkan, tetapi apabila yang merupakan kebiasaan maka tidak dianggap haram sepanjang tidak sampai menyeret ujung kainnya."
Al-Qadhi al-Iyadh mengutip pendapat dari ulama yang me-makruh-kan pakaian yang melewati kebiasaan dan yang biasa dipakai, baik ukuran panjang atau lebarnya.[18]
Berdasarkan hal di atas, apa yang menjadi pendapat kebiasaan perlu dipertimbangkan sebagimana dinyatakan al-Hafizh al-Iraqi. Keluar dari kebiasaan terkadang menyebabkan orang lebih populer. Dan pakaian yang dimaksud untuk tujuan tercela dalam syari'at.
Meskipun demikian, kalau orang memendekkannya dengan mak-sud mengikuti sunnah Nabi, menjauhi sikap sombong, menghindari per-selisihan pendapat ulama, dan memilih kehati-hatian, maka Insya Allah ia akan memperoleh pahala. Hanya saja, ia tidak boleh memaksa orang lain untuk melakukannya dan tidak boleh mencibir (mengolok-olok) orang yang tidak melakukannya. Dalam hal inilah, berlaku ucapan para ulama, "Setiap mujtahid memperoleh pahala, dan setiap orang tergantung niatnya".

Hadits tentang Pertanian
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Umamah al-Bahily, ketika ia melihat alat pembajak tanah, ia berkata, saya men-dengar Rasulullah saw. bersabda:

لاَيَدْخُلُ هذَا بَيْتَ قَوْمٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللهُ الذُّلَّ.

"Tidak akan masuk (alat) ini ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan kehinaan ke dalamnya." (HR. Bukhari).[19]
Pengertian lahiriah hadits tersebut menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak menyukai pertanian sebab akan mengakibatkan kehinaan bagi pelakunya. Sebagian orientalis berusaha memanipulasi hadits ini untuk merusak citra Islam berkaitan dengan pandangannya terhadap pertanian.
Apakah makna lahir hadits ini yang dimaksud dan apakah Islam membenci pertanian dan bercocok tanam? Makna ini bertentangan dengan hadits-hadits lain yang shahih. Kaum Anshar adalah ahli per-tanian dan bercocok tanam. Rasulullah tidak memerintahkan mereka untuk meninggalkan pekerjaan mereka. Sebaliknya, sunnah Nabi telah menjelaskan masalah ini dan buku-buku fiqh menguraikan dengan terperinci hukum-hukum mengenai pertanian (muzara'ah), pengairan (musaqat), penggarapan lahan kosong (ihya' al-mawat), serta hak dan kewajibannya masing-masing.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari nabi saw.:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرًا أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيْمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ.

"Seorang Muslim yang menanam pohon atau tanaman, lalu buahnya dimakan oleh burung, manusia atau binatang lain, maka baginya pahala sedekah." (HR. Bukhari dan Muslim dari Anas).[20]
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir dengan redaksi sebagi berikut:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةً وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَل السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتْ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ.
"Seorang Muslim yang menanam tanaman, maka buahnya yang dimakan menjadi sedekah. Demikian juga buahnya yang dicuri, dimakan binatang dan burung, atau yang diambil orang lain, semuanya menjadi sedekah baginya." (HR. Muslim).[21]

Jabir juga meriwayatkan bahwa Nabi saw. suatu ketika masuk ke kebun Ummu Ma'bad, lalu bersabda:

يَا أُمَّ مَعْبَدٍ مَنْ غَرَسَ هَذَا النَّخْلَ أَ مُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ فَقَالَتْ : بَلْ مُسْلِمٌز قَالَ : فَلاَ يَغْرِسُ الْمُسْلِمُ غَرْسًا فَيَاْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلاَ دَابَّةٌ وَلاَ طَيْرٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةً إِلَى يَوْمَ القِيَامَةِ.
"Wahai Ummu Ma'bad, siapa yang menanam pohon kurma ini., seorang Muslimkah atau Kafir? Ia menjawab, 'Seorang Muslim'. Nabi saw. Ber-sabda, 'Seorang Muslim yang menanam tanaman, lalu buahnya dimakan oleh manusia, binatang atau burung, maka baginya pahala sedekah sampai hari Kiamat." (HR. Muslim).[22]

Demikianlah, si penanam memperoleh pahala sedekah dari Allah atas hasil tanamannya yang diambil oleh siapapun, meskipun ia sendiri tidak meniatkannya (sebagai sedekah). Demikian juga buahnya yang dimakan binatang atau burung dan yang dicuri atau diambil orang tanpa seizinnya. Semua itu dihitung sebagai sedekah yang pahalanya terus mengalir selama ada makhluk hidup yang memanfaatkan tanamannya.
Karunia mana yang pahalanya lebih besar daripada ini, dan motivasi apalagi tentang pertanian yang lebih kuat daripada hadits ini? Inilah yang menyebabkan para ulama klasik berpendapat bahwa per-tanian adalah mata pencaharian yang paling utama.
Motivasi paling kuat tentang pertanian terlihat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Bukhari dari Anas:

إِنْ قَامَت السَّاعَةُ وَفِيْ يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَتَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَل.
"Apabila hari Kiamat terjadi, dan di tangan salah seorang kalian ada bibit kurma, maka seandainya dia mampu menangguhkan kiamat sampai dia menanamnya, maka tanamlah." (HR. Ahmad dan Bukhari).[23]
Sungguh ini merupakan penghargaan yang tinggi atas upaya membangun dunia, sekalipun manfaatnya tidak dirasakan si pelaku atau orang lain sesudahnya. Manfaat apa yang dapat diharapkan dari mena-nam tanaman saat terjadi kiamat.
Tidak ada motivasi untuk menanam dan berproduksi yang lebih kuat dari hadits ini selama ada kehidupan. Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah. Kemudian, bekerja dan membangun dunia. Dengan demikian, hendaklah ia terus mengabdi dan bekerja sampai nafas terakhir. Inilah yang dipahami para sahabat dan kaum muslim generasi awal dan yang memicu mereka untuk membangun dunia dan menggarap lahan-lahan kosong.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Imarah bin Khuzaimah bin Tsabit, saya mendengar Umar bin Khaththab berkata kepada ayahku. 'Apa yang menghalangimu untuk menanami lahan milikmu?' Ayahku menjawab, 'Saya sudah tua, sebentar lagi akan meninggal.' Umar berkata, 'Aku menghimbau kepadamu agar kamu menanaminya.' Saya lihat Umar menanaminya dengan tangannya sendiri bersama ayahku."[24]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda bahwa ketika ia sedang menanam tanaman di damaskus, seorang laki-laki menghampiri-nya dan berkata, 'Anda lakukan ini, padahal anda adalah sahabat Rasulul-lah?" Abu Darda menjawab, 'Nanti dulu, saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ غَرَسَ غَرْسًا لَمْ يَاْكُلْ مِنْهُ ادمِيٌّ وَلاَ خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ.

"Barang siapa yang menanam tanaman, lalu dimakan oleh manusia atau makhluk lain, maka baginya pahala sedekah." (HR. Ahmad dan al-Thabrani).[25]

Lalu bagaimana kita menafsirkan hadits Abu Umamah (tentang alat pertanian) di awal? Al-Bukhari sendiri menyebutkannya dalam bab "akibat yang harus diwaspadai berkaitan dengan alat pertanian atau pelanggaran batas yang diperintahkan". Ibn Hajar berkata, 'Dalam tar-jamah-nya, al-Bukhari mencoba menghimpun hadits Abu Umamah dengan hadist-hadits lain tentang pertanian dan bercocok tanam, dengan salah satu cara dari dua cara. Pertama, mengartikan kecaman tersebut karena adanya dampak negatif yang ditimbulkan. Misalnya, pelerjaan bercocok tanam itu mengabaikan kewajiban-kewajiban penting lainnya (seperti perintah berjihad)?. Kedua, pekerjaan tersebut tidak mengabai-kan pekerjaan lain, tetapi dianggap melewarti batas kewajaran."
Sebagian komentator berkata bahwa kecaman itu berlaku bagi orang yang dekat dengan daerah musuh. Ia sibuk dengan pertanian dan mengabaikan urusan militer sehingga musuh menjadi berani. Bagi orang seperti ini, mereka harus lebih mementingkan urusan militer. Sedangkan kewajiban masyarakat lain adalah menyuplai kebutuhan mereka".[26]
Penjelasan lain atas maksud hadits tersebut adalah riwayat Iamam Ahmad dan Abu daud dari Ibn Umar secara marfu':

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِيْنِكُمْ.

"Apabila kalian bertransaksi dengan cara inah,[27] mengikuti ekor-ekor sapi (maksudnya sibuk dengan urusan dunia) dan merasa puas dengan bertani, seraya meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, yang tak akan hilang sampai kalian kembali lagi kepada agama kalian."(HR. Ahmad dan Abu Dawud).[28]
Hadits ini menyingkapkan sebab-sebab kehinaan yang akan di-timpakan kepada sebuah masyarakat, sebagai hukuman yang setimpal dengan perintah agama yang diabaikan dan urusan dunia yang semesti-nya diperhatikan.
Transaksi dengan cara inah, menunjukkan bahwa mereka meng-abaikan larangan keras Allah tentang riba yang pelakunya diancam dengan pernyataan perang dari Allah dan Rasulnya. Mereka melakukan pengelabuan atas perbuatan memakan riba sehingga perbuatan tersebut tanpak halal padahal sebenarnya haram.
Adapun ungkapan "mengikuti ekor-ekor sapi" dan "merasa puas dengan bertani" menggambarkan bahwa mereka lebih mementingkan pertanian dan urusan pribadi serta mengabaikan masalah industri terutama yang berkaitan dengan urusan militer, sedangkan meninggalkan jihad merupakan akibat logis dari apa yang mereka lakukan sebelumnya. Karena alasan-alasan itulah, wajar jika mereka mendapatkan kehinaan selama mereka belum kembali kepada perintah agama.

Penutup
Dari uaraian di atas, dapatlah disimpulan bahwa dalam mema-hami hadits tidaklah tepat hanya mencukupkan diri dengan makna lahiriah suatu hadits tanpa melihat hadits-hadits dan nash-nash yang berkaitan dengan tema dimaksud serta melihat juga akan bagaimana pemahaman para ulama atasnya. Karena jika tidak demikian, seringkali hal tersebut menjerumuskan orang ke dalam kekeliruan, menjauhkan dari kebenaran, dan maskud sebenarnya dari konteks hadits tersebut.

Daftar Pustaka

Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam Kerajaan Arab Saudi, al-Qur'an dan Terjemahnya, Majma' Malik al-Fahd li Thaba'at al-Mushaf, al-Madinah al-Munawwarah, 1418 H.
Al-Nawawi, Shahih Muslim bi al-Syarh al-Nawawi, Dar al-Fikr, Beirut-Libanon, 1995.
Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa'i, Dar al-Fikr, Beirut-Libanon, 1995.
Qordhawi, Yusuf, al-Madkhal li al-Dirasah al-Sunnah al-Nabawiyyah, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. II, 1991.
-------, al-Halal wa al-Haram, , Maktabah Wahbah, Kairo, cet. XXI, 1993.
al-Suyuthi, Jami' al-Kabir, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993.



*Penulis adalah Dosen Ulumul Hadits pada Prodi Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandarlampung. S1-nya diselesaikan di Universitas al-Azhar Cairo-Mesir dan S2-nya diselesaikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[1] Lihat: Shahih Muslim, kitab "al-Iman".
[2] Lihat: Ibid.
[3] Lihat: Shahih al-Bukhari, kitab "al-Libas", bab "ma asfala min al-ka'baini fahuwa fi al-naar", hadits no. 5787.
[4] Lihat: Sunan al-Nasa'i, kitab "al-Zinah", bab "ma tahta al-ka'baini min al-Ijar", vol. VIII, h. 207.
[5] Lihat: Fath al-Bari, Dar al-Fikr, vol. X, h. 257.
[6] Lihat: Ibid.
[7] Lihat: Shahih al-Bukhari, bab "Man Jarra Idz Arahu min Ghairi Khuyala", lihat juga: Fath al-Bari, vol X, h. 254, hadits no. 5784.
[8] Lihat: Ibid, hadits no. 5785.
[9] Lihat: Ibid, hadits no. 5788.
[10] Lihat: Ibid, hadits no. 5789.
[11] Lihat: Ibid, hadits no. 5789.
[12] Lihat: Shahih Muslim bi al-Syarh al-Nawawi, bab "Tahrim Jarr al-Tsaub Khulaya", vol. IV, h. 759, Dar al-Sya'ab.
[13] Lihat: Shahih Muslim, vol. I, h. 305.
[14] Lihat: Fath al-Bari, vol. X. h. 263.
[15] Lihat buku saya, al-Halal wa al-Haram, bab "al-Malbas wa al-Zinah" (pakaian dan perhiasan).
[16] Imam al-Bukhari menyebutkannya secara mu'allaq. Al-Hafizh Ibn Hajar di tempat lain menganggap hadits tersebut tidak tersambung. Al-Thayalisi dan al-Harits bin Abu Umamah dalam Musnad-nya menilainya bersambung dari hadits Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya. Dalam riwayat al-Thayalisi tidak ada kata-kata " … fi ghairi". Adapun dalam riwayat al-Harits tidak ada ungkapan watashaddaqu (dan bersedekahlah). Ibn Abu Dunya menilainya bersambung dengan sempurna dalam kitab "al-Syukr", lihat Fath al-Bari, vol. X, h. 253.
[17] Ibu Hajar berkata, "Ibn Syaibah dalam Mushannaf-nya menilai hadits tersebut bersambung (maushul). Lihat: Ibid.
[18] Lihat: Fth al-Bari, vol. X, h. 262.
[19] Lihat: Shahih Bukhari, kitab "al-Muzara'ah".
[20] Lihat: Al-Lu'lu wa al-Marjan, hadits no. 1001.
[21] Lihat: Shahih Muslim, kitab "al-Masaqat", bab "Fadin al-Zar'i wa al-Gharr, hadits no. 1552.
[22] Lihat: Ibid.
[23] Lihat: Musnad Anas, vol. III, h. 183, 184, dan 191; Shahih al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad. Hadits ini dishahihkan al-Albani sesuai dengan persyaratan Muslim (al-Shahih, no. 19). Al-Hatsimi menyebutkannya dalam al-Majma dengan ringkas bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan para perawi yang terpercaya, vol. IV, h. 63 dan ia tidak menisbatkannya kepada Ahmad.
[24] Lihat: al-Suyuthi, Jami' al-Kabir, lihat juga: al-Albani, al-Shahihah, vol. I, h. 12.
[25] Al-Haitsami berkata: "Ahmad dan al-Thabrani meriwayatkannya dalam al-Kabir, dengan para perawi yang terpercaya (tsiqah). Lihat al-Majma', vol. IV, h. 67-68.
[26] Lihat: Fath al-Bari, al-Halabi, vol. V, h. 402.
[27] Yaitu menjual barang secara langsung dan pembayaran yang ditangguhkan, kemudian si penjual membelinya kembali secara kontan, sebelum jatuh tempo dengan harga yang lebih murah. Jelas, sebenarnya ia tidak mengharapkan transaksinya, tetapi ia menginginkan uangnya. Hal ini termasuk bentuk menyiasati riba.
[28] Al-Albani men-shahih-kan hadits tersebut dengan semua jalur periwayatannya (al-Shahihah vol. XII). Lihat kritik saya atas hadits tersebut dalam Bai' al-Murabahah li al-Amir bi al-Sya'ira'i.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar