TAFSIR AL-QUR`AN UNTUK
KERAGAMAN DAN KONFLIK DALAM MASYARAKAT
Anwar Mujahidin
Abstrak
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
bagaimana bentuk pemahaman terhadap teks suci yang membuahkan penghargaan
pemeluknya terhadap realitas keragaman masyarakat. Penafsiran terhadap
teks suci (al-Qur`an dan hadits) yang berorientasi teologis dengan mengabaikan
realitas penafsir dan pembaca akan menghasilkan pemahaman keagamaan yang
tertutup dengan melegitimasi hasil penafsiran dan pemahamannya terhadap teks
suci sebagai teks suci itu sendiri yang mutlak. Penafsiran seperti ini akan
melahirkan otoritarianisme keagamaan yang menafikan perbedaan pendapat dan
pemikiran. Sebaliknya penafsiran yang mengakui kreatifitas sekaligus kenisbian
sang penafsir sebagai manusia akan membuka cakrawala makna yang kaya dan dapat
mengoptimalkan fungsi al-Qur`an sebagai petunjuk umat manusia. Pemahaman keagamaan yang mengakui akan
keragaman telah dipraktekkan oleh Nabi ketika membangun negara Madinah dengan
membuat perjanjian yang disebut Piagam Madinah antar umat Islam, Yahudi dan
suku-suku yang ada di Madinah.
Kata Kunci: Tafsir al-Qur`an,
Pluralisme
A. Latar Belakang
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi, Orang-orang
Nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian serta beramal shalih, mereka semua akan
mendapatkan pahala dari Tuhan mereka dan tidak akan kuatir, tidak pula akan
bersedih” (s. al-Baqarah ayat 62). Dalam suatu seminar mengenai pluralisme,
Quraish Shihab, mufassir Indonesia membuka makalahnya dengan mengutip ayat
tersebut dan mengandaikan apabila umat Islam memahami bunyi harfiahnya tanpa
mengkaitkannya dengan teks-teks lain maka absolutisme dalam beragama akan
sangat berkurang bahkan pupus sama sekali. Bahkan Quraish Shihab juga
menunjukkan sejumlah data historis dimana umat Islam awal begitu menerima
kenyataan adanya keragaman.[1]
Franz Magnis Suseno seorang Romo Katolik juga menyatakan
bahwa di dalam Kristen ada perutusan Gereja yang bertugas
mempermaklumkan Injil keseluruh dunia. Mereka itu adalah murid-murid Yesus yang
diutus memberikan kesaksian tentang peristiwa Yesus (Luk. 24, 28). Menurutnya
tugas missioner adalah menjadi saksi bagi berita keselamatan agamanya.
Perutusan itu memang berlaku universal, maka Gereja tidak berhak membatasi diri
misalnya pada “orang-orang yang belum beragama saja”. Tetapi kesaksian itu
dipahami salah kalau diartikan sebagai mencari masa atau sebanyak mungkin orang
dari agama-agama lain. Gereja tidak disuruh untuk memberikan penilaian tentang
agama lain, ia juga tidak disuruh “mengkristenkan” bangsa-bangsa. Kesaksiannya
harus betul-betul diberikan tanpa pamrih.[2]
Penjelasan kedua tokoh agama di atas menunjukkan bahwa
secara teologis Islam dan Kristen tidak mengajarkan pandangan yang sempit yang
tidak mengakui keragaman agama. Namun konflik antar pemeluk agama merupakan
suatu yang nyata dalam sejarah bangsa-bangsa. Untuk itu Fachri Ali, seorang
sosiolog, dalam seminar tersebut menyatakan tanggapannya kepada Quraish Shihab
dan Magnis Suseno. Harus diakui
bahwa dalam masing-masing agama ada semangat ekspansi. Dalam Kristen ada konsep
Nulus Kristianus bahwa satu orang Kristen artinya sama dengan tidak ada orang
Kristen. Dalam al-Qur`an juga ada ayat yang belum dikutip oleh pak Quraish
yaitu ”wa lan tardha ’anka al-yahudu....”. Fachri mengusulkan agar
sebaiknya pemeluk agama adil saja dengan mengatakan memang masing-masing agama
saling ekspansi. Kemudian melihat aspek realitas atau lebih tepatnya aspek
struktural yang sebenarnya secara empiris dan obyektif mempertemukan atau
menambah saling pemahaman antar sesama agama.[3]
Sebagaimana dinyatakan Alwi Syihab bahwa
selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai
oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih ridha Tuhan dan demi menyebarkan
kabar gembira yang bersumber dari yang Maha Kuasa.[4] Dari sudut pandang historis, Amin
Abdullah juga menyatakan bahwa agama itu sarat dengan “kepentingan” (interest)
yang terdapat pada kurikulum, proses pendidikan, kepemimpinan, institusi agama,
serta studi agama. Dalam kenyataannya hampir semua agama memiliki istitusi dan
organisasi yang mendukung, memperkuat, menyebarluaskan ajaran agamanya.
Institusi dan organisasi keagamaan tersebut telah banyak terlibat kedalam
sosial budaya, sosial kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, politik dan
ekonomi.[5]
Dengan
mengakui adanya kepentingan agama yaitu misi untuk mewartakan kebenaran kepada
semua orang maupun kepentingan pemeluk agama baik kepentingan politik, ekonomi,
dan sosial budaya yang dilegitimasi agama, maka tidak berarti hendak memelihara
permusuhan antar agama. Perbedaan kepentingan tedak mesti melahirkan konflik
dan konflik tidak mesti merusak kerukunan sehingga harus dihindari. Namun
konflik dimengerti dan dipahami sehingga bisa dikelola untuk tidak menjadi
anarki tetapi menjadi kekuatan bersama. Agama yang mengerti realitas keragaman,
bukan menolak adanya perbedaan-bedaan dan menunut-nutupi konflik inilah
nampaknya yang diharpkan dalam era globalisasi dewasa ini, di mana pertemuan
antar budaya semakin cepat dan intens akibat teknologi informasi.
B. Fokus Masalah
Setiap gerakan
keagamaan dan pola hidup umat beragama senantiasa didasarkan kepada teks-teks
suci agamanya. Untuk itu persoalan mendasar dalam masalah pluralisme adalah
menyangkut tafsir atau pemahaman atas teks-teks suci. Bagaimana umat beragama
mengerti akan jalan sehingga mereka mendapat pengetahuan dari teks sucinya,
akan sangat mempengaruhi sikap kegamaannya, untuk itu masalah pertama
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk pemahaman terhadap
teks suci yang membuahkan penghargaan pemeluknya terhadap realitas keragaman?.
Umat beragama sebagai manusia yang hidup dalam suatu
komunitas tentu tidak berhenti kepada pemahaman agama yang menghasilkan
kerangka-kerangka normatife sebagai pedoman hidupnya, tetapi juga memiliki
pengalaman historis obyektif dalam
mewujudkan cita-cita normatifnya tersebut, untuk itu masalah kedua
yang akan dibahas makalah ini adalah bagaimana sikap-sikap umat beragama yang
menghargai perbedaan tersebut mewujud dalam kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat?.
C. Kerangka Konseptual
Keragaman
adalah kenyataan alamiah bahwa setiap realitas di alam raya ini selalu tersusun
dari perbedaan-perbedaan. Secara alamiah ada jenis manusia laki-laki dan perempuan,
kondisi alam juga berbeda-beda sehingga mempengaruhi watak manusia yang
mendiaminya yang melahirkan perbedaan ras. Akibat perbedaan ras maka muncul
perbedaan adat istiadat yang muncul dari interaksi sosial, kultural dengan alam
dan lingkungan yang berbeda tersebut. Karena siftanya yang alamiah inilah Th.
Sumartana mengomentari keragaman seperti yang ditemui masyarakat Indonesia baik
dari segi suku, agama maupun ras (SARA) sebagai nenek moyang yang melahirkan
bangsa Indonesia. Sifat-sifat asasi dari kemajemukan SARA diturunkan menjadi
sifat-sifat asasi dari bangsa Indonesia. Kepelbagaian adalah ciri Indonesia
yang tidak bisa ditolak dan diingkari.[6]
Konflik merupakan satu kesatuan dengan pluralisme,
tidak ada pluralisme tanpa konflik, kecuali bila direkayasa sebagaimana rezin
orde baru. Ketika masyarakat yang berbeda-beda agama atau suku berinterksi,
pada saat itu kemungkinan terjadinya konflik menjadi sangat terbuka. Namun
apakah masyarakat sudah siap dengan konflik-konflik kepentingan tersebut, sehingga
setiap konflik yang tiap saat bisa muncul dapat dikelola sehingga menghasilkan
perdamaian. Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab, karena perdamaian
bukanlah keadaan dimana tidak ada lagi perbedaan, tetapi justru yang menghargai
perbedaan. Perdamaian, tidak harus semuanya menjadi sama, tetapi saling
menghormati.[7]
Konsep
perdamaian di atas sependapat dengan seruan Alwi Syihab agar umat beragama
selain memikirkan masa depan agamanya, bagaimana agar generasi penerus dapat
memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya secara benar,
juga harus mempertimbangkan kehidupan bersama. Dalam konteks menjaga
kebersamaan dan kedamaian dalam masyarakat inilah pluralisme agama harus
ditempatkan. Pluralisme agama berarti sikap yang secara empati, jujur dan adil
menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu hidup menghormati,
memahami dan mengakui keberadaan orang lain sebagaimana menghormati, memahami
dan mengakui diri sendiri.[8]
Mengakui dan
menghormati pemeluk agama lain tidak perlu dipertentangan dengan keyakinan
agama mana yang paling benar. Untuk itu Franz Magnis Suseno mengatakan
pandangan relaitivisme agama yang menyatakan bahwa ”sebenarnya semua
agama sama saja” tidaklah tepat dan tidak menyelesaikan masalah karena tidak
memperhatikan hakekat agama wahyu. Bagi umat Islam, al-Qur`an adalah wahyu yang
paripurna dan sempurna yang diturunkan dari Allah. Bagi orang Kristen, Yesus
adalah Sang Sabda Allah sendiri dan bukan salah satu guru kerohanian.[9]
Perdamaian
yang menghargai keragaman dan tidak menenutup mata terhadap adanya potensi
konflik meniscayakan demokrasi dan pendasaran rasional dalam mengelola setiap
ide yang berbeda sehingga kesepakatan bukanlah hasil rekayasaya apalagi
pemaksaan salah satu pihak yang jelas berbeda. Kosep pendasaran rasional sebagaimana dikemukakan oleh Habermas,
Filosof asal Jerman, adalah tercapainya konsensus melalui sebuah jalan yang
bertumpu pada kekuatan argumen-argumen terbaik dan tidak didistorsi oleh
hubungan-hubungan kekuasaan atau manipulasi terselubung.[10]
D. Pemahaman Terhadap Teks Suci
Agama dalam bentuk wahyu Tuhan pada
awalnya turun untuk memberi petunjuk kepada manusia dalam mengatasi
problem-problem dalam kehidupannya. Dengan agama manusia memiliki cara pandang
baru terhadap kehidupan dan jalan baru sebagai titian dalam masa kehidupannya.
Namun dalam perkembangan berikutnya agama justru menjadi bagian dari problem
masyarakat itu sendiri. Dalam fase ini masyarakat justru disibukkan dengan
usaha menjaga agama. Fenomena yang terakhir inilah yang menyibukkan pemikiran
agama (religious studies) sampai masa pertengahan bahkan sampai hari ini
di sebagian kelompok masyarakat.
Nashr Hamid Abu Zaid mengistilahkan fenomena di atas
dengan gerak menurun dan gerak menaik, pada tahap pertama yaitu masa pewahyuan
wahyu berjalan menurun dari Allah kepada manusia. Namun dalam pemikiran masa
belakangan gerak itu menjadi menaik dari manusia menuju Allah. Manusia yang
mencari Tuhan, yang ingin menyatu dengan Allah. [11]
Gejala pemahaman keagamaan yang merupakan gerak
menaik sangat menonjol pada masa pertengahan. Keragaman metode tafsir al-Qur`an
pada masa keemasan Islam akibat interaksi khazanah pemikiran Islam dengan
pemikiran Yunani secara perlahan dihentikan. Untuk membatasi polemik dengan
kalangan filosof dan ahli logika dalam interprestasi terhadap al-Qur’an dan
hadits, para ulama memperketat bahkan cenderung membatasi usaha penafsiran
terhadap al-Qur’an. Sebagaimana disinyalir oleh Nash Hamid Abu Zayd, sikap dan
wacana keagamaan terhadap ilmu-ilmu keislaman, khususnya al-Qur’an dan hadits
pada masa pertengahan adalah hanya sikap pengulangan. Hal tersebut terjadi
karena banyak diantara ulama yang berasumsi bahwa ilmu-ilmu al-Qur`an dan
al-Hadits termasuk ruang lingkup ilmu yang sudah matang dan final (nadhijat
wa ihtarakat).[12]
Para ulama memandang karya tafsir tidak sebagai upaya mendialogkan teks
al-Qur’an dengan realitas masyarakat yang sedang berlangsung, tetapi pada
konsistensinya untuk mengikuti jejak ulama terhadulu (salaf) yang
menafsirkan al-Qur’an dengan metode naql yaitu dengan al-Qur’an sendiri,
al-sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in.
Ibn Taymiyyah, salah seorang ulama abad VIII Hijriah
menegaskan bahwa apabila telah diketahui pengertian atau tafsir al-Qur’an
dengan al-sunnah maka tidak diperlukan lagi pendapat ahli bahasa dan yang
lainnya. Bagi setiap mukmin tidak diperkenankan berbicara mengenai agama
kecuali mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw., para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti jejak mereka dari para tabi’in, yang tak seorangpun
diantara mereka terbukti melakukan pertentangan dengan al-Qur’an dengan
rasionalitasnya.[13]
Al-Zarkasyi seorang ulama yang wafat pada tahun 794
H, penulis kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an, salah satu kitab rujukan
utama dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an juga menyimpulkan bahwa yang benar
menurut ilmu tafsir adalah apa yang berasal dari jalur naql (periwayatan)
seperti asbabun al-nuzul (sebab turunnya ayat), al-naskh wa
al-mansukh (diberlakukan atau dihapuskannya ketetapan hukum yang dikandung
oleh suatu ayat yang belum jelas) ta’yin
al-mubham (penjelasan terhadap ayat yang belum jelas), tabyin
al-mujmal (penjelasan terhadap ayat yang masih umum). Apabila tidak
didapatkan penafsiran yang cukup dari jalan naql, maka untuk mengetahui makna
dan maksud dari ayat-ayat al-Qur’an adalah dengan jalan pemahaman pada
penjelasan yang mu’tabar (terkenal dan diakui oleh kebanyakan ulama).[14]
Tafsir dengan pendekatan seperti itu, yang disebut tafsir
bi al-ma’tsur menurut al-Qaththan wajib diikuti dan dipedomani karena ia
adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk
menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah.[15]
Sebaliknya, tafsir yang mencoba merespon
perkembangan zaman dengan menghadirkan ilmu-ilmu seperti bahasa, hukum, sastra,
termasuk filsafat sebagai ilmu bantu dalam menyingkap makna al-Qur’an adalah
karya yang dilarang (haram) yang berarti juga haram megikutinya. Hal tersebut
dikarenakan ketepatan dan kebenaran suatu pendapat tidak meyakinkan dan hanya
bersifat dugaan dan perkiraan semata. Orang yang mengatakan sesuatu tentang
agama Allah menurut dugaan semata berati ia telah mengatakan terhadap Allah
sesuatu yang tidak ia ketahui.[16] Ibn
Taymiyyah juga secara tegas mengklaim bahwa sebab-sebab kesesatan dalam
penafsiran al-Qur’an adalah adanya interaksi dengan para filosof.[17]
Kerangka epistemologis tafsir al-Qur`an yang menggunakan
metode bi al-ma’tsur di atas menjelaskan bahwa gerak tafsir al-Qur`an
yang diorientasikan oleh nalar Arab adalah untuk mencari landasan teologis,
pembenar dari yang maha benar (al-haq), kepastian dari yang maha
absolute terhadap semua persoalan kebudayaan. Otoritas dan potensi kreatif
manusia sebagai penafsir dikubur sebagai barang sesat dan manusia harus
mengikuti logika Tuhan. Dengan logika ini, maka pemahaman agama yang dilahirkan
adalah pemahaman yang tertutup, yaitu pemahaman yang diatasnamakan sebagai
kalam Tuhan itu sendiri yang kebenarannya juga bersifat mutlak. Kebenaran lain, dari hasil penafsiran dengan
metode yang berbeda akan dianggap sesat. Fenomena inilah yang disebut Khaled
Abou El Fadl sebagai despotisme intelektual (al-Istibdad bi al-ra`yi)
yaitu pemaksaan pendapat tanpa otoritas yang semestinya.[18]
Tafsir dan
pemahaman sudah semestinya dibedakan dengan al-Qur`annya sendiri. Otoritas
penafsir tentu tidak sebanding dengan otoritas Tuhan, sehingga menjadi hal yang
wajar bila ada penafsiran yang beragam karena itu usaha manusia yang nisbi.
Quraish Shihab meyakini sebagaimana banyak pendapat ulama-ulama tafsir bahwa al-Qur`an
hammalat li al-wujuh (al-Qur`an (mampu) mengandung banyak interpretasi).
Meskipun demikian harus diakui ada beberapa ulama terutama dari kalangan fiqh
yang menyakini ada makna al-Qur`an yang qath’iy al-dalalah yaitu hanya
mengandung satu pilihan makna dan tidak ada tempat atau peluang untuk memahami
makna selain makna tersebut darinya (teks tersebut). Ulama yang tidak
menyepakati hal itu meyakini kandungan makna yang menunjuk satu arti (dalalah
haqiqiyah) itu hanya bagi pengucapnya (Tuhan), namun bagi pendengar/ pembaca
pemahaman dipengaruhi oleh banyak faktor, maka makna dapat beragam (dalalah
nishbiyah).
Golongan
ulama yang meyakini keragaman interpretasi terhadap al-Qur`an tidak menafikan
adanya ayat-ayat atau bagian dari al-Qur`an yang dipahami oleh mayoritas ulama
dengan makna yang satu, misalnya mengenai kewajiban shalat dari ayat-ayat
perintah menegakkan shalat, namun menurut mereka makna itu tidak dari makna (dalalah)
yang ditunjukkan oleh teks secara langsung, tetapi karena adanya
hubungan-hubungan dengan teks lain dan indikator-indikator lain yang
menghantarkan pembaca berkesimpulan sama, inilah yang disebut makna yang
disepakati/ konvensi (mutawatir ma`nawi/ mujma’ ‘alayh). Makna yang
disepakati dari al-Qur`an tersebut akan menjadi aksioma dalam agama yaitu
sesuatu yang sangat jelas dalam ajaran agama (ma’lum min al-din bi
al-dharurah).[19]
Pemahaman
terhadap teks suci yang mengakui keragaman penafsiran dan makna akan
menumbuhkan sikap rendah hati bagi pemeluknya dan bermuara pada keterbukaan
terhadap semua keragaman akibat realitas obyektif yang tidak tunggal. Lebih
penting dari semuanya itu, pemahaman al-Qur`an yang membuka diri terhadap
berbagai metode penafsiran akan dapat mengelaborasi makna-makna wahyu
sebagaimana misi awalnya yaitu sebagai petunjuk bagi semua manusia (huda li
al-nas) tanpa membeda-bedakan agama, ras dan sukunya.
Agama yang
menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia menurut Kuntowijoyo diantaranya
harus mampu membebaskan umat manusia dari gejala sekuler yang membelenggu umat
manusia sebagaimana fenomena masyarakat Industri sekarang ini. Wahyu dapat
dijadikan sumber pengetahuan yang menghasilkan ilmu yang obyektif. Ilmu yang
obyektif tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, nonagama, dan antiagama
sebagai norma, tetapi sebagai gejala keilmuan yang obyektif semata. Contoh dari
obyektifikasi adalah akupuntur, orang bisa menggunakan jasanya untuk
penyembuhan tanpa percaya pada konsep Yin-Yang Taosime, Yoga tanpa harus
percaya kepada Hinduisme dan herbal medicine tanpa harus percaya kepada Hinduisme
– Bali. Untuk itu perbankan syariah dihadirkan sebagai konsep baru untuk
menjawab perbankan konvensional yang dianggap menindas dengan sistem bunga.
Pengguna jasa perbankan syariah dengan demikian tidak harus orang Islam yang
meyakini etika ekonomi Islam.[20]
E. Bagaimana Menjadi Pluralis?
Tidak ada pengalaman yang memiliki legitimasi
lebih tinggi bagi umat beragama selain pengalaman Nabi yang dijadikan
panutannya. Dalam pembahasan masalah pluralisme, contoh yang diberikan Nabi
yang telah banyak dibahas oleh cendekiawan muslim adalah praktek Nabi dalam mempersatukan masyarakat
Madinah setelah beliau Hijrah. Beliau membuat perjanjian dengan seluruh warga
Madinah yang sangat beragam baik dari sisi keagamaan maupun dari sisi kesukuan.
Dari golongan orang Islam sendiri sudah terdapat dua kelompok yang berbeda asal
daerahnya dan tentu berbeda karakter dan kepentingan-kepentingan lainnya, yaitu
golongan muhajirin pendatang dari Makkah dan anshar sebagai muslim pribumi.
Selain muslim, penduduk Madinah juga dihuni oleh pemeluk agama Yahudi dan
kepercayaan lain. Dari aspek etnis, Madinah terdiri dari beberapa suku seperti
Aus, khazraj, qainuqa, nadhir dan Quraizhat. Untuk itu sangat menarik membaca
pembukaan piagam madinah tersebut. Beberapa pasal pembuka akan dikutip sebagi
bahan kajian di bawah ini:
بسم
الله الرحمن الرحيم,
هذا كتاب من
محمد النبي صلى
الله عليه و
سلم
,بين المؤمنين و
المسلمين من قريش
و يثرب ومن
تبعهم ,فلحق بهم
وجاهد معهم.
Dengan asma Allah Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang . Ini adalah kitab (ketentuan tertulis)
dari Muhammad, Nabi SAW. antara orang-orang mukmin dan muslim yang berasal dari
Qurays dan Yatsrib dan yang mengikuti mereka, kemudian menggabungkan diri
dengan mereka dan berjuang bersama mereka.
انهم امة
واحدة من دون
الناس
Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, tidak
termasuk golongan lain
المهاجرون من
قريش على ربعتهم
بينهم,......
Golongan Muhajirin dan
Qurays tetap mengikuti adat kebiasaan baik yang berlaku dikalangan mereka, …..
وبنو
عوف على ربعتهم
يتعاقلون معاقلهم الاولى
,....
Banu `Auf menurut adat kebiasaan baik mereka yang
berlaku, mereka bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah mereka
seperti semula,.....
Begitu seterusnya, adat kebiasaan masing-masing
suku yang baik termasuk sistem hukum tetap eksis dan berlaku di masing-masing
suku. Secara umum Munawir Sjadzali menyimpulkan Piagam Madinah sebagai landasan
bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah itu mengandung
ketentuan: 1) semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku tetapi merupakan
satu komunitas. 2) Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan anggota
komunitas lain didasarkan atas prisip-prinsip, a) bertetangga baik, b) saling
membantu dalam menghadapi musuh bersama., c) membela yang teraniaya, d) saling
menasehati, e) menghormati kebebasan beragama, dan piagam itu sebagai
konstitusi negara Islam yang pertama tidak menyebut agama negara.[21]
Penelitian lain menyebutkan lebih spesifik
hubungan Islam dan Yahudi adalah, 1) Kaum Yahudi hidup berdampingan dengan kaum
muslimin dan masing-masing bebas memeluk dan melaksanakan agamanya. Adalah hak
mereka bersama menghukum orang yang membuat kejahatan dan menjamin keamanan
orang yang patuh. 2) Kaum Yahudi dan kaum Muslimin wajib bahu membahu dalam
menghadapi lawan yang menyerang mereka, sedangkan logistik ditanggung oleh
mereka masing-masing. 3) Kaum Yahudi dan kaum Muslimin saling menolong dalam
melaksanakan kewajiban. 4) Kota Madinah wajib dihormati oleh mereka yang
terikat dengan perjanjian ini. Kalau terjadi perselisihan antara kaum Yahudi
dan kaum Muslimin maka keputusan diserahkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai
kepala penduduk Madinah.[22]
Dengan demikian bentuk negara Madinah yang
dibangun bersama dengan Piagam Madinah mirip dengan konsep negara federal dalam
teori politik modern, dimana ada urusan-urusan yang sepenuhnya menjadi
tanggungjawab masing-masing negara bagian (suku/ kabilah) seperti urusan
logistik, hukum, dan agama, namun juga ada urusan yang ditangani bersama
misalnya pertahanan keamanan.
F. Penutup
Penafsiran terhadap
teks suci (al-Qur`an dan hadits) yang berorientasi teologis dengan mengabaikan
realitas penafsir dan pembaca akan menghasilkan pemahaman keagamaan yang
tertutup dengan melegitimasi hasil penafsiran dan pemahamannya terhadap teks
suci sebagai teks suci itu sendiri yang mutlak. Penafsiran seperti ini akan
melahirkan otoritarianisme keagamaan yang menafikan perbedaan pendapat dan
pemikiran.
Sebaliknya
penafsiran yang mengakui kreatifitas sekaligus kenisbian sang penafsir sebagai
manusia akan membuka cakrawala makna yang kaya dan fungsi al-Qur`an sebagai
petunjuk umat manusia tanpa membedakan asal-usulnya akan teroptimalkan.
Al-Qur`an bisa menjadi sumber pencerahan bagi sistem ekonomi, hukum, pendidikan
dan berbagai persoalan sosial budaya bagi semua manusia tanpa manusia tersebut
dipaksa untuk mengakui kebenaran al-Qur`an dan masuk Islam.
Pemahaman
keagamaan yang mengakui akan keragaman telah dipraktekkan oleh Nabi ketika
membangun negara Madinah dengan membuat perjanjian yang disebut Piagam Madinah antar
umat Islam, Yahudi dan suku-suku yang ada di Madinah. Perjanjian ini mengakui
adanya perbedaan agama, suku dan adat istiadatnya, namun tidak membeda-bedakan
di antara mereka soal perlindungan dari kejahatan dan ancaman dari luar
termasuk dalam hal tolong menolong dalam soal kebaikan. Wallahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Perpsektif Analitis
dalam Studi Keragaman Agama, Mencari
Bentuk Baru Metode Studi Agama, dalam, Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni
Kehidupan Beragama, Problem, Praktek
Pendidikan, Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005
Amin, Masyhur, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Inggris –
Jerman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
El Fadl, Khaled Abou, Atas
Nama Tuhan, Jakarta: Serambi, 2004
Haryatmoko,
Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003
Kuntowijoyo, Identitas
Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997
Moleong
Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1990
Muhajir,
Noeng, Wahyu Dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme Metodologik:
Metodologi Kualitatif, dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, ed., Metodologi
Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
al-Najdi,
‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim al-‘Ashim, Majmu ‘Fatawa Syaykh
al-Islam ahmad bin Taymiyyah, Tt: tpn, 1398 H, Juz 13 –Kitab Muqaddimat
al-Tafsir,
Northcott, Michael S.,
Pendekatan Sosiologis, dalam Peter Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi
Agama, Penerjemah: Imam Khoiri, Yogyakarta: LkiS, 2002
al-Qaththan Manna’, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur`an, Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973
Sarapung, Elga & Zuly Qodir, Pluralisme,
Konflik dan Perdamaian, Studi Bersama Antar-Iman (Yogyakarta: Pustaka Pelajara & Dian
Interfidi, 2002
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan,
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2006
Syihab, Alwi, Islam
Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999)
Wirosardjono, Soetjipto,
peng., Agama dan Pluralitas Bangsa, Jakarta: Guna Aksara, 1994
Zaid, Nashr Hamid Abu, Mafhum al-Nash, Dirasah
fi ’Ulum al-Qur`an, Kairo: al-Hay`ah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab
al-Zarkasyi Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah, al-Burhan
fi’Ulum al-Qur’an,Beyrut: Dar al-Fikr, 1998
[1] Soetjipto
Wirosardjono, peng., Agama dan Pluralitas Bangsa (Jakarta: Guna Aksara,
1994) h. 39-40
[2] Ibid. H. 55-57
[3] Soetjipto Wirosardjono, peng., Agama, h.
67
[4] Alwi Syihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap
Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999) h. 40
[5] M. Amin Abdullah, Perpsektif Analitis dalam
Studi Keragaman Agama, Mencari Bentuk
Baru Metode Studi Agama, dalam, Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan
Beragama, Problem, Praktek Pendidikan
(Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005) h. 33
[6] Elga Sarapung
& Zuly Qodir, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, Studi Bersama
Antar-Iman (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar & Dian Interfidei, 2002) h.
3
[7]
Elga Sarapung & Zuly Qodir, Pluralisme, h. 12
[8]
Alwi Syihab, Islam Inklusif, h. 7
[9]
Soetjito Wirosardjono, peng., Agama, h. 49
[10] K.
Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris – Jerman (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002) h. 248
[11]
Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash,
Dirasah fi ’Ulum al-Qur`an (Kairo: al-Hay`ah al-Mishriyah al-Ammah li
al-Kitab)
[12] Ibid, h. 13
[13] ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim
al-‘Ashim al-Najdi, Majmu ‘Fatawa Syaykh al-Islam ahmad bin Taymiyyah, (Tt:
tpn, 1398 H), Juz 13 –Kitab Muqaddimat al-Tafsir, h. 27 dan 63
[14] Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah
al-Zarkasyi, al-Burhan fi’Ulum al-Qur’an,(Beyrut: Dar al-Fikr, 1998),
juz 2, h. 188-189
[15] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum
al-Qur`an (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973) h. 350
[16]Ibid, h. 352
[17] ‘Abd al-Rahman, Majmu’ Fatawa, h.
206
[18]
Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Penerjemah: (Jakarta: Serambi, 2004) h. 142-143
[19] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an,
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999) h.
137
[20]
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,
Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Bandung: Teraju Mizan, 2004) h. 56-57
[21] J.
Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Pandangan al-Qur`an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) h. 120-121
[22] Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam
(Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004) h. 42-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar