Dekonstruksi
Tafsir Antroposentrisme
(Telaah
Ayat-Ayat Berwawasan Lingkungan)
Oleh:
Junaidi
Abdillah[1]
Abstrak
Mainstream
yang berkembang bahwa alam semesta ini disediakan oleh Tuhan hanya untuk
kemakmuran manusia, membuat eksplorasi atas sumber daya alam ini makin brutal
tak terkendali. Agama-agama
samawi juga ditengarai kuat menanamkan
paham antroposentrisme pada pemeluknya. Sehingga, muncul
pandangan bahwa penyebab kerusakan lingkungan dan alam
tersebut diakibatkan paham antroposentrisme tersebut. Islam
sebagai salah
satu agama samawi juga tidak luput dari tudingan tersebut.
Karenanya, tulisan
ini bermaksud membongkar
paradigma tafsir bias antroposentisme dalam Islam. Dengan metode maudlu’i,
penulis mengumpulkan dan mengelaborasi ayat-ayat berbasis ekologi. Pendekatan
yang dipakai adalah bayani dan hermeneutika. Sedangkan content
analysis sebagai pisau bedahnya. Tulisan ini bertujuan menemukan pesan-pesan tafsir berbasis
lingkungan dalam perspektif ekologi Islam.
Kata Kunci: Lingkungan, Tafsir,
Antroposentrisme, Ekologi.
Pendahuluan
Persoalan
lingkungan menjadi tema menarik untuk selalu dikaji ketika kerusakan lingkungan
hidup semakin memprihatinkan dari waktu ke waktu.[2]
Fenomena longsor, banjir bandang, gempa bumi, kebakaran hutan seakan sudah
menjadi rutinas musibah. Tak pelak, kajian lingkungan menjadi isu sentral.
Namun seiring dengan meredupnya bencana tersebut maka redup pula isu tentang
lingkungan. Sehingga kajian-kajian lingkungan seakan menjadi obat sementara
bagi musibah-musibah tersebut. Namun akar permasalahan penyebab kerusakan
lingkungan hidup tak pernah terurai guna dicarikan
solusinya.
Manusia
sebagai makhluk mandataris Allah SWT di bumi yang diberi kepercayaan (baca:
amanah) untuk memelihara dan memakmurkan bumi nampaknya belum memberikan hasil
yang terbaik. Khalifah fi al-Ardl yang dimaknai dengan manusia sebagai
wakil Allah di planet bumi seharusnya menjadi titik tolak awal manusia dalam
mengelola sekaligus memelihara alam ini. Namun realitas di lapangan justru
mandataris ini digunakan dalam batas yang tidak wajar. Sehingga pada gilirannya
kemudian manusia dengan dalih membangun bumi justru membuat kerusakan dahsyat
bumi ini.
Akar permasalahan
krisis lingkungan
dan alam
disinyalir berawal dari mengakarnya filsafat antroposontrisme dalam jiwa-jiwa manusia di
bumi ini. Antoposentrisme[3]
dimaknai
sebagai teori etika lingkungan yang memandang pusat alam
semesta adalah manusia. Sehingga kepentingan manusia paling menentukan dalam
pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara langsung atau tidak. [4]
Antroposentrisme
diduga kuat berkar pada ajaran agama-agama monotheis termasuk Islam dituduh
mengembangkan ajaran tersebut. Toynbee sebagaimana dikutip Martin Harun dalam pengantar buku Agama
Ramah Lingkungan, menegaskan bahwa agama-agama
monotheis telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam yang Illahi.
Sehingga tak ada lagi yang dapat menahan ketamakan manusia.[5]
Islam sebagai salah satu agama monotheis tak luput dari tuduhan serupa. Akar
tradisi yang sama yakni agama Ibrahim dan lahir di Timur Tengah mengakibatkan
Islam sebagai suatu agama dianggap sama dengan tradisi Yudeo-Kristen dalam
mengajarkan antroposentrisme.[6]
Berangkat dari
tuduhan-tuduhan di atas, maka ada beberapa pertanyaan yang layak untuk
dikaji dan
dijawab dalam paper ini. Apakah benar Islam mengajarkan
antroposentrisme? Bagaimana konsep ekologi[7]
dalam Islam? Dan bagaimana
pandangan Islam tentang hubungan
manusia dengan alam dan lingkungan hidup? Pertanyaan-pertanyaan
ini sangat mendesak dicari jawabannya untuk kemudian ditemukan pesan-pesan
ekologis Islam terkait dengan penanggulangan krisis lingkungan
global.
Filsafat Antroposentrisme
Dilihat
dari sejarahnya, kelahiran filsafat antroposentrisme berawal dari filsafat
pelepasan manusia dari kungkungan Tuhan. Pada abad pertengahan tepatnya, alam pikiran
dunia Barat dipenuhi dengan pikiran mitologis. Yakni berakar pada mitologi
Yunani, saat itu Barat benar-benar terkungkung di dalam paham keagamaan bahwa
seolah-olah Tuhan itu membelenggu manusia.
Paradigma tersebut mulai
ditinggalkan dengan munculnya renaissance. Dan, muncul pemikiran bahwa
manusia adalah pusat segala sesuatu. Tuhan dan dewa-dewa hanya dianggap sebagai
mitos. Muncullah pandangan antroposentrisme yang muncul sebagai pendobrak
pandangan keagamaan mitologi secara revolusioner. Pandangan antroposentrisme
atau juga lazim dikenal dengan humanisme beranggapan bahwa kehidupan tidak
berpusat pada Tuhan, melainkan manusia. Manusialah penguasa realitas, yang
menentukan nasibnya sendiri dan kebenaran. Karenanya, Tuhan dan kitab-kitab
suci tidak diperlukan lagi. Antroposentrisme
sejatinya hadir dengan datangnya rasionalisme yang tidak lagi percaya
lagi bahwa hukum alam bersifat mutlak.[8]
Konsep antroposentrisme
adalah manusia merdeka dan menjadi pusat dari segala sesuatu. Namun
kenyataannya, sekarang telah diturunkan derajatnya menjadi tak lebih sebagai
bagian mesin, yakni mesin raksasa teknologi modern. Karena proses inilah,
pandangan tentang manusia menjadi tereduksi. Manusia menjadi bagian poduksi
teknologi modern. Ia hanya menjadi elemen mekanisasi dan elemen otomatisasi
teknologi.[9]
Dan paham antrposentrisme saat ini telah merambah ke dunia lingungan hidup.
Karena itulah manusia modern menjadi terbelenggu oleh proses teknologi. Manusia
teraleniasi dari kerja, hasil kerja sesame dan masyarakatnya.
Menurut
Resmussen --sebagaimana dikutip oleh Mary Evelyn dan John A. Grim-- bahwa akar
dari segala permasalahan lingkungan diduga berawal dari filsafat
antroposentrisme.[10]
Ia mendefinisikan antroposentrisme sebagai teori etika ligkungan yang memandang
pusat alam semesta adalah manusia sehingga kepentingan manusia paling
menentukan dalam pengambilan kebijakan berkaitan dengan alam secara langsung
maupun tidak. Dalam kalimat Gregory Bateson, sebagaimana dikutip oleh Ramussen,
diajukan sebagai berikut :
”....Dan
bila Anda menyombongkan diri karena memiliki budi, Anda akan melihat dunia
sekitar anda sebagai yang tak berbudi dan oleh karenanya tidak mempunyai hak
pertimbangan etis. Lingkungan akan tampak menjadi milik anda untuk
dieksploitasi. Unit kelangsungan hidup anda adalah diri Anda dan sesama atau
rekan dengan kekhususan yang sama dengan anda berhadapan dengan lingkungan dari
unit-unit social lain rasa-rasa dan binatang dan tumbuhan lain....”[11]
Antroposentrisme
juga diduga kuat berakar kuat dari ajaran agama-agama monotheis, seperti dalam
tradisi Yudeo-Kristen tampak pada kitab-kitab kejadian 1: 28
“Allah
memberkati mereka (Adam dan Hawa) lalu Allah berfirman kepada mereka : beranak
cuculah dan bertambah banyak, dan penuhilah bumi, dan taklukkanlah itu, dan
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi”.
Menurut
Lynn White, sebagaimana dikutip oleh Martin Harun dalam pengantar buku Agama
Ramah Lingkungan, menyebutkan akar permasalahan lingkungan dan alam
terdapat pada ajaran Kristen. Lynn mengatakan dalam tulisannya dengan kalimat
sebagai berikut:
”Manusia
sedikit banyak berbagi terdalam transendensi Allah terhadap alam. Kekristenan,
dalam kontres mutlak dengan agama kafir kuno dan agama-agama Asia. Tak hanya
menciptakan dualisme manusia dan alam, tetapi juga menegaskan bahwa telah
menjadi kehendak Allah manusia mengeruk (exploit) alam untuk tujuan
manusia sendiri”.[12]
Lebih
lanjut, menurut Mujiyono Abdillah bahwa konstruksi teologi lingkungan yang
sudah populer dalam masyarakat disinyalir telah terkontaminasi oleh paham
antroposentrisme. Paham antroposentrisme ditandai oleh melonjaknya kesadaran
akan rasa percaya diri manusia untuk kuasa atas sumber daya alam dan
lingukungan. Kesadaran demikian berkembang pesat karena manusia percaya dirinya
sebagai makhluk istimewa dengan berbekal kemampuan rasionalnya. Paham
antroposentrisme meyakini bahwa manusia merupakan makhluk yang mempunyai
kelebihan dibanding makhluk lainnya. Bahwa sumber daya alam dan lingkungan ini
diciptakan untuk kepentingan manusia. Karenanya harus dieksploitasi demi
kesejahteraan manusia.[13]
Antroposentrisme
dalam dimensi kajian Islam diduga bersumber dari prinsip-prinsip dasar Islam
yang berkaitan dengan konsep hakikat manusia sebagai makhluk istimewa (super
being), manusia sebagai makhluk yang diberi akal (rasional), manusia
makhluk yang paling kuasa atas alam (sukhriya’) dan konsep khalifah
fi al-ardl.
Keempat
prinsip dasar dan konsep hidup di atas menjadi simpul-simpul teologi yang bias
antroposentris. Dengan demikian dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk
terbaik karena dibekali akal. Manusia juga makhluk yang dinamis sedangkan
makhluk lainnya statis. Dengan akalnya manusia dapat mengembangkan teknologi
untuk menguasai sumber daya alam dan lingkungan bahkan menjelajah angkasa luar.[14]
Filsafat antroposentrisme ini pulalah yang dituding melahirkan filsafat
liberalisme dalam pengelolaan alam.
Bahkan
racikan konsep maqashid al-syari’ah Syathibi diakui sarat dengan
filsafat antroposentrisme. Menurut Syathibi, Allah menetapkan syari’at untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Pandangan
antroposentrisme nampak sekali pada khamsah dlaruriyat: menjaga agama,
akal, harta, jiwa dan kehormatan.[15]
Semua dimensi yang lima tersebut hanya human oriented. Sementara kajian
maslahat lingkungan belum tersentuh olehnya. Implikasinya, dalam segala
aktivitasnya selalu berorientasi pada kemaslahatan manusia.
Ayat-ayat Antroposentris
Terdapat
ayat-ayat Alqur’an yang disinyalir mengandung nilai dan paham antroposentrisme.
Pertama, adalah konsep manusia sebagai makhluk yang paling istimewa
terdapat dalam surat al-Thin ayat 4: [16]لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلإِنسَانَ
فِيۤ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ, ada juga terdapat dalam surat al-Isra ayat 70: وَلَقَد كَرَّمنَا بَنِي ادَمَ
وَحَمَلنَاهُم فِي البَر وَالبَحرِ وَرَزَقنَاهُم منَ الطَّيبَاتِ وَفَضَّلنَاهُم عَلَى
كَثِيرٍ ممَّن خَلَقنَا تَفضِيلاً[17]. Surat al-Infithar ayat 7-8: * ٱلَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ
فَعَدَلَكَ * فِيۤ أَى صُورَةٍ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ[18], Surat al-Taghabun ayat 3: خَلَقَ ٱلسَّمَاوَاتِ وَٱلأَرْضَ
بِٱلْحَق وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَإِلَيْهِ ٱلْمَصِيرُ[19].
Kedua, Ayat-ayat
yang menggambarkan manusia sebagai makhluk berakal. Terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 75: أَفَتَطْمَعُونَ أَن يُؤْمِنُواْ لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ
منْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلاَمَ ٱللَّهِ ثُمَّ يُحَرفُونَهُ مِن بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ
وَهُمْ يَعْلَمُونَ[20]. Surat al-Nahl 78: وَٱللَّهُ أَخْرَجَكُم من بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئاً وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلْسَّمْعَ وَٱلأَبْصَارَ
وَٱلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ[21]. Ada juga dalam surat al-Rum ayat
7: يَعْلَمُونَ ظَاهِراً منَ ٱلْحَيَاةِ
ٱلدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ ٱلآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ. Dan masih banyak ayat lainnya yang berbicara bahwa manusia
makhluk berakal. Di antaranya terdapat dalam QS. Al-Anfal: 21, QS. Al-Hajj: 46,
QS. Al-Ra’d: 2, QS. Hud: 123. Dengan demikian, banyak yang beranggapan bahwa
makhluk lainnya lebih rendah dari manusia karena tidak berakal.
Ketiga, ayat-ayat
yang menggambarkan manusia sebagai paling kuasa atas sumber daya alam dan
lingkungan. Sebab alam semesta ini diciptaka hanya untuk manusia. Terdapat
dalam surat al-Baqarah: 22: ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلأَرْضَ فِرَاشاً وَٱلسَّمَاءَ بِنَآءً
وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ ٱلثَّمَرَاتِ رِزْقاً لَّكُمْ[22] . terdapat juga dalam ayat 29: هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا
فِي الاَرضِ جَمِيعاً ثُمَّ استَوَى اِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبعَ سَمَاوَاتٍ
وَهُوَ بِكُل شَيءٍ عَلِيمٌ[23]. Terdapat juga dalam surat
al-Jatsiyah: 13: وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِي ٱلسَّمَاوَاتِ وَمَا فِي ٱلأَرْضِ
جَمِيعاً منْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ[24], terdapat juga dalam surat Luqman:
20أَلَمْ تَرَوْاْ أَنَّ ٱللَّهَ
سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِي ٱلسَّمَاوَاتِ وَمَا فِي ٱلأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ
ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً[25].
Keempat adalah
ayat-ayat tentang kedudukan manusia sebagai manifestasi wakil Allah di bumi.
Terdapat dalam surat al-Baqarah: 30:وَاِذ قَالَ رَبُّكَ لِلمَلاَئِكَةِ اِني جَاعِلٌ فِي الاَرضِ
خَلِيفَةً قَالُوا اَتَجعَلُ فِيهَا مَن يُفسِدُ فِيهَا وَيَسفِكُ الدمَاءَ وَنَحنُ
نُسَبحُ بِحَمدِكَ وَنُقَدسُ لَكَ[26]. Juga terdapat dalam surat
al-An’am: 165وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُم خَلاَئِفَ الاَرضِ وَرَفَعَ بَعضَكُم
فَوقَ بَعضٍ دَرَجَاتٍ ليَبلُوَكُم فِي مَا اتَاكُم اِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ العِقَابِ
وَاِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيم[27]. Dalam QS. Shad: 26: يٰدَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ
خَلِيفَةً فِي ٱلأَرْضِ فَٱحْكُمْ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَق وَلاَ تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ
فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ [28].
Keempat
dasar keagamaan di atas kemudian diduga melebur menjadi satu dalam bingkai
teologi lingkungan yang ”terkesan” antroposentris. Gejala-gejala demikian
nampak ketika dijumpai dalam kehidupan nyata akan perilaku masyarakat yang
tidak mencerminkan perilaku ekologis. Mulai dari eksplorasi alam tanpa batas,
boros energi, pencemaran dan sebagainya. Keyakinan antroposentris inilah yang
sudah saatnya ditafsir ulang dan dibongkar dengan ayat-ayat ekologis. Berikut
ini keempat prinsip dasar tersebut akan dibedah dengan pendekatan tanasubu al-ayat.
Harapannya cara penafsiran atomistik dapat dihindari agar ditemukan maqashid
Tuhan terkait pesan-pesan ekologis.
Pertama, terkait
dengan konsep keistimewaan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.
Konteks kesempurnaan dalam ayat-ayat di atas hanya dipahami sebatas
kesempurnaan fisik. Dan, jaminan kesempurnaan manusia terwujud ketika dimensi
spiritual dan amaliahnya terpenuhi. Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir
al-Qurthubi yang menjelaskan makna sebaik-baiknya bentuk ditafsiri dengan:
وقيل: المراد بالإنسان آدم وذريته. {فِيۤ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ}
وهو اعتداله واستواء شبابه؛ كذا قال عامة المفسرين. وهو أحسن ما يكون؛ لأنه خلق كل
شيء مُنْكَباً على وجهه، وخلقه هو مستوياً، وله لسان ذَلِق، ويد وأصابع يقبض بها. وقال
أبو بكر بن طاهر: مزينا بالعقل، مؤدِّيا للأمر، مَهْديًّا بالتمييز، مديد القامة؛ يتناول
مأكوله بيده[29]
Dengan
demikian maka dimensi non-fisik justru lebih penting yaitu aspek keimanan
(shaleh secara individual) dan aspek amal shalih (shaleh secara sosial).
Tegasnya, manusia berpotensi menjadi lebih rendah ketika dua dimensi tersebut
tidak tertampilkan dalam diri manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam Surat
al-Nahl ayat 97: مَنْ عَمِلَ صَالِحاً من ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Ketika
menafsiri ayat di atas Ibnu Katsir menjelaskan dengan kalimat:
هذا وعد من الله تعالى لمن عمل صالحاً وهو العمل المتابع لكتاب
الله تعالى وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم من ذكر أو أنثى، من بني آدم وقلبه مؤمن بالله
ورسوله، وأن هذا العمل المأمور به مشروع من عند الله بأن يحييه الله حياة طيبة في الدنيا،
وأن يجزيه بأحسن ما عمله في الدار الآخرة، والحياة الطيبة تشمل وجوه الراحة من أي جهة
كانت.[30]
Ayat di
atas menegaskan ada tiga variabel dalam ayat tersebut terkait dengan kehidupan
yang berkualitas. Yaitu: berbuat baik (amal shalih), religiusitas (al-iman)
dan kehidupan yang berkualitas (hayatan thayyibatan). Ketiga variabel
tersebut merupakan mata rantai yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Maka
kehidupan berkualitas baik di dunia maupun di akhirat hanya diperuntukkan bagi
orang yang beriman dan beramal shaleh. al-Qatthan memaknai amal shalih yaitu
amal baik termasuk urusan-urusan kemasyarakat termasuk lingkungan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kesempurnaan fisik manusia ditentukan
kesempurnaan amal shaleh.
Dalam
hubungannya dengan lingkungan alam, kesempurnaan manusia juga tidak menjadi
variabel dominan dalam al-Qur’an. Manusia sejatinya hanya bagian kecil dari
lingkungan alam ini. Keterbatasan kesempurnaan manusia ditegaskan Allah dalam
surat al-Isra’ ayat 37-38: وَلاَ تَمْشِ فِي ٱلأَرْضِ مَرَحاً إِنَّكَ لَن تَخْرِقَ ٱلأَرْضَ
وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ طُولاً * كُلُّ ذٰلِكَ كَانَ سَيئُهُ عِنْدَ رَبكَ مَكْرُوهاً Dan juga terdapat dalam surat
al-’Alaq 6-7: كَلاَّ إِنَّ ٱلإِنسَانَ لَيَطْغَىٰ * أَن رَّآهُ ٱسْتَغْنَى. Dua ayat di atas mengisyaratkan
kepada kita akan keterbatasan dan kekurangsempurnaan manusia terhadap alam ini.
Dan, terkadang manusia juga kelewatan batas dalam mengelola alam ini. Dalam
menafsiri ayat ini al-Qurthubi mengatakan:
{إِنَّكَ
لَن تَخْرِقَ ٱلأَرْضَ} يعني لن تتولّج باطنها فتعلم ما فيها {وَلَن تَبْلُغَ ٱلْجِبَالَ
طُولاً} أي لن تساوي الجبال بطولك ولا تطاولك. ويقال: خرق الثوب أي شقه، وخرق الأرض
قطعها. والخَرْق: الواسع من الأرض. أي لن تخرق الأرض بكبرك ومشيك عليها. {وَلَن تَبْلُغَ
ٱلْجِبَالَ طُولاً} بعظمتك، أي بقدرتك لا تبلغ هذا المبلغ، بل أنت عبد ذليل، محاط بك
من تحتك ومن فوقك، والمحاط محصور ضعيف؛ فلا يليق بك التكبر. والمراد بخرق الأرض هنا
نقبها لا قطعها بالمسافة؛ والله أعلم[31]
Kutipan al-Qurthubi di
atas jelas memposisikan kelemahan manusia di hadapan alam. Bumi dan gunung
adalah bagian dari ekosistem yang tidak boleh dieksploitasi sesuai kemauan dan
kesenangan manusia. Sebab dieksplorasi sekuat apapun, keduanya tidak akan
--dengan penggunaan huruf lan-- mampu ditaklukkan oleh manusia.
Kedua,terkait
dengan ayat-ayat yang mengedepankan keistimewaan akal manusia. Ayat-ayat di
atas juga dituduh sebagai basis antroposentrisme dalam Islam. Benar bahwa akal
adalah anugerah luar biasa yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan akal
manusia diharapkan mampu mengelola alam dan lingkungan dengan baik. Karena
sejatinya penciptaan manusia bermotif pemakmur atau pembangun bumi dan bukan
untuk sebaliknya, merusak bumi ini. Hal ini ditegaskan Allah dalam surat al-Hud
ayat 61: هُوَ أَنشَأَكُمْ منَ ٱلأَرْضِ
وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا. Pesan ekologis dalam ayat di atas pada kalimat: وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا yang berarti memerintahkan manusia
untuk memakmurkan bumi. Dalam hal ini Ibnu Katsir menafsiri ayat di atas
dengan pemahaman dan makna manusia untuk
melaksanakan pembangunan dan mengelola bumi.[32]
Lebih dari itu, menurut
Harun Nasution akal manusia adalah pelengkap wahyu dan panca indera bagi
manusia dalam memahami alam. Akal adalah pembantu wahyu Allah dalam memahami
alam semesta dan lingkungan.[33]
Alquran sendiri tidak menafikan peran pengamatan dan penalaran akal dalam
memahami alam ini.[34]
Namun demikian, dalam banyak variannya al-Qur’an juga mencela manusia ketika
tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik. Penggunaan akal dengan baik dalam
konteks pemeliharaan lingkungan dan alam ini adalah mengetahui yang baik dan
buruk dalam mengelola alam ini. Namun jika akal ini tidak digunakan sebagaimana
mestinya maka posisi manusia sama bakan lebih rendan (hina) dari makhluk yang
bernama binatang.[35]
Alquran
juga banyak menyuruh kerja akal untuk memahami kerusakan lingkungan dan alam.
Refleksi akal sangat ditekankan agar pembangunan di bumi ini berjalan secara
berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Rum ayat 9:
أَوَلَمْ يَسيرُواْ فِي ٱلأَرْضِ فَيَنظُرُواْ كَيْفَ كَانَ
عَاقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ كَانُوۤاْ أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُواْ
ٱلأَرْضَ وَعَمَرُوهَآ أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَآءَتْهُمْ رُسُلُهُم بِٱلْبَينَاتِ
فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَـٰكِن كَانُوۤاْ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ.
Terdapat juga dalam surat
al-Jatsiyah ayat 13:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِي ٱلسَّمَاوَاتِ وَمَا فِي ٱلأَرْضِ
جَمِيعاً منْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ .
Kata-kata
kunci dalam dua ayat di atas adalah فَيَنظُرُوا dan يَتَفَكَّرُونَ yang menunjukkan urgensi akal manusia untuk memelihara alam dan
menghindari dari kerusakan di bumi ini. Ayat di atas juga menegaskan bahwa
manusia sebagai spesies yang berakal dan beragama wajib hukumnya memelihara
lingkungan. Sebab pada kenyataannya manusia meruapakan makhluk lingkungan.
Sehingga hubungan manusia dengan makhluk lain bersifat simbiosis mutual.
Manusia membutuhkan lingkungan (spesies lain) dan sebaliknya, lingkungan
membutuhkan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejatinya Islam
adalah agama yang sangat peduli dengan persoalan pemeliharaan dan pelestarian
lingkungan.
Ketiga, ayat-ayat
berkaitan dengan konsep ”sukhriya” bahwa Allah menciptakan alam dan bumi
hanya untuk manusia. Munculnya mainstream demikian karena memahami
Alquran secara atomistik dan parsial. Jika dilacak lebih jauh, Allah
menciptakan planet bumi dan lingkungan ini tidak hanya diperuntukkan bagi
manusia. Melainkan seluruh makhluk Allah. Sebagaimana termaktub dalam surat
Al-Rahman ayat 10: وَٱلأَرْضَ وَضَعَهَا لِلأَنَام. Kata الأنام dalam ayat ini ditafsiri oleh al-Syinqithi dengan al-khalqu yaitu
semua ciptaan Allah (seluruh spesies), sedangkan menurut al-Qurthubi
makna al-anam adalah كل ما دبّ على وجه الأرض، وهذا عام yaitu merayap yang hidup di atas bumi ini secara umum.
Telaah
lebih dalam lagi, pada ayat-ayat sukhriya adalah dalam kata-kata لَكُمْ bahwa huruf lam di sini
bermakna lam li al-tanfi’ yaitu hak manusia untuk memanfaatkan bumi ini.
Dan, huruf lam tidak atau bukan bermakna lam li al-tamlik atau
hak memiliki bumi. Sebab pada hakikatnya yang memiliki bumi dan alam semesta
ini hanya Allah bukan manusia.
Manusia
sebagai sesama ciptaan Allah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
jaringan besar yang bersifat kompleks dari sistem ekologi alam. Manusia
bernafas dengan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida sehingga
turut menjadi bagian dalam siklus oksigen di alam manusia makan dan membuang
kotoran sisa hasil metabolismenya ke alam, sehingga turut menjadi bagian dari
aliran energi di alam yang sumber utama dari energi matahari.Sebagaiamana
ditegaskan dalam surat al-Ra’du ayat 4: وَفِى ٱلاْرْضِ قِطَعٌ مُّتَجَـٰوِرٰتٌ ayat ini ditafsiri oleh Ibnu Katsir
dengan ungkapan أي أراض يجاور بعضها بعضاً، مع أن هذه طيبة تنبت ما ينفع الناس
وهذه سبخة مالحة لا تنبت شيئاً[36]،. Dalam bahasa yang lebih lugas,
ayat di atas dapat dipahami dan dikatakan bahwa dalam lingkungan hidup terdapat
ekosistem sebagai penyangga kehidupan.
Keempat,
terkait antroposentrisme dalam ayat-ayat manusia sebagai khalifah di
bumi. Secara bahasa khalifah berarti orang yang datang (ada) belakangan
yang menggantikan orang sebelumnya. Dalam hal ini Ibnu Ishaq --sebagaimana
dijelaskan al-Thabari menafsiri khalifah dengan ungkapan: ابن إسحاق: إنـي جاعِلٌ فـي الأرْضِ خَـلِـيفَةً يقول: ساكنا
وعامرا يسكنها ويعمرها خـلقا لـيس منكم. Yakni berperan sebagai penduduk, pembangun bumi ini
menggantikan peran iblis yang sebelumnya telah menempati bumi dan dibinasakan
malaikat dan digantikan dengan Adam.[37]
Dengan demikian jelas manusia sebagai khalifah bukanlah penguasa bumi,
melainkan penerus yang secara fungsional untuk memelihara dan memakmurkan bumi
ini.
Machasin
dalam Aminah dkk menjelaskan secara ringkas khalifah adalah memegang amanat
atau mandat.[38]
Lebih lanjut dijelaskan kekhalifahan berarti berarti manusia menjadi memegang
mandat Tuhan untuk menyelenggarakan kehidupan bertanggung jawab. Hakikat
khalifah menurut al-Maududi ialah manusia bukan pemilik, apalagi penguasa,
segala yang diatas bumi, namun hanya sebagai wakil dari sang pemilik sejati
yaitu Allah.[39]
Sebagai
khalifah, manusia diberi kelebihan dibandingkan dengan ciptaan yang lain.
Kelebihan utamanya adalah adanya kemampuan manusia untuk berfikir atau
kepemilikn akal yang sempurna dibandingkan makhluk alinnya. Allah SWT telah
mengajarkan pada Adam semua nama-nama sesuatu yang tidak diketahui oleh para
malaikat, sehingga malaikat pun bersedia bersujud kepada manusia, atas perintah
Allah SWT, kecuali Iblis yang ingkar terhadap perintah-Nya.[40]
Kelebihan
kedua adalah keberadaan kehendak bebas pada manusia. Dalam berbagai aliran
teologi Islam konsep kebebasan kehendak ini telah menjadi pertentangan sengit
antara kaum Qadariyyah dengan kaum Jabbariyah, di mana yang
pertama mengakui adanya kebebasan kehendak manusia sedangkan yang kedua
menafikannya. Meskipun begitu, Asy’ariyah berusaha mendamaikan dan mengatakan
bahwa manusia mempunyai kebebasan walaupun itu hanyalah suatu hiasan karena
sebenarnya segalanya dari Tuhan. [41]
Bagaimanapun juga, al-Qur’an telah menegaskan manusia diberi kebebasan untuk
beriman atau kafir, dengan masing-masing pilihan mempunyai konsekuensi
tersendiri.[42]
Fazlur Rahman menambahkan, berbeda dengan alam semesta yang secara otomatis
mentaati Allah SWT, manusia dapat memilih untuk taat atau ingkar kepada Allah
SWT.[43]
Ibnu
Arabi --sebagaimana disitir Chittick-- berangkat dari konsep yang sering
disebut dengan konsep wahdat al-wujud, menafsirkan kalimat Allah SWT
mengajarkan Adam semua nama-nama dengan pengertian bahwa manusia adalah
manifestasi paling sempurna dari semua atribut-atribut Allah SWT. Setiap
manusia secara individual dapat merefleksikan diri dari setiap atribut
ke-Tuhan-an. Ciptaan lainnya di alam semesta sendiri hanya mampu mewujudkan
setiap atribut tertentu saja. Karena itulah dalam alam semua ciptaan mempunyai
keadaan yang bertingkat-tingkat sesuai dengan perwujudan atribut yang
dipunyainya. Manusia adalah tingkatan tertinggi karena kemampuannya tersebut.
Manusia walaupun dalam bentuk akhirnya stabil namun labil dalam batinnya
sehingga manusia dapat mencapai berbagai tingkatan sepiritual. Manusia dapat
lebih mulia dari malaikat, namun juga dapat jatuh ke tingkatan yang lebih
rendah dari binatang ternak.[44]
Dalam
pandangan dunia Ibnu Arabi, manusia dan mikrokosmos adalah serupa. Ibnu Arabi
sering menyebutkan denga istilah dunia kecil (mikrokosmos) bagi manusia dan dunia
besar (makrokosmos) bagi alam semesta. Istilah lain juga dipakaianya yaitu
manusia kecil (mikroantropus) dan manusia besar (macroantopus).
Mikrokosmos adalah sebuah kesadaran sedangkan makrokosmos hanyalah suatu
intstrumen pasif dalam kuasa Tuhan. Dalam ilustrasi yang sangat indah, manusia
bagi alam semesta ini adalah ibarat ruh bagi jasad manusia.[45]
Dalam al-Futtuhat al-Makkiyah, sebagaimana dikutip Chittick, Ibnu Arabi
menjelaskan dengan nada jelas :
“Bedakan
dirimu sendiri dari kosmos dan bedakan kosmos dari dirimu. Bedakan yang lahir
dan yang batin, dan yang batin dari yang lahir. Bagi kosmos kalian adalah ruh
kosmos, dan kosmos adalah bentuk lahiriyah kalian. Bentuk ini yang tidak
mempunyai makna apa pun tanpa ruh. Oleh sebab itu, kosmos tidak memiliki arti
tanpa kalian.[46]
Sepenggal
kalimat di atas menegaskan bahwa antara manusia dan alam adalah satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya dilkukiskan ibarat tubuh dan ruh yang saling
melengkapi. Artinya jika ruh dalam tubuh manusia hilang maka rusak tubuh
tersebut yang pada akhirnya akan rusak dan hancur pula jasad tersebut.
Analisa-analisa
di atas akhirnya semakin meneguhkan bahwa sejatinya atroposentrisme tidak
ditemukan apalagi diajarkan dalam Islam. Dalam ekologi Islam, justru
menempatkan manusia secara proporsional. Meskipun manusia mempunyai kelebihan
dibanding makhluk lain, keberadaannya masih menjadi bagian dari lingkungan dan
bukan berada di luar ekosistem. Bahwa lingkungan alam ini diciptakan manusia
bukanlah pandangan keliru. Namun manusia bukanlah pemilik alam ini. Dengan
demikian manusia tidak boleh mengeksploitasi alam dengan seenaknya sendiri.
Semua harus tetap mengacu pada kelestarian dan hak asasi lingkungan dengan tetap
berbasis pada penalaran rasional ekologis manusia sebagai makhluk yang berakal.
Islam
melarang keras paham antroposentrisme dalam pengelolaan lingkungan. Sebab
antroposentrisme sejatinya identik dengan mental orang-orang paganis. Dan
benih-benih antroposentrisme justru lahir dari orang-orang paganistis. Sebab
dalam paham ini manusia meyakini hanya manusia lah yang paling berkuasa. Tidak
ada kekuatan kecuali kekuatan manusia. Akibatnya timbul sikap manusia yang
meremehkan dan merendahkan makhluk lain. Sikap dan mental paganistis yang
antroposentris telah dikecam oleh Alquran dalam surat al-Baqarah ayat 6-12:
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ
أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ. * خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ وَعَلَىٰ
أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عظِيمٌ. * وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلْيَوْمِ
ٱلآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ * يُخَادِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ آمَنُوا وَمَا
يَخْدَعُونَ إِلاَّ أَنْفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ*فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ
ٱللَّهُ مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ* وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي ٱلأَرْضِ قَالُوۤاْ
إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ * أَلاۤ إِنَّهُمْ هُمُ ٱلْمُفْسِدُونَ وَلَـٰكِن لاَّ
يَشْعُرُونَ.
Ayat ini
mengisyaratkan korelasi kuat antara paganis, antroposentis dan kerusakan
lingkungan. Indikator orang-orang pagan adalah keras kepala, keras hati, penuh
kamuflase dan angkuh dalam pengelolaan lingkungan. Mereka selalu berdalih
membangun bumi, padahal sejatinya mereka merusak. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa kerusakan alam yang parah saat ini akarnya bukan pada
antroposentrisme Islam (theogenik), namun pada pola tingkah manusia yang
kelewat batas (antrogenik).[47]
Ekologi Perspektif Islam
Menurut
Chapman, dewasa ini semua agama: Islam, Kristen, Yahudi, Hindhu, Budha, Tao dan
lain-lainnya, sejatinya telah menumbuhkan
kesadaran akan kearifan terhadap lingkungan hidup.[48]
Dari sisi ajaran Islam misalnya, kita mengenal kearifan lingkungan dari
konsep-konsep semisal tauhid, ihsan, syukr, khalifatullah fi-alrdl, amanah,
akhirat, ihsan dan rahmatan li al-’alamin.
Tauhid
merupakan pilar dan pijakan seluruh aktivitas manusia terhadap Tuhan dan alam. Tauhid
dengan demikian mampu memancarkan peran khalifatullah fi al-ardl yang
secara bertanggungjawab mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dengan baik
dan seimbang. Eksplorasi alam ini tentunya sebagai manifestasi rasa syukur dan
wujud belas kasih atau rahmatan li al-’alamin kepada alam lingkungan.
Operasi dan implementasi tauhid, syukur dan khalifatullah dan
sifat ramah lingkungan semuanya merupakan manifestasi sifat amanah dan
sikap ihsan. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan manusia akan
dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat nanti (ini konsep eschathology).[49]
Konsep-konsep di atas merupakan mata rantai aplikatif dan sebagi jawaban bahwa
Islam sejatinya peduli terhadap lingkungan.
Lebih
jauh, dua pemikir muslim modern, Sayyed Hossein Nasr dan Yusuf al-Qaradlawy
juga mengurai konsep ihsan sebagai salah pilar Islam terhadap
pemeliharaan lingkungan. Kata Qaradlawy, ihsan dapat dimaknai dalam dua
pengertian: pertama, melindungi dan menjaga dengan sempurna. Kedua, bermakna
memperhatikan, menyayangi, merawat dan menghormati.[50]
Pandangan Qaradlawy menegaskan bahwa Islam peduli dengan lingkungan. Meski
belum nampak teknik operasional bentuk konservasi lingkungan.
Sayyed
Hossein Nasr juga menilai bahwa konsep ihsan dalam Islam. Menurut Nasr, ihsan
melambangkan the beauty of human soul (keindahan jiwa manusia).
Lebih detail Nasr menjelaskan: ”The person who has realized ihsan is fully
aware of the centrality of the qualities of compassion and love, peace and
beauty in the Islamic spiritual universe and is able to see written on the
Divine Throne. (orang yang sadar akan ihsan sepenuhnya sadar akan
makna penting sifat-sifat belas kasih dan cinta kasih, perdamaian dan keindahan
dalam semesta spiritual Islam dan ia dapat melihat dengan mata batin akan
ayat-ayat yang tertulis di dalam Tahta Ilahi). Nasr juga menguti hadits Qudsi
yang berbunyi: inna rahmatiy taghlibu ghadlbiy (sesungguhnya rahmat-Ku
mengalahkan siksa-Ku).[51]
Pandangan al-Qaradlawi dan Nasr di atas menegaskan bahwa antroposentrisme dalam
Islam sejatinya tidak ada dan tidak diajarkan.
Selanjutnya,
embrio-embrio gagasan ekologis-teologis di atas, meskipun bersifat normatif,
menurut hemat penulis, laik dan saatnya untuk dikembangkan dalam rangka
menciptakan peradaban Islam yang ramah lingkungan. Dengan basis ekologis-normatif
diharapkan lahir para intelektual dan manusia yang berwawasan lingkungan hidup.
Fakta sejarah menampilkan, dengan basis syariah normatif mampu melahirkan
manusia-manusia berkualitas pada abad pertengahan. Inilah yang oleh Nasr Hamid
Abu Zaid diistilahkan dengan hadlarat al-nash (peradaban teks).
Peradaban teks meskipun bernuansa apologis dan romantisisme sejarah, telah
digunakan karakter bangsa Arab yang melalui ’peradaban teks’ yang hanya
berbasis pada dimensi deduktif, platonik dan atomistik, faktanya mampu
berkembang.[52]
Berbeda dengan peradaban Barat yang berdimensi induktif, empirisme dan
penelitian-penelitian ilmiah.
Namun
demikian, peran teks-teks syariah dalam konservasi lingkungan tidak dapat
dinafikan begitu saja. Ia berperan pada penguatan basis-basis intelektual dan
spiritual. Sebab, menurut penulis konservasi lingkungan dan alam yang terlanjur
rusak ini, tidak cukup diselesaikan dengan aktivitas-aktivitas fisik dan
teknologi an sich. Melainkan dimensi yang tidak kalah penting adalah
penguatan dimensi non-fisik yaitu spiritual dan intelektual yang berwawasan
lingkungan hidup. Dengan demikian dekonstruksi tafsir ini diharapkan mampu
memperkuat basis-basis tersebut.
Kesimpulan
Dari
uraian dan analisis di atas dapat diambil kesimpulan-kesimpulan bahwa
antroposentrisme sejatinya lahir bukan dari agama Islam. Pandangan
antroposentrisme muncul disebabkan metode penafsiran yang parsial dan
atomistik. Islam memandang manusia dengan lingkungan alam bersifat simbiosa
mutual dan manusia secara fungsional merupakan makhluk pembangun (khalifah)
yang amanah dan ber-ihsan. Konsep pembangunan Islam bersifat menyeluruh
dan integral dengan tetap mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa konsep ekoteologi Islam adalah membangun bumi
dan manusia dengan prinsip keseimbangan.
Daftar Pustaka
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
PT. Bumi Restu, 1976)
Abdillah, Mujiyono, Agama
Ramah Lingkungan (Jakarta: Paramadina, 2001)
Abdullah, Mudhofir, Jurnal
Ijtihad, dalam “Globalisasi dan krisis ekologi: Upaya konservasi dalam
Perspektif Fikih Lingkungan, (Salatiga: STAIN Salatiga, 2010), vol. 10, Nomor
2.
Aminah,
Wiwin Siti, Haryandi, dan Alfred Benedictus (ed). Sejarah Teologi, dan Etika
Agama-agama. (Dalam Dian Interfidle, Yogyakarta, 2005)
Chapman, Audrey R. Peterson,
et. al. (eds), Consumption, Population and Sustainability: Perspectives from
Science and Religion (Washington DC: Island Press, 2000)
Chittick, William
C., Dunia Imajinal Ibnu’Arabi; Kreativitas Imajinasi dan Persoalan
Diversitas Agama (Surabaya: Risalah Gusti, 2001)
Grim,
John A. Dan Mary Evelyn (ed), Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup (Yogyakarta:
Kanisius, 2003)
Harun, Martin, Kata
Pengantar; Agama Ramah Lingkungan, (Jakarta: Paramadina, 2001)
Katsir, Ibnu, Tafsir
al-Qur’an al-Adzim, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992)
Kuntowijoyo, Paradigma
Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 156.
al-Mawdudi, Abu
’Ala, Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam
(Bandung: Mizan,1994)
Abdillah, Mujiyono, Fikih
Lingkungan; Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan (Yogyakarta: UPP
AMP YKPN, 2005)
Nasr, Sayyed Hossein, The
Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: Harper Collins
Publisher, Inc., 2002)
Nasution, Harun, Akal dan
Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1998)
Nasution,
Harun, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2000)
Purba, Jonny (ed.), Pengelolaan Lingkungan Sosial (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005)
Rahman, Fazlur, Islam, Terj.
Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1996)
Ramussen,Kata Pengantar dalam
Mary Evelyn dan John A. Grim (ed), Agama Filsafat dan
Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius,
2003)
Shabecof,
Philip, A New Name for Peace;
International Environmentalism, Sustanaible Development and Democracy (Hanover:
University Press of New England, 1996)
al-Thabari,
Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (t.t: Muasasah
al-Risalah, 2000)
al-Qaradlawy, Yusuf, Islam
Agama Ramah Lingkungan, terj. Abdullah Hakam Syah dkk. (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2002)
al-Qurthubi, Abu Abdillah
Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari, , Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Fikr al-‘Ilmiyah, 1992)
al-Syathibi, al-Muwafaqat
fi Ushul al-Syari’ah, ed. Khudari Husein, Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr,
1341)
Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan, (Jakarta: Djambatan,
1997)
Zaid, Nasr Hamid Abu, Mafhum
al-Nash; Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Araby,
1994)
Internet
Enviromental
Milestone oleh Wolrdwatch Institute dapat diakses pada alamat: http//www.worldwatch.org/brain/features/timeline/timeline.html.
diunduh pada tanggal 20 Desember 2012.
Press release tentang laporan
UNEP tahun 2002 (GEO 3) dapat dilihat pada alamat :
http//www/grid.enuep.ch/geo/press.html.
[1] Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan
Lampung.
[2]Kerusakan lingkungan di berbagai belahan bumi
telah sampai pada tahapan yang menghawatirkan. Enviromental yang
dikeluarkan Worldwatch Institute (2004), menyebutkan bahwa pada 1999 lubang ozon di atas antartika telah mencapai 25 juta
kilometer persegi. Luas yang hampir sama dengan Amerika Serikat, China dan
India digabung menjadi satu. Lebih lanjut laporan tersebut, dengan mengutip
data PBB tahun 2001, menyebutkan negara-negara tropis telah kehilangan hutannya
lebih dari 15 juta hektar tiap tahunnya. Tahun 2003 disebutkan bahwa 90 persen
ikan-ikan yang bernilai ekonomis telah dibunuh oleh industri perikanan. Di sisi
lain, jurang kesenjangan penguasaan sumber daya alam antara mereka yang mampu
dengan yang tidak semakin menganga lebar. Trcatat dalam laporan unep (2002)
seperlima penduduk dunia menghabiskan 90% dari total konsumsi perorangan
global. Sisanya, yang mencakup sekitar 4 miliyar jiwa, hanya mampu bertahan
dengan tingkat pendapatan antara $ 1 hingga $ 2 setiap harinya. Kurang labih
1,1 milyar penduduk bumi masih kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan 2,4
miliar jiwa kesulitan mengakses sarana sanitasi yang sehat. Kebanyakan dari
mereka tinggal di kawasan Asia dan Afrika. Lihat dalam Enviromental
Milestone oleh Wolrdwatch Institute. Tentang h ini dapat diakses pada alamat:
http//www.worldwatch.org/brain/features/timeline/timeline.html. diunduh pada
tanggal 20 Desember 2012.
[3] Menurut Mujiyono Abdillah, dalam kajian
teologi lingkungan Islam, terkait dengan hubungan manusia dengan alam, paling
tida ada tiga pola hubungan: pancosmisme, antroposentrisme dan holisme. Dari
ketiga paham tersebut terakhir, holisme-lah yang direkomendasikan untuk
ditumbuhkembangkan. Sedangkan yang pertama dan kedua ditinggalkan jauh-jauh.
Lihat dalam Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, Jakarta:
Paramadina, 2001, h. 150.
[4] Menurut Shabecoff, kerusakan lingkungan
merupakan cerminan krisis intelektual dan spiritual. Kaum intelektual Barat
telah melakukan kritik atas filsafat sekuler yang antroposentris yang
memisahkan manusia dari kesakralan alam. Para pengkritik tajam di
antaranya: John Muir, Rosevelt Arne
Naess, Lynn White, Felix Guattari dll. Lihat dalam Philip Shabecoff, A New
Name for Peace; International Environmentalism, Sustanaible Development and
Democracy, Hanover: University Press of New England, 1996, h. 221.
[5] Martin Harun, Kata Pengantar; Agama Ramah
Lingkungan, Jakarta: Paramadina, 2001, h. xv
[6] John A. Grim (ed), Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta:
Kanisius, 2003, h.100
[7] Kata
ekologi pertama kali diperkenalkan sebagai suatu istilah tersendiri oleh Ernest
Hauckel. Kata ini berasal dari istilah Yunani oikos yang bermakna rumah
atau tempat tinggal dan logos yang kerap diartikan sebagai ilmu. Secara
harfiah, kata ilmu sebagai studi tentang organisme-organisme dalam tempat
tinggalnya. Selanjutnya Otto Soemarwoto dengan mengambil kias dari ekonomi,
menyebut ekologi sebagai ilmu tentang rumah tangga mahluk hidup. Oxford
Advenced Learners Dictionary (1995: 367) menyebutkan bahwa ekologi sebagai
suatu studi tentang hubungan antara tumbuhan dan makhluk hidup lainnya antara
satu sama lain dan dengan lingkungannya. Lihat dalam Otto Soemarwoto, Ekologi,
Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
(Jakarta: Djambatan, 1997) h. 22. Lebih jauh Capra menyebutkan
prinsip-prinsip utama dalam ekologi adalah jaringan, siklus, energi, matahari,
kemitraan, keragaman, dan keseimbangan dinamistik. Jaringan dapat ditemukan
pada semua skala alam di mana segala sistem saling berkomunikasi dan berbagi
sumber daya yang ada tanpa memperhatikan batas-batas mereka yang lebih bersifat
sebagai identitas dan bukan sebagai pemisah (Jonny Purba, Pengelolaan
Lingkungan Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 10-12.
[8] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi
Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), h. 156. Selanjutnya Kuntowijoyo
memandang bahwa antroposentrisme merupakan cikal bakal dan refleksi budaya
Barat. Dan, akhirnya menyebar bak ibarat virus ke seluruh dunia termasuk
Indonesia. Lihat uraian lengkapnya pada haman 159-161.
[9] Ibid., h. 162.
[10] Mary Evelyn dan John A. Grim (ed), Agama Filsafat dan
Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius,
2003, h. 217-219.
[11] Ramussen,Kata Pengantar dalam Mary Evelyn dan John A.
Grim (ed), Agama Filsafat dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta:
Kanisius, 2003, h. 220.
[12] Martin Harun, Kata Pengantar Agama Ramah
Lingkungan, dalam Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, Jakarta:
Paramadina, 2001, h. xix-xx.
[13] Mujiyono Abdillah, Fikih Lingkungan;
Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005,
h. 34.
[14]
Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, Jakarta: Paramadina,
2001, h. 11-13.
[15] al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah, ed. Khudari Husein, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, 1341, h. 3
dst.
[16] Artinya: “sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”
[17] Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
[18] Artinya: “Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang. Dalam
bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuh-mu.
[19] Artinya: “Dia menciptakan langit dan bumi
dengan (tujuan) yang benar, Dia membentuk rupamu dan dibaguskan-Nya rupamu itu,
dan hanya kepada-Nya lah kembali (mu).
[20] Artinya: “apakah kamu masih mengharap
mereka akan percaya kepadamu, padah segolongan dari mereka mendengar firman
allah lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka
mengetahui.
[21] Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”.
[22] Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air hujan
dari langit, lalu menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai
rezki untukmu”.
[23] Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala
yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.
[24] Artinya: “dan Dia menundukkan untukmu apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, sebagai rahmat dari-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan
Allah bagi kaum yang berfikir”.
[25] Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin”.
[26] Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang “khifah” di
muka bumi. Mereka berkata: mengapa Engkau hendak menjadikan khifah di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padah kami
senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau”…
[27] Artinya: “dan Dialah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagaian yang
lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa-yang diberikan-Nya
kepadamu.Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
[28] Artinya: “wahai Dawud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu penguasa di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”.
[29] Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari
al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Ilmiyah,
1992, Jilid 8. h. 113.
[30] Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an
al-Adzim, Jilid IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1992, h 516.
[31] al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam al-Qur’an..., juz
5, h. 260.
[32] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Jilid
II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992, h. 548.
[33] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,
Jakarta: UI Press, 1998, h. 23.
[34] Lihat QS al-Nahl ayat 78, al-Dzariyat 49,
al-Ruum ayat 7, al-Anfal ayat 21, al-Hajj ayat 46, al-Ra’du ayat 2, al-Haqqah
ayat 38-39 dan Hud ayat 123.
[35] Lihat QS al-‘Araf ayat 179 dan surat al-Furqan
ayat 44.
[36] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, op. cit., Juz
6, h. 369.
[37] Dalam kitab al-Thabari diurai detail tentang
pengutusan Adam di bumi dalam menggantikan posisi Iblis yang merusak bumi dan
menumpahkan darahnya. Jadi khifah dalam konteks ini dimaknai Adam adalah yang
menggantikan (khifah) datang berikutnya setelah iblis binasa. Lihat dalam
tafsir karya Abu Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, t.t:
Muasasah al-Risalah, 2000, jilid 1, h. 449-450.
[38] Wiwin Siti Aminah, Haryandi, dan Alfred Benedictus (ed). Sejarah
Teologi, dan Etika Agama-agama, Yogyakarta: Dian Interfidle, 2005, h.
164-165.
[39] Abu ’Ala al-Mawdudi, Khilafah dan
Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung:
Mizan,1994, h. 64.
[40] Lihat QS. Al-Baqarah ayat 31-34.
[41] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2000, h. 103-117.
[42] Lihat QS 35: 39.
[43] Fazlu Rahman, Islam, Terj. Ahsin
Muhammad, Bandung: Pustaka, 1996, h. 95.
[44] William C. Chittick, Dunia Imajinal
Ibnu’Arabi; Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama,
Surabaya: Risalah Gusti, 2001, h. 56-57.
[45] Ibid., h. 60
[46] Ibid., h. 61
[47] Lihat lebih detail pada ayat-ayat lainnya yang
menggambarkan bahwa kerusakan lingkungan bumi ini karena ulah tangan manusia.
Banyak ayat yang menjelaskan tema-tema kerusakan lingkungan karena dominasi
manusia atas ala mini. Lihat QS al-Rum: 9, QS al-Rum: 41, QS. Al-Nahl ayat 33,
al-Ankabut: 31 dan QS Hud ayat 117.
[48] Audrey R. Peterson Chapman, et. Al. (eds), Consumption,
Population and Sustainability: Perspectives from Science and Religion (Washington
DC: Island Press, 2000) h. 1
[49] Mudhofir Abdullah, Jurnal Ijtihad, dalam
“Globalisasi dan krisis ekologi: Upaya konservasi dalam Perspektif Fikih
Lingkungan, (Salatiga: STAIN Salatiga, 2010), vol. 10, Nomor 2, h. 160
[50] Yusuf al-Qaradlawy, Islam Agama Ramah
Lingkungan, terj. Abdullah Hakam Syah dkk., Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2002, h. 184
[51] Sayyed
Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, New
York: Harper Collins Publisher, Inc., 2002, h. 236.
[52] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash;
Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Araby, 1994, h.
4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar