Diskursus Munâsabah Al-Qur’an:
Menyoal
Perdebatan Otentisitas Al-Qur’an
Oleh:
Hasani Ahmad Said[1]
Abstrak
Studi kajian terhadap Alquran telah berjalan dalam sejarah yang cukup
panjang. Alquran adalah
wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk
dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia ketika ia diturunkan,
tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Dari ulama klasik hingga
sekarang puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengkaji akan kemukjizatan
Alquran. Bahkan, Alquran sendiri menyatakan dirinya sebagai mukjizat. Tetapi
tidak demikian dengan para ilmuan Barat dan orientalis. Bahkan mereka
mempertanyakan otentisitas Alquran. Salah satu kajian yang menjadi diskursus
perdebatan adalah aspek munâsabah. Maka,
tulisan ini penting untuk didiskusikan dalam rangka menjawab keraguan tersebut.
Kata Kunci: Munâsabah, otentisitas, Alquran.
Pendahuluan
Alquran bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala
hal.[2] Alquran tidak boleh ditonjolkan sebagai
kitab antik yang harus dimitoskan,[3]
karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Alquran dengan realitas
sosial. Alquran di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan
transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya
begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai
Alquran yang dialamatkankan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu.
Karena itu
perlu adanya tafsîr[4]
untuk mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip
kandungan Alquran tersebut.[5]
Alquran dalam tradisi keilmuan Islam, telah melahirkan sederet teks turunan
yang demikian mengagungkan. Teks-teks turunan itu merupakan karya-karya
spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam model dan
metode.[6]
Sejarah perkembangan tafsir tidak terlepas dari corak
penafsiran[7]
yang dihasilkan oleh setiap generasi dalam penggal sejarah tertentu, di mana
dalam menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah Swt. terdapat ekspresi
dan karakter yang impresif. Jangankan pada generasi yang berbeda, generasi yang
samapun, seperti generasi sahabat[8]
sudah memperlihatkan fenomena perselisihan pendapat dalam memahami Alquran.[9]
Para ulama sepakat akan
kemukjizatan Alquran. Namun demikian, ada segelintir orang yang masih menyoal
akan kemukjizatan Alquran. Diantaranya seperti yang diungkap Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î (w. 1297 H./1937 M.),[10]
yaitu Abû Ishâq al-Nadzam (w. 321 H./933 M).[11]
Tokoh dari aliran lain yang mengingkari kemukjizatan Alquran ialah al-Murtadhâ (436 H/1297 M)[12]
dari kalangan Mazhab Syiah yang
sependirian dengan al-Nadzâm.[13]
Quraish Shihab dalam menanggapi kedua tokoh ini, mengatakan bahwa pendapat
keduanya tidak berlandas pada fakta sejarah. Ini terbukti dalam beberapa ayat
menantang untuk mendatangkan teks yang serupa dengan Alquran.[14]
Al-Bâqillânî (w. 403 H.), seorang tokoh mutakallimîn berpendapat
bahwa kenabian Nabi Muhammad Saw. utamanya dibangun atas dasar kemu’jizatan
Alquran meskipun ditemukan mukjizat-mukjizat lainnya selain Alquran.[15]
Jauh setelah
mereka, ternyata tidak sedikit ilmuan yang berusaha mengkaji ulang sejarah
Alquran yang ”seolah-olah” hilang, melalui pendekatan tartîb al-suwar wa
al-âyat, dengan
mempertanyakan kembali perihal kodifikasi Alquran. Ilmuan itu semisal Noldeke, Richard
Bell, dsb. Hal ini tentunya membutuhkan jawaban yang akademik pula, karena
mereka menggunakan pendekatan yang masuk akal.
Konsepsi Munasabah
Louis Ma’luf dalam Qamûs al-Munjid menguraikan
kata munâsabah bahwa secara harfiyah, kata munâsabah, terambil dari kata
nâsaba-yunâsibu-munâsabatan yang berarti dekat (qarîb), dan yang
menyerupai (mitsâl). Al-munâsabah searti dengan al-muqârabah,
yang mengandung arti mendekatkan dan menyesuaikan. Al-Suyûthi juga mengurai
kata munâsabah berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian,
kecocokan dan kepantasan. Kata al-munâsabah, ada sinonim (murâdif)
dengan kata al-muqârabah dan al-musyâkalah, yang masing-masing
berarti kedekatan dan persamaan.[16]
’Ulum al-Qur’an
sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9
Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab ’Ulûm al-Qur’ân yang sangat
berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, karya
Badruddîn al-Zarkâsyi (w.794 H) dan al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, karya
Jalâluddîn al-Suyûthi (w. 911 H). ‘Ilm al-Munâsabah (ilmu tentang keterkaitan antara
satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari ‘Ulûm Al-Qur’ân. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka
menjadikan keseluruhan ayat Alquran sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik).
Sebagaimana tampak dalam salah satu metode Tafsir Ibn Katsir
“al-Qur’ân yufassirû ba’dhuhu ba’dhan”, posisi ayat yang satu adalah
menafsirkan ayat yang lain, maka memahami Alquran harus utuh. Jika tidak, maka
akan masuk dalam model penafsiran yang sepotong-sepotong (atomistik).
Bertitik tolak dari
pendapat bahwa Alquran memiliki kemukjizatan dari setiap dimensinya, dapat
dipahami sebagaimana dipaparkan al-Zarkâsyi bahwa Alquran bukanlah kalam yang
diturunkan[17] secara tidak
sengaja, kebetulan, dan tanpa sasaran dan tujuan tertentu. Dengan demikian,
setiap penggunaan dan susunan kata (lafadz), konstruksi ayat dan surat (munâsabah
bain al-âyât wa al-surah) serta peralihan
tema yang terdapat di dalamnya memiliki kekuatan konsep sebagai suatu kalam
yang utuh dan padu (muttasiqât al-mabânî wa muntadzimât al-ma’ânî ka al-kalimah al-wâhidah).[18]
Dan keseluruhan Alquran sangat memenuhi persyaratan itu, yang terdiri dari 30
juz, 114 surat, hampir 88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf, seperti yang
ditegaskan al-Qurthûbi (w. 641) laksana satu surat yang tidak dapat
dipisah-pisah.[19]
Dengan demikian, satu kesatuan Alquran itu terjadi sama sekali bukan karena
dipaksakan, melainkan bisa dibuktikan melalui hubungan antar bagian demi
bagian.
Historisitas Munâsabah
Lahirnya pengetahuan
tentang korelasi (Munâsabah), berawal dari kenyataan bahwa sistematika
Alquran sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan
pada kronologis turunnya.[20]
Itulah sebabnya
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat di
dalam Alquran. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqîfi
dari Nabi.[21]
Golongan kedua berpendapat bahwa, hal itu didasarkan atas ijtihâdi. [22]
Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat
adalah tauqîfi. Golongan ketiga berpendapat, serupa dengan golongan
pertama, kecuali surat al-Anfâl dan Barâ’ah yang dipandang
bersifat ijtihâdi. Pendapat pertama didukung antara lain oleh al-Qadhi
Abu Bakar, Abu Bakar Ibnu al-Anbari, al-Kirmani dan Ibnu al-Hisar. Pendapat
kedua didukung oleh Malik, al-Qadhi Abu Bakar dan Ibnu al-Faris. Pendapat
ketiga dianut oleh al-Baihâqi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini
adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan suratnya berfariasi.
Atas dasar perbedaan pendapat
tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi Alquran kurang
mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ’Ulûm al-Qur’ân. Ulama
yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut al-Zarkâsyi,
adalah Syaikh Abu Bakr Abdullah Ibn al-Naisabûri (w. 324 H.),[23]
kemudian diikuti ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Zubair dalam kitab Tartîb
al-Suwar al-Qur’ân, Syaikh Burhanuddin al-Biqâ’i dengan bukunya Nadzm
al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa al-Suwar, dan Al-Suyûthi dalam kitab Asrâr
al-Tartîb al-Qur’ân. Quraish Shihab belakangan menambahkan Muhammad ‘Abduh,
Rasyid Ridha, Muhammad Syalthut dan sebagainya membahas persolan ini dalam
tafsirnya.[24]
Mengungkap
Diskursus Munâsabah al-Qur’ân
Perdebatan
akademik yang mengemuka adalah para ulama berbeda pendapat dalam menentukan
keberadaan tartîb al-mushhaf. Apakah dasar penyusunannya atas ijtihad
para sahabat (ijtihâdî), kalau demikian adanya munâsabah itu penting atau berdasarkan penyusunannya berdasarkan
perintah, pengajaran, rumus, isyarat dan petunjuk Nabi Saw (tauqîfî).
Kalau tauqîfi,
maka tidak perlu adanya munasabah karena peristiwa yang terjadi saling
berlainan, Alquran juga diturunkan dan diberi hikmah secara tauqîfî
dengan kata lain Alquran turun atas petunjuk dan kehendak Allah. Kemudian dalam
penelitian selanjutnya lebih dipertajam melalui kerangka penting tidaknya munâsabah dalam ranah metodologi
penafsiran.
Pendapat
pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa surat-surat Alquran disusun
berdasarkan tauqîfî. Sudah merupakan kepastian dari Rasulullah membaca
berbagai surat menurut susunan ayatnya masing-masing di dalam shalat, atau pada
khutbah jumat, disaksikan para sahabatnya. Kenyataan itupun merupakan bukti
terang yang menyatakan bahwa susunan dan urutan ayat-ayatnya memang sesuai
dengan kehendak dan petunjuk dari Nabi sendiri. Maka, dalam mendukung pendapat
pertama, ha ini tidak mungkin apabila sahabat nabi menyusun urutan ayat-ayat
yang berbeda dengan bacaan Rasulullah Saw. Hal itu merupakan kepastian yang
tidak dapat diragukan kebenarannya (mutawâtir).[25]
Susunan dan urutan
suratpun berdasarkan kehendak dan petunjuk Rasulullah Saw. Sebagaimana
diketahui, Rasulullah hafal semua ayat dan surat Alquran. Bisa jadi, kita tidak
mempunyai bukti yang menyatakan sebaliknya. Atau dalam bahasa lain, tidaklah
masuk akal yang menyatakan, urutan surat Alquran di susun oleh beberapa orang
sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka sendiri. Dan lebih tidak masuk akal lagi
kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa beberapa surat disusun urutannya
berdasarkan ijtihad para sahabat dan beberapa surat lainnya disusun urutannya
menurut kehendak dan petunjuk rasulullah saw. Pelopor pendapat ini adalah Abû Ja`far
ibn Nuhâs (w. 338 H.), al-Kirmânî, Ibn al-Hashar (w. 611 H), Abû Bakr
al-Anbārî (271-328 H) dan al-Bagawî (w. 286 H). Abū Ja`far
ibn Nuhâs Seperti yang dikutip al-Zarkasyî,[26]
berpendapat bahwa penyusunan surat yang ada pada mushaf berasal dari
Nabi Saw berdasarkan hadis sebagai berikut:
حدثنا عمران القطان عن قتادة عن أبى المليح الهذلي عن واثلة بن الأسقع أن النبي صلى الله عليه وسلم قال أعطيت مكان التوراة السبع الطوال وأعطيت مكان الزبور المئين وأعطيت مكان الإنجيل المثانى وفضلت بالمفصل ( رواه أحمد)[27]
Artinya:
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Saya diberikan tempat Taurat dalam al-Sab’a
al-Thuwâl,
tempat Injil dalam surat al-Miûn, tempat Zabûr
dalam surat al-Matsânî dan diberikan keutamaan dalam surat al-Mufashshal.
(H.R. Ahmad).
Hadis tersebut
menurut Abû Ja`far ibn Nuhas menunjukkan bahwa penyusunan Alquran
berasal dari Nabi Saw dan kegiatan ini berlangsung ketika Nabi masih hidup, dan
sementara pengumpulan Alquran dalam satu mushaf adalah berdasarkan
petunjuk yang sama. Al-Kirmânî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,[28]
berpendapat bahwa susunan surat seperti dalam mushaf berasal dari Allah
yang tertulis di lauh al-mahfûzd. Setiap tahunnya Jibril memeriksa seluruh
ayat yang telah diturunkan, dan pada tahun wafatnya Rasulullah, Jibril
memeriksa ayat-ayat dan susunan suratnya dua kali. Abû Bakr
al-Anbârî, seperti yang dikutip al-Zarkasyî,[29]
berpendapat bahwa Jibril memberi petunjuk pada Nabi Muhammad tentang tempat
ayat dan surat. Penyusunan surat sama halnya dengan penyusunan ayat dan huruf
yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. Maka, menurutnya, siapa yang mengakhirkan atau
mendahulukan susunannya maka ia telah merusak nazdm
al-Qur’ân.
Dari
pendapat di atas, bahwa Rasulullah mempunyai peranan dominan dalam penentuan
dan penyusunan ayat dan surat. Bukti
lain misalnya, semasa hidup Rasulullah banyak surat telah diketahui susunan dan
urutannya, seperti tujuh surat yang panjang-panjang (al-sab’ al-Thiwâl), surat-surat yang berawalan hâ mîm (al-hawâmîm),
dan surat-surat mufashshal, sehingga susunan berdasarkan kehendak dan
petunjuk Rasulullah jauh lebih besar, dan yang berdasarkan ijtihad amat
sedidkit.
Ibn
al-Hashar,
seperti yang dikutip oleh al-Zarkâsyî,[30]
berpendapat bahwa penyusunan surat dan penempatan ayat berdasarkan wahyu,
Rasulullah Saw memerintahkan untuk menempatkan ayat pada tempat yang telah
ditentukannya dan ini menimbulkan keyakinan bahwa penyusunannya berdasarkan
penukilan mutawatir dari bacaan Rasulullah Saw. dan ijma’ para Sahabat mengenai
penyusunannya di dalam mushaf.
Al-Bagawî
dalam Syarh al-Sunnah berpendapat bahwa para Sahabat menulis ayat-ayat
Alquran seperti yang mereka dengar dari Rasulullah Saw. tanpa mendahulukan atau
mengakhirkan atau mereka tidak menyusun yang bukan berdasarkan petunjuk
Rasulullah Saw., dan susunan tersebut tidak ada yang ditambah atau dikurangi.
Rasulullah Saw. mengajarkan susunan surat seperti yang terdapat pada mushaf sekarang
ini. Tugas para Sahabat hanya mengumpulkan dalam satu tempat, bukan menetapkan
susunan suratnya. Karena Alquran ditulis di lauh al-mahfûdz
dan susunannya sama seperti dalam mushaf dan
diturunkan sekaligus ke langit dunia dan kemudian diturunkan secara berangsur
sesuai dengan kebutuhan.[31]
Dalam
analisa al-Zarkâsyi,
perbedaan itu bersumber dari lafadz. Satu pihak bilang bahwa urutan Alquran itu
disusun berdasar kehendak dan petunjuk Rasulullah, sedang pihak lain
berpendapat bahwa urutan surat disusun berdasar pada ijtihad para sahabat
sendiri. Sebagaimana al-Zarkâsyi
mengutip pendapat Imam Mâlik
sebagai berikut: “Mereka menyusun urutan Alquran menurut apa yang mereka dengar
sendiri dari Rasulullah Saw, tetapi Imam Mâlik
juga mengatakan: bahwa urutan surat-surat Alquran disusun atas dasar ijtihad
mereka sendiri. Jadi masalah perbedaan itu, kembali kepada apakah kehendak dan
petunjuk Rasululah mengenai urutan surat itu berupa ucapan atau hanya praktek
semata-mata.[32]
Namun
demikian, nampaknya telah jelas bahwa urutan surat itu berdasarkan bimbingan
dari Rasulullah Saw. (tauqîfî). Sebab,
ijtihad para sahabat itu hanya dilakukan bagi penyusun mushaf milik pribadi.
Memang mereka lakukan dengan kemauan sendiri, tetapi mereka tidak pernah
berusaha mengharuskan orang lain mengikuti jejaknya atau mengharamkan
perbuatan orang lain yang tidak sesuai dengan perbuatan mereka. Begitu juga,
tidak dicatatkan ayat-ayat untuk orang lain, tetapi semata untuk mereka
pribadi. Karena itu, ketika umat Islam sepakat bulat menerima susunan Alquran
yang dilakukan oleh khalifah ‘Utsman bin ‘Affân, secara serentak mereka tinggalkan catatan
mushaf masing-masing. Di sini mulai ada titik terang, yakni kalau mereka yakin
bahwa penyusunannya berdasarkan pada ijtihad mereka, terserah kemauan mereka
sendiri, tentulah mereka akan tetap berpegang pada susunan menurut catatan
mereke masing-masing, dan mereka tidak akan mau menerima urutan yang disusun
oleh ‘Utsman bin ‘Affân.
Pendapat
kedua yang menyatakan susunan dan tartib surat didasarkan atas ijtihâdi.[33] Ada beberapa persepsi yang berdasarkan hal
bahasan ini. Pertama, mushaf pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua,
sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat yang
terdapat dalam Alquran. Dan ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai
tertib surat ini menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang
dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa tertib surah sebagai ijtihadi tampak
tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran
berbeda dengan tertib mushâf yang sekarang dan adanya tentang catatan mushâf
sahabat yang berbeda bukanlah mutawâtir. Tartib mushâf sekarang berdasarakan riwayat mutawatir.
Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf
itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu, kemungkinan
tidak utuhnya tertib mushaf Alquran sahabat sangat besar. Para sahabat setelah
mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqîfi.
Ulama yang mendukung pendapat kedua ini antara lain Imâm Mâlik, Abu bakr
al-Thib al-baqillânî, al-Zarkâsyi dan al-Suyûthi.
Al-Zarkâsyi[34] mengutip pendapat Imam Mâlik mengatakan
bahwa para sahabat menyusun Alquran itu berdasarkan apa yang mereka dengar dan
lihatdari Nabi, sedang susunan dalam penyusunan surat Alquran, mereka lebih
mengedeankan atas ijtihad mereka sendiri. Rajab Farjani sebagaimana dikutip
dalam buku Sejarah dan Ulûm al-Qur’ân dikatakan bahwa tidak pernah ditemukan
riwayat nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu.[35] Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab
Farjani: “Sesungguhnya Rasulullah Saw., memerintahkan menulis Alquran, akan
tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang
menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu, ada perbedaan model-model
penulisan Alquran dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal
Alquran sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau menguranginya,
karena mereka tahu bahwa itu merupakan hanya cara. Karena itu dibenarkan
menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau ke dalam pola-pola
baru.[36]
Fauzul Iman[37] mengutip ‘Izzuddîn (w. 660)
berpendapat bahwa tidak semua susunan surat dan ayat dalam Alquran mengandung
munasabah. Kalaupun ada kesesuaian antara ayat dan surat, dengan criteria
adanya hubungan antara kalimat dalam kesatuan pada bagian awal dan bagian
akhir. Sekianya tidak memenuhi criteria itu, maka dianggap sebagai pemaksaan (takalluf)
dan hal itu tidak disebut dengan munasabah.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti
pola penulisan Alquran versi Mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada
yang mengatakan wajib, dengan alas an bahwa pola tersebut sesuai petunjuk dari
Nabi (tauqîfî). Pola itu, terus dipertahankan walupun
menyalahi pola aturan rasm Utsmani yang telah baku. Bahkan Imam Ahmad ibn
Hanbal dan Imam Hakim sebagaimana dikutip Farjani mengharamkan menulis Alquran
menyalahi dari Rasm ‘Utsmani. Bagaimapun, dalam rentang sejrah yang cukup
panjang, rasm ‘Utsmani sudah merupakan kesepkatan mayorits ulama.[38]
Bagi ulama yang tidak mengakui rasm
‘Utsmani sebagai rasm tauqîfi, berpendapat
bahwa tidak ada masalah jika Alquran ditulis menggunkan pola penulisan setandar
(rasm amlâ’î). Demikian al-Sa’id mengatakan.[39] Pada sisi ini, terlihat pandangan moderat.
Sehingga, bisa diambil pemahaman bahwa soal penulisan diserahkan kepada
pembaca. Kalau pembaca lebih merasa mudah dengan penulisan setandar (rasm
amlâ’î), maka ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena penulisan itu hanya symbol pembacaan, dan tidak memengaruhi
makna Alquran.
Bahkan, ada pendapat yang ketiga
yang mengatakan, serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfâl
dan Barâ’ah yang dipandang bersifat ijtihâdi. Dan salah satu
penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan
suratnya berfariasi. Pendukung pendapat ketiga ini di antaranya: al-Qâdhî al-Qâdî Abû Muhammad ibn `Athiyyah, al-Baihaqî dan Ibn Hajar al-`Asqalānî
(773-852H).[40]
Pendapat Al-Baihaqî terlihat dalam karyanya al-Madkhal, ia berpendapat bahwa Alquran pada masa Nabi telah tersusun
surat-surat dan ayat-ayatnya seperti susunan yang ada pada mushhaf kecuali
surat al-Anfâl dan Barâ’ah.[41]
Dalam
rangka menguatkan pendapat ketiga ini, nampaknya perlu penulis kemukakan
bagaimana perjalanan sejarah pemeliharaan Alquran. Paling tidak ada lima
tahapan.[42]
Pertama, tahap pencatatan di masa Nabi,[43]
kedua, tahap penghimpunan di masa Abu Bakar,[44]
ketiga tahap penggandaan di masa Utsman bin ‘Affan,[45]
keempat tahap pencetakan,[46]
dan kelima, tahap pengajaran di berbagai dunia Islam.
Berkaitan
dengan pendapat ketiga yang menegaskan bahwa susunan Alquran itu bersifat tauqîfî dengan pengecualian
surat al-Anfâl dan Barâ’ah, dalam analisa penulis dengan membaca
realitas dalam sejarah ternyata pada masa Abu bakar ketika sudah terbentu panitia
penghimpunan Alquran, ternyata terungkap bahwa Zaid bin Tsabit dan kawan-kawan
panitia lainnya tidak memiliki catatan dua ayat terakhir dari surat al-taubah.
keterangan ini bisa ditelaah dari hadis yang menyangkut penghimpunan Alquran
pada masa Khalifah Abu Bakar al-Shidiq yang di riwayat al-Bukhari di bawah ini:
عن عبيد بن السا بق أن زيد بن ثابت رضي الله قال أرسل الي أبو بكر مقتل أهل اليمامة فاذا عمر بن الخطاب عنده قال أبو بكر رضي الله ان عمر أتاني
فقال: أن القتل قد استحر يوم القيامة بقراء القران واني أخشى أن يستحر القتل بالقراء
بالمواطن فيذهب كثير من القران واني أرى أن تؤمر بجمع القران، قلت لعمر كيف تفعل شيئا
لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قال عمر هذا والله خير، فلم يزل عمر يراجعني
حتى شرح الله صدري لذالك ورأيت في ذالك الذي رأى عمر، قال زيد قال أبو بكر: انك رجل
شاب عاقل لا نتهمك وقد كنت تكتب الوحي لرسول الله صلى الله عليه وسلم فتتبع القران
فاجمعه فو الله لو كلفوني نقل جبل من الجبال
ما كان أثقل على مما أمرني به من جمع القران قلت كيف تفعلون شيأ لم يفعله رسول الله
صلى الله عليه وسلم؟ قال هو والله خير فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي
شرح له صدر أبي بكر و عمر رضي الله عنهما، فتتبعت القران اجمعه من العسب وللخاق وصدور
الرجال حتى وجدت آخر سورة التوبة مع أبي حزيمة الأنصارى لم أجدها مع أخذ غيره: لقد
جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حتى خاتمة براءة، فكانت الصحف عند أبي بكر
حتى توفاه الله، ثم عند عمر حياته، ثم عند حفصة بنت عمر رضي الله عنه (رواه البخاري).
Artinya:
Dari Ubaid bin al-Sabbaq RA, sesungguhnya Zaid bin Tsabit RA, berkata: telah
dating Abu Bakar kepadaku, di medang ahli yamamah. Ketika itu Umar berada di
sampingnya. Kemudian Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar mendatangiku,
kemudian ia berkata: “sesungguhnya peperangan pada hari yamamah ini benar-benar
amat (dahsyat) dengan (gugurnya) para qurra pembaca) Alquran, dan sesungguhnya
aku khawatir akan (terjadi lagi) peperangan dahsyat dengan (gugurnya) para
qurra’ di beberapa medan perang (lainnya), sehingga banyak ayat-ayat yang
hilang (karenya). Dan sesungguhnya aku berpandangan untuk mengusulkan kepadamu
supaya mengumpulkan Alquran”. Abu Bakar bertanya kepada Umar: mengapa engkau
melakukan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah Saw,? Umar
menjawab: “Demi Allah! Ini adalah perbuatan baik”. Maka tidak henti-hentinya
Umar menjumpai (mendesak) aku sampai Allah melapangkan hati aku untuk
(menerima) yang demikian itu. Dan aku berpendapat yang demikian itu sebagaimana
pendapat Umar.” Zaid berkata: Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya kamu (Zaid)
adalah seorang pemuda yang cerdas, kami tidak menuduhmu berprasangka buruk
kepadamu, dan sesungguhnya kamu adalah penulis wahyu Alquran
untuk Rasulullah Saw., maka pelajarilah Alquran, kemudia kumpulkan. Kemudian
Zaid berkata: demi Allah seandainya mereka membebani aku untuk emindahkan
gunung dari beberapa gunung, tidaklah lebih berat bagiku daripada yang
diperintahkan Abu Bakar kepadaku untuk mengumpulkan Alquran”. Aku menanyakan
kepada Abu Bakar: “mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan
Rasulullah Saw.,?” Abu Bakar menjawab: “demi Allah itu adalah perbuatan baik.
Maka Abu Bakar tidak henti-hentinya berulangkali mendesak aku sampai Allah
melapangkan hatiku sebagaimana Allah melapangkan hati Abu Bakar RA dan Umar RA,
maka aku mempelajari Alquran dan mengumpulkan dari pelepah kurmadan batu-batu
serta hafalan para sahabat, sampai aku mendapatkan catatan akhir surat
al-Taubah pada Abi Huzaimah al-Anshâri, aku
tidak menemukannya pada seorangpun selain dia, yaitu ayat:
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB öNà6Å¡àÿRr& îÍtã Ïmøn=tã $tB óOGÏYtã .... (براءة / التوبة (9): 128-129)
Maka
adalah suhuf itu di simpan oleh Abu bakar sampai dia wafat, dan kemudian pada
Umar ibn al-Khattâb selama masa hayatnya, dan kemudian di simpan oleh
Hafsah binti Umar RA. (H.R. al-Bukhari).
Berdasarkan
riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah bahwa yang pertama kali mempunyai
gagasan brilian untuk mengumpulkan Alquran adalah Umar bin Khattab, walaupun
pada awalnya gagasan ini langsung ditolak oleh Abu Bakar. Dan tercatat pula
bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan dan menulis Alquran adalah Zaid bin
Tsabit atas komando dari Abu Bakar.
Kemudian,
realitas atas hilangnya dua ayat terakhir pada surah Bara’ah ternyata
mengundang banyak persepsi baik dari kalangan ilmuan Timur maupun barat.
Misalnya, celah kekurangan dan kekeliruan ini dijadikan sasaran kritik
orientalis untuk mengaburkan otentisitas[47]
Alquran. Kendali sudah langsung di jawab oleh riwayat di atas, yakni setelah
telah diupayakan penulisan dua ayat yang hilang, ternyata Hudzaifah memiliki
dua catatan tersebut.
Pandangan
Ilmuan tentang Munâsabah
Diskursus penting tafsir Alquran
muslim modern[48]
dalam konteks relevansi untuk kajian munâsabah dalam Alquran di dunia
muslim kontemporer, mengemuka setelah selesainya penulisan disertasi di School
Oriental and African Studies (SOAS) pada tahun 2006, yang telah mencoba
menerapkan munâsabah dengan pendekatan bahasa untuk menafsirkan Alquran.
Disertasi ini ditulis oleh Salwa M.S. El-Awa yang bertajuk Textual Relation
in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, yang kemudian
diterbitkan oleh Routledge, New York, tahun 2006.[49]
Dalam disertasinya, Salwa, mengadopsi sebuah metodologi baru dalam rangka
membaca teks Alquran. Ia menggunakan teori-teori relevansi linguistik dalam
membahas dan menganalisis relasi-relasi yang kompleks dalam surat-surat
Alquran. Disertasi ini menunjukkan dengan jelas, ketidaksambungan tema dengan
surat-surat Alquran yang panjang. Dan konteks serta struktur Alquran agar dapat
dibaca ulang dan dijelaskan dengan metodologi kontemporer. Hal ini dimaksudkan,
dalam rangka membantu para pembaca Alquran agar menggunakan metode ini dalam
menciptakan proses kognisi pada makna yang diciptakan. Salwa, dalam kesimpulan
akhirnya menganggap bahwa area kajian relasi teks (munâsabah) masih
belum jelas (abu-abu).[50]
Richard Bell dalam tulisannya yang
kemudian di revisi oleh W. Montgomery Watt dalam Bell’s Introduction To The
Qur’ân, mengatakan:
“Whatever view is taken of the
collection and compilation of the Qur’an, the possibility remains that parts of
it may have been lost. If, as tradition states, Zaid in collecting the Qur’ân
was dependent an chance writings and human memories, parts may easily have been
forgotten. Yet conjunction of apparently unrelated verses st certain points in
the Qur’ân suggests that the editors preserved absolutely everything they came
across which thay had reason to believe had once been part of the Qur’ân”.[51]
“Pandangan apapun yang diambil mengenai
pengumpulan dan penyusunan Quran, kemungkinannya tetap ada bahwa beberapa
bagian dari Quran mungkin hilang. Kalau seperti yang dinyatakan oleh Hadis,
Zaid dalam mengumpulkan Quran tergantung pada penulisan secara kebetulan dan
ingatan manusia, dengan mudah atau bagian-bagiannya terlupakan. Namun, gabungan
ayat-ayat yang tampaknya tidak berhubungan di beberapa tempat dalam Quran
mengisyaratkan bahwa para penyunting mempertahankan dengan mutlak semua yang
mereka temukan dan yang beralasan untuk diyakini bahwa itu dulunya merupakan
bagian dari Quran”.
Tuntutan bagi terjadinya Alquran
yang shâlih likulli zaman wa makân, Quraish Shihab
mengistilahkan dengan “membumikan Alquran”.
Dalam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid dikenal tekstualitas Alquran (mafhûm
al-nash) atau meminjam Syahrur “al-qirâ’ah al-mu’âshirah” (pembacaan
dengan cara baru) mulai timbul ketika adanya kesenjangan di antara keadaan,
hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat, sempitnya terhadap pemahaman Alquran,
dan lain-lain. Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang
sedemikian rupa, maka tuntutan perubahan yang mengupayakan membaca ulang teks
semakin mendesak. Membumikan Alquran merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai
kitab suci terakhir, Alquran menerobos perkembangan zaman, melintasi
batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik.
Karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia. Di mana
terdapat kemaslahatan di situ ditemukan tuntunan Alquran dan di mana terdapat
tuntunan Alquran, di situ terdapat kemaslahatan. Membumikan Alquran
sesungguhnya tidak lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di
dalam masyarakat agar nilai-nilai Alquran hidup dan dipertahankan sebagai
faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan nilai-nilai Alquran
sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-nilai lokal dan
universal di dalamnya. Asas pembumian Alquran mempunya tiga perinsip,[52]
yaitu: 1) meniadakan kesulitan (‘adam al-haraj), 2) pembatasan beban (taqlîl
al-taklîf), dan 3) penetapan hukum secara berangsur-angsur (al-tadrîj fi
at-tasyrî’). Keberangsuran ini membuktikan adanya proses dialogis dan
dialektis antara Alquran dan realitas sosial. Hal ini juga
memberikan legitimasi psikologis dan sosiologis untuk penerapan strategi
bertahap dalam proses pembumian Alquran. Dengan demikian, proses pembumian
Alquran harus dipandang sebagai proses berkelanjutan, pergumulan yang
tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan umat manusia.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa
urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu
urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu.[53]
Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam mushaf,
apakah itu tauqîfî atau ijtihâdi (pengurutannya berdasarkan
ijtihad penyusun mushaf). Nasr Hamid Abû Zaid,[54]
wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam
mushaf sebagai tauqîfi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai
dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh al-mahfûdz.
Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan” merupakan perbedaan yang
terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan
“persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda,
sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz.[55]
Secara sepintas jika diamati
urut-urutan teks dalam Alquran mengesankan Alquran memberikan informasi yang
tidak sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan
pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh
Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang
merupakan bagian dari I’jâz Al-Qur’ân, aspek kesusasteraan dan gaya
bahasa.[56]
Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual Alquran, salah
satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm al-munâsabah. Keseluruhan
teks dalam Alquran, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling
terkait. Keseluruhan teks Alquran menghasilkan pandangan dunia (weltanschauung)
yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan Alquran sebagai kitab
petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan
mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahman
menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami
pokok-pokok keterpaduan Alquran, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga
dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara
terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini
adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau
didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.[57]
Fazlur Rahman Tampaknya dipengaruhi
oleh al-Syâthibi (w. 1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam
bukunya al-Muwâfaqat,[58]
tentang betapa mendesak dan masuk akalnya untuk memahami Alquran sebagai suatu
ajaran yang padu dan kohesif. Dari sisi ini,
maka yang bernilai mutlak dalam Alquran adalah prinsip-prinsip umumnya (ushûl
al-kulliyah) bukan bagian-bagiannya. Bagian-bagian Alquran adalah respon
spontanitas atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem
solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus
direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu
diambil inti sarinya (hikmah al-tasyrî’) sebagai pedoman normatif (idea
moral), dan idea moral Alquran itu kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab
problem-problem kekinian.
Pembacaan
Alquran Holistik
Tentu untuk melakukan pembacaan holistik
terhadap Alquran tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai.
Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufasir klasik
menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh,
komprehensif, dan holistik. ‘Ilm al-munâsabah sebenarnya memberi langkah
strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qirâ’ah
al-mu’âshirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan”
antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan
metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm
munâsabah.
Lebih jelasnya, satu contoh munâsabah
upaya kontekstualisasi penafsiran yang diambil dari percikakan pemikiran
al-Zarkasyî. Di
sini akan dibahas mengenai pertautan antar ayat. Dalam hal ini ada 3 analisa
yang diberikan oleh al-Zarkasyî, bahwa ayat memiliki munâsabah. Pertama,
terdapat kalimat bersambung (ma’thûfah), kedua, sisipan (istithrâd),
dan ketiga perumpamaan (tamtsîl).[59]
Dalam menjelaskan analisa pertama dan kedua, al-Zarkasyî memberikan 3 ayat dari
dua surah yang berbeda yaitu Q.S. al-Hadîd (57): 4, Q.S. al-Baqarah (2): 245
dan 189.
ÞOn=÷èt $tB ßkÎ=t Îû ÇÚöF{$# $tBur ßlãøs $pk÷]ÏB $tBur ãAÍ\t z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# $tBur ßlã÷èt $pkÏù ( ...
”...Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di
mana saja kamu berada...”
ª!$#ur âÙÎ6ø)t äÝ+Áö6tur Ïmøs9Î)ur cqãèy_öè? ÇËÍÎÈ
”...Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan”.
* tRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øs9ur É9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß ...
”Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda (penunjuk) waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah
kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya...”
Pada dua
ayat contoh di atas (Q.S. al-Hadîd: 4 dan al-Baqarah:
245), terdapat huruf ’athaf yang kedua-duanya saling beriringan. Selain
beriringan, Al-Zarkasyi menyebutkan adakalanya munâsabah
antarayat yang menggunakan indikasi ’athaf tetapi menunjukkan
saling bertentangan (al-madhâddah). Misalnya menyebut
rahmat Allah setelah adzab, menyebut hal yang disenangi setelah yang dibenci,
menyebut janji dan ancaman setelah ketetapan hukum.[60]
Selanjutnya,
al-Zarkasyî dalam menjelaskan
analisa kedua, menggunakan Q.S. 2: 189, sisipan (istithrâd) dalam
ayat ini dalam penjelasannya adalah ketika disebutkan mengenai waktu haji,
dalam ayat yang sama disebutkan pula mengenai kebiasaan orang-orang Arab ketika
mereka berada di musim haji. Jadi, kalau ditelaah lebih
jauh, ada satu pertanyaan, kemudian dijawab dengan dua jawaban dalam satu ayat.
Hal ini sama misalnya dengan pertanyaan mengenai air laut, kemudian dijawab
oleh Nabi bahwa air laut itu suci dan halal bangkainya.[61]
Contoh
model tearkhir adalah perumpamaan (tamtsîl), ayat yang dijadikan
penguat oleh al-Zarkasyî dalam menerangkan model
ketiga ini adalah Q.S. al-Isrâ (17): 1-3 dan 7-8. Sekilas ayat satu sampai tiga
terkesan tidak ada relevansinya, bahkan mungkin dianggap tidak logis. Ayat
pertama bercerita tentang isra’ mi’raj, ayat kedua tentang nabi Musa dan ayat
ketiga tentang nabi Nuh. Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, pada
hakikatnya antara ayat satu dengan yang lainnya memiliki kesatuan ide yang
tisak terpisahkan. Meskipun terjadi peralihan ide dari ayat satu yang berbicara
tentang isrâ’ ke ayat kedua yang membicarakan pemberian kitab
kepada Musa. Namun demikian, munâsabah
keduanya bisa ditemukan dari cerita kedua kisah itu yang menunjukkan
kemahakuasaan Allah bagi hambanya yang bisa jadi sukar dicerna oleh akal
manusia. Dengan kuasa-Nya mengetahui kisah-kisah orang musyrik terdahulu,
sementara umat Nabi Muhammad tidak mengetahuinya, seperti halnya kisah Nabi
Musa. Adapaun keterkaitan dengan ayat berikutnya yakni Nabi Nuh, karena
keturunan bani Israil sebagai cucu nabi Nuh. Dan dari keterkaitan dengan Nuh
itulah bani Israil masih ada sampai sekarang, karena Nuh dan pengikutnya pernah
diselamatkan oleh Allah dari bencana banjir yang menimpa kaum Nuh ketika itu.
Dengan hal tersebut mereka diperintahkan untuk bersyukur, seperti yang di
sandangkan kepada Nuh sebagai hamba yang bersyukur (’abdan syakûrâ) pada akhir ayat ketiga. Selang tiga ayat kemudian Allah
tuturkan dengan bahasa yang indah ”jika kamu berbuat baik (berarti) kamu
berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian
kejahatanmu) untuk dirimu sendiri”. Ayat berikutnya melanjutkan ”mudah-mudahan
Tuhan kamu melimpahkan rahmat kepadamu, tetapi jika kamu melakukan kejahatan,
niscaya kami kembali (mengadzabmu). Setelah panjang lebar menceritakan
kisah dan pesan di atas, ayat berikutnya kembali mengalihkan pembahasan kepada
hikmah diturunkannya Alquran, karena sesungguhnya Alquran merupakan tanda
kebesaran Allah yang agung.[62]
Dari beberapa contoh
yang diketengahkan di atas, terlihat bahwa al-Zarkasyi memiliki kepekaan
sekaligus kelihaian membuat korelasi antara satu ayat dengan ayat berikutnya.
Ini semakin menguatkan bahwa Alquran memiliki hubungan yang sangat erat antara
yang satu dengan yang lainnya.
Dari perdebatan akademik tentang munâsabah yang diperbincangkan di atas, secara garis
besar dapat dipetakan menjadi dua aliran.[63]
Pertama, pihak yang menyatakan bahwa memastikan adanya pertalian erat
antara surat dengan surat dan antara ayat dengan ayat, dengan kata lain, perlu
adanya munâsabah. Kelompok ini seperti kata al-Zarqâni diwakili antara
lain oleh Syekh ‘Izzuddîn Ibn ‘Abd al-Salam, atau yang dikenal dengan ‘Abd
al-Salam (577-660 H.). Menurut kelompok pertama, munâsabah adalah ilmu
yang menjelaskan persyaratan baiknya kaitan pembicaraan (irtibâth al-kalâm)
apabila ada hubungan keterkaitan antara permulaan pembicaraan akhir pembicaraan
yang tersusun menjadi satu kesatuan.[64]
Kedua, golongan atau pihak yang
menganggap bahwa tidak perlu adanya munâsabah ayat, karena peristiwanya
saling berlainan. Ada paling tidak dua alasan mengapa golongan kedua ini enggan
atau menganggap tidak perlu adanya munâsabah. Pertama, kelompok kedua
berargumen bahwa Alquran diturunkan dan diberi hikmah secara tauqîfi, hal
ini atas petunjuk dan kehendak Allah.[65]
Kedua, bahwa satu kalimat akan memiliki munâsabah bila diucapkan dalam
konteks yang sama. Karena Alquran diturunkan dalam berbagai konteks, maka
Alquran tidak memiliki munâsabah. Pendapat ini juga diajukan oleh
‘Izzuddîn ibn Abd al-Salam (w. 660 H.). Di sinilah seolah-olah Izzuddîn ingin
mengatakan bahwa susunan ayat mesti berdasarkan turunnya.[66]
Sementara yang diajukan oleh kelompok yang pro atau mendukung terhadap munâsabah
mengatakan bahwa ketidak teraturan susunan ayat mengandung rahasia.
Pro-kontra kajian munâsabah
antara pentingnya mengedepankan munâsabah dan tidak perlu adanya munâsabah
telah menjadi konsumsi public yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulûm
al-Qur’ân. Pertanyaan besar tentang apakah adanya munâsabah itu
bersifat tauqifî atau ijtihâdi mengemuka dan perlu adanya jawaban
akademik. Pertanyaan ini bisa jadi sangat menarik untuk di bawa ke ranah
diskusi yang akademik, dan kemudiaan di susul dengan menyoal pada tataran lebih
dalam, apakah perlu adanya munâsabah al-Qur’ân atau bisa jadi kalau
pendapat yang sangat ekstrim tidak tidak perlu adanya munâsah seperti
wacana perdebatan di atas.
Al-Suyûthi mempunyai pendapat,
apabila kata itu dikembalikan pengertiannya dalam konteks ayat, kalimat atau
surat dalam Alquran, maka bisa berarti adanya keserupaan, kedekatan di antara
berbagai ayat, surat, atau kalimat yang diakibatkan oleh adanya hubungan makna
yang muncul. Misalnya, yang satu ‘âm dan yang lainnya khâs. Hubungan
itu bisa juga muncul melalui penalaran (‘aqli), penginderaan (hissi),
atau melaui kemestian dalam pikiran (al-taladzdzum al-dihni) seperti
hubungan sebab akibat, illat dan ma’lul dua hal yang serupa atau
dua hal yang berlainan.[67]
Ahmad Atha’ dalam pengantar buku Asrâr
Tartîb al-Qur’ân karya al-Suyûthi memberikan cara dan tahapan untuk
menemukan munâsabah al-Qur’ân. Ada empat langkah pertama, melihat tema
sentral dari surat tertentu. Kedua, melihat premis-premis yang mendukung tema
sentral. Ketiga, mengadakan kategorisasi terhadap premis itu berdasarkan jauh
dan dekatnya kepada tujuan. Dan keempat, melihat kalimat-kalimat atau pernyataan
yang saling mendukung dalam premis itu.[68]
Dan cara-cara demikian telah lama di pakai oleh para mufasir sekaliber
al-Naisaburi, Abû Bakar Ibn al-Zubair, Fakhruddîn al-Râzi,
al-Suyûthi, al-Biqâ’i, dan belakangan Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad
Syaltut, dan sebagainya. Dan yang dianggap paling konsen (takhashshush)
adalah al-Biqâ’i dalam karya besarnya berjudul Nadzm al-Durâr fî Tanâshub
al-Âyat wa al-Shuwar.[69]
Kerangka teoritis yang berdasar pada uraian
di atas, ada dua benang merah yang bisa menjadi gambaran yang menerangkan
tentang kerangka munâsabah. Pertama, ada ayat dan surat yang bisa dicari titik munasabah
antara sat dengan lainnya. Kedua, ternyata dari contoh model di atas, juga
tidak ditemukan munâsabah, dalam kata lain tidak semua ayat dan surat terdapat munâsabah. Namun demikian, menurut hemat penulis bukan
tidak ada munâsasabah, bisa jadi kalau dibahasakan belum mampu menemukan munâsabah-nya. Barangkali semuanya bersepakat
akan adanya munâsabah, namun tidak semua orang mampu menghubungkan antara satu ayat atau
surah satu dengan yang lainya. Pada sisi inilah celah beberapa ilmuan yang
mengkritik bahwa Alquran tidak holistic, sehingga memungkinkan meragukan
keotentisistasnnya.
Kesimpulan
Dari
uraian dan hipotesa perdebatan akademik seputar wawasan munâsabah
Alquran di atas, jelaslah munâsabah sebagai bagian dari alat bantu
memahami kitâb Allâh. Upaya-upaya itu,
terlihat begitu besar akan pentingnya kajian munâsabah
terhadap kajian Alquran, terlepas ada beberapa kalangan yang berusaha keras
ingin merekonstruksi Alquan, yang pasti dari kajian mereka kita kembali
dikejutkan untuk selalu menjaga dan paling tidak selalu mengakaji Alquran. Maka
upaya apapun, baik misalnya perdebatan nasikh-mansukh menyoal adanya
surat tambahan versi Syi’ah, ingin merombak susunan ayat dan surat Alquran
secara kronologis, mengoreksi bahasa Alquran ataupun ingin mengubah redaksi
ayat-ayat tertentu, bahkan bukan hanya sampai di situ menebar isu mempersoalkan
autentisitas Alquran, dan lain-lain. Yang jelas, stigma miring ini tidak
kemudian melunturkan keimanan atau memurtadkan keyakinan, karena upaya mereka
terbukti sampai sekarang tidak berhasil. Justru malah sebaliknya, animo untuk
mengkaji Alquran dan keyakinan akan kitab suci Alquran semakin tinggi dan
marak.
Daftar Pustaka
‘Ali
bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Arabi, 1405 H.
A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984
Abd al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah
fî Tafsîr al-Maudhû’I, Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977
Abd al-Qadir
Ahmad Atha’, dalam pengantar al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur’ân, Kairo:
Dâr al-I’tishâm, 1978.
Abdurrahman Ibn
Abî Bakr ibn Muhammad Abu al-Fadhl al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur’ân,
Kairo: Dâr al-I’tishâm, 1978
Abi Abdillah
Nuhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthûbi,
al-Jami’ lî al-Ahkâm al-Qurân, Beirut: Dâr al-Fikr,
1993.
Al-Bagawî, Syarh al-Sunnah al-Shahâbah, Beirūt:
Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1993
Al-Baihaqî, Al-Madkhal ilâ al-Sunan al-Kubrâ , (Kuwait: Dâr al-Khulafâ’ lî al-Kitâb al-Islâmî, 1404
Al-Bâqillânî, I’jâz al-Qur’ân, Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.
al-Syâthibi, al-Muwâfaqat,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1975
Andy Hadiyanto, Repetisi Kisah
Al-Quran (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat
Makiyyah dan Madaniyyah), disertasi UIN, 2009
Burhânuddin Ibn
Umar Ibrahim al-Biqâ’î, Nadzm al-Durâr fî Tanâsub
al-Âyat wa al-Suwar, Heidiradab: Majlis Dairât
al-Ma’ârif al-Usmâniyyah, 1969
Fauzul Iman, Munasabah Al-Qur’an, Jurnal
Panji Masyarakat, no. 843, edisi Novemver 2005
Fazlur Rahmân, Islam and
Modernity, Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982
http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428.fmatter,
unduhan, 20 Januari 2010,
http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+M.S.+ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8,
unduhan, 20 januari 2010
Ibnu Manzûr
al-Afriqi, Lisân al-‘Arâb, Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.
Imâm Ahmad Ibn
Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.
J.M.S. Baljon,Modern Muslim Koran
Interpretation (1880-1960), Leiden: E.J. Brill, 1968
Jalaluddîn
al-Suyûthi, al-Itqan fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979.
Labib al-Sa’id, al-jam’ al-Shautî lî al-Qur’ân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-Kâtib al-‘Arâby, t.th
Lois Ma’luf,
Qamûs al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dâr al-Syarqy, 1976.
M. Quraish Shihab , Wawasan al-Qur'an,
Bandung: Mizan, 1996
_______, dalam pengantar buku Taufik
Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Fabets,
2005
_______, Ibrahim bin Umar
al-Biqâ’i: Ahli Tafsir yang Kontroversial, Jurnal Ulûmul Qur’an, LSAF,
Vol. 1, 1989
_______, Membumikan Al-Qur'an,
Bandung: Mizan, 1992
_______, Mukjizat
al-Qur’an Ditinjau
dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan,
1998
_______, Sejarah dan ‘Ulûm al-Qur’ân, (Jakarta: Pustaka Fidaus dan Bayt
al-Qur’an & Museum Istiqlal TMII, 2001
_______, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan
dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera hati, 2006
Mannâ‘ Khalîl
al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Mansyûrât al-‘Asr
al-Hadîts, 1393 H.
MM. Azami, The History of
Qur’ânic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study with the old
and new Testament, (Sejarah Teks al-Qur’ân dari Wahyu sampai Kompilasi
kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), terj.
Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi Suharto, Lili Mulyadi, Jakarta: Gema Insani
Press, 2005
Muhamad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn, Mesir: Maktabah Wahbah, 1985
Muhammad ‘Abdul Azaîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1988
Muhammad Ahmad
Khalafullâh, al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur’ân al-Karîm, syarah wa al-ta’lîq
oleh Khalîl ‘Abd al-Karîm, Beirut, Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa
al-Intisyâr al-‘Araby, 1999
Muhammad Ajâj al-Khathîb,, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn,
Terjemahan. AH. Akram Fahmi, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
Muhammad
Burhanuddin Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957
Muhammad Burhânuddin
Al-Zarkasyî, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ûn, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957
Muhammad Fu’ad
Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1987
Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, al-Madkhal
li Dirâsâh al-Qur’ân al-Karîm,
Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992
Muhammad Rajab Farjani, Kayfa
Nata’addab Ma’a al-Mushhaf, t.tp., Dâr al-I’tishâm, 1978
Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min Rawâ’i
al-Qurân, Beirut-Libanon/Damsyik: maktabah al-farabi, 1397 H/1977 M.
Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î, I’jâ z al-Qur’ân wa al-Balâgah al-Nahwiyyah, Beirūt: al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990
Musthafâ al-Sibâ’î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî’ al-Islâmî, Sunnah dan Peranannya dalam
Penetapkan Syariat Islam, terj. Nurchalish Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995
Nasr Hamid Abû Zaid, Mafhûm
al-Nâsh: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’ân, kairo: Dâr al-Ihyâ al-Kutub
al’Arabiyyah, 1992
_______, Tekstualitas al-Qur’an : Kritik
Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta : LkiS, 2001
Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh
Nawawi, Cairo: Dâr al-Hadîts, 1994
Salwa M.S. El-Awa, Texstual
Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure, Routledge, New
York, 2006
Subhi Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Bairut-Libanon, Dâr al-‘Ilm lî al-Malâyîn, 1988
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005
W. Monthomery Watt, Bell’s
Introduction to The Qur’ân, Leiden: Edinburgh University Press, 1994
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran
kalam tafsir al-Azhar, Sebuah telaah tentang Pemikiran hamka dalam teologi
Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990
_______, Karakteristik Tafsîr
al-Quran di Indonesia Abad 20, Jurnal Ulûm al-Quran, Vol. III, no.4, 1992
[1] Dosen Tafsir Fakultas Syariah IAIN Raden Intan
Lampung
[2]Nilai-nilai
dasar Alquran mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan
komprehensif (Q.S. al-An’âm/6:37). Tema-tema pokoknya mencakup
aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta,
kenabian, wahyu, eskatologi, dan makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi,
orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern (QS.
al-Hujurât/15:9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta
alam (Q.S. al-Furqân/25:1).
[3]
Kajian Alquran sebagai kitab mitos, pernah dikaji pada karya disertasi dengan
judul al-Fann al-Qashâshî fî al-Qur’ân al-Karîm ini merupakan ijtihad
akademik Muhammad Ahmad Khalafullâh yang dipertahankan dalam sidang munâqasyah
di Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Dalam fersi Indonesia karya Khalafullah,
diterjemahkan Al-Qur’an Bukan “Kitab Sejarah” Seni, Sastra Dan Moralitas Dalam
Kisah-Kisah Al-Quran,” oleh Zuhairi Misrawi dan Anis Maftuhin, diterbitkan
Paramadina, tahun 2002. Lihat, Muhammad Ahmad Khalafullâh, al-Fann
al-Qashâshî fî al-Qur’ân al-Karîm, syarah wa al-ta’lîq oleh Khalîl ‘Abd
al-Karîm, (Beirut, Kairo, Sînâ lî al-Nasyr wa al-Intisyâr al-‘Araby, 1999.
lihat pula karya Andy Hadiyanto, yang bertajuk Repetisi Kisah Al-Qur’an
(Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan
Madaniyyah), disertasi UIN, tahun 2009.
[4]
Secara etimologis, kata tafsîr (exegesis) berasal dari bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsîran.
Derifasi ini mengandung pengertian: menyingkap (al-Kasyfu), memperjelas
(idzhâr) atau menjelaskan. Lihat ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât,
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1405 HLM.), hlm. 87., A. Warson memberikan
pengertian kata tafsîr merupakan bentuk mashdâr yang berarti menjelaskan,
memberi komentar, menterjemahkan atau mentakwilkan. Lihat A.Warson Munawwir, Kamus
al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984), hlm.
1134. Ibnu Manzdûr dalam kamus besar Lisân
al-‘Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu
yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu lafad yang susah
dan pelik. Lihat Ibnu Mandzûr al-Afriqi, Lisân al-‘Arâb, (Beirut: Dâr
al-Shadîr, tthlm.), j.5, hlm. 55. Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas
tentang apa yang dimaksud oleh Allah dalam Alquran sepanjang kemampuan manusia.
Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr
al-Fikr, tthlm.), Jilid II, hlm. 3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain
al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985),
jilid II, hlm. 15. Kata tafsir dalam Alquran disebut satu kali dalam Alquran
Q.S. al-Furqan (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan
dengan tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam Alquran sebanyak 17 kali. Lihat
Muhammad Fu’ad ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâdz al-Qur’ân,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), hlm. 97. dan di antara para ahli ada yang
menyamakan pengertian antara keduanya, namun ada juga yang membedakannya,
kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fi
‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, hlm. 4-6, lihat pula
Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr
al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 173-174.
[6] Keheterogenan metode penafsiran yang dipakai
oleh mufasir tersebut dapat dilihat berikut ini: kita misalanya mengenal Tafsir al-Durr al-Mansûr fî al-Tafsîr bi
al-Ma’sûr karya Jalâluddîn al-Suyûthî (849-911 HLM.), Jâmi‘ al-Bayân ‘an Ta’wîl ayi al-Qur’ân karya
Muhammad Abû Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr al-Thahabarî (224-310 HLM.), dan Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Adzîm karya Imamuddîn Abû al-Fida’ al-Quraisyi al-Dimasyqi
Ibn Katsîr (700-774 HLM.), yang sangat kuat merujuk kepada data-data riwayat
sebagai bentuk representasi metode tafsîr bi al-Ma’tsûr. Pada karya
tafsir yang lain, kita bisa melihat misalnya al-Jauhâr fî Tafsîr al-Qur’ân
karya Tanthawi Jauharî (W. 876 HLM.) yang banyak mengadopsi disiplin ilmu
pengetahuan alam, al-Kasyf ‘an Haqîqat al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl karya al-Jamakhsyarî (476-538 HLM.) yang
sangat mengagungi rasionalitas. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr
karya Rasyîd Ridhâ (1282-1354 HLM.) yang lebih mengedepankan tafsirnya sebagai
pedoman dalam kehidupan sosial kemasyrakatan dan Ahkâm al-Qur’ân karya
al-Qurthûbî (w. 1272 HLM.) yang memfokuskan kajiannya pada masalah-masalah
fiqihlm.
[7] Ada beberapa macam metode dan corak penafsiran Alquran. ‘Abd Al-Hay
al-Farmawi membagi metode yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu
analisis, komparatif, global dan tematik (penetapan topik). Metode analisis
tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu diantaranya adalah corak adab
al-Ijtimâ’î (budaya kemasyarakatan). Lihat, ‘Abd. Al-Hay al-Farmawi, al-Bidâyah
fî Tafsîr al-Maudhû’i, (Kairo: al-Hadharah al-‘Arabiyah, 1977), cet. Ke-2,
hlm. 23-24, lihat pula M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis
atas Tafsir al-Manar, (Jakarta: Lentera hati, 2006), cet.II, hlm. 24-25,
bandingkan pula, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung:
Mizan, 1997), cet.XV, hlm. 83-91, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân Tafsir Tematik atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007),
cet. I, hlm. xv-xvi
[8] Setelah Rasulullah wafat (11 HLM.), kepeloporan
beliau dibidang tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat
yang ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafâ’ al-Rasyidîn Abu Bakar (w. 13
HLM.), ‘Umar bin Khattâb (w. 23 HLM.), Utsmân bin ’Affân (w. 35 HLM.), dan ‘Ali
bin Abî Thâlib (w. 40 HLM.), Ibn ‘Abbâs (w. 68 HLM.), ‘Abdullah dan Zubair,
Ubay bin Ka’b (w. 20 HLM.), Zaid bin
Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-Asy’ârî (w. 44
HLM.). lihat, Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an,
(Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, hlm. 27-28. Di samping sepuluh sahabat yang
tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para penafsiran yang dilakukan oleh
Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 HLM.), Anas bin Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar (w.
73 HLM.), Jâbir bin Abdullah, A‘isyah
(w. 57 HLM.), dan Amr bin Ashlm. Mereka dipandang sebagai generasi
pertama mufasir. Lihat lebih lanjut, Mannâ‘ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî
‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1393 HLM.), cet. 3,
hlm. 343
[9] Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman
dan penafsiran terhadap Alquran memiliki kecenderungan dan corak yang
berbeda-beda antara satu generasi kegenerasi berikutnya, antara satu kelompok
satu dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak penafsiran ini tidak bisa
dilepaskan dari perbedaan madzhab, setting sosial, kemampuan intelektual
dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis kitab tafsirnya tersebut. Satu
hal yang perlu diingat bahwa Alquran tidak akan pernah habis di tafsirkan. Di
sisi lain, keragaman penafsiran yang dihasilkan tiap generasi juga merupakan
gambaran konsekunsi logis dari keyakinan bahwa Alquran, sebagai kitab suci yang
diturunkan terahkir, mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang
kemudian. Ajaran dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan
necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahman, Islam and Modernity, (Chicago: Universitas of
Chicago Press, 1982), hlm. 11.
[11] Abû Ishâq al-Nadzdzâm adalah segelintir dari tokoh Muktazilah yang
berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk membuat Alquran tidak lain
karena Allah Swt. telah memalingkan dan melemahkan kemampuan manusia untuk
melakukan kegiatan tersebut. Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’î, I’jāz al-Qur’ân...,
hlm. 144, lebih dari itu menurut al-Bûthi, al-Nadzam mengatakan Allah tidak
saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi Alquran, akan tetapi malahan
membelenggu kefasihan lidah mereka. Lihat, Muhammad Said Ramadhan al-Bûthi, Min
Rawâ’i al-Qurân, (Beirut-Libanon/Damsyik: Maktabah al-Farabi, 1397 H/1977
M.), hlm. 150
[12]Al-Murtadhâ berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk
menciptakan teks seperti Alquran adalah karena Allah Swt. telah mencabut
pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki dan yang diperlukan guna
lahirnya satu susunan kalimat seperti Alquran, Mushthafâ Sādiq al-Rāfi’î, I’jâ z al-Qur’ân..., hlm. 124.
[14] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Gaib, (Bandung:Mizan, 1998), cet. ke-4, hlm. 155-156, berkenaan dengan
pembahasan isi, Gibb seorang orientalis berpendapat sebagaimana dikutip Quraish
Shihab ”tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah
memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu serta berani dan sedemikian
luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dibaca oleh Muhammad
Saw., yakni Alquran”. Lihat, M. Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera hati, 2006, cet. VII, hlm. v.
[17] Al-Zarqānî dalam
komentarnya, bahwa makna “turun” seperti pada ayat َQ.S. al-Isrâ/17: 105 tidak dapat disamakan
dengan makna turun dalam arti fisik dan tempat. Penggunaan seperti ini,
menurutnya tidak relevan digunakan untuk Alquran. Menurutnya, makna “turun” lebih tepat dipahami sebagai kata yang bersifat
majâzi dan dipahami sebagai pemberitahuan Allah yang dihunjamkan ke dada Nabi
dengan berbagai bentuk cara pewahyuan. Lihat, Muhammad ‘Abdul ‘Adzîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, cet. ke-1, 1988), hlm. 42-43
[20] Perdebatan sejarah kodifikasi penulisan dan sistematika Alquran pada
Mushhaf ‘Utsmâni dibahas tuntas oleh W. Monthgomery Watt, dalam satu buku yang
bertajuk Bell’s Introduction to The Qur’ân dalam satu bab khusus “The
History of The Text”. Dalam bab ini Watt, membagi menjadi empat bahasan.
Pertama, the collection of the Quran (pengumpulan Alquran), kedua, The
pre-‘Uthmânic codices (naskah pra Utsman), ketiga, The wraiting of the
Quran and early textual studies (penulisan Alquran dan kajian teks awal),
dan keempat, the authenticity and completeness of the Quran (keotentikan
dan kesempurnaan Alquran). Dalam mengurai benang kusut perdebatan Mushhaf
‘Utsmâni, Bell, misalnya menulis: “This traditional account of the quran
under ‘Uthman is also open criticisms, tough they are not so serious as in the
case of Abu bakar’s collection. The most serious difficulties are those
connected with the suhuf of Hafsa. Some versions of the story suggest that the
work of the commissionars was simply to make a fair copy, in the dialect of
Quraiysh, of the material of these leaves. Some important material, however,
has come to light since the publication of Friedrich Schwally’s revised edition
of the second volume of Noldeke’s Geshichte des Qurâns in 1919. In particular
there is a story of how the coliph Marwan when governor of Medina wanted to get
hold of the ‘leaves’ of Hafsa to destroy them, and eventually on her death
persuaded her brother to hand them over. Marwan was afraid lest the unusual
readings in the might lead to further dissention in the community”. (“Kisah
turun-temurun tentang ‘kumpulan’ Alquran di bawah Utsman juga rawan kecaman,
meskipun tidak begitu serius seperti dalam kasus ‘kumpulan’ Abu Bakar.
Kesulitan yang paling serius adalah berkaitan dengan suhuf yang dimiliki
Hafsahlm. Beberapa versi cerita mengisyaratkan bahwa tugas yang diberikan
kepada orang-orang hanyalah untuk membuat salinan yang baik dalam dialek
Quraisy dari bahan yang ditulis di atas dedaunan ini. Namun, pada tahun 1919
terbit jilid kedua karya Noldeke “Geshichte des Qurâns”, edisi yang
direvisi oleh Friedrich Schwally, dan sejak itu bahan-bahan yang penting
ditemukan kembali. Terutama ada kisah bagaimana Khalifah Marwan yang menjadi
Gubernur Madinah ingin memusnahkan ‘dedaunan’ yang dimiliki Hafsah, dan
akhirnya, tatkala Hafsah meninggal, membujuk kakaknya untuk menyerahkannya.
Marwan khawatir adanya bacaan yang tidak lazim di dalamnya itu bisa menimbulkan
pertikaian lebih lanjut dalam masyarakat. Lihat, W. Monthomery Watt, Bell’s
Introduction to The Qur’ân, (Leiden: Edinburgh University Press, 1994),
hlm. 43. Kajian mendalam juga dilakukan oleh MM. Al-A’Dzami dalam The History
of Qur’ânic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study with the
old and new Testament, dan Indonesiakan menjadi Sejarah Teks al-Qur’ân dari
Wahyu sampai Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi Suharto, Lili Mulyadi,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005),
Taufik Adnan Amal menulis Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,
Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.
[21]
Abû Zaid memandang urutan surat dianggap tauqîfi karena pemahaman
seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh
al-mahfûdz, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz. Lihat, Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an,
terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001), hlm. 215
[22]
Discours dalam memperdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga
oleh al-Zarqâni. Menurut Zarqâni bahwa tertib susunan ayat dan surat adalah
Ijtihâdi. Pendapat ini di dasarkan pada beberapa alasan. Pertama, mushaf pada
catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat pernah mendengar Nabi membaca
Alquran berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam Alquran. Dan ketiga,
adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini menunjukkan tidak adanya
petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa
tertib surah sebagai ijtihadi tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian
sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib mushâf yang
sekarang dan adanya tentang catatan mushâf sahabat yang berbeda bukanlah
mutawâtir. Tertib mushâf sekarang berdasarakan riwayat mutawatir.
Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang memiliki catatan mushaf
itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu, kemungkinan
tidak utuhnya tertib mushaf Alquran sahabat sangat besar. Lihat, Muhammad ‘Abd
al-‘Adzîm al-Zarqâni,
Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1988), hlm.
348.
[23]
Hal ini terindikasikan apabila Alquran di bacakan kepada al-Naisaburi, maka ia
bertanya mengapa ayat ini ditempatkan di samping sebelahnya. Bahkan ia mencela
para ulama Baghdad karena mereka tidak memperhatikan ‘ilm al-munâsabahlm.
Lihat, Al-Zarkâsyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirût: Dâr al-Fikr,
1957). HLM. 38
-Larangan
menulis sesuatu yang datang dari Nabi
Abû Sa’îd al-Hudzri meriwayatkan
dari Rasûlullâh Saw.. Beliau bersabda,
لا تكتبوا عنى ومن كتب
عنى غير القران فليمحه
“Janganlah kalian menulis (Hadis) dariku. Dan barangsiapa menulis dariku
selain Alquran, maka hendaknya ia menghapusnya” Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts,
1994), J. XIII, hlm. 129
Diriwayatkan dari Abû
Hurayrah, ia berkata, “Rasûlullâh Saw. mendatangi kami dan kami sedang menulis
Hadis. Kemudian beliau bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis?”. Kami
menjawab, “Kami sedang menulis Hadis yang kami dengar dari engkau, ya
Rasûlallâh!.” Lantas beliau bersabda,
كتاب غير كتاب الله اتدرون؟ ما ضل الامم قبلكم الا بما اكتتبوا
من الكتب مع كتاب الله
“Tulisan selain Kitab Allah?, tahukah kalian, bangsa-bangsa sebelum kalian
tidak sesat kecuali karena mereka menulis tulisan lain bersama Kitab Allahlm.”, Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh Nawawi, (Cairo: Dâr al-Hadîts,
1994), J. XIII, hlm. 129
-Perintah
yang membolehkan menulis sesuatu yang datang dari Nabi
Abdullâh bin
Amr bin al-Ash Ra. berkata, “Saya menulis segala yang saya dengar dari
Rasûlullâh Saw. Saya hendak menghapalnya, namun orang-orang Quraysy melarangku.
Mereka berkata, “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari
Rasulullah Saw., sedangkan beliau manusia biasa yang kadangkala berbicara dalam
keadaan marah dan senang”. Saya pun berhenti menulis. Kemudian saya teringat
beliau ketika menunjukkan jari ke mulutnya seraya bersabda,
اكتب فوالذي نفسى بيده
ما خرج منه الا حق
“Tulislah, maka demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar
darinya (mulut) kecuali kebenaran.”
Diriwayatkan
dari Abû Hurayrah bahwa seorang sahabat Anshâr menyaksikan Hadis
Rasûlullâh Saw., namun ia tidak hafal. Ia bertanya kepada Abû Hurayrah, dan ia
pun memberitahukan kepadanya. Kemudian ia mengadukannya kepada Rasûlullâh Saw.
perihal lemahnya daya hafalnya. Kemudian Nabi Saw. bersabda,
استعن على حفظك بيمينك
“Bantulah hapalanmu dengan
tangan kananmu! (menulis)”. Muhammad Ajâj
al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148
Diriwayatkan
dari Anas bin Mâlik bahwa ia berkata, “Rasûlullâh Saw. bersabda,
قيدوا العلم بالكتاب
“Ikatlah ilmu dengan tulisan!”. Muhammad Ajâj
al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs bahwa ia berkata, “Ketika Nabi Saw. sakit
keras, beliau bersabda,
ايتونى بكتاب اكتب لكم
كتابا لا تضل بعده
“Bawakan aku buku, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga kalian
tidak akan sesat sesudahnya.”. Muhammad Ajâj
al-Khathîb, Al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Terjemahan. AHLM. Akram Fahmi
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), cet. I, hlm. 148
[43]
Sejarah telah mencatat bahwa pemeluk agama Islam pada waktu awal masih banyak
yang buta aksara, kendati ada yang bisa baca tulis. Bahkan Nabi sendiri dikenal
dengan seorang yang ummy seperti termaktub dalam Q.S. al-Jumu’ah/62: 2.
Secara luas M.M. A’dzami mengulas satu bab khusus yang diberi judul tulisan dan
ejaan bahasa Arab dalam Alquran, satu bab diantaranya mengupas gaya tulisan
pada zaman Nabi Muhammad Saw. Lihat lebih lanjut, M.M. Al-A’dzami, The
history of The Qur’anicText From Revelation to Compilation A Comparative Study
The Old and New Testaments, (Sejarah Teks Al-Qur’ân dari Wahyu Sampai Kompilasi: kajia
Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, terj. Sohirin Solihin et. All,
(Jakrta: Gema Insani Press, 2005), cet. 2, hlm. 143-164.
[44]
Penghimpunan Alquran dalam bentuk mushaf baru dilakukan pada masa Abu Bakar
(11-13 HLM./632-634 M.), tepatnya setelah terjadi peperangan yamamah tahun 12
HLM./633 M. Dalam sejarah, perang Yamamah ini, terbunuh sekitar 70 orang
syuhada yang hafal Alquran. Bahkan ,sebelum perang yamamah terjadi pula
wafatnya 70 qurra’ pada peperangan di sekitar sumur Ma’unah, yang terletak
dekat kota Madinahlm. Atas kejadian ini, Umar yang dikenal dengan ketajaman
analisisnya mengunsulkan untuk menghimpun Alquran. Dan saat Abu Bakarlah
terbentuk panitia penghimpunan Alquran yang diketua oleh Zaid bin Tsabit dan
beranggotakan Utsman, Ali bin Abi Thalib dan ‘Ubay bin Ka’b.
[45]
Dalam rentang sejarah, ketika tampuk kekuasaan khalifah di tangan Utsman bin
‘Affan, singkatnya, ketika Utsman mengerahkan tentaranya kea rah Syam dan Irak
untuk memerangi penduduk Armenia dan Azerbaijan, tiba-tiba Hudzaifah ibn Yaman
memberitahu bahwa di beberapa wilayah terjadi perselisihan mengenai tilâwah (bacaan) Alquran. Dan Hudzaifah
mengusulkan untuk meredam perselisihan itu dengan cara menyalin dan
memperbanyak Alquran yang terhimpun pada masa Abu Bakar. Kemudian Utsman
meminta suhuf yang ada di tangan Hafsah untuk di salin dan di perbanyak. Dan
dalam rangka itulah, Utsman membentuk kepanitiaan untuk penyalinan Alquran yang
di ketuai Zaid bin Tsabit dan berangotakan Abdullah bin Zubair, Sa’id ibn
al-Ash, dan Abd al-Rahman ibn al-Haris ibn Hisyam. Dalam pengarahanya Utsman
mengatakan bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat antara Zaid yang bukan
orang Quraish dengan tiga orang pembantunya yang semuanya berasal dari suku
Quraisy mengenai tilawah, maka hendaklah Alquran itu ditulis menurut qiraat
Quraisy, mengingat bahasa awal Alquran adalah bahasa Arab Quraisy.
[47]
Diantara upaya otentisitas pasca wafatnya Rasulullah dilakukan dengan merujuk
kepada para sahabat, para tabi’in dan para ahli bidang ini. Sungguh telah
menjadi inayah Ilahi untuk sunnah Nabi-Nya, bahwa Tuhan telah memanjangkan umur
sejumlah tokoh sahabat dan para hli agama mereke untuk menjaadi marji’ (tempat
kembali, acuan) yang dengan mereka orang banyak mendapatkan pedoman. Setelah
dusta berkecamuk masyarakat bersandar pada sahabat itu untuk ditanyai,
mula-mula tentang apa yang mereka tahu sendiri, kemudian mereka diminta fatwa
tentang hadis-hadis dan cerita masa lalu yang mereka pernah dengar di masa
lalu. Imam Muslim dalam muqaddimah kitab sahihnya sebagaimana dikutip
oleh Musthafa al-Shiba’I berasal dari Ibn Abi Malikah yang menceritakan “kami
pernah menyurat kepaada Ibn Abbas agar ia menuliskan sesuatu untukku sesuatu,
namun ia menghindar dariku, katanya, ‘seorang muda pemberi nasihat! Sungguh
telah kupilihkan baginya beberapa perkara, dan aku menghindar dari padanya.”
Lalu kata Ibn al-Malikah selanjutnya, “maka iapun mengajak meneliti keputusan
hokum (qadhâ) yang dibuat oleh Ali, lalu ditulis banyak hal dari
padanya, namun ada sesuatu tertentu dilewatinya, dan berkata, Demi Tuhan, Ali
tidak akan membuat keputusan seperti ini kecuali jika benar-benar sesat.” Maka
untuk tujuan seperti itulah banyak para tabi’in banyak melakukan perjalanan
jauh dari kota ke kota, guna mendengarkan hadis-hadis yang mantap dari perawi
yang dapat dipercaya. Telah kita ketahui misalnya, perjalanan jabir ibn
Abdullah ke Syiria dan Abu Ayyub ke Mesir guna mendengarkan hadis. Sa’id ibn
al-Musayyab menceritakan bahwa ia dahulu bepergian saiang malam untuk mencari
hadis. Pengistilahan ini, betapa untuk mencari hadis saja sangat penuh dengan
kehati-hatian, apalagi Alquran sebabagai pedoman utama. Lihat lebih lanjut,
Musthafâ
al-Sibâ’î, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-tasyrî’ al-Islâmî, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam,
terj. Nurchalish Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), cet. 5, hlm. 57-58
[48]
Istilah Tafsir Alquran Muslim Modern dikenalkan oleh J.M.S. Baljon dalam
karyanya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960).
Baljon melalui karya ini, membagi menjadi enam bahasan. Pertama, (introduction)
pendahuluan, kedua, ways interpretation (pendekatan penafsiran), ketiga,
characteristic features of the Koran (gambaran Alquran), keempat, theological
issues (isu-isu ketuhanan), kelima, Koran and Modern Time (Alquran
dan masa modern), dan keenam conclution (kesimpulan). Dalam pengantarnya,
Baljon mengatakan bahwa studi ini merupakan kelanjutan sekaligus pelengkap bab
terakhir (Der Islamische Modernismus und seine Koranauslegung) karya
Ignaz Goldziher mengenai tafsir Alquran (Die Rachtungen der Islamische
Koranauslegung, Leyden, Brill, 1920). Kelanjutan penelitian Goldziher ini
tampaknya diperlukan, seperti juga terhadap tafsir modern yang dipublikasikan
40 tahun yang silam. Karya ini, dianggap oleh Baljon, sejauh karya itu,
merupakan sumbangan terlengkap, dan juga bisa dimanfaatkan bahasa-bahasa urdu
yang masih dipergunakan. Lihat, J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran
Interpretation (1880-1960), (Leiden: E.J. Brill, 1968), hlm. VI
[49]
Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and
Structure, (Routledge, New York, 2006), http://www.amazon.com/Textual-Relations-in-Quran-ebook/dp/B000OI14MQ,
unduhan 20 januari 2010, lihat pula, ulasan review, SPS UIN Jakarta, The
School, vol. 2. No. 5/ Mei 2009, hlm. 4.
[50]
Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and
Structure, (Routledge, New York, 2006), Lihat, http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428,
unduhan, 20 Januari 2010,
http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+M.S.+ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8,
unduhan, 20 januari 2010
[52]
Pembagian ini di dasarkan pada teks itu sendiri dan realitas teks yang
berkembang. Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi dan
enkulturasi nilai-nilai dasar Alquran dalam lintasan sejarah tidak saja memberi
warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia membuka diri pada setiap budaya
posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan karena sebagian besar
ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan karena kitab suci ini
menghidangkan simbol (amtsâl) yang sarat makna, lagi terbuka bagi
nalar para cendekiawan. Di sinilah kekhususan Alquran; ia memberikan kesempatan
kepada setiap budaya untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah
nilai-nilai universalnya. Dalam kenyataannya, meskipun hanya satu Alquran,
tetapi terjadi spektrum keanekaragaman pemahaman dan penerapan ajaran di dunia
Islam. Proses pembumian Alquran tidak bisa menghindari fenomena kontak budaya (cultural
contact), yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang haq dan
kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam masyarakat. Tentu saja dalam
hal ini keharmonisan tidak boleh dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang
haq, dan ia pun tidak boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang
bathil. Lihat, http://www.psq.or.id/profile.asp?mnid=14,
unduhan 14 Januari 2010
[54]
Secara khusus Abû Zaid
mengungkapkan bahwa munâsabah merupakan salah satu bagian dari aspek I’jâz
(kemukjizatan) Alquran, sebagaimana Abû Zaid mengutip pendapat al-Zarkâsyi sebagai berikut: “mushaf
seperti suhuf-suhuf mulia, sama dengan yang terdapat dalam kitab yang tertutup
rapat (lauh al-mahfûdz), semua surat dan ayatnya disusun secara tauqîfî. Penghafal
Alquran bila meminta fatwa mengenai berbagai macam hukum atau ia
memperdebatkannya, atau mendiktekannya maka ia akan menyebutkan ayat sesuai
dengan yang ditanyakannya. Dan jika ia
kembali kepada bacaan, maka ia tidak mengatakan seperi apa yang di fatwakan,
dan tidak pula seperti yang diturunkan secara terpisahpisah, melainkan seperti
yang diturunkan secara keseluruhan di Bait al-Izzahlm. Di antara yang
jelas-jelas mukjizat ialah uslûb dan susunannya yang mengagumkan. Sebab, ia
merupakan kitab yang ayat-ayatnya dikokohkan, kemudian diturunkan secara
terpisah-pisah dari sisi yang maha bijaksana lagi maha mengetahui. Yang pertama
kali pantas untuk diteliti dalam setiap ayat adalah apakah ayat berkaitan
dengan ayat sebelumnya atau ia berdiri sendiri. Dalam hal ini banyak ilmu.
Demikian pula dengan surat, sisi keterkaitannya dengan surat sebelumnya dan
konteksnya perlu di cari”. Lihat, Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik
Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khairan Nahdiyyin, (Yogyakarta : LkiS, 2001),
hlm. 108.
[56]
Nasr Hamid Abû Zaid lebih
lanjut mengungkap masalah munâsabah sebagai bagian dari mukjizat pada dasarnya
mengacu pada mekanisme khusus teks yang membedakannya dari teks-teks lain dalam
kebudayaan. Bila dihubungkan dengan ilmu asbâb al-nuzûl misalnya, ilmu munâsabah mengkaji hubungan teks dalam bentuk yang akhir dan final. Sedang asbâb
al-nuzûl mengkaji hubungan bagian-bagian teks dengan kondisi eksternal,
atau konteks eksternal pembentuk teks. Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik
Terhadap Ulumul Qur’an, hlm. 108.
[58]
Al-Syâthibi melihat betapa pentingnya munâsabah Al-Qur’ân. Bahwa, satu surat walaupun banyak mengandung masalah, namun
masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga,
seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangannya pada awal surat,
tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila
hal tersebut tidak diperhatikan, maka maksud ayat yang diturunkan akan
terabaikan. Lihat, al-Syâthibi, al-Muwâfaqat, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1975), hlm. 144
[59] al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm.
40-41.
[60] al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm.
40.
[61] al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm.
41.
[62] al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm.
41-43.
[66]
Abû Zaid mencoba
melerai dan mengomentari pendapat atau kelompok kedua yang tidak menyepakati
adanya munâsabah dengan mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan Izzuddîn
agar keterkaitan ayat dengan ayat dan surat dengan surat, terhadap sebab yang
berbeda-beda, yang tidak menjadi persyaratan baiknya susunan kalimat (irtibâth
al-kalâm) jangan sampai dipaksakan. Akan tetapi jika keterkaitan uraian
terjadi karena satu sebab yang sama, maka menghubungkannya adalah suatu hal
yang baik, dan disinilah letak baiknnya munâsabahlm. Nasr Hamid Abû Zaid, Tekstualitas Alquran, hlm. 199.
[69] Lihat lebih lanjut, al-Biqâ’î, Burhânuddin Ibn Umar Ibrahim, Nadzm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa
al-Suwar, (Heidiradab: Majlis Dairât
al-Ma’ârif al-Usmâniyyah, 1969).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar