SUBYEKTIVITAS DAN
OBYEKTIVITAS DALAM STUDI
AL-QUR`AN
(Kontribusi Paul Ricoeur dan
Muhammad Syahrur)
Anwar Mujahidin
Abstrak
Masalah
dasar-dasar ilmiah bagi tafsir al-Qur`an kontemporer sangat mendesak untuk
diperdebatkan dipanggung akademik studi al-Qur`an. Perdebatan antara penggunaan
akal (bi al-ra`yi) dan penggunaan riwayat (bi al-ma`tsur) dalam studi al-Qur`an
sama sekali tidak menghantarkan pemikir Islam kontemporer pada suatu
dasar-dasar metodologi tafsir yang yang bisa dipertanggung jawabkan, karena
perdebatan dua metode klasik di atas hanya membawa pemikiran Islam jumud dan
berputar-putar pada pertarungan idiologi antar kelompok yang semakin menjauhkan
umat dari petunjuk yang dimaksudkan al-Qur`an. Paul Recoeur adalah filosof asal
Perancis yang menekuni kajian teks (hermeneutika) dan Muhammad Syahrur adalah
seorang muslim yang menjadi dosen teknik di universitas Damaskus yang tertarik
menekuni studi al-Qur`an. Kedua tokoh memiliki kontribusi yang sangat berarti
dalam meletakkan dasar-dasar metode tafsir kontemporer, terutama bagaimana
konsep teks dan hubungan antara teks,
pengarang (author) dan pembaca (reader). Apakah ada standar obyektifitas
dalam studi al-Qur`an, bagaimana juga hak peneliti yang sekaligus sebagai
pembaca. Masalah inilah yang dikupas dalam makalah ini.
Kata Kunci : Tafsir, Hermeneutika, Teks, al-Qur`an,
Subyektif, Obyektif.
Pendahuluan
al-Qur’an adalah teks inti dalam sejarah peradaban Arab
Islam. Demikianlah pernyataan Nashr Hamid Abu Zayd. Lebih lanjut ia menyatakan
bahwa bukan suatu simplikasi jika dikatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah
“Peradaban Teks”. Hal tersebut tidak berarti bahwa teks itu sendiri yang
membangun peradaban, sebab teks apapun tidak dapat membangun peradaban dan
menegakkan ilmu pengetahuan serta kebudayaan. Yang dapat membangun peradaban
dan menegakkan kebudayaan adalah dialektika manusia dengan realitas di satu
pihak dan dialektika dengan teks di pihak lain.[1]
Kebutuhan pengkajian
al-Qur`an sudah mulai terasa sejak masa awal sejarah penyebaran Islam dan
mencapai respon keilmuan yang cukup penting pada masa Abbasiyah dimana Islam
telah menjadi agama bagi orang-orang non Arab, di luar bangsa di mana al-Qur`an
pertama kali diturunkan dan sekaligus pemilik bahasa yang digunakan oleh Tuhan
mengartikulasikan firman-firman-Nya. Manna’ al-Qaththan menyatakan bahwa sampai
masa tadwin (masa kodifikasi keilmuan Islam) telah tumbuh karya-karya
tafsir yang berdiri sendiri terlepas dari bidang hadits dengan menafsirkan
al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat sebagaimana yang telah tersusun
dalam mushaf. Merekam menafsirkan al-Qur’an dengan al-sunnah, pendapat sahabat,
tabi’in dan tabi’ al-tabi’in yang kadang-kadang disertai penjelasan (tarjih)
kandungan hukumnya. Di antara karya tafsir dengan metode dan pendekatan
tersebut adalah : karya Ibn Majah (w 273 H), karya ibn Jarir al-Thabari (w 310
H), karya Abu Bakr bin al-Munzir al-Naysaburi (w. 318 H). [2]
Kemudian setelah ilmu keIslaman dan lainnya berkembang
pesat, saat para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, karya-karya
ilmiah dari berbagai bidang bermunculan, maka karya tafsir juga ikut
bermunculan dengan pesat dengan diwarnai oleh latar belakang pendidikan
masing-masing pengarangnya. Masing-masing penafsir mempunyai kecenderungan dan
arah pembahasan tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Di antara mereka ada
yang cenderung kepada pembahasan aspek balaghah seperti imam
al-Zamakhsyari,[3] kepada pembahasan aspek
hukum syariat seperti imam Abu Abu al-Su’ud.
Sayangnya, interaksi
keilmuan yang mengagumkan pada masa tadwin tersebut bercampur aduk atau
dibayang-bayangi dengan perdebatan-perdebatan teologis, sehingga mimbar
petualangan akademik untuk menemukan metode ilmiah dalam studi ilmu-ilmu
keislaman khususnya ilmu al-Qur`an dan tafsir al-Qur`an dihantui oleh para
mutakallimin yang khawatir akan terjadinya pendangkalan aqidah dan kesesatan.
Para ilmuan harus
menerima kenyataan pahit karena menguatnya nalar kalam dalam masyarakat Islam.
Tanpa menyederhanakan dialektika keilmuan yang terjadi, kemenangan mutakallimin
tersebut dapat dirasakan dengan jelas pada masa pertengahan dari sejarah Islam.
Al-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Nashr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa
ilmu-ilmu keIslaman khususnya al-Qur’an dan hadits adalah ilmu yang sudah
matang dan final (nadhijat wa ihtarakat). Untuk itu Abu Zayd dalam
penelitiannya terhadap kitab al-Itqan karya al-Suyuthi menyimpulkan
bahwa karya tersebut hanya sebagai karya pengulangan, apa yang ditulisnya
hanyalah kumpulan dari ilmu-ilmu yang sudah dirumuskan ulama terdahulu.[4]
Ibn Taymiyyah, salah
seorang ulama abad VIII Hijriah menegaskan bahwa apabila telah diketahui
pengertian atau tafsir al-Qur’an dengan al-sunnah maka tidak diperlukan lagi
pendapat ahli bahasa dan yang lainnya. Bagi setiap mukmin tidak diperkenankan
berbicara mengenai agama kecuali mengikuti apa yang datang dari Rasulullah
saw., para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dari para
tabi’in, yang tak seorangpun diantara mereka terbukti melakukan pertentangan
dengan al-Qur’an dengan rasionalitasnya.[5]
Al-Zarkasyi seorang ulama
yang wafat pada tahun 794 H, penulis kitab al-Burhan fi Ulum al-Qur’an,
salah satu kitab rujukan utama dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an juga
menyimpulkan bahwa yang benar menurut ilmu tafsir adalah apa yang berasal dari
jalur naql (periwayatan) seperti asbabun al-nuzul (sebab turunnya
ayat), al-naskh (diberlakukan atau dihapuskannya ketetapan hukum yang
dikandung oleh suatu ayat yang belum jelas) ta’yin al-mubham (penjelasan terhadap ayat yang belum jelas), tabyin al-mujmal (penjelasan
terhadap ayat yang masih umum). Apabila tidak didapatkan penafsiran yang cukup
dari jalan naql, maka untuk mengetahui makna dan maksud dari ayat-ayat
al-Qur’an adalah dengan jalan pemahaman pada penjelasan yang mu’tabar (terkenal
dan diakui oleh kebanyakan ulama).[6]
Tafsir dengan pendekatan
seperti itu, yang disebut tafsir bi al-ma’tsur menurut al-Qaththan wajib
diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan
merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan
kesesatan dalam memahami kitabullah.[7]
Sebaliknya, tafsir yang
mencoba merespon perkembangan zaman dengan menghadirkan ilmu-ilmu seperti
bahasa, sastra, dan filsafat sebagai ilmu bantu dalam menyingkap makna
al-Qur’an adalah karya yang dilarang (haram) yang berarti juga haram
megikutinya. Hal tersbut dikarenakan ketepatan dan kebenaran suatu pendapat
tidak meyakinkan dan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Orang yang mengatakan
sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berarti ia telah mengatakan
terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui.[8]
Ibn Taymiyyah juga secara tegas mengklaim bawha sebab-sebab kesesatan dalam
penafsiran al-Qur’an adalah adanya interaksi dengan para filosof.[9]
Masalah Akademik
Berbeda dengan barat,
dimana kegelapan zaman pertengahan melahirkan kebangkitan intelektual atau masa
pencerahan dan mendorong modernisasi. Di dunia Islam seolah masa kegelapan
sudah diubah dengan penerimaan dan ketabahan. Kemiskinan dan kemuduran
kebudayaan dianggap sebagai ujian dari Tuhan. Memasuki abad ke-19 pemikiran
Islam mendapat kesempatan kedua untuk bangkit. Bila zaman pertengahan
kesempatan itu dikarenakan hadirnya karya-karya dari filsafat Yunani, pada masa
modern ini momentum kebangkitkan datang dari pengaruh modernisasi di barat,
terutama diserukan oleh sarjana-sarjana Islam yang mendapat kesempatan sekolah
di barat. Salah satu contoh di Mesir adalah Rafah al-Tahtawi (1803-1873).
Beliau adalah alumni al-Azhar yang dikirim untuk belajar di Paris. Sepulang
dari Paris ia menyerukan kepada rakyat Mesir bahwa mereka harus belajar dari
barat. "Gerbang Ijtihad" (pemikiran bebas) harus di buka. Kaum ulama
harus bergerak mengikuti zaman dan syariah harus beradaptasi dengan dunia
modern. Namun seolah takdir menyatakan lain, dunia pemikiran Islam tak bisa
lepas dari bayang-bayang kelompok-kelompok yang menjaga kemurnian dan keaslian
ajaran Islam.
Seruan Tahtawi di atas
berbarengan dengan datangnya barat ke Negara-negara Islam dengan misi
penjajahan. Masa studi Tahtawi di Perancis bersamaan dengan pendudukan
al-Jazair oleh Perancis dengan brutal. Fenomena ini jelas menimbulkan
resistensi umat Islam terhadap barat. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari
seruan Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897). Setelah ia berkeliling ke Arab,
Turki, Rusia dan Eropa, ia menjadi sangat cemas terhadap kekuatan dan kekuasaan
barat yang ada di mana-mana yang dia percaya hendak menghancurkan dunia Islam.
Menurut al-Afghani hanya dengan mereformasi Islam dan tetap bertahan pada
peradaban dan tradisi agama sendirilah, negara-negara Islam akan menjadi kuat
kembali dan dapat menciptakan modernitas ilmiah versi mereka sendiri.[10]
Demikianlah sejarah kelam
perkembangan studi ilmiah di dunia Islam, dua kali momentum kebangkitan itu
hadir,namun hanya menyisakan ketakutan akan ancaman dunia luar, kekhawatiran
pemikiran yang kebablasan, rasionalisme yang berpotensi meninggalkan agama dan
lain setrusnya. Sekarang ini di era post kolonial, di saat negara-negara Islam
sudah menjadi negara yang merdeka, maka saat yang tepat untuk segera menghapus
segala penyakit mental, trauma masa lalu dan perasaan terancam oleh dunia luar,
dan menyongsong masa depan dengan mental dan jiwa yang sehat. Bila hal ini
tidak dilakukan maka ketakutan dan jiwa yang terancam akan terus menemukan
pembenarnya, pertempuran Amerika dan Irak, Israel dan Palestina akan menjadi
alasan selanjutnya di era kontemporer untuk memelihara kecurigaan kepada dunia
di luar Islam dan berarti pula memelihara suasana permusuhan.
Problem riil dimasyarakat
Islam seperti kebodohan, kemiskinan, kondisi ekonomi negara-negara Islam yang
lemah harus dianggap cukup untuk menyadarkan alam pikiran akademisi muslim yang
terus menerus memelihara mental paranoid. Dimana Islam yang dibela
kemurniannya, namun khasiatnya tidak bisa dirasakan secara nyata oleh
pemeluknya. Tentu menjadi ironis.
Kesadaran seperti itulah
nampaknya yang membangkitkan Syahrur. Dalam pengantar bukunya al-Kitab wa
al-Qur`an, Qira`ah Mu'shirah, ia menyatakan bahwa telah berlalu paruh kedua
dari abad ke-15 H, atau bertepatan dengan paruh terakhir abad ke-20 M, tetapi
peradaban Islam sejak permulaan abad ke-20 masih saja menyuguhkan Islam sebagai
aqidah dan etika tanpa menyentuh dimensi filosofis dari aqidah Islam. Peradaban
Islam mengalami stagnasi dan tidak mampu memecahkan problem fundamental
pemikiran ke-Islaman, karena masih dipenuhi berbagai taqlid tentang konsep
qadha` dan qadar, faham jabariah, problematika pengetahuan, konsep negara,
problem sosial ekonomi, demokrasi dan penafsiran atas sejarah. Syahrur
merumuskan bahwa masalah utama dari semuanya adalah:
1.
Tidak adanya pegangan berupa metode ilmiah objektif. Syarat utama penelitian
ilmiah yang obyektif adalah melakukan studi teks tanpa mengikut sertakan
sentimen apapun.
2.
Adanya prakonsepsi terhadap semua masalah sebelum kajian dilakukan.
Contohnya penelitian mengenai “Posisi Perempuan dalam Islam”. Para peneliti
muslim berkesimpulan terlebih dahulu sebelum mengadakan penelitian. Mereka
berasumsi bahwa posisi perempuan dalam Islam sudah proporsional dan Islam adalah agama yang bersikap paling
adil terhadap perempuan. Kemudian peneliti tersebut mengarang buku mengenai
perempuan.
3.
Pemikiran Islam belum memanfaatkan konsep-konsep dalam filsafat
humaniora dan tidak berinteraksi dengan dasar-dasar teorinya. Tidak mungkin
seluruh hasil pemikiran manusia sejak zaman Yunani hingga saat ini adalah salah
semua. Pasti di antaranya ada yang sempit ada dan ada yang luas, ada yang
relevan dan ada yang tidak relevan. Meskipun demikian sebelum berinteraksi
dengan hasil pemikiran tersebut, setiap muslim harus memiliki standar fleksibel
yang memungkinkan kita berinteraksi dengan orang lain tanpa ada rasa takut.
4.
Tidak adanya teori Islam kontemporer dalam ilmu humaniora yang
disimpulkan secara langsung dari al-Qur`an. Sebuah teori yang memberi metode
tentang cara berpikir ilmiah pada diri setiap muslim, memberikan rasa percaya
diri, dan berani berinteraksi dengan nilai apapun yang dihasilkan manusia tanpa
melihat aqidahnya.
5.
Saat ini kaum muslimin sedang mengalami krisis ilmu fiqih.[11]
Niat yang kuat untuk
keluar dari krisis pemikiran dan sakit mental yang traumatik terhadap dunia
luar dengan mengarahkan dunia akademik di era kontemporer lebih berorientasi kepada usaha menemukan
metode-metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dalam
menafsirkan al-Qur`an juga dirasakan di Indonesia. Tanda-tanda ke arah
pengkajian yang ilmiah ini setidaknya terlihak dari apa yang ditulis oleh Quraish
Syihab, beliau menyimpulkan bahwa di antara faktor-faktor yang mengakibatkan
kekeliruan dalam penafsiran antara lain:
1.
Subyektifitas mufasir
2.
Kekeliruan dalam menerapkan metode dan kaidah
3.
Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat.
4.
Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat
5.
Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antar ayat,
maupun kondisi sosial masyarakat.
6.
Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan
ditujukan.[12]
Mengklaim adanya
pandangan subyektif penafsir yang mempengaruhi hasil penafsirannya sebagai
akibat tidak mengikuti metode yang diwajibkan oleh kelompok tertentu dan
kemudian menuduhnya sebagai tafsir yang menyesatkan adalah sikap idiologis yang
menjerumuskan studi al-Qur`an pada wilayah-wilayah yang tidak ilmiah. Persoalan
subyektif dan obyektif, metode dan pendekatan, hubungan teks dan konteks,
pembicara dan yang diajak bicara adalah tema-tema penting dalam studi terhadap
teks apalagi teks yang dinilai suci dan berasal bukan dari karangan manusia
tetapi dari Tuhan. Untuk itu studi
al-Qur`an sudah saatnya diarahkan pada studi ilmiah dengan mengkaji tema-tema filosofis
di atas dengan tepat. Pada masa kontemporer ini perkembangan ilmu linguistik,
sastra, semiotik dan tafsir atau hermeneutika mencapai tingkat yang
mengagumkan. Bahkan filsafat kontemporer juga memfokuskan diri pada bahasa,
sehingga ada adegium bahwa inti segala persoalan kontemporer adalah bahasa.
Dengan capaian-capaian keilmuan ini diskursus studi al-Qur`an dimungkinkan
untuk mencerahkan landasan filosofis dan metodologinya.
Awal Kajian
Ilmiah Terhadap Bahasa di Barat (Strukturalisme)
Membicarakan
tafsir dan hermeneutik tidak bisa melewatkan studi tentang bahasa karena obyek
tafsir adalah teks. Untuk itu diperlukan pengertian mendalam mengenai apa itu
bahasa yang menjadi pondasi dari suatu teks dan bagaimana mengkajinya secara
ilmiah.
Dunia
barat mengakui bahwa kajian ilmiah mengenai bahasa baru dimulai sejak awal bad
ke-20. Peletak dasar apa yang kemudian disebut ilmu bahasa atau linguistik
modern adalah Ferdinann de Saussure (1857-1913). Dia adalah orang Swiss yang
untuk beberapa waktu mengajar di Paris dan akhirnya menjadi profesor di Jenewa
di mana ia mendirikan apa yang disebut “Mazhab Jenewa”. Buku yang mengakibatkan
namanya menjadi tersohor di bidang linguistik diterbitkan secara anumerta oleh
dua orang muridnya dan diberi judul Cours de Linguistique Generale (1916)[13].
Ada tiga pembedaan yang dilakukan Saussure sehingga bahasa dapat di kaji secara
obyektif dan ilmiah.
1.
Signifiant dan Signifie (tanda dan yang ditandai)
Menurut Saussure tanda
bahasa bukanlah daftar kata-kata semata. Tanda Bahasa menyatukan konsep dan
citra akustis, bukan benda dan nama”.[14]
Kata “pohon” tidak menunjuk kepada pohon yang hidup di situ, tetapi menunjuk
pada konsep tentang pohon. Suatu tanda bahasa bermakna bukan karena
referensinya kepada benda dalam realitas. Yang ditandakan dalam tanda bahasa
buka benda, tetapi konsep tentang benda. Konsep itu tidak lepas dari tanda
bahasa, tetapi termasuk tanda bahasa itu sendiri. Makna tidak dapat dilepaskan
dari kata. Untuk itu tanda bahasa (seperti misalnya suatu kata) yang dipelajari
oleh Linguistik terdiri atas dua unsur, yaitu: le signifiant dan le
signifie; the signifier and the signified, penanda dan yang
ditandakan. Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna.
Apa yang dikatakan atau didengar atau apa yang dibaca dan apa yang ditulis.
Sedangkan signifie adalah gambaran mental, pikiran atau konsep. Kedua unsur itu
tidak bisa dilepaskan.
Pembedaan tersebut
mempunyai konsekuensi besar terhadap linguistik sehingga memiliki objek
tersendiri. Karena kata menyatu dengan maknanya, maka untuk mengetahui makna
bahasa tidak perlu lagi merujuk kepada unsur-unsur luar atau ekstra-lingual
(luar bahasawi). Selain itu dalam Linguistik tidak perlu memandang subjek yang
bicara. Dengan demikian ilmu bahasa menjadi otonom sehingga fenomena bahasa
dapat dianalisa dan dijelaskan tanpa mendasarkan diri kepada apapun di luar
bahasa.[15]
2. Langage, Parole dan Langue
Langage adalah fenomena
bahasa secara umum yang didalamnya ada unsur sistem (langue) dan unsur individu
(parole). Dalam fenomena bahasa itu harus dibedakan antara parole dan langue.
Parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang, manivestasi individu dari
bahasa. Jadi parole bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil
individu yang hadir.[16]
Sedangkan langue adalah bahasa sejauh merupakan milik bersama dari suatu
golongan bahasa tertentu. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh
secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, yang memungkinkan penutur
saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dalam
masyarakat. Dengan kata lain langue adalah sistem. Linguistik menurut Saussure
tidak mempelajari parole, tetapi hanya mempelajari langue.[17]
Hal ini diumpamakan dengan permainan catur. Untuk mengerti dan bisa bermain
catur orang tidak perlu tahu bahwa permainan tersebut berasal dari Parsi. Orang
juga tidak perlu memperhatikan bahan-bahan pembuat buah catur, apakah buah
catur itu dibuat dari kayu, emas, atau gading. Permainan catur adalah sistem
relasi-relasi di mana setiap buah catur mempunyai fungsinya dan sistem tersebut
dikonstitusikan oleh aturan-aturannya. Jadi agar orang bisa main catur, cukup
tahun aturan-aturannya tersebut.
Demikian juga bahasa,
tidak penting untuk mengetahui bahan dari mana bahasa itu berasal, artinya
siapa yang berbicara dan apakah suaranya bagus atau tidak, siapa yang menulis,
memakai tinta cair atau tinta kering. Yang penting dalam bahasa adalah
aturan-aturan yang mengkonstitusikannya. Yang penting untuk dipelajari adalah
susunan unsur-unsur-nya dalam hubungan satu sama lain. Bahasa adalah
keseluruhan sistematis yang terdiri dari unsur-unsur yang masing-masing
mempunyai fungsinya sendiri.
Setiap tanda bahasa
mewujudkan suatu nilai yang tercantum dalam sistem bahasa bersangkutan menurut
perbedaannya dengan tanda-tanda lain yang mewujudkan nilai-nilai lain. Dengan
demikian hubungan antara signifiant dan signifie harus bersifat arbitrer,dalam
artian setiap tanda bahasa mendapat nilainya hanya karena tercantum dalam
sistem bahasa dan bukan karena salah ciri natural.[18]
3. Sinkroni dan Diakroni
Istilah sinkroni dan
diakroni berasal dari kata Yunani khronos (waktu) dan awalan syn
berarti bersama dan dia berarti melalui. Jadi sinkroni berarti bertepatan
menurut waktu dan diakroni berarti menelusuri waktu. Dengan kata lain sinkroni
adalah peninjauan yang ahistoris, mengabaikan perspektif historis dan diakroni
adalah suatu peninjauan histories.[19]
Bahasa dapat dipelajari
dari sudut pandang historis (diakroni) dengan meneliti dari perspektif sistem
yang berfungsi pada saat tertentu, mengenai perkembangan suatu bahasa dari
waktu ke waktu. Namun Saussure tidak setuju pandangan tersebut, karena bahasa
adalah suatu sistem sebagaimana dijelaskan dalam pembedaan langue dan parole.
Maka linguistik hanya mempelajari sistem bahasa sebagaimana dipakai sekarang
ini, dengan tidak mempedulikan perkembangan dan perubahan yang telah
menghasilkan sistem tersebut.
Saussure tidak menolak
sepenuhnya penelitian diakroni, namun penyelidikan sinkronis harus mendahului
penyelidikan diakronis. Linguistik komparatif-historis harus membandingkan
bahasa-bahasa sebagai sistem-sistem, karena itu lebih dahulu sistem harus
dilukiskan tersendiri.[20]
Subyektifitas
dan Obyektifitas dalam Studi Teks Post Strukturalis
Berkat jasa Saussure
linguistik memperoleh kedudukan istimewa dalam ilmu pengetahuan manusia
(humaniora). Bahasa dapat dipelajari secara obyektif karena bahasa dianggap
suatu sistem yang otonom yang hanya memperhatikan relasi-relasi unsur di
dalamnya, terlepas dari unsur luar yaitu siapa yang menggunakannya dan segala
proses evolusi atau sejarah. Dengan demikian linguistik mendapat objek yang
jelas dan metode yang sesuai dengan objeknya.
Namun dengan hanya
menyelidiki langue yang berarti ilmu bahasa hanya menyelididki sistem
bahasa atau struktur internalnya, dan sama sekali mengabaikan unsur luar
seperti parole atau subyek yang menggunakan bahasa (yang berbicara) dan
sejarah, maka pemikir setelah Saussure mulai merasa ragu. Benarkah bahasa
sepenuhnya ditentukan oleh struktur dan subyek sama sekali tidak memiliki
wewenang dalam bahasa?, padahal manusia merupakan agen atau pelaku sejarah.
Manusia memang menjadi obyek sejarah tetapi juga tidak bisa dinafikan
eksistensinya sebagai subyek sejarah. Menjawab semua keraguan tersebut, di
lingkungan akademisi Perancis tahun 1960-an telah lahir beberapa ahli. Mereka
tidak menolak struktur, namun manusia juga tidak bisa dipinggirkan, Kalau
Saussure digolongkan sebagai pemikir strukturalis, maka pemikir sesudahnya yang
mengkritisinya dikenal dengan pos struktural. Di antara mereka yang akan dikaji
dalam makalah ini adalah Paul Ricoeur.
Para strukturalis, kata
Ricoeur, berhak mempelajari bahasa sebagai langue, tetapi mereka
melampaui batas kalau mereka menyamakan bahasa dengan langue. Di samping bahasa
sebagai langue, ada lagi bahasa sebagai parole, yaitu subyek yang
berbicara. Dengan berbicara subyek melebihi bahasa sebagai sistem
tertutup,karena ia mampu mengatakan sesuatu yang sungguh-sungguh baru.[21]
Kesatuan langue dan parole inilah awal pijak dari pemikiran Ricoeur.
Pandangan Ricoeur
didasarkan pada fenomena bahasa sebagai wacana, yaitu bahasa yang digunakan.
Strukturalis, menurut Ricoeur telah mengabaikan takdir bahasa sebagai wacana.
Beberapa unsur wacana tidak mendapat tempat, seperti tiadanya tempat bagi
temporalitas. Wacana selalu diungkapkan pada waktu tertentu dan konteks
tertentu. Wacana selalu mengacu pada wahana atau dunia tertentu untuk
digambarkan atau direpresentasikan untuk mengatakan sesuatu tentang sesuatu.
Wacana selalu mempunyai subyek yang mengatakan dan interlocutor kepada siapa
pesan itu disampaikan. Tiadanya aspek ini berarti analisis struktural
mengabaikan proses komunikasi di dalam bahasa.[22]
Dengan pandangannya
tentang bahasa sebagai wacana, maka Ricoeur telah membawa linguistik sebagai
fondasi kajian teks atau hermeneutika. Analisis struktural tidak ditolak oleh
Ricoeur karena bisa menjadi sarana logis untuk menjelaskan hubungan-hubungan,
kombinasi dan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam teks untuk di atasi atau
dipecahkan sehingga menolong bagi pemahaman teks. Dengan demikian bagaimana
posisi dan peran obyek dan subyek dalam bahasa dan bagaimana relasi antar
keduanya dalam proses penafsiran.
Menurut Ricoeur, tanda
hanya mengacu kepada tanda lain dalam satu sistem. Namun dalam kalimat, bahasa
diarahkan pada hal di balik dirinya sendiri, dimana makna bersifat imanen
terhadap wacana dan tentunya bersifat obyektif
dalam makna ideal, namun referensi justru mengekspresikan adanya
pergerakan di mana bahasa mentransendensikan dirinya sendiri. Dengan kata lain, makna menghubungkan antara identifikasi
fungsi dan fungsi predikat dalam kalimat, dan referensi menghubungkan bahasa
dengan dunia.[23] Secara ringkas, teks
memiliki struktur imanen yang bisa dijelaskan dengan pendekatan struktural,
tetapi teks sekaligus mempunyai acuan luar (referensi) yang melampaui
linguistik dan filsafat bahasa. Acuan luar itu yang disebut wahana atau dunia
teks, realitas yang digelar oleh teks, suatu totalitas makna atau cakrawala
global.[24]
Recoeur membedakan antar
bahasa lisan dan tulis dan menetapkan bahasa tulis sebagai obyek hermeneutika.
Dengan ditulis, maka bahasa bisa menunjuk pada dunia di luar dirinya dan
ditujukan pada alamat yang tidak tertentu.
Dengan pandangan ini, Josef Blecher mensimpulkan adanya beberapa teori
teks menurut pemikiran Ricoeur, 1. Penulisan akan menetapkan makna (fixation
of meaning), 2. Dengan penulisan, maka maksud dari pengarang akan beripisah
dengan makna teks. Teks akan mengembara dengan dunia sendiri terlepas dari
cakrawala penulis, 3. Dengan penulisan, teks akan melampau referensi awal saat
disampaikan.[25]
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa di dalam teks ada makna objektif yang dapat ditangkap dengan
analisis struktural, dengan hanya mengetahui sistem yang mengatur relasi-relasi
antar unsur di dalam teks itu sendiri. Namun bahasa dalam kodratnya adalah
untuk mengatakan atau mengungkapkan sesuatu, maka selain struktur internal,
bahasa juga memiliki referensi atau acuan luar atau dunia teks. Inilah makna
subyektif dari teks.
Acuan luar atau dunia teks
itu baru akan bermakna apabila menjadi milik pembaca atau penafsir, apropiasi
atau pemahaman diri. Pemahaman diri inilah menandai pertemuan antara dunia yang
disarankan oleh teks dan dunia konkret pembaca. Pembauran ini terjadi karena
penafsir tidak mungkin mengambil alih dunia teks secara keseluruhan dan
meninggalkan dunianya sendiri yang aktual yang dihayatinya sekarang[26].
Sampai disinilah bahaya subyektifitas muncul. Namun Ricoeur telah memiliki
jurus penyelesaiannya, dalam proses pemahaman diri tersebut sangat diperlukan
pengambilan jarak terhadap diri sendiri sehingga tidak terjadi distorsi makna
dan dapat merelativisasi
kesewenang-wenangan dalam penafsiran.
Untuk melakukan
pengambilan jarak, Ricoeur menawarkan jalan berbentuk kritik idiologi dan
dekonstruksi. Kritik idiologi untuk menjadikan kritik dan serangan dari luar
yang mungkin destruktif dan dapat melemahkan eksistensi teks (agama) dapat
diterima sebagai otokritik untuk pemurnian diri. Dekonstruksi mengajak pembaca
untuk membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi baik sadar maupun di bawah
sadar, serta kepentingan-kepentingan diri atau kelompok di depan teks.[27]
Bahasa
dan Studi al-Qur`an Muhammad Syahrur
Syahrur adalah Profesor di jurusan Teknik
Sipil Universitas Damaskus dengan latar belakang ilmu Mekanika Tanah dan Teknik
Pondasi. Namun ia menunjukkan komitmen dan konsistensinya ketika tertarik dan
menekuni studi al-Qur`an. Ia mengkritik kelemahan yang dilakukan mufassir
sebelumnya adalah tidak memiliki pegangan metode ilmiah obyektif. Untuk
mengawali karirnya di bidang studi al-Qur`an ia berguru kepada ahli
linguistik Dalam pengantarnya Syahrur
menuturkan bahwa pada tahun 1980 ia bertemu dengan dosen linguistik Ja`far Dak
al-Bab dalam sebuah organisasi etnis di Uni Soviyet. Pertemuan tersebut
menyadarkan Syahrur bahwa sebenarnya ia tertarik pada studi linguistik,
filsafat, dan studi al-Qur`an. Ja’far menunjukkan disertasi doktoralnya yang
diseminarkan di Universitas Moskow tahun 1973 dengan tema pembahasan teori
linguitik Abdul Qahir al-Jurjani dan posisinya dalam konstalasi linguistik
umum. Dari dosen linguistik itulah Syahrur mengakui telah mengenal para linguis
di lingkungan pemikir Arab seperti al-Farra, Abu Ali al-Farisi dan muridnya
Ibnu Jinni serta Abdul Qahir al-Jurjani.[28]
Untuk mengetahui pokok
pikiran yang diadop oleh Syahrur dari linguis Arab, Ja`far Dak al-Bab telah
memberikan pengantar dalam penerbitan karya perdana Syahrur al-Kitab wa
al-Qur`an. Ja`far menggabungkan
teori Ibnu Jinni dan al-Jurjani,
namun tetap bersumber
dari satu aliran yaitu linguistik Abu
Ali al-Farisi. Pamikiran utama
dari
teori tersebut adalah:
1.
Penggabungan antara studi diakronik al-Jurjani dan sinkronik Ibnu
Jinni.
2.
Teori Ibn Jinni yang menyatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika
dan teori al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa dan pertumbuhan pemikiran
merupakan hal yang saling terkait. Dengan demikian, bahasa dengan segala
aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia.
Adapun ciri linguistik Abu
Ali al-Farisi dapat disimpulkan bahwa : 1. bahasa pada dasarnya adalah sebuah
sistem, 2. bahasa merupakan fenomena sosial dan strukturnya terkait dengan
fungsi transmisi yang melekat pada bahasa tersebut. 3. adanya kesesuaian antara
bahasa dan pemikiran.[29]
Pandangan-pandangan di
atas menunjukkan telah terjadi modernisasi dalam pemikiran linguistik di Arab
yang keluar dari pemikiran ortodoks yang menyatakan bahwa bahasa Arab adalah
bahasa khusus karena ia adalah bahasa suci, bahasa yang digunakan Tuhan untuk
menyampaikan wahyunya, sehingga bahasa tidak terkait dengan pemikiran dan
struktur sosial masyarakatnya. Meskipun nampak aliran-aliran di atas sangat
terkait dengan strukturalisme namun ia telah menunjukkan sikap kritisnya
sehingga unsur-unsur historis diterima dalam linguistik tanpa menafikan adanya
struktur.
Modernisasi dalam
linguistik tersebut membuka peluang bagi Syahrur untuk merumuskan
prinsip-prinsip dalam studi al-Qur`an:
1.
Memaksimalkan seluruh potensi karakter linguistik Arab dengan bersandar
pada tiga pondasi, yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif
linguistik ibnu Jinni dan abdul Qahir al-Jurjani dan syair Arab Jahiliyah.
2.
Bersandar pada produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan
bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter sinonim. Sebuah kata dalam koridor
historisnya, mengalami dua alternatif proses yaitu akan mengalami kehancuran
atau membawa makna baru selain makna asalnya.
3.
Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus
dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang hidup pada abad dua
puluh ini, seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat dan telah menyampaikan
sendiri kepada kita. Kitab-kitab tafsir dan fiqh yang dihasilkan generasi
terdahulu harus dipandang sebagai intekasi mereka dengan al-Kitab dalam sejarah
mereka.
4.
Allah tidak perlu memberi petunjuk – berupa al-Kitab – untuk diri- Nya
sendiri. Maka Dia menurunkannya sebagai petunjuk bagi manusia. Oleh karena itu
seluruh kandungan al-Kitab pasti dapat dipahami sesuai dengan kemampuan akal.
Al-Kitab diturunkan dalam sebentuk media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman
manusia. Media tersebut berupa linguistik Arab Murni (al-Lisan al-Arabi
al-Mubin). Tidak ada kontradiksi antara bahasa dan pemikiran, maka tidak
ada ayat yang tidak bisa dipahami dan pemahaman terhadap al-Kitab selalu
bersifat relatif, historis, dan temporal.
5.
Tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu, dan tidak ada
pertentangan antara wahyu dan realitas yang berupa kebenaran informasi dan
rasionalitas penetapan hukum.
6.
Lebih menghormati akal pembaca daripada gejolak emosinya.[30]
Konsekuensi logis pertama
dari prinsip di atas adalah perombakan cara pandang terhadap al-Quran sebagai
obyek studi ilmiah. Dalam filsafat ilmu merupakan suatu yang wajib untuk
membicarakan hakekat obyek sebelum membahas metode yang sesuai. Kalau bahasa
dinilai sebagai sebuah sistem yang terkait dengan pemikiran dan realitas sosial
yang memiliki dimensi ruang dan waktu (hostoris), bagaimana dengan al-Qur`an
yang dianggap kalam Tuhan yang suci bebas ruang dan waktu namun memiliki wujud
yaitu teks kebahasaan.
Menjawab problematika di
atas Syahrur menawarkan dua alternatif jawaban, 1. al-Kitab dan isinya adalah
karya Muhammad, 2. al-Kitab dan isinya diwahyukan oleh Tuhan berupa teks
(al-nash) beserta kandungannya (al-muhtawa). Syahrur mengarah pada pilihan
kedua bahwa al-Qur`an adalah dari Tuhan, namun untuk menerima pilihan kedua,
syahrur mewajibkan suatu konsekuensi sebagai berikut:
1.
Karena Allah bersifat absolut, memiliki kesempurnaan pengetahuan, dan
tidak memiliki sifat relatif, maka kitab-kitab-Nyapun – pada sisi kandungannya
(al-muhtawa) – mengandung unsur-unsur yang absolut.
2.
Karena Allah tidak perlu mencurahkan ilmu dan petunjuk bagi diri-Nya
sendiri, maka kitab ini- yang merupakan kitab penutup – diturunkan sebagai
petunjuk bagai manusia. Dengan demikian pada sisi pemahamannya (al-fahm
al-Insani) ia harus memuat unsur-unsur yang relatif.
3.
Karena kesempurnaan cara berpikir manusia dicapai melalui bahasa, maka
ada dua konsekuensi, yaitu: pertama, kitab ini dimanifestasikan dalam bahasa
manusia. Kedua, kitab ini harus memiliki karakter khusus, yaitu muatannya
bersifat absolut dan pemahamannya bersifat relatif. Karakter tersebut
meniscayakan adanya dimensi sakralitas pada teks ayat-ayat al-Kitab yang tidak
mungkin berubah. Pada saat yang sama memiliki dinamika pemahaman (harakatu
al-ta`wil) yang sesuai dengan perjalanan sang waktu.[31]
Sintesa Antara Recoeur dan Syahrur
Al-kitab
- Syahrur membedakannya dengan al-Qur`an – dalam pemikiran Syahrur bukan teks
budaya dalam pengertian yang dihasilkan oleh manusia, tetapi wujud teks
al-Kitab adalah teks berbahasa Arab, dimana bahasa arab adalah hasil budaya
masyarakat arab yang tidak bisa dilepaskan dengan struktur nalar dan sosial
masyarakat arab. Untuk itu Syahrur berkesimpulan bahwa dari sisi kandungannya (al-muhtawa)
mengandung unsur ilahiah yang absolut, Namun pada sisi pemahaman terhadap
al-Kitab bersifat insani yang relatif. Manusia tentu tidak bisa menangkap
keseluruhan wahyu yang absolut, untuk menangkapnya Tuhan telah menurunkan wahyu
dengan medium yang memungkinkan manusia bisa memahaminya yaitu bahasa. Dengan
demikian, relatifitas yang dimaksud Syahrur adalah relatifitas dalam kerangka
hubungan antara pembaca dengan teks al-Qur`an yang berbahasa Arab.
Hubungan pembaca dengan
teks al-Qur`an yang berbahasa Arab (insani) meniscayakan ilmu bahasa
sebagai sebuah metode penafsiran untuk menangkap makna al-Qur`an. Syahrur
menetapkan pemikiran linguistik kontemporer sebagai rujukan, hal ini sebagai
bentuk konsistensi Syahrur terhadap pernyataannya tentang temporarilitas
pemahaman. Sebagai manusia yang hidup di zaman kontemporer, maka harus
memaksimalkan seluruh pemikiran kontemporer. Namun Syahrur juga tidak asal
comot dan pilih teori, terbukti Syahrur berinteraksi dengan baik dengan linguis
Arab kontemporer.
Berbeda
dengan semua teks hasil budaya yang ada yang ditulis sebagai ungkapan
kegelisahannya pada masa itu atau sebagai respon terhadap situasi zaman
tertentu dimana ia menetap dan berkarya, al-Kitab sebagai wahyu memang
ditujukan kepada semua manusia di segala tempat dan segala zaman. Untuk itu
menurut Syahrur pemahaman kita terhadap teks al-Kitab tidak bisa dibatasi atau
ditentukan oleh satu pemahaman dari periode masyarakat tertentu termasuk
periode nabi Muhammad saw. Pemahaman yang dilakukan nabi dan sahabat dianggap
Syahrur sebagai contoh pertama pemahaman terhadap al-Qur`an untuk mengahadapi
masalah zamannya. Di sinilah muncul persoalan hermeneutik yaitu jarak antara teks
yang diturunkan di sana pada zaman dahulu dengan kita yang di sini yang hidup
dengan permasalah zaman ini,
Mengahadapi
persoalan jarak tempat dan waktu, nampak titik-titik temu antara pemikiran
Syahrur dan Recoeur. Menurut Recoeur teks adalah otonom, untuk memahami teks
tidak perlu dikembalikan kepada penulis atau pembuat teks tersebut dan situasi
awal saat pertama kali diungkapkan. Hal itu mungkin dilakukan, karena menurut
Recoeur dengan ditulisnya wacana maka wacana terpatri kedalam tulisan yang tidak
lagi berubah sehingga teks dapat menjangkau kita yang hidup pada zaman ini di
sini. Untuk itu menurut Recoeur tugas hermeneutik adalah mencari di dalam teks
itu sendiri dinamika yang di arah oleh strukturasi karya dan mencari di dalam
teks kemampuan karya untuk memproyeksikan diri keluar dari dirinya dan
melahirkan satu dunia yang merupakan halnya atau pesan dari teks itu.
Tanpa
menyederhanakan hermeneutika yang telah dipikirkan oleh Syahrur, namun nampak
usaha Syahrur yang cukup gemilang pada dua tugas hermeneutik sebagaimana
diungkapkan Recoeur. Dalam studinya mengenai al-fiqih al-Islamiy pada
tema-tema perempuan, ia menunjukkan analisis struktural yang luar biasa
terhadap teks al-Qur`an. Syahrur dengan bekal linguistik kontemporer bisa
menemukan struktur khas dari teks al-Qur`an dan tidak ada satu unsurpun yang
sia-sia dan tidak ada fungsinya sebagaimana dikemukakan oleh kalangan nuhah
klasik. Setelah analisis struktural, untuk menemukan makna totalitas yang
diarah oleh teks, Syahrur juga menggunakan filsafat dan ilmu pengetahuan
kontemporer. Sebagaimana Recoeur, Syahrur menggunakan kekayaan ilmu kotemporer
seperti filsafat, sosiologi, antropologi dan politik tidak seperti kalangan
apologetik yang menempatkannya sebagai hamba teks, namun ilmu-ilmu tersebut
ditempatkan dalam dialektika kritis dengan makna teks untuk menuju pemahaman
yang lebih baik. Dengan dialektika kritis dengan khazanah ilmu kontemporer akan
dicapai pemahaman yang lebih baik, tidak sekedar dalih bahwa teks tidak
bertentangan dengan rasio atau ilmu pengetahuan. Tetapi teks memberi cara
pandang dan dasar-dasar bagi pencerahan ilmu-ilmu kontemporer.
Penutup
Menemukan
makna yang asli yang dimaksud oleh pengarang sebagaimana dikehendakai oleh ahli
tafsir zaman pertengahan sangat mustahil untuk dilakukan, karena manusia tidak
bisa melepaskan lingkup historisnya kini, keluar dari zaman di mana penafsir
hidup sekarang, kemudian memasuki alam pikiran sejarah masa lalu di mana suatu
teks dihasilkan. Recoeur memberikan satu jalan keluar, karena meskipun manusia
tidak dapat hadir seutuhnya ke masa lalu, namun berkat ditulisnya suatu teks ke
dalam tulisan, maka teks sebenarnya dapat hadir ke zaman di mana kita berada
sekarang ini. Dengan ditulis, teks menjadi otonom terlepas dari maksud
pengarang dan alamat awal di mana teks itu dilahirkan.
Penafsir tidak perlu
terjebak dalam subyektifitas, karena teks memiliki makna obyektif dalam
struktur internalnya. Namun makna dari struktur internal tersebut tidaklah
sepenuhnya membunuh subyek, karena teks selalu akan menunjuk atau mengacu pada
suatu dunia tertentu, maka penafsiran selain menemukan makna obyektif teks,
juga menemukan cakrawala dunia yang di arah oleh teks. Sehingga penafsir
meleburkan diri dalam dunia teks.
Pandangan
Recoeur di atas menjadi sumbangan yang berarti dalam studi al-Qur`an
kontemporer yang berobsesi kembali kepada pandangan hidup al-Qur`an tetapi
tidak terjebak dalam kejumudan dan kungkungan masa lalu. Sebagaimana pemikiran
Syahrur, kembali kepada al-Qur`an tidak berarti kembali kemasa lalu, kembali
kepada penafsiran yang ditangkap oleh Nabi dan para sahabat. Menafsirkan
al-Qur`an adalah menggali pandangan hidup al-Qur`an atau makna dari totalitas
struktur al-Qur`an. Makna al-Qur`an juga memberikan acuan kepada dunia
kontemporer saat ini.
Di
antara pemikiran Syahrur yang perlu dikritisi adalah masalah hubungan al-Qur`an
dengan sunnah Nabi. Makna yang ditangkap oleh Nabi dan masyarakatnya saat itu
memang bukanlah makna yang sakral dan baku sesuai makna yang dikehendaki oleh
Tuhan. Secara hermeneutis makna zaman itu adalah makna aktual yang mengacu dan
sesuai dengan zaman itu. Namun menganggap makna zaman Nabi itu sama sekali
tidak dibutuhkan dalam penafsiran kontemporer agar umat saat ini tidak
terkurung oleh masa lalu juga meragukan, karena bagaimanapun kita tidak dapat
melepaskan al-Qur`an dari dunia Arab saat Nabi, sebagai dunia di mana bahasa
Arab digunakan Tuhan untuk media penyampaian wahyu-Nya. Dalam hermeneutika
kontemporer, sejarah masa Nabi dapat dinilai sebagai jembatan untuk memahami
teks, namun jembatan itu tidak dapat dimutlakkan sehingga penafsir dapat sampai
pada cakrawala teks yang mengacu pada dunia masa kini. Wallahu a`lam bi al-shawab
Daftar
Pustaka
Amstrong,
Keren, Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme dalam Islam,Kristen dan Yahudi,
Penerjemah, Bandung: Mizan & Serambi
Bertens, K., Filsafat
Barat Kontemporer Jilid II Perancis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2001
Bleicher, Josef, Contemporary
Hermeneutics, Hermeneutics as Method, Philosphy and Critique London and New
York: Routledge, 1993
al-Farmawi, ‘Abd Al-Hayy, Metode
Tafsir Mawadhu’iy Suatu Pengantar, Penerjemah: Suryan A. Jamrah, Jakarta:
rajawali Pers, 1996
Haryatmoko, Hermeneutika
Paul Ricoeur, Transparansi Sebagai Proses, No 05-06: Tahun ke-49, Mei-Juni
2000
al-Jabiri, Muhammad Abid, Post
Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LkiS, 2000
Kridalaksana, Harimurti,
Mongin Ferdinand De Saussure (1857-1913) Bapak Linguistik dan Pelopor Strukturalisme, dalam; Ferdinand de Saussure,
Pengantar Linguistik Umum, Penerjemah: Rahayu S. Hidayat, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1988
al-Najdi, ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim
al-‘Ashim, Majmu ‘Fatawa Syaykh al-Islam ahmad bin Taymiyyah, (Tt: tpn,
1398 H), Juz 13 –Kitab Muqaddimat al-Tafsir
Al-Qaththan, Manna’, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, 1973
Recoeur, Paul, Filsafat
Wacana, Penerjemah: Musnur Heri, Yogyakarta: IRCiCHOD, 2003
Shihab,M. Quraish, Membumikan
al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:
Mizan, 1999
Syahrur, Muhammad, al-Kitab
wa al-Qur`an, Qira`ah Mu'ashirah,Damaskus: al-Ahali, 1990
-------, Metodologi
Fiqih Islam Kontemporer, Penerjemah: Sahiron Syamsudin, dkk.,Yogyakarta: eLsaq
Press, 2004
Tibi, Bassam, Islam
Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Penerjemah: Misbah Zulfa Ellizabet dkk.,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999
al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin
‘Abd Allah, al-Burhan fi’Ulum al-Qur’an,Beyrut: Dar al-Fikr, 199
Zayd, Nashr Hamid Abu, Mahfum
al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an, Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-Ammah
li al-Kitab
-------, Tekstualitas
al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoioron Nahdliyyin,
Yogykarta: LkiS, 2001
[1] Nashr Hamid Abu Zayd, Mahfum
al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an, al-Hay’ah al-Mishriyyah al-Ammah li
al-Kitab, Kairo, h. 11, terjemah lihat Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas
al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an, Penerjemah: Khoioron Nahdliyyin,
LkiS, Yogykarta, 2001), h. 1.
[2] Manna al- Qaththan, mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, Riyadh, 1973, h. 341-342
[3] ‘Abd Al-Hayy al-Farmawi, Metode
Tafsir Mawadhu’iy Suatu Pengantar, Penerjemah: Suryan A. Jamrah, Rajawali
Pers, Jakarta, 1996, h. 14-15
[4] Abu Zayd, Mafhum
al-Nash, h. 13, lihat Abu Zayd, Tekstualitas, h. 4
[5] ‘Abd al-Rahman bin
Muhammad bin Qasim al-‘Ashim al-Najdi, Majmu ‘Fatawa Syaykh al-Islam ahmad
bin Taymiyyah, tpn, Tt, 1398 H, Juz 13 – Kitab Muqaddimat al-Tafsir, h.
27 dan 63
[6] Badr al-Din Muhammad bin
‘Abd Allah al-Zarkasyi, al-Burhan fi’Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr,
Beirut, 1998, juz 2, h. 188-189
[7] al-Qaththan, Mabahits, h.
350
[8] Ibid., h. 352
[9] ‘Abd al-Rahman, Majmu
Fatawa, h. 206
[10] Keren Amstrong, Berperang Demi Tuhan,
Fundamentalisme dalam Islam,Kristen dan Yahudi, Mizan dan Serambi,
Bandung, h. 243-244
[11] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur`an,
Qira`ah Mu'ashirah al-Ahali, Damaskus, 1990, h. 29-32
[12] M. Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an,
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1999, h.
79
[13] Harimurti Kridalaksana,
Mongin Ferdinand De Saussure (1857-1913) Bapak Linguistik dan Pelopor Strukturalisme, dalam; Ferdinand de Saussure,
Pengantar Linguistik Umum, Penerjemah: Rahayu S. Hidayat: Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1988 h. 2
[14] Saussure, Pengantar, h. 12
[15] K. Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer Jilid II Perancis, PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta,
2001, h. 181
[16] Saussure, Pengantar, h. 6
[17] Ibid, h. 6-7
[18] Bertens, Filsafat, h. 182-183
[19] Ibid, h. 184
[20] Saussure, Pengantar, h. 10-11
[21] Bertens, Filsafat, h. 229-220
[22] Haryatmoko, Hermeneutika Paul Ricoeur,
Transparansi Sebagai Proses, No 05-06: Tahun ke-49, Mei-Juni 2000, h. 30
[23] Paul Recoeur, Filsafat Wacana, Penerjemah:
Musnur Heri : IRCiCHOD,
Yogyakarta, 2003, h. 41
[24] Haryatmoko, Hermeneutika, h. 30
[25] Josef Bleicher, Contemporary
Hermeneutics, Hermeneutics as Method, Philosphy and Critique, Routledge,
London and New York, 1993 h. 230
[26] Haryatmoko, Hermeneutika, h. 31
[27] Ibid. h. 31-32
[28] Muhammad Syahrur, al-Kitab,
h. 47
[29] Ibid, h, 21-22
[30] Muhammad Syahrur, al-Kitab,
h. 44-45
[31] Muhammad Syahrur, al-Kitab,
h. 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar