Rabu, 02 Oktober 2013

Konsumerisme Dan Kosumisme Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur`an

Konsumerisme Dan Kosumisme
Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur`an




Oleh:
Anwar Mujahidin[1]


Abstrak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Tafsir al-Misbâh terdapat paradigma baru mengenai harta sebagai “milik” bersama yang harus menghasilkan manfaat bersama. Harta merupakan pokok kehidupan, namun tidak seperti pandangan materialis yang menempatkan harta di atas segalanya. Prinsip tersebut berimplikasi pada prinsip-prinsip konsumsi dalam al-Qur`an. Konsumsi bahkan pada barang-barang mewah tidak dilarang, namun dikendalikan sehingga tidak kelas kaya dan miskin. Hubungan yang punya dan yang lemah secara ekonomi, tidak hanya sekedarhubungan kedermawanan antara yang kaya dan yang lemah yang bersifat pribadi namun di dasarkan pada cita-cita mewujudkan keadilan sosial dan hubungan harmonis antara sesama manusia.

Kata Kunci : Tafsir al-Qur`an, Harta, Konsumsi, Masyarakat
 

Pendahuluan
Kebutuhan hidup masyarakat ternyata tidak terbatas pada kebutuhan pokok akan pangan, sandang dan papan atau makanan, pakaian dan perumahan sebagai tempat tinggal. Kebutuhan manusia juga meliputi kebutuhan akan kenyamanan, kemewahan dan kehormatan. Disinilah sistem ekonomi pasar mendorong masyarakat untuk memiliki kebiasaan berbelanja bahkan di luar apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Dampak dari sistem ekonomi pasar yang berbasis pada kapital atau kapitalisme adalah konsumisme yaitu kebiasaan belanja pada masyarakat pada barang-barang di luar kebutuhan mereka sampai pada tingkat ’ketagihan’. Pemakaian produksi kapitalisme menjadi tujuan pada dirinya sendiri.[2]
Terbatasnya sumber-sumber-sumber ekonomi, menjadikan budaya belanja, apalagi pada barang-barang dan jasa yang sudah melewati batas kebutuhan hidup yang bersifat pokok, menimbulkan masalah sosial yang rumit. Keputusan penting tindakan manusia termotivasi hampir seluruhnya oleh kepentingan diri atau kepentingan pendukung kuat suatu kelompok, padahal banyak dari berbagai hal dari kebanyakan keinginan manusia hanya sedikit yang tersedia, maka seperti dicatat sebelumnya, surplus barang-barang produksi tak bisa tidak akan meningkat ke perjuangan dan konflik yang mengarah pada pengendalian atas barang-barang produksi.[3]
Terbatasnya barang-barang produksi menimbulkan suatu jenis kekuasaan atau semacam  pengaruh yang dimanfaatkan oleh si obyek, individu atau kelompok terhadap yang lainya. Dalam ilmu sosial istilah kekuasaan secara umum menjadi suatu jenis hubungan yang khas di antara para objek, antara pribadi-pribadi dengan kelompok[4]. Pengaruh antara kelompok yang berkuasa, yang kuat, yang menguasai sejumlah barang-barang produksi di masyarakat kemudian melahirkan struktur sosial. Masyarakat dikelompokkan berdasarkan kepemilikannya atas harta benda.  Marx Weber, tokoh sosiologi modern mengakui adanya penggolongan orang-orang secara hirarkis dalam suatu sistem stratifikasi sosial. Weber telah memperluas pikiran Marx mengenai dasar ekonomi untuk kelas sosial. Menurut Marx ekonomi merupakan dasar struktur sosial, dan posisi-posisi orang dalam struktur ini ditentukan terutama oleh apakah dia memiliki alat produksi atau tidak. Kalau ini diperluas, pemilikan benda atau kekayaan menjadi dasar utama stratifikasi, jadi pembagian yang sangat fundamental dalam struktur sosial adalah antara yang ‘memiliki” dan yang ‘tidak memiliki”[5].
Selain kelas, perebutan barang-barang produksi, menurut Weber juga melahirkan kelompok status, di mana orang-orang digolongkan dalam lapisan-lapisan berdasarkan kehormatan atau prestise yang dinyatakan dalam gaya hidup bersama. Menurut Weber bertolak belakang dengan kelas, kelompok status biasanya merupakan komunitas. Berlawanan dengan “situasi kelas” yang sepenuhnya ditentukan secara ekonomi, “situasi status” ditentukan oleh sebuah penghargaan sosial yang spesifik, positif atau negatif, terhadap kehormatan. Kekayaan tidak selalu diakui sebagai suatu kualifikasi status. Orang yang dulunya biasa - “miskin” - kemudian berusaha dan sukses menjadi kaya belum tentu mendapat status penghormatan yang sama dengan kelompok-kelompok yang telah lama sebagai keluarga kaya[6].
Dengan demikian penggolongan kelompok status lebih bersifat subyektif antara para anggotanya yang terikat menjadi satu karena gaya hidup yang sama, nilai serta kebiasaan yang sama, dan sering pula oleh perkawinan di dalam kelompok itu sendiri. Masing-masing kelompok akan berjuang untuk mempertahankan perasaan superioritas terhadap mereka yang tidak termasuk dalam lingkaran sosialnya. Sebagai contoh pembedaan antara kelas ekonomi dan kelompok status yang tidak hanya berdasarkan kepemilikan kekayaan adalah kontras antara kekayaan “baru” yang dimiliki seorang pengusaha yang berhasil, dan kekayaan “lama” yang dimiliki oleh keluarga-keluarga yang sudah lama mapan dan berprestise tinggi. Semua orang tahu bahwa uang saja tidak cukup diterima dikalangan kelompok status yang berprestise tinggi. Latar belakang keluarga dan sejarah juga penting[7].
Dengan demikian “kelas” distratifikasikan menurut hubungan mereka dengan produksi dan perolehan barang, sedangkan “kelompok status” distratifikasikan menurut prinsip-prinsip konsumsi, seperti direpresentasikan oleh “gaya hidup” khusus[8]. Demi tujuan praktis, stratifikasi berdasarkan status berjalan beriringan dengan monopolisasi barang-barang ideal dan material atau kesempatan, dalam cara yang kita maklumi tipikal. Preferensi kehormatan semacam itu bisa berupa privilise mengenakan seragam khusus, menyantap makanan khusus yang terlarang bagi orang lain, membawa senjata – yang konsekuensinya paling jelas - hak untuk mewujudkan praktik-praktik artistik kegemaran non professional, misalnya memainkan peralatan musik tertentu. Monopoli material memberikan motif paling efektif bagi eksklusivitas suatu kelompok status.[9]
Wacana teoritis di atas menunjukkan bahwa konsumisme dapat menimbulkan masalah sosial seperti kemiskinan bagi yang lemah dan kalah, adanya kesenjangan sosial akibat sistem kelas berdasarkan penguasaan harta yang berdampak pada kecemburuan sosial dan dampak berantai berikutnya seperti sulitnya bagi warga miskin untuk memperoleh fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana-prasarana untuk hidup layak dan sejahtera lainnya.
Al-Qur`an sebagai sumber utama ajaran Islam yang merupakan agama yang menyeluruh di mana ajaran-ajarannya tidak hanya berhubungan dengan masalah ibadah yang bersifat batiniah-spiritual tentu tidak mendiamkan masalah-masalah ekonomi-sosial di atas terjadi secara terus menerus. Sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid Quthb dalam bukunya Keadilan Sosial dalam Islam bahwa ayat-ayat al-Qur`an secara jelas menentang stratifikasi sosial berdasarkan apapun. Berulangkali al-Qur`an menetapkan bahwa manusia memiliki asal dan sumber kejadian yang satu; semuanya berasal dari tanah, setiap individu tidak ada kecualinya semuanya berasal dari sperma yang hina, dan Rasulullah saw. pun menetapkan arti semacam ini pula dalam berbagai hadistnya, antara lain: ”Kamu sekalian adalah anak cucu Adam, dan Adam berasal dari tanah”. Jika sudah tidak ada kelebihan individu dari individu lainnya, maka tidak ada pula kelebihan antara satu suku dari suku yang lain, satu bangsa dari yang lainnya, yang bersumber dan unsur-unsurnya lebih utama dari yang lain. Persamaan derajat dalam al-Qur`an ditegakkan atas teori kemanusiaan yang sempurna dan bersih, sampai-sampai dari fanatisme keagamaan sekalipun[10].         
 
Masalah dan Pendekatan
Masalah utama yang dibahas dalam kajian ini adalah bagaimanakah konsep tafsir al-Qur`an mengenai pemanfaatan harta berhubungan dengan konsumsi barang-barang produksi. Apakah tafsir al-Qur`an menawarkan paradigma baru dalam memandang konsumsi sehingga tidak menimbulkan masalah konsumisme yang berdampak pada andanya stratifikasi sosial berdasarkan ekonomi dan gaya hidup.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan (library research) yang menggunakan data kualitatif yang berupa kata-kata, bukan angka-angka[11]. Sumber data primer dalam penelitian ini dibatasi pada kitab Tafsir al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, dan Karya-karya Quraish Shihab lainnya yang membahas konsep-konsep al-Qur`an dengan metode maudhu’i seperti Membumikan al-Qur`an dan Wawasan al-Qur`an.
Pada tahap pengumpulan data, sudah dilakukan klasifikasi ayat-ayat al-Qur`an yang relevan dengan masalah penelitian dengan pengkategorian berdasarkan peta konsep harta dan masalah-masalah sosial. Untuk penelusuran ayat-ayat al-Qur`an yang mengandung istilah harta dan munasabatnya, akan digunakan al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur`an karya Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqi dan Konkordansi Qur`an, karya Ali Audah.

Harta dalam Sorotan al-Qur`an
Al-Qur`an memiliki perspektif terhadap harta-kekayaan yang melampaui berbagai pemikiran manusiawi. Harta merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia, namun kecintaan pada harta yang berlebihan, ketergantungan hidup yang hanya pada unsur-unsur ekonomi semata akan menjerumuskan manusia pada derajat yang rendah. Untuk itu al-Qur`an menyerukan agar pemanfaatan harta dikendalikan dengan penuh tanggung jawab dan hanya orang-orang dewasa yang sudah mengerti prinsip-prinsip kehidupan yang diperbolehkan memegang harta. Hal itu dijelaskan dalam surat al-Nisa` ayat 5

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. 4:5)
    
Menurut sayyid Quthb anak-anak - dalam konteks ayat di atas adalah anak-anak yatim - yang belum sempurna akalnya, yang tidak dapat mengatur dan mengembangkan hartanya dengan baik, maka hartanya itu tidak boleh diserahkan kepada mereka. Mereka tidak berhak membelanjakan dan mempergunakannya sendiri, meskipun hak kepemilikan ada pada anak tersebut karena yatim atau telah ditinggal mati ayahnya. kesempurnaan dan ketidaksempurnaan akal itu akan tampak bila sudah dewasa. (SQ. 2; 283)
Quraish Shihab secara mendalam melihat surat al-Nisa` ayat 5 sebagai seruan dari al-Qur`an mengenai prinsip-prinsip harta (amwâl). Menurut Quraish Shihab, terdapat lima hal pokok yang diisyaratkan oleh ayat tersebut:
  1. Harta sebagai sesuatu “milik” bersama dalam arti ia harus beredar dan menghasilkan manfaat bersama. Yang membeli sesuatu dengan harta itu mendapat untung, demikian juga penjual, dan penyewa serta yang menyewakan barang.
  2. Harta dijadikan oleh Allah sebagai qiyâman atau pokok kehidupan. Apabila harta berkurang dalam suatu masyarakat, maka kebutuhan hidup mereka pasti serba kekurangan. Jika anggaran belanja dan pendapatan satu negara rendah, pastilah pendapatan perkapitanya pun rendah, demikian pula sebaliknya, dan ketika itu kemiskinan akan melanda mereka, dan pada gilirannya menjadikan mereka tergantung pada masyarakat atau negara lain yang tidak mustahil merendahkan martabat masyarakat bangsa itu bahkan menjajahnya.
  3. Harta hendaknya dikembangkan. Modal yang ada hendaknya tidak dibiarkan begitu saja tetapi harus produktif dan menghasilkan keuntungan, sehingga biaya hidup mereka yang belum mampu mengelola harta itu diambil dari keuntungan pengelolaan, bukan dari modal. Wacana ini didasarkan pada penggunaan kata fîha bukan minha atau darinya. Seandainya ayat di atas menggunakan kata minha yang berarti darinya, maka biaya hidup itu diambil dari modal dan isyarat di atas tidak tergambar.
4.    Pada prinsipnya dalam pandangan al-Qur`an, modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri, tetapi hasilnya haruslah dari usaha baik manusia. Karena itu riba dan perjudian dilarang, dan itu pula salah satu hikmah ditetapkannya kadar tertentu dari zakat uang (walau tidak digunakan) agar mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangu spekulasi dan penimbunan.
5.    Harta merupakan faktor produksi yang penting, namun bukan yang paling penting. Manusia menempati posisi tertinggi, hubungan harmonis antar warga harus terus dipelihara, maka ayat ini ditutup dengan perintah dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik [12].

Pemanfaatan Harta dalam Perspektif al-Qur`an
Prinsip harta dalam al-Qur`an sebagai milik bersama kemudian dijabarkan dalam prinsip-prinsip pemanfaatan harta. Hal itu tercermin dalam penggunaan al-Qur`an pada unsur kata anfaqa-yunfiqu-infaq untuk menunjukkan satu perspektif penyaluran dan pemanfaatan harta. Kata infaq dalam Qur`an pertama kali muncul dalam Surat al-Baqarah ayat 4,

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

Ayat di atas menegaskan bahwa harta adalah merupakan bagian dari anugerah (rizqi) dari Allah, maka begitu orang mendapatkan rezeki ia harus ingat kepada Allah dengan menyalurkan (infaq) harta tersebut. Menurut Sayyid Quthb, harta yang ada pada diri seseorang adalah rezeki dari Allah, bukan hasil ciptaan dirinya sendiri. Dari pengakuan terhadap nikmat rezeki ini maka ia ingin membagi kebaikan dengan semua makhluk, timbul rasa solidaritas sosialnya dengan sesama makhluk Allah, merasa sama-sama unsur manusia, dan merasakan persaudaraan dengan sesama manusia. Infak di sini mencakup zakat dan sedekah, dan segala sesuatu yang dinafkahkan untuk kebaikan dan  kebajikan.[13]
Mengenai harta yang bagaimana yang harus diinfakkan, surat al-Baqarah ayat 215 menjelaskan:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.

Surat al-Baqarah ayat 215 menurut Tafsir al-Misbâh menegaskan harta yang seharusnya diinfakkan, yaitu dari harta yang baik, yakni apa saja yang baik silahkan nafkahkan. Di sini harta ditunjuk dengan kataخير   khair/ baik, untuk memberi isyarat bahwa harta yang dinafkahkan itu hendaklah sesuatu yang baik, serta digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik[14].
Infak pada masa permulaan tumbuhnya Islam merupakan sesuatu yang amat vital untuk menegakkan dan membangun kaum muslimin dalam menghadapi kesulitan, penderitaan, dan peperangan-peperangan yang tak dapat dielakkan. Ia juga sangat vital dari sisi saling menjamin dan saling menanggung antar anggota kaum muslimin dan untuk menghilangkan unsur-unsur perbedaan perasaan karena masing-masing merasa sebagai salah satu anggota sebatang tubuh yang saling membutuhkan dan saling berkaitan. Ini merupakan sesuatu yang memiliki nilai sangat besar di dalam membangun jamaah pada segi perasaan sebagaimana ia juga memiliki nilai penting dalam menutup kebutuhan mereka.
Menurut Tafsir al-Misbah ungkapan ayat 215 dari surat al-Baqarah di atas mengandung dua isyarat. Pertama, yang diinfakkan itu adalah yang baik, baik bagi yang memberi, baik bagi yang menerima, baik bagi jamaah, dan barangnya juga baik. Maka ia adalah perbuatan yang bagus, pemberian yang bagus, dan sesuatu yang bagus. Kedua, orang yang berinfak hendaklah memilihkan sesuatu yang lebih utama dan lebih baik dari apa yang dimilikinya, sehingga dapat dirasakan bersama orang-orang lain. Karena infak adalah membersihkan hati dan menyucikan jiwa, serta memberikan kemanfaatan dan pertolongan kepada orang lain. Memilih yang baik dan melepaskannya untuk orang lain inilah yang mewujudkan kebersihan bagi hati, kesucian bagi jiwa, dan sikap mengutamakan orang lain yang memiliki arti yang sangat bagus.    
Selanjutnya dijelaskan, untuk siapa harta sebaiknya diberikan, yaitu pertama kepada ibu bapak, karena merekalah sebab wujud anak serta paling banyak jasanya, selanjutnya kepada kaum kerabat yang dekat maupun yang jauh, dan anak-anak yatim, yakni anak yang belum dewasa sedang ayahnya telah wafat, demikian juga untuk orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan tetapi kekurangan bekal. Ayat ini menjelaskan hal-hal tersebut dalam bentuk kata kerja masa lampau untuk memberi isyarat bahwa yang demikian itu seakan-akan telah mereka laksanakan, sehingga tidak perlu lagi untuk diperintahkan[15].
Ayat lain yang berbicara tentang keharusan menyedekahkan harta untuk yang kebutuhan Islam adalah Surat al-Baqarah Ayat 261. Ayat ini turun sebagaimana disebut-sebut dalam sekian riwayat, menyangkut kedermawanan Utsman Ibn ’Affan dan Abdurrahman Ibn ’Auf ra. Yang datang membawa harta mereka untuk membiayai peperangan tabuk. Bahwa ayat ini turun menyangkut mereka, bukanlah berarti bahwa ia bukan janji Ilahi terhadap setiap orang yang menafkahkan hartanya dengan tulus. Di sisi lain, walaupun ayat ini berbicara tentang kasus yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saw. sedangkan ayat yang lalu berbicara tentang Nabi Ibrahim as. yang jarak waktu kejadiannya berselang ribuan tahun, tetapi dari segi penempatan urutan ayatnya, ditemukan keserasian yang sangat mengagumkan[16].
Surat al-Baqarah pada ayat ini juga berhubungan dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang pertanyaan bagaimana Allah menghidupkan negeri yang telah hancur berantakan (al-Baqarah ayat 259). Allah telah menjelaskan bahwa membangun dunia dan memakmurkannya mengharuskan adanya manusia yang hidup, tinggal, bergerak, giat dan berusaha. Tanpa kehadiran manusia dan kehidupannya, maka satu negeri tidak akan makmur. Hidup bukan hanya menarik dan menghembuskan nafas. Hidup adalah gerak, rasa, tahu, kehendak, dan pilihan. Manusia tidak dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, ia harus bantu membantu, saling lengkap melengkapi,dan karena itu pula mereka harus beragam dan berbeda-beda agar mereka saling membutuhkan. Yang tidak mampu dalam satu bidang dibantu oleh yang lain yang mumpuni, atau berlebih di bidang lain. Yang kuat membantu yang lemah.[17]   Dengan demikian surat al-Baqarah ayat 261 berpesan kepada yang berpunya agar tidak merasa berat membantu, karena apa yang dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda[18].
Menafkahkan harta di jalan Allah tidak hanya sekedar mengeluarkan atau membuang harta untuk kepentingan di luar diri sendiri, namun harus benar-benar memahami prinsip-prinsip al-Qur`an mengenai harta dan persamaan derajat di mata Allah. Seorang yang memberikan hartanya kepada yang membutuhkan namun dengan niat memandang rendah martabat orang yang diberi, maka pemberian tersebut akan sia-sia. Hal itu dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 262.
Ayat tersebut menjelaskan salah satu sisi dari cara menafkahkan harta yang direstui Allah swt. Dan yang diperintahkan-Nya pada ayat yang lalu. Di sisi lain, kalau ayat yang lalu menjelaskan keadaan petani yang berhasil menggarap sawahnya dan melipatgandakan hasilnya, maka di sini dijelaskan lebih jauh sebab keberhasilan mereka; yakni bahwa mereka tidak menyebut-nyebut pemberiannya dan tidak pula menyakiti hati orang yang diberikannya. Pelipatgandaan yang disebut pada ayat yang lalu, diperoleh mereka yang menghindari sebab kegagalan ini[19].
Dengan demikian al-Qur`an meletakkan satu perubahan paradigma yang fundamental terhadap harta, bahwa ia adalah pemberian Allah, harus diperoleh dengan jalan yang baik, tidak saling merugikan, digunakan untuk kepentingan Allah yaitu menggunakannya secara baik dan tidak berlebih-lebihan dan senantiasa memperhatikan dengan menyalurkan sebagian rizki dari Allah tersebut kepada siapapun yang membutuhkan dengan cara yang baik. Pemberian dengan diikuti caca maki dan merendahkan martabat kemanusiaan yang diberi, maka pemberian tersebut akan sia-sia dan tidak memiliki manfaat apapun.
Seruan-seruan al-Qur`an untuk menginfakkan harta di atas kemudian diperjelas dan dipertegas dalam surat al-Taubah ayat 60. Ayat al-Qur`an ini berbicara tentang zakat dan sedekah sehingga dapat disimpulkan bahwa harta benda mempunyai fungsi sosial. Fungsi tersebut ditetapkan Allah atas dasar kepemilikan-Nya yang mutlak terhadap segala sesuatu di alam raya ini termasuk harta benda. Di samping berdasar persaudaraan semasyarakat, sebangsa dan sekemanusiaan dan berdasar istikhlaf, yakni penugasan manusia sebagai khalifah di bumi. Apa yang berada dalam genggaman tangan seseorang atau sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah swt. Manusia diwajibkan menyerahkan sebagian, yakni paling tidak, kadar tertentu dari apa yang berada dalam genggaman tangannya yang merupakan milik Allah itu, untuk kepentingan saudara-saudara mereka. Bukankah hasil produksi – apapun bentuk dan jenisnya – hanyalah upaya rekayasa atau pemanfaatan bahan-bahan mentah serta materi yang sebelum manusia hadir ke pentas bumi ini telah diciptakan Allah swt... sebagai pemilik mutlak dan sebagai pemilik bahan mentah, Dia wajar memperoleh bagian dari hasil usaha manusia. Dia tidak minta banyak, hanya dua setengah persen dari hasil perdagangan yang telah dimiliki setahun, itupun setelah dikeluarkan semua kebutuhan, wajib zakat[20].
 
Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam al-Qur`an
Kecenderungan manusia pada barang-barang konsumsi di luar kebutuhan pokok  dijelaskan al-Qur`an dalam surat Ali ’Imran ayat 14.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ

Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. 3:14)

Wanita (istri) dan anak-anak merupakan sesuatu yang sangat dicintai serta diinginkan oleh manusia. Hal ini diiringi dengan ”harta yang banyak” berupa emas dan perak. Dan, kerakusan terhadap harta itulah yang dilukiskan dengan kata-kata ”al-qanathirul-muqantharah” harta yang banyak. Kalau yang dimaksud hanya semata-mata kecenderungan kepada harta saja, niscaya akan digunakan lafal ’al-amwal’ atau al-dzahab wa al-fidhah. Akan tetapi lafal al-qanathirul-muqantharah memiliki nuansa khusus. Itulah yang dimaksudkan, yaitu kerakusan yang amat sangat untuk menumpuk emas dan perak. Selanjutnya wanita, anak-anak, dan harta yang banyak berupa emas dan perak itu dirangkaikan pula dengan kuda pilihan. Kuda -hingga pada zaman peralatan modern sekarang- tetap merupakan perhiasan yang dicintai dan disukai. Pada kuda terdapat keindahan, keperwiraan, ketangkasan, kelembutan, dan kasih sayang. Berikutnya keinginan-keinginan tersebut diiringi juga dengan binatang ternak dan sawah ladang. Keinginan-keinginan yang disebutkan di dalam ayat tersebut adalah sebagai contoh bagi keinginan-keinginan jiwa, menggambarkan keinginan-keinginan lingkungan masyarakat yang diajak bicara oleh al-Qur`an waktu itu, dan di antaranya ada yang menjadi keinginan setiap jiwa manusia sepanjang peredaran zaman.(QS 2; 43)
Di sinilah keistimewaan Islam dengan memelihara fitrah manusia dan menerima kenyataannya, serta berusaha mendidik, merawat dan meninggikannya (SQ 2; 42). Menurut Sayyid Qutbh, ayat di atas menunjukkan adanya instink pada diri manusia sehingga memiliki kecenderungan untuk merasa senang pada harta kekayaan. Pada diri manusia terdapat kecenderungan kepada keinginan-keinginan dan itu merupakan bagian dari kejadian asal-nya yang tidak dapat diingkari dan dianggap mungkar. Hal itu merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia supaya kokoh, berkembang, dan berjalan normal. (SQ 2;42). Disisi lain, fakta juga membuktikan bahwa di dalam fitrah manusia untuk mengimbangi kecenderungan-kecenderungan itu, untuk menjaga manusia agar tidak tenggelam dalam sisi itu saja, serta kehilangan tiupan keluhuran atau petunjuk dan pengarahannya. Sisi lain ini adalah sisi persiapannya untuk meningkatkan derajatnya, dan persiapan untuk mengendalikan jiwa serta untuk menghentikannya pada batas-batas yang sehat dalam mengaktualisasikan keinginan-keinginan.
 Al-Qur`an memaparkan semua itu, kemudian menetapkan nilai yang sebenarnya. Semua kenikmatan yang disukai dan dipaparkan di atas-serta semua kenikmatan dan kesenangan lainnya, adalah kesenangan hidup duniawi, bukan kehidupan yang tinggi dan bukan ufuk yang jauh. Ia hanya kesenangan duniawi yang sementara. Adapun orang yang menghendaki sesuatu yang lebih baik dari semua itu, yang mengangkat jiwa manusia dan melindunginya dari tenggelam dalam syahwat dan keinginan, maka di sisi Allah ada kesenangan yang lebih baik dan menggantikan semua kesenangan itu. Itulah yang dijelaskan oleh ayat selanjutnya, Katakanlah:"Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. 3:15). Al-Qur`an mengakui pentingnya harta bagi kehidupan, meskipun ia bukan yang utama. Harta tidak hanya menjadi kekuasaan pribadi, ia harus beredar merata di masyarakat, sehingga orang-orang diwajibkan memperhatikan lingkungan masyarakatnya dan bagi yang memiliki harta untuk menyalurkan sebagiannya pada siapa yang membutuhkan, mulai dari anggota keluarga sendiri yang terdekat sampai yang terjauh.
Prinsip-prinsip al-Qur`an tersebut mendudukkan prinsip konsumsi dalam al-Qur`an, bahwa konsumsi termasuk barang-barang yang diluar kebutuhan pokok, tidak dilarang dalam al-Qur`an. Surat al-A’raf ayat 32 menyatakan:    

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (31) قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. 7:31)Katakanlah:"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik". Katakanlah:"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. 7:32)

Al-Qur`an tidak hanya menyeru mereka untuk mengenakan pakaian yang indah ketika akan melakukan ibadah, dan menikmati makan dan minum yang baik-baik. Lebih dari itu ia menganggap munkar tindakan mengharamkan perhiasan yang dikeluarkan Allah untuk hamba-hambanya dan mengharamkan rezeki yang baik-baik. Maka, merupakan tindakan munkar apabila seseorang mengharamkan – berdasarkan pemikirannya sendiri – apa-apa yang dikeluarkan Allah untuk hamba-hambaNya (SQ 4; 305).
  
Pengendalian konsumsi dan Kepedulian Sosial
Prinsip-prinsip normatif al-Qur`an harus dapat diturunkan ke dalam konsep teoritis sebagai alat untuk perubahan sosial. Al-Qur`an sebagai sumber nilai harus menggeser nilai-nilai sosial yang saat ini berlangsung di mana masyarakat digolongkan berdasarkan kepemilikannya terhadap harta. Hubungan sosial antar kelompok masyarakat yang ditentukan oleh harta akan dimenangkan oleh  kelompok yang memiliki modal besar. Fenomena ini harus dibongkar karena akan menimbulkan masalah sosial yang besar yaitu lahirnya kelompok miskin yang kalah yang berjumlah lebih besar daripada kelompok kaya yang menang. Kelompok miskin akan kesulitan memperoleh akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan, dan penghidupan yang layak pada umumnya.
Prinsip-prinsip harta dalam al-Qur`an sebagaimana dijelaskan tafsirnya di atas akan melahirkan tatanan masyarakat baru yang tidak menyisakan masalah kesenjangan ekonomi. Kelompok masyarakat yang memiliki banyak harta dan yang miskin adalah realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri, namun dengan perubahan cara pandang terhadap harta yang memiliki fungsi sosial, yang tidak hanya menjadi kekayaan pribadi, maka hubungan si kaya dan si miskin tidak lagi hubungan yang menghinakan dan bersifat ekonomis karena persaingan bisnis antara yang kalah dan yang menang. Di dalam harta si kaya ada hak untuk si miskin sehingga tidak ada masalah akses bagi yang tidak mampu untuk memperoleh penghidupan yang layak, memperoleh fasilitas sandang-pangan-papan, kesehatan, dan pendidikan. Negara dan masyarakat punya tugas untuk mengatur hubungan tersebut sehingga cita-cita sosial yang harmonis tidak hanya konsep normatif yang melangit tetapi benar-benar teraplikasi dalam kehidupan nyata dengan pengaturan oleh aparat birokrasi dan pengawasan serta pendampingan oleh masyarakat.
Penghapusan kesenjangan sosial antara yang mampu secara ekonomi dan yang lemah nampak jelas dalam ajaran zakat, infak, sedekah, dan amal jariah (wakaf). Perbuatan-perbuatan tersebut bukan hanya sekedar perbuatan sosial yang menggambarkan sifat kedermawanan seseorang tanpa sebuah bangunan prinsip untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Wakaf menempati peran yang cukup besar setelah zakat sebagai upaya pemberdayaan ekonomi lemah. Jika zakat memiliki gagasan untuk menolong golongan lemah agar tetap bisa hidup untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya setiap harinya, maka wakaf memiliki peran pembedayaan secara luas untuk meningkatkan taraf hidup lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keadilan ekonomi yang ingin diwujudkan dengan ajaran zakat-infaq, sedekah dan wakaf tersebut menekankan adanya keseimbangan yang bersifat timbal balik dan terbebasnya dari berbagai bentuk ketimpangan sosial yang berpangkal dari kepincangan kesejahteraan ekonomi[21].
Ajaran zakat-infaq, sedekah dan wakaf bukan hanya bersifat personal sebagai pencerminan kesalehan individu namun juga kesalehan sosial yang mengatasi hubungan sosial yang mengkaitkan hubungan antara kelompok dalam masyarakat bahkan juga melibatkan negara. Masalah akses masyarakat miskin pada pendidikan dan kesehatan dapat diatasi dengan instrumen ajaran zakat-infaq, sedekah dan wakaf tersebut namun dikelola secara produktif mengikuti hukum-hukum ekonomi yang menguntungkan yang melibatkan baik suwasta maupun negara.
          
Kesimpulan
Al-Qur`an menurut Tafsir al-Misbâh menyerukan paradigma baru dalam konsumsi. Harta dipandang sebagai hal yang pokok dan vital dalam kehidupan, namun tidak menjadi sesuatu yang terpenting. Konsumsi bahkan terhadap barang-barang mewah tidaklah dilarang, namun manusia harus mengendalikannya, karena kecintaannya pada harta benda akn melupakannya pada nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
Nilai-nilai yang harus dipelihara oleh orang beriman dalam konteks pengendalian konsumsi adalah harmoni hubungan antara yang kaya dan yang lemah.  Islam memandang infaq tidak hanya hubungan kedermawanan yang bersifat pribadi dari si kaya namun harus didasarkan pada cita-cita mewujudkan keadilan sosial dan hubungan harmonis antara sesama manusia.
Daftar Pustaka


Abdurrahman,  Moeslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Federspiel, Kajian al-Qur`an di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, Penerjemah: Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern , Penerjemah: Robert. M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia, 1994
Junaidi, Ahmad, dkk., Paradigma Baru Wakaf di Indonesia ,Jakarta:  Direktorat Pemberdayaan Wakaf - Depag RI, 2007
Kuntowijoyo. Islam Sebagai ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Bandung: Teraju Mizan, 2004
______________, Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi ,Bandung: Mizan, 1998
Lenski, Gerhard E., Power and Privilege, a Theory of Social Stratification, Chapel Hill and London: The University of North Carolina Press, 1966 h. 44
Mann, Michael, The Source of Social Power ,Cambridge: Cambridge University Press, 1986
Martin, Roderick, Sosiologi Kekuasaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,tth.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1997
Quthb, Sayyid, Keadilan Sosial Dalam Islam, Penerjemah: Afif Mohammad, Bandung: Penerbit Pustaka, 1984
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999
_______________ Tafsir al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an, Jakarta: Lentera Hati, 2005
Weber, Max, Essays In Sociology, H.H. Gerth and G. Wright Mills, ed., London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1948







[1] Dosen Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar lampung, Doktor dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan Disertasi bertema Konsep Kekuasaan dalam Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab
[2] Franz Magnis Suseno, Etika Kebangsaan-Etika Kemanusiaan, 79 Tahun Sesudah Sumpah Pemuda (Yogyakarta: Impulse- Penerbit Kanisius, 2008) h. 16
[3] Gerhard E. Lenski, Power and Privilege, a Theory of Social Stratification (Chapel Hill and London: The University of North Carolina Press, 1966) h. 44
[4] Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,tth. ) h. 69-70
[5] Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern , Penerjemah: Robert. M.Z. Lawang, (Jakarta: PT. Gramedia, 1994) h. 223
[6] Max Weber, Essays In Sociology, h. 186-187
[7] Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,h. 224
[8] Max Weber, Essays In Sociology, h. 193
[9] Max Weber, Essays In Sociology, h. 190-191
[10] Sayyid Quthb, Keadilan Sosial Dalam Islam, Penerjemah: Afif Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984) h. 66-67
[11] Lihat, Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1997) h. 6
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2005)  h. 348-349
[13] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid 1, h. 48
[14] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, Vol 1, h. 459
[15] Ibid., h. 459
[16] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, Vol 1, h. 566
[17] Ibid., h.566-567
[18] Ibid., h.567
[19] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, Vol 1, h.568
[20] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, Vol 5, h. 635-636
[21] Ahmad Junaidi, dkk., Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta:  Direktorat Pemberdayaan Wakaf - Depag RI, 2007) h. 86-87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar