Studi
Naskah Tafsir Al-Qur’an Al-Karim;
Tafsir Atas
Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu Karya
Muhammad Quraish
Shihab
Oleh:
Kiki Muhamad Hakiki[1]
Abstrak
Fokus kajian penelitian ini adalah
memotret karakteristik “Tafsir Al-Qur’an Al-Karim; Tafsir Atas Surat-surat
Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu Karya Muhammad Quraish Shihab”. Dari
hasil penelitian ditemukan bahwa karya Quraish Shihab ini mempunyai
karakteristik yang unik. Keunikan itu terlihat dari uraiannya yang menggunakan
metode tahlili murni. Akan tetapi yang menarik dari tafsir ini adalah bukan
tahlili sebegaimana yang didefinisikan bahwa dalam menafsirkan ayat, penafsir
akan menfsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan apa yang
terdapat dalam mushaf dari surah al-Fatihah sampai suran an-Nas. Akan tetapi ia
menafsirkan dengan cara menyusun surah-surah dalam hal ini surah-surah pendek
berdasarkan turunnya wahyu. Sedangkan dilihat dari corak tafsir yang digunakan,
tafsir ini bercorak Adabi.
Kata Kunci: Karakteristik,
Tafsir, Al-Qur’an, Muhammad Quraish Shihab
Pendahuluan
Al-Qur’an[2]
adalah petunjuk dan sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral, bukan
saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga
merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang
empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[3]
Dengan kandungan
yang sedemikian penting, dan isinya sangat diperlukan oleh manusia dalam
melakukan aktifitas sehari-hari, maka tidak mengherankan bila Al-Qur’an menjadi
objek kajian yang paling banyak dan tak akan habis-habisnya diperbincangkan umat
yang berakal ini.
Setiap saat ada
saja hasil kajian terhadap Al-Qur’an, muncul dari mereka-mereka yang terketuk
hatinya untuk mendalami kandungan kitab suci ini. Dengan keberadaan umat Islam
di seluruh pelosok dunia, maka tafsir juga berkembang disemua tempat yang
merupakan konsentrasi dari pemeluk agama Islam. Sudah barang tentu tafsir yang
muncul disuatu tempat atau kawasan akan berlainan dan memiliki kekhususan
tersendiri dibanding dengan yang muncul dikawasan lain. Demikian pula tafsir
yang dihasilkan pada suatu masa cenderung berbeda dari sebelum atau sesudahnya.[4]
Perbedaan-perbedaan tersebut dipengaruhi oleh budaya, situasi dan kondisi,
perkembangan ilmu pengetahuan yang kesemuanya itu tentu akan berpengaruh
terhadap kemampuan olah untuk menganalisis dan menerapkan metodologi yang
digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Karena setiap mufassir mempunyai
metodologi yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lainnya.[5]
Dinamika
penafsiran Al-Qur’an tidak pernah mengalami stagnasi, sejak kitab suci
tersebut diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Berbagai macam
metodologi (ijmali, tahlili, muqaran dan maudhu’i) dan corak
penafsiran (shufi, fikih, falsafi, siyasi, adab al-ijtima’i) telah
ditawarkan oleh para mufassir—baik klasik maupun modern. Aktivitas penafsiran
akan selalu mengalami dinamika perkembangan dan tidak akan sampai pada
titik final, hal itu seiring dan senafas dengan tuntutan perkembangan zaman.
Kajian kritis terhadap Al-Qur’an akan selalu memunculkan berbagai ragam
penafsiran (yahtamilu wujuhal ma’na)—baik itu dari segi metode dan
karakteristik penafsiran. Hal tersebut merupakan konsekwensi logis dari adanya
keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara Al-Qur’an sebagai teks (nash)
yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi
manuisa sebagai konteks yang tak terbatas.
Kondisi tersebut
merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis umat Islam bahwa
Al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman wal makaan (Al-Qur’an itu
selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat). Muhammad Syahrur seorang pemikir
asal Syiria mengatakan bahwa Al-Qur’an harus selalu ditafsirkan sesuai dengan
tuntutan kontemporer yang dihadapi umat manuisa.[6]
Ungkapan tersebut senada dengan apa yang dikatakan Muhammad Arkoun seorang
pemikir al-Jazair kontemporer yang tinggal di Prancis mengatakan bahwa
“Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas.
Kesan-kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan
pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk
interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi
tunggal”.[7]
Karena itu Al-Qur’an diibaratkan seperti lautan yang tak bertepi karena
kandungan maknanya sangat luas atau sebagaimana
yang diungkapan oleh Dr. Darraz
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu bagaikan batu permata yang setiap sudut-sudutnya dapat memancarkan
berbagai ragam cahayanya. Cahaya-cahaya yang dipancarkannya itu tidak sama
kesannya pada masing-masing sisi, tergantung pada sudut pandang orang yang
melihatnya.[8]
Perbedaan sudut
pandang juga berdampak terhadap perbedaan bentuk tafsir, dan perbedaan bentuk
tafsir juga dipengaruhi oleh seperangkat alat kerja penafsiran yang disebut
dengan metodologi penafsiran. Tafsir yang menggunakan metode tahlili
misalnya, akan mempunyai bentuk yang berbeda dengan tafsir-tafsir yang
menggunakan metode lainnya seperti ijmali, muqarin dan maudhu’i.
Muhammad Quraish
Shihab adalah satu dari sekian banyak pakar dalam ilmu tafsir yang dimiliki
Indonesia. Kepakaran Quraish Shihab dalam “membedah” isi kandungan Al-Qur’an
bisa disamakan dengan para ahli tafsir Timur Tengah. Hal ini terbukti dengan
banyaknya karya tafsir yang ditulisnya bermutu tinggi dan “laris manis”
dipasaran. Beberapa karyanya mengalami cetak ulang hingga puluhan kali. Quraish
Shihab telah menjadi pioner bahkan saat ini menjadi “kiblat” studi tafsir
Al-Qur’an di Indonesia. Gaya menafsirkannya selalu menjadi contoh
mufassir-mufassir muda lainnya.
Salah satu di
antara yang menarik untuk di kaji adalah tafsirnya yang berjudul “Tafsir
Al-Qur’an al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya
Wahyu”. Tafsir ini menarik karena sajian ayat dan surat yang ditafsirkan
bukan seperti apa yang ada dalam al-Qur’an versi Ustmani, melainkan berdasarkan
runtutan turunnya wahyu. Di sinilah menariknya penelitian ini.
Dengan alasan
itulah, maka mengkaji ketokohan Quraish Shihab dan sumbangan pemikirannya serta
pengaruhnya dalam perkembangan studi Al-Qur’an di Indonesia menjadi penting
sebagai cara untuk mengenal dan mengabadikan pemikirannya dalam bentuk
dokumentasi tertulis.
Pokok permasalahan
yang menjadi inti penelitian ini adalah: 1). Bagaimana Karakteristika Tafsir
Al-Qur’an al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya
Wahyu karya Quraish Shihab ?.
Mengenal Muhammad Quraish Shihab
a. Riwayat Hidup
Muhammad Quraish Shihab atau yang
lebih dikenal dengan nama Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan
pada tanggal 16 Februari 1944.[9]
Beliau berasal dari keturunan keluarga Arab yang terpelajar. Ayahnya bernama
Abdurrahman Shihab (1905-1986) adalah tamatan jam’iayatul khair,
Jakarta. Sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang mengedepankan
gagasan-gagasan “islam modern”. Sang ayah merupakan seorang guru besar
dalam bidang tafsir, juga pernah menduduki jabatan Rektor IAIN Alaudin, dan
salah seorang pendidik Universitas Muslim Indonesia (UMI), keduanya di Ujung
pandang.[10]
Sehingga, tak heran apabila Quraish Shihab kini menjadi seorang pakar tafsir
ternama karena beliau diasuh dan di didik oleh seorang ayah yang di kenal
sebagai seorang ulama dalam bidang tafsir.
b. Perjalanan Intelektual dan Aktivitasnya
Semasa masih belia, Quraish Shihab telah menjalani pergumulan
dalam kecintaannya terhadap al-Qur’an. pada umur 6-7 tahun, oleh ayahnya, ia
disuruh mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan sang ayah sendiri. Pada
waktu itu, selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara
sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Dari sinilah menurut Quraish Shihab
sendiri benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.[11]
Dengan latar belakang keluarga
seperti itu, tak heran jika minat Quraish Shihab terhadap studi Agama,
khususnya Al-Qur’an sebagai area of concern, sangat besar, hal ini
terlihat dari pendidikan lanjutan yang dipilihnya. Setelah menyelesaikan
pendidikan dasarnya di Ujung pandang, Ia melanjutkan pendidikan menengahnya di
Malang, sambil nyantri di Pesantren Darul Hadits Al-Faqhiyah.[12]
Pada tahun 1958, pada usia 14 tahun,
setamatnya dari Pesantren Darul hadits Fiqhiyah. Quraish Shihab melanjutkan
pendidikannya di Kairo, Mesir. Keinginannya ini terlaksana atas bantuan
beasiswa dari pemerintah Daerah Sulawesi. Sejak di Indonesia, minatnya adalah
setudi al-Qur’an sehingga tek heran ketika sekolah di negeri sebrang pun yakni
di Mesir, Quraish Shihab mengambil jurusan Tafsir dan Hadits pada Universitas
Al-Azhar. Akan tetapi, karena nilai bahasa Arab yang dicapai di tingkat
menengahnya masih dianggap kurang, akhirnya Ia bersedia mengulang satu tahun
demi memasuki jurusan yang dia cita-citakan. Padahal, menurutnya dengan nilai
yang dicapainya itu, sejumlah jurusan lain dilingkungan Universitas Al-Azhar
bersedia menerimanya. Bahkan menurut penuturannya, dia juga diterima di
Universitas Cairo dan Darul Ulum. Belakangan Quraish Shihab mengakui bahwa
pilihannya itu ternyata tepat. Sebab, selain merupakan minat pribadi,
pilihannya ini rupanya sejalan dengan besarnya kebutuhan umat manusia akan
Al-Qur’an dan penafsiran atasnya.[13]
Berkat ketekunan dan kecerdasannya
sehingga pada tahun 1967, Quraish Shihab meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits,
Universitas Al-Azhar. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas
yang sama, dan pada tahun 1969 berhasil marai gelar MA untuk spesialis bidang
tafsir Al-Qur’an, dengan judul tesisnya adalah al-I’jaz al-Tasyri’iy li
Al-Qur’an al-karim [14].
Kini karya tesisnya tersebut
telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Mu’jizat Al-Qur’an
dan diterbitkan oleh penerbit Mizan.
Setelah menyelesaikan program
master-nya, beliau tidak langsung melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi (S-3), pada tahun 1970 Qurasih Shihab kembali ke Indonesia. Tugas dan
jabatan pun ditawarkan padanya, Quraish Shihab selain aktif mengajar di IAIN
Alaudin Ujung Pandang. Dia juga dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang
Akademis dan Kemahasiswaan pada lembaga pendidikan yang sama. Selain itu, Ia
juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator
Perguruan Tinggi Islam Swasta (Wilayah VII Indonesia bagian timur) maupun di
Luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia bagian timur dalam
bidang pembinaan mental.[15]
Kehausan akan ilmu pengetahuan
membuat beliau selalu ingin meningkatkan ilmu pengetahuannya. Sehingga, pada
tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir dan melanjutkan
pendidikannya di almamaternya yang sama, Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982
beliau meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dengan judul desertasi
“Al-Durar li al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah”. Dengan judul desertasinya itu
dia meraih prediket yudisium Cum Laude disertasi penghargaan tingkat I (mumtaz
ma’a martabat al-syaraf al-‘aula). Dengan gelar Doktornya, Quraish Shihab
merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar Doktor dalam bidang
Ilmu-ilmu Al-Qur’an dari Universitas al-Azhar, Mesir.[16]
Setelah menyelesaikan jenjang
pendidikan S-3 dan meraih gelar Doktor, pada tahun 1984, Quraish Shihab
berkeinginan mengabdi di tanah air nya, beliau pun kembali ke Indonesia.
Kedatangan beliau disambut dengan gembira, salah satu bukti sambutannya, beliau
kemudian di ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kariernya yang lain, pernah menjabat sebagai
Ketua Umum (MUI) pusat, Anggota badan
Lajnah Pentashih al-Qur’an DEPAG, pernah juga menjabat sebagi mentri agama
tetapi tidak lama, dan masih banyak jabatan-jabatan yang diembannya. Sampai
sekarang ia masih tercatat sebagai guru besar pasca-sarjana UIN Syarif
Hidayatullah dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur’a (Tafsir).
c. Karya-karyanya
Kesibukan beliau baik itu mengajar maupun memangku jabatan
penting tidak membuat beliau lelah, ia masih sempat terlibat diberbagai
kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negeri, baik itu dalam rangka kunjungan
sebagai duta atau pejabat pemerintah atau mengikuti kegiatan seminar-seminar.
Semua aktivitas tersebut beliau jalani dengan baik. Quraish Shihab disamping
dikenal sebagai pakar tafsir, ia juga dikenal sebagai ulama produktif dalam
menghasilkan karya-karya ilmiah. Karya-karya beliau menjadi rebutan dan
ditunggu banyak orang. Hal tersebut terlihat dari berulang-ulangnya karya
beliau untuk dicetak kembali. Misalnya buku “Membumikan Al-Qur’an” yang
sampai di cetak untuk yang ke-22 kali dan masih banyak lagi karya-karya beliau
yang menjadi rebutan dan dicetak ulang untuk beberapa kali. Diantara beberapa
karya yang telah dihasilkannya adalah :
1. Peranan Kerukunan Hidup Beragama di
Indonesia, karya ini merupakan hasil penelitian pada tahun 1975. Dan isinya
merupakan ilustrasi yang menguraikan bagaimana kerukunan hidup antar pemeluk
agama yang terdapat di Indonesia bagian Timur dan bagaimana solusi yang
seharusnya diwujudkan dalam rangka
menciptakan kehidupan yang rukun dan harmonis.
2. Masalah
Wakaf di Sulawesi Selatan. Karya ini merupakan laporan hasil penelitian
pada tahun 1978. Isinya merupakan gambaran objektif tentang wakaf di daerah
Sulawesi Selatan dan solusi yang ditawarkan dalam rangka memperbaiki kondisi
tersebut.
3. Tafsir al-Manar, Keistimewaannya dan
Kelemahannya. Karya ini pertama kali diterbitkan di Ujung Pandang pada
tahun 1984. Sesuai dengan judulnya, buku ini menguraikan tentang tafsir
al-Manar dilihat dari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh tafsir
tersebut.
4. Filsafat Hukum Islam. Karya ini pertama kali diterbitkan oleh Departeman Agama pada tahun 1987. Isinya adalah gambaran
tentang analisa filosofis dari hukum Islam.
5. Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surah
al-Fatihah). Karya ini pertama kali diterbitkan oleh
penerbit Untgma, Jakarta pada tahun 1988. Isinya merupakan uraian atas
kandungan makna dari surah al-Fatihah.
6. Tafsir al-Amanah. Karya ini awalnya merupakan artikel pada rubrik tafsir yang
diasuhnya pada majalah Amanah. Karya yang merupakan kumpulan artikel tentang
tafsir ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Kartini pada tahun 1992.
Adapun isinya merupakan penafsiran atas beberapa surah pendek seperti surah al-‘Alaq.
7. Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Karya
ini merupakan kumpulan makah yang pernah ditulisnya untuk keperluan seminar.
Makalah-makalah tersebut ditulis dalam rentang waktu antara 1976 sampai dengan
1992. karya ini diterbitkan oleh penerbit Mizan pada 1992 dan sampai saat ini,
karya ini telah mencapai cetak beberapa kali.
8. Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan. Karya ini diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 1994.
karya ini pada mulanya adalah kumpulan tulisan di rubrik “pelita hati” pada
surat kabar harian Pelita di Jakarta.
9. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas
Pelbagai Persoalan Umat. Karya ini
diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 1996. Isinya merupakan kumpulan
makalah yang disajikannya pada pengajian Istiqlal untuk para kalangan eksekutif
yang diselenggarakan oleh Departemen Agama.
Isinya menyangkut berbagai persoalan yang sesuai dengan informasi
al-Qur’an dan disusun secara tematis.
10. Tafsir al-Qur’an al-Karim; Tafsir
Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya wahyu, Karya ini diterbitkan oleh Pustaka
Hidayah pada tahun 1997. Isinya merupakan tafsiran atas surah-surah pendek yang
didasarkan pada urutan turunnya wahyu.
11. Mukjizat al-Qur’an. Karya ini pada mulanya adalah karya berbentuk tesis di
Universitas al-Azhar Mesir. Kemudian diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1997.
Isinya adalah uraian diseputar keistimewaan al-Qur’an dan juga unsur-unsur
kemukjizatannya.
12. Al-Asma’ al-Husna. Karya ini merupakan uraian tentang nama-nama Tuhan yang
berjumlah 99 nama. Sebagain dari isi karya ini pernah dibawakan dalam ceramah
di salah satu stasiun televisi pada bulan Ramadhan.
13. Yang tersembunyi. Karya ini berisi uraian tentang hal-hal yang ghaib yang ada
disekitar kita.
14. Tafsir al-Mishbah. Karya ini bisa di klaim sebagai karya puncak dari Quraish
Shihab. Karya ini merupakan karya tafsir yang disusun secara tahlili dan
sampai saat ini telah selesai ditulis sampai 30 juz. Karya ini diterbitkan
secara berkala (bervolume) oleh penerbit Lentera Hati, Jakarta, pada tahun
2000.
Itulah beberapa karya yang dapat
disajikan, yang tentunya masih banyak lagi karya-karya yang belum disebutkan
dan tentunya masih akan banyak lagi karya-karya yang akan dihasilkan oleh
beliau mengingat sampai saat ini beliau masih aktif di dalam mengajar dan
menulis karya-karya yang bermutu tinggi.
Muhammad Quraish Shihab Dan Kajian
Al-Qur’an
Muhammad Quraish Shihab dikenal sebagai seorang pakar tafsir
yang cukup ternama dan teruji, tiga buah karya tafsir telah dihasilkannya Yakni Wawasan al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an
Al-Karim; Tafsir Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya wahyu, dan Tafsir
al-Mishbah. Adapun dalam kesempatan ini dari tiga tafsir tersebut, hanya
tafsir Al-Mishbah-lah yang menjadi objek kajian. Akan tetapi, sebelum
mengurai seputar tafsir Al-Mishbah secara lebih luas, dalam hal ini akan
diuraikan juga tafsir-tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab sebelum tafsir Al-Mishbah.
a. Wawasan al-Qur’an
Sebagaimana dijelaskan oleh penulisnya
dalam “Sekapur Sirih” buku ini, bahwa buku ini dilihat dari sejarahnya adalah
merupakan kumpulan makalah yang ditulisnya untuk dipresentasikan pada
“pengajian di Istiqlal untuk kalangan para eksekutif”. Pengajian ini diadakan
sebulan sekali yang diikuti oleh
kalangan pejabat baik dari kalangan pemerintah maupun swasta meskipun tidak
menutup kemungkinan dihadiri oleh masyarakat umum.
Pendekatan Quraish Shihab dalam tafsir
ini bersifat normatif yang diantarkan
dengan analisa semantikal sehingga sangat membantu pembaca awam untuk
bisa secara langsung serta mengekses al-Qur’an mengenai tema-tema tertentu yang
berkaitan dengan agenda dan persoalan hidup sehari-hari.[17]
Karya Quriash Shihab ini tampil dengan
kemasan-kemasan yang berisi bimbingan normatif-teologis sehingga masing-masing
pembaca bisa berdialog dan berkonsultasi pada al-Qur’an sesuai dengan problem
dan kebutuhannya. Dengan bahasa kiasan yang cukup jelas, Quraish Shihab
mengatakan bahwa melalui karya tematisnya itu dia bagikan menjamu tamu-tamunya
dengan sederet kotak makanan yang masing-masing sudah ada nama dan jenis
masakannya agar sang tamu lebih mudah dan lebih cepat untuk memilih dan
menyantapnya. “Apabila anda sibuk dan ingin cepat, maka tentu saja anda
mengambil kotak berisi makanan yang telah tersedia. Sebaliknya, apabila anda
santai dan berkeinginan puas maka pilihlah prasmanan.”[18]
Jika dilihat dari metode yang digunakan,
karya Quraish Shihab yang satu ini disebut sebagai tafsir tematis-ijmali atau
Maudhu‘i-Ijmali, yaitu penjelasan makna, kandungan pokok dan wawasan
al-Qur’an mengenai 33 tema yang dipilihnya, namun disajikan secara global
meskipun ada beberapa tema yang diuraikan dengan cukup panjang.
Metode maudhu‘i dilihat dari
perkembangannya sebagaimana dikatakan Quraish Shihab mengambil dua bentuk
penyajian. Pertama, menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur’an
yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum dalam satu surah saja. Bentuk
penyajian kedua, dan bentuk ini berkembang sekitar tahun enam puluhan.
Bentuk kedua ini dilatar belakangi oleh adanya anggapan diantara para pakar
tafsir yang mengatakan bahwa menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat
pada satu surah saja, dirasa belum cukup dan belum bisa menuntaskan persoalan.
Bukankah masih ada ayat-ayat yang berbicara tentang persoalan yang sama pada
surah-surah yang lainnya?. Untuk itu lah hadir bentuk yang kedua yakni
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara satu tema bukan hanya dalam satu
surah saja, akan tetapi dalam semua surah yang ada dalam al-Qur’an. Adanya
beberapa kekurangan dari bentuk maudhu‘i pertama dan disempurnakan oleh
yang kedua, ruapanya disambut baik, dan sejak itu resmailah bentuk yang kedua
tersebut ditetapkan sebagai bentuk metode maudhu‘i.[19]
Menurut Quraish Shihab, salah satu sebab
yang mendorong lahirnya metode maudhu‘i bentuk kedua ini adalah semakin
melebar, meluas dan mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin
kompleksnya persoalan yang memerlukan bimbingan al-Qur’an. Di sisi lain, adanya
kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntunan itu semakin
menuntut gerak cepat untuk meraih informasi dan bimbingan.[20]
Melihat sebab-sebab di atas, maka Quraish
Shihab merasa terpanggil untuk menyajikan pesan-pesan al-Qur’an dengan semudah
dan secapat mungkin dan tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat. Untuk memenuhi harapan tersebut, maka ia
menggunakan metode maudhu‘i dalam bentuk yang kedua yakni menghimpun
ayat-ayat yang berbicara tentang satu tema dari seluruh surah yang ada dalam
al-Qur’an sebagai solusinya. Hal tersebut ia lakukan karena menurutnya metode
ini mempunyai beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki oleh metode-metode
tafsir lainnya. Pertama, dengan metode ini, maka si penafsir mengundang
al-Qur’an untuk berbicara secara langsung menyangkut problem-problem yang
dihadapi atau dialami oleh masyarakat. Kedua, dengan ditetapkannya judul
terlebih dahulu, maka si penafsir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
terlintas di benak pikiran si penafsir, dengan begitu dapat diterapkan apa yang
dikatakan oleh sayyidina Ali ra: Istantiq al-Qur’an (Persilahkanlah
al-Qur’an berbicara).[21]
Bagi mayoritas umat Islam Indonesia bisa
dipastikan bahwa karya Quraish Shihab ini lebih populer dan lebih mudah
dinikmati serta lebih bermanfaat karena penjelasan yang disajikan lebih
singkat, lebih mudah dipahami dan teks-teks al-Qur’an yang berkaitan langsung
disajikan. Pendekatan ini juga sangatlah menolong bagi para mubaligh dalam
mencari tema dalam berdakwahnya dan dan juga sangat menolong bagi mereka yang
hendak mempelajari kandungan al-Qur’an secara langsung dari sumber aslinya.
Akan tetapi sangat disayangkan dan hal ini
merupakan salah satu kekurangan dari karya ini adalah tidak adanya dinamika
historis-sosiologis al-Qur’an dalam keterlibatannya dengan persoalan-persoalan
kemanusiaan ketika wahyu diturunkan. Hal ini memang wajar mengingat karya ini
pada awalnya diperuntukkan untuk kalangan eksekutif bukan untuk kalngan
ilmuan.
b. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim; Tafsir
Surat-Surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya wahyu
1. Sejarah Penulisan
Karya tafsir Quraish Shihab kedua setelah
tafsir wawasan al-Qur’an adalah sebuh tafsir yang diberi judul “Tafsir
Al-Qur’an Al-Karim; Tafsir Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya wahyu”.
Buku ini hadir setelah terbitnya buku Wawasan al-Qur’an. Akan tetap,
dilihat dari sejarah penulisannya, buku Tafsir al-Qur’an al-Karim ini
lebih dahulu ditulis oleh Quraish Shihab. Dilihat dari sejarahnya, pada
awalnya, sajian-sajian tafsir surat yang ada dalam buku ini pernah diterbitkan
dalam majalah Amanah beberapa tahun sebelum wawasan al-Qur’an
ditulis.
Dilihat dari uraian yang ada dalam buku
ini, nampaknya Quraish Shihab memberikan fokus lebih pada analisa bahasa
ayat-ayat al-Qur’an, kemudian memperhatikan bagimana kosa kata itu atau
ungkapan itu digunakan dalam al-Qur’an, setelah itu baru ia memahami arti ayat
tersebut. Hal tersebut penting ia lakukan karena menurutnya bahasa al-Qur’an
tidak jarang mengubah pengertian semantik dari satu kata yang digunakan
oleh masyarakat Arab yang ditemuinya, dan memberi muatan makna yang berbeda
pada kata tersebut. Misalkan:
Kata “shalat” sering kali tidak lagi
digunakannya dalam pengertian “doa”, tetapi merupakan “ucapan dan gerak
tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam”. Atau kata
“karim” dipahami oleh masyarakat Arab sebagai seseorang yang memiliki garis
keturunan bangsawan, tetapi al-Qur’an mengembangkan maknanya sehingga mencakup segala sesuatu yang baik
pada objek yang disifati oleh kata itu. Dengan menempuh cara ini, diharapkan
uraian tafsir tidak akan memberi muatan yang berlebih atau meleset dari apa
yang termuat dari kata itu sendiri.[22]
Alasan yang kedua mengapa ia banyak
mengungkapkan pemahaman-pemahaman dari segi bahasa, karena menurutnya menguraikan
tafsir al-Qur’an berdasarkan runtutan surah dalam mushaf sering kali
menimbulkan pengulangan-pengulangan jika kosa kata atau kandungan pesan ayat
dan surahnya sama (mirip) dengan ayat dan surah yang telah ditafsirkan. Karena
itu, memaparkan makna kosakata sebanyak mungkin, serta kaidah-kaidah tafsir
yang dapat digunakan untuk memahami ayat-ayat yang tidak ditafsirkan mutlak
diperlukan. Pertimbangan lainnya adalah didasarkan pada banyaknya kaidah-kaidah
tafsir yang dapat ditarik dari al-Qur’an maupun dari disiplin ilmu al-Qur’an,
dan banyaknya kosa kata penting yang dikandung oleh surah-surah tersebut.
Pertimbangan lainnya yang tak kalah penting adalah bahwa surah yang dipilih
mengandung uraian yang berkaitan dengan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa
serta banyak dibaca oleh umat.[23]
2. Metode Tafsir
Dilihat dari uraiannya, tafsir ini menggunakan metode tahlili
murni. Akan tetapi yang menarik dari tafsir ini adalah bukan tahlili sebegaimana
yang didefinisikan bahwa dalam menafsirkan ayat, penafsir akan menfsirkan ayat
demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan apa yang terdapat dalam mushaf
dari surah al-Fatihah sampai suran an-Nas. Akan tetapi ia
menafsirkan dengan cara menyusun surah-surah dalam hal ini surah-surah pendek
berdasarkan turunnya wahyu. Surah yang ia tafsirkan dalam buku ini meliputi 24
surah yaitu dimulai dari surah al-Fatihah, al-‘Alaq, al-Muzzammil,
al-Muddatstsir, al-Lahab, at-Takwir, al-A’la, asy-Syarh, al-‘Ashr, adh-Dhuha,
al-‘Adiyat, al-Kausar, at-Takatsur, al-Ma’un, al-Kafirun. Al-Fil, al-Ikhlas,
al-Falaq, an-Nas, al-Qadr at-Tin, al-Humazah, al-Balad, ath-Thariq.
Cara yang digunakan oleh Quraish Shihab ini—menyusun surah
berdasarkan runtutan turannya—sebenarnya bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum
itu telah muncul beberapa karya tafsir yang serupa, misalnya cendikiawan Muslim
asal Mesir Bint asy-Syathi’ yang menulis al-Tafsir al-Bayaniy li al-Qur’an
al-Karim, Syauqi Dhaif yang menulis Surah al-Rahman wa Suwar Qishar,
Muhammad Mutawwali asy-Sya’rawi dalam kitab tafsirnya.
Quraish Shihab didalam menyusun buku ini
mempunyai beberapa pertimbangan; diantaranya, menurutnya menguraikan tafsir
surah-surah al-Qur’an berdasarkan runtutan turunnya agar supaya pembaca dapat
melihat bagaimana runtutan petunjuk Ilahi yang diberikan kepada Nabi Muhammad
SAW.
3. Corak Tafsir
Kemudian
dilihat dari corak yang digunakan, tafsir ini bercorak Adabi. Corak ini
adalah corak tafsir yang baru dan menarik pembaca dalam menumbuhkan kecintaan
kepada Al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahsia-rahasia
Al-Qur’an. Corak ini timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama
Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab itu sendiri dibidang sastra,
sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepadanya tentang keistimewaan
dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an.[24]
Permasalahan
menarik yang perlu dipertanyakan dalam buku ini adalah bahwa dilihat dari temanya,
buku ini mengurai beberapa surah pendek yang ada dalam mushaf
berdasarkan runtutan wahyu. Akan tetapi, dilihat dari isinya, Quraish Shihab
terkesan tidak konsisten, mengapa? Karena surah pertama yang ia tafsirkan bukan
surah al-‘Alaq justru surah al-Fatihah. Surah al-‘Alaq ia
letakkan pada surah kedua setelah al-Fatihah. Bukankah dalam sejarah
turunnya al-Qur’an, surah al-‘Alaq adalah wahyu pertama yang di turunkan
Allah kepada Nabi Muhammad SAW ?.
Dilihat dari as-bab an-nuzul-nya,
surah al-Fatihah menurut Syekh Muhammad Abduh (1849-1905) merupakan
wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Artinya, ia lebih dahulu
turun daripada surah al-‘Alaq (iqra’). Beliau beralasan dengan
adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqy, disamping argumentasi
logika lainnya. Intinya bahwa telah
menjadi sunah Allah dalam penciptaan dan penetapan hukum Allah swt selalu
memulainya secara global, baru kemudian dengan perincian secara bertahap. Al-Fatihah
menurutnya mengandung pokok-pokok kandungan Al-Qur’an secara global. Sedangkan
semua ayat Al-Qur’an selainnya (al-Fatihah) merupakan perincian
pokok-pokok Al-Qur’an.[25]
Pendapat Muhammad Abduh tersebut dibantah oleh mayoritas para ulama, mereka
mengatakan bahwa wahyu yang pertama turun adalah surah al-‘Alaq ayat
satu sampai lima bukannya surah al-Fatihah sebagaimana yang diungkapkan
oleh Muhammad Abduh. Dari dua pendapat kelompok di atas, muncul kelompok yang
berusaha mendamaikan dengan mengambil jalan tengah (mengkompromikan). Kelompok
ini berpendapat bahwa wahyu yang pertama turun adalah surah al-‘Alaq (‘Iqra)
ayat satu sampai lima. Pengkompromian tersebut adalah dengan mengatakan bahwa
surah pertama yang turun secara sempurna adalah surah al-Fatihah,
sedangkan surah al-‘Alaq (Iqra’) adalah wahyu pertama yang ketika itu
turun belum dalam bentuk satu surah secara sempurna.[26]
Berbeda dengan kelompok di atas, Quraish Shihab melihatnya
dengan secara lebih objektif yaitu dengan cara menganalisa setiap ayat, dalam
hal ini ayat yang terdapat dalam surah al-Fatihah. Yakni pada ayat
kelima iyyaka na’budu (hanya
kepada-Mu kami mengabdi). Kata “kami” adalah bentuk “jama’”,
disana menunjukan bahwa ayat ini baru turun setelah ada sekian banyak orang
yang memeluk agama Islam dan beribadah secara bersama-sama, yang tentunya hal
tersebut belum terjadi ketika pertama kali Nabi saw menerima wahyu. Disamping
itu kandungan surah ini jauh berbeda
dengan kandungan wahyu-wahyu pertama yang pada umumnya berkisar tentang
pengenalan kepada Allah swt dan pendidikan terhadap Nabi-Nya. Seperti dapat
dilihat dalam surah al-Muzammil, al-Mudatstsir, Nun dan awal surah Iqra’
(baca: al’Alaq).[27]
Dari pendapat dam argumentasi itulah sehingga Quraish Shihab mengambil
kesimpulan bahwa surah al-Fatihah bukanlah wahyu yang pertama diturunkan
oleh Allah swt. Lantas, mengapa Quraish Shihab meletakkan surah al-Fatihah
dalam tafsirnya pada urutan pertama ?.
Dilihat dari masa dan tempat
turunnya tidak diketahui secara pasti, akan tetapi ada sebuah riwayat yang
mengatakan bahwa surah ini turun setelah surah al-Mudatstsir, akan
tetapi dalam riwayat yang lain surah ini turun di Madinah setelah Nabi Muhammad
hijrah. Karena ada dua pendapat yang kontradiktif di atas, maka para ulama
mengambil jalan tengah dengan berpendapat bahwa surah al-Fatihah turun
dua kali, sekali sebelum Nabi hijrah yakni ketika beliau di Makkah dan yang
kedua di Madinah setelah Nabi hijrah. Quraish Shihab berpendapat dan
menyepakati bahwa surah al-Fatihah turun di Makkah. Karena menurutnya
surah ini populer dengan sebutan As-Saba’ al-Matsany (tujuh ayat yang
diulang-ulang dalam shalat, atau diulang-ulang kandungannya dalam ayat-ayat
Al-Qur’an lainnya). Sedangkan keterangan bahwa Allah telah menurukan kepada
Nabi As-Saba’ al-Matsaniy itu sendiri turun di Makkah. Keterangan
tersebut terdapat dalam surah al-Hijr ayat 87 :
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah
menganugrahkan kepadamu As-Saba’ al-Matsaniy (Al-Fatihah) dan Al-Qur’an yang
mulia”. (QS: al-Hijr: 87).[28]
Dilihat dari kandungan isi dari surah al-Fatihah ada
banyak para ulama mengomentarinya, diantaranya adalah Imam Nawawi al-Jawi dalam
tafsir Marah Labid-nya (Tafsir Munir), menurutnya bahwa dalam surah al-Fatihah
mencakup empat jenis ilmu: Pertama, ilmu ushul (ushul al-din),
mencakup ilmu ketuhanan (ilahiyah) yang terdapat dalan ayat hamdalah,
ilmu-ilmu tentang kenabian (nubuwwah) yang terdapat dalam ayat shirat
al-ladzina an’amta ‘alaihim, ilmu-ilmu tentang akhirat yang terdapat dalam
ayat maaliki yaum al-din. Kedua, ilmu furu’, sebagian
berbicara masalah ibadah. Ketiga, ilmu yang bertujuan menyempurnakan
prilaku (ilmu tahsili al-kamalat). Yaitu ilmu akhlak, yang salah
satunya adalah konsisten, teguh pendirian di jalan Allah (istiqamah). Keempat,
Ilmu tentang kisah dan sejarah umat terdahulu, baik kisah umat yang mendapat
kebahagiaan dan kisah umat yang mendapat kerugian dan kesengsaraan.[29]
Pendapat tersebut hampir sama dengan pendapat Muhammad Abduh,
beliau berpendapat bahwa dalam surah al-Fatihah mengandung lima pesan
pokok yakni: 1). Tauhid, 2) Janji dan ancaman, 3). Ibadah yang menghidupkan
tauhid, 4). Penjelasan tentang jalan kebahagiaan dan cara mencapainya di dunia
dan akhirat, dan 5). Pemberitaan atau kisah generasi terdahulu.[30]
Surah al-Fatihah diletakan di
awal pembukaan al-Qur’an menurut Quraish Shihab karena surah al-Fatihah
secara organis mempunyai hubungan yang erat dengan surah sesudahnya yaitu surah
al-Baqarah. Hubungan tersebut menurutnya bahwa dalam surah al-Fatihah
disebutkan tiga kelompok manusia: Pertama, yang dianugrahi nikmat oleh
Allah swt. Kedua, yang dimurkai, dan Ketiga, yang sesat. Ketiga
kelompok tersebut dibicarakan secara panjang lebar dalam surah al-Fatihah.
Disamping itu dalam surah al-Baqarah kita diajari agar memohon hidayah
dan dalam surah al-Baqarah di tegaskan bahwa Al-Qur’an adalah hidayah
bagi mereka yang bertaqwa.[31]
Akan tetapi sangat disayangkan usaha
proyek besar yang mulai dirintis oleh Quraish Shihab harus terhenti dan diganti
dengan proyek yang baru. Penyebab mandegnya proyek besar tersebut diakibatkan
kurang banyaknya minat orang didalam membaca buku tersebut, bahkan ada sebagian
orang yang menganggap bahwa uraian dalam buku tersebut (baca: Tafsir al-Qur’an
al-Karim) terlalu bertele-tele dalam uraian tentang kosa kata atau
kaidah-kaidah yang disajikan. Bahkan dan hal ini yang lebih penting yaitu
pembaca tidak dapat memahami dengan mudah pesan-pesan yang ingin disampaikan
oleh al-Qur’an dalam waktu yang relatif singkat.
Kalau seandainya kita berandai-andai
jika proyek tersebut berlanjut, maka muncul pertanyaan, bagaimana Quraish
shihab meruntutkan surah-surah yang lainnya yang ada dalam mushaf
menurut runtutan turunnya?. Bukankah al-Qur’an diturunkan tidak persurah ?.
Bukankah al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada waktu itu
? dengan kata lain boleh jadi wahyu yang turun pada hari ini—misal: ayat kedua dalam surah al-Baqarah—akan
berbeda pada esok hari. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana upaya Quraish
Shihab didalam meruntutkan ayat-ayat al-Qur’an yang turun berulang kali ?.
Bukankah setiap ayat yang turun mempunyai setting sosial yang berbeda dengan
ayat lainnya atau ayat yang serupa?. Jika seandainya proyek Quraish Shihab ini
berlanjut dan berhasil menyelesaikan satu mushaf, maka apa yang ia telah
lakukan merupakan terobosan baru dan langkah besar yang belum pernah dilakukan oleh ulama
manapun baik itu dulu dan sekarang. Sayang upaya ini harus terhenti!
Kesimpulan
Dari analisa di atas, dapat
disimpulkan bahwa tafsir “Tafsir Al-Qur’an
Al-Karim; Tafsir Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya wahyu” karya Muhammad Quraish Shihab ini mempunyai karakteristik
yang unik jika dibandingkan dengan karya Quraish Shihab yang lain. Salah
satu keunikannya adalah dilihat dari cara penyusunannya yang berbeda dari
biasanya, yakni di susun berdasarkan runtutan turunnya wahyu, bukan berdasarkan
susunan yang umum ada dalam al-Qur’an.
Dilihat
dari uraiannya, tafsir ini menggunakan metode tahlili murni. Akan tetapi
yang menarik dari tafsir ini adalah bukan tahlili sebegaimana yang
didefinisikan bahwa dalam menafsirkan ayat, penafsir akan menfsirkan ayat demi
ayat dan surah demi surah sesuai dengan apa yang terdapat dalam mushaf
dari surah al-Fatihah sampai suran an-Nas. Akan tetapi ia
menafsirkan dengan cara menyusun surah-surah dalam hal ini surah-surah pendek
berdasarkan turunnya wahyu. Sedangkan dilihat dari corak tafsir yang digunakan,
tafsir ini bercorak Adabi.
Daftar Pustaka
Arief Subhan, Menyatukan
kembali Al-Qur’an dan Ummat, Menguak Pemikiran M. Quraish Shihab, Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, 1993.
Hamdani Anwar, Potret
Tafsir Kontemporer di Indonesia, makalah yang disampaikan dalam semiloka
Nasional FKMTHI dengan tema “ Rekonstektualisasi Al-Qur’an di Indonesia,
Di Atrium madya IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 13 April 2002.
Hasan Hanafi, Al-Yamin
wa Al-Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Mesir: Madbuliy, 1989.
Hasbi ash Shidieqy,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir, Jakarta: Bulan
Bintang, Cet. VIII, 1980.
Komaruddin Hidayat,
Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina,
1996.
Martin Van Bruinessen, “Muhammad Arkoun tentang
Al-Qur’an”, disampaikan dalam diskusi yayasan empati. Pada hal.2, ia
mengutip Muhammad Arkoun, “Algeria”, dalam shireen T. Hunter (ed), The
Politics if islamic Revivalisme, Bloomington Indiana University Press,
1988.
Muhammad Ali Ash
Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar
Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 1988.
Muhammad
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 2001.
_______, Tafsir
Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati,
2000.
_______, Tafsir
Al-Qur’an al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya
Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, Cet. II, 1997.
_______, Wawasan
al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan,
2000
Muhammad Syahrur, Al-Kitab
wal Qur’an: Qira’ah Muasshirah (Damaskus: Ahali al-Nasyr wa at-tauzi, 1992.
Nashruddin Baidan, Tafsir
Maudhu’i; Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kemasyarakatan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001.
Nawawi,
Marah Labid Tafsir an-Nawawi (Tafsir Munir), Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah Indonesia, t.t..
[1] Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN
Raden Intan Lampung
[2]Al-Qur’an menurut bahasa, ialah : bacaan
atau yang dibaca. Al Qur’an adalah “masdar” yang diartikan dengan arti isim
maf’ul, yaitu “maqru = yang dibaca”.
Sedangkan menurut Istilah ahli agama (‘uruf Syara’), ialah : Nama bagi
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang ditulis dalam Mushaf.
(Hasbi ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir,
Jakarta: Bulan Bintang, Cet. VIII, 1980, h. 15. Definisi yang lain adalah
“Al-Qur’an merupakan Kalam Allah yang bernilai mu’jizat. Yang diturunkan kepada
‘pungkasan’ para nabi dan rosul, dengan perantaraan malaikat Jibril as. Yang
ditulis pada ‘mashahif’. Diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir. Membacanya
dinilai ibadah. Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah
An-Naas.” Definisi tersebut telah disepakati oleh para ulama. (Muhammad
Ali Ash Shabuni, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, Terj. Muhammad Qadirun
Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, JakartaA: Pustaka Amani, 1988,
h.11).
[3] Hasan Hanafi, Al-Yamin wa
Al-Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Mesir: Madbuliy, 1989, h. 77.
[4]Hamdani Anwar, Potret Tafsir
Kontemporer di Indonesia, makalah yang disampaikan dalam semiloka Nasional
FKMTHI dengan tema “ Rekonstektualisasi Al-Qur’an di Indonesia, Di
Atrium madya IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 13 April 2002.
[5]Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 2001, h. 73.
[6]Muhammad Syahrur, Al-Kitab wal
Qur’an: Qira’ah Muasshirah (Damaskus: Ahali al-Nasyr wa at-tauzi, 1992, h.
33.
[7]Martin Van Bruinessen, “Muhammad
Arkoun tentang Al-Qur’an”, disampaikan dalam diskusi yayasan empati. Pada
halaman 2, ia mengutip Muhammad Arkoun, “Algeria”, dalam shireen T.
Hunter (ed), The Politics if islamic Revivalisme, Bloomington Indiana
University Press, 1988, hlm. 182-183, di
kutip pleh Quraish Shihab dalam “Membumikan
Al-Qur’an”, Bandung: Mizan, 2001, h. 72.
[8]Muhammad ‘Abd Allah Darraz, Al-Naba’
al-‘Azhim, hlm. 117-118. Atau bisa dilihat kutipannya dalam bukunya
Nashruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i; Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial
Kemasyarakatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h. 227.
[9] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XXII, 2001, h. i.
[10] Arief Subhan, Menyatukan kembali
Al-Qur’an dan Ummat, Menguak Pemikiran M. Quraish Shihab, Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, 1993, h. 10.
[11] Ibid, h. 10
[12] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an………., h. 6.
[13]Arief Subhan, Menyatukan kembali
Al-Qur’an dan Ummat, Menguak Pemikiran M. Quraish Shihab……., h. 10.
[14]Muhammad Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an………,.h. 6.
[15] Arief Subhan, Menyatukan kembali
Al-Qur’an dan Ummat, Menguak Pemikiran M. Quraish Shihab…….., h. 11.
[16] Ibid, h. 11-12.
[17] Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta, Paramadina, 1996. h.198.
[18] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung, Mizan,
2000, h. xii
[19] Ibid., h. xii-xiii
[20] Ibid., h. xiii.
[21] Ibid., h. xiii-xiv
[22] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir
Al-Qur’an al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya
Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, Cet. II, 1997, h. vi.
[23] Ibid., h. vii
[24] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an……, h. 73
[25] Pendapat Muhammad Abduh tersebut
dikutip oleh Muhammad Quraish Sihab dalam bukunya, Tafsir al-Qur’an
al-Karim…….., h. 3-4.
[26] Ibid., h. 4.
[27] Ibid., h. 5.
[28]Masih banyak keterangan dan
argumentasi lainnya dapat dilihat dalam bukunya Muhammad Quraish Shihab, Ibid.,
h. 5-6.
[29]Nawawi, Marah Labid Tafsir
an-Nawawi (Tafsir Munir), Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah Indonesia, t.t.
h. 2-3.
[30] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati,
2000, h. 5.
[31] Ibid., h. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar