Rabu, 02 Oktober 2013

TAFSIR AL-QUR`AN UNTUK KERAGAMAN DAN KONFLIK DALAM MASYARAKAT

TAFSIR AL-QUR`AN UNTUK
KERAGAMAN DAN KONFLIK DALAM MASYARAKAT




Anwar Mujahidin
 
Abstrak

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk pemahaman terhadap teks suci yang membuahkan penghargaan pemeluknya terhadap realitas keragaman masyarakat. Penafsiran terhadap teks suci (al-Qur`an dan hadits) yang berorientasi teologis dengan mengabaikan realitas penafsir dan pembaca akan menghasilkan pemahaman keagamaan yang tertutup dengan melegitimasi hasil penafsiran dan pemahamannya terhadap teks suci sebagai teks suci itu sendiri yang mutlak. Penafsiran seperti ini akan melahirkan otoritarianisme keagamaan yang menafikan perbedaan pendapat dan pemikiran. Sebaliknya penafsiran yang mengakui kreatifitas sekaligus kenisbian sang penafsir sebagai manusia akan membuka cakrawala makna yang kaya dan dapat mengoptimalkan fungsi al-Qur`an sebagai petunjuk umat manusia.  Pemahaman keagamaan yang mengakui akan keragaman telah dipraktekkan oleh Nabi ketika membangun negara Madinah dengan membuat perjanjian yang disebut Piagam Madinah antar umat Islam, Yahudi dan suku-suku yang ada di Madinah.

Kata Kunci: Tafsir al-Qur`an, Pluralisme



A.    Latar Belakang

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi, Orang-orang Nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian serta beramal shalih, mereka semua akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka dan tidak akan kuatir, tidak pula akan bersedih” (s. al-Baqarah ayat 62). Dalam suatu seminar mengenai pluralisme, Quraish Shihab, mufassir Indonesia membuka makalahnya dengan mengutip ayat tersebut dan mengandaikan apabila umat Islam memahami bunyi harfiahnya tanpa mengkaitkannya dengan teks-teks lain maka absolutisme dalam beragama akan sangat berkurang bahkan pupus sama sekali. Bahkan Quraish Shihab juga menunjukkan sejumlah data historis dimana umat Islam awal begitu menerima kenyataan adanya keragaman.[1]
Franz Magnis Suseno seorang Romo Katolik juga menyatakan bahwa di dalam Kristen ada perutusan Gereja yang bertugas mempermaklumkan Injil keseluruh dunia. Mereka itu adalah murid-murid Yesus yang diutus memberikan kesaksian tentang peristiwa Yesus (Luk. 24, 28). Menurutnya tugas missioner adalah menjadi saksi bagi berita keselamatan agamanya. Perutusan itu memang berlaku universal, maka Gereja tidak berhak membatasi diri misalnya pada “orang-orang yang belum beragama saja”. Tetapi kesaksian itu dipahami salah kalau diartikan sebagai mencari masa atau sebanyak mungkin orang dari agama-agama lain. Gereja tidak disuruh untuk memberikan penilaian tentang agama lain, ia juga tidak disuruh “mengkristenkan” bangsa-bangsa. Kesaksiannya harus betul-betul diberikan tanpa pamrih.[2]
Penjelasan kedua tokoh agama di atas menunjukkan bahwa secara teologis Islam dan Kristen tidak mengajarkan pandangan yang sempit yang tidak mengakui keragaman agama. Namun konflik antar pemeluk agama merupakan suatu yang nyata dalam sejarah bangsa-bangsa. Untuk itu Fachri Ali, seorang sosiolog, dalam seminar tersebut menyatakan tanggapannya kepada Quraish Shihab dan Magnis Suseno. Harus diakui bahwa dalam masing-masing agama ada semangat ekspansi. Dalam Kristen ada konsep Nulus Kristianus bahwa satu orang Kristen artinya sama dengan tidak ada orang Kristen. Dalam al-Qur`an juga ada ayat yang belum dikutip oleh pak Quraish yaitu ”wa lan tardha ’anka al-yahudu....”. Fachri mengusulkan agar sebaiknya pemeluk agama adil saja dengan mengatakan memang masing-masing agama saling ekspansi. Kemudian melihat aspek realitas atau lebih tepatnya aspek struktural yang sebenarnya secara empiris dan obyektif mempertemukan atau menambah saling pemahaman antar sesama agama.[3]
Sebagaimana dinyatakan Alwi Syihab bahwa selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari yang Maha Kuasa.[4] Dari sudut pandang historis, Amin Abdullah juga menyatakan bahwa agama itu sarat dengan “kepentingan” (interest) yang terdapat pada kurikulum, proses pendidikan, kepemimpinan, institusi agama, serta studi agama. Dalam kenyataannya hampir semua agama memiliki istitusi dan organisasi yang mendukung, memperkuat, menyebarluaskan ajaran agamanya. Institusi dan organisasi keagamaan tersebut telah banyak terlibat kedalam sosial budaya, sosial kemasyarakatan, pendidikan, kesehatan, politik dan ekonomi.[5]
Dengan mengakui adanya kepentingan agama yaitu misi untuk mewartakan kebenaran kepada semua orang maupun kepentingan pemeluk agama baik kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang dilegitimasi agama, maka tidak berarti hendak memelihara permusuhan antar agama. Perbedaan kepentingan tedak mesti melahirkan konflik dan konflik tidak mesti merusak kerukunan sehingga harus dihindari. Namun konflik dimengerti dan dipahami sehingga bisa dikelola untuk tidak menjadi anarki tetapi menjadi kekuatan bersama. Agama yang mengerti realitas keragaman, bukan menolak adanya perbedaan-bedaan dan menunut-nutupi konflik inilah nampaknya yang diharpkan dalam era globalisasi dewasa ini, di mana pertemuan antar budaya semakin cepat dan intens akibat teknologi informasi.

B.     Fokus Masalah

Setiap gerakan keagamaan dan pola hidup umat beragama senantiasa didasarkan kepada teks-teks suci agamanya. Untuk itu persoalan mendasar dalam masalah pluralisme adalah menyangkut tafsir atau pemahaman atas teks-teks suci. Bagaimana umat beragama mengerti akan jalan sehingga mereka mendapat pengetahuan dari teks sucinya, akan sangat mempengaruhi sikap kegamaannya, untuk itu masalah pertama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana bentuk pemahaman terhadap teks suci yang membuahkan penghargaan pemeluknya terhadap realitas keragaman?.
Umat beragama sebagai manusia yang hidup dalam suatu komunitas tentu tidak berhenti kepada pemahaman agama yang menghasilkan kerangka-kerangka normatife sebagai pedoman hidupnya, tetapi juga memiliki pengalaman historis obyektif dalam  mewujudkan cita-cita normatifnya tersebut, untuk itu masalah kedua yang akan dibahas makalah ini adalah bagaimana sikap-sikap umat beragama yang menghargai perbedaan tersebut mewujud dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat?.

C. Kerangka Konseptual
Keragaman adalah kenyataan alamiah bahwa setiap realitas di alam raya ini selalu tersusun dari perbedaan-perbedaan. Secara alamiah ada jenis manusia laki-laki dan perempuan, kondisi alam juga berbeda-beda sehingga mempengaruhi watak manusia yang mendiaminya yang melahirkan perbedaan ras. Akibat perbedaan ras maka muncul perbedaan adat istiadat yang muncul dari interaksi sosial, kultural dengan alam dan lingkungan yang berbeda tersebut. Karena siftanya yang alamiah inilah Th. Sumartana mengomentari keragaman seperti yang ditemui masyarakat Indonesia baik dari segi suku, agama maupun ras (SARA) sebagai nenek moyang yang melahirkan bangsa Indonesia. Sifat-sifat asasi dari kemajemukan SARA diturunkan menjadi sifat-sifat asasi dari bangsa Indonesia. Kepelbagaian adalah ciri Indonesia yang tidak bisa ditolak dan diingkari.[6]
Konflik  merupakan satu kesatuan dengan pluralisme, tidak ada pluralisme tanpa konflik, kecuali bila direkayasa sebagaimana rezin orde baru. Ketika masyarakat yang berbeda-beda agama atau suku berinterksi, pada saat itu kemungkinan terjadinya konflik menjadi sangat terbuka. Namun apakah masyarakat sudah siap dengan konflik-konflik kepentingan tersebut, sehingga setiap konflik yang tiap saat bisa muncul dapat dikelola sehingga menghasilkan perdamaian. Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab, karena perdamaian bukanlah keadaan dimana tidak ada lagi perbedaan, tetapi justru yang menghargai perbedaan. Perdamaian, tidak harus semuanya menjadi sama, tetapi saling menghormati.[7]
Konsep perdamaian di atas sependapat dengan seruan Alwi Syihab agar umat beragama selain memikirkan masa depan agamanya, bagaimana agar generasi penerus dapat memahami, meyakini dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya secara benar, juga harus mempertimbangkan kehidupan bersama. Dalam konteks menjaga kebersamaan dan kedamaian dalam masyarakat inilah pluralisme agama harus ditempatkan. Pluralisme agama berarti sikap yang secara empati, jujur dan adil menempatkan kepelbagaian, perbedaan pada tempatnya, yaitu hidup menghormati, memahami dan mengakui keberadaan orang lain sebagaimana menghormati, memahami dan mengakui diri sendiri.[8]
Mengakui dan menghormati pemeluk agama lain tidak perlu dipertentangan dengan keyakinan agama mana yang paling benar. Untuk itu Franz Magnis Suseno mengatakan pandangan relaitivisme agama yang menyatakan bahwa ”sebenarnya semua agama sama saja” tidaklah tepat dan tidak menyelesaikan masalah karena tidak memperhatikan hakekat agama wahyu. Bagi umat Islam, al-Qur`an adalah wahyu yang paripurna dan sempurna yang diturunkan dari Allah. Bagi orang Kristen, Yesus adalah Sang Sabda Allah sendiri dan bukan salah satu guru kerohanian.[9]
Perdamaian yang menghargai keragaman dan tidak menenutup mata terhadap adanya potensi konflik meniscayakan demokrasi dan pendasaran rasional dalam mengelola setiap ide yang berbeda sehingga kesepakatan bukanlah hasil rekayasaya apalagi pemaksaan salah satu pihak yang jelas berbeda. Kosep pendasaran rasional  sebagaimana dikemukakan oleh Habermas, Filosof asal Jerman, adalah tercapainya konsensus melalui sebuah jalan yang bertumpu pada kekuatan argumen-argumen terbaik dan tidak didistorsi oleh hubungan-hubungan kekuasaan atau manipulasi terselubung.[10]

D.    Pemahaman Terhadap Teks Suci

Agama dalam bentuk wahyu Tuhan pada awalnya turun untuk memberi petunjuk kepada manusia dalam mengatasi problem-problem dalam kehidupannya. Dengan agama manusia memiliki cara pandang baru terhadap kehidupan dan jalan baru sebagai titian dalam masa kehidupannya. Namun dalam perkembangan berikutnya agama justru menjadi bagian dari problem masyarakat itu sendiri. Dalam fase ini masyarakat justru disibukkan dengan usaha menjaga agama. Fenomena yang terakhir inilah yang menyibukkan pemikiran agama (religious studies) sampai masa pertengahan bahkan sampai hari ini di sebagian kelompok masyarakat.
Nashr Hamid Abu Zaid mengistilahkan fenomena di atas dengan gerak menurun dan gerak menaik, pada tahap pertama yaitu masa pewahyuan wahyu berjalan menurun dari Allah kepada manusia. Namun dalam pemikiran masa belakangan gerak itu menjadi menaik dari manusia menuju Allah. Manusia yang mencari Tuhan, yang ingin menyatu dengan Allah. [11]
Gejala pemahaman keagamaan yang merupakan gerak menaik sangat menonjol pada masa pertengahan. Keragaman metode tafsir al-Qur`an pada masa keemasan Islam akibat interaksi khazanah pemikiran Islam dengan pemikiran Yunani secara perlahan dihentikan. Untuk membatasi polemik dengan kalangan filosof dan ahli logika dalam interprestasi terhadap al-Qur’an dan hadits, para ulama memperketat bahkan cenderung membatasi usaha penafsiran terhadap al-Qur’an. Sebagaimana disinyalir oleh Nash Hamid Abu Zayd, sikap dan wacana keagamaan terhadap ilmu-ilmu keislaman, khususnya al-Qur’an dan hadits pada masa pertengahan adalah hanya sikap pengulangan. Hal tersebut terjadi karena banyak diantara ulama yang berasumsi bahwa ilmu-ilmu al-Qur`an dan al-Hadits termasuk ruang lingkup ilmu yang sudah matang dan final (nadhijat wa ihtarakat).[12] Para ulama memandang karya tafsir tidak sebagai upaya mendialogkan teks al-Qur’an dengan realitas masyarakat yang sedang berlangsung, tetapi pada konsistensinya untuk mengikuti jejak ulama terhadulu (salaf) yang menafsirkan al-Qur’an dengan metode naql yaitu dengan al-Qur’an sendiri, al-sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in.
Ibn Taymiyyah, salah seorang ulama abad VIII Hijriah menegaskan bahwa apabila telah diketahui pengertian atau tafsir al-Qur’an dengan al-sunnah maka tidak diperlukan lagi pendapat ahli bahasa dan yang lainnya. Bagi setiap mukmin tidak diperkenankan berbicara mengenai agama kecuali mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw., para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dari para tabi’in, yang tak seorangpun diantara mereka terbukti melakukan pertentangan dengan al-Qur’an dengan rasionalitasnya.[13]
Al-Zarkasyi seorang ulama yang wafat pada tahun 794 H, penulis kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an, salah satu kitab rujukan utama dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an juga menyimpulkan bahwa yang benar menurut ilmu tafsir adalah apa yang berasal dari jalur naql (periwayatan) seperti asbabun al-nuzul (sebab turunnya ayat), ­al-naskh wa al-mansukh (diberlakukan atau dihapuskannya ketetapan hukum yang dikandung oleh suatu ayat yang belum jelas) ta’yin  al-mubham (penjelasan terhadap ayat yang belum jelas), tabyin al-mujmal (penjelasan terhadap ayat yang masih umum). Apabila tidak didapatkan penafsiran yang cukup dari jalan naql, maka untuk mengetahui makna dan maksud dari ayat-ayat al-Qur’an adalah dengan jalan pemahaman pada penjelasan yang mu’tabar (terkenal dan diakui oleh kebanyakan ulama).[14]
Tafsir dengan pendekatan seperti itu, yang disebut tafsir bi al-ma’tsur menurut al-Qaththan wajib diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah.[15]
Sebaliknya, tafsir yang mencoba merespon perkembangan zaman dengan menghadirkan ilmu-ilmu seperti bahasa, hukum, sastra, termasuk filsafat sebagai ilmu bantu dalam menyingkap makna al-Qur’an adalah karya yang dilarang (haram) yang berarti juga haram megikutinya. Hal tersebut dikarenakan ketepatan dan kebenaran suatu pendapat tidak meyakinkan dan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berati ia telah mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui.[16] Ibn Taymiyyah juga secara tegas mengklaim bahwa sebab-sebab kesesatan dalam penafsiran al-Qur’an adalah adanya interaksi dengan para filosof.[17]
Kerangka epistemologis tafsir al-Qur`an yang menggunakan metode bi al-ma’tsur di atas menjelaskan bahwa gerak tafsir al-Qur`an yang diorientasikan oleh nalar Arab adalah untuk mencari landasan teologis, pembenar dari yang maha benar (al-haq), kepastian dari yang maha absolute terhadap semua persoalan kebudayaan. Otoritas dan potensi kreatif manusia sebagai penafsir dikubur sebagai barang sesat dan manusia harus mengikuti logika Tuhan. Dengan logika ini, maka pemahaman agama yang dilahirkan adalah pemahaman yang tertutup, yaitu pemahaman yang diatasnamakan sebagai kalam Tuhan itu sendiri yang kebenarannya juga bersifat mutlak. Kebenaran lain, dari hasil penafsiran dengan metode yang berbeda akan dianggap sesat. Fenomena inilah yang disebut Khaled Abou El Fadl sebagai despotisme intelektual (al-Istibdad bi al-ra`yi) yaitu pemaksaan pendapat tanpa otoritas yang semestinya.[18]  
Tafsir dan pemahaman sudah semestinya dibedakan dengan al-Qur`annya sendiri. Otoritas penafsir tentu tidak sebanding dengan otoritas Tuhan, sehingga menjadi hal yang wajar bila ada penafsiran yang beragam karena itu usaha manusia yang nisbi. Quraish Shihab meyakini sebagaimana banyak pendapat ulama-ulama tafsir bahwa al-Qur`an hammalat li al-wujuh (al-Qur`an (mampu) mengandung banyak interpretasi). Meskipun demikian harus diakui ada beberapa ulama terutama dari kalangan fiqh yang menyakini ada makna al-Qur`an yang qath’iy al-dalalah yaitu hanya mengandung satu pilihan makna dan tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna tersebut darinya (teks tersebut). Ulama yang tidak menyepakati hal itu meyakini kandungan makna yang menunjuk satu arti (dalalah haqiqiyah) itu hanya bagi pengucapnya (Tuhan), namun bagi pendengar/ pembaca pemahaman dipengaruhi oleh banyak faktor, maka makna dapat beragam (dalalah nishbiyah).
Golongan ulama yang meyakini keragaman interpretasi terhadap al-Qur`an tidak menafikan adanya ayat-ayat atau bagian dari al-Qur`an yang dipahami oleh mayoritas ulama dengan makna yang satu, misalnya mengenai kewajiban shalat dari ayat-ayat perintah menegakkan shalat, namun menurut mereka makna itu tidak dari makna (dalalah) yang ditunjukkan oleh teks secara langsung, tetapi karena adanya hubungan-hubungan dengan teks lain dan indikator-indikator lain yang menghantarkan pembaca berkesimpulan sama, inilah yang disebut makna yang disepakati/ konvensi (mutawatir ma`nawi/ mujma’ ‘alayh). Makna yang disepakati dari al-Qur`an tersebut akan menjadi aksioma dalam agama yaitu sesuatu yang sangat jelas dalam ajaran agama (ma’lum min al-din bi al-dharurah).[19]
Pemahaman terhadap teks suci yang mengakui keragaman penafsiran dan makna akan menumbuhkan sikap rendah hati bagi pemeluknya dan bermuara pada keterbukaan terhadap semua keragaman akibat realitas obyektif yang tidak tunggal. Lebih penting dari semuanya itu, pemahaman al-Qur`an yang membuka diri terhadap berbagai metode penafsiran akan dapat mengelaborasi makna-makna wahyu sebagaimana misi awalnya yaitu sebagai petunjuk bagi semua manusia (huda li al-nas) tanpa membeda-bedakan agama, ras dan sukunya.
Agama yang menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia menurut Kuntowijoyo diantaranya harus mampu membebaskan umat manusia dari gejala sekuler yang membelenggu umat manusia sebagaimana fenomena masyarakat Industri sekarang ini. Wahyu dapat dijadikan sumber pengetahuan yang menghasilkan ilmu yang obyektif. Ilmu yang obyektif tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, nonagama, dan antiagama sebagai norma, tetapi sebagai gejala keilmuan yang obyektif semata. Contoh dari obyektifikasi adalah akupuntur, orang bisa menggunakan jasanya untuk penyembuhan tanpa percaya pada konsep Yin-Yang Taosime, Yoga tanpa harus percaya kepada Hinduisme dan herbal medicine tanpa harus percaya kepada Hinduisme – Bali. Untuk itu perbankan syariah dihadirkan sebagai konsep baru untuk menjawab perbankan konvensional yang dianggap menindas dengan sistem bunga. Pengguna jasa perbankan syariah dengan demikian tidak harus orang Islam yang meyakini etika ekonomi Islam.[20]

E.     Bagaimana Menjadi Pluralis?


Tidak ada pengalaman yang memiliki legitimasi lebih tinggi bagi umat beragama selain pengalaman Nabi yang dijadikan panutannya. Dalam pembahasan masalah pluralisme, contoh yang diberikan Nabi yang telah banyak dibahas oleh cendekiawan muslim adalah  praktek Nabi dalam mempersatukan masyarakat Madinah setelah beliau Hijrah. Beliau membuat perjanjian dengan seluruh warga Madinah yang sangat beragam baik dari sisi keagamaan maupun dari sisi kesukuan. Dari golongan orang Islam sendiri sudah terdapat dua kelompok yang berbeda asal daerahnya dan tentu berbeda karakter dan kepentingan-kepentingan lainnya, yaitu golongan muhajirin pendatang dari Makkah dan    anshar sebagai muslim pribumi. Selain muslim, penduduk Madinah juga dihuni oleh pemeluk agama Yahudi dan kepercayaan lain. Dari aspek etnis, Madinah terdiri dari beberapa suku seperti Aus, khazraj, qainuqa, nadhir dan Quraizhat. Untuk itu sangat menarik membaca pembukaan piagam madinah tersebut. Beberapa pasal pembuka akan dikutip sebagi bahan kajian di bawah ini:
 بسم الله الرحمن الرحيم, هذا كتاب من محمد النبي صلى الله عليه و سلم ,بين المؤمنين و المسلمين من قريش و يثرب ومن تبعهم ,فلحق بهم وجاهد معهم.
Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang . Ini adalah kitab (ketentuan tertulis) dari Muhammad, Nabi SAW. antara orang-orang mukmin dan muslim yang berasal dari Qurays dan Yatsrib dan yang mengikuti mereka, kemudian menggabungkan diri dengan mereka dan berjuang bersama mereka.  

 انهم امة واحدة من دون الناس
Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, tidak termasuk golongan lain

المهاجرون من قريش على ربعتهم بينهم,......
Golongan Muhajirin dan Qurays tetap mengikuti adat kebiasaan baik yang berlaku dikalangan mereka, …..

وبنو عوف على ربعتهم يتعاقلون معاقلهم الاولى ,....
Banu `Auf menurut adat kebiasaan baik mereka yang berlaku, mereka bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah mereka seperti semula,.....

Begitu seterusnya, adat kebiasaan masing-masing suku yang baik termasuk sistem hukum tetap eksis dan berlaku di masing-masing suku. Secara umum Munawir Sjadzali menyimpulkan Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah itu mengandung ketentuan: 1) semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku tetapi merupakan satu komunitas. 2) Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan anggota komunitas lain didasarkan atas prisip-prinsip, a) bertetangga baik, b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama., c) membela yang teraniaya, d) saling menasehati, e) menghormati kebebasan beragama, dan piagam itu sebagai konstitusi negara Islam yang pertama tidak menyebut agama negara.[21]
Penelitian lain menyebutkan lebih spesifik hubungan Islam dan Yahudi adalah, 1) Kaum Yahudi hidup berdampingan dengan kaum muslimin dan masing-masing bebas memeluk dan melaksanakan agamanya. Adalah hak mereka bersama menghukum orang yang membuat kejahatan dan menjamin keamanan orang yang patuh. 2) Kaum Yahudi dan kaum Muslimin wajib bahu membahu dalam menghadapi lawan yang menyerang mereka, sedangkan logistik ditanggung oleh mereka masing-masing. 3) Kaum Yahudi dan kaum Muslimin saling menolong dalam melaksanakan kewajiban. 4) Kota Madinah wajib dihormati oleh mereka yang terikat dengan perjanjian ini. Kalau terjadi perselisihan antara kaum Yahudi dan kaum Muslimin maka keputusan diserahkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai kepala penduduk Madinah.[22]
Dengan demikian bentuk negara Madinah yang dibangun bersama dengan Piagam Madinah mirip dengan konsep negara federal dalam teori politik modern, dimana ada urusan-urusan yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab masing-masing negara bagian (suku/ kabilah) seperti urusan logistik,  hukum, dan agama,  namun juga ada urusan yang ditangani bersama misalnya pertahanan keamanan.   
F. Penutup
Penafsiran terhadap teks suci (al-Qur`an dan hadits) yang berorientasi teologis dengan mengabaikan realitas penafsir dan pembaca akan menghasilkan pemahaman keagamaan yang tertutup dengan melegitimasi hasil penafsiran dan pemahamannya terhadap teks suci sebagai teks suci itu sendiri yang mutlak. Penafsiran seperti ini akan melahirkan otoritarianisme keagamaan yang menafikan perbedaan pendapat dan pemikiran.
Sebaliknya penafsiran yang mengakui kreatifitas sekaligus kenisbian sang penafsir sebagai manusia akan membuka cakrawala makna yang kaya dan fungsi al-Qur`an sebagai petunjuk umat manusia tanpa membedakan asal-usulnya akan teroptimalkan. Al-Qur`an bisa menjadi sumber pencerahan bagi sistem ekonomi, hukum, pendidikan dan berbagai persoalan sosial budaya bagi semua manusia tanpa manusia tersebut dipaksa untuk mengakui kebenaran al-Qur`an dan masuk Islam. 
Pemahaman keagamaan yang mengakui akan keragaman telah dipraktekkan oleh Nabi ketika membangun negara Madinah dengan membuat perjanjian yang disebut Piagam Madinah antar umat Islam, Yahudi dan suku-suku yang ada di Madinah. Perjanjian ini mengakui adanya perbedaan agama, suku dan adat istiadatnya, namun tidak membeda-bedakan di antara mereka soal perlindungan dari kejahatan dan ancaman dari luar termasuk dalam hal tolong menolong dalam soal kebaikan. Wallahu A’lam

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Perpsektif Analitis dalam Studi  Keragaman Agama, Mencari Bentuk Baru Metode Studi Agama, dalam, Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama, Problem, Praktek  Pendidikan, Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005
Amin, Masyhur, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Inggris – Jerman, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
El Fadl, Khaled Abou, Atas Nama Tuhan,  Jakarta: Serambi, 2004
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997
Moleong Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990
Muhajir, Noeng, Wahyu Dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme Metodologik: Metodologi Kualitatif, dalam Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, ed., Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. 
al-Najdi, ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim al-‘Ashim, Majmu ‘Fatawa Syaykh al-Islam ahmad bin Taymiyyah, Tt: tpn, 1398 H, Juz 13 –Kitab Muqaddimat al-Tafsir,
Northcott, Michael S., Pendekatan Sosiologis, dalam Peter Connolly, ed., Aneka Pendekatan Studi Agama, Penerjemah: Imam Khoiri, Yogyakarta: LkiS, 2002
al-Qaththan Manna’, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur`an, Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973
Sarapung, Elga & Zuly Qodir, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, Studi Bersama Antar-Iman  (Yogyakarta: Pustaka Pelajara & Dian Interfidi, 2002
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2006
Syihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999)
Wirosardjono, Soetjipto, peng., Agama dan Pluralitas Bangsa, Jakarta: Guna Aksara, 1994
Zaid, Nashr Hamid Abu, Mafhum al-Nash, Dirasah fi ’Ulum al-Qur`an, Kairo: al-Hay`ah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab
al-Zarkasyi Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah, al-Burhan fi’Ulum al-Qur’an,Beyrut: Dar al-Fikr, 1998





[1]  Soetjipto Wirosardjono, peng., Agama dan Pluralitas Bangsa (Jakarta: Guna Aksara, 1994) h. 39-40
[2]  Ibid. H. 55-57
[3]  Soetjipto Wirosardjono, peng., Agama, h. 67
[4]  Alwi Syihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1999) h. 40
[5]  M. Amin Abdullah, Perpsektif Analitis dalam Studi  Keragaman Agama, Mencari Bentuk Baru Metode Studi Agama, dalam, Alef Theria Wasim, dkk, Harmoni Kehidupan Beragama, Problem, Praktek  Pendidikan (Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005) h. 33 
[6] Elga Sarapung & Zuly Qodir, Pluralisme, Konflik dan Perdamaian, Studi Bersama Antar-Iman  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar  & Dian Interfidei, 2002) h. 3
[7]  Elga Sarapung & Zuly Qodir, Pluralisme,  h. 12
[8]  Alwi Syihab, Islam Inklusif, h. 7
[9]  Soetjito Wirosardjono, peng., Agama, h. 49
[10]  K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris – Jerman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002) h. 248
[11]  Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash, Dirasah fi ’Ulum al-Qur`an (Kairo: al-Hay`ah al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab)
[12] Ibid,  h. 13
[13] ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim al-‘Ashim al-Najdi, Majmu ‘Fatawa Syaykh al-Islam ahmad bin Taymiyyah, (Tt: tpn, 1398 H), Juz 13 –Kitab Muqaddimat al-Tafsir, h. 27 dan 63
[14] Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah al-Zarkasyi, al-Burhan fi’Ulum al-Qur’an,(Beyrut: Dar al-Fikr, 1998), juz 2, h. 188-189
[15] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur`an (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973)  h. 350
[16]Ibid, h. 352
[17] ‘Abd al-Rahman, Majmu’ Fatawa, h. 206
[18]  Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Penerjemah:  (Jakarta: Serambi, 2004) h. 142-143
[19] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999) h. 137
[20]  Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Bandung: Teraju Mizan, 2004) h. 56-57
[21]  J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur`an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) h. 120-121
[22]  Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Indonesia Spirit Foundation, 2004) h. 42-43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar