Rabu, 02 Oktober 2013

Solusi Al-Quran Dalam Menghadapi Tantangan Feminisme Modern (Telaah Risalah Al-Hijab Dalam Kitab Risalah Nur)

Solusi Al-Quran Dalam Menghadapi
Tantangan Feminisme Modern
(Telaah Risalah Al-Hijab Dalam 
Kitab Risalah Nur)



Oleh:
Erika Septiana[1]

Abstrak
       Era globalisasi yang merupakan dampak dari peradaban modern yang terus bergulir belakangan ini menjadi titik tolak munculnya berbagai reformasi pemikiran berbagai konsep kehidupan kaum muslim. Feminisme adalah salah satu realitas modernisasi yang terjadi dalam perkembangan pemahaman umat, terutama dalam mempertegas berbagai produk hukum Islam bagi para muslimah di dunia ini. Berawal dari perbedaan fisik yang dinilai lebih “lemah” dari pendahulunya, yaitu laki-laki, maka penafsiran mengenai berbagai ayat yang berkaitan dengan perempuan “seolah” mendiskreditkan perempuan sebagai mahluk yang membutuhkan perlindungan dan tidak mandiri. Sehingga dampak yang muncul dari persepsi ini kemudian memaksa  perempuan untuk “pasrah” menerima kondisi yang sesungguhnya bahkan terampas hak hidupnya sebagai manusia.


Kata Kunci: Al-Qur’an dan Feminisme Modern, Al-Hijab, Kitab Risalah Nur



Pendahuluan
            Potensi kefemininan adalah salah satu ciri khas perempuan sekaligus juga menempatkannya dalam posisi yang menguntungkan di mata Sang Pencipta. Sementara bagi kaum laki-laki yang sering disebut sebagai “lawan” perempuan”, fenomena ini  dianggap sebagai pelindung sisi feminimitas yang terkandung  di dalamnya. Dari realitas ini tentunya terbentang sederet kewajiban dan juga hak hidup bagi laki-laki maupun perempuan yang menjadi kosekuensi realitas kedua di atas bumi. Di lihat dari sisi budaya, fenomena ini yang kemudian menghasilkan ritme kehidupan yang bergelombang dalam perkembangan problematika feminisme modern.
            Mengingat bahwa faktor sosial budaya juga sangat berperan dalam menentukan “derajat” kehidupan manusia di dunia, maka sosok perempuan misalnya, dianggap sebagai sosok “lemah” yang harus dilindungi dari berbagai kekejaman dunia yang mengancamnya. Akibatnya fenomena umum yang muncul dan bahkan berkembang hingga sekarang adalah bahwa  produk interpretasi ini telah berhasil “memojokkan” pola kehidupan perempuan hanya pada wilayah domestik yang kemudian menempatkannya sebagai warga kelas dua (second human being) dalam struktur sosial budaya masyarakat lokal maupun internasional. Dalam Islam, perintah hijab yang diwajibkan bagi perempuan diartikan sebagai busana untuk menutup aurat, digunakan sebagai dalih untuk menempatkan perempuan pada lingkungan sosial yang terbatas. Interpretasi mengenai ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan perintah yang dilakukan oleh ulama tafsir klasik, seolah semakin menenggelamkan posisi perempuan pada kondisi yang sangat tidak menguntungkan. Busana yang diwajibkan untuk menutup seluruh aurat, justru menjadi lambang “pemenjaraan” mereka dalam rumah tangga sehingga pembatasan ruang gerak dan kreatifitasnya menjadi lumrah dilakukan. Pemahaman ini berkembang menjadi sebuah opini umum dalam masyarakat yang kemudian mengemasnya dalam aturan-aturan budaya yang notabene tidak dilandasi dengan pemahaman Islam yang mumpuni. Akhirnya terjadi pelecehan-pelecehan terhadap eksistensi perempuan yang semakin menekan kemerdekaan dan kemandirian yang dimilikinya sejak lahir.
Kehadiran manusia lain yang wujudnya berbeda dengan Adam merupakan sebuah realitas yang dapat menententukan bahwa peristiwa yang melatarbelakangi asal-usul penciptaan perempuan (Hawa) tidak sama dengan penciptaan Adam ke dunia, untuk jelasnya hal ini dapat dilihat dari firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 1 yang berbunyi: “Hai manusia, bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari jenis  nafs yang sama dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak”.
Dalam pemahaman ayat ini, kebanyakan pakar tafsir memahami kata nafs tersebut dinisbahkan kepada Adam, diantaranya al-Jalalain, Ibn Katsir, al-Qurthubi, al-Biqa’i, dan lain-lain, namun tidak semua penafsir berpendapat demikian, contohnya pendapat al-Qasimi yang dikutip oleh M Quraish Shihab menyebutkan nafs tersebut dengan jenis. Namun paling tidak dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud nafs dalam konteks ayat ini adalah Adam dan penciptaan pasangannya (zaujaha) yaitu Hawa telah melalui proses penciptaan yang berbeda dengan penciptaan dirinya (Adam). Fakta lain juga menunjukkan bahwa para mufasir terdahulu menganggap bahwa “pasangan”, yang dimaksud adalah isteri Adam, telah diciptakan dari Adam itu sendiri, namun kemudian pendapat ini terbantahkan oleh ulama modern, salah satunya dapat dilihat dari pendapat ulama tafsir kontemporer Allamah ath- Thaba’thaba’i yang dirujuk oleh Quraish Shihab mengatakan bahwa : perempuan (isteri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam dan bahwa ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung pendapat sebagian mufasir yang beranggapan bahwa isterinya tersebut diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang ditemukan pada riwayat”.
            Berdasarkan pada fakta ini, dapat diketahui bahwa kehadiran perempuan di muka bumi merupakan tokoh yang diharapkan mampu menjalin kerjasama dengan kaum pria dalam membangun kehidupan dunia mereka. Namun walaupun begitu, pada petunjuk Allah berikutnya, kedudukan perempuan tidak pernah ditempatkan lebih rendah daripada kaum pria yang disebut sebagai mahluk yang diciptakan lebih dahulu darinya, karena sesungguhnya fenomena ini tidak mengurangi rasa percaya Allah SWT kepada hamba-Nya yang satu ini untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Ide Allah untuk menciptakan mahluk yang kemudian akan memimpin kehidupan dunia, seperti dicatat dalam sejarah bahwa keputusan ini sempat menuai protes dari para malaikat yang mencoba mengingatkan Allah akan keputusanNya tersebut.  Namun ternyata predikat khalifah ini menunjukkan eksistensi manusia yang berbeda dengan mahluk lainnya, yaitu bahwa manusia berkemampuan untuk berfikir, berdebat, dan mempertanggung- jawabkan perbuatannya. Hakikat Adam adalah ujian untuk menjalani cobaan, ia bukan bersifat seperti malaikat, juga tidak bersifat seperti syetan sepenuhnya, semua sifat itu merupakan perangkat untuk mendukung berbagai kebebasan yang dianugerahkan kepadanya.   
            Mendapatkan takdir sebagai pendamping hidup kaum pria di dunia, ternyata membuat kehadiran perempuan berikutnya dalam sejarah dunia seringkali mengalami perlakuan yang buruk. Dalam tradisi kaum kafir misalnya, sejarah mencatat mulai dari penampakan muka masam oleh para orangtua yang tidak senang menerima kabar kelahiran seorang anak perempuan dalam keluarga mereka, sampai pada penguburan bayi perempuan hidup-hidup, merupakan ekspresi umum terhadap kekecewaan akan kehadiran mereka,[2] fenomena ini dapat dilihat sebagai sebuah catatan buruk sejarah yang menempatkan perempuan sebagai objek penderita. Kisah tentang perlakuan buruk lainnya juga tetap mengiringi perjalanan kehidupan perempuan di dunia. Padahal sesungguhnya dalam kehendak Allah, perempuan dimaksudkan untuk menjadi mahluk-Nya yang juga berhak menyandang gelar kemuliaan, dengan segala kodrat yang menyertainya.
Pada sisi lain, catatan sejarah yang diukir perempuan tidak kalah penting, misalnya dalam sejarah Rusia tercatat seorang Chaterine yang Agung (1729-1796) sebagai “Bunda Rusia” dan pembaharu, karena di bawah kepemimpinannya pamor pemerintahan Rusia meroket bersaing dengan Inggris dan Perancis. Namun sejarah juga mencatat perempuan yang sangat berperan dalam kehancuran sebuah bangsa misalnya “pesona” Cleopatra yang menempatkan Yunani pada masa yang tidak menentu dalam kurun waktu yang panjang.
            Pada kehidupan masyarakat modern, isu seperti di atas ditanggapi dengan lebih antusias, terutama para feminis, karena ternyata peradaban yang modern bukan menjadi jaminan tingkah laku dan pemahaman yang kian membaik dari para penghuninya, melainkan “penderitaan” yang dialami perempuan menjadi semakin kompleks. Dalam kajian Nasaruddin Umar, kemunculan isu gender di dunia Barat lebih dititk beratkan pada analisa dan pemberontakan pemegang teori konflik, teori yang ditujukan untuk mengkritik kemapanan kelas social di masyarakat pada umumnya. Karl Marx, sang pencetus ide tersebut mengusung analisa yang di dukung oleh Friedrich Engles menyatakan bahwa perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi perempuan, karena penurunan status perempuan mempunyai korelasi aktif dengan produksi perdagangan.[3] Dalam hal ini seolah-olah mereka ingin mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Analisa ini kemudian di dukung oleh kondisi kultural yang memaknakan penjagaan penampilan perempuan menjadi pembatasan interkasi mereka dengan dunia luar. Namun seiring dengan perkembangan zaman muncul kesadaran hak hidup dari kaum perempuan sehingga isu tentang perlawanan perempuan dalam mempejuangkan hak hidup mereka ini kemudian disebut dengan upaya kesetaraan “gender”. Secara terminologi istilah gender sendiri kemudian dipakai untuk membedakan antara perempuan dan pria dalam kajian seksual dan tingkah laku. Istilah ini diambil dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Secara etimologi kata ini memiliki dua makna, yaitu penggolongan menurut jenis kelamin dan penggolongan kata benda menurut jenis kelamin, istilah ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu :
1.        Masculine Gender, yaitu kata benda yang menunjukkan jenis kelamin jantan, misalnya man, bachelor.
2.        Feminim Gender, yaitu kata benda yang menunjukkan jenis kelamin perempuan, misalnya women, spinster.
3.        Common Gender, yaitu kata-kata yang dapat berupa penunjukkan jantan atau betina, misalnya child,  friend.
4.        Neuter Gender, yaitu kata benda yang tidak mempunyai jenis kelamin, misalnya house, ring, vegetable.
Sementara dalam kajian terminologi, pemaknaan istilah ini lebih jelas lagi dapat dilihat dalam Women’s Studies Encyclopedia yang menyatakan bahwa : gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Meskipun masih banyak lagi pendapat yang mengupas istilah ini, namun pada intinya istilah ini kemudian digunakan untuk membedakan dunia laki-laki dan perempuan dalam kajian sosio-kultural, namun di Indonesia tidak jarang pula terdengar istilah ini disamakan dengan gerakan “emansipasi perempuan” Indonesia, gerakan yang pernah disuarakan dan dipelopori oleh RA. Kartini, seorang perempuan Jawa yang kemudian karena usahanya di bidang ini diangkat pemerintah sebagai pahlawan nasional Indonesia. Gerakan yang kemudian menginspirasi kaum perempuan untuk berperan lebih jauh dalam perebutan kemerdekaan Indonesia ini, sekaligus menjadi tonggak sejarah bagi berdirinya kekuatan feminis tanah air. Bahkan hari kelahiran RA. Kartini ini (21 April) setiap tahunnya diperingati sebagai hari “perempuan Indonesia”. Umumnya peringatan hari bersejarah ini diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat feminis, dan biasanya dilambangkan dengan pemakaian baju kebaya (pakaian nasional perempuan Indonesia) oleh para siswa perempuan di seluruh sekolah resmi. Hal ini mengindikasikan adanya pengakuan persamaan hak hidup oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia secara umum, di tanah negeri yang dahulu sempat menjajah kebebasan perempuan, lewat “tangan” adat dan budaya setempat. Kesempatan ini ternyata tidak disia-siakan oleh para perempuan Indonesia, yang hingga sekarang berhasil mengisi berbagai posisi penting baik di bidang politik, ekonomi, social-budaya, dan sebagainya. Atau  dalam perjuangan menegakkan syari’ah Islam gerakan sejenis dibidani oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang mewadahi aktifitas perempuan muslimah dalam gerakan yang disebutnya dengan “gerakan Aisyiyah”.
Dalam dunia Islam isu ini bukan temuan baru yang harus disosialisasikan pada umat. Jauh-jauh hari al-Quran telah membahas berbagai hal yang berkaitan dengan aktifitas sosial perempuan, sehingga menempatkan ia pada posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki. Perbedaan yang mencolok antara kedua jenis hamba ini adalah perbedaan pada tataran biologis, antara lain postur perempuan yang lebih kecil dan terkesan lemah, sehingga (sepertinya) memerlukan pertolongan pria sebagai pelindungnya. Fenomena ini kemudian  dipergunakan untuk menyerang perempuan dengan budaya yang sangat membatasi langkah mereka, sehingga kehidupan sosial yang dimilikinya tidak pernah jauh dari tanggung jawab intern rumah tangga dan keluarganya belaka. Dengan menggunakan norma budaya yang dianggap sebagai pandangan hidup yang paling otentik, maka kemasan “penjajahan” kemerdekaan ini selalu muncul dalam penampilan yang senantiasa direvisi ulang oleh para pria yang khawatir akan kelanggengan “kekuasaan” mereka.

Feminisme Barat dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam
Feminisme dalam kajian ini membuka ruang bagi sebuah kesadaran yang kemudian melahirkan gerakan yang pada intinya membicarakan eksistensi perempuan dalam wilayah culture. Hal ini juga merupakan reaksi masyarakat terhadap suatu pergeseran pemahaman yang terjadi baik itu memiliki kecenderungan dalam kancah positif bagi kehidupan masa depannya atau malah sebaliknya. Kondisi kehidupan perempuan pada masa lalu (baik dalam sejarah Islam maupun barat) memiliki catatan suram yang berdampak pada kualitas perlakuan masyarakat terhadap keberadan perempuan di lingkungannya.
Dalam tradisi Yahudi perempuan berpredikat sebagai pelayan, sehingga ia tidak memiliki hak suara untuk menentukan nasibnya, semua berada di tangan kaum laki-laki. Bahkan ayahnya dapat menjualnya tanpa persetujuan dari dirinya. Sementara dalam ajaran Buddha mereka dianggap kotor dan suka menggoda laki-laki yang ingin menjadi suci. Laki-laki dianggap tidak memiliki kesalahan meskipun mereka jatuh dalam godaan tersebut. Begitu pula dalam tradisi Yunani dan Romawi, perempuan tidak memiliki hak untuk menggunakan, memilki, dan mewarisi harta, dan juga mereka dilarang untuk memerintah, derajat mereka-pun disamakan dengan harta yang dapat diperjual-belikan dan dipergunakan sewenang-wenang olah kaum lelaki. Termasuk pula perlakuan yang berawqala dari pemahaman keliru yang diberikan oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang dengan  jelas menisbahkan seluruh kesalahan turunnya Adam dan Hawa dari surga disebabkan oleh keteledoran Hawa yang tergoda oleh rayuan Iblis, sehingga mereka terusir dari kehidupan surga yang dilingkupi dengan kenikmatan. Sehingga jelas bagi perempuan, mereka diharuskan untuk terus memanggul kesalahan abadi tersebut. Hal inilah yang sampai kini masih melingkupi pemikiran dan sekaligus membuka gerbang kritik yang mendasari gugatan feminis barat terhadap status perempuan dalam agama ini.
Relasi yang terbentuk antara kaum pria dan perempuan, dalam kurun waktu terakhir disikapi oleh para feminis dengan beberapa teori, diantaranya :
1.        Feminis Liberal, yaitu gerakan yang medasarkan pemikirannya semua adalah manusia, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antar satu dengan lainnya. Aliran pemikiran ini mengakui adanya kekhususan-kekhususan pada kedua belah pihak. Tokoh dalam aliran ini antara lain Margaet Fuller (1810-1850), Harriet Martineau (1802-1876), Anglina Grimke (1792-1873), dan Susan Anthony (1820-1906).
2.        Feminis Marxis-Sosialis, yaitu aliran yang berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya. Aliran ini menolak anggapan tradisonal dan para teolog bahwa perempuan lebik rendah dari kaum laki-laki. Adapun tokoh-tokohnya antara lain Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919).
3.        Feminis Radikal, aliran ini mengupayakan pembenaran rasional yang mengungkapkan fakta bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Artinya analisa yang dilakukan oleh kelompok ini lebih terkonsentrasi pada masalah seksual. Karena menurut mereka kaum pria hanya ingin mengeksploitasi alat reproduksi perempuan dengan menggunakan berbagai dalih. Tokoh yang menyuarakan pendapat ini tidak terdeteksi secara jelas.[4]
Berbagai pemikiran dan perjuangan yang muncul kemudian merupakan refleksi dari fenomena buruk yang dihadapi komunitas gender, sehingga tuntutan mereka untuk memperoleh persamaan kedudukan dan kemerdekaan dalam memenuhi hajat hidupnya dipandang sebagai sebuah perlawanan bagi kaum yang tidak selaras dengan kehendak mereka. Terlebih lagi bahwa gerakan seperti ini digolongkan sebagai ancaman oleh pihak yang berkuasa sehingga aktifitas apapun  yang muncul dalam komunitas ini, akan dihentikan, bahkan dengan pemaaksaan dan kekerasan.
      Hakekat kemerdekaan seorang perempuan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik, artinya bias gender yang ada merupakan ekspresi dari keterkukungan pada asumsi kelemahan mereka secara fisik, Hal inilah yang senantiasa membuat perempuan seolah dipinggirkan. Namun apabila dilihat dari segi kemampuan intelegensi dan kecakapan lainnya, perempuan tidak mempunyai sedikitpun kekurangan jika dibandingkan dengan pria. Kecakapan intelektual perempuan akan sangat dibutuhkan dalam dinamika masyarakat kota yang siklus kehidupannya bersifat pada pembangunan fisik dan psikis sebuah Negara, artinya kecakapan perempuan dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya mempunyai peran yang tidak kecil. Sementara  di pedesaan, perempuan dapat berperan penting dalam aktifitas pertanian atau perikanan, dengan tidak segan mereka dapat mengaplikasikan kemampuan yang telah tertempa sebelumnya dengan turun langsung ke areal pertanian yang ada, atau menghidangkan makanan yang layak bagi para suami (laki-laki) yang telah bekerja seharian di ladangnya. Realitas ini tentunya membutuhkan analisa sosiologis sehingga penempatan peran gender dalam kehidupan sosial ini menjadi lebih jelas.
Hal ini tidak akan terjadi dalam kehidupan sosialnya di tengah pemahaman kaum primitif yang lebih bersifat egalitarian sehingga lebih menegakkan persamaan hak hidup dengan kaum perempuan. Sementara pada kalangan aristokrat misalnya, perempuan dijadikan sebagai boneka hiasan rumah, yang siap digunakan jika ia diperlukan. Secara umum ia tidak dapat melibatkan suaranya dalam pengambilan keputusan rumah tangga, sementara pada masyarakat kalangan bawah, perempuan merupakan objek eksploitasi yang terus tertindas, sehingga kedudukannya benar-benar menjadi subordinatif dalam kehidupan sosial masa lalu.
            Dalam pola pemikiran modern, perempuan telah mendapatkan tempat yang lebih baik dalam siklus kehidupan sosialnya. Kebebasan menetukan jalan hidup menjadi hal yang sudah tidak sulit lagi untuk diperoleh. Hal ini juga yang kemudian menjadi sorotan Said Nursi dalam risalah ke-24nya tersebut. Kekhawatirannya atas sikap perempuan yang kurang dapat mengontrol dirinya, membuat ia harus mengingatkan mereka mengenai fitnah terhadap perempuan di akhir zaman. Beliau mengingatkan untuk tidak menggunakan kecantikan yang kemudian akan menuai kesalahan dan dosa, sehingga semua kebanggaannya itu akan berubah menjadi keburukan dan sumber malapetaka, baik di dunia maupun di akhirat.[5]

Risalah al-Hijab:
Solusi Problematika Feminisme Modern
dalam Kitab Risalah Nur  
Kata al-Hijab muncul sebanyak tujuh kali dalam al-Quran yaitu dalam surat Maryam ayat 17, surat Shad ayat 32, surat al-Isra ayat 45, surat al-Fushilat ayat 5, surat asy-Syura ayat 51, surat al-A’raf ayat 46, dan surat al-Ahzab ayat 53. dalam teks berbagai ayat di atas, al-Hijab dapat dinyatakan memiliki makna yang konkret dan metaforis. Sementara dalam penelusuran maknawi yang terdapat dalam istilah ini kebanyakan artinya mengarah kepada makna yang identik dengan konsep “pemisahan”, baik itu bermakna perlindungan (yang dikehendaki)  atau hambatan (yang tidak dikehendaki). Dalam kamus umum al-Hijab dimaknai sebagai alat pelindung pada sejumlah bagian tubuh (Ibn Mandzur, hlm. 289-290). Namun dari rangkaian pembacaan sejarah, diperoleh makna umum yang menyatakan bahwa segala hal yang berhubungan meskipun meliputi makna konkret ataupun abstrak yang inheren dalam kata ini sebagai “pelindung yang melampaui kebiasaan”, juga membawa pemakainya tidak dapat dikalahkan serta menjamin sukses dalam berusaha.[6] Dalam makna yang metaforis kata al-Hijab bisa berarti hambatan bagi persatuan, komuni (kebersamaan), serta penghambat pada pemahaman dan partisipasi dalam kebenaran. Dalam bahasa mistik, kata ini identik dengan rintangan yang menyakitkan antara manusia dan Allah SWT yang berakar dalam hawa nafsu manusia, menyembunyikan kebenaran dan merintangi kemajuan menuju Allah. Sedangkan al-Hijab dalam makna konkret yaitu memisahkan individu atau suatu kelompok dalam masyarakat, juga berarti institusi abstrak dari pemisahan semacam itu. Pada masa pra Islam Hijab berarti tabir tempat seorang penguasa bersembunyi dari pandangan kalangan istana dan masyarakat umum. Praktek ini muncul kembali pada masa pemerintahanan Bani Ummayah dan Abbasiyah, dan terus bertahan hingga masa kerajaan Fatimiyah (Encyclopedia of Islam, Vol. III. Hlm. 361). suatu peristiwa menarik yang dicatat sejarah pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin adalah bahwa penggunaan kain sebagai tindakan aplikatif terhadap perintah Hijab tidak menjadi kebiasaan masyarakat pada masa itu, namun kemudian keputusan tersebut diambil oleh para isteri Rasulullah SAW yang kemudian diundangkan oleh komunitas Madinah (Barbara Strowsser , hlm. 232)
Berbagai pandangan ulama muncul ke permukaan dalam upaya menyuarakan kebenaran sekaligus mengangkat kehidupan perempuan yang semestinya berada sejajar dengan kaum pria. Salah satunya adalah Risalah Nur, sebuah karya besar dari seorang tokoh Islam di Turki yang gigih memperjuangkan  maksudnya untuk membela dan menempatkan Islam sesuai pada proporsinya di tengah tekanan luar biasa dari  penguasa yang zalim. Disebut sebagai penguasa yang zalim karena ia (Muhammad Kemal Attaturk, presiden Republik Turki pertama) menginginkan Turki terbebas dari nilai-nilai Islamis yang mengikat dan menginginkan tegaknya prinsip-prinsip sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam, sedang Badiuzzaman Said Nursi (1876- 1960), sang penulis Risalah, sangat ingin mempertahankan eksistensi Islamisme di Turki, karena beliau beranggapan bahwa keberadan Islam tidak akan pernah lepas dari ikatan-ikatan yang membatasi manusia dalam mengambil keputusan hidupnya.
Dalam pendapat para pakar, kitab Risalah Nur dipandang sebagai kitab yang menggambarkan suatu revolusi pikiran, jiwa, dan ruhani. Tujuannya untuk membimbing umat dari keimanan yang didasari oleh sikap taqlid menuju keimanan yang ditemukan melalui penyelidikan, mempelajari alam dan kejiwaan manusia, juga melalui peribadatan dan pencerahan intelektual secara mendalam. Salah satu pendapat para ahli tersebut dapat dilihat pada pendapat Dr. Turner ;
“Risalah ini adalah satu- satunya karya Islam yang komprehensif dan lengkap yang melihat alam semesta sebagaiman adanya, menghadirkan realitas keimanan sebagaimana mestinya, menafsirkan al-Quran sebagaimana yang dikehendaki Muhammad saw., mendiagnosa penyakit-penyakit paling nyata dan paling berbahaya yang menjangkiti manusia modern, dan menawarkan penyembuhannya. Risalah Nur juga mencakup hamper segala hal yang terkait dengna pokopokok keimanan, peribatan dan moralitas. Ia menghadirkan semua kriteria yang diperlukan dalam memahami Islam dan al-Quran di dunia yang kita huni ini. Risalah Nur, yang mencerminkan cahaya al-Quran dan menerangi alam semesta kejiwaan manusia, tidak boleh dilewatkan.[7]
Memahami pandangan Said Nursi terhadap eksistensi kaum perempuan yang dianggap sebagai anugerah Allah yang penuh dengan “Kasih sayang”. Hal ini diawali dari takdir mereka sebagai mahluk Allah SWT yang lemah lembut, baik dari segi sifat dan tingkah laku. Konsep inilah yang kemudian mengilhami kelahiran karya besar ini.
Semasa pembuangannya di Barla, beliau menulis risalah ke 24 yang memuat tentang  ketentuan al-Hijab bagi kaum perempuan, hal ini didorong oleh jama’ah pengajian (khususnya dari kaum perempuan) yang kian hari kian bertambah. Dalam pembukaan tulisannya Said Nusi berkata: “Tadinya risalah ini merupakan persoalan kedua dan ketiga dari catatan ke lima belas. Namun karena melihat urgensinya, ia diletakkan pada cahaya ke-24”[8]. Konsistensinya dalam mengungkapkan kebenaran al-Quran ternyata tidaklah berbuah manis, dalam mempertahankan idealismenya terutama untuk risalah ke-24 ini,  beliau harus rela mendekam di penjara Eskishehir selama sebelas bulan, setelah melewati pengadilan yang tidak adil, walaupun pada akhirnya ia dibebaskan karena  dianggap tidak bersalah. Tulisannya tentang ­al-Hijab telah menggugah para perempuan untuk menuntut hak mereka yang sesungguhnya telah diberikan oleh al-Quran (Nursi 2002, hal.255).  Menurut beliau kehendak Allah yang tertulis pada surat al-Ahzab ayat 59, adalah “fitrah perempuan” untuk melakukannya. Ayat ini berbunyi  “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, serta isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka”. Ayat ini  kemudian menjadi awal interpretasi beliau terhadap keberadaan pesan al-hijab yang dikhususkan pada perempuan. Menurutnya “hijab adalah fitrah bagi perempuan. Sebab perempuan diciptakan dalam kondisi lembut dan lemah. Mereka sadar bahwa mereka membutuhkan keberadaan seorang laki-laki yang bisa melindungi mereka serta anak-anak mereka yang sangat mereka cintai melebihi cintanya terhadap diri sendiri.[9] Karena hakekat penciptaan perempuan itu bersifat lemah dan lembut, maka ia sangat membutuhkan adanya pelindung untuk melindungi kelembutan dan kelemahan yang memang menjadi simbol bagi eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial. Namun bukan berarti kegagahan dan keperkasaan pria dapat digunakan untuk menindas komunitas yang lemah ini. Dalam hal ini Said Nursi lebih menyorotinya pada fitrah perempuan untuk menutup auratnya. Karena apabila ia diabaikan, maka hal ini dapat menimbulkan berbagai kerusakan dan kekacauan dalam kehidupan sosial di muka bumi.   
Pendapat yang tertuang dalam kitab Risalah Nur jilid Lama’at (Menikmati Takdir Langit) pada risalah ke-24 ini dianggap sebagai inti dari seluruh risalah yang pernah di tulis olehnya. Secara umum beliau juga mengakui akan peran perempuan sebagai tokoh utama dalam pengembangan komunitas manusia di dunia. Oleh karena itu pandangan Said Nursi terhadap sosok ibu, sepertinya lebih mendominasi risalahnya, sebab peranan mereka dalam kehidupan rumah tangga menjadi kunci dalam penjelasan detail di risalah ini. Dari keseluruhan penjelasan pada risalah ke-24 ini, Said Nursi mengambil empat hikmah yang harus disebarkan dalam kehidupan sosial berikutnya. Adapun keempat hikmah tersebut ialah : 
1. Karena pengaruh peradaban yang kotor, maka perempuan tidak segan untuk membuang penutup aurat mereka, dan mempertontonkan kecantikannya, hal ini sangat berlawanan dengan fitrah mereka.
2. Karena ia diciptakan untuk menjadi pendamping suami, maka dengan menutup auratnya ia dapat menjaga kecantikannya sehingga akan terhiburlah hati suami yang mengetahui istrinya berjalan sesuai syari’at, namun apabila pada sebelumnya ia membuka auratnya, maka akan gundahlah hati suaminya yang mengetahui istrinya senantiasa berada dalam ancaman.
3. Kebahagiaan dan kelanggengan ikatan keluarga dalam hidupnya bergantung  pada rasa saling hormat dan percaya. Sehingga apabila dilandasi dengan iman dan aqidah, maka rasa cinta yang terjalin akan terus berlanjut hingga kecantikan dan ketampanan mereka disaat muda telah sirna. Golongan yang seperti ini tidak akan risau dengan berbagai godaan dunia yang menerpa keluarga mereka.
4. Dalam perkara keturunan, tentunya mereka sangat mengharapkan kebaikan akan menimpa keturunan mereka, namun apabila perempuannya melakukan Tabaruj maka hal ini tidak akan tercapai, karena godaan perempuan yang tidak menutup aurat dan mengobral kecantikannya akan terjerumus dalam kenistaan. Meskipun ia tidak menyadarinya.
Namun pada catatan akhir, beliau juga menengok pada posisi keutamaan perempuan yang membuka aurat ini karena profesi yang harus dilakukan oleh perempuan tersebut. Sehingga tidak terjadi “ketimpangan” atau “pemaksaan” pada penjelasan risalah ini. Sorotan negatif ini biasanya disampaikan pada golongan perempuan perkotaan yang hidupnya bergelimang dengan godaan, sehingga peluang untuk melakukan perbuatan maksiat lebih terbuka pada golongan ini. Dalam penjelasan lainnya wilayah atau geografis daerah menentukan kualitas peran perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat, maka untuk perempuan di pedesaam teguran-teguran ini sepertinya tidak berlaku, disebabkan pekerjaan mereka yang kasar dalam membantu suami mereka, maka postur tubuh yang dimilikinya-pun tidak akan memikat dan menggoda kaum pria seperti pada perempuan kota, sehingga apabila mereka membuka aurat pun tidak akan berdampak negatif pada diri mereka. Realitas ini menunjukkan kejelian Said Nursi dalam menguraikan maksud-maksud firman Allah tersebut, sehingga para murid atau umat yang menyerap ajarannya tidak merasa dipaksa untuk menerima pikiran-pikiran beliau. Hal ini pula yang menumbuhkan simpatik banyak orang disamping gaya hidupnya yang tenang dan bersahaja. 
            Realisasi dari fatwa kesetaraan tersebut dapat dilihat dalam sikap Badiuzzaman  yang mengatakan bahwa ”bekerjalah mencari nafkah dengan tanganmu sendiri seperti para perempuan desa. Lalu berusahalah hidup hemat dan qana’ah, dua sifat yang tertanam dalam fitrah kalian, hal itu lebih baik daripada kalian merusak hidup kalian sendiri karena tuntutan hidup dengan tunduk kepada dominasi suami yang jahat, berprilaku nuruk dan kebarat-baratan”.[10]
            Interpretasi Said Nursi yang memihak terhadap kemerdekaan gender, merupakan obat ampuh bagi penyakit jumud para perempuan Turki yang ada di sekitarnya saat itu. Dari tempat  ini pula lahirlah karya besarnya yang memihak kepada eksistensi kaum perempuan yang sedikit banyak telah meninggalkan kecemasan yang mendalam pada benak penguasa saat itu. Sesuai dengan proporsinya, pemilihan topik Hijab menjadi sangat relevan, karena kesejajaran yang diakui juga berlandaskan pada dalil Allah. Apabila diteliti lebih lanjut perempuan merupakan sosok manusia yang mendapatkan peran ganda dalam konteks kemerdekaan hidupnya. Ia dapat berkiprah di luar rumah dengan tetap berpegang pada ketentuan syari’ah, namun di dalam rumah ia juga menjadi tokoh utama penentu keberhasilan sebuah rumah tangga yang kemudian akan mengeluarkan generasi-generasi baru di masa mendatang. Kompleksitas ini yang kemudian menumbuhkan berbagai polemik yang apabila tidak ditangani dengan bijaksana, maka ia akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan perempuan tersebut.
            Konteks kehidupan perempuan berkeluarga dalam al-Quran disebut Allah dengan menggunakan kata an-Nisaa, (kata ini menunjukkan status perempuan yang telah menikah), dari analisa bahasa maka kata ini meninggalkan bias keistimewaan bagi subjeknya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam status ini perempuan telah mencapai derajat mulia serta segala keistimewaan yang melingkupinya. Menurut Nasaruddin Umar, Istilah ini digunakan dalam kaitan dengan tugas reproduksi perempuan.[11]  Dalam Islam, tugas ini merupakan jihadnya kaum perempuan untuk mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa perempuan adalah salah satu mahluk yang derajatnya dapat meningkat melalui usaha-usaha yang telah menjadi kodratnya. Kegiatan bereproduksi merupakan salah satu fitrah manusia di muka bumi,  dalam sebuah lembaga pernikahan yang dapat membangun nilai-nilai persaman. Boleh jadi diwajibkannya seorang muslim untuk melakukan pernikahan untuk memenuhi salah satu tujuanNya, yaitu mengakui secara langsung (atau mungkin juga tidak) akan  adanya perbedaan yang mendasar antara pria dan perempuan. Hal  ini dapat dilihat melalui proses pernikahan yang menuntut keseriusan para pria untuk mempersiapkannya, serta tanggung jawab mereka sebagai suami atau ayah yang tidak dapat dikerjakan dengan setengah hati. Disamping itu, terdapat pula tujuan bereproduksi seperti yang  disunnahkan oleh Rasulullah Saw.
Said Nursi berusaha membebaskan dirinya dari konsep partiarkis dan misoginis yang mengakar dalam kehidupan penafsiran Islam umumnya, walaupun beliau tidak berhasil membebaskan seluruh komentarnya dari kandungan tersebut. Sehingga pemaknaan kata al-Hijab sepertinya direduksi maknanya menjadi aturan berbusana (penutup tubuh) bagi perempuan. Pada dasarnya Risalah ini berisi 4 (empat) hikmah penting, yaitu :
  1. hikmah pertama berisi hakekat penciptaan perempuan yang memerlukan realitas al-Hijab sebagai perlambang kemuliaan derajat diri perempuan agar ia tidak terjatuh dalam kehinaan hidup dunia dan akhirat.
  2. hikmah kedua, berisi ekspresi keimanannya kepada Allah dengan menjalani kodratnya sebagai isteri dari seorang suami yang ternyata harus sepadan dengan dirinya terutama kesepadanan beragama.
  3. hikmah ketiga, berisi pengembangan peran sebagai seorang isteri yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjaga keharmonisan keluarga.
  4. hikmah keempat, berisi peran perempuan yang paling utama adalah menjadi seorang ibu, karena kodrat mulia yang diberikan Allah kepada perempuan adalah tugasnya dalam menyalurkan sifat pengasihnya, yaitu dengan menjadi seorang ibu.
Mengikuti berbagai penjelasan yang akan dipaparkan kemudian dengan menggunakan formula Hermeneutik, risalah ini pada awalnya berakhir dengan catatan akhir tentang kekhawatiran beliau terhadap kondisi perempuan diakhir zaman. Yang karena keteledoran para perempuan itu mengikuti perkembangan zaman yang dikuasai oleh pola kehidupan kapitalis dan gerakan westernisasi yang menglobal, maka kaum perempuan dikhawatirkan akan mendapat kehinaan belaka dalam hidupnya. Dalam penelusuran terhadap manuskrip yang ada, ditemukan perbedaan antara kitab yang ditulis dalam bahasa Turki dan kitab yang tulis dalam bahasa Arab. Dalam kitab berbahasa Turki tidak didapati surat Said Nursi yang ditujukan kepada sahabat-sahabat perempuannya yang membentuk pengajian besar di propinsi Isparta, sementara dalam kitab yang berbahasa Arab Said Nursi menggoreskan nasehatnya secara khusus kepada mereka. Surat ini merupakan surat terakhir Nursi kepada seluruh murid perempuannya karena ditulis menjelang usianya yang ke-80 tahun (kira-kira sepuluh tahun sebelum wafatnya), sementara Risalah al-Hijab sendiri ditulis disekitar usianya yang ke-60-an tahun. Surat ini berisikan nasehat yang anti diskriminasi terhadap perempuan, dengan mengacu pada ayat di atas Said Nursi memberikan anjuran kemandirian kepada perempuan yang terjebak dalam pola kehidupan masa lalu yang tidak menghargai perempuan sebagaimana al-Quran menghargai mereka sebagai mahluk Allah yang mulia. Pada esensinya surat ini berisi tiga catatan penting bagi perempuan, yaitu :
  1. ekspresi rasa kasih sayang terhadap keluarga terutama anak haruslah didasari dengan pengembangan pola sikap ibu yang akan lebih baik apabila ditunjang dengan pendidikan yang mumpuni.
  2. manifestasi dari sifat pengasihnya, isteri harus menjalani kodrat sebagai pengingat dan menjadi pilar utama tegaknya keimanan yang kokoh dalam suatu keluarga, karena pembacaan terhadap kelemahan perempuan dibaca dengan cara yang lain oleh Said Nursi.
  3. keutamaan seorang ibu yang mendahulukan sifat sabar dan qana’ahnya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam rumah tangga adalah salah satu kemuliaan yang akan menjauhkan ia dan keluarganya dari kenistaan dunia yang sungguh dekat dengan kehidupan manusia modern.
Esensi tersebut bersumber dari pengalaman dan fenomena yang hidup disekitarnya. Kelebihan karakter perempuan yang tergambar dalam postur tubuh yang lebih lembut dari kaum laki-laki, merupakan visual nyata yang menyertai kehidupan kaum perempuan. Sekaligus merupakan gambaran kodrat hidup yang berbeda antara kedua mahluk tersebut.
            Hikmah dan esensi surat di atas juga merupakan olahan dari berbagai problem yang muncul sebagai akibat dari pergolakan politik maupun peralihan gaya hidup yang di rasakan oleh rakyat Turki di era tesebut. Problematika yang paling menonjol adalah pelepasan atribut-atribut Islam yang sudah terlanjur melekat dalam kehidupan bahkan kepribadian masyarakat. Diantaranya adalah larangan keras dan sanksi yang kejam bagi mereka yang masih mengenakan jilbab atau kerudung  serta busana Islami mereka dan melepas Sapka (topi khas laki-laki Turki dewasa) dan juga menanggalkan busana yang dianggap pemerintah sebagai busana tradisional. Kondisi ini sangat menyakitkan terutama kelompok masyarakat dari golongan Kurdi Arab yang banyak berdiam di sebelah Timur Turki.
            Akibat dari pencabutan system syariah Islam yang telah berlangsung berabad-abad, maka kehidupan perempuan terutama yang diperkotaan juga berubah. Sehingga akhirnya gaya kehidupan barat yang dianggap sebagai perlambang kehidupan modern menjadi gaya hidup yang dilegalisasi pemerintah Republik Turki. Fenomena ini jelas mengancam eksistensi Islam dari berbagai sisi. Di samaping memang pemusnahan ajaran Islam dilakukan secara nyata oleh pemerintah dan militer setempat.

Penutup
Interpretasi Said Nursi yang memihak pada kehidupan perempuan merupakan obat ampuh bagi penyakit jumud para perempuan Turki disekitarnya saat itu. Desa Barla yang menjadi tempat lahirnya karya besar beliau, juga memihak kepada eksistensi dan emansipasi kaum perempuan yang sedikit banyak telah meninggalkan kecemasan yang mendalam pada benak penguasa saat itu. Sesuai dengan proporsinya, pemilihan topik hijab menjadi sangat relevan, karena kesejajaran yang diakuinya juga berlandaskan pada dalil Allah mengenai kemerdekaan dan amanah yang diemban oleh perempuan tersebut. Perempuan merupakan sosok manusia yang mendapat peran ganda dalam konteks kemerdekaan hidupnya. Ia dapat berkiprah dalam kehidupan rumah tangga, namun ia juga dapat berkiprah di luar rumah dengan tetap melandaskan kegiatannnya pada ketentuan-ketentuan syari’ah. Wanita juga menjadi tokoh penentu keberhasilan sebuah rumah tangga yang di dalamnya akan melahirkan generasi penerus kehidupan mendatang. Perempuan yang telah berkeluarga dalam bahasa al-Quran disebut dengan istilah an-nisaa, dari pemaknaan bahasa maka istilah ini memberikan bias keistimewaan bagi subjeknya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam status ini perempuan telah mendapat derajat mulia serta segala keistimewaan yang melingkupinya. Dalam Islam, tugas perempuan dalam rumah tangga merupakan jihadnya kaum perempuan untuk mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah, sehingga sudah dapat dipastikan bahwa perempuan adalah salah satu mahluk yang derajatnya dapat meningkat melalui usaha-usaha yang telah menjadi kodratnya, salah satunya adalah melalui kegiatan bereproduksi dan menjaga keturunannnya agar tetap beriman kepada Allah.            


















Daftar Pustaka


Esposito, Jhon L. Ensiklopedi Dunia Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Haikal, Muhammad Husein, Hayat Muhammad, Al-Qohiroh: Dar al-Ma’arif, tt.
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan, Relasi Jender Menurut Tafsir al- Sya’rawi, Jakarta: Teraju, 2004.
Mulia, Musdah, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaharu Keagamaan, Bandung: Mizan, 2005.
Muslikhati, Siti, Feminisme, Jakarta: Gema Insani : Press, 2002
Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran, Jakarta, Paramadina, 2001.
Nursi, Bediuzzaman, 2003, Barla Lahikasi, Istanbul: Nesil Yayinlari, 2003.
________, Lemalar, Istanbul: Nesil Yayinlari, 2003.
________, Mektubat, Istabul: Nesil Yayinlari, 2003.
________, Menikamati Takfir Langit (Lema’at), Terj. Jakarta: Murai Kencana, 2003.
Rahman, Budhy, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Sri Gunting, 2004.
Schimel, Anne Marie, Tasawuf dan Kehidupan Spiritualis di Turki, dalam  Ensiklopedi Tematis Spiritualis, Hossen Nashr (ed), Bandung : Mizan, 2003.





















[1] Dosen IAIN Raden Fatah Palembang. Email: septi76@gmail.com
[2]Muhammad Husein Haikal, Hayat Muhammad, Al-Qohiroh, Dar al-Ma’arif, tt,  h. 342.
[3]Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran, Jakarta : Paramadina. 2001, h. 62.
[4] Ibid, h. 64-66.
[5]Bediuzzaman Nursi,  Barla Lahikasi , Istanbul: Nesil Yayinlari, 2003, h. 374.
[6] Esposito, Jhon L, Ensiklopedi Dunia Islam, Vol. III, Bandung: Mizan, 2002, h. 361
[7]Bediuzzaman Nursi,  Lemalar, Istanbul : Nesil Yayinlari, 2003, h. xxxi.
[8]Ibid., hal. 366.
[9]Bediuzzaman Nursi, Menikamati Takfir Langit (Lema’at), Jakarta: Murai, 2003,   h. 56.
[10]Bediuzzaman Nursi, Mektubat, Istambul: Nesil Yayinlari, 2003, h. 382.
[11]Nasaruddin Umar, Argumentasi ..., h. 164.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar