Solusi Al-Quran Dalam Menghadapi
Tantangan Feminisme Modern
(Telaah Risalah Al-Hijab Dalam
Kitab Risalah Nur)
Oleh:
Erika Septiana[1]
Abstrak
Era globalisasi yang merupakan dampak dari peradaban modern yang terus
bergulir belakangan ini menjadi titik tolak munculnya berbagai reformasi
pemikiran berbagai konsep kehidupan kaum muslim. Feminisme adalah salah satu
realitas modernisasi yang terjadi dalam perkembangan pemahaman umat, terutama
dalam mempertegas berbagai produk hukum Islam bagi para muslimah di dunia ini.
Berawal dari perbedaan fisik yang dinilai lebih “lemah” dari pendahulunya,
yaitu laki-laki, maka penafsiran mengenai berbagai ayat yang berkaitan dengan
perempuan “seolah” mendiskreditkan perempuan sebagai mahluk yang membutuhkan
perlindungan dan tidak mandiri. Sehingga dampak yang muncul dari persepsi ini
kemudian memaksa perempuan untuk
“pasrah” menerima kondisi yang sesungguhnya bahkan terampas hak hidupnya
sebagai manusia.
Kata Kunci: Al-Qur’an dan Feminisme Modern, Al-Hijab, Kitab Risalah Nur
Pendahuluan
Potensi kefemininan adalah salah
satu ciri khas perempuan sekaligus juga menempatkannya dalam posisi yang
menguntungkan di mata Sang Pencipta. Sementara bagi kaum laki-laki yang sering
disebut sebagai “lawan” perempuan”, fenomena ini dianggap sebagai pelindung sisi feminimitas
yang terkandung di dalamnya. Dari
realitas ini tentunya terbentang sederet kewajiban dan juga hak hidup bagi
laki-laki maupun perempuan yang menjadi kosekuensi realitas kedua di atas bumi.
Di lihat dari sisi budaya, fenomena ini yang kemudian menghasilkan ritme
kehidupan yang bergelombang dalam perkembangan problematika feminisme modern.
Mengingat bahwa faktor sosial budaya
juga sangat berperan dalam menentukan “derajat” kehidupan manusia di dunia,
maka sosok perempuan misalnya, dianggap sebagai sosok “lemah” yang harus
dilindungi dari berbagai kekejaman dunia yang mengancamnya. Akibatnya fenomena
umum yang muncul dan bahkan berkembang hingga sekarang adalah bahwa produk interpretasi ini telah berhasil
“memojokkan” pola kehidupan perempuan hanya pada wilayah domestik yang kemudian
menempatkannya sebagai warga kelas dua (second human being) dalam
struktur sosial budaya masyarakat lokal maupun internasional. Dalam Islam,
perintah hijab yang diwajibkan bagi perempuan diartikan sebagai busana
untuk menutup aurat, digunakan sebagai dalih untuk menempatkan perempuan pada
lingkungan sosial yang terbatas. Interpretasi mengenai ayat-ayat al-Quran yang
berkaitan dengan perintah yang dilakukan oleh ulama tafsir klasik, seolah
semakin menenggelamkan posisi perempuan pada kondisi yang sangat tidak
menguntungkan. Busana yang diwajibkan untuk menutup seluruh aurat, justru
menjadi lambang “pemenjaraan” mereka dalam rumah tangga sehingga pembatasan
ruang gerak dan kreatifitasnya menjadi lumrah dilakukan. Pemahaman ini
berkembang menjadi sebuah opini umum dalam masyarakat yang kemudian mengemasnya
dalam aturan-aturan budaya yang notabene tidak dilandasi dengan
pemahaman Islam yang mumpuni. Akhirnya terjadi pelecehan-pelecehan terhadap
eksistensi perempuan yang semakin menekan kemerdekaan dan kemandirian yang
dimilikinya sejak lahir.
Kehadiran manusia lain yang wujudnya berbeda dengan Adam
merupakan sebuah realitas yang dapat menententukan bahwa peristiwa yang
melatarbelakangi asal-usul penciptaan perempuan (Hawa) tidak sama dengan
penciptaan Adam ke dunia, untuk jelasnya hal ini dapat dilihat dari firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 1 yang berbunyi: “Hai manusia, bertaqwalah kamu
kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari jenis nafs
yang sama dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya dan daripada
keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang
banyak”.
Dalam pemahaman ayat ini, kebanyakan pakar tafsir memahami
kata nafs tersebut dinisbahkan kepada Adam, diantaranya al-Jalalain, Ibn
Katsir, al-Qurthubi, al-Biqa’i, dan lain-lain, namun tidak semua penafsir
berpendapat demikian, contohnya pendapat al-Qasimi yang dikutip oleh M Quraish
Shihab menyebutkan nafs tersebut dengan jenis. Namun paling tidak dari
sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud nafs dalam konteks ayat ini
adalah Adam dan penciptaan pasangannya (zaujaha) yaitu Hawa telah
melalui proses penciptaan yang berbeda dengan penciptaan dirinya (Adam). Fakta
lain juga menunjukkan bahwa para mufasir terdahulu menganggap bahwa “pasangan”,
yang dimaksud adalah isteri Adam, telah diciptakan dari Adam itu sendiri, namun
kemudian pendapat ini terbantahkan oleh ulama modern, salah satunya dapat
dilihat dari pendapat ulama tafsir kontemporer Allamah ath- Thaba’thaba’i yang
dirujuk oleh Quraish Shihab mengatakan bahwa : perempuan (isteri Adam)
diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan bahwa ayat tersebut sedikitpun
tidak mendukung pendapat sebagian mufasir yang beranggapan bahwa isterinya
tersebut diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang ditemukan pada
riwayat”.
Berdasarkan
pada fakta ini, dapat diketahui bahwa kehadiran perempuan di muka bumi
merupakan tokoh yang diharapkan mampu menjalin kerjasama dengan kaum pria dalam
membangun kehidupan dunia mereka. Namun walaupun begitu, pada petunjuk Allah
berikutnya, kedudukan perempuan tidak pernah ditempatkan lebih rendah daripada
kaum pria yang disebut sebagai mahluk yang diciptakan lebih dahulu darinya,
karena sesungguhnya fenomena ini tidak mengurangi rasa percaya Allah SWT kepada
hamba-Nya yang satu ini untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Ide Allah untuk
menciptakan mahluk yang kemudian akan memimpin kehidupan dunia, seperti dicatat
dalam sejarah bahwa keputusan ini sempat menuai protes dari para malaikat yang
mencoba mengingatkan Allah akan keputusanNya tersebut. Namun ternyata predikat khalifah ini
menunjukkan eksistensi manusia yang berbeda dengan mahluk lainnya, yaitu bahwa
manusia berkemampuan untuk berfikir, berdebat, dan mempertanggung- jawabkan perbuatannya.
Hakikat Adam adalah ujian untuk menjalani cobaan, ia bukan bersifat seperti
malaikat, juga tidak bersifat seperti syetan sepenuhnya, semua sifat itu
merupakan perangkat untuk mendukung berbagai kebebasan yang dianugerahkan
kepadanya.
Mendapatkan takdir sebagai
pendamping hidup kaum pria di dunia, ternyata membuat kehadiran perempuan
berikutnya dalam sejarah dunia seringkali mengalami perlakuan yang buruk. Dalam
tradisi kaum kafir misalnya, sejarah mencatat mulai dari penampakan muka masam oleh
para orangtua yang tidak senang menerima kabar kelahiran seorang anak perempuan
dalam keluarga mereka, sampai pada penguburan bayi perempuan hidup-hidup,
merupakan ekspresi umum terhadap kekecewaan akan kehadiran mereka,[2]
fenomena ini dapat dilihat sebagai sebuah catatan buruk sejarah yang
menempatkan perempuan sebagai objek penderita. Kisah tentang perlakuan buruk
lainnya juga tetap mengiringi perjalanan kehidupan perempuan di dunia. Padahal
sesungguhnya dalam kehendak Allah, perempuan dimaksudkan untuk menjadi
mahluk-Nya yang juga berhak menyandang gelar kemuliaan, dengan segala kodrat
yang menyertainya.
Pada sisi lain, catatan sejarah yang diukir perempuan tidak
kalah penting, misalnya dalam sejarah Rusia tercatat seorang Chaterine yang
Agung (1729-1796) sebagai “Bunda Rusia” dan pembaharu, karena di bawah
kepemimpinannya pamor pemerintahan Rusia meroket bersaing dengan Inggris dan
Perancis. Namun sejarah juga mencatat perempuan yang sangat berperan dalam
kehancuran sebuah bangsa misalnya “pesona” Cleopatra yang menempatkan Yunani
pada masa yang tidak menentu dalam kurun waktu yang panjang.
Pada
kehidupan masyarakat modern, isu seperti di atas ditanggapi dengan lebih
antusias, terutama para feminis, karena ternyata peradaban yang modern bukan
menjadi jaminan tingkah laku dan pemahaman yang kian membaik dari para
penghuninya, melainkan “penderitaan” yang dialami perempuan menjadi semakin
kompleks. Dalam kajian Nasaruddin Umar, kemunculan isu gender di dunia Barat
lebih dititk beratkan pada analisa dan pemberontakan pemegang teori konflik,
teori yang ditujukan untuk mengkritik kemapanan kelas social di masyarakat pada
umumnya. Karl Marx, sang pencetus ide tersebut mengusung analisa yang di dukung
oleh Friedrich Engles menyatakan bahwa perkembangan akumulasi harta benda
pribadi dan kontrol laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar
terjadinya subordinasi perempuan, karena penurunan status perempuan mempunyai
korelasi aktif dengan produksi perdagangan.[3]
Dalam hal ini seolah-olah mereka ingin mengatakan bahwa keunggulan laki-laki
atas perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja.
Analisa ini kemudian di dukung oleh kondisi kultural yang memaknakan penjagaan
penampilan perempuan menjadi pembatasan interkasi mereka dengan dunia luar.
Namun seiring dengan perkembangan zaman muncul kesadaran hak hidup dari kaum
perempuan sehingga isu tentang perlawanan perempuan dalam mempejuangkan hak
hidup mereka ini kemudian disebut dengan upaya kesetaraan “gender”. Secara
terminologi istilah gender sendiri kemudian dipakai untuk membedakan antara
perempuan dan pria dalam kajian seksual dan tingkah laku. Istilah ini diambil
dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Secara etimologi kata ini
memiliki dua makna, yaitu penggolongan menurut jenis kelamin dan penggolongan
kata benda menurut jenis kelamin, istilah ini dibagi menjadi empat bagian,
yaitu :
1.
Masculine Gender, yaitu kata benda
yang menunjukkan jenis kelamin jantan, misalnya man, bachelor.
2.
Feminim Gender, yaitu kata benda
yang menunjukkan jenis kelamin perempuan, misalnya women, spinster.
3.
Common Gender, yaitu kata-kata yang
dapat berupa penunjukkan jantan atau betina, misalnya child, friend.
4.
Neuter Gender, yaitu kata benda yang
tidak mempunyai jenis kelamin, misalnya house, ring, vegetable.
Sementara dalam kajian terminologi, pemaknaan istilah ini
lebih jelas lagi dapat dilihat dalam Women’s Studies Encyclopedia yang
menyatakan bahwa : gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam
masyarakat.
Meskipun masih banyak lagi pendapat yang mengupas istilah
ini, namun pada intinya istilah ini kemudian digunakan untuk membedakan dunia
laki-laki dan perempuan dalam kajian sosio-kultural, namun di Indonesia tidak
jarang pula terdengar istilah ini disamakan dengan gerakan “emansipasi
perempuan” Indonesia, gerakan yang pernah disuarakan dan dipelopori oleh RA.
Kartini, seorang perempuan Jawa yang kemudian karena usahanya di bidang ini
diangkat pemerintah sebagai pahlawan nasional Indonesia. Gerakan yang
kemudian menginspirasi kaum perempuan untuk berperan lebih jauh dalam perebutan
kemerdekaan Indonesia ini, sekaligus menjadi tonggak sejarah bagi berdirinya
kekuatan feminis tanah air. Bahkan hari kelahiran RA. Kartini ini (21 April)
setiap tahunnya diperingati sebagai hari “perempuan Indonesia”. Umumnya peringatan hari bersejarah ini diisi dengan kegiatan-kegiatan
yang bersifat feminis, dan biasanya dilambangkan dengan pemakaian baju
kebaya (pakaian nasional perempuan Indonesia) oleh para siswa perempuan di
seluruh sekolah resmi. Hal
ini mengindikasikan adanya pengakuan persamaan hak hidup oleh pemerintah dan
masyarakat Indonesia secara umum, di tanah negeri yang dahulu sempat menjajah
kebebasan perempuan, lewat “tangan” adat dan budaya setempat. Kesempatan ini
ternyata tidak disia-siakan oleh para perempuan Indonesia, yang hingga sekarang
berhasil mengisi berbagai posisi penting baik di bidang politik, ekonomi,
social-budaya, dan sebagainya. Atau
dalam perjuangan menegakkan syari’ah Islam gerakan sejenis dibidani oleh
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang mewadahi aktifitas perempuan
muslimah dalam gerakan yang disebutnya dengan “gerakan Aisyiyah”.
Dalam dunia Islam isu ini bukan temuan baru yang harus
disosialisasikan pada umat. Jauh-jauh hari al-Quran telah membahas berbagai hal
yang berkaitan dengan aktifitas sosial perempuan, sehingga menempatkan ia pada
posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki. Perbedaan yang mencolok antara kedua
jenis hamba ini adalah perbedaan pada tataran biologis, antara lain postur
perempuan yang lebih kecil dan terkesan lemah, sehingga (sepertinya) memerlukan
pertolongan pria sebagai pelindungnya. Fenomena ini kemudian dipergunakan untuk menyerang perempuan dengan
budaya yang sangat membatasi langkah mereka, sehingga kehidupan sosial yang
dimilikinya tidak pernah jauh dari tanggung jawab intern rumah tangga
dan keluarganya belaka. Dengan menggunakan norma budaya yang dianggap sebagai
pandangan hidup yang paling otentik, maka kemasan “penjajahan” kemerdekaan ini
selalu muncul dalam penampilan yang senantiasa direvisi ulang oleh para pria
yang khawatir akan kelanggengan “kekuasaan” mereka.
Feminisme Barat dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam
Feminisme dalam kajian ini membuka ruang bagi sebuah
kesadaran yang kemudian melahirkan gerakan yang pada intinya membicarakan
eksistensi perempuan dalam wilayah culture. Hal ini juga merupakan
reaksi masyarakat terhadap suatu pergeseran pemahaman yang terjadi baik itu
memiliki kecenderungan dalam kancah positif bagi kehidupan masa depannya atau
malah sebaliknya. Kondisi kehidupan perempuan pada masa lalu (baik dalam
sejarah Islam maupun barat) memiliki catatan suram yang berdampak pada kualitas
perlakuan masyarakat terhadap keberadan perempuan di lingkungannya.
Dalam tradisi Yahudi perempuan berpredikat sebagai pelayan,
sehingga ia tidak memiliki hak suara untuk menentukan nasibnya, semua berada di
tangan kaum laki-laki. Bahkan ayahnya dapat menjualnya tanpa persetujuan dari
dirinya. Sementara dalam ajaran Buddha mereka dianggap kotor dan suka menggoda
laki-laki yang ingin menjadi suci. Laki-laki dianggap tidak memiliki kesalahan
meskipun mereka jatuh dalam godaan tersebut. Begitu pula dalam tradisi Yunani
dan Romawi, perempuan tidak memiliki hak untuk menggunakan, memilki, dan
mewarisi harta, dan juga mereka dilarang untuk memerintah, derajat mereka-pun
disamakan dengan harta yang dapat diperjual-belikan dan dipergunakan
sewenang-wenang olah kaum lelaki. Termasuk pula perlakuan yang berawqala dari
pemahaman keliru yang diberikan oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang dengan jelas menisbahkan seluruh kesalahan turunnya
Adam dan Hawa dari surga disebabkan oleh keteledoran Hawa yang tergoda oleh
rayuan Iblis, sehingga mereka terusir dari kehidupan surga yang dilingkupi
dengan kenikmatan. Sehingga jelas bagi perempuan, mereka diharuskan untuk terus
memanggul kesalahan abadi tersebut. Hal inilah yang sampai kini masih
melingkupi pemikiran dan sekaligus membuka gerbang kritik yang mendasari
gugatan feminis barat terhadap status perempuan dalam agama ini.
Relasi yang terbentuk antara kaum pria dan perempuan, dalam
kurun waktu terakhir disikapi oleh para feminis dengan beberapa teori,
diantaranya :
1.
Feminis
Liberal, yaitu gerakan yang medasarkan
pemikirannya semua adalah manusia, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya
tidak terjadi penindasan antar satu dengan lainnya. Aliran pemikiran ini
mengakui adanya kekhususan-kekhususan pada kedua belah pihak. Tokoh dalam
aliran ini antara lain Margaet Fuller (1810-1850), Harriet Martineau
(1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873), dan Susan Anthony (1820-1906).
2.
Feminis
Marxis-Sosialis, yaitu aliran yang berupaya
menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan
melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu
sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya. Aliran ini menolak anggapan
tradisonal dan para teolog bahwa perempuan lebik rendah dari kaum laki-laki.
Adapun tokoh-tokohnya antara lain Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg
(1871-1919).
3.
Feminis
Radikal, aliran ini mengupayakan
pembenaran rasional yang mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah
bagi perempuan. Artinya analisa yang dilakukan oleh kelompok ini lebih
terkonsentrasi pada masalah seksual. Karena menurut mereka kaum pria hanya
ingin mengeksploitasi alat reproduksi perempuan dengan menggunakan berbagai
dalih. Tokoh yang menyuarakan pendapat ini tidak terdeteksi secara jelas.[4]
Berbagai pemikiran dan perjuangan yang muncul kemudian
merupakan refleksi dari fenomena buruk yang dihadapi komunitas gender, sehingga
tuntutan mereka untuk memperoleh persamaan kedudukan dan kemerdekaan dalam
memenuhi hajat hidupnya dipandang sebagai sebuah perlawanan bagi kaum yang
tidak selaras dengan kehendak mereka. Terlebih lagi bahwa gerakan seperti ini
digolongkan sebagai ancaman oleh pihak yang berkuasa sehingga aktifitas
apapun yang muncul dalam komunitas ini,
akan dihentikan, bahkan dengan pemaaksaan dan kekerasan.
Hakekat
kemerdekaan seorang perempuan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan
kehidupan yang lebih baik, artinya bias gender yang ada merupakan ekspresi dari
keterkukungan pada asumsi kelemahan mereka secara fisik, Hal inilah yang senantiasa
membuat perempuan seolah dipinggirkan. Namun apabila dilihat dari segi
kemampuan intelegensi dan kecakapan lainnya, perempuan tidak mempunyai
sedikitpun kekurangan jika dibandingkan dengan pria. Kecakapan intelektual
perempuan akan sangat dibutuhkan dalam dinamika masyarakat kota yang siklus
kehidupannya bersifat pada pembangunan fisik dan psikis sebuah Negara, artinya
kecakapan perempuan dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya
mempunyai peran yang tidak kecil. Sementara
di pedesaan, perempuan dapat berperan penting dalam aktifitas pertanian
atau perikanan, dengan tidak segan mereka dapat mengaplikasikan kemampuan yang
telah tertempa sebelumnya dengan turun langsung ke areal pertanian yang ada,
atau menghidangkan makanan yang layak bagi para suami (laki-laki) yang telah
bekerja seharian di ladangnya. Realitas ini tentunya membutuhkan analisa
sosiologis sehingga penempatan peran gender dalam kehidupan sosial ini menjadi
lebih jelas.
Hal ini tidak akan terjadi dalam kehidupan sosialnya di
tengah pemahaman kaum primitif yang lebih bersifat egalitarian sehingga lebih
menegakkan persamaan hak hidup dengan kaum perempuan. Sementara pada kalangan
aristokrat misalnya, perempuan dijadikan sebagai boneka hiasan rumah, yang siap
digunakan jika ia diperlukan. Secara umum ia tidak dapat melibatkan suaranya
dalam pengambilan keputusan rumah tangga, sementara pada masyarakat kalangan
bawah, perempuan merupakan objek eksploitasi yang terus tertindas, sehingga
kedudukannya benar-benar menjadi subordinatif dalam kehidupan sosial masa lalu.
Dalam pola pemikiran modern,
perempuan telah mendapatkan tempat yang lebih baik dalam siklus kehidupan
sosialnya. Kebebasan menetukan jalan hidup menjadi hal yang sudah tidak sulit
lagi untuk diperoleh. Hal ini juga yang kemudian menjadi sorotan Said Nursi
dalam risalah ke-24nya tersebut. Kekhawatirannya atas sikap perempuan yang
kurang dapat mengontrol dirinya, membuat ia harus mengingatkan mereka mengenai
fitnah terhadap perempuan di akhir zaman. Beliau mengingatkan untuk tidak
menggunakan kecantikan yang kemudian akan menuai kesalahan dan dosa, sehingga
semua kebanggaannya itu akan berubah menjadi keburukan dan sumber malapetaka,
baik di dunia maupun di akhirat.[5]
Risalah al-Hijab:
Solusi Problematika Feminisme Modern
dalam
Kitab Risalah Nur
Kata al-Hijab
muncul sebanyak tujuh kali dalam al-Quran yaitu dalam surat Maryam ayat 17,
surat Shad ayat 32, surat al-Isra ayat 45, surat al-Fushilat ayat 5, surat
asy-Syura ayat 51, surat al-A’raf ayat 46, dan surat al-Ahzab ayat 53. dalam
teks berbagai ayat di atas, al-Hijab dapat dinyatakan memiliki makna
yang konkret dan metaforis. Sementara dalam penelusuran maknawi yang terdapat
dalam istilah ini kebanyakan artinya mengarah kepada makna yang identik dengan
konsep “pemisahan”, baik itu bermakna perlindungan (yang dikehendaki) atau hambatan (yang tidak dikehendaki). Dalam
kamus umum al-Hijab dimaknai sebagai alat pelindung pada sejumlah bagian
tubuh (Ibn Mandzur, hlm. 289-290). Namun dari rangkaian pembacaan sejarah,
diperoleh makna umum yang menyatakan bahwa segala hal yang berhubungan meskipun
meliputi makna konkret ataupun abstrak yang inheren dalam kata ini sebagai
“pelindung yang melampaui kebiasaan”, juga membawa pemakainya tidak dapat
dikalahkan serta menjamin sukses dalam berusaha.[6] Dalam makna yang
metaforis kata al-Hijab bisa berarti hambatan bagi persatuan, komuni
(kebersamaan), serta penghambat pada pemahaman dan partisipasi dalam kebenaran.
Dalam bahasa mistik, kata ini identik dengan rintangan yang menyakitkan antara
manusia dan Allah SWT yang berakar dalam hawa nafsu manusia, menyembunyikan
kebenaran dan merintangi kemajuan menuju Allah. Sedangkan al-Hijab dalam
makna konkret yaitu memisahkan individu atau suatu kelompok dalam masyarakat,
juga berarti institusi abstrak dari pemisahan semacam itu. Pada masa pra Islam Hijab
berarti tabir tempat seorang penguasa bersembunyi dari pandangan kalangan
istana dan masyarakat umum. Praktek ini muncul kembali pada masa pemerintahanan
Bani Ummayah dan Abbasiyah, dan terus bertahan hingga masa kerajaan Fatimiyah (Encyclopedia
of Islam, Vol. III. Hlm. 361). suatu peristiwa menarik yang dicatat sejarah
pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin adalah bahwa penggunaan kain
sebagai tindakan aplikatif terhadap perintah Hijab tidak menjadi
kebiasaan masyarakat pada masa itu, namun kemudian keputusan tersebut diambil
oleh para isteri Rasulullah SAW yang kemudian diundangkan oleh komunitas
Madinah (Barbara Strowsser , hlm. 232)
Berbagai pandangan ulama muncul ke permukaan dalam upaya
menyuarakan kebenaran sekaligus mengangkat kehidupan perempuan yang semestinya
berada sejajar dengan kaum pria. Salah satunya adalah Risalah Nur, sebuah karya
besar dari seorang tokoh Islam di Turki yang gigih memperjuangkan maksudnya untuk membela dan menempatkan Islam
sesuai pada proporsinya di tengah tekanan luar biasa dari penguasa yang zalim. Disebut sebagai penguasa
yang zalim karena ia (Muhammad Kemal Attaturk, presiden Republik Turki pertama)
menginginkan Turki terbebas dari nilai-nilai Islamis yang mengikat dan
menginginkan tegaknya prinsip-prinsip sekularisme yang sangat bertentangan
dengan Islam, sedang Badiuzzaman Said
Nursi (1876- 1960), sang penulis Risalah,
sangat ingin mempertahankan eksistensi Islamisme di Turki, karena beliau
beranggapan bahwa keberadan Islam tidak akan pernah lepas dari ikatan-ikatan
yang membatasi manusia dalam mengambil keputusan hidupnya.
Dalam pendapat para pakar, kitab Risalah Nur dipandang
sebagai kitab yang menggambarkan suatu revolusi pikiran, jiwa, dan ruhani.
Tujuannya untuk membimbing umat dari keimanan yang didasari oleh sikap taqlid
menuju keimanan yang ditemukan melalui penyelidikan, mempelajari alam dan
kejiwaan manusia, juga melalui peribadatan dan pencerahan intelektual secara
mendalam. Salah satu pendapat para ahli tersebut dapat dilihat pada pendapat Dr.
Turner ;
“Risalah
ini adalah satu- satunya karya Islam yang komprehensif dan lengkap yang melihat
alam semesta sebagaiman adanya, menghadirkan realitas keimanan sebagaimana
mestinya, menafsirkan al-Quran sebagaimana yang dikehendaki Muhammad saw.,
mendiagnosa penyakit-penyakit paling nyata dan paling berbahaya yang
menjangkiti manusia modern, dan menawarkan penyembuhannya. Risalah Nur juga
mencakup hamper segala hal yang terkait dengna pokopokok keimanan, peribatan
dan moralitas. Ia menghadirkan semua kriteria yang diperlukan dalam memahami
Islam dan al-Quran di dunia yang kita huni ini. Risalah Nur, yang mencerminkan
cahaya al-Quran dan menerangi alam semesta kejiwaan manusia, tidak boleh
dilewatkan.[7]
Memahami pandangan Said Nursi terhadap eksistensi kaum
perempuan yang dianggap sebagai anugerah Allah yang penuh dengan “Kasih
sayang”. Hal ini diawali dari takdir mereka sebagai mahluk Allah SWT yang lemah
lembut, baik dari segi sifat dan tingkah laku. Konsep inilah yang kemudian
mengilhami kelahiran karya besar ini.
Semasa pembuangannya di Barla, beliau menulis risalah ke 24
yang memuat tentang ketentuan al-Hijab
bagi kaum perempuan, hal ini didorong oleh jama’ah pengajian (khususnya dari
kaum perempuan) yang kian hari kian bertambah. Dalam pembukaan tulisannya Said
Nusi berkata: “Tadinya risalah ini merupakan persoalan kedua dan ketiga dari
catatan ke lima belas. Namun karena melihat urgensinya, ia diletakkan pada
cahaya ke-24”[8]. Konsistensinya
dalam mengungkapkan kebenaran al-Quran ternyata tidaklah berbuah manis, dalam
mempertahankan idealismenya terutama untuk risalah ke-24 ini, beliau harus rela mendekam di penjara
Eskishehir selama sebelas bulan, setelah melewati pengadilan yang tidak adil,
walaupun pada akhirnya ia dibebaskan karena
dianggap tidak bersalah. Tulisannya tentang al-Hijab telah menggugah
para perempuan untuk menuntut hak mereka yang sesungguhnya telah diberikan oleh
al-Quran (Nursi 2002, hal.255). Menurut
beliau kehendak Allah yang tertulis pada surat al-Ahzab ayat 59, adalah “fitrah
perempuan”
untuk melakukannya. Ayat ini berbunyi “Wahai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, serta isteri orang mukmin, hendaklah
mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”. Ayat ini kemudian
menjadi awal interpretasi beliau terhadap keberadaan pesan al-hijab yang
dikhususkan pada perempuan. Menurutnya “hijab adalah fitrah bagi perempuan.
Sebab perempuan diciptakan dalam kondisi lembut dan lemah. Mereka sadar bahwa
mereka membutuhkan keberadaan seorang laki-laki yang bisa melindungi mereka
serta anak-anak mereka yang sangat mereka cintai melebihi cintanya terhadap
diri sendiri.[9]
Karena hakekat penciptaan perempuan itu bersifat lemah dan lembut, maka ia
sangat membutuhkan adanya pelindung untuk melindungi kelembutan dan kelemahan
yang memang menjadi simbol bagi eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial.
Namun bukan berarti kegagahan dan keperkasaan pria dapat digunakan untuk menindas
komunitas yang lemah ini. Dalam hal ini Said Nursi lebih menyorotinya pada
fitrah perempuan untuk menutup auratnya. Karena apabila ia diabaikan, maka hal
ini dapat menimbulkan berbagai kerusakan dan kekacauan dalam kehidupan sosial
di muka bumi.
Pendapat yang tertuang dalam kitab Risalah Nur jilid Lama’at
(Menikmati Takdir Langit) pada risalah ke-24 ini dianggap sebagai inti dari
seluruh risalah yang pernah di tulis olehnya. Secara umum beliau juga mengakui
akan peran perempuan sebagai tokoh utama dalam pengembangan komunitas manusia
di dunia. Oleh karena itu pandangan Said Nursi terhadap sosok ibu, sepertinya
lebih mendominasi risalahnya, sebab peranan mereka dalam kehidupan rumah tangga
menjadi kunci dalam penjelasan detail di risalah ini. Dari keseluruhan
penjelasan pada risalah ke-24 ini, Said Nursi mengambil empat hikmah yang harus
disebarkan dalam kehidupan sosial berikutnya. Adapun keempat hikmah tersebut
ialah :
1. Karena pengaruh peradaban yang
kotor, maka perempuan tidak segan untuk membuang penutup aurat mereka, dan
mempertontonkan kecantikannya, hal ini sangat berlawanan dengan fitrah mereka.
2. Karena ia diciptakan untuk
menjadi pendamping suami, maka dengan menutup auratnya ia dapat menjaga
kecantikannya sehingga akan terhiburlah hati suami yang mengetahui istrinya
berjalan sesuai syari’at, namun apabila pada sebelumnya ia membuka auratnya,
maka akan gundahlah hati suaminya yang mengetahui istrinya senantiasa berada
dalam ancaman.
3. Kebahagiaan dan kelanggengan
ikatan keluarga dalam hidupnya bergantung
pada rasa saling hormat dan percaya. Sehingga apabila dilandasi dengan
iman dan aqidah, maka rasa cinta yang terjalin akan terus berlanjut hingga
kecantikan dan ketampanan mereka disaat muda telah sirna. Golongan yang seperti
ini tidak akan risau dengan berbagai godaan dunia yang menerpa keluarga mereka.
4. Dalam perkara keturunan,
tentunya mereka sangat mengharapkan kebaikan akan menimpa keturunan mereka,
namun apabila perempuannya melakukan Tabaruj maka hal ini tidak akan
tercapai, karena godaan perempuan yang tidak menutup aurat dan mengobral
kecantikannya akan terjerumus dalam kenistaan. Meskipun ia tidak menyadarinya.
Namun pada catatan akhir, beliau juga menengok pada posisi
keutamaan perempuan yang membuka aurat ini karena profesi yang harus dilakukan
oleh perempuan tersebut. Sehingga tidak terjadi “ketimpangan” atau “pemaksaan”
pada penjelasan risalah ini. Sorotan negatif ini biasanya disampaikan pada
golongan perempuan perkotaan yang hidupnya bergelimang dengan godaan, sehingga
peluang untuk melakukan perbuatan maksiat lebih terbuka pada golongan ini.
Dalam penjelasan lainnya wilayah atau geografis daerah menentukan kualitas
peran perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat, maka untuk perempuan di
pedesaam teguran-teguran ini sepertinya tidak berlaku, disebabkan pekerjaan
mereka yang kasar dalam membantu suami mereka, maka postur tubuh yang
dimilikinya-pun tidak akan memikat dan menggoda kaum pria seperti pada
perempuan kota, sehingga apabila mereka membuka aurat pun tidak akan berdampak
negatif pada diri mereka. Realitas ini menunjukkan kejelian Said Nursi dalam
menguraikan maksud-maksud firman Allah tersebut, sehingga para murid atau umat
yang menyerap ajarannya tidak merasa dipaksa untuk menerima pikiran-pikiran
beliau. Hal ini pula yang menumbuhkan simpatik banyak orang disamping gaya
hidupnya yang tenang dan bersahaja.
Realisasi dari fatwa kesetaraan
tersebut dapat dilihat dalam sikap Badiuzzaman
yang mengatakan bahwa ”bekerjalah mencari nafkah dengan tanganmu sendiri
seperti para perempuan desa. Lalu berusahalah hidup hemat dan qana’ah, dua
sifat yang tertanam dalam fitrah kalian, hal itu lebih baik daripada kalian
merusak hidup kalian sendiri karena tuntutan hidup dengan tunduk kepada
dominasi suami yang jahat, berprilaku nuruk dan kebarat-baratan”.[10]
Interpretasi Said Nursi yang memihak
terhadap kemerdekaan gender, merupakan obat ampuh bagi penyakit jumud
para perempuan Turki yang ada di sekitarnya saat itu. Dari tempat ini pula lahirlah karya besarnya yang memihak
kepada eksistensi kaum perempuan yang sedikit banyak telah meninggalkan
kecemasan yang mendalam pada benak penguasa saat itu. Sesuai dengan
proporsinya, pemilihan topik Hijab menjadi sangat relevan, karena kesejajaran
yang diakui juga berlandaskan pada dalil Allah. Apabila diteliti lebih lanjut
perempuan merupakan sosok manusia yang mendapatkan peran ganda dalam konteks
kemerdekaan hidupnya. Ia dapat berkiprah di luar rumah dengan tetap berpegang
pada ketentuan syari’ah, namun di dalam rumah ia juga menjadi tokoh utama
penentu keberhasilan sebuah rumah tangga yang kemudian akan mengeluarkan
generasi-generasi baru di masa mendatang. Kompleksitas ini yang kemudian
menumbuhkan berbagai polemik yang apabila tidak ditangani dengan bijaksana,
maka ia akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan perempuan tersebut.
Konteks kehidupan perempuan
berkeluarga dalam al-Quran disebut Allah dengan menggunakan kata an-Nisaa,
(kata ini menunjukkan status perempuan yang telah menikah), dari analisa bahasa
maka kata ini meninggalkan bias keistimewaan bagi subjeknya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dalam status ini perempuan telah mencapai derajat mulia serta
segala keistimewaan yang melingkupinya. Menurut Nasaruddin Umar, Istilah ini
digunakan dalam kaitan dengan tugas reproduksi perempuan.[11] Dalam Islam, tugas ini merupakan jihadnya
kaum perempuan untuk mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah, sehingga sudah
dapat dipastikan bahwa perempuan adalah salah satu mahluk yang derajatnya dapat
meningkat melalui usaha-usaha yang telah menjadi kodratnya. Kegiatan
bereproduksi merupakan salah satu fitrah manusia di muka bumi, dalam sebuah lembaga pernikahan yang dapat
membangun nilai-nilai persaman. Boleh jadi diwajibkannya seorang muslim untuk
melakukan pernikahan untuk memenuhi salah satu tujuanNya, yaitu mengakui secara
langsung (atau mungkin juga tidak) akan
adanya perbedaan yang mendasar antara pria dan perempuan. Hal ini dapat dilihat melalui proses pernikahan
yang menuntut keseriusan para pria untuk mempersiapkannya, serta tanggung jawab
mereka sebagai suami atau ayah yang tidak dapat dikerjakan dengan setengah
hati. Disamping itu, terdapat pula tujuan bereproduksi seperti yang disunnahkan oleh Rasulullah Saw.
Said Nursi berusaha
membebaskan dirinya dari konsep partiarkis dan misoginis yang mengakar dalam
kehidupan penafsiran Islam umumnya, walaupun beliau tidak berhasil membebaskan
seluruh komentarnya dari kandungan tersebut. Sehingga pemaknaan kata al-Hijab
sepertinya direduksi maknanya menjadi aturan berbusana (penutup tubuh) bagi
perempuan. Pada dasarnya Risalah ini berisi 4 (empat) hikmah penting, yaitu :
- hikmah pertama berisi hakekat penciptaan perempuan yang memerlukan realitas al-Hijab sebagai perlambang kemuliaan derajat diri perempuan agar ia tidak terjatuh dalam kehinaan hidup dunia dan akhirat.
- hikmah kedua, berisi ekspresi keimanannya kepada Allah dengan menjalani kodratnya sebagai isteri dari seorang suami yang ternyata harus sepadan dengan dirinya terutama kesepadanan beragama.
- hikmah ketiga, berisi pengembangan peran sebagai seorang isteri yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjaga keharmonisan keluarga.
- hikmah keempat, berisi peran perempuan yang paling utama adalah menjadi seorang ibu, karena kodrat mulia yang diberikan Allah kepada perempuan adalah tugasnya dalam menyalurkan sifat pengasihnya, yaitu dengan menjadi seorang ibu.
Mengikuti berbagai
penjelasan yang akan dipaparkan kemudian dengan menggunakan formula
Hermeneutik, risalah ini pada awalnya berakhir dengan catatan akhir tentang
kekhawatiran beliau terhadap kondisi perempuan diakhir zaman. Yang karena
keteledoran para perempuan itu mengikuti perkembangan zaman yang dikuasai oleh
pola kehidupan kapitalis dan gerakan westernisasi yang menglobal, maka kaum
perempuan dikhawatirkan akan mendapat kehinaan belaka dalam hidupnya. Dalam
penelusuran terhadap manuskrip yang ada, ditemukan perbedaan antara kitab yang
ditulis dalam bahasa Turki dan kitab yang tulis dalam bahasa Arab. Dalam kitab
berbahasa Turki tidak didapati surat Said Nursi yang ditujukan kepada
sahabat-sahabat perempuannya yang membentuk pengajian besar di propinsi
Isparta, sementara dalam kitab yang berbahasa Arab Said Nursi menggoreskan
nasehatnya secara khusus kepada mereka. Surat ini merupakan surat terakhir
Nursi kepada seluruh murid perempuannya karena ditulis menjelang usianya yang
ke-80 tahun (kira-kira sepuluh tahun sebelum wafatnya), sementara Risalah al-Hijab
sendiri ditulis disekitar usianya yang ke-60-an tahun. Surat ini berisikan
nasehat yang anti diskriminasi terhadap perempuan, dengan mengacu pada ayat di
atas Said Nursi memberikan anjuran kemandirian kepada perempuan yang terjebak
dalam pola kehidupan masa lalu yang tidak menghargai perempuan sebagaimana
al-Quran menghargai mereka sebagai mahluk Allah yang mulia. Pada esensinya
surat ini berisi tiga catatan penting bagi perempuan, yaitu :
- ekspresi rasa kasih sayang terhadap keluarga terutama anak haruslah didasari dengan pengembangan pola sikap ibu yang akan lebih baik apabila ditunjang dengan pendidikan yang mumpuni.
- manifestasi dari sifat pengasihnya, isteri harus menjalani kodrat sebagai pengingat dan menjadi pilar utama tegaknya keimanan yang kokoh dalam suatu keluarga, karena pembacaan terhadap kelemahan perempuan dibaca dengan cara yang lain oleh Said Nursi.
- keutamaan seorang ibu yang mendahulukan sifat sabar dan qana’ahnya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam rumah tangga adalah salah satu kemuliaan yang akan menjauhkan ia dan keluarganya dari kenistaan dunia yang sungguh dekat dengan kehidupan manusia modern.
Esensi tersebut
bersumber dari pengalaman dan fenomena yang hidup disekitarnya. Kelebihan
karakter perempuan yang tergambar dalam postur tubuh yang lebih lembut dari
kaum laki-laki, merupakan visual nyata yang menyertai kehidupan kaum perempuan.
Sekaligus merupakan gambaran kodrat hidup yang berbeda antara kedua mahluk
tersebut.
Hikmah
dan esensi surat di atas juga merupakan olahan dari berbagai problem yang
muncul sebagai akibat dari pergolakan politik maupun peralihan gaya hidup yang
di rasakan oleh rakyat Turki di era tesebut. Problematika yang paling menonjol
adalah pelepasan atribut-atribut Islam yang sudah terlanjur melekat dalam
kehidupan bahkan kepribadian masyarakat. Diantaranya adalah larangan keras dan
sanksi yang kejam bagi mereka yang masih mengenakan jilbab atau kerudung serta busana Islami mereka dan melepas Sapka
(topi khas laki-laki Turki dewasa) dan juga menanggalkan busana yang
dianggap pemerintah sebagai busana tradisional. Kondisi ini sangat menyakitkan
terutama kelompok masyarakat dari golongan Kurdi Arab yang banyak berdiam di
sebelah Timur Turki.
Akibat
dari pencabutan system syariah Islam yang telah berlangsung berabad-abad, maka
kehidupan perempuan terutama yang diperkotaan juga berubah. Sehingga akhirnya
gaya kehidupan barat yang dianggap sebagai perlambang kehidupan modern menjadi
gaya hidup yang dilegalisasi pemerintah Republik Turki. Fenomena ini jelas
mengancam eksistensi Islam dari berbagai sisi. Di samaping memang pemusnahan
ajaran Islam dilakukan secara nyata oleh pemerintah dan militer setempat.
Penutup
Interpretasi Said
Nursi yang memihak pada kehidupan perempuan merupakan obat ampuh bagi penyakit jumud
para perempuan Turki disekitarnya saat itu. Desa Barla yang menjadi tempat
lahirnya karya besar beliau, juga memihak kepada eksistensi dan emansipasi kaum
perempuan yang sedikit banyak telah meninggalkan kecemasan yang mendalam pada
benak penguasa saat itu. Sesuai dengan proporsinya, pemilihan topik hijab
menjadi sangat relevan, karena kesejajaran yang diakuinya juga berlandaskan
pada dalil Allah mengenai kemerdekaan dan amanah yang diemban oleh perempuan
tersebut. Perempuan merupakan sosok manusia yang mendapat peran ganda dalam
konteks kemerdekaan hidupnya. Ia dapat berkiprah dalam kehidupan rumah tangga,
namun ia juga dapat berkiprah di luar rumah dengan tetap melandaskan
kegiatannnya pada ketentuan-ketentuan syari’ah. Wanita
juga menjadi tokoh penentu keberhasilan sebuah rumah tangga yang di dalamnya
akan melahirkan generasi penerus kehidupan mendatang. Perempuan yang telah
berkeluarga dalam bahasa al-Quran disebut dengan istilah an-nisaa, dari
pemaknaan bahasa maka istilah ini memberikan bias keistimewaan bagi subjeknya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam status ini perempuan telah mendapat
derajat mulia serta segala keistimewaan yang melingkupinya. Dalam Islam, tugas
perempuan dalam rumah tangga merupakan jihadnya kaum perempuan untuk
mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa
perempuan adalah salah satu mahluk yang derajatnya dapat meningkat melalui
usaha-usaha yang telah menjadi kodratnya, salah satunya adalah melalui kegiatan
bereproduksi dan menjaga keturunannnya agar tetap beriman kepada Allah.
Daftar Pustaka
Esposito,
Jhon L. Ensiklopedi Dunia Islam, Bandung:
Mizan,
2002.
Haikal,
Muhammad Husein, Hayat Muhammad, Al-Qohiroh: Dar
al-Ma’arif, tt.
Istibsyaroh,
Hak-Hak Perempuan, Relasi Jender Menurut Tafsir al- Sya’rawi, Jakarta:
Teraju, 2004.
Mulia,
Musdah, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaharu Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005.
Muslikhati,
Siti, Feminisme, Jakarta:
Gema Insani : Press, 2002
Nasaruddin Umar,
Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif
al-Quran, Jakarta, Paramadina, 2001.
Nursi,
Bediuzzaman, 2003, Barla Lahikasi, Istanbul:
Nesil Yayinlari, 2003.
________, Lemalar, Istanbul:
Nesil Yayinlari, 2003.
________, Mektubat, Istabul: Nesil
Yayinlari, 2003.
________, Menikamati Takfir Langit (Lema’at), Terj. Jakarta:
Murai Kencana, 2003.
Rahman,
Budhy, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan
Kaum Beriman, Jakarta: Sri Gunting, 2004.
Schimel,
Anne Marie, Tasawuf dan Kehidupan Spiritualis di Turki, dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualis, Hossen
Nashr (ed), Bandung : Mizan, 2003.
[1] Dosen IAIN Raden Fatah Palembang. Email: septi76@gmail.com
[2]Muhammad Husein
Haikal, Hayat Muhammad, Al-Qohiroh, Dar
al-Ma’arif, tt, h. 342.
[3]Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif
al-Quran, Jakarta : Paramadina. 2001, h. 62.
[4] Ibid, h. 64-66.
[5]Bediuzzaman
Nursi, Barla Lahikasi , Istanbul:
Nesil Yayinlari, 2003, h. 374.
[6] Esposito, Jhon L,
Ensiklopedi
Dunia Islam,
Vol. III, Bandung: Mizan, 2002, h. 361
[7]Bediuzzaman
Nursi, Lemalar, Istanbul : Nesil
Yayinlari, 2003, h. xxxi.
[8]Ibid., hal. 366.
[9]Bediuzzaman Nursi, Menikamati
Takfir Langit (Lema’at), Jakarta: Murai, 2003, h. 56.
[10]Bediuzzaman Nursi, Mektubat,
Istambul: Nesil Yayinlari, 2003, h. 382.
[11]Nasaruddin Umar, Argumentasi ..., h. 164.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar