Konsumerisme Dan Kosumisme
Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur`an
Oleh:
Anwar Mujahidin[1]
Abstrak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Tafsir al-Misbâh terdapat paradigma baru mengenai harta sebagai “milik” bersama yang harus
menghasilkan manfaat bersama. Harta merupakan pokok
kehidupan, namun tidak seperti pandangan materialis yang menempatkan harta di
atas segalanya. Prinsip tersebut berimplikasi pada prinsip-prinsip
konsumsi dalam al-Qur`an. Konsumsi bahkan pada barang-barang mewah tidak
dilarang, namun dikendalikan sehingga tidak kelas kaya dan miskin. Hubungan
yang punya dan yang lemah secara ekonomi, tidak hanya sekedarhubungan
kedermawanan antara yang kaya dan yang lemah yang bersifat pribadi namun di
dasarkan pada cita-cita mewujudkan keadilan sosial dan hubungan harmonis antara
sesama manusia.
Kata Kunci : Tafsir al-Qur`an, Harta, Konsumsi,
Masyarakat
Pendahuluan
Kebutuhan hidup masyarakat ternyata tidak terbatas pada kebutuhan pokok
akan pangan, sandang dan papan atau makanan, pakaian dan perumahan sebagai
tempat tinggal. Kebutuhan manusia juga meliputi kebutuhan akan kenyamanan,
kemewahan dan kehormatan. Disinilah sistem ekonomi pasar mendorong masyarakat
untuk memiliki kebiasaan berbelanja bahkan di luar apa yang sebenarnya mereka
butuhkan. Dampak dari sistem ekonomi pasar yang berbasis pada kapital atau
kapitalisme adalah konsumisme yaitu kebiasaan belanja pada masyarakat pada
barang-barang di luar kebutuhan mereka sampai pada tingkat ’ketagihan’.
Pemakaian produksi kapitalisme menjadi tujuan pada dirinya sendiri.[2]
Terbatasnya sumber-sumber-sumber ekonomi, menjadikan budaya belanja,
apalagi pada barang-barang dan jasa yang sudah melewati batas kebutuhan hidup
yang bersifat pokok, menimbulkan masalah sosial yang rumit. Keputusan penting tindakan manusia termotivasi hampir
seluruhnya oleh kepentingan diri atau kepentingan pendukung kuat suatu
kelompok, padahal banyak dari berbagai hal dari kebanyakan keinginan manusia
hanya sedikit yang tersedia, maka seperti dicatat sebelumnya, surplus
barang-barang produksi tak bisa tidak akan meningkat ke perjuangan dan konflik
yang mengarah pada pengendalian atas barang-barang produksi.[3]
Terbatasnya barang-barang produksi menimbulkan suatu jenis kekuasaan atau
semacam pengaruh yang dimanfaatkan oleh
si obyek, individu atau kelompok terhadap yang lainya. Dalam ilmu sosial
istilah kekuasaan secara umum menjadi suatu jenis hubungan yang khas di antara
para objek, antara pribadi-pribadi dengan kelompok[4]. Pengaruh antara kelompok yang berkuasa, yang kuat, yang menguasai
sejumlah barang-barang produksi di masyarakat kemudian melahirkan struktur
sosial. Masyarakat dikelompokkan berdasarkan kepemilikannya atas harta
benda. Marx Weber, tokoh sosiologi
modern mengakui adanya penggolongan orang-orang secara hirarkis dalam suatu
sistem stratifikasi sosial. Weber telah memperluas pikiran Marx mengenai dasar
ekonomi untuk kelas sosial. Menurut Marx ekonomi merupakan dasar struktur
sosial, dan posisi-posisi orang dalam struktur ini ditentukan terutama oleh
apakah dia memiliki alat produksi atau tidak. Kalau ini diperluas, pemilikan
benda atau kekayaan menjadi dasar utama stratifikasi, jadi pembagian yang
sangat fundamental dalam struktur sosial adalah antara yang ‘memiliki” dan yang
‘tidak memiliki”[5].
Selain kelas, perebutan barang-barang produksi, menurut Weber juga
melahirkan kelompok status, di mana orang-orang digolongkan dalam
lapisan-lapisan berdasarkan kehormatan atau prestise yang dinyatakan dalam gaya
hidup bersama. Menurut Weber bertolak belakang dengan kelas, kelompok status
biasanya merupakan komunitas. Berlawanan dengan “situasi kelas” yang sepenuhnya
ditentukan secara ekonomi, “situasi status” ditentukan oleh sebuah penghargaan
sosial yang spesifik, positif atau negatif, terhadap kehormatan. Kekayaan tidak
selalu diakui sebagai suatu kualifikasi status. Orang yang dulunya biasa -
“miskin” - kemudian berusaha dan sukses menjadi kaya belum tentu mendapat
status penghormatan yang sama dengan kelompok-kelompok yang telah lama sebagai
keluarga kaya[6].
Dengan demikian penggolongan kelompok status lebih bersifat subyektif
antara para anggotanya yang terikat menjadi satu karena gaya hidup yang sama,
nilai serta kebiasaan yang sama, dan sering pula oleh perkawinan di dalam
kelompok itu sendiri. Masing-masing kelompok akan berjuang untuk mempertahankan
perasaan superioritas terhadap mereka yang tidak termasuk dalam lingkaran
sosialnya. Sebagai contoh pembedaan antara kelas ekonomi dan kelompok status
yang tidak hanya berdasarkan kepemilikan kekayaan adalah kontras antara
kekayaan “baru” yang dimiliki seorang pengusaha yang berhasil, dan kekayaan
“lama” yang dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sudah lama mapan dan
berprestise tinggi. Semua orang tahu bahwa uang saja tidak cukup diterima
dikalangan kelompok status yang berprestise tinggi. Latar belakang keluarga dan
sejarah juga penting[7].
Dengan demikian “kelas” distratifikasikan menurut hubungan mereka dengan
produksi dan perolehan barang, sedangkan “kelompok status” distratifikasikan
menurut prinsip-prinsip konsumsi, seperti direpresentasikan oleh “gaya hidup”
khusus[8]. Demi tujuan praktis, stratifikasi berdasarkan status berjalan beriringan
dengan monopolisasi barang-barang ideal dan material atau kesempatan, dalam
cara yang kita maklumi tipikal. Preferensi kehormatan semacam itu bisa berupa privilise
mengenakan seragam khusus, menyantap makanan khusus yang terlarang bagi orang
lain, membawa senjata – yang konsekuensinya paling jelas - hak untuk mewujudkan
praktik-praktik artistik kegemaran non professional, misalnya memainkan
peralatan musik tertentu. Monopoli material memberikan motif paling efektif
bagi eksklusivitas suatu kelompok status.[9]
Wacana teoritis di atas menunjukkan bahwa konsumisme dapat menimbulkan
masalah sosial seperti kemiskinan bagi yang lemah dan kalah, adanya kesenjangan
sosial akibat sistem kelas berdasarkan penguasaan harta yang berdampak pada
kecemburuan sosial dan dampak berantai berikutnya seperti sulitnya bagi warga
miskin untuk memperoleh fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana-prasarana
untuk hidup layak dan sejahtera lainnya.
Al-Qur`an sebagai sumber utama ajaran Islam yang merupakan agama yang
menyeluruh di mana ajaran-ajarannya tidak hanya berhubungan dengan masalah
ibadah yang bersifat batiniah-spiritual tentu tidak mendiamkan masalah-masalah
ekonomi-sosial di atas terjadi secara terus menerus. Sebagaimana dinyatakan
oleh Sayyid Quthb dalam bukunya Keadilan Sosial dalam Islam bahwa
ayat-ayat al-Qur`an secara jelas menentang stratifikasi sosial berdasarkan
apapun. Berulangkali al-Qur`an menetapkan bahwa manusia memiliki asal dan
sumber kejadian yang satu; semuanya berasal dari tanah, setiap individu tidak
ada kecualinya semuanya berasal dari sperma yang hina, dan Rasulullah saw. pun
menetapkan arti semacam ini pula dalam berbagai hadistnya, antara lain: ”Kamu
sekalian adalah anak cucu Adam, dan Adam berasal dari tanah”. Jika sudah tidak
ada kelebihan individu dari individu lainnya, maka tidak ada pula kelebihan
antara satu suku dari suku yang lain, satu bangsa dari yang lainnya, yang
bersumber dan unsur-unsurnya lebih utama dari yang lain. Persamaan derajat
dalam al-Qur`an ditegakkan atas teori kemanusiaan yang sempurna dan bersih,
sampai-sampai dari fanatisme keagamaan sekalipun[10].
Masalah dan Pendekatan
Masalah utama yang dibahas dalam kajian ini adalah
bagaimanakah konsep tafsir al-Qur`an mengenai pemanfaatan harta berhubungan
dengan konsumsi barang-barang produksi. Apakah tafsir al-Qur`an menawarkan
paradigma baru dalam memandang konsumsi sehingga tidak menimbulkan masalah
konsumisme yang berdampak pada andanya stratifikasi sosial berdasarkan ekonomi
dan gaya hidup.
Penelitian
ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research) yang
menggunakan data kualitatif yang berupa kata-kata, bukan angka-angka[11].
Sumber data primer dalam penelitian ini dibatasi pada kitab Tafsir al-Misbâh,
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, dan Karya-karya Quraish Shihab
lainnya yang membahas konsep-konsep al-Qur`an dengan metode maudhu’i seperti Membumikan
al-Qur`an dan Wawasan al-Qur`an.
Pada tahap pengumpulan data, sudah dilakukan klasifikasi
ayat-ayat al-Qur`an yang relevan dengan masalah penelitian dengan
pengkategorian berdasarkan peta konsep harta dan masalah-masalah sosial. Untuk
penelusuran ayat-ayat al-Qur`an yang mengandung istilah harta dan munasabatnya,
akan digunakan al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur`an karya Muhammad
Fu`ad ‘Abd al-Baqi dan Konkordansi Qur`an, karya Ali Audah.
Harta dalam Sorotan
al-Qur`an
Al-Qur`an memiliki perspektif terhadap harta-kekayaan yang melampaui
berbagai pemikiran manusiawi. Harta merupakan hal yang penting bagi kehidupan
manusia, namun kecintaan pada harta yang berlebihan, ketergantungan hidup yang
hanya pada unsur-unsur ekonomi semata akan menjerumuskan manusia pada derajat
yang rendah. Untuk itu al-Qur`an menyerukan agar pemanfaatan harta dikendalikan
dengan penuh tanggung jawab dan hanya orang-orang dewasa yang sudah mengerti
prinsip-prinsip kehidupan yang diperbolehkan memegang harta. Hal itu dijelaskan
dalam surat al-Nisa` ayat 5
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ
لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. 4:5)
Menurut sayyid Quthb anak-anak - dalam konteks ayat di atas adalah
anak-anak yatim - yang belum sempurna akalnya, yang tidak dapat mengatur dan
mengembangkan hartanya dengan baik, maka hartanya itu tidak boleh diserahkan
kepada mereka. Mereka tidak berhak membelanjakan dan mempergunakannya sendiri,
meskipun hak kepemilikan ada pada anak tersebut karena yatim atau telah
ditinggal mati ayahnya. kesempurnaan dan ketidaksempurnaan akal itu akan tampak
bila sudah dewasa. (SQ. 2; 283)
Quraish Shihab secara mendalam melihat surat al-Nisa` ayat 5 sebagai seruan
dari al-Qur`an mengenai prinsip-prinsip harta (amwâl). Menurut Quraish
Shihab, terdapat lima hal pokok yang diisyaratkan oleh ayat tersebut:
- Harta sebagai sesuatu “milik” bersama dalam arti ia harus beredar dan menghasilkan manfaat bersama. Yang membeli sesuatu dengan harta itu mendapat untung, demikian juga penjual, dan penyewa serta yang menyewakan barang.
- Harta dijadikan oleh Allah sebagai qiyâman atau pokok kehidupan. Apabila harta berkurang dalam suatu masyarakat, maka kebutuhan hidup mereka pasti serba kekurangan. Jika anggaran belanja dan pendapatan satu negara rendah, pastilah pendapatan perkapitanya pun rendah, demikian pula sebaliknya, dan ketika itu kemiskinan akan melanda mereka, dan pada gilirannya menjadikan mereka tergantung pada masyarakat atau negara lain yang tidak mustahil merendahkan martabat masyarakat bangsa itu bahkan menjajahnya.
- Harta hendaknya dikembangkan. Modal yang ada hendaknya tidak dibiarkan begitu saja tetapi harus produktif dan menghasilkan keuntungan, sehingga biaya hidup mereka yang belum mampu mengelola harta itu diambil dari keuntungan pengelolaan, bukan dari modal. Wacana ini didasarkan pada penggunaan kata fîha bukan minha atau darinya. Seandainya ayat di atas menggunakan kata minha yang berarti darinya, maka biaya hidup itu diambil dari modal dan isyarat di atas tidak tergambar.
4.
Pada prinsipnya dalam pandangan al-Qur`an, modal tidak boleh menghasilkan
dari dirinya sendiri, tetapi hasilnya haruslah dari usaha baik manusia. Karena
itu riba dan perjudian dilarang, dan itu pula salah satu hikmah ditetapkannya
kadar tertentu dari zakat uang (walau tidak digunakan) agar mendorong aktivitas
ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangu spekulasi dan penimbunan.
5.
Harta merupakan faktor produksi yang penting, namun bukan yang paling
penting. Manusia menempati posisi tertinggi, hubungan harmonis antar warga
harus terus dipelihara, maka ayat ini ditutup dengan perintah dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik [12].
Pemanfaatan Harta
dalam Perspektif al-Qur`an
Prinsip harta dalam al-Qur`an sebagai milik bersama kemudian dijabarkan
dalam prinsip-prinsip pemanfaatan harta. Hal itu tercermin dalam penggunaan
al-Qur`an pada unsur kata anfaqa-yunfiqu-infaq untuk menunjukkan
satu perspektif penyaluran dan pemanfaatan harta. Kata infaq dalam
Qur`an pertama kali muncul dalam Surat al-Baqarah ayat 4,
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada
mereka.
Ayat di atas menegaskan bahwa harta adalah merupakan bagian dari anugerah
(rizqi) dari Allah, maka begitu orang mendapatkan rezeki ia harus ingat kepada
Allah dengan menyalurkan (infaq) harta tersebut. Menurut Sayyid Quthb,
harta yang ada pada diri seseorang adalah rezeki dari Allah, bukan hasil
ciptaan dirinya sendiri. Dari pengakuan terhadap nikmat rezeki ini maka ia
ingin membagi kebaikan dengan semua makhluk, timbul rasa solidaritas sosialnya
dengan sesama makhluk Allah, merasa sama-sama unsur manusia, dan merasakan
persaudaraan dengan sesama manusia. Infak di sini mencakup zakat dan sedekah,
dan segala sesuatu yang dinafkahkan untuk kebaikan dan kebajikan.[13]
Mengenai harta yang bagaimana yang harus diinfakkan, surat al-Baqarah ayat
215 menjelaskan:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ
قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah
diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang
kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Surat al-Baqarah ayat 215 menurut Tafsir al-Misbâh menegaskan harta
yang seharusnya diinfakkan, yaitu dari harta yang baik, yakni apa saja
yang baik silahkan nafkahkan. Di sini harta ditunjuk dengan kataخير khair/ baik, untuk memberi isyarat bahwa
harta yang dinafkahkan itu hendaklah sesuatu yang baik, serta digunakan untuk
tujuan-tujuan yang baik[14].
Infak pada masa permulaan tumbuhnya Islam merupakan sesuatu yang amat vital
untuk menegakkan dan membangun kaum muslimin dalam menghadapi kesulitan,
penderitaan, dan peperangan-peperangan yang tak dapat dielakkan. Ia juga sangat
vital dari sisi saling menjamin dan saling menanggung antar anggota kaum
muslimin dan untuk menghilangkan unsur-unsur perbedaan perasaan karena
masing-masing merasa sebagai salah satu anggota sebatang tubuh yang saling
membutuhkan dan saling berkaitan. Ini merupakan sesuatu yang memiliki nilai
sangat besar di dalam membangun jamaah pada segi perasaan sebagaimana ia juga
memiliki nilai penting dalam menutup kebutuhan mereka.
Menurut Tafsir al-Misbah ungkapan ayat 215 dari surat al-Baqarah di
atas mengandung dua isyarat. Pertama, yang diinfakkan itu adalah yang baik,
baik bagi yang memberi, baik bagi yang menerima, baik bagi jamaah, dan
barangnya juga baik. Maka ia adalah perbuatan yang bagus, pemberian yang bagus,
dan sesuatu yang bagus. Kedua, orang yang berinfak hendaklah memilihkan sesuatu
yang lebih utama dan lebih baik dari apa yang dimilikinya, sehingga dapat
dirasakan bersama orang-orang lain. Karena infak adalah membersihkan hati dan
menyucikan jiwa, serta memberikan kemanfaatan dan pertolongan kepada orang
lain. Memilih yang baik dan melepaskannya untuk orang lain inilah yang
mewujudkan kebersihan bagi hati, kesucian bagi jiwa, dan sikap mengutamakan
orang lain yang memiliki arti yang sangat bagus.
Selanjutnya dijelaskan, untuk siapa harta sebaiknya diberikan, yaitu
pertama kepada ibu bapak, karena merekalah sebab wujud anak serta paling
banyak jasanya, selanjutnya kepada kaum kerabat yang dekat maupun yang
jauh, dan anak-anak yatim, yakni anak yang belum dewasa sedang ayahnya
telah wafat, demikian juga untuk orang-orang miskin yang membutuhkan
bantuan dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan tetapi kekurangan
bekal. Ayat ini menjelaskan hal-hal tersebut dalam bentuk kata kerja masa
lampau untuk memberi isyarat bahwa yang demikian itu seakan-akan telah mereka
laksanakan, sehingga tidak perlu lagi untuk diperintahkan[15].
Ayat lain yang berbicara tentang keharusan menyedekahkan harta untuk yang
kebutuhan Islam adalah Surat al-Baqarah Ayat 261. Ayat ini turun sebagaimana
disebut-sebut dalam sekian riwayat, menyangkut kedermawanan Utsman Ibn ’Affan
dan Abdurrahman Ibn ’Auf ra. Yang datang membawa harta mereka untuk membiayai
peperangan tabuk. Bahwa ayat ini turun menyangkut mereka, bukanlah berarti
bahwa ia bukan janji Ilahi terhadap setiap orang yang menafkahkan hartanya
dengan tulus. Di sisi lain, walaupun ayat ini berbicara tentang kasus yang
terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. sedangkan ayat yang lalu berbicara tentang
Nabi Ibrahim as. yang jarak waktu kejadiannya berselang ribuan tahun, tetapi
dari segi penempatan urutan ayatnya, ditemukan keserasian yang sangat mengagumkan[16].
Surat al-Baqarah pada ayat ini juga berhubungan dengan ayat sebelumnya yang
menjelaskan tentang pertanyaan bagaimana Allah menghidupkan negeri yang telah
hancur berantakan (al-Baqarah ayat 259). Allah telah menjelaskan bahwa
membangun dunia dan memakmurkannya mengharuskan adanya manusia yang hidup,
tinggal, bergerak, giat dan berusaha. Tanpa kehadiran manusia dan kehidupannya,
maka satu negeri tidak akan makmur. Hidup bukan hanya menarik dan menghembuskan
nafas. Hidup adalah gerak, rasa, tahu, kehendak, dan pilihan. Manusia tidak
dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, ia harus bantu membantu, saling
lengkap melengkapi,dan karena itu pula mereka harus beragam dan berbeda-beda
agar mereka saling membutuhkan. Yang tidak mampu dalam satu bidang dibantu oleh
yang lain yang mumpuni, atau berlebih di bidang lain. Yang kuat membantu yang
lemah.[17] Dengan demikian surat al-Baqarah ayat 261
berpesan kepada yang berpunya agar tidak merasa berat membantu, karena apa yang
dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda[18].
Menafkahkan harta di jalan Allah tidak hanya sekedar mengeluarkan atau
membuang harta untuk kepentingan di luar diri sendiri, namun harus benar-benar
memahami prinsip-prinsip al-Qur`an mengenai harta dan persamaan derajat di mata
Allah. Seorang yang memberikan hartanya kepada yang membutuhkan namun dengan
niat memandang rendah martabat orang yang diberi, maka pemberian tersebut akan
sia-sia. Hal itu dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 262.
Ayat tersebut menjelaskan salah satu sisi dari cara menafkahkan harta yang
direstui Allah swt. Dan yang diperintahkan-Nya pada ayat yang lalu. Di sisi
lain, kalau ayat yang lalu menjelaskan keadaan petani yang berhasil menggarap
sawahnya dan melipatgandakan hasilnya, maka di sini dijelaskan lebih jauh sebab
keberhasilan mereka; yakni bahwa mereka tidak menyebut-nyebut pemberiannya dan
tidak pula menyakiti hati orang yang diberikannya. Pelipatgandaan yang disebut
pada ayat yang lalu, diperoleh mereka yang menghindari sebab kegagalan ini[19].
Dengan demikian al-Qur`an meletakkan satu perubahan paradigma yang
fundamental terhadap harta, bahwa ia adalah pemberian Allah, harus diperoleh
dengan jalan yang baik, tidak saling merugikan, digunakan untuk kepentingan
Allah yaitu menggunakannya secara baik dan tidak berlebih-lebihan dan
senantiasa memperhatikan dengan menyalurkan sebagian rizki dari Allah tersebut
kepada siapapun yang membutuhkan dengan cara yang baik. Pemberian dengan
diikuti caca maki dan merendahkan martabat kemanusiaan yang diberi, maka pemberian
tersebut akan sia-sia dan tidak memiliki manfaat apapun.
Seruan-seruan al-Qur`an untuk menginfakkan harta di atas kemudian
diperjelas dan dipertegas dalam surat al-Taubah ayat 60. Ayat al-Qur`an ini
berbicara tentang zakat dan sedekah sehingga dapat disimpulkan bahwa harta
benda mempunyai fungsi sosial. Fungsi tersebut ditetapkan Allah atas dasar
kepemilikan-Nya yang mutlak terhadap segala sesuatu di alam raya ini termasuk
harta benda. Di samping berdasar persaudaraan semasyarakat, sebangsa dan
sekemanusiaan dan berdasar istikhlaf, yakni penugasan manusia sebagai
khalifah di bumi. Apa yang berada dalam genggaman tangan seseorang atau
sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah swt. Manusia diwajibkan
menyerahkan sebagian, yakni paling tidak, kadar tertentu dari apa yang berada
dalam genggaman tangannya yang merupakan milik Allah itu, untuk kepentingan
saudara-saudara mereka. Bukankah hasil produksi – apapun bentuk dan jenisnya –
hanyalah upaya rekayasa atau pemanfaatan bahan-bahan mentah serta materi yang
sebelum manusia hadir ke pentas bumi ini telah diciptakan Allah swt... sebagai
pemilik mutlak dan sebagai pemilik bahan mentah, Dia wajar memperoleh bagian
dari hasil usaha manusia. Dia tidak minta banyak, hanya dua setengah persen
dari hasil perdagangan yang telah dimiliki setahun, itupun setelah dikeluarkan
semua kebutuhan, wajib zakat[20].
Prinsip-Prinsip
Konsumsi dalam al-Qur`an
Kecenderungan manusia pada barang-barang konsumsi di luar kebutuhan
pokok dijelaskan al-Qur`an dalam surat
Ali ’Imran ayat 14.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ
Artinya: Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. 3:14)
Wanita (istri) dan anak-anak merupakan sesuatu yang sangat dicintai serta
diinginkan oleh manusia. Hal ini diiringi dengan ”harta yang banyak” berupa
emas dan perak. Dan, kerakusan terhadap harta itulah yang dilukiskan dengan
kata-kata ”al-qanathirul-muqantharah” harta yang banyak. Kalau yang
dimaksud hanya semata-mata kecenderungan kepada harta saja, niscaya akan
digunakan lafal ’al-amwal’ atau al-dzahab wa al-fidhah. Akan
tetapi lafal al-qanathirul-muqantharah memiliki nuansa khusus. Itulah
yang dimaksudkan, yaitu kerakusan yang amat sangat untuk menumpuk emas dan
perak. Selanjutnya wanita, anak-anak, dan harta yang banyak berupa emas dan
perak itu dirangkaikan pula dengan kuda pilihan. Kuda -hingga pada zaman
peralatan modern sekarang- tetap merupakan perhiasan yang dicintai dan disukai.
Pada kuda terdapat keindahan, keperwiraan, ketangkasan, kelembutan, dan kasih
sayang. Berikutnya keinginan-keinginan tersebut diiringi juga dengan binatang
ternak dan sawah ladang. Keinginan-keinginan yang disebutkan di dalam ayat
tersebut adalah sebagai contoh bagi keinginan-keinginan jiwa, menggambarkan
keinginan-keinginan lingkungan masyarakat yang diajak bicara oleh al-Qur`an
waktu itu, dan di antaranya ada yang menjadi keinginan setiap jiwa manusia
sepanjang peredaran zaman.(QS 2; 43)
Di sinilah keistimewaan Islam dengan memelihara fitrah manusia dan menerima
kenyataannya, serta berusaha mendidik, merawat dan meninggikannya (SQ 2; 42).
Menurut Sayyid Qutbh, ayat di atas menunjukkan adanya instink pada diri manusia
sehingga memiliki kecenderungan untuk merasa senang pada harta kekayaan. Pada
diri manusia terdapat kecenderungan kepada keinginan-keinginan dan itu
merupakan bagian dari kejadian asal-nya yang tidak dapat diingkari dan dianggap
mungkar. Hal itu merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia supaya
kokoh, berkembang, dan berjalan normal. (SQ 2;42). Disisi lain, fakta juga
membuktikan bahwa di dalam fitrah manusia untuk mengimbangi
kecenderungan-kecenderungan itu, untuk menjaga manusia agar tidak tenggelam
dalam sisi itu saja, serta kehilangan tiupan keluhuran atau petunjuk dan
pengarahannya. Sisi lain ini adalah sisi persiapannya untuk meningkatkan
derajatnya, dan persiapan untuk mengendalikan jiwa serta untuk menghentikannya
pada batas-batas yang sehat dalam mengaktualisasikan keinginan-keinginan.
Al-Qur`an memaparkan semua itu,
kemudian menetapkan nilai yang sebenarnya. Semua kenikmatan yang disukai dan
dipaparkan di atas-serta semua kenikmatan dan kesenangan lainnya, adalah
kesenangan hidup duniawi, bukan kehidupan yang tinggi dan bukan ufuk yang jauh.
Ia hanya kesenangan duniawi yang sementara. Adapun orang yang menghendaki
sesuatu yang lebih baik dari semua itu, yang mengangkat jiwa manusia dan
melindunginya dari tenggelam dalam syahwat dan keinginan, maka di sisi Allah
ada kesenangan yang lebih baik dan menggantikan semua kesenangan itu. Itulah
yang dijelaskan oleh ayat selanjutnya, Katakanlah:"Inginkah aku kabarkan kepadamu
apa yang lebih baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang
bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai)
isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya. (QS. 3:15). Al-Qur`an mengakui pentingnya harta bagi
kehidupan, meskipun ia bukan yang utama. Harta tidak hanya menjadi kekuasaan
pribadi, ia harus beredar merata di masyarakat, sehingga orang-orang diwajibkan
memperhatikan lingkungan masyarakatnya dan bagi yang memiliki harta untuk
menyalurkan sebagiannya pada siapa yang membutuhkan, mulai dari anggota
keluarga sendiri yang terdekat sampai yang terjauh.
Prinsip-prinsip al-Qur`an tersebut mendudukkan prinsip konsumsi dalam
al-Qur`an, bahwa konsumsi termasuk barang-barang yang diluar kebutuhan pokok,
tidak dilarang dalam al-Qur`an. Surat al-A’raf ayat 32 menyatakan:
يَا
بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (31) قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ
اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ
آَمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ
الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. 7:31)Katakanlah:"Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik".
Katakanlah:"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui. (QS. 7:32)
Al-Qur`an tidak hanya menyeru mereka untuk mengenakan pakaian yang indah
ketika akan melakukan ibadah, dan menikmati makan dan minum yang baik-baik.
Lebih dari itu ia menganggap munkar tindakan mengharamkan perhiasan yang
dikeluarkan Allah untuk hamba-hambanya dan mengharamkan rezeki yang baik-baik.
Maka, merupakan tindakan munkar apabila seseorang mengharamkan – berdasarkan
pemikirannya sendiri – apa-apa yang dikeluarkan Allah untuk hamba-hambaNya (SQ
4; 305).
Pengendalian konsumsi
dan Kepedulian Sosial
Prinsip-prinsip normatif al-Qur`an harus dapat diturunkan ke dalam konsep
teoritis sebagai alat untuk perubahan sosial. Al-Qur`an sebagai sumber nilai
harus menggeser nilai-nilai sosial yang saat ini berlangsung di mana masyarakat
digolongkan berdasarkan kepemilikannya terhadap harta. Hubungan sosial antar
kelompok masyarakat yang ditentukan oleh harta akan dimenangkan oleh kelompok yang memiliki modal besar. Fenomena
ini harus dibongkar karena akan menimbulkan masalah sosial yang besar yaitu
lahirnya kelompok miskin yang kalah yang berjumlah lebih besar daripada
kelompok kaya yang menang. Kelompok miskin akan kesulitan memperoleh akses
pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan penghidupan yang layak pada umumnya.
Prinsip-prinsip harta dalam al-Qur`an sebagaimana dijelaskan tafsirnya di
atas akan melahirkan tatanan masyarakat baru yang tidak menyisakan masalah
kesenjangan ekonomi. Kelompok masyarakat yang memiliki banyak harta dan yang
miskin adalah realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri, namun dengan
perubahan cara pandang terhadap harta yang memiliki fungsi sosial, yang tidak
hanya menjadi kekayaan pribadi, maka hubungan si kaya dan si miskin tidak lagi
hubungan yang menghinakan dan bersifat ekonomis karena persaingan bisnis antara
yang kalah dan yang menang. Di dalam harta si kaya ada hak untuk si miskin
sehingga tidak ada masalah akses bagi yang tidak mampu untuk memperoleh
penghidupan yang layak, memperoleh fasilitas sandang-pangan-papan, kesehatan,
dan pendidikan. Negara dan masyarakat punya tugas untuk mengatur hubungan
tersebut sehingga cita-cita sosial yang harmonis tidak hanya konsep normatif
yang melangit tetapi benar-benar teraplikasi dalam kehidupan nyata dengan
pengaturan oleh aparat birokrasi dan pengawasan serta pendampingan oleh
masyarakat.
Penghapusan kesenjangan sosial antara yang mampu secara ekonomi dan yang
lemah nampak jelas dalam ajaran zakat, infak, sedekah, dan amal jariah (wakaf).
Perbuatan-perbuatan tersebut bukan hanya sekedar perbuatan sosial yang
menggambarkan sifat kedermawanan seseorang tanpa sebuah bangunan prinsip untuk
kesejahteraan masyarakat banyak. Wakaf menempati peran yang cukup besar setelah
zakat sebagai upaya pemberdayaan ekonomi lemah. Jika zakat memiliki gagasan
untuk menolong golongan lemah agar tetap bisa hidup untuk mencukupi kebutuhan
diri dan keluarganya setiap harinya, maka wakaf memiliki peran pembedayaan
secara luas untuk meningkatkan taraf hidup lebih dari sekedar memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Keadilan ekonomi yang ingin diwujudkan dengan ajaran
zakat-infaq, sedekah dan wakaf tersebut menekankan adanya keseimbangan yang
bersifat timbal balik dan terbebasnya dari berbagai bentuk ketimpangan sosial
yang berpangkal dari kepincangan kesejahteraan ekonomi[21].
Ajaran zakat-infaq, sedekah dan wakaf bukan hanya bersifat personal sebagai
pencerminan kesalehan individu namun juga kesalehan sosial yang mengatasi
hubungan sosial yang mengkaitkan hubungan antara kelompok dalam masyarakat
bahkan juga melibatkan negara. Masalah akses masyarakat miskin pada pendidikan
dan kesehatan dapat diatasi dengan instrumen ajaran zakat-infaq, sedekah dan
wakaf tersebut namun dikelola secara produktif mengikuti hukum-hukum ekonomi
yang menguntungkan yang melibatkan baik suwasta maupun negara.
Kesimpulan
Al-Qur`an menurut Tafsir al-Misbâh menyerukan paradigma baru dalam konsumsi. Harta dipandang
sebagai hal yang pokok dan vital dalam kehidupan, namun tidak menjadi sesuatu
yang terpenting. Konsumsi bahkan terhadap barang-barang mewah tidaklah
dilarang, namun manusia harus mengendalikannya, karena kecintaannya pada harta
benda akn melupakannya pada nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
Nilai-nilai yang harus dipelihara oleh orang beriman dalam konteks
pengendalian konsumsi adalah harmoni hubungan antara yang kaya dan yang
lemah. Islam memandang infaq tidak hanya
hubungan kedermawanan yang bersifat pribadi dari si kaya namun harus didasarkan
pada cita-cita mewujudkan keadilan sosial dan hubungan harmonis antara sesama
manusia.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997
Federspiel, Kajian
al-Qur`an di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Penerjemah:
Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern , Penerjemah:
Robert. M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia, 1994
Junaidi, Ahmad,
dkk., Paradigma Baru Wakaf di Indonesia ,Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf - Depag RI,
2007
Kuntowijoyo. Islam
Sebagai ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Bandung: Teraju Mizan,
2004
______________,
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi ,Bandung: Mizan,
1998
Lenski, Gerhard E.,
Power and Privilege, a Theory of Social Stratification, Chapel Hill and
London: The University of North Carolina Press, 1966 h. 44
Mann, Michael, The
Source of Social Power ,Cambridge: Cambridge University Press, 1986
Martin, Roderick, Sosiologi Kekuasaan, Jakarta: Raja Grafindo
Persada,tth.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 1997
Quthb, Sayyid, Keadilan
Sosial Dalam Islam, Penerjemah: Afif Mohammad, Bandung: Penerbit Pustaka,
1984
Shihab, M. Quraish,
Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:
Mizan, 1999
_______________ Tafsir al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, Jakarta: Lentera Hati, 2005
Weber, Max, Essays
In Sociology, H.H. Gerth and G. Wright Mills, ed., London: Routledge
& Kegan Paul LTD, 1948
[1] Dosen Jurusan Tafsir Hadits,
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar lampung, Doktor dari UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, dengan Disertasi bertema Konsep Kekuasaan dalam Tafsir
al-Misbah karya M. Quraish Shihab
[2] Franz Magnis Suseno, Etika
Kebangsaan-Etika Kemanusiaan, 79 Tahun Sesudah Sumpah Pemuda (Yogyakarta:
Impulse- Penerbit Kanisius, 2008) h. 16
[3] Gerhard E. Lenski, Power and
Privilege, a Theory of Social Stratification (Chapel Hill and London: The
University of North Carolina Press, 1966) h. 44
[4]
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,tth. ) h. 69-70
[5]
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern , Penerjemah:
Robert. M.Z. Lawang, (Jakarta: PT. Gramedia, 1994) h. 223
[6] Max Weber, Essays In Sociology,
h. 186-187
[7] Johnson, Doyle
Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,h. 224
[8] Max Weber, Essays In Sociology, h.
193
[9] Max Weber, Essays In Sociology,
h. 190-191
[10] Sayyid Quthb, Keadilan Sosial
Dalam Islam, Penerjemah: Afif Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984) h.
66-67
[11] Lihat,
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1997) h. 6
[12] M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an Vol.
2 (Jakarta: Lentera Hati, 2005) h. 348-349
[13] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal
al-Qur`an, Jilid 1, h. 48
[14] Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbâh, Vol 1, h. 459
[15] Ibid., h. 459
[16] Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbâh, Vol 1, h. 566
[17] Ibid., h.566-567
[18] Ibid., h.567
[19] Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbâh, Vol 1, h.568
[20] Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbâh, Vol 5, h. 635-636
[21] Ahmad Junaidi, dkk., Paradigma
Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf - Depag RI, 2007) h. 86-87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar